SlideShare a Scribd company logo
http://www.d-tarsidi.blogspot.com/
04 October 2011
Definisi Tunanetra
Oleh Didi Tarsidi
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Data yang dikeluarkan oleh WHO (2011) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 284 juta orang
tunanetra di seluruh dunia. Berdasarkan hasil survei nasional tahun 1993-1996 angka kebutaan di
Indonesia mencapai 1,5 persen. Angka ini menempatkan Indonesia untuk masalah kebutaan di
urutan pertama di Asia dan nomor dua di dunia setelah negara-negara di Afrika Tengah sekitar
Gurun Sahara. Sebagai perbandingan, di Bangladesh angka kebutaan mencapai satu persen, di
India 0,7 persen, di Thailand 0,3 persen, Jepang dan AS berkisar 0,1 sampai 03 persen.
(Gsianturi, 2004.
Apakah yang dimaksud dengan tunanetra itu? Persatuan Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004)
mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang tunanetra adalah mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa
penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa
berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang
awas). Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai penglihatan sama sekali
meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi penglihatan
seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”. Di pihak lain, ada orang tunanetra yang masih
mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa
penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk untuk membaca
tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12 point) setelah dibantu dengan kaca mata. Perlu
dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada
komputer di mana pada bidang selebar satu inci memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak
boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya, pada bidang selebar 1 inci
memuat 18 huruf. Tidak demikian. Orang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang
fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih dikenal dengan sebutan
”Low vision”.
Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan
dengan kehilangan penglihatan:
1. Definisi legal (definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan) dan
2. Definisi edukasional (definisi untuk tujuan pendidikan) atau definisi fungsional yaitu yang
difokuskan pada seberapa banyak sisa penglihatan seseorang dapat bermanfaat untuk
keberfungsiannya sehari-hari.
1. Definisi Legal
Definisi legal terutama dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan apakah seseorang
berhak memperoleh akses terhadap keuntungan-keuntungan tertentu sebagai mana diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi tertentu, bebas bea
transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu yang sesuai dengan kebutuhannya, dsb.
Dalam definisi legal ini, ada dua aspek yang diukur:
- Ketajaman penglihatan (visual acuity) dan
- Medan pandang (visual field).
Cara yang paling umum untuk mengukur ketajaman penglihatan adalah dengan menggunakan
Snellen Chart yang terdiri dari huruf-huruf atau angka-angka atau gambar-gambar yang disusun
berbaris-baris berdasarkan ukuran besarnya (lihat Gambar 4.1).
Setiap baris huruf pada tabel Snellen ini dapat dikenali dari jarak tertentu oleh orang yang
berpenglihatan normal, misalnya dari jarak 60, 36, 24, 18, 12, 9 atau 6 meter. Anak berdiri 6
meter dari tabel itu, dan jika dia dapat membaca tabel itu sejauh baris yang berisi huruf-huruf
untuk jarak 6 meter, maka itu berarti bahwa ketajaman penglihatannya adalah 6/6 atau "normal".
Jika dia dapat membaca hanya sejauh baris yang berisi huruf-huruf untuk jarak 24 meter, maka
ketajaman penglihatannya adalah 6/24. Angka yang di atas (pembilang) selalu menunjukkan
jarak dari tabel, dan angka bawah (penyebut) menunjukkan jarak mata normal dapat membaca
huruf-huruf itu. Dengan kata lain, bila ketajaman penglihatan seorang anak adalah 6/24, ini
berarti bahwa huruf-huruf yang dapat dibaca oleh mata normal dari jarak 24 meter hanya dapat
dibaca dari jarak 6 meter oleh anak itu. Bilangan ini tidak menunjukkan pecahan dari penglihatan
normal. Dan bukan sesuatu yang luar biasa jika kedua belah mata mempunyai ketajaman
penglihatan yang sangat berbeda, misalnya 6/6 dan 6/24.
Jika anak tidak dapat membaca baris untuk 60 meter (huruf paling atas pada tabel) dari jarak 6
meter, ini berarti bahwa penglihatannya kurang dari 6/60, dan tes dilakukan lagi dari jarak yang
lebih dekat. Jika anak itu dapat membaca huruf yang di atas ini dari jarak 3 meter, maka
ketajaman penglihatannya dicatat sebagai 3/60, tetapi jika dia hanya dapat membacanya dari
jarak 1 meter, maka ketajaman penglihatannya adalah 1/60. Bila penglihatannya kurang dari
1/60, kadang-kadang penglihatan anak itu ditentukan berdasarkan kemampuannya untuk
menghitung jari dari jarak yang berbeda-beda antara 15 cm dan 1 meter. Jika anak itu juga tidak
mampu melakukannya, maka penglihatannya dapat dicatat sebagai PL, LP atau LPO, yang
merupakan variasi dari "perception of light only" (hanya persepsi cahaya).

Gambar 4.1: Snellen chart (dikutip dari Mason & McCall, 1999)
Berdasarkan hasil tes ketajaman penglihatan dengan Snellen Chart, Organisasi Kesehatan Dunia
/ WHO (Mason & McCall, 1999) mengklasifikasikan penglihatan orang sebagai ”normal”, ”low
Vision”, atau ”blind” seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1: Klasifikasi Ketajaman Penglihatan menurut WHO
Ketajaman Penglihatan -- Klasifikasi WHO:
6/6 hingga 6/18 = Normal vision (penglihatan normal).
<6/18 hingga >3/60 (kurang dari 6/18 tetapi lebih baik atau sama dengan 3/60) = Low vision
(kurang awas).
<3/60 = Blind (buta).
Berdasarkan klasifikasi di atas, seseorang dikatakan tunanetra apabila ketajaman penglihatannya
kurang dari 6/18. Ini berarti bahwa tingkat sisa penglihatan orang tunanetra itu berkisar dari 0
(buta total) hingga <6/18. Ini juga berarti bahwa orang yang dikategorikan sebagai buta (blind)
itu tidak hanya mereka yang buta total melainkan juga mereka yang masih mempunyai sedikit
sisa penglihatan (<3/60).
Akan tetapi, tidak semua negara menggunakan definisi tunanetra menurut WHO itu. Satu definisi
lain yang banyak dipakai sebagai acuan adalah definisi menurut hukum Amerika Serikat.
Seseorang dikatakan ”legally blind” menurut undang-undang Amerika Serikat apabila
penglihatan pada mata terbaiknya, setelah menggunakan lensa korektif, adalah 20/200 atau
kurang, dengan medan pandang 20 derajat atau kurang (Jernigan, 1994).
20/200 artinya testee hanya mampu membaca huruf-huruf tertentu pada Snellen Chart dari jarak
20 feet, sedangkan orang dengan penglihatan normal mampu membacanya dari jarak 200 feet.
Sementara WHO menggunakan meter sebagai satuan ukuran jarak dari testee ke Snellen Chart,
Amerika Serikat menggunakan feet sebagai satuan ukuran. 200 feet kira-kira sama dengan 60
meter.
Medan pandang (visual field) adalah luasnya wilayah yang dapat dilihat orang tanpa
menggerakkan matanya. (Dalam beberapa literatur, visual field diterjemahkan sebagai ”lantang
pandang”). Mata dengan penglihatan normal mempunyai medan pandang 180 derajat. Ini berarti
jika anda merentangkan kedua belah lengan anda ke kiri dan kanan sementara anda melihat ke
depan, anda akan dapat melihat tangan kiri dan tangan kanan anda tanpa harus menoleh. Orang
yang medan pandangnya sangat sempit ibarat melihat melalui sebuah cerobong; dia harus
menolehkan wajahnya ke kiri dan kanan untuk dapat melihat lebih banyak.
2. Definisi Edukasional/Fungsional
Dua orang yang mempunyai tingkat ketajaman penglihatan yang sama dan bidang pandang yang
sama belum tentu menunjukkan keberfungsian yang sama. Pengalaman telah menunjukkan
bahwa pengetahuan tentang ketajaman penglihatan saja tidak cukup untuk memprediksikan
bagaimana orang akan berfungsi – baik secara penglihatannya maupun pada umumnya.
Pengetahuan tersebut juga tidak cukup mengungkapkan tentang bagaimana orang akan
menggunakan penglihatannya yang mungkin masih tersisa. Bila seseorang masih memiliki sisa
penglihatan, betapapun kecilnya, akan penting bagi orang tersebut untuk belajar
mempergunakannya. Hal tersebut biasanya akan mempermudah baginya untuk mengembangkan
kemandirian dan pada gilirannya akan membantu meningkatkan kualitas kehidupannya.
Definisi legal biasanya juga tidak memadai untuk menunjukkan apakah seseorang akan mampu
membaca tulisan cetak atau apakah dia perlu belajar Braille, mempergunakan rekaman audio
(buku, surat kabar, artikel dll.) atau kombinasi media-media tersebut. Merupakan hal yang
penting bahwa definisi seyogyanya memberikan indikasi yang fungsional. Dengan kata lain,
definisi seyogyanya membantu kita memahami bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan
orang yang bersangkutan.
Definisi edukasional mengenai ketunanetraan lebih dapat memenuhi persyaratan tersebut
daripada definisi legal, dan oleh karenanya dapat menunjukkan:
- Metode membaca dan metode pembelajaran membaca yang mana yang sebaiknya
dipergunakan;
- Alat bantu serta bahan ajar yang sebaiknya dipergunakan;
- Kebutuhan yang berkaitan dengan orientasi dan mobilitas.
Secara edukasional, seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya dia
memerlukan alat bantu khusus, metode khusus atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat
belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas.
Berdasarkan cara pembelajarannya, ketunanetraan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu
buta (blind) atau tunanetra berat dan kurang awas (low vision) atau tunanetra ringan.
Seseorang dikatakan tunanetra berat (blind) apabila dia sama sekali tidak memiliki penglihatan
atau hanya memiliki persepsi cahaya, sehingga untuk keperluan belajarnya dia harus
menggunakan indera-indera non-penglihatan. Misalnya, untuk membaca dia mengunakan tulisan
Braille yang dibaca melalui ujung-ujung jari, atau rekaman audio yang ”dibaca” melalui
pendengaran.
Seseorang dikatakan tunanetra ringan (low vision) apabila setelah dikoreksi penglihatannya
masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya dapat ditingkatkan melalui penggunaan
alat-alat bantu optik dan modifikasi lingkungan. Siswa kurang awas belajar melalui penglihatan
dan indera-indera lainnya. Dia mungkin akan membaca tulisan yang diperbesar (large print)
dengan atau tanpa kaca pembesar, tetapi dia juga akan terbantu apabila belajar Braille atau
menggunakan rekaman audio. Keberfungsian penglihatannya akan tergantung pada faktor-faktor
seperti pencahayaan, alat bantu optik yang dipergunakannya, tugas yang dihadapinya, dan
karakteristik pribadinya.
Secara lebih luas, Jernigan (1994) mendefinisikan ketunanetraan berdasarkan keberfungsian
dalam kehidupan sehari-hari. Dia menulis, “One is blind to the extent that he must devise
alternative techniques to do efficiently those things which he would do with sight if he had
normal vision. An individual may properly be said to be "blind" or a "blind person" when he has
to devise so many alternative techniques-that is, if he is to function efficiently-that his pattern of
daily living is substantially altered”.
Jadi, menurut Jernigan, seorang individu dapat dikatakan tunanetra apabila dia harus
menggunakan begitu banyak teknik alternative untuk melakukan secara efektif hal-hal yang
normalnya dilakukan menggunakan penglihatan agar dia dapat berfungsi dalam kehidupan
sehari-hari secara efisien, sehingga pola kehidupannya pun menjadi sangat berubah.
Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang
memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu
kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Teknik-teknik alternatif itu
diperlukannya dalam berbagai bidang kegiatan seperti dalam membaca dan menulis, bepergian,
menggunakan komputer, menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang teknologi diperlukan
untuk membantu menciptakan teknik-teknik alternatif tersebut.
Definisi edukasional, meskipun tidak sempurna, namun dapat memberikan pandangan yang lebih
holistik (menyeluruh) mengenai kebutuhan anak serta orang dewasa penyandang ketunanetraan,
baik tunanetra sejak lahir maupun yang ketunanetraannya didapat setelah kelahiran.
Patut dicatat bahwa Willis, tahun 1976, (Hallahan dan Kaufman, 1991) menemukan bahwa
hanya 18% dari mereka yang didefinisikan sebagai buta secara legal adalah buta total dan harus
mempergunakan Braille sebagai media bacanya. Ini merupakan informasi yang penting terutama
bagi negara-negara di mana semua – atau kebanyakan – anak tunanetra hanya diajari membaca
Braille. Data WHO (2011) menunjukkan bahwa dari 284 juta orang tunanetra di seluruh dunia,
39 juta (sekitar 13,7%) di antaranya adalah tunanetra berat (blind) dan 245 juta orang (sekitar
86,3%) adalah tunanetra ringan (low vision).
Patut juga dicatat bahwa ketajaman penglihatan dan medan pandang sulit diukur bila orang
mempunyai sejumlah kondisi ketunaan. Dalam hal demikian, observasi edukasional-fungsional
mungkin merupakan satu-satunya cara untuk memahami apakah anak masih dapat melihat atau
tidak, dan, jika dapat melihat, apakah yang dapat dilihatnya itu.

Referensi
Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children Introduction to Special
Education. Virginia:Prentice hall International, Inc.
Jernigan, K., (1994). If Blindness Comes. USA: National Federation of the Blind.
Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children
and Young People. London: David Fulton Publishers
Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra Indonesia. Jakarta: Pertuni.
World Health Organization (2011). Visual impairment and blindness. (Online). Tersedia:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/. Diakses 21 April 2011.
Labels: Blindness

More Related Content

What's hot

Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...
Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...
Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...
Soal Universitas Terbuka
 
pendidikan anak tuna netra
pendidikan anak tuna netrapendidikan anak tuna netra
pendidikan anak tuna netra
endang zr
 
Modul 2 Pembelajaran Terpadu di SD
Modul 2 Pembelajaran Terpadu di SDModul 2 Pembelajaran Terpadu di SD
Modul 2 Pembelajaran Terpadu di SD
Aulin Hipgalz
 
faktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar
faktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajarfaktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar
faktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajarYuli Yanti
 
pkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdf
pkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdfpkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdf
pkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdf
yapmulyasari
 
Modul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil Belajar
Modul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil BelajarModul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil Belajar
Modul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil Belajar
Naita Novia Sari
 
MODUL 2 PDGK4202 PEMBELAJARAN IPA DI SD.pdf
MODUL 2 PDGK4202   PEMBELAJARAN IPA  DI  SD.pdfMODUL 2 PDGK4202   PEMBELAJARAN IPA  DI  SD.pdf
MODUL 2 PDGK4202 PEMBELAJARAN IPA DI SD.pdf
Tahang Flexter
 
unggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docx
unggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docxunggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docx
unggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docx
UMIZAENAB1
 
Tuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docx
Tuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docxTuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docx
Tuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docx
ZURISPINK
 
Ppt modul 6 kb 2
Ppt modul 6 kb 2Ppt modul 6 kb 2
Ppt modul 6 kb 2
PPGhybrid3
 
Format APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) Terbaru
Format APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) TerbaruFormat APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) Terbaru
Format APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) Terbaru
Akang Juve
 
pembelajaran ipa di sd
pembelajaran ipa di sdpembelajaran ipa di sd
pembelajaran ipa di sd
endang zr
 
PPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptxPPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
Arman Ahmad
 
Modul 2. Pengembangan Tes Hasil Belajar
Modul 2. Pengembangan Tes Hasil BelajarModul 2. Pengembangan Tes Hasil Belajar
Modul 2. Pengembangan Tes Hasil Belajar
Naita Novia Sari
 
Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)
Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)
Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)
Naita Novia Sari
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...
Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...
Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...
Muhammad Iqbal
 
Contoh kasus tap di sd
Contoh kasus tap di sdContoh kasus tap di sd
Contoh kasus tap di sd
Warnet Raha
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docx
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docxMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docx
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docx
Modul Guruku
 
PPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptxPPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
Arman Ahmad
 
Pendidikan ABK Modul 3.ppt
Pendidikan ABK Modul 3.pptPendidikan ABK Modul 3.ppt
Pendidikan ABK Modul 3.ppt
NurAfifah536406
 

What's hot (20)

Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...
Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...
Contoh Laporan PKP UT PGSD Matematika dan Bahasa Indonesia - Trapesium - Pema...
 
pendidikan anak tuna netra
pendidikan anak tuna netrapendidikan anak tuna netra
pendidikan anak tuna netra
 
Modul 2 Pembelajaran Terpadu di SD
Modul 2 Pembelajaran Terpadu di SDModul 2 Pembelajaran Terpadu di SD
Modul 2 Pembelajaran Terpadu di SD
 
faktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar
faktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajarfaktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar
faktor faktor yg mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar
 
pkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdf
pkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdfpkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdf
pkp 1-5 setelah perbaikan 3-dikompresi.pdf
 
Modul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil Belajar
Modul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil BelajarModul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil Belajar
Modul 4. Pengumpulan dan Pengolahan Informasi Hasil Belajar
 
MODUL 2 PDGK4202 PEMBELAJARAN IPA DI SD.pdf
MODUL 2 PDGK4202   PEMBELAJARAN IPA  DI  SD.pdfMODUL 2 PDGK4202   PEMBELAJARAN IPA  DI  SD.pdf
MODUL 2 PDGK4202 PEMBELAJARAN IPA DI SD.pdf
 
unggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docx
unggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docxunggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docx
unggah ruang kolaborasi topik 4 perlu edit.docx
 
Tuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docx
Tuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docxTuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docx
Tuton_Latihan Uji Kompetensi 3.docx
 
Ppt modul 6 kb 2
Ppt modul 6 kb 2Ppt modul 6 kb 2
Ppt modul 6 kb 2
 
Format APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) Terbaru
Format APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) TerbaruFormat APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) Terbaru
Format APKG 1 dan 2 PKP Universitas Terbuka ( UT ) Terbaru
 
pembelajaran ipa di sd
pembelajaran ipa di sdpembelajaran ipa di sd
pembelajaran ipa di sd
 
PPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptxPPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 5 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
 
Modul 2. Pengembangan Tes Hasil Belajar
Modul 2. Pengembangan Tes Hasil BelajarModul 2. Pengembangan Tes Hasil Belajar
Modul 2. Pengembangan Tes Hasil Belajar
 
Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)
Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)
Modul 5. Kualitas Alat Ukur (Instrumen)
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...
Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...
Modul Ajar Bahasa Indonesia Fase A Kelas 1 SD Materi Elemen Teks Narasi Bunyi...
 
Contoh kasus tap di sd
Contoh kasus tap di sdContoh kasus tap di sd
Contoh kasus tap di sd
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docx
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docxMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docx
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 2 BAB 4 KURIKULUM MERDEKA.docx
 
PPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptxPPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
PPT MODUL 4 PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.pptx
 
Pendidikan ABK Modul 3.ppt
Pendidikan ABK Modul 3.pptPendidikan ABK Modul 3.ppt
Pendidikan ABK Modul 3.ppt
 

Similar to `1Definisi tunanetra didi t

Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi PenglihatanPemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
pjj_kemenkes
 
Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi PenglihatanPemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
pjj_kemenkes
 
Penglihatan
PenglihatanPenglihatan
Penglihatan
intannurlia
 
Karakteristik dan pendidikan anak tuna netra
Karakteristik dan pendidikan anak tuna netraKarakteristik dan pendidikan anak tuna netra
Karakteristik dan pendidikan anak tuna netraAdiputra Chandra R
 
Modul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatan
Modul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatanModul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatan
Modul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatan
Uwes Chaeruman
 
Teori tentang low vision
Teori tentang low visionTeori tentang low vision
Teori tentang low visionpendekar ilmu
 
Pemantauan dengan skala stroke
Pemantauan dengan skala strokePemantauan dengan skala stroke
Pemantauan dengan skala stroke
Aik Noera
 
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdf
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdfPemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdf
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdf
ErviAudinaMunthe1
 
PPT Modul 4 ABK.pdf
PPT Modul 4 ABK.pdfPPT Modul 4 ABK.pdf
PPT Modul 4 ABK.pdf
Ayu Imtyas Rusdiansyah
 
INDRA PENGLIHATAN - Copy.pptx
INDRA PENGLIHATAN - Copy.pptxINDRA PENGLIHATAN - Copy.pptx
INDRA PENGLIHATAN - Copy.pptx
EffranZudeta1
 
Anak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptx
Anak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptxAnak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptx
Anak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptx
ssuser4abcb6
 
Taklimat Pendaftaran OKU
Taklimat Pendaftaran OKUTaklimat Pendaftaran OKU
Taklimat Pendaftaran OKU
Syafiq Ali
 
Kb 1 gangguan sensori persepsi halusinasi
Kb 1 gangguan sensori persepsi halusinasiKb 1 gangguan sensori persepsi halusinasi
Kb 1 gangguan sensori persepsi halusinasi
pjj_kemenkes
 
PPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan PenglihatanPPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan Penglihatan
Fernando Anrest
 
Edukasi Kelainan Refraksi dr. Loja.pptx
Edukasi  Kelainan Refraksi dr. Loja.pptxEdukasi  Kelainan Refraksi dr. Loja.pptx
Edukasi Kelainan Refraksi dr. Loja.pptx
RyanKharismaLoja
 
PPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan PenglihatanPPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan Penglihatan
Fernando Anrest
 
PPT Pend ABK.pdf
PPT Pend ABK.pdfPPT Pend ABK.pdf
PPT Pend ABK.pdf
PutriIntanAulia1
 
Layanan ABK di sekolah dasar.pptx
Layanan ABK di sekolah dasar.pptxLayanan ABK di sekolah dasar.pptx
Layanan ABK di sekolah dasar.pptx
BangkitRA
 

Similar to `1Definisi tunanetra didi t (20)

Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi PenglihatanPemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
 
Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi PenglihatanPemeriksaan Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan Fungsi Penglihatan
 
Penglihatan
PenglihatanPenglihatan
Penglihatan
 
Karakteristik dan pendidikan anak tuna netra
Karakteristik dan pendidikan anak tuna netraKarakteristik dan pendidikan anak tuna netra
Karakteristik dan pendidikan anak tuna netra
 
Modul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatan
Modul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatanModul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatan
Modul 4 kb3 pemeriksaan fungsi penglihatan
 
Teori tentang low vision
Teori tentang low visionTeori tentang low vision
Teori tentang low vision
 
Pemantauan dengan skala stroke
Pemantauan dengan skala strokePemantauan dengan skala stroke
Pemantauan dengan skala stroke
 
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdf
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdfPemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdf
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dan Uji Ischihara.pdf
 
PPT Modul 4 ABK.pdf
PPT Modul 4 ABK.pdfPPT Modul 4 ABK.pdf
PPT Modul 4 ABK.pdf
 
Konsep Dasar Tunanetra
Konsep Dasar TunanetraKonsep Dasar Tunanetra
Konsep Dasar Tunanetra
 
INDRA PENGLIHATAN - Copy.pptx
INDRA PENGLIHATAN - Copy.pptxINDRA PENGLIHATAN - Copy.pptx
INDRA PENGLIHATAN - Copy.pptx
 
Anak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptx
Anak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptxAnak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptx
Anak Dengan Hambatan Pengelihatan.pptx
 
Taklimat Pendaftaran OKU
Taklimat Pendaftaran OKUTaklimat Pendaftaran OKU
Taklimat Pendaftaran OKU
 
Kb 1 gangguan sensori persepsi halusinasi
Kb 1 gangguan sensori persepsi halusinasiKb 1 gangguan sensori persepsi halusinasi
Kb 1 gangguan sensori persepsi halusinasi
 
PPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan PenglihatanPPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 2.1 - Terminologi Anak dengan Gangguan Penglihatan
 
Edukasi Kelainan Refraksi dr. Loja.pptx
Edukasi  Kelainan Refraksi dr. Loja.pptxEdukasi  Kelainan Refraksi dr. Loja.pptx
Edukasi Kelainan Refraksi dr. Loja.pptx
 
PPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan PenglihatanPPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan Penglihatan
PPT 4 - Kesalahpahaman (Misconceptions) Anak dengan Gangguan Penglihatan
 
Acara xii
Acara xiiAcara xii
Acara xii
 
PPT Pend ABK.pdf
PPT Pend ABK.pdfPPT Pend ABK.pdf
PPT Pend ABK.pdf
 
Layanan ABK di sekolah dasar.pptx
Layanan ABK di sekolah dasar.pptxLayanan ABK di sekolah dasar.pptx
Layanan ABK di sekolah dasar.pptx
 

More from pendekar ilmu

Learningdisability
LearningdisabilityLearningdisability
Learningdisability
pendekar ilmu
 
Keterampilan membaca braille didi t
Keterampilan membaca braille didi tKeterampilan membaca braille didi t
Keterampilan membaca braille didi tpendekar ilmu
 
Artikel tunanetra trimurjoko
Artikel tunanetra trimurjokoArtikel tunanetra trimurjoko
Artikel tunanetra trimurjokopendekar ilmu
 
Resume penanganan anak autisma
Resume penanganan anak autismaResume penanganan anak autisma
Resume penanganan anak autismapendekar ilmu
 
3. printout alternatif penin latihan bagi atr
3. printout alternatif penin latihan bagi atr3. printout alternatif penin latihan bagi atr
3. printout alternatif penin latihan bagi atrpendekar ilmu
 
2. pintout pendidikan atr
2. pintout pendidikan atr2. pintout pendidikan atr
2. pintout pendidikan atr
pendekar ilmu
 
1. print out hakekat atr
1. print out hakekat atr1. print out hakekat atr
1. print out hakekat atr
pendekar ilmu
 
0. print out bahan kajian pend atr
0. print out bahan kajian pend atr0. print out bahan kajian pend atr
0. print out bahan kajian pend atr
pendekar ilmu
 
Lesson 1 writing
Lesson 1 writingLesson 1 writing
Lesson 1 writing
pendekar ilmu
 
#1 anak hiperaktif palangkaraya
#1 anak hiperaktif palangkaraya#1 anak hiperaktif palangkaraya
#1 anak hiperaktif palangkarayapendekar ilmu
 

More from pendekar ilmu (13)

Learningdisability
LearningdisabilityLearningdisability
Learningdisability
 
Keterampilan membaca braille didi t
Keterampilan membaca braille didi tKeterampilan membaca braille didi t
Keterampilan membaca braille didi t
 
Artikel tunanetra trimurjoko
Artikel tunanetra trimurjokoArtikel tunanetra trimurjoko
Artikel tunanetra trimurjoko
 
Resume penanganan anak autisma
Resume penanganan anak autismaResume penanganan anak autisma
Resume penanganan anak autisma
 
. Abb
. Abb. Abb
. Abb
 
Pediatri
PediatriPediatri
Pediatri
 
Pediatri pencegahan
Pediatri pencegahanPediatri pencegahan
Pediatri pencegahan
 
3. printout alternatif penin latihan bagi atr
3. printout alternatif penin latihan bagi atr3. printout alternatif penin latihan bagi atr
3. printout alternatif penin latihan bagi atr
 
2. pintout pendidikan atr
2. pintout pendidikan atr2. pintout pendidikan atr
2. pintout pendidikan atr
 
1. print out hakekat atr
1. print out hakekat atr1. print out hakekat atr
1. print out hakekat atr
 
0. print out bahan kajian pend atr
0. print out bahan kajian pend atr0. print out bahan kajian pend atr
0. print out bahan kajian pend atr
 
Lesson 1 writing
Lesson 1 writingLesson 1 writing
Lesson 1 writing
 
#1 anak hiperaktif palangkaraya
#1 anak hiperaktif palangkaraya#1 anak hiperaktif palangkaraya
#1 anak hiperaktif palangkaraya
 

`1Definisi tunanetra didi t

  • 1. http://www.d-tarsidi.blogspot.com/ 04 October 2011 Definisi Tunanetra Oleh Didi Tarsidi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Data yang dikeluarkan oleh WHO (2011) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 284 juta orang tunanetra di seluruh dunia. Berdasarkan hasil survei nasional tahun 1993-1996 angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 persen. Angka ini menempatkan Indonesia untuk masalah kebutaan di urutan pertama di Asia dan nomor dua di dunia setelah negara-negara di Afrika Tengah sekitar Gurun Sahara. Sebagai perbandingan, di Bangladesh angka kebutaan mencapai satu persen, di India 0,7 persen, di Thailand 0,3 persen, Jepang dan AS berkisar 0,1 sampai 03 persen. (Gsianturi, 2004. Apakah yang dimaksud dengan tunanetra itu? Persatuan Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas). Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi penglihatan seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”. Di pihak lain, ada orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12 point) setelah dibantu dengan kaca mata. Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inci memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya, pada bidang selebar 1 inci memuat 18 huruf. Tidak demikian. Orang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih dikenal dengan sebutan ”Low vision”. Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan dengan kehilangan penglihatan: 1. Definisi legal (definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan) dan 2. Definisi edukasional (definisi untuk tujuan pendidikan) atau definisi fungsional yaitu yang difokuskan pada seberapa banyak sisa penglihatan seseorang dapat bermanfaat untuk keberfungsiannya sehari-hari. 1. Definisi Legal Definisi legal terutama dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan apakah seseorang
  • 2. berhak memperoleh akses terhadap keuntungan-keuntungan tertentu sebagai mana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi tertentu, bebas bea transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu yang sesuai dengan kebutuhannya, dsb. Dalam definisi legal ini, ada dua aspek yang diukur: - Ketajaman penglihatan (visual acuity) dan - Medan pandang (visual field). Cara yang paling umum untuk mengukur ketajaman penglihatan adalah dengan menggunakan Snellen Chart yang terdiri dari huruf-huruf atau angka-angka atau gambar-gambar yang disusun berbaris-baris berdasarkan ukuran besarnya (lihat Gambar 4.1). Setiap baris huruf pada tabel Snellen ini dapat dikenali dari jarak tertentu oleh orang yang berpenglihatan normal, misalnya dari jarak 60, 36, 24, 18, 12, 9 atau 6 meter. Anak berdiri 6 meter dari tabel itu, dan jika dia dapat membaca tabel itu sejauh baris yang berisi huruf-huruf untuk jarak 6 meter, maka itu berarti bahwa ketajaman penglihatannya adalah 6/6 atau "normal". Jika dia dapat membaca hanya sejauh baris yang berisi huruf-huruf untuk jarak 24 meter, maka ketajaman penglihatannya adalah 6/24. Angka yang di atas (pembilang) selalu menunjukkan jarak dari tabel, dan angka bawah (penyebut) menunjukkan jarak mata normal dapat membaca huruf-huruf itu. Dengan kata lain, bila ketajaman penglihatan seorang anak adalah 6/24, ini berarti bahwa huruf-huruf yang dapat dibaca oleh mata normal dari jarak 24 meter hanya dapat dibaca dari jarak 6 meter oleh anak itu. Bilangan ini tidak menunjukkan pecahan dari penglihatan normal. Dan bukan sesuatu yang luar biasa jika kedua belah mata mempunyai ketajaman penglihatan yang sangat berbeda, misalnya 6/6 dan 6/24. Jika anak tidak dapat membaca baris untuk 60 meter (huruf paling atas pada tabel) dari jarak 6 meter, ini berarti bahwa penglihatannya kurang dari 6/60, dan tes dilakukan lagi dari jarak yang lebih dekat. Jika anak itu dapat membaca huruf yang di atas ini dari jarak 3 meter, maka ketajaman penglihatannya dicatat sebagai 3/60, tetapi jika dia hanya dapat membacanya dari jarak 1 meter, maka ketajaman penglihatannya adalah 1/60. Bila penglihatannya kurang dari 1/60, kadang-kadang penglihatan anak itu ditentukan berdasarkan kemampuannya untuk menghitung jari dari jarak yang berbeda-beda antara 15 cm dan 1 meter. Jika anak itu juga tidak mampu melakukannya, maka penglihatannya dapat dicatat sebagai PL, LP atau LPO, yang merupakan variasi dari "perception of light only" (hanya persepsi cahaya). Gambar 4.1: Snellen chart (dikutip dari Mason & McCall, 1999) Berdasarkan hasil tes ketajaman penglihatan dengan Snellen Chart, Organisasi Kesehatan Dunia / WHO (Mason & McCall, 1999) mengklasifikasikan penglihatan orang sebagai ”normal”, ”low Vision”, atau ”blind” seperti pada tabel berikut ini. Tabel 1: Klasifikasi Ketajaman Penglihatan menurut WHO Ketajaman Penglihatan -- Klasifikasi WHO: 6/6 hingga 6/18 = Normal vision (penglihatan normal). <6/18 hingga >3/60 (kurang dari 6/18 tetapi lebih baik atau sama dengan 3/60) = Low vision (kurang awas). <3/60 = Blind (buta).
  • 3. Berdasarkan klasifikasi di atas, seseorang dikatakan tunanetra apabila ketajaman penglihatannya kurang dari 6/18. Ini berarti bahwa tingkat sisa penglihatan orang tunanetra itu berkisar dari 0 (buta total) hingga <6/18. Ini juga berarti bahwa orang yang dikategorikan sebagai buta (blind) itu tidak hanya mereka yang buta total melainkan juga mereka yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan (<3/60). Akan tetapi, tidak semua negara menggunakan definisi tunanetra menurut WHO itu. Satu definisi lain yang banyak dipakai sebagai acuan adalah definisi menurut hukum Amerika Serikat. Seseorang dikatakan ”legally blind” menurut undang-undang Amerika Serikat apabila penglihatan pada mata terbaiknya, setelah menggunakan lensa korektif, adalah 20/200 atau kurang, dengan medan pandang 20 derajat atau kurang (Jernigan, 1994). 20/200 artinya testee hanya mampu membaca huruf-huruf tertentu pada Snellen Chart dari jarak 20 feet, sedangkan orang dengan penglihatan normal mampu membacanya dari jarak 200 feet. Sementara WHO menggunakan meter sebagai satuan ukuran jarak dari testee ke Snellen Chart, Amerika Serikat menggunakan feet sebagai satuan ukuran. 200 feet kira-kira sama dengan 60 meter. Medan pandang (visual field) adalah luasnya wilayah yang dapat dilihat orang tanpa menggerakkan matanya. (Dalam beberapa literatur, visual field diterjemahkan sebagai ”lantang pandang”). Mata dengan penglihatan normal mempunyai medan pandang 180 derajat. Ini berarti jika anda merentangkan kedua belah lengan anda ke kiri dan kanan sementara anda melihat ke depan, anda akan dapat melihat tangan kiri dan tangan kanan anda tanpa harus menoleh. Orang yang medan pandangnya sangat sempit ibarat melihat melalui sebuah cerobong; dia harus menolehkan wajahnya ke kiri dan kanan untuk dapat melihat lebih banyak. 2. Definisi Edukasional/Fungsional Dua orang yang mempunyai tingkat ketajaman penglihatan yang sama dan bidang pandang yang sama belum tentu menunjukkan keberfungsian yang sama. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pengetahuan tentang ketajaman penglihatan saja tidak cukup untuk memprediksikan bagaimana orang akan berfungsi – baik secara penglihatannya maupun pada umumnya. Pengetahuan tersebut juga tidak cukup mengungkapkan tentang bagaimana orang akan menggunakan penglihatannya yang mungkin masih tersisa. Bila seseorang masih memiliki sisa penglihatan, betapapun kecilnya, akan penting bagi orang tersebut untuk belajar mempergunakannya. Hal tersebut biasanya akan mempermudah baginya untuk mengembangkan kemandirian dan pada gilirannya akan membantu meningkatkan kualitas kehidupannya. Definisi legal biasanya juga tidak memadai untuk menunjukkan apakah seseorang akan mampu membaca tulisan cetak atau apakah dia perlu belajar Braille, mempergunakan rekaman audio (buku, surat kabar, artikel dll.) atau kombinasi media-media tersebut. Merupakan hal yang penting bahwa definisi seyogyanya memberikan indikasi yang fungsional. Dengan kata lain, definisi seyogyanya membantu kita memahami bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan orang yang bersangkutan. Definisi edukasional mengenai ketunanetraan lebih dapat memenuhi persyaratan tersebut
  • 4. daripada definisi legal, dan oleh karenanya dapat menunjukkan: - Metode membaca dan metode pembelajaran membaca yang mana yang sebaiknya dipergunakan; - Alat bantu serta bahan ajar yang sebaiknya dipergunakan; - Kebutuhan yang berkaitan dengan orientasi dan mobilitas. Secara edukasional, seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya dia memerlukan alat bantu khusus, metode khusus atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas. Berdasarkan cara pembelajarannya, ketunanetraan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu buta (blind) atau tunanetra berat dan kurang awas (low vision) atau tunanetra ringan. Seseorang dikatakan tunanetra berat (blind) apabila dia sama sekali tidak memiliki penglihatan atau hanya memiliki persepsi cahaya, sehingga untuk keperluan belajarnya dia harus menggunakan indera-indera non-penglihatan. Misalnya, untuk membaca dia mengunakan tulisan Braille yang dibaca melalui ujung-ujung jari, atau rekaman audio yang ”dibaca” melalui pendengaran. Seseorang dikatakan tunanetra ringan (low vision) apabila setelah dikoreksi penglihatannya masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya dapat ditingkatkan melalui penggunaan alat-alat bantu optik dan modifikasi lingkungan. Siswa kurang awas belajar melalui penglihatan dan indera-indera lainnya. Dia mungkin akan membaca tulisan yang diperbesar (large print) dengan atau tanpa kaca pembesar, tetapi dia juga akan terbantu apabila belajar Braille atau menggunakan rekaman audio. Keberfungsian penglihatannya akan tergantung pada faktor-faktor seperti pencahayaan, alat bantu optik yang dipergunakannya, tugas yang dihadapinya, dan karakteristik pribadinya. Secara lebih luas, Jernigan (1994) mendefinisikan ketunanetraan berdasarkan keberfungsian dalam kehidupan sehari-hari. Dia menulis, “One is blind to the extent that he must devise alternative techniques to do efficiently those things which he would do with sight if he had normal vision. An individual may properly be said to be "blind" or a "blind person" when he has to devise so many alternative techniques-that is, if he is to function efficiently-that his pattern of daily living is substantially altered”. Jadi, menurut Jernigan, seorang individu dapat dikatakan tunanetra apabila dia harus menggunakan begitu banyak teknik alternative untuk melakukan secara efektif hal-hal yang normalnya dilakukan menggunakan penglihatan agar dia dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari secara efisien, sehingga pola kehidupannya pun menjadi sangat berubah. Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Teknik-teknik alternatif itu diperlukannya dalam berbagai bidang kegiatan seperti dalam membaca dan menulis, bepergian, menggunakan komputer, menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang teknologi diperlukan untuk membantu menciptakan teknik-teknik alternatif tersebut. Definisi edukasional, meskipun tidak sempurna, namun dapat memberikan pandangan yang lebih holistik (menyeluruh) mengenai kebutuhan anak serta orang dewasa penyandang ketunanetraan, baik tunanetra sejak lahir maupun yang ketunanetraannya didapat setelah kelahiran.
  • 5. Patut dicatat bahwa Willis, tahun 1976, (Hallahan dan Kaufman, 1991) menemukan bahwa hanya 18% dari mereka yang didefinisikan sebagai buta secara legal adalah buta total dan harus mempergunakan Braille sebagai media bacanya. Ini merupakan informasi yang penting terutama bagi negara-negara di mana semua – atau kebanyakan – anak tunanetra hanya diajari membaca Braille. Data WHO (2011) menunjukkan bahwa dari 284 juta orang tunanetra di seluruh dunia, 39 juta (sekitar 13,7%) di antaranya adalah tunanetra berat (blind) dan 245 juta orang (sekitar 86,3%) adalah tunanetra ringan (low vision). Patut juga dicatat bahwa ketajaman penglihatan dan medan pandang sulit diukur bila orang mempunyai sejumlah kondisi ketunaan. Dalam hal demikian, observasi edukasional-fungsional mungkin merupakan satu-satunya cara untuk memahami apakah anak masih dapat melihat atau tidak, dan, jika dapat melihat, apakah yang dapat dilihatnya itu. Referensi Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall International, Inc. Jernigan, K., (1994). If Blindness Comes. USA: National Federation of the Blind. Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra Indonesia. Jakarta: Pertuni. World Health Organization (2011). Visual impairment and blindness. (Online). Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/. Diakses 21 April 2011. Labels: Blindness