UNIKBET Link Slot Habanero Deposit Bisa Via Bank Kaltimcsooyoung073
UNIKBET Link Slot Habanero Deposit Bisa Via Bank Kaltim
Unikbet Merupakan Situs Slot Habanero Bisa Deposit Kaltim Terbesar Di Indonesia, Terutama di kota besar seperti Samarinda,Tangerang,Bekasi,Bogor. Kami melayani Daftar Slot Habanero Pakai e-Money Kaltim, Bisa Hubungi WA: 0 8 1 3 7 0 4 4 7 1 4 6 |Atau Kunjungi Link : unikbetplay . site
Melalui Situs Unikbet kamu bisa Main Slot Habanero Deposit Kaltim Tanpa Potongan 24 Jam Terbaik Di Indonesia. Banyak game slot Habanero deposit via Kaltim sangat gacor bisa anda mainkan langsung dengan mudah dan aman.
Link Slot Habanero Deposit Pakai Kaltim Terbaik Di Indonesia
Dengan daftar slot Habanero pakai Kaltim melalui unikbet, anda bisa nikmati hadiah bonus jackpot slot Habanero terbesar. Karena slot Habanero di unikbet sangat gacor, dikarenakan game slot Habanero depo Kaltim ini memiliki rtp tertinggi. Berikut adalah link slot Habanero yang bisa deposit pakai Kaltim terbaik 2024 di indonesia:
1. Slot Tooty Fruity Fruits
2. SLOT Fruity Mayan
3. Slot Disco Beats
4. Slot Mighty Medusa
5. Slot Space Goonz
6. Slot Calaveras Explosivas
7. Slot Santa's Village
8. Slot Glam Rock
Kontak Link Situs Slot Deposit Habanero Pakai Kaltim :
Whatsapp : 0 8 1 3 7 0 4 4 7 1 4 6
Telegram : 0 8 1 3 7 0 4 4 7 1 4 6
Link : " unikbet . link / daftar " << Ketik di browser tanpa spasi!!!!
Atau Ketik Di Google langsung >> " UNIKBET " <<
Apa itu angka kecukupan gizi dan bagaimana cara perhitungannya dalam memenuhi kebutuhan gizi tergantung pda jenis kelamin dan usia dengan faktor koreksi aktivitas fisik
Materi Training Sertifikasi Halal dan Kriteria SJPH.pptx
coba
1. 16
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI PADA PASIEN
POLIKLINIK PUSKESMAS TOULUAAN KABUPATEN MINAHASA
TENGGARA
Iva Yana Kembuan* Grace Kandou** Wulan P.J. Kaunang**
*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
**Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
ABSTRAK
Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan penting
di seluruh dunia karena prevalensinya yang tinggi dan terus meningkat serta hubungannya
dengan penyakit kardiovaskuler, stroke, retinopati, dan penyakit ginjal. Hipertensi juga menjadi
faktor risiko ketiga terbesar penyebab kematian dini. Obesitas merupakan faktor resiko hipertensi
yang dapat dimodifikasi. Berdasarkan Data Riskesdas tahun 2013, prevalensi penduduk obesitas
tertinggi di Sulawesi Utara. Tujuan Penelitian ini untuk menganalisis hubungan obesitas dengan
penyakit hipertensi dan faktor-faktor risiko lain yang mempengaruhi penyakit hipertensi pada
pasien rawat jalan di poliklinik Puskesmas Touluaan Kabupaten Minahasa Tenggara.
Jenis Penelitian ini ialah survei analitik dengan desain kasus control berbasis
Puskesmas. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Touluaan Kabupaten Minahasa Tenggara.
Waktu pelaksanaannya dimulai pada bulan Desember 2015 sampai bulan April 2016. Populasi
penelitian ialah pasien yang berobat di poliklinik puskesmas Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara dengan jumlah sampel sebesar 124 responden untuk kelompok kasus dan 124 responden
untuk kelompok kontrol.
Kesimpulan dari penelitian ini jelas bahwa obesitas mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian Hipertensi di Puskesmas Touluaan Kabupaten Minahasa Tenggara.
Faktor risiko lain yang mempunyai hubungan dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Touluaan
Kabupaten Minahasa Tenggara adalah jenis kelamin, kebiasaan konsumsi alkohol dan konsumsi
lemak. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian Hipertensi di Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa Tenggara ialah kebiasaan konsumsi alkohol. Saran yang dapat
diberikan ialah pentingnya menerapkan pola hidup sehat (makanan rendah lemak), olahraga
secara teratur dan mengurangi konsumsi alkohol sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit
Hipertensi sejak dini.
Kata Kunci: Obesitas, Penyakit Hipertensi
ABSTRACT
Hypertension is one of non-communicable diseases are becoming an important health problem
throughout the world because of its prevalence is high and continues to increase and its
relationship with cardiovascular disease, stroke, retinopathy, and kidney disease. Hypertension is
also a risk factor for the third biggest cause of early death. Obesity is a risk factor for
hypertension that can be modified. Based Data Riskesdas in 2013, the highest prevalence of
obesity in the population of North Sulawesi. The purpose of this study was to analyze the
relationship of obesity with hypertension and other risk factors affecting hypertension in
outpatient polyclinic health center Touluaan Southeast Minahasa Regency.
This research type is analytic survey with case control design based health centers. This research
was conducted at the health center Touluaan Southeast Minahasa Regency. Time implementation
started in December 2015 and April 2016. The study population was patients who seek treatment
at health center clinic Touluaan Southeast Minahasa district with a sample size of 124
respondents for the case group and 124 respondents to the control group.
The conclusion from this study is clear that obesity has a significant relationship with the
incidence of hypertension in Puskesmas Touluaan Southeast Minahasa Regency. Other risk factors
that have a relationship with the incidence of hypertension in Puskesmas Touluaan Southeast
Minahasa Regency is sex, alcohol consumption habits and consumption of fat. The most dominant
factor associated with the incidence of hypertension in Puskesmas Touluaan Southeast Minahasa
Regency is the habit of alcohol consumption. Advice can be given is the importance of adopting a
healthy lifestyle (low-fat foods), exercise regularly and reduce the consumption of alcohol so as to
prevent the occurrence of hypertension early.
2. 17
Keyword: Obesity, Hypertension Illness
PENDAHULUAN
Saat ini masalah kesehatan telah bergeser
dari penyakit infeksi ke penyakit
degeneratif. Penyebabnya diduga akibat
perubahan gaya hidup, pola makan,
faktor lingkungan, kurangnya aktivitas
fisik dan faktor stress. Gaya hidup kurang
aktivitas, terlalu banyak mengonsumsi
makanan mengandung lemak dan asupan
natrium berlebih serta kurangnya asupan
serat dapat memicu penyakit degeneratif
(Waloya, 2013).
Penyakit tidak menular (PTM)
menjadi penyebab utama kematian secara
global. Data World Health Organization
(WHO) menunjukkan bahwa dari 56 juta
kematian yang terjadi di dunia pada
tahun 2012, sebanyak 38 juta atau hampir
tiga perempatnya disebabkan oleh
Penyakit Tidak Menular. PTM juga
membunuh penduduk dengan usia yang
lebih muda. Di negara-negara dengan
tingkat ekonomi rendah dan menengah,
dari seluruh kematian yang terjadi pada
orang-orang berusia kurang dari 60
tahun. Kematian karena PTM meningkat
di daerah Asia Tenggara dari 6,7 juta
kematian pada tahun 2000 menjadi 8,5
juta kematian pada tahun 2012, dan di
daerah Pasifik Barat dari 8,6 juta menjadi
10.9 juta. Proporsi penyebab kematian
PTM pada tahun 2012 adalah penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab
terbesar yaitu 46,2% (17,5 juta
kematian), diikuti kanker 21,7% (8,2 juta
kematian), sedangkan penyakit
pernafasan kronis, termasuk asma dan
penyakit paru obstruktif kronik dan PTM
yang lain bersama-sama menyebabkan
sekitar 10,7% kematian (4,0 juta
kematian), serta 4% kematian disebabkan
diabetes (1,5 juta kematian) (WHO,
2011).
Hipertensi merupakan salah satu
penyakit tidak menular yang menjadi
masalah kesehatan penting di seluruh
dunia karena prevalensinya yang tinggi
dan terus meningkat serta hubungannya
dengan penyakit kardiovaskuler, stroke,
retinopati, dan penyakit ginjal. Hipertensi
juga menjadi faktor risiko ketiga terbesar
penyebab kematian dini. The Third
National Health and Nutrition
Examination Survey mengungkapkan
bahwa hipertensi mampu meningkatkan
risiko penyakit jantung koroner sebesar
12% dan meningkatkan risiko stroke
sebesar 24%. Menurut laporan pertemuan
WHO di Jenewa tahun 2002 didapatkan
prevalensi penyakit hipertensi 15-37%
dari populasi penduduk dewasa di dunia.
Setengah dari populasi penduduk dunia
yang berusia lebih dari 60 tahun
menderita hipertensi. Angka
Proportional Mortality Rate akibat
hipertensi di seluruh dunia adalah 13%
3. 18
atau sekitar 7,1 juta kematian. Selain itu
pada tahun 2001, WHO juga melaporkan
penelitian di Bangladesh dan India
dengan hasil prevalensi hipertensi 65%
dari jumlah penduduknya, dengan
prevalensi tertinggi pada penduduk di
daerah perkotaan. Sesuai dengan data
WHO bulan September 2011, disebutkan
bahwa hipertensi menyebabkan 8 juta
kematian per tahun di seluruh dunia dan
1,5 juta kematian per tahun di wilayah
Asia Tenggara. Menurut WHO, bahwa
pada tahun 2012 sedikitnya 839 juta
kasus hipertensi dan diperkirakan pada
tahun 2025 menjadi 1,15 milyar atau
sekitar 29% dari total penduduk dunia,
penderita wanita lebih banyak (30%)
dibanding laki-laki (29%) (WHO, 2011).
Menurut JNC (Joint National
Committee) VII tahun 2003, hipertensi
ditemukan sebanyak 60-70% pada
populasi berusia di atas 65 tahun. Lansia
yang berumur di atas 80 tahun sering
mengalami hipertensi persisten, dengan
tekanan sistolik menetap di atas 160
mmHg. Jenis hipertensi yang khas sering
ditemukan pada lansia adalah isolated
systolic hypertension (ISH), di mana
tekanan sistoliknya saja yang tinggi (di
atas 140 mmHg), namun tekanan
diastolik tetap normal (di bawah 90
mmHg). Hipertensi merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang
terjadi di negara maju maupun Negara
berkembang. Pada analisis hipertensi
terbatas pada usia 15-17 tahun menurut
JNC VII 2003 didapatkan prevalensi
nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki
6,0% dan perempuan 4,7%), perdesaan
(5,6%) lebih tinggi dari perkotaan
(5,1%). Angka kejadian hipertensi di
seluruh dunia mungkin mencapai 1
milyar orang dan sekitar 7,1 juta
kematian akibat hipertensi terjadi setiap
tahunnya. Hipertensi merupakan
penyebab kematian nomor 3 setelah
stroke (15,4 %) dan tuberkulosis (7,5 %),
yakni mencapai 6,8 % dari populasi
kematian pada semua umur di Indonesia
(Depkes RI, 2008).
Berdasarkan Riskesdas tahun
2013, Prevalensi hipertensi di Indonesia
yang didapat melalui pengukuran pada
umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen,
tertinggi di Bangka Belitung (30,9%),
diikuti Kalimantan Selatan (30,8%),
Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat
(29,4%) dan Sulawesi Utara (27,1%).
Prevalensi hipertensi di Indonesia yang
didapat melalui kuesioner terdiagnosis
tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen,
yang didiagnosis tenaga kesehatan atau
sedang minum obat sebesar 9,5 persen.
Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat
sendiri. Responden yang mempunyai
tekanan darah normal tetapi sedang
minum obat hipertensi sebesar 0.7
persen. Jadi prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 26,5 persen (25,8% +
0,7 %) (Kemenkes, 2013).
4. 19
Faktor risiko hipertensi yang
tidak dapat diubah adalah umur, jenis
kelamin dan genetik. Faktor risiko
hipertensi yang dapat diubah meliputi
obesitas/kegemukan, psikososial dan
stres, merokok, olah raga yang kurang,
konsumsi alkohol berlebihan, konsumsi
garam berlebihan, hiperlipidemia/
hiperkolesterolemia. Sedangkan
penyebab sekunder hipertensi antara lain
penyakit ginjal, gangguan endokrin, dan
penggunaan obat-obatan seperti
kontrasepsi pil (Dalimartha, 2008).
Obesitas merupakan faktor resiko
hipertensi yang dapat di modifikasi.
Black dan Izzo (2008), menyatakan
bahwa dari 60% penderita hipertensi,
20% diantaranya mempunyai berat badan
berlebih. Penurunan berat badan sebesar
5% dapat menurunkan tekanan darah.
Penurunan berat badan sebesar 9,2 kg
dapat menurunkan tekanan darah baik
sistole dan diastole sebesar 6,3 dan 3,1
mmHg (Black dan Izzo, 2008).
Menurut WHO melaporkan
bahwa pada tahun 2014, sekitar 39%
orang dewasa usia 18 tahun ke atas (38%
pria dan 40% wanita) mengalami
overweight. Pada tahun 2014 prevalensi
obesitas di dunia yaitu 11% pada pria dan
15% pada wanita. Angka ini mengalami
peningkatan dua kali lipat bila
dibandingkan dengan tahun 1980 (5%
pada pria dan 8% pada wanita).
Prevalensi tertinggi masih terjadi di
Negara maju, seperti di Amerika maupun
Eropa yang mencapai 61% mengalami
overweight dan 27% obesitas. Sementara
di Negara Asia Tenggara, overweight
mencapai angka 22% dan 5% obesitas.
Menurut data WHO disemua daerah,
perempuan lebih cenderung menjadi
gemuk daripada pria (WHO, 2008)
Berdasarkan Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2013, prevalensi penduduk obesitas
terendah di provinsi Nusa tenggara Timur
(6,2%) dan tertinggi di Sulawesi Utara
(24,0%). Prevalensi obesitas pada
penduduk usia 18 tahun ke atas pada laki-
laki adalah 19,7% dan pada perempuan
adalah 32,9 %. Di Provinsi Sulawesi
Utara merupakan provinsi ke-9
(sembilan) terbanyak yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak
dan provinsi yang paling tinggi penderita
obesitas (Kemenkes, 2013).
Hipertensi masuk pada daftar 10
penyakit menonjol berdasarkan
Surveilans Terpadu Penyakit (STP)
berbasis Puskesmas di Provinsi Sulawesi
Utara dengan menempati posisi kedua
setelah influenza dengan jumlah kasus
20.202 penderita (Profil Dinkes Sulut,
2011). Hipertensi juga menempati urutan
tertinggi penyakit tidak menular dengan
tingkat kematian yang tinggi di
Kabupaten Minahasa Tenggara, dimana
Puskesmas Touluaan menempati urutan
5. 20
ke 5 di Kabupaten Minahasa Tenggara
(Profil Dinkes Mitra, 2014).
Puskesmas Touluaan terletak di
kecamatan Touluaan, Kabupaten
Minahasa Tenggara yang merupakan
daerah pegunungan dengan udara yang
sejuk, dengan penghasilan utama kelapa
dan nira. Jumlah penduduk di kecamatan
Touluaan adalah 6.399 jiwa, dengan jenis
pekerjaan paling banyak yaitu petani.
Penderita hipertensi pada tahun 2014 di
wilayah kerja Puskemas Touluaan adalah
487 kasus (Profil PKM Touluaan, 2014).
Jumlah penderita pada tahun 2015 dari
bulan Januari sampai dengan Juli adalah
310 kasus. Obesitas, aktivitas fisik,
kebiasaan makan, konsumsi alkohol dan
merokok merupakan perubahan gaya
hidup yang mungkin dapat memicu
peningkatan kasus penderita hipertensi
dari tahun ke tahun. Berkaitan dengan
latar belakang diatas, maka perlu
dilakukan penelitian apakah terdapat
hubungan antara obesitas dengan
hipertensi pada pasien yang rawat jalan
di Poliklinik umum Puskesmas Touluaan,
Kecamatan Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian merupakan penelitian
analitik dengan menggunakan desain
kasus kontrol (case control study),
pemilihan kasus (penderita hipertensi)
dan kontrol (bukan penderita hipertensi).
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara. Waktu pelaksanaan penelitian
ini dimulai pada bulan Desember 2015
sampai bulan April 2016. Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh pasien ()
poliklinik umum Puskesmas Touluaan
Kabupaten Minahasa Tenggara. Semua
pasien penderita hipertensi sebagai
populasi kasus dan semua pasien yang
tidak menderita hipertensi sebagai
populasi kontrol.
jumlah sampel minimal untuk
responden = 124 penderita untuk kasus
dan 124 penderita untuk kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan antara Obesitas dengan
Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara obesitas dengan
kejadian hipertensi di Poliklinik Umum
Puskesmas Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Hasil uji stastistika
menunjukan nilai p = 0,000 (p < 0,05)
dengan nilai OR 3,48. Hasil penelitian ini
berarti responden yang mengalami
obesitas berlebih beresiko 3,4 kali
mengalami hipertensi daripada responden
yang tidak mengalami obesitas.
Obesitas terjadi akibat
ketidakseimbangan jumlah kalori yang
masuk lewat makanan dan minuman
lebih besar dari pada jumlah kalori yang
dikeluarkan untuk tumbuh kembang,
6. 21
metabolisme maupun beraktifitas,
ketidakseimbangan itu dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain faktor
perilaku.
Obesitas berkaitan dengan
kegemaran mengkonsumsi makanan
tinggi lemak serta meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi akibat faktor lain.
Makin besar massa tubuh, makin
meningkat volume darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan
makanan ke jaringan tubuh. Lalu dinding
arteri mendapatkan tekanan yang lebih
besar. Sehinggga jantung akan bekerja
ekstra keras pula. Kemudian tekanan
darah terjadi peningkatan
Pada orang yang obesitas terjadi
peningkatan kerja pada jantung untuk
memompa darah. Berat badan berlebihan
menyebabkan bertambahnya volume
darah dan luas dan perluasan sistem
sirkulasi. Makin besar massa tubuh,
makin banyak pula suplai darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan
nutrisi ke jaringan tubuh Hal ini
mengakibatkan volume darah yang
beredar melalui pembuluh darah akan
meningkat sehingga tekanan pada
dinding arteri menjadi lebih besar.
Obesitas dapat menyebabkan
hipertensi dan penyakit kardiovaskular
melalui mekanisme pengaktifan sistem
renin-angiotensin-aldosteron,
peningkatkan aktivitas simpatis. Leptin
yang disekresikan oleh sel adipose
berikatan dengan reseptor pada
hipotalamus dan meningkatkan sodium
renal dan ekskresi air dan mengubah
substansi vasoaktif seperti nitric oxide
pada pembuluh darah.
Hipertensi dapat terjadi pada
kelompok obesitas atau kegemukan
akibat dari beberapa mekanisme seperti
peningkatan curah jantung, kenaikan
volume tubuh serta peningkatan
resistensi vaskular perifer. Selain itu,
faktor genetik dan lingkungan
(persekitaran) juga berperan penting
dalam terjadinya peningkatan tekanan
darah. Pada populasi penelitian ini
terdapat hubungan sedang antara IMT
dan hipertensi. Ini membuktikan bahwa
IMT dapat mengakibatkan hipertensi dan
langkah-langkah pencegahan harus
segera dilakukan saat remaja. Hal ini
turut dipengaruhi oleh faktor lain seperti
kebiasaan merokok, mengkonsumsi
alkohol, kurangnya olahraga, stress dan
pengaruh obat.
Obesitas juga dapat mengakibatkan
hipertensi akibat dari abnormalitas
hormon. Adiposit (sel lemak) akan
mensekresi leptin dan adiponektin.
Fungsi utama leptin adalah untuk
berinteraksi dengan hipotalamus untuk
mengkontrol berat badan dan akumulasi
lemak melalui penghambatan selera
makan dan peningkatan metabolic rate.
Bagaimanapun, peningkatan sekresi
leptin yang tinggi akibat dari obesitas
7. 22
dapat mengakibatkan resistensi terhadap
fungsi penurunan berat badan ini.
Sebaliknya, peningkatan leptin
mengakibatkan inflamasi dan aktivasi
sistem saraf simpatis serta menurunkan
sekresi ginjal dan menstimulasi hipertrofi
miosite. Adiponektin pula adalah suatu
protein yang dihasilkan oleh jaringan
adiposa tetapi akan berkurang pada
penderita obesitas. Penurunan
adiponektin dikaitkan dengan resistensi
insulin, penurunan penghasilan nitric
oxide (vasodilator), dan aktivasi sistem
renin-angintensin-aldosteron. Kedua-dua
ini akan mengakibatkan perubahan
seperti vasokonstriksi, retensi garam dan
air dan disfungsi ginjal sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan
darah pada penderita obesitas.
Penelitian yang dilakukan oleh
Sulastri, dkk (2012) pada masyarakat
Etnik Minangkabau di Kota Padang
menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara obesitas dengan
kejadian hipertensi dengan nilai p=0,049
(p<0,05) dan nilai OR= 1,82. Penelitian
yang dilakukan oleh Puspita, dkk (2013)
pada pasien yang berobat di Poliklinik
Rumah Sakit Daerah di Labuang Baji
Makasar mendapatkan bahwa perilaku
yang mempunyai hubungan dengan
terjadinya hipertensi adalah obesitas
dengan nilai p=0,039 (p<0,05) dan nilai
OR= 8,4. Penelitian yang dilakukan oleh
Handayani dan Sartika (2013)
mendapatkan bahwa Indeks Massa
Tubuh memiliki hubungan yang
signifikan dengan Hipertensi pada
pekerja perusahaan Migas X di
Kalimantan Timur.
Hubungan antara Umur dengan
Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara umur dengan
kejadian hipertensi (p = 0,381 > 0,05) di
Poliklinik Umum Puskesmas Touluaan
Kabupaten Minahasa Tenggara. Hasil
penelitian ini menunjukkan sebagian
besar responden berusia lebih dari 45
tahun. Umur dapat menyebakkan
hipertensi, setelah umur 45 tahun dinding
arteri akan mengalami penebalan oleh
karena adanya zat kologen pada lapisan
otot, sehingga pembuluh darah akan
berangsur-angsur menyempit dan
menjadi kaku sehingga menyebabkan
hipertensi.
Menurut asumsi peneliti, tidak ada
hubungan antara umur dan hipertensi
dikarenakan kepekaan terhadap
hipertensi seiring dengan bertambahnya
umur seseorang. Individu yang berumur
60 tahun ke atas, 50-60% mempunyai
tekanan darah yang lebih besar atau sama
dengan 140/90 mmHg. Hal itu
disebabkan adanya pengaruh degenerasi
yang terjadi pada orang yang bertambah
usia.
8. 23
Penelitian yang dilakukan oleh
Puspita dan Haskas (2014) mendapatkan
bahwa ada hubungan antara umur dan
kejadian hipertensi. Penelitian yang
dilakukan oleh Tjekyan (2014)
mendapatkan bahwa ada hubungan antara
umur dengan kejadian hipertensi.
Penelitian yang dilakukan oleh Wianti
(2015) mendapatkan bahwa ada
hubungan antara umur dan hipertensi.
Hubungan antara Jenis Kelamin
dengan Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian hipertensi di Poliklinik Umum
Puskesmas Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Hasil uji stastistika
menunjukan nilai p = 0,000 (p < 0,05)
dengan nilai OR 3,683. Hasil penelitian
ini berarti responden yang berjenis
kelamin laki-laki beresiko 3,6 kali
mengalami hipertensi daripada responden
perempuan.
Jenis Kelamin mempunyai pengaruh
pada terjadinya hipertensi, dimana pria
lebih banyak mengalami hipertensi
dibandingkan dengan wanita dengan
rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan
tekanan darah sistolik. Pria diduga
memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatan tekanan darah
dibandingkan wanita. Pada wanita, risiko
peningkatan tekanan darah terjadi setelah
menopause karena menurunya kadar
esterogen. Bahkan setelah usia 69 tahun,
kejadian hipertensi pada wanita lebih
tinggi dari pria. Perempuan dipengaruhi
oleh beberapa hormon termasuk hormon
estrogen yang yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL) melindungi
perempuan dari hipertensi dan
komplikasinya termasuk penebalan
dinding pembuluh darah. Pada saat masa
menopause perempuan memiliki risiko
hipertensi yang sama dengan pria
dikarenakan perubahan hormonalnya
dimana faktor protektor tidak dihasilkan
lagi juga ditunjang dengan kenaikan berat
badan (Depkes, 2006).
Penelitian ini sebanding dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tjekyan
(2014) di Kota Palembang, dimana
responden laki-laki (56%) cenderung
menderita hipertensi dari perempuan
(44%) dan mendapatkan bahwa ada
hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian hipertensi, dengan nilai p=0,018
(p<0,05) dan nilai OR= 1,39. Penelitian
yang dilakukan oleh Syahrini, dkk (2012)
mendapatkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin
dengan hipertensi. Penelitian yang
dilakukan oleh Anggara dan Prayitno
(2013) mendapatkan bahwa jenis kelamin
tidak berhubungan dengan tekanan darah
di Puskesmas Telaga Murni.
9. 24
Hubungan antara Riwayat Keluarga
dengan Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara riwayat
keluarga dengan kejadian hipertensi (p =
0,310 > 0,05) di Poliklinik Umum
Puskesmas Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Hasil penelitian ini
berarti responden yang memiliki riwayat
keluarga menderita hipertensi tidak
beresiko mengalami hipertensi.
Riwayat keluarga merupakan faktor
bawaan yang menjadi pemicu timbulnya
hipertensi, terutama hipertensi primer.
Jika dalam keluarga seseorang ada yang
hipertensi, ada 25% kemungkinan orang
tersebut terserang hipertensi. Apabila
kedua orang tua mengidap hipertensi,
kemungkinan menderita hipertensi naik
menjadi 60% (Nurkhalida, 2003).
Faktor genetik dapat menyebabkan
seseorang mengalami hipertensi, efeknya
tidak secara langsung namun melalui
tingkat sensitivitas dengan garam atau
NaCl. Berdasarkan penelitian
eksperimental, diketahui bahwa respons
tekanan darah manusia dengan garam
diturunkan secara genetik. Bahwa
seseorang bisa saja mudah mengalami
kenaikan tekanan darah bila
mengonsumsi makanan atau minuman
yang banyak mengandung garam atau
tidak sama sekali. Peran faktor genetik
terhadap timbulnya hipertensi terbukti
dengan ditemukannya kejadian bahwa
hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada
heterozigot (berbeda sel telur). Seorang
penderita yang mempunyai sifat genetik
hipertensi primer (esensial) apabila
dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi
terapi, bersama lingkungannya akan
menyebabkan hipertensinya berkembang
dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun
akan timbul tanda dan gejala (Qiu, 2003).
Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa faktor keturunan kurang memiliki
peran penting dan menjadi penentu
seberapa besar kecenderungan orang
untuk menderita hipertensi, namun bila
dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi
apapun, maka bersama lingkungannya
akan menyebabkan hipertensi hingga
menimbulkan tanda dan gejala. Sharing
exposure atau pembagian paparan dari
kebiasaan anggota keluarga lain yang
secara tidak disadari dapat mempertinggi
risiko kejadian hipertensi. Mengetahui
memiliki orang tua hipertensi sebaiknya
rutin memeriksakan tekanan darah dan
menghindari gaya hidup yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Menurut
asumsi peneliti, walaupun memiliki
riwayat keluarga menderita hipertensi
tetapi memiliki aktivitas fisik yang baik
maka gejala hiertensi akan dapat
dikurangi.
Hasil penelitian ini sebanding
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Malonda, dkk (2012), menunjukan
10. 25
bahwa tidak ada pengaruh riwayat
keluarga dengan terjadinya hipertensi,
dengan nilai p=0,254 (p>0,05).
Lingkungan keluarga dapat
mempengaruhi pola makan atau
kebiasaan makan anggota keluarga yang
satu dengan yang lain, terutama dalam
memilih menu makanan dan cara
pengolahan. Harianto dan Pratomo
(2013) mendapatkan bahwa tidak ada
hubungan antara riwayat keluarga dengan
kejadian hipertensi dengan nilai p=0,03
(p<0,05). Penelitian yang dilakukan oleh
Situmorang (2015) mendapatkan ada
hubungan antara faktor keturunan dengan
kejadian hipertensi di RSUD Sari
Mutiara, dengan nilai p=0,000 (p<0,05).
Hubungan antara Aktivitas Fisik
dengan Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara
aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi
(p = 0,241 > 0,05) di Poliklinik Umum
Puskesmas Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Hasil penelitian ini
berarti responden yang memiliki aktivitas
fisik yang baik tidak beresiko mengalami
hipertensi. Hal ini disebakan karena
sebagian besar responden memiliki
pekerjaan sebagai petani lebih banyak
melakukan kegiatan berladang atau
berkebun dalam sehari-hari. Dalam
kesehariannya masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Touluaan dapat
melakukan aktifitas fisik dengan
frekuenssi sedang > 300 menit/minggu.
Aktivitas fisik yang dilakukan
secara teratur diketahui dapat
mengurangi kekakuan pembuluh darah
dan meningkatkan daya tahan jantung
serta paru-paru sehingga mampu
menurunkan tekanan darah. Aktivitas
atau olahraga sangat mempengaruhi
terjadinya hipertensi, dimana pada orang
yang kurang aktivitas akan cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung
lebih tingi sehingga otot jantung akan
harus bekerja lebih keras pada tiap
kontraksi. Makin keras dan sering otot
jantung memompa maka makin besar
tekanan yang dibebankan pada arteri
(Andria, 2013).
Aktivitas fisik yang teratur bisa
membuat jantung kita sehat sehingga
terhindar dari hipertensi, karena penyakit
hipertensi merupakan peningkatan
tekanan darah yang memberi gejala yang
berlanjut untuk suatu target organ, seperti
strok untuk otak, penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung
dan otot jantung. Manfaat dari aktivitas
fisik maupun olahraga ialah untuk
meningkatkan kerja dan fungsi jantung,
paru dan pembuluh darah yang ditandai
dengan denyut nadi istirahat menurun,
penumpukan asam laktat berkurang,
meningkatkan HDL kolesterol,
mengurangi aterosklerosis (Cahyani,
2012).
11. 26
Aktivitas fisik sangat penting untuk
mengendalikan tekanan darah. Aktivitas
fisik yang cukup dapat membantu
menguatkan jantung. Jantung yang lebih
kuat tentu dapat memompa lebih banyak
darah dengan hanya sedikit usaha.
Semakin ringan kerja jantung, semakin
sedikit tekanan pada pembuluh darah
arteri sehingga tekanan darah akan
menurun (Ratmayati, 2013).
Hasil penelitian ini sebanding
dengan penelitian yang dilakukan
Situmorang (2015) pada penderita rawat
inap di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara
Medan, yang menyatakan bahwa tidak
ada hubungan yang berarti antara
aktivitas fisik dan kejadian hipertensi
dengan nilai p=0,263 (p>0,05). Hasil
penelitian ini berbeda dengan yang
dilakukan oleh Andria (2013)
mendapatkan bahwa ada hubungan
aktivitas olahraga dengan hipertensi pada
lansia, dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
Penelitian yang dilakukan oleh
Khomarun, dkk (2014) mendapatkan
bahwa ada pengaruh aktivitas fisik jalan
pagi terhadap penurunan tekanan darah
pada lansia. Penelitian yang dilakukan
oleh Atun, dkk (2014) mendapatkan
bahwa aktivitas fisik yang kurang dapat
menyebabkan tekanan darah tinggi,
dengan nilai p=0,035 (p<0,05) dan nilai
OR=4,69.
Hubungan antara Konsumsi Alkohol
dengan Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara konsumsi alkohol
dengan kejadian hipertensi di Poliklinik
Umum Puskesmas Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Hasil uji satistik
menunjukkan nilai p = 0,000 (< 0,05)
dengan nilai OR 5,532. Hasil penelitian
ini berarti responden yang
mengkonsumsi alkohol beresiko 5,5 kali
mengalami hipertensi.
Minuman beralkohol adalah semua
jenis minuman yang mengandung etanol,
termasuk Cap Tikus, anggur, bir, dan
saguer. Sebagian besar lansia dalam
penelitian ini mengonsumsi Cap Tikus.
Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar
alkohol rata-rata 30-40% yang dihasilkan
melalui penyulingan saguer (cairan putih
yang keluar dari mayang pohon enau).
Tinggi rendahnya kadar alkohol pada
Cap Tikus tergantung pada kualitas
penyulingan. Semakin bagus sistem
penyulingannya, semakin tinggi pula
kadar alkoholnya. Saguer sejak keluar
dari mayang pohon enau sudah
mengandung alkohol sekitar kurang dari
5% (Malonda, dkk, 2012).
Peminum alkohol harian ternyata
mempunyai tingkat tekanan darah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
peminum sekali seminggu, berapapun
jumlah total yang diminum setiap
minggunya. Umumnya petani Minahasa
12. 27
sebelum pergi ke kebun, minum 1 sloki
atau 1 gelas ukuran kecil minuman
beralkohol (Cap Tikus). Minuman ini
dikenal oleh setiap orang Minahasa
sebagai minuman penghangat tubuh,
penambah nafsu makan, dan pendorong
semangat untuk bekerja. Konsumsi
alkohol sebanyak 1-2 sloki oleh lansia
dalam penelitian ini ternyata
mempengaruhi terjadinya hipertensi.
Begitu juga dengan penelitian di Amerika
yang menyimpulkan bahwa wanita
peminum alkohol yang tergolong ringan
dan sedang potensi risiko hipertensinya
rendah, sedangkan pada pria risiko
terjadinya hipertensi lebih tinggi. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh perbedaan pola
minum, pilihan minuman, dan gaya
hidup, yang dihubungkan dengan
kebiasaan konsumsi alkohol pada pria
maupun wanita (Malonda, dkk, 2012).
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan
tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah
akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar
kortisol dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah
berperan dalam meningkatkan tekanan
darah. Orang – orang yang minum
alkohol terlalu sering atau yang terlalu
banyak memiliki tekanan darah yang
lebih tinggi daripada individu yang tidak
minum atau minum sedikit. Selain itu
teori lain adalah tekanan darah akibat
alkohol belum jelas. Namun, diduga
peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah
serta kekentalan darah berperan dalam
menaikkan tekanan darah. Beberapa studi
menunjukkan hubungan langsung antara
tekanan darah dan asupan alkohol serta
diantaranya melaporkan bahwa efek
terhadap tekanan darah baru Nampak bila
mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas
ukuran standar setiap harinya (Depkes
RI, 2006).
Beberapa laporan menunjukkan
bahwa efek alkohol dimulai dengan
jumlah yang sangat kecil. Dengan
demikian orang-orang yang tidak
meminum alkohol memiliki tekanan
darah yang rendah. Namun demikian,
beberapa laporan lainnya menunjukkan
bahwa ada ambang batas di mana
konsumsi alkohol memhubungani
tekanan darah. Dengan demikian, sekali
atau dua kali minum alkohol sehari
berkaitan dengan tekanan darah yang
semakin tinggi. Akhirnya ada beberapa
kajian yang melaporkan bahwa orang-
orang yang minum alkohol satu atau dua
kali sehari memiliki tekanan darah yang
lebih rendah daripada orang-orang yang
tidak meminum alkohol atau orang-orang
yang minum lebih banyak dari tiga kali
minum sehari.
Penelitian yang dilakukan oleh
Malonda, dkk (2012) mendapatkan
bahwa konsumsi alkohol merupakan
13. 28
faktor resiko yang mempengaruhi
terjadinya hipertensi pada lansia di Kota
Tomohon, dengan nilai p=0,006 (p<0,05)
dan nilai OR=2,792, yang berarti orang
dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol
2,7 kali beresiko terkena hipertensi.
Penelitian yang dilakukan oleh Anggara
dan Prayitno (2013) mendapatkan bahwa
konsumsi alkohol berhubungan dengan
tekanan darah dimana nilai p=0,043
(p<0,05). Penelitian yang dilakukan oleh
Situmorang (2015) mendapatkan bahwa
ada hubungan antara konsumsi alkohol
dengan kejadian hipertensi pada
penderita di Rumah Sakit Umum Sari
Mutiara Medan, dimana nilai p=0,000
(p<0,05).
Hubungan antara Merokok dengan
Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara merokok
dengan kejadian hipertensi (p = 0,368
p>0,05) di Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara. Hasil penelitian ini berarti
responden yang merokok ataupun tidak
merokok belum tentu akan mengalami
hipertensi.
Menghisap rokok menyebabkan
nikotin terserap oleh pembuluh darah
kecil dalam paru-paru dan kemudian
akan diedarkan hingga ke otak. Di otak,
nikotin akan memberikan sinyal pada
kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin
atau adrenalin yang akan menyempitkan
pembuluh darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih berat karena tekanan
darah yang lebih tinggi. Tembakau
memiliki efek cukup besar dalam
peningkatan tekanan darah karena dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh
darah. Karbon monoksida dalam asap
rokok akan menggantikan ikatan oksigen
dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan
tekanan darah meningkat karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan
oksigen yang cukup ke dalam organ dan
jaringan tubuh lainnya (Darmawan,
2008).
Kemungkinan tidak berhubungan-
nya antara kebiasaan merokok dengan
kejadian hipertensi disebabkan tidak
ditelitinya berapa jumlah rokok yang
dihisap. Selain dari lamanya merokok,
resiko merokok terbesar tergantung dari
jumlah rokok yang dihisap perhari.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Penelitian
yang dilakukan oleh Puspita dan Haskas
(2014) mendapatkan bahwa merokok
tidak berhubungan dengan kejadian
hipertensi, dimana nilai p=0,116
(p>0,05). Harianto dan Pratomo (2013)
mendapatkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara merokok dengan
hipertensi, dimana nilai p=0,234 (>0,05).
Penelitian yang dilakukan oleh Suoth,
dkk (2014) mendapatkan bahwa tidak ada
hubungan antara gaya hidup dalam hal
14. 29
merokok dengan kejadian hipertensi,
dimana nilai p=0,447 (>0,05). Penelitian
yang dilakukan oleh Tjekyan (2014)
mendapatkan kebiasaan merokok
memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian hipertensi dimana nilai
p=0,993 (p>0,05).
Hubungan antara Asupan Natrium
dengan Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara asupan
natrium dengan kejadian hipertensi (p
=0,523 > 0,05) di Poliklinik Umum
Puskesmas Touluaan Kecamatan
Touluaan. Hasil penelitian ini berarti
responden yang memiliki asupan natrium
yang berlebih belum tentu akan
mengalami hipertensi.
Hal tersebut dapat disebabkan
karena sebagian besar responden di
Poliklinik Umum Puskesmas Touluaan
dalam penelitian ini sudah jarang
mengkonsumsi makanan sumber natrium
termasuk garam berbumbu. Umumnya
para responden sudah mengetahui
perlunya membatasi konsumsi natrium.
Selain itu mereka jarang mengonsumsi
bumbu penyedap masakan seperti
Monosodium Glutamat (MSG), kecap
dan saos tomat botol. Mereka lebih sering
menggunakan bumbu alami yang
diperoleh dari hasil kebun seperti jahe,
kunyit, pala, kemangi, sereh dan bawang
putih sebagai penyedap masakan.
Natrium, jika dikonsumsi lebih
banyak akan meretensi lebih banyak air
untuk mempertahankan pengenceran
elektolit, sehingga cairan intenstin bisa
terakumulasi dan volume plasma
meningkat. Peningkatan volume plasma
dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah, terutama bila fleksibilitas
pembuluh darah menurun oleh
aterosklerosis.
Pada penderita hipertensi
pencegahan maupun perbaikan pola
makan, salah satunya dapat dilakukan
dengan mengurangi konsumsi natrium
sebanyak 1.500 mg/hari (2/3 sendok teh
sehari). Karena setiap individu memiliki
sensitivitas yang berbeda terhadap
jumlah natrium yang dikonsumsinya
didalam tubuh. Seorang lansia
mengalami penurunan sensitifitas indera
pengecapan dan perasa yang
mengakibatkan berkurangnya nafsu
makan. Hal tersebut mengakibatkan
penggunaan bumbu masak atau garam
dalam jumlah yang lebih banyak. Selain
itu, kebiasaan seseorang lansia
mengkonsumsi roti dan biskuit, akan
menambah kadar natrium yang
dikonsumsi. Semakin banyak natrium
yang dikonsumsi akan meningkatkan
volume tekanan darah.
Hasil Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Malonda,
dkk (2012), menunjukan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara asupan
15. 30
natrium dan kejadian hipertensi, dimana
nilai p=0,414 (>0,05). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Mulyati, dkk (2011)
mendapatkan bahwa ada hubungan yang
signfkan antara asupan Natrium berlebih
dengan kejadian hipertensi pada pasien
rawat jalan di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Penelitian yang
dilakukan oleh Jannah, dkk (2013)
mendapatkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara asupan natrium dengan
hipertensi pada pendarita hipertensi dan
normotensi masyarakat etnik
Minangkabau di Kota Padang. Penelitian
yang dilakukan oleh Alfiana, dkk (2014)
mendapatkan ada hubungan antara
asupan natrium dengan tekanan darah di
RS Tugurejo Semarang.
Hubungan antara Konsumsi Lemak
dengan Kejadian Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara konsumsi lemak dengan
kejadian hipertensi di Poliklinik Umum
Puskesmas Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Hasil uji stastistika
menunjukan nilai p = 0,000 (p < 0,05)
dengan nilai OR 3,741. Hasil penelitian
ini berarti responden yang
mengkonsumsi lemak yang berlebih
beresiko 3,7 kali mengalami hipertensi
daripada responden yang tidak
mengkonsumsi lemak. Hal ini disebabkan
karena kebudayaan makan masyarakat di
Kabupaten Minahasa Tenggara,
khususnnya pada masyarakat di
Kecamatan Touluaan sering
mengonsumsi makanan yang berlemak
seperti daging babi, daging anjing/RW,
daging tikus dan makanan yang digoreng
dengan frekuensi makan daging 3-4 kali
perbulan dan makanan yang digoreng 2
kali perhari.
Konsumsi lemak yang berlebihan
dapat menimbulkan risiko hipertensi
karena akan meningkatkan kadar
kolesterol dalam darah. Kolesterol
tersebut akan melekat pada dinding
pembuluh darah yang lama-kelamaan
pembuluh darah akan tersumbat
diakibatkan adanya plaque dalam darah
yang disebut dengan aterosklerosis.
Plaque yang terbentuk akan
mengakibatkan aliran darah menyempit
sehingga volume darah dan tekanan
darah akan meningkat.
Asupan lemak dapat meningkatkan
kadar tekan darah diastolik dan sislotik.
Hal ini disebabkan, kebiasaan
mengkonsumsi lemak terutama lemak
jenuh sangat erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan yang dapat
berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi
lemak jenuh juga dapat meningkatkan
risiko aterosklerosis yang berkaitannya
dengan tekanan darah. Penurunan
konsumsi lemak jenuh, terutama lemak
dalam makanan yang bersumber dari
hewan dan peningkatan konsumsi asam
lemak tidak jenuh secukupnya yang
16. 31
berasal dari minyak sayuran, biji-bijian
dan makanan yang lain yang bersumber
dapat menurunkan tekanan darah
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Manawan,
dkk (2016) mendapatkan bahwa ada
hubungan antara asupan lemak dengan
kejadian hipertensi di Desa Tandengan
Satu Kecamatan Eris, dengan niali
p=0,000 (p<0,05). Penelitian yang
dilakukan oleh Mardani, dkk (2011)
mendapatkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara kebiasaan
mengkonsumsi lemak dengan tekanan
darah, dimana nilai p=0,034 (p<0,05)
dengan nilai OR=4,9. Penelitian yang
dilakukan oleh Syahrini, dkk (2012)
mendapatkan ada hubungan antara
konsumsi lemak dengan hipertensi di
Puskesmas Telogosari Kulon Kota
Semarang.
Variabel yang Paling Dominan
Berhubungan dengan Hipertensi pada
pasien yang Rawat Jalan di Poliklinik
Umum Puskesmas Touluaan
Kabupaten Minahasa Tenggara
Dari model akhir regresi sehingga
diperoleh hasil yaitu konsumsi alkohol
yang berlebih berisiko 5,7 kali terkena
hipertensi dibandingkan dengan
responden dengan aktivitas fisik yang
kurang baik dan konsumsi lemak
berlebih. Hipertensi primer tidak
disebabkan oleh faktor tunggal dan
khusus, tetapi disebabkan berbagai faktor
yang saling berkaitan. Risiko relatif
hipertensi tergantung pada jumlah dan
keparahan dari faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak
dapat dimodifikasi antara lain faktor
genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis,
sedangkan faktor yang dapat
dimodifikasi meliputi stres, obesitas,
nutrisi dan gaya hidup.
Konsumsi alkohol merupakan gaya
hidup modern yang cenderung dilakoni
oleh remaja dan dewasa muda serta
kalangan eksekutif di daerah perkotaan.
Lansia dalam penelitian ini sebagian
besar telah mengonsumsi alkohol selama
lebih dari 30 tahun atau sejak berusia
muda. Lamanya mengonsumsi alkohol
juga berpengaruh sebagai faktor risiko
terjadinya hipertensi. Pola penggunaan
alkohol pada lansia juga bervariasi, lansia
yang mulai menggunakan alkohol secara
berlebihan sejak masa dewasa muda
menunjukkan ketergantungan alkohol.
Penggunaan alkohol secara kronis
meningkatkan tekanan darah dan
pengaruhnya lebih banyak pada tekanan
sistolik. Demikian juga dengan lansia
yang mengonsumsi alkohol kurang dari
10 tahun dapat berisiko mengalami
hipertensi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sejumlah subjek
mulai mengonsumsi alkohol di saat
memasuki usia lanjut atau pra lansia.
17. 32
Alasan lansia yang baru mengonsumsi
alkohol di akhir hidupnya yaitu sebagai
respons terhadap peristiwa-peristiwa
hidup seperti rasa berduka, kesehatan
memburuk, atau kesepian.
Pola konsumsi alkohol dalam penelitian
ini menunjukkan adanya risiko terhadap
kejadian hipertensi. Hal ini diduga karena
lansia yang termasuk dalam kelompok ini
sebagian besar alkohol rata-rata 1 sloki
sekali seminggu atau lebih dari itu.
Lansia peminum alkohol yang tergolong
ringan dan sedang, risiko hipertensinya
lebih rendah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan, maka kesimpulan dari
penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan antara obesitas
dengan kejadian hipertensi di
Puskesmas Touluaan Kabupaten
Minahasa Tenggara.
2. Tidak ada hubungan antara umur
dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
3. Terdapat hubungan antara jenis
kelamin dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
4. Tidak ada hubungan antara riwayat
keluarga dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
5. Tidak ada hubungan antara aktivitas
fisik dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
6. Ada hubungan antara konsumsi
alkohol dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
7. Tidak ada hubungan antara merokok
dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
8. Tidak ada hubungan antara asupan
natriu dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
9. Ada hubungan antara konsumsi lemak
dengan kejadian hipertensi di
Poliklinik Umum Puskesmas
Touluaan Kabupaten Minahasa
Tenggara.
SARAN
Saran yang bisa diberikan adalah:
1. Bagi Puskesmas perlunya peningkatan
serta program promosi kesehatan
untuk meningkatkan pengetahuan
penderita hipertensi tentang hipertensi
18. 33
agar menerapkan pola hidup sehat
dengan mengkonsumsi makanan
rendah lemak. olahraga secara teratur
dan mengurangi konsumsi alkohol
sehingga dapat mencegah terjadinya
penyakit Hipertensi sejak dini.
2. Bagi penderita perlunya melakukan
pemeriksaan tekanan darah,
pengobatan secara rutin dan menjalani
pola hidup sehat serta menghindari
faktor resiko lain untuk mencegah
timbulnya komplikasi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiana, N., S. Bintanah, dan H. S.
Kusuma. 2014. Hubungan Asupan
Kalsium dan Natrium terhadap
Tekanan Darah Sistolik pada
Penderita Hipertensi Rawat Inap di
RS Tugurejo Semarang. Jurnal
Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang 3 (1): 8-15.
Andria, K. M. 2013. Hubungan antara
Perilaku Olahraga, Stres dan Pola
Makan dengan Tingkat Hipertensi
pada Lanjut Usia di Posyandu
Lansia Kelurahan Gebang Putih
Kecamatan Sukolilo Kota
Surabaya. Jurnal Promkes 1 (2):
111-117.
Anggara, H. D, dan N. Prayitno. 2013.
Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Tekanan Darah di
Puskesmas Telaga Murni Cikarang
Barat tahun 2012. Jurnal Ilmiah
Kesehatan 5 (1): 20-25
------------. 2008. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2008.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
------------. 2012. Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Sulut Tahun 2011.
Manado.
------------. 2013a. Riset Kesehatan Dasar
Propinsi Sulawesi Utara . Manado.
------------.2013b. Riset Kesehatan Dasar
Indonesia (RISKESDAS) 2013.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
Atun, L., T. Siswati, dan W. Kurdanti.
2014. Asupan Sumber Natrium,
Rasio Kalium Natrium, Aktivitas
Fisik dan Tekanan Darah Pasien
Hipertensi. MGMI 6 (1): 63-71.
Black, H. R., J. L. Izzo., Sica, and A.
Domenic. 2008. Primary
Hypertension : The essentials of
blood high pressure, basic science,
population and clinical
management. 4th Edition.
Lippincott Williams and Willkins.
USA.
Dalimartha., Purnama., Sutarina.,
Mahendra, dan Darmawan. 2008.
Care your self : Hipertensi.
Penebar Plus. Jakarta
Handayani, Y. N, dan R. A. D. Sartika.
2013. Hipertensi pada Pekerja
Perusahaan Migas X di
19. 34
Kalimantan Timur Indonesia.
Makalah Seri Kesehatan 17 (7):26-
32.
Harianto. E, dan H. Pratomo. 2013.
Pajanan Kebisingan dan Hipertensi
di Kalangan Pekerja Pelabuhan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional 8(5): 215-222.
Jannah, M., D. Sulastri, dan Y. Lestari.
2013. Perbedaan Asupan Natrium
dan Kalium pada Penderita
Hipertensi dan Normotensi
Masyarakat Etnik Minangkabau di
Kota Padang. Jurnal Kesehatan
Anadalas 2 (3):132-236.
Khomarun., M. A. Nugroho, dan E. S.
Wahyuni. 2014. Pengaruh
Aktivitas Fisik Jalan Pagi terhadap
Penurunan Tekanan Darah pada
Lansia dengan Hipertensi Stadium
I di Posyandu Lansia Desa Makam
Haji. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan 3 (2): 166-171.
Malonda, N. S. H., L. K. Dinarti, dan R.
Pangastuti. 2012. Pola Makan dan
Konsumsi Alkohol sebagai Faktor
Resiko Hipertensi pada Lansia.
Jurnal Gizi Klinik Indonesia 8 (4):
202-212.
Mardani, S., T. Gustina., H. Dewanto,
dan Y. Priwahyuni. 2011.
Hubungan antara Indeks Massa
Tubuh (IMT) dan Kebiasaan
Mengkonsumsi Lemak dengan
Tekanan Darah. Jurnal Kesehatan
Komunitas 1 (3): 129-135.
Mulyati, H. A. Syam, dan S. Sirajuddin.
2011. Hubungan Pola Konsumsi
Natrium dan Kalium serta
Aktivitas Fisi dengan Kejadian
Hipertensi pada Pasien Rawat
Jalan di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Media
Gizi Masyarakat Indonesia 1 (1):
46-51.
Nurkhalida. 2003. Warta Kesehatan
Masyarakat. Departemen
Kesesehatan RI. Jakarta.
Situmorang, P. R. 2015. Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan
Kejadian Hipertensi pada
Penderita Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum Sari Mutiara Medan
Tahun 2014. Jurnal Ilmiah
Keperawatan 1 (1): 67-72.
Sulastri, D., Elmatris, dan R. Ramadhani.
2012. Hubungan Obesitas dengan
Kejadian Hipertensi pada
Masyarakat Etnik Minangkabau di
Kota Padang. Majalah Kedokteran
Andalas 36 (2): 188-201.
Suoth, M., H. Bidjuni dan R. T. Malara.
2014. Hubungan Gaya Hidup
dengan Kejadian Hipertensi di
Puskesmas Kolongan Kecamatan
Kalawat Kabupaten Minahasa
Utara. Jurnal Keperawatan 2 (1):
1-10.
20. 35
Syahrini, E. N., H. S. Susanto, dan A.
Udiyono. 2012. Faktor-faktor
Resiko Hipertensi Primer di
Puskesmas Telogosari Kulon Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 1 (2): 315-325.
Tjekyan, R. M. S. 2014. Angka Kejadian
dan Faktor Resiko Hipertensi di
Kota Palembang tahun 2013. MKS
46 (1): 1-11.
Waloya T., Rimbawan dan N.
Andarwulan. 2013 Hubungan
Antara Konsumsi Pangan dan
Aktifitas Fisik Dengan Kadar
Kolesterol Darah Pria dan Wanita
Dewasa di Bogor. Tesis.
Pascasarjana Universitas
Indonesia. Jakarta.
WHO. 2014a. Global status Report on
Noncommunicable Disease 2014.
WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data. Geneva.
WHO. 2014b. Global status Report on
Alcohol and Health 2014. WHO
Library Cataloguing-in-Publication
Data. Geneva.
WHO. 2011. Regional Office for South-
East Asia. Department of
Sustainable Development and
Healthy Environments. Non
Communicable Disease :
Hypertension (online)
(http://www.searo.who.int) diakses
22 Oktober 2015.
WHO. 2008. Waist Circumference And
Waist-Hip Ratio. Report of a WHO
Expert Consultation, Geneva.
Wianti, A. 2015. Faktor-faktor Individu
yang Berhubungan dengan
Hipertensi di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Cigasong Kabupaten
Majalengkan Tahun 2015. Jurnal
Kampsu STIKES YPIB. 3 (8) : 1-1