1. BAB II
BENTUK-BENTUK KEJAHATAN EKONOMI
LINTAS BATAS NEGARA
A. Suatu Tinjauan Tentang Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Dalam pengertian umum dan luas, perjanjian internasional yang dalam
bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah
“Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu
obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum
atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional”.6
1. Dalam defenisi tersebut semua obyek hukum internasional dapat dipandang
mengadakan perjanjian internasional. Padahal dalam kenyataannya, tidaklah
semua subyek hukum internasional dapat berkedudukan sebagai pihak dalam
perjanjian internasional. Atau tidak semua subyek hukum internasional itu
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional dijelaskan “Perjanjian internasional adalah perjanjian
dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik”.
Pengertian ini masih nampak umum dan luas, antara lain dapat ditunjukkan
pada :
6
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1983, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
2. dapat mengadakan perjanjian internasional. Hingga kini, hanya negara,
tahta suci, dan organisasi internasional (tidak semaunya), kaum beligerensi,
bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, yang dapat berkedudukan
sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional.
2. Defenisi tersebut di samping mencakup perjanjian internasional tertulis
juga mencakup perjanjian internasional yang berbentuk tidak tertulis,
yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda, meskipun sama-sama
merupakan perjanjian internasional.
Oleh karena luasnya ruang lingkup perjanjian internasional menurut
pengertian di atas, maka kiranya pengertian ini hanya dapat dipakai sebagai
pedoman awal dalam pembahasan secara mendalam tentang perjanjian
internasional dan hukum perjanjian internasional. Dengan kata lain, pengertian
perjanjian yang sangat umum dan luas ini berguna sebagai titik tolak untuk
mengklarifikasikan perjanjian internasional dengan mempersempit ruang
lingkupnya, baik ruang lingkup subyek hukumnya maupun ruang lingkup
bentuknya. Dengan demikian dapat diharapkan kejelasan dari ruang lingkupnya
yang secara substansial diatur oleh hukum perjanjian internasional.
Traktat-traktat mewakili sumber material yang penting dari hukum
internasional. Nilai pentingnya tersebut semakin bertambah. Pengaruh dari
suatu traktat dalam memberi arahan kepada pembentukan kaidah-kaidah
hukum internasional bergantung pada sifat hakikat traktat yang bersangkutan.
Dalam kaitan ini perlu kiranya untuk membuat perbedaan meskipun tidak bersifat
kaku antara lain :
Universitas Sumatera Utara
3. a. Traktat-traktat yang membuat hukum (law making) yang menetapkan
kaidah-kaidah yang berlaku secara universal dan umum.
b. Traktat-traktat kontrak (treaty contracts) misalnya suatu traktat antara dua
atau hanya beberapa negara yang berkenaan dengan suatu pokok
permasalahan khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara
ini.7
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam Syahmin :
Traktat atau perjanjian internasional ialah perjanjian yang diadakan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan
akibat hukum tertentu. Karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian
internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum
internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.8
2. Unsur-unsur Perjanjian Internasional
Dalam pengertian tersebut di atas nampak dengan jelas bahwa yang
dapat mengadakan (sebagai subjek) perjanjian internasional tidak terbatas pada
negara saja, melainkan juga pada subjek-subjek hukum internasional lainnya,
seperti organisasi internasional, tahta suci, dan palang merah internasional.
Berdasarkan pengertian tentang perjanjian internasional yang sebelumnya
diuraikan maka dapat dikatakan bahwa unsur atau kualifikasi yang harus
terpenuhi suatu perjanjian internasional yaitu :
a. Kata sepakat
b. Subyek hukum
c. Bentuk tertulis
d. Obyek tertentu
7
Ibid
8
Ibid
Universitas Sumatera Utara
4. e. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional.9
Akan tetapi mengingat hukum perjanjian internasional yang mengatur
perjanjian antar negara berbeda atau diatur dalam bentuk yang berbeda dengan
perjanjian antara negara dan organisasi internasional atau perjanjian antara
organisasi internasional dan organisasi internasional, akan lebih baik lagi jika
pengertian perjanjian internasional tersebut di atas dibedakan lagi menjadi dua
macam, yaitu :
1. Perjanjian internasional antara negara dan negara, yaitu sebagaimana
ditegaskan di dalam Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969.
2. Perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta antara
organisasi internasional dan organisasi internasional.
Kedua macam pengertian perjanjian internasional tersebut mengandung
unsur atau kualifikasi yang sama seperti kualifikasi perjanjian internasional
sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hanya saja sesuai dengan masing-masing
namanya, ruang lingkupnya menjadi lebih sempit. Dikatakan bahwa kedua
pengertian perjanjian internasional itu merupakan pemisahan dari pengertian
perjanjian internasional berdasarkan pada subyek-subyek hukum yang dapat
membuat ataupun dapat terikat pada suatu perjanjian.
3. Kejahatan Ekonomi
Kejahatan ekonomi dalam penelitian ini adalah kejahatan white colar crime.
White colar crime sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
9
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002,
hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
5. kejahatan kerah putih10
ataupun kejahatan berdasi. White colar crime ini pertama
dikemukakan dan dikembangkan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat
(1883-1950) di awal dekade 1940-an yang selalu dikenang dan saat itulah pertama
kali muncul konsep white colar crime, yaitu pidatonya tanggal 27 Desember 1939
pada The American Sociological Society di Philadelphia dalam tahun 1939.11
1. Motif mencari keuntungan finansial
Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul white colar crime dalam
tahun 1949.
Berbeda dengan kejahatan konvensional yang melibatkan para pelaku
kejahatan jalanan terhadap white colar crime pihak yang terlibat adalah mereka
yang merupakan orang-orang yang terpandang dalam masyarakat dan biasanya
berpendidikan tinggi. Bahkan, modus operandi untuk white colar crime ini sering
kali pula dilakukan dengan cara-cara yang canggih, malahan bercampur baur
dengan teori-teori dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti akunting dan statistik.
Oleh karena itu, meskipun ada perminan patgulipat, dari permukaannya seolah-olah
perbuatan yang sebenarnya merupakan white colar crime dan kelihatannya
merupakan perbuatan biasa yang legal. Sehingga, jika diukur dari canggihnya
modus operandi, dilihat dari kelas orang yang terlibat, atau dilihat dari besarnya
dana yang dijarah, perbuatan white colar crime jelas merupakan kejahatan kelas
tinggi, yang sebenarnya dilatar belakangi oleh prinsip yang keliru.
Biasanya suatu white colar crime dilakukan untuk salah satu dari dua
motif berikut ini :
10
11
J. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung, 1994, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
6. 2. Motif mendapat jabatan pemerintahan.12
Dari data yang ada tentang white colar crime dapat dikatakan
bahwa :
1. Kumulasi dari kejahatan yang tergolong kejahatan white colar crime jauh lebih
besar jumlah uang terlibat daripada kejahatan biasa. Bisa sampai 10 (sepuluh)
kali lebih besar.
2. Hukuman penjara kepada penjahat biasa jauh lebih sering ketimbang hukuman
penjara terhadap pelaku white colar crime yang lain.
3. Hukuman penjara bagi penjahat konvensional jauh lebih berat ketimbang
hukuman penjara bagi pelaku kejahatan kerah putih.
J.E. Sahetapy mengelompokkan kejahatan jabatan (Occupational crime)
ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Organizational Occupational Crime, yaitu kejahatan untuk kepentingan organisasi
dimana dia bekerja
2. State Authority Occupational Crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh
pegawai pemerintah dalam kedudukan jabatan itu
3. Proffesional Occupational Crime, yaitu yang merupakan kejahatan yang
dilakukan oleh kaum profesional dalam kapasitasnya sebagai para profesional
4. Individual occupational crime, yaitu yang merupakan kejahatan yang dilakukan
oleh individu selaku individu.13
B. Bentuk-bentuk Kejahatan Ekonomi Lintas Batas Negara
Ekstradisi sudah merupakan suatu lembaga hukum yang dalam
prakteknya telah memiliki kemapanan. Kemapanan kedudukan lembaga ekstradisi
semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan
jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya
12
Munir Fuadi, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hal. 3.
13
J.E. Sahetapy, Op.Cit, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
7. dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. Dalam konvensi-konvensi
tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan
sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri. Konvensi-konvensi
internasional yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional
misalnya :
1. Kejahatan perbudakan yang diatur dalam Slavery Convention 1926,
beserta dengan protokol-protokolnya.
2. Kejahatan pemberantasan perdagangan orang dan eksploitasi atas prostitusi
yang diatur dalam Convention for the suppression of the traffic in persons and
of the exploitation of the prostitution of others, 1949.
3. Kejahatan genoside, yang diatur dalam Convention of the prevention and
punishment of the crime of genoside, 1948.
4. Kejahatan penerbangan, seperti diatur dalam tiga konvensi yaitu :
a. Convention on offences and certain other acts committed on board aircraft
(Tokyo Convention, 1963).
b. Convention for the suppression of unlawful seizure of aircraft (The Haque
Convention¸1970), dan
c. Convention for the suppression of unlawful acts against the safety of civil
aviation (Montreal Convention, 1971).
5. Kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara internasional, seperti
diatur dalam Convention on the prevention and punishment of crimes againts
internationally protected persons, Including diplomatic agensts, 1973.
6. Convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment
of punishment, 1987
7. Dan lain-lain.14
Selain bentuk-bentuk kejahatan sebagaimana yang disebutkan di atas
maka dalam perkembangan dewasa ini maka selain mengatur kejahatan-kejahatan
sebagaimana dijelaskan di atas, maka ada lagi bentuk-bentuk kejahatan yang
berdimensi ekonomi lintas batas negara.
Sebagai suatu negara yang berkembang perihal perjanjian ekstradisi
khususnya dalam bidang kejahatan ekonomi lintas batas negara amatlah penting
bagi Indonesia. Dalam kajian ini yang dimaksudkan dengan kejahatan ekonomi
14
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya,
Bandung, 2003, hal. 134-135.
Universitas Sumatera Utara
8. antar negara adalah kejahatan ekonomi yang unsur-unsur kejahatannya tidak
hanya berada di suatu negara.
Kejahatan ekonomi tersebut meliputi antara lain :
a. Penyeludupan (smuggling)
b. Kejahatan di bidang perbankan (banking crime)
c. Kejahatan di bidang perniagaan (commercial crime)
d. Kejahatan computer (computer crime)
e. Kejahatan yang berkenaan dengan hukum lingkungan
f. Kejahatan di bidang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)
g. Kecurangan di bidang kepabeanan (Custom fraude).15
Kejahatan ekonomi dalam penelitian ini adalah kejahatan white colar crime.
White colar crime sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
Kejahatan kerah putih16
ataupun kejahatan berdasi. White colar crime ini pertama
dikemukakan dan dikembangkan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat
(1883-1950) di awal dekade 1940-an yang selalu dikenang dan saat itulah pertama
kali muncul konsep white colar crime, yaitu pidatonya tanggal 27 Desember 1939
pada The American Sociological Society di Philadelphia dalam tahun 1939.17
Berbeda dengan kejahatan konvensional yang melibatkan para pelaku
kejahatan jalanan terhadap white colar crime pihak yang terlibat adalah mereka
yang merupakan orang-orang yang terpandang dalam masyarakat dan biasanya
berpendidikan tinggi. Bahkan, modus operandi untuk white colar crime ini sering
kali pula dilakukan dengan cara-cara yang canggih, malahan bercampur baur
dengan teori-teori dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti akunting dan statistik.
Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul white colar crime dalam
tahun 1949.
15
Mohd. Nurhan Tsani, Pemberantasan Kejahatan Ekonomi Antar Negara dengan
Perjanjian Ekstradisi (Perspektif Indonesia), Jurnal Hukum No. 15 Vol. 7 Tahun 2000, hal. 49.
16
Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hal. 1.
17
Ibid, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
9. Oleh karena itu, meskipun ada perminan yang dipermainkan, dari permukaannya
seolah-olah perbuatan yang sebenarnya merupakan white colar crime dan
kelihatannya merupakan perbuatan biasa yang legal. Sehingga, jika diukur dari
canggihnya modus operandi, dilihat dari kelas orang yang terlibat, atau dilihat
dari besarnya dana yang dijarah, perbuatan white colar crime jelas merupakan
kejahatan kelas tinggi, yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh prinsip yang keliru.
Biasanya suatu white colar crime dilakukan untuk salah satu dari dua
motif berikut ini :
1. Motif mencari keuntungan finansial
2. Motif mendapat jabatan pemerintahan.18
Dari data yang ada tentang white colar crime dapat dikatakan
bahwa :
1. Kumulasi dari kejahatan yang tergolong kejahatan white colar crime jauh
lebih besar jumlah uang terlibat daripada kejahatan biasa. Bisa sampai
10 (sepuluh) kali lebih besar.
2. Hukuman penjara kepada penjahat biasa jauh lebih sering ketimbang hukuman
penjara terhadap pelaku white colar crime yang lain.
3. Hukuman penjara bagi penjahat konvensional jauh lebih berat ketimbang
hukuman penjara bagi pelaku kejahatan kerah putih.
J.E. Sahetapy mengelompokkan kejahatan jabatan (Occupational crime)
ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Organizational Occupational Crime, yaitu kejahatan untuk kepentingan organisasi
dimana dia bekerja
2. State Authority Occupational Crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh
pegawai pemerintah dalam kedudukan jabatan itu
18
Ibid, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
10. 3. Proffesional Occupational Crime, yaitu yang merupakan kejahatan yang
dilakukan oleh kaum profesional dalam kapasitasnya sebagai para profesional
4. Individual occupational crime, yaitu yang merupakan kejahatan yang dilakukan
oleh individu selaku individu.19
Berikut ini akan diberikan contoh skenario terjadinya kecurangan antar
negaa di bidang kepabeanan, yang mungkin ada katannya dengan masalah
ekstradisi. Kecurangan dilakukan oleh seorang atau lebih warga negara Indonesia.
Sebelum dilakukan proses hukum atau ketika sedang dilakukan proses hukum
si pelaku berhasil melarikan diri atau bersembunyi di negara asing, misalnya
ke negara tetangga.
Kecurangan dilakukan oleh warga negara asing, kemudian dia berhasil
meloloskan diri pulang ke negaranya (negara tempat dia mempunyai
kewarganegaraan), atau dia melarkn diri ke negara ketiga (negara manapun selain
warga tempat dia berkewarganegaraan).
Penyeludupan fisik yaitu memasukkan atau mengeluarkan barang ke/dari
suatu negara tanpa dokumen. Penyeludupan administratif yaitu ada dokumen,
tetapi tidak sesuai dengan jumlah atau jenis atau harga barang yang tersebut
di dalamnya. Kejahatan yang erat dengan penyeludupan adalah penadahan hasil
penyeludupan.
Penyeludupan antar negara dapat terjadi apabila pelaku penyeludupan
adalah warga negara asing. Kemudian dia berhasil meloloskan diri pulang ke
negaranya atau menyelamatkan diri di negara ketiga. Penyeludupan dilakukan
oleh warga negara Indonesia, kemudian dia berhasil melarikan diri dan
bersembunyi di luar negeri. Kejahatan di bidang perbankan meliputi semua
kejahatan yang berkaitan dengan dunia perbankan, bahkan termasuk pemalsuan
uang dan pemalsuan sertifikat tanah untuk memperoleh agama, credit card dan
19
Ibid, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
11. lain-lain. Sudah pasti dalam kejahatan ini termasuk kejahatan yang tercantum
dalam Undang-undang Perbankan. Ada tiga kelompok kejahatan di bidang
perbankan, yaitu :
1. Kejahatan di bidang perjanjian, legalitas bank atua melakukan aktivitas bank
tanpa izin.
2. Kejahatan pemalsuan dokumen untuk memperoleh kredit.
3. Pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral.
Dalam kaitannya dengan masalah ekstradisi, kejahatan ini dapat dilakukan
oleh warga negara Indonesia, atau warga negara asing. Selanjutnya pelaku
kejahatan dapat meloloskan diri ke luar negeri. Dapat juga terjadi pelaku
kejahatan yang warga negara asing itu masih tetap di negaranya sendiri.
Kejahatan komersial dapat berupa penipuan terutama dalam ekspor dan
impor. Misalnya barang yang dipesan sudah dibayar melalui L/C, namun barang
yang dikirim diangkut ke negara lain. Kejahatan dapat juga terjadi dengan
mengirim barang yang sudah rusak (busuk) atau ada penipuan mengenai mutu
barang. Kadang-kadang kejahatan dilakukan dengan menenggelamkan kapal yang
membawa barang untuk memperoleh asuransi.
Selain jenis-jenis kejahatan ekonomi sebagaimana disebutkan di atas,
kejahatan ekonomi lainnya yang berhubungan dengan lintas batas negara dan
membutuhkan perjanjian ekstradisi dalam penyelesaiannya adalah kejahatan
money loundering atau lebih dikenal dengan istilah pencucian uang.
Universitas Sumatera Utara
12. Pencucian uang merupakan kegiatan kejahatan yang sulit untuk dilacak,
karena tidak mempunyai batas waktu dan batas wilayah. Selain itu, kecepatan
transaksi secara elektronik menggunakan wire transfers. Wire transfer merupakan
metode utama dalam pemutihan uang, karena dapat mengakses lembaga keuangan
di negara manapun. Dengan demikian, transfer dana hasil dari aktivitas
illegal akan dengan mudah dan cepat, sehingga sulit dilacak oleh penegak
hukum.20
Money loundering adalah metode untuk menyembunyikan, memindahkan
dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana,
tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkoba dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana.21
Ada beberapa modus operandi yang sering digunakan dalam melakukan
kejahatan money loundering, yaitu :22
1. Kerjasama penanaman modal
Dalam modus operandi seperti ini, maka uang hasil kejahatan tersebut dibawa
ke luar negeri. Kemudian uang tersebut dimasukkan kembali ke dalam negeri
lewat proyek-proyek penanaman modal asing. Selanjutnya keuntungan dari
prs joint venture tersebut diinvestasikan lagi ke dalam proyek-proyek yang lain,
sehingga keuntungan dari proyek tersebut sudah merupakan uang yang bersih
bahkan sudah terkena pemotongan pajak.
20
Sutan Remy Sjahdeini, Pencucian Uang, Pengertian, Sejarah Faktor-faktor Penyebab,
dan Dampaknya Bagi Masyarakat, Hukum Bisnis, Volume 22, No. 3 Tahun 2003, hal. 16.
21
Ibid, hal. 17.
22
NHT. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
13. 2. Agunan kredit bank swiss
Dalam hal ini uang hasil kejahatan diseludupkan terlebih dahulu ke luar negeri,
dimana di luar negeri uang tersebut disimpan di bank tertentu. Dari bank di
luar negeri tersebut, uang tersebut ditransfer ke bank swiss dalam bentuk deposito.
Kemudian deposito tersebut dijadikan jaminan hutang atas pinjaman di bank
lain di negara lain. Uang dari pinjaman tersebut kemudian ditanamkan kembali
di negara asal dimana kejahatan yang menghasilkan uang tersebut dilakukan
dan uang yang demikian sudah menjadi uang yang bersih.
3. Transfer ke luar negeri
Dalam hal ini uang hasil kejahatan tersebut ditransfer ke luar negeri lewat
cabang bank di luar negeri asal kejahatan. Selanjutnya dari luar negeri uang
tersebut dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu, seolah-olah uang
tersebut berasal dari luar negeri.
4. Usaha transfer di dalam negeri
Suatu prs samaran di dalam negeri didirikan dengan uang hasil kejahatan
tersebut. Perusahaan tersebut kemudian berbisnis dan tidak menjadi soal
apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Akan tetapi seolah-olah yang
terjadi adalah perusahaan yang bersangkutan telah menghasilkan uang
bersih.
5. Tersamar dalam perjudian
Dalam hal ini dengan uang hasil kejahatan tersebut didirikanlah suatu usaha
perjudian, sehingga seolah-olah uang tersebut sebagai hasil dari usaha judi
Universitas Sumatera Utara
14. tersebut. Atau dibeli nomor undian berhadiah dengan nomor menang yang
dipesan dengan harga yang tinggi, seolah-olah uang tersebut adalah hasil dari
menangnya undian tersebut.
6. Penyamaran dokuman
Dalam metode ini uang tersebut tidak kemana-mana, tetapi tetap di dalam negeri.
Namun demikian keberadaan uang tersebut didukung oleh berbagai dokumen
bisnis yang dipalsukan atau direkayasa sehingga ada kesan uang tersebut
berasal dari bisnis yang berhubungan dengan dokumen yang bersangkutan.
Rekayasa dokumen tersebut misalnya dengan melakukan double invoice
dalam hal ekspor impor, sehingga uang tersebut seolah-olah merupakan hasil
dari bisnis ekspor impor tersebut.
7. Pinjaman luar negeri
Uang hasil kejahatan dalam hal ini dibawa ke luar negeri. Kemudian uang
tersebut dimasukkan kembali ke negara asalnya dalam bentuk pinjaman
luar negeri. Jadi seolah-olah uang tersebut diperoleh karena pinjaman dari
luar negeri.
8. Rekayasa pinjaman luar negeri
Dalam hal ini uang hasi kejahatan tersebut tidak dibawa kemana-mana tetapi
tetap di negeri asal kejahatan. Namun demikian dibuat suatu rekayasa
dokumen seakan-akan ada bantuan pinjaman dari luar negeri, padahal sama
sekali tidak ada pihak yang memberikan pinjaman tersebut.
Dalam pembahasan ini perlu diajukan sebuah kasus antara Indonesia dan
Australia yaitu Hendra Raharja mantan Pemilik Bank Harapan Sentosa (BHS).
Universitas Sumatera Utara
15. Kasus ini bermula dari dilikuidasinya Bank Harapan Sentosa milik
Hendra Raharja pada tanggal 1 November 1997, karena Hendra Raharja
terlibat dalam kasus dana Bantuan Likwiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar
Rp. 1.578 milyar dan sejumlah perkara lainnya, misalnya dana talangan
Bank Indonesia Rp. 2.234 milyar, penggelapan pajak perusahaan Rp. 17 milyar,
dan penyelewengan dana pembangunan terminal Kampung Rambutan Jakarta
Timur sebesar Rp. 130 milyar. Dengan status DPO-nya Hendra Raharja tercatat
di Interpol Red Notice Australia.23
Pada tanggal 1 Juni 1999 Hendra Raharja ditangkap di Bandara King Sford
Smith oleh polisi Federal Australia. Sebenarnya untuk menjemput Hendra Raharja
bukanlah hal yang sulit sebab ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan
Australia, namun Hendra Raharja tidak kehilangan akal. Ia menyewa tiga pengacara
Australia agar ia tidak diekstradisi.24
Pada persidangan tingkat pertama yaitu (Central Local Court Sydney)
ketiga pengacara tersebut menuturkan bahwa peradilan Indonesia yang korup dan
diskriminatif terhadap etnis China maka Hendra Raharja tidak layak diekstradisikan
ke Indonesia dengan alasan keadilan dan keamanan. Namun keputusan hakim
berbeda, pada tanggal 24 September 1999 hakim Brian Lullham memutuskan
Hendra Raharja bisa diekstradisi ke Indonesia. Lantas Hendra Raharja mengajukan
banding di tingkat persidangan penuh (Full Court) di Federal Court negara bagian
New South Wales, Australia. Ternyata Hendra Raharja mengalami kekalahan
pada tanggal 14 September 2000, itu sebabnya, ia melakukan banding lanjutan
23
Mohd. Burhan Tsani, Op.Cit, hal. 49.
24
Ibid
Universitas Sumatera Utara
16. ke High Court Sydney. Menghadapi kekalahan beruntun Hendra Raharja
melalui pengacaranya O.C. Kaligis mempraperadilkan polisi Indonesia melalui
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia mempermasalahkan empat surat yang
berhubungan dengan penangkapan dirinya.
Pada tahun 2000 hakim Abdul Madjid mengabulkan praperadilan tersebut,
putusannya membatalkan surat penangkapan dan penahanan Hendra Raharja
karena polisi tidak memberitahukan keluarganya. Berdasarkan itulah hakim
meminta supaya Hendra Raharja dibebaskan.
Menghadapi kekalahan tersebut POLRI mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung, yang selanjutnya menimbulkan polemik hukum karena pengacara
O.C Kaligis berpendapat berdasarkan Pasal 83 KUHAP ”Putusan praperadilan atas
penangkapan dan penahanan yang tidak sah tidak bisa dibanding”, namun POLRI
melihat celah hukum itu hanya mengatur larangan banding, tidak menyebut
larangan kasasi. Berbekal dengan keputusan Prapradilan Jakarta Selatan,
O.C. Kaligis pergi ke Supreme Court Sydney, ia mengajukan writ of habeas corpus,
hak yang dimiliki terdakwa agar hakim memeriksa apakah ia ditahan sesuai
dengan prosedur atau tidak, ia juga meyakinkan hakim, putusan praperadilan
itu sudah final. Tak kalah penting adalah surat rahasia sekretaris Jampidum
(Jaksa Agung Muda Pidana Umum) Kejaksaan Agung Maspar Ismail kepada
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang isinya mengusulkan penerbitan SP3 untuk
kasus BHS milik Hendra Raharja.
Tetapi di Indonesia Mahkamah Agung mengabulkan kasasi POLRI, hal ini
mengambil pertimbangan hukum, banyak mengambil dari dalil-dalil yang
Universitas Sumatera Utara
17. diajukan POLRI, begitupun dari segi prosedural kasasi terhadap putusan pidana
pada tingkat terakhir selain Mahkamah Agung, dapat diajukan kasasi sesuai
dengan Pasal 88 dan Pasal 244 KUHAP. Maka Majelis Hakim Agung yang
diketuai Toton Suprapto menyatakan penangkapan serta penahanan terhadap
Hendra Raharja belum dilakukan oleh POLRI.
Dengan tidak diterimanya atas kekalahan tersebut O.C. Kaligis mengajukan
Peninjauan Kembali atas putusan tersebut ia tetap bertahan pada pendiriannya
bahwa putusan praperadilan tentang tidak sahnya penangkapan tidak dapat dikasasi.
Rujukannya adalah Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan
yang dikeluarkan Mahkamah Agung pada tahun 1994 dan Pasal 244 KUHAP.
Sedangkan pada Pasal 7 Undang-undang Ekstradisi Australia tahun 1998
menyebutkan bahwa ekstradisi dapat ditolak apabila tersangka diburu karena
kegiatan atau sikap politiknya atau berkaitan dengan masalah agama dan ras.
Begitupun bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dengan Australia.
Dari uraian di atas dihubungkan dengan kajian skripsi ini khususnya
masalah perjanjian pengekstradisian terhadap kasus Hendra Raharja dapat
dilakukan apabila telah terpenuhinya Pasal 14 ayat (3) Undang-undang No. 8
Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dengan
Australia dipenuhi, yang pada dasarnya menekankan dimana markas besar
Republik Indonesia wajib menjemput terdakwa pada tempat dan waktu yang telah
ditentukan oleh pemerintah Australia.
Universitas Sumatera Utara