Partisipasi sebagai sebuah wacana pembangunan di desa perlu diperiksa kembali praktiknya. Untuk memeriksanya perlu diamati kuasa wacana dan relasi kekuasaan yang membentuknya. Temuannya adalah partisipasi dalam praktiknya menyimpang dari substansi. Akibatnya adalah perubahan relasi didalam masyarakat dan negara sekaligus, yang mengarah pada relasi transaksional. Jalan keluarnya adalah dengan mengembalikan kedalam relasi dasar negara dan masyarakat, yaitu dengan membangun kesadaran kritis dalam mereproduksi wacana partisipasi.
Artikel ini mengkritisi partisipasi sebagai wacana pembangunan di desa dengan menelaah praktiknya dan dinamika kuasa yang mempengaruhinya. Penulis menyimpulkan bahwa partisipasi seringkali menyimpang dari substansi aslinya, mengakibatkan perubahan dalam relasi masyarakat dan negara menjadi lebih transaksional. Artikel ini menyarankan pemulihan relasi dasar antara negara dan masyarakat melalui pembangunan kesadaran kritis dalam mereproduksi wacana partisipasi.
1. Kutipan (Harvard Style) :
Judul Bab : Partisipasi untuk Desa : Sebuah pembacaan kritis
Judul Buku : Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
Chapter : Konstruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa
Editor : Bintoro Wardiyanto, Siti Aminah dan Ucu Martanto
Halaman : 80 -95
ISBN : 978-602-0820-75-0
Penerbit : Airlangga University Press
Rachmad Gustomy (2016) ‘Partisipasi untuk Desa : Sebuah
Pembacaan Kritis’, in Martanto, U., Aminah, S., and Wardiyanto, B.
(eds) Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa. 1st
edn. Surabaya: Airlangga University Press, pp. 80–95
2. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 80
Partisipasi untuk Desa : Sebuah Pembacaan Kritis
Rachmad Gustomy1
Abstraksi
Partisipasi sebagai sebuah wacana pembangunan di desa perlu diperiksa kembali
praktiknya. Untuk memeriksanya perlu diamati kuasa wacana dan relasi kekuasaan
yang membentuknya. Temuannya adalah partisipasi dalam praktiknya menyimpang
dari substansi. Akibatnya adalah perubahan relasi didalam masyarakat dan negara
sekaligus, yang mengarah pada relasi transaksional. Jalan keluarnya adalah dengan
mengembalikan kedalam relasi dasar negara dan masyarakat, yaitu dengan
membangun kesadaran kritis dalam mereproduksi wacana partisipasi
Kata Kunci : partisipasi, wacana, relasi kekuasaan, intimitas, statisme, transaksional
A. Pendahuluan
Wacana partisipasi sebenarnya bukan perspektif baru dalam
pembangunan, meskipun baru popular pasca reformasi. Istilah partisipasi
pasca reformasi menjadi dominan, sehingga kemudian melahirkan proyek-
proyek pembangunan dengan tema partisipasi. Sebagai sebuah prinsip
pembangunan substansi partisipasi sudah dikenal sejak lama awal Orde
Baru. Dalam TAP MPRS No. XXXVII/MPRS/1968 tentang nilai-nilai
pemerintahan ditekankan untuk “mengutamakan musyawarah mufakat”,
dalam bahasa lain dapat dikatakan sebagai partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Bahkan dalam UU No. 5 Tahun 1975 tentang pokok
pemerintahan daerah jelas disebutkan salah satu prinsipnya adalah
"menunjang aspirasi perjuangan rakyat". Ini artinya, sudah ada upaya lama
menciptakan relasi negara dan masyarakat dengan partisipasi atau
musyawarah dalam pembangunan.
Namun sebagai wacana, partisipasi adalah sebuah istilah kunci yang
menjadi penanda perbedaan dengan karkter rezim Orde Baru. Dalam
1 Rachmad Gustomy adalah staf pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP,
Universitas Brawijaya. Memiliki ketertarikan di bidang Analisis Kebijakan Publik,
Kebijakan ICT (information, Communication and Technology), dan Advokasi Kebijakan Difabel.
Selain itu juga menjadi fasilitator training Komunikasi Politik, Critical Thinking, dan
Pemberdayaan Masyarakat.
3. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
81
karakter rezim sebelumnya, −dalam banyak literatur−, selalu ditandai
sebagai rezim otoritarian, sentralistik dengan karakter kebijakan yang top
down. Maka istilah partisipasi menjadi antitesis dari rezim sebelumnya,
bahwa dengan mengadopsi istilah partisipasi maka rezim baru memiliki
semangat untuk demokratis, terdesentralisasi dengan karakter kebijakan
yang bottom up. Akibatnya sebagai sebuah nilai, partisipasi menjadi
kebenaran yang tidak dipertanyakan saat ini (episteme), namun direproduksi
terus-menerus. Dari sisi idealitas dan nilai, partisipasi sudah memenuhi
prasyarat sebagai paradigma pembangunan untuk desa.
Namun, akan sangat disayangkan jika nilai-nilai yang indah dan ideal
ini hanya menjadi jargon dan slogan belaka, tanpa teradopsinya
substansinya. Sedikit kekhawatiran ini muncul karena biasanya
perencanaan pembangunan sangat canggih dalam membuat wacana-
wacana abstrak, namun gagal mengoperasionalkan dalam detilnya.
Akibatnya, evaluasi kebijakan seringkali mengarah pada perubahan-
perubahan wacana abstraknya, bukan penyempurnaan dari operasionalisasi
detilnya. Kekhawatiran ini menjadi sangat realistis, ketika kita memeriksa
nalar perubahan kebijakan pembangunan desa, dari karakter sentralistisnya
dalam UU. No. 5 tahun 1979 menjadi sangat terdesenntralisasi
sebagaimana UU No.6 tahun 2014. Seandainya nanti tidak muncul
perubahan yang lebih baik kepada desa, kekhawatirannya adalah akan ada
kecenderungan mengembalikan seperti masalalu yang sentralistis.
Berangkat dari refleksi ini, maka perlu bagi kita memeriksa kembali
terjemahan dari wacana partisipasi yang diterapkan untuk proses
pembangunan di desa. Karena khawatirannya wacana ini hanyalah sekedar
trend agar lebih mudah mendapat restu lembaga donor dan semacamnya,
bukan sebuah refleksi serius tentang kebutuhan negara kita. Dalam tujuan
untuk memeriksa wacana dan praktik partisipasi, dalam tulisan ini saya
akan memeriksa dua hal saja, yaitu: kuasa wacana (power of discourse) dan
relasi kekuasaan (power relation).
Pertama, memeriksa kuasa wacananya (power of discourse). Konsepsi ini
dipakai sebagai alat analisis yang menggunakan penyederhaan pemahaman
dari pendekatan postruktururalisme. Wacana (discourse) dalam pengertian
ini bukan hanya sekedar teks, namun ragam gagasan yang muncul dalam
ekspresi dan perilaku sosial di ruang publik. Wacana berasosiasi dengan
institusi dan membawa nilai institusi dalam bentuk pernyataan, tindakan,
4. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 82
simbolisasi dan lainnya2
. Sedangan kekuasaan (power) dalam hal ini memiliki
pengertian bukan sebagai dominasi yang dimiliki oleh orang atau institusi,
namun ragam keinginan dan kepentingan yang diaktualisasikan secara
produktif. Bentuk kekuasaan tidak selamanya menindas kebawah, namun
memiliki pengaruh yang mendalam dalam kesadaran berpikir3
.
Dalam kerja ini akan diperiksa bagaimana operasionalisasi dari
perangkat wacana partisipasi dalam melahirkan kuasa-kuasa dan proses
produksinya. Dalam pemahaman ini penting untuk melihat hubungan
kekuasaan dengan konstruksi pengetahuan yang membentuknya. Karena
konstruksi pengetahuan inilah yang nantinya akan melahirkan
pendisiplinan, sebuah proses kesadaran untuk mengkoreksi diri agar
mematuhi teratur dalam wacana tertentu. Bentuk kedisiplinan akan terlihat
dari detil teknik dan rasionalitas (technique and rationality) dari nilai-nilai
partisipasi, dengan pendisiplinan beragam ilmu, misalnya ilmu
administratif4
. Denagn melihat operasionalisasi dari pendisiplinan cara
berpikir, maka konstruksi episteme kebenarannya akan mudah dilihat,
sebuah konstruksi tentang sudut pandang (world views) yang dianggap benar
karena tidak dipertanyakan.
Disilah letak kuasanya, pengetahuan menjadi instrumen dari
kebenaran maka operasionalisasi dari kuasa wacana kebenaran itu akan
terlihat dari detilnya. Istilah ini di barat sering dikenal sebagai “the devil is in
the detail”, atau setannya ada didalam detilnya. Detil-detil yang dimaksud
adalah misalnya proses instrumentasi dengan memanfaatkan logika
administratif. Sebagai sebuah pengetahuan, administrasi sudah dianggap
sebagai kebenaran dan normalitas dalam proses pemerintahan. Normalitas
ini yang kemudian melahirkan pendisiplinan, −sebuah proses keseharian
yang biasa−, yang menjadi mekanisme otomatis dalam pemerintahan. Ini
artinya, siapa yang bisa menginjeksikan detil logika administrasi akan dapat
mendisplinkan nalar pelakunya. Bekerjanya kekuasaan seperti ini akan
bergerak sangat produktif dan justru dapat direproduksi, karena
menyentuh dasar kesadaran manusia.
2 Lihat Foucault, Michel. The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language,
Panthenon Books, New York, 1972
3 Lihat Foucault, Michel. Power/Knowledge; selected Interviews and Other Writings
1972-1977, The Harvester Press, Great Britain,1980.
4 Michel Foucault, Ibid
5. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
83
Kedua, memeriksa relasi kekuasaanya (power relation). Analisis seperti ini
akan dengan mudah mengidentifikasi hubungan kekuasan dari
terbentuknya proses pemberian legitimasi untuk mendisiplinkan diri. Jadi
obsesinya bukan untuk melihat siapa menguasai siapa, namun bagaimana
relasi kekuasaan antar agen, yang menjelaskan bagaimana proses dominasi
dilakukan. Dalam hubungan kebijakan pemerintahan, maka sangat penting
mengidentifikasi siapa aktor atau agen yang bermain dan bagaimana
relasinya. Dua agen terpenting adalah agen negara (state agency) dan agen
masyarakat (society agency), namun demikian, agen pasar (market agency) dalam
realitasnya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mempengaruhi
kebijakan publik. Ketiga aktor ini yang akan kita periksa bagaimana relasi
kekuasaannya.
Secara sederhana, kita bisa memetakan bentuk-bentuk relasi normatif
dari agen negara, agen masyarakat dan agen pasar. Model relasi agen
negara, dilakukan dalam lapisan yang berjenjang, dimana lapisan otoritas
pemerintah yang lebih tinggi berhak memberikan komando pada lapisan
dibawahnya. Bentuk relasi ini yang disebut dengan statisme (statism),
dimana negara membangun sistem komando otoritas dalam memaknai
kepentingan publik. Sedangkan model relasi agen masyarakat, dalam
konteks ini dapat dimaknai institusi desa, bangunan dasar relasi mereka
dengan kedekatan atau intimitas (intimacy). Dimana kedekatan secara
kolektif ini yang menjadi modal mereka dalam menyelesaikan masalah dan
mencapai konsensus. Bentuk-bentuk inctimacy ini misalnya adalah
musyawarah, kekerabatan, suku, adat istiadat dan bentuk ikatan lainnya.
Sedangkan model relasi agen pasar, bentuk relasi dasar didalamnya adalah
pertukaran (exchange), yaitu bertukarnya kepentingan dengan membuat
transaksi. Sebuah hubungan sukarela dan sejajar antara pihak-pihak untuk
membuat kesepakatan transaksional 5
.
Ketiga agen ini jika ketika bertemu tentu tidak bisa terhubung dengan
model relasinya sendiri-sendiri, karena mereka harus menggunakan
‘bahasa’ yang sama ketika berhubungan. Oleh karena itu, bentuk model
relasi apa yang digunakan menjadi penanda bagaimana operasi kekuasaan
5 Tim PWD, (2010). Power, Welfare and Democracy : Rekonstruksi Relasi-Kuasa yang
mensejahterakan, kerjasama PSSAT UGM dengan Norwegian Embassy, Yogyakarta. Hal
58
6. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 84
terjadi. Karena penggunaan dari model relasi tertentu, membawa
konsekuensi bagi agen lain untuk mendisiplinkan diri kedalam kontruksi
nalar relasi tersebut. Artinya, agen lain yang keluar dari pola dasar relasinya
cenderung lebih mudah terdominasi, karena keluar dari habitat relasinya.
Sederhananya, bentuk relasi kekuasan siapa yang dipakai, maka dia yang
memiliki kecenderungan membangun kontrol terhadap agen yang lain.
B. Praktik Partisipasi Dalam Musrenbang
Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dianggap
sebagai bentuk formal dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Sebagai sebuah mekanisme partisipasi, musrenbang mulai diperkenalkan
sejak UU 25 tahun 20046
tentang Strategi Perencanaan Pembangunan
Nasional. Idenya adalah dilakukan proses agenda setting bertahap dari
RT/RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten/Kota, sehingga
agenda setting dari bawah terakumulasi keatas yang kemudian menjadi dasar
formulasi kebijakan daerah. Maka ketika sampai pada masing-masing
tahapan akan dilakukan verifikasi dan pembuatan skala prioritas
menyesuaikan anggaran dan visi pembangunannya. Maka asumsinya,
dengan proses seperti ini agenda setting dan formulasi pembangunan akan
benar-benar sesuai dengan kepentingan dari target pembangunan, yaitu
masyarakat.
Secara konseptual sudah ideal, karena berusaha menggabungkan
mekanisme intimitas dengan musyawarah warga dan mekanisme statisme
dengan jenjang kebijakan teknokratis. Namun sebagai praktik maka kita
perlu mencermati bagaimana desain musrenbang ini diterapkan dalam
bentuk hal-hal teknis (as practices and technique)7
, yang kadang sifatnya
menyimpang dari ide nilai awal (diskursif). Dalam praktiknya, proses
musrenbang dimulai RT/RW (atau kadang dusung) yang kemudian di
bawa ke Musrenbang Desa, kenyatannya harus ‘dirontokkan’ beberapa
agendanya karena tidak semua agenda bisa di akomodir. Begitu juga ketika
dari Musrenbang Desa dibawa ke Musrenbang Kecamatan, akan ada
pensortiran agenda menyesuaikan dengan skala prioritas kecamatan. Dari
6 UU ini kemudian dikuatkan dengan UU 31 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, UU
No. 72 tahun 2005 tentang Desa.
7 Gordon, C. Government Rationality: An introduction, dalam G. Burchell et al.(eds).
The Foucoult Effect: Studies in Governmentality. Hemel Hempstead: Harvester
Wheatsheaf, 1991.
7. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
85
Musrenbang kecamatan ketika dibawa kedalam musrenbang kabupaten,
hal yang sama terjadi menyesuaikan dengan skala prioritas di tingkat
kabupaten.
Disinilah justru masalahnya, relasi intimitas tidak bisa secara sederhana
disinergikan dengan relasi statisme. Dimana musyawarah sebagai
‘mekanisme partisipatif’ harus dihadapkan dengan ‘mekanisme teknokrasi’.
Karena secara normatif, proses penjaringan dan seleksi agenda setting ketika
dibawa keatas harus melewati ‘mekanisme teknokrasi’, dimana agenda-
agenda setting yang masuk akan disesuaikan dengan prioritas Kabupaten.
Dalam praktiknya, agenda setting dari bawah akan dimasukan ke SKPD
(Satuan Kerja Pemerintah Daerah) terkait untuk bisa dimasukkan kedalam
RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Ini
artinya harus disesuaikan dengan visi-misi Bupati, yang tentu visi misinya
diterjemahkan dari janji politik dimasa kampanye. Belum lagi setelah itu,
RAPBD ini akan di bawa ke DPRD untuk dilakukan koreksi sebelum
dipersetujui. Ini artinya, proses perumusan kebijakan (agenda setting) yang
partisipatoris tersandera oleh sistem politik dan politisasi kepentingan elit.
Hiruk pikuk ketika proses musrenbang dari RT sampai Kecamatan,
kemudian hanya menjadi alat legitimasi bahwa sudah diadopsinya nilai
partisipasi dalam pembangunan.
Ini artinya, partisipasi hanya menjadi alat kuasa baru dengan
memberikan legitimasi formal, namun abai secara substansial. Apalagi
praktik diskursif ini akan semakin menonjol menjelang pemilihan kepala
daerah (pilkada). Di beberapa kabupaten, menjelang pilkada proses
pembangunan ditentukan oleh bupati hanya dikantong-kantong suara yang
berpotensi mendukungnya. Bahkan, atas nama inovasi dan improvisasi
pembangunan, beberapa pembuat kebijakan melakukan perubahan
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), agar agenda pembangunan
politisnya berjalan mulus.8
. Sedangkan bangunan politik demokrasi liberal
kita saat ini, didominasi oleh relasi transaksional, dimana uang menjadi
penentu dari pencitraan dan kemenangn Pilkada. Akibatnya proses
8 Kesadaran politis ini jelas dipahami oleh kepala desa, sehingga mereka juga meyakini
bahwa pembangunan dengan pendekatan politis akan lebih berhasil daripada pendekatan
formal birokratis .Beberapa kepala desa berhasil melakukan banyak pembangunan justru
karena memiliki jaringan kedekatan dengan kepala daerah atau politisi legislative.
8. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 86
musrenbang yang sudah terdistorsi dari mekanisme musyawarah (intimitas)
menjadi mekanisme teknokratis statisme), didistorsi lagi menjadi
mekanisme politik yang transaksional.
Proses politisasi yang merontokkan banyak agenda musrenbang dari
bawah itu tentu adalah pengkhianatan terhadap partisipasi masyarakat di
tingkat bawah. Eloknya lagi, sebagai sebuah wacana proses musrenbang
oleh para politisi dan konsultan kebijakan sering disebut sebagai gambaran
dari demokrasi deliberatif. Karena konon, secara etimologi narasi
‘deliberatif’ sama dengan ‘musyawarah’ dalam konteks Indonesia. Sehingga
musrenbang adalah gambaran ruang argumentasi dialogis dan komunikatif
dari beragam kepentingan untuk mencapai9
. Argumennya adalah
musrenbang desa sebagai formalisasi dari praktik musyawarah tradisional
di pedesaan, dimana semua kepentingan-kepentingan akan diharmonikan
dalam musyawarah tersebut. Seakan di ruang ini semua usulan, curhat,
kritik dan saran dari masyakat terakumulasi. Namun kenyatannya
menyakitkan karena wacana yang agung dan mulia dari musrenbang desa,
didistorsi hanya karena kepentingan politis.
Padahal kalau kita mau jujur, ruang deliberatif saja tidak cukup jika
agenda pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan bagi
kelompok rentan10
. Jika kita mau konsisten dengan Nawacita, −Agenda
pembangunan Presiden jokowi−, yang memberikan perlindungan kepada
masyarakat marjinal, maka yang dibutuhkan bukan sekedar ruang
deliberatif namun ‘ruang afirmatif’. Karena jikapun musrenbang benar
sebagai ruang deliberatif, maka masih memerlukan prasyarat hadirnya
‘masyarakat komunikatif’ dimana beragam rasionalitas saling beradu untuk
menemukan konsensus. Jikapun ruang komunikatif yang setara dalam
imajinasi habermas memang ada, maka mereka kelompok marjinal ini akan
tetap diam. Misalnya masyarakat penyandang disabilitas, sudah miskin,
berpendidikan rendah, dikucilkan struktur, maka orang-orang seperti ini
pun jika diberi ruang akan tetap diam. Apakah lantas kita berhak mewakili
suara mereka? Disinilah pentingnya merujuk pada refleksi Gayatri Spivak,
9 Habermas, Jurgen, Teori Tindakan Komunikatif: Rasio dan Rasionalisasi Masyrakat, Buku
Satu, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006
10 Kita sering menemukan istilah-istilah “indikator ketahanan sosial”, “kebijakan
perlindungan sosial” dan semacamnya yang tersebar dalam beragam dokumen
pembangunan sejak lama. Ini artinya perlindungan terhadap masyarakat marjinal atau sub-
altern sudah menjadi keharusan dari agenda pembangunan.
9. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
87
bahwa kita harus berhati-hati jika mengklaim sedang mewakili kepentingan
mereka. Karena yang diperlukan adalah afirmasi kesadaran untuk membuat
mereka berbicara, memberi ruang agar mereka mendefinisikan
kepentingannya oleh mereka sendiri11
. Namun ini adalah idealitas yang
terlalu maju untuk hari ini, kembali memfungsikan musrenbang
sebagaimana seharusnya saja sudah baik.
Lebih parah lagi, selain tersandera secara politis, substansi dari
pembangunan partisipatoris juga tersandera oleh nalar administrasi. Dalam
praktiknya, proses musrenbang desa bentuk kongkritnya disederhanakan
menjadi dokumen RKP Desa (Rencana Kerja Pembangunan Desa) yang
berupa form-form detil dan rumit. Mengisi kolom-kolom ini
membutuhkan seperangkat pengetahuan administratif tersendiri yang tidak
dimiliki oleh semua orang. Kenyataannya, jangankan warga desa, Kepala
Desa dan Sekertaris Desa saja terkadang tidak terlalu paham. Masalahnya
adalah, agenda kepentingan masyarakat kemudian tersimplifikasi menjadi
sekedar kolom-kolom yang nilainya sama dengan semua kolom di RKP
berbagai desa. Meskipun proses musrenbang benar secara substansi, maka
bisa dianggap salah jika prosedur administratifnya salah.
Akibatnya Musrenbang Desa hanyalah sekedar instrumen administratif
pengumpulan RKP Desa secara benar agar Alokasi Dana Desa (ADD)
turun. Proses-proses substansi yang panjang dan melelahkan dengan
mudah terdistorsi menjadi sekedar proses administratif, proses
pengumpulan berkas RKP Desa. Maka tidak aneh kemudian lahirlah
penumpang-penumpang gelap (free rider) dalam proses Musrenbangdes,
yaitu para broker birokrat atau konsultan yang berjualan jasa untuk
‘membenarkan’ dokumen RPJM Desa atau RKP Desa, agar dana segera
turun12
. Atas nama disiplin administratif maka terbentuklah kebenaran
baru, termasuk plagiasi RKP dan RPJM desa agar seragam. Tentu ini lebih
parah daripada sentralisasi pembangunan, karena justru terjadi praktik
penyeragaman tanpa logika dari sebuah sistem yang didesain desentralistis.
11 Lihat Spivak, Gayatri Chakravorty. “Can the Subaltern Speak?” dalam Cary Nelson
(Editor) dan Lawrence Grossberg (Editor). Marxism and the Interpretation of Culture.
University of Illinois Press. October 1, 1988. Hal: 271-313.
12 Rumor ini terklarifikasi dengan menannyakan kepada setiap kepala desa, sebagian besar
mereka mengakui bahwa terpaksa memakai jasa pembuatan RPJM dan RKP Desa dengan
fee berkisar 5%-15% dari dana yang turun.
10. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 88
Kemunculan free rider yang memiliki pengetahuan administratif,
kemudian menjadi fasilitator proses administratif, lambat laun ini akan
menjadi normalitas. Sebuah normalitas bahwa proses partisipasi
sebenarnya hanyalah formalitas administratif. Munculnya fenomena jahit-
menjahit RPJMdes, yang nalarnya adalah ‘benar’ secara administratif,
namun ‘tidak baik’ secara substansi partisipasi13
. Ini menjadi pilihan yang
tidak bisa ditolak kepala desa, karena jika ‘tidak dijahit rapi’ maka dana
ADD terancam tidak turun. Jika dana ADD terlambat atau tidak turun,
tentu legitimasi Kepala Desa di depan warganya juga akan menurun.
Praktik ini yang lambat laun menjadi sesuatu yang normal dan biasa dalam
proses pembuatan RKP dan RPJM Desa. Justru yang “tidak normal”
adalah jika ada kepala desa atau perangkat yang membuat sendiri RKP atau
RPJM desanya sendiri tanpa bantuan free rider. Akibatnya, mereka harus
dinormalkan kembali dengan memberikan ancaman-ancaman
keterlambatan ADD. Praktik ini jelas ditemukan di banyak desa, bahwa
terkadang RKP yang dibuat sendiri sering disalahkan karena hal-hal kecil,
yang terkadang dirasa salah, sehingga pada akhirnya menyerahkan kepada
free rider untuk ‘dibenarkan’14
.
Maka pada perkembangannya hari ini, praktik diskursifitas semakin
jauh meninggalkan esensi dari partisipasi pembangunan. Karena
pengetahuan administrasi adalah sebuah bentuk praktik produktif, maka
inovasi-inovasi yang lahir terhadap musrenbang adalah untuk
memanifestasikan normalitas tersebut. Maka munculah namanya
“musrembang phone” atau “musrembang sms”, karena apa fungsinya
jikapun secara substansi benar, namun salah secara administratif, jika
ADD sebagai sesuatu yang kongkrit tidak keluar. Proses-proses ini yang
pada akhirnya memaksa semua bentuk relasi menjadi relasi transaksional,
sebagaimana agen-agen pasar bekerja. Dengan diterimanya model
transaksional sebagai bentuk relasi, maka akan sangat mudah pasar
melakukan penetrasi kedalam pemerintahan desa. Proses didalam
masyarakat dan pemerintahan, hari ini harus difasilitasi dengan ‘uang’,
13 Dalam kebijakan ini sering disebut ‘good but not well’, benar sebagai prosedur kebijakan
namun salah sebagai substansi.
14 Berdasarkan pengakuan beberapa kepala desa, mekanisme ini sudah hampir menjadi
keharusan yang tidak bisa ditolak. Biasanya jika dibuat sendiri oleh perangkat maka
disalahkan oleh oknum pemerintah ditasnya, karena hal-hal kecil, seperti penulisan “tgl”
yang dianggal salah, karena yang benar adalah “tanggal”.
11. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
89
dimana uang yang keluar harus setimpal dengan uang yang masuk. Maka
logika relasi transaksional ini adalah pintu masuk yang sangat mudah bagi
pasar untuk melakukan penetrasi ke masyarakat desa.
C. Partisipasi untuk Memperkuat Desa dan Negara
Dari rangkaian praktik musrenbang yang kemudian terdistorsi
menjadi sekedar praktik administrative tersebut berdampak pada
pergeseran relasi masyarakat dari intimacy dan negara dari statism menjadi
relasi transaksional. Proses politik, −dengan koteks demokrasi liberal kita
saat ini−, mendorong semua konsensus kedalam bentuk konsensus
ekonomistik15
. Ini artinya masalah utama partisipasi tidak terletak di desa,
namun justru struktur politik diatasnya. Refleksi ini justru sangat berbeda
dengan asumsi program-program pembangunan yang menempatkan
masalah partisipasi sebagai masalah di desa. Dimana orang desa dianggap
sebagai orang yang tidak partisipatif, dan perlu diberi kesadaran untuk
berpartisipasi. Sehingga program-program pembangunan hiruk-pikuk
berusaha membuat masyarakat desa lebih partisipatif dan demokratis, yang
sebenarnya sudah memiliki nilai-nilai lokal yang lebih demokratis. Mungkin
praktik ini yang menjelaskan mengapa program-program pembangunan
partisipatif selalu gagal membangun masyarakat, karena dilakukan dengan
cara-cara yang tidak partisipatif.
Jadi yang perlu ditegaskan adalah masalah partisipasi justru ada di
pusat, bukan di desa. Jangan-jangan kegagalan program partisipasi terjadi
karena dilaksanakan dengan cara yang tidak partisipatif. Kegagalan
program itu terjadi karena injeksi nilai partisipasi di pusat belum
terinternalisasi di pusat sendiri, padahal pusatlah yang memiliki kuasa
menentukan aturan mainnya. Padahal perspektif new institutionalism
15 Dalam relasi politik liberal saat ini, terpilih atau tidaknya seorang politisi sangat
ditentukan oleh kekuatan modal. Bentuk-bentuk hubungan politisi dan konstituen tidak
lagi dalam konsensus ideologis, namun lebih karena konsensus transaksional yang
seringkali disederhanakan menjadi vote buyer atau money politics. Banyak penelitian yang
sudah memetakan ini, salah satunya Aspinal, Edward dan Mada Sukmadjati (editor),
Politik Uang di Indonesia, patronase dan klientalisme pada pemilu legislatif 2014,
PolGov-UGM, Yogyakarta, 2015
12. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 90
misalnya, dikenal dengan istilah bounded rationality16
, dimana rasionalitas
desa sangat ditentukan oleh kerangka aturan main yang sedang dibuat
pusat.
Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Pertanyaan ini yang selalu muncul
dari pembuat kebijakan ketika kita sedang mengkritisi perilaku para
pengambil kebijakan. Sebelum menjawab ini, saya perlu mendudukkan
cara berpikirnya terlebih dahulu, bahwa yang menjadi masalah bukan soal
partisipasi sebagai sebuah nilai, namun praktik dan teknik yang digunakan
dalam menerjemahkan detil dari nilai partisipasi. Sehingga tidak menjadi
alasan kita suatu saat nanti untuk kemudian tergesa-gesa merubah nilai
partisipasi menjadi otoritarianisme, karena nilai partisipasi dianggap gagal
dijalankan dalam pembangunan. Sebagaimana kecenderungan politisi status
quo saat ini, yang mulai mewacanakan kehebatan masalalu agar bisa
mengadopsi nilai di masa lalu.
Jika kita telisik lebih dalam, praktik-praktik diskursifitas diatas
melemahkan dua subyek penting dalam relasi kekuasaan di negara ini, yaitu
masyarakat dan pemerintah sekaligus. Masyarakat jelas dilemahkan, dengan
adanya diskursifitas dari praktik-praktik partisipasi semu tersebut intimitas
mereka semakin rendah. Intimitas relasi masyarakat yang seharusnya
terbentuk dari musrenbang, berubah menjadi sekedar proses transaksional.
Akibat relasi yang transaksional, maka agenda masyarakat dengan mudah
‘dibeli’ untuk kepentingan agenda yang lain. Disatu sisi negara juga
dilemahkan, dimana otoritas negara dengan relasi ‘statismenya’, juga
digiring dalam perspektif politis yang transaksional. Padahal negara adalah
satu-satunya institusi yang berhak melakukan distribusi barang publik
(public goods), yang kemudian mudah ‘dibeli’ untuk kepentingan lain. Puncak
dari proses pendisiplinan dengan instrumen pengetahuan administratif,
sehingga menjadikan proses itu sebagai sesuatu yang alami dan bisa
diterima. Pengetahuan-pengetahuan administrasi, instrumen-instrumen
pemberdayaan, dan semacamnya menjadi kebenaran, sehingga secara
hegemonik (tanpa sadar) membentuk normalitas dan keharusan. Sehingga
jangan-jangan agen-agen yang terbiasa mempromosikan partisipasi
sebagian adalah aktor paling tidak partisipatif.
16 Bukune B. Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism,
London and New York: Pinter, 1999.
13. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
91
Oleh karena itu menjadi jelas bagaimana jalan keluarnya, yaitu
penguatan masyarakat dan negara sekaligus. Karena sudah menjadi jelas
siapa yang akan mendominasi, jika negara lemah dan masyarakat juga tak
kunjung kuat. Ini akan menghancurkan fungsi negara dan relasi negara,
bisa dibayangkan jika semua kebijakan harus ditakar dalam nalar
transaksional. Begitu juga masyarakat, intimitas atau kedekatan dalam
masyarakat harus ditukar dengan bentuk-bentuk transaksional. Jika ini
dibiarkan maka pembusukan sistemik ini akan merontokkan negara dan
masyarakat, sehingga mengarah pada negara gagal.
Namun secara kritis kita perlu mendudukan nalar kita dalam
memahami hubungan negara dan masyarakat. Selama ini kita, −aktivis dan
akademisi−, seringkali mendudukan posisi negara dan masyarakat sebagai
oposisi biner. Dimana jika ada upaya untuk menguatkan masyarakat (desa),
maka itu sering dimaknai sebagai upaya pelemahan negara. Begitu juga
sebaliknya, jika ada upaya menguatkan peran negara, maka itu dianggap
sebagai pelemahan terhadap masyarakat. Padahal jika negara lebih kuat
akan cenderung membentuk kekuasaan otoriter, begitu juga jika
masyarakat terlalu kuat akan berpotensi merebut sumberdaya publik untuk
kepentingan pribadi mereka. Jadi perlu sebuah kesadaran bahwa pusat
(negara) dan masyarakat (desa) tidak selalu harus dihadapkan dan
dibenturkan, namun juga tidak harus secara normatif disamakan. Justru
relasi negara dan masyarakat harus diletakkan seperti timbangan jungkit,
yang harus bergeser pada titik yang tepat pada dua sisi yang berbeda. Ini
artinya jika terlalu dominan disatu sisi, maka justru akan membuat
timbangan berat kesatu sisi yang menjatuhkan pihak lain, sehingga perlu
diseimbangkan.
Penguatan pemerintah desa sebagai representasi masyarakat, harus
dilakukan dengan memunculkan kesadaran kritis mereka untuk
berpartisipasi, bukan sekedar menginjeksikan nilai partisipasinya. Secara
internal desa perlu secara politis mengkonsolidasikan diri agar
kepentingan-kepentingan desa didengar oleh pemerintah. Semisal Asosiasi
Kepala Desa (AKD)17
, aktif membangun komunikasi politik dengan
pemerintah pusat. Hal ini penting agar desa membangun diskursusnya
17 Dalam konteks ini saya tidak bisa menempatkan desa bukan sebagai struktur organisasi
yang normatif, namun agen-agen yang politis dan memiliki kehendak.
14. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 92
sendiri, bukan diskursus yang diinjeksikan oleh program-program proyek
pembangunan. Harapannya diskursus ini akan lebih orisinil dan
kontekstual jika dibanding dengan diskursus adopsi dari luar, sehebat
apapun diskursus itu. Dalam konteks ini, negara tidak perlu takut untuk
membiarkan AKD menjadi gerakan politis, karena pada dasarnya mereka
juga politisi. Oleh karena itu, menurut pendapat saya keberhasilan dari
pelatihan kepala desa di jawa timur tahun 2014 dan 2015 bukan sekedar
injeksi materi-materi. Namun ruang-ruang konsolidasi yang tercipta dari
berkumpulnya para kepala desa, yang kemudian dikelola menjadi ruang
pendefinisian identitas. Ini yang bisa dimaknai sebagai memunculkan
kesadaran kritis kepala desa, bukan hanya sekedar injeksi nilai normatif.
Secara eksternal, penguatan desa dapat dilakukan dengan memberikan
ruang bagi mereka untuk bisa melakukan pengawasan dari bawah ke atas.
Disinilah pentingnya menerjemahkan detil instrumentasi agar tercapai
substansi partisipasi. Masalah dari musrenbang sebelumnya adalah tidak
terjelaskannya ke masyarakat, mengapa agenda-agenda kepentingan
mereka yang harus disortir mekannisme teknokratis bukan agenda yang
lain. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah instrumentasi yang transparan
tentang hasil-hasil musrenbang ditingkat bawah, mana saja yang harus
digugurkan atas nama publik. Prosesnya detilnya sebenarnya bisa dibuat
sederhana, misalnya dengan memanfaatkan instrumen electronic government
yang bisa menginput data hasil musrenbang dari tingkat bawah sampai
atas18
. Bisa juga memanfaatkan Sitem Informasi Desa (SIMDES), sehingga
tidak hanya sekedar instrumen latah teknologi19
. Instrumentasi itu
memberikan ruang bagi masyarakat untuk melihat usulan-usulan mana
yang bertahan dan mana yang harus digugurkan. Mekanisme ini sangat
penting dihadirkan agar masyarakat memliki ruang untuk mengkoreksi
kebijakan pemerintah. Detil operasi lain yang dapat dilakukan adalah
sistem pelaporan tidak hanya didistorsi menjadi urusan administratif yang
rumit. Persoalan administratif tentu harus dibuat dengan sistem atau
18 Praktik ini dapat dilakukan dengan mencontoh pemerintah kota Surabaya dengan
sistem musrenbang yang diinput dari website khusus. Contoh bisa dilihat di
http://musrenbang.surabaya.go.id/musrenbang/
19 Disinilah kekhawatiran terhadap obsesi politisi dan akademisi untuk memodernkan
desa, jika dalam formulasi yang tidak tepat justru akan mendistorsi substansi yang ingin
dicapai. Jadi modernisasi birokrasi adalah soal fungsionalitas, bukan hanya trend fashion
pengetahuan belaka.
15. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
93
mekanisme yang lebih sederhana, sehingga bisa benar-benar melibatkan
semua masyarakat. Selain itu, perlu adanya pelaporan proses
musrenbangnya, sehingga bisa dilakukan audit sosial untuk mengklarifikasi
prosesnya. Termasuk keterlibatan kelompok marjinal dan sub altern.
Penguatan kepada negara perlu juga dilakukan, agar negara dapat
secara maksimal melaksanakan program-program yang sudah
direncanakannya. Namun yang harus ditegaskan adalah idealnya negara
seharusnya tidak melayani kepentingan-kepentingan lain kecuali
kepentingan negara, sebagai representasi dari kepentingan publik20
.
Sehingga prasyaratnya adalah negara harus memiliki diskursus sendiri yang
tidak dipengaruhi oleh diskursus-diskursus diluar negara, seperti Word
Bank, IMF dan semacamnya. Apalagi negara sampai mengekor pada
instrumentasi yang hanya sekedar terjemahan dari instrumentasi turunan
lembaga-lembaga diluar negara tersebut.
Dalam konteks penguatan negara, harus dihindari pemaknaan bahwa
penguatan negara adalah perluasan peran negara di sebagala bidang,
sebagaimana kritik kaum liberalis21
. Namun juga bukan berarti melakukan
pembiaran terhadap dominasi ekonomi, karena dianggap bukan urusan
negara tetapi mekanisme pasar, sebagaimana kritik kaum marxist22
. Intinya
negara harus semaksimal mungkin terbebas dari kepentingan individu atau
aktor lain didalam atau diluar negara. Negara harus fokus dengan tujuan
yang sudah diagendakan oleh publik. Oleh karena itu, mekanisme
memahami kepentingan publik harus dibersihkan dari potensi-potensi
penyimpangan. Contoh sederhana adalah negara seharusnya adalah satu-
satunya institusi yang harus memiliki data paling akurat tentang warganya.
Bahkan harus lebih lengkap dan akurat daripada Facebook, Google dan
instutisi lain yang mengkoleksi data warganegara. Meski hari ini yang
terjadi intervensi kepentingan politik seringkali justru memaksa distorsi
data dilakukan. Misalnya adalah angka kemiskinan yang dipaksakan turun,
20 Lihat Theda Skocpol, “Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current
Research”, on Peter B. Evans, Dietrich Rueschemeyer, and Theda Skocpol (ed), Bringing
the State Back In, Cambridge: Cambridge University Press, 1985
21 Lihat Francis Fukuyama, “Nation-Building and the Failure of Institutional Memory”,
dalam Francis Fukuyama (ed), Nation-Building: Beyond Afghanistan and Iraq, Baltimore: The
John Hopkins University Press, 2006
22 Theda Skocpol, op. Cit.
16. BAB II Kontruksi Normatif: Reposisi Kewenangan Desa 94
agar secara statistik menjadi bukti keberhasilan pejabat negara dalam
mengurangi kemiskinan. Padahal perbedaan data kemiskinan akan
membawa konflik di desa, dimana jumlah yang sebenarnya miskin dan
miskin secara statistik lebih banyak23
.
Dalam relasi antar pemerintah, pemerintah pusat dengan pemerintah
kabupaten juga sebaiknya diletakkan kembali dalam relasi statisme. Tidak
berarti karena Bupati dipilih langsung oleh rakyat, maka dengan seenaknya
bisa merubah agenda kebijakan publik menjadi agenda politik pribadinya.
Tentu ini sekali lagi butuh akurasi pemetaan kepentingan-kepentingan dan
agenda di desa. Misalnya pemerintah pusat membuat pemetaan agenda
setting dan masalah dari desa, yang dapat digunakan untuk mengukur
kinerja pemerintah daerah dari capaian-capaiannya. Sehingga atas nama
publik pemerintah pusat bisa menghukum pemerintah daerah yang
menyelewengkan kepentingan publik menjadi kepentingan politisnya.
Lebih hebat lagi jika pemerintah berani memberikan proteksi bagi
masyarakat desa untuk membangun dirinya sendiri, agar tidak bersaing
secara terbuka dengan korporasi yang jauh lebih kuat. Misalnya dengan
memberikan pengaturan soal perijinan, tata ruang dan wilayah serta
regulasi pertanahan, yang lebih berpihak kepada warga masyarakat.
D. Penutup
Inti dari tulisan ini adalah bahwa partisipasi sebagai sebuah wacana
dianggap paling ideal dan yang tidak dipertanyakan lagi (episteme), justru
membuatnya absen kritik dalam detilnya. Karena sudah dianggap sebagai
sebuah keharusan dalam logika pembangunan, maka yang dilakukan hanya
sekedar mereproduksi kembali dari produksi wacana yang sudah
disediakan oleh intitusi diluar negara. Akibatnya lahirnya sebuah praktik
diskursif, praktik yang justru menyimpang dari esensi wacana ini dibangun.
Dari sinilah terjadi pergeseran relasi agen-agen masyarakat yang awalnya
berdasar kedekatan (intimacy) menjadi transaksional. Begitu juga agen-agen
negara yang awalnya berdasar hierarki yang statisme (statism) menjadi relasi
yang transaksional. Dengan pergeseran relasi seperti itu, maka negara dan
masyarakat sangat rentan dibajak kepentingan diluarnya, yaitu kepentingan
pasar. Jalan keluar dari problema ini adalah dengan mengembalilkan pola
23 Kasus raskin. Lebih parah lagi, secara administratif tidak dibenarkan membagikan beras
diluar data yang diberikan.
17. Percikan Pemikiran Tata Kelola dan Pembangunan Desa
95
relasi kedalam relasi dasar dari masing-masing agen. Caranya adalah
membangun kesadaran pengetahuan, sehingga lebih serius dalam
merancang detil-detil kebijakan untuk mencapai substansi yang dituju.
Malang, 20 April 2015
DAFTAR PUSTAKA
Aspinal, Edward dan Mada Sukmadjati (editor), Politik Uang di Indonesia,
patronase dan klientalisme pada pemilu legislatif 2014, PolGov-
UGM, Yogyakarta, 2015
B. Guy Peters, Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism,
London and New York: Pinter, 1999.
Foucault, Michel. Power/Knowledge; selected Interviews and Other
Writings 1972-1977, The Harvester Press, Great Britain,1980.
Foucault, Michel. The Archeology of Knowledge and the Discourse on
Language, Panthenon Books, New York, 1972
Francis Fukuyama, “Nation-Building and the Failure of Institutional
Memory”, dalam Francis Fukuyama (ed), Nation-Building: Beyond
Afghanistan and Iraq, Baltimore: The John Hopkins University
Press, 2006
Gordon, C. Government Rationality: An introduction, dalam G. Burchell
et al.(eds). The Foucoult Effect: Studies in Governmentality.
Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 1991.
Habermas, Jurgen, Teori Tindakan Komunikatif: Rasio dan Rasionalisasi
Masyrakat, Buku Satu, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006
Spivak, Gayatri Chakravorty. “Can the Subaltern Speak?” dalam Cary
Nelson (Editor) dan Lawrence Grossberg (Editor). Marxism and the
Interpretation of Culture. University of Illinois Press. October 1, 1988.
Hal: 271-313.
Skocpol, Theda. “Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current
Research”, dalam Peter B. Evans, Dietrich Rueschemeyer, dan
Theda Skocpol (ed), Bringing the State Back In, Cambridge:
Cambridge University Press, 1985
Tim PWD, (2010). Power, Welfare and Democracy : Rekonstruksi Relasi-Kuasa
yang mensejahterakan, kerjasama PSSAT UGM dengan Norwegian
Embassy, Yogyakarta. Hal 58