SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
Download to read offline
[IJDS 2017; Vol. 4 No.1, Month 2017, pp.51-62
ISSN: 2355 – 2158
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
51
Received, Feb, 2017 Revised, Aprl, 2017 Accepted, May, 2017
PARTISIPASI POLITIK DIFABEL DI 2 KOTA
Rachmad Gustomy
Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
Abstrak: Partisipasi politik bukan hanya soal pemilu (turn out voter), namun pengertian lebih luas sebagai
keterlibatan dalam perubahan kebijakan. Penelitian ini ditujukan untuk menemukan peta partisipasi politik
kelompok difabel dalam 5 bentuk; pemilu, organisasi, contacting, lobby dan violance. Tujuan dari penelitian ini
adalah memetakan pola partisipasi kelompok difabel agar nantinya dapat digunakan basis penguatan kapasitas
untuk pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan survei di 2 kota di
Jawa Timur, yaitu di Kota Malang dan Kota Mojokerto. Survei dilakukan dengan mengambil sampling 56
responden di semua kota. Dari Penelitian ini disimpulkan ada berbedaan antara kesadaran dan tindakan dalam
partisipasi politik kelompok difabel. Selain itu partisipasi politik kelompok difabel masih sangat terbatas
sehingga tidak mampu mempengaruhi kebijakan publik.
Keywords: partisipasi politik, lobi, aksi langsung, aktifitas pemilu, kontak langsung, pembangkangan.
1. Latar Belakang
Penelitian ini mendudukkan praktik
partisipasi politik kembali pada substansinya,
yang tidak hanya menempatkan pemilih
(khususnya kelompok marjinal seperti difabel)
yang hanya sekedar menjadi pendulang suara
(turn out voters). Sehingga pentingnya
penelitian ini adalah untuk menjawab bentuk
partisipasi politik yang lebih substansial
daripada kecenderungan hanya memilih
belaka 1
. Selain itu, penelitian ini juga
menjawab kecenderungan penelitian yang
hanya melihat partisipasi dari kelompok-
kelompok marjinal hanya sekedar menjadi
obyek perebutan kekuasaan, bukan menjadi
subyek dari proses perubahan kebijakan itu
sendiri.
Di satu sisi yang lain, kelompok difabel
adalah sebuah kelompok marjinal yang sangat
rentan, dalam bahasa yang sederhana
pengabaian terhadap mereka akan membuat
mereka mati dengan sendirinya. Persoalan
menjadi semakin kompleks ketika kelompok
difabel ini juga terasing oleh struktur politik
kita, sehingga kemudian melahirkan
mentalitas-mentalitas inferior dikalangan
1
Sebagai contoh, lihat penelitian The Asia
Foundation, 2013, Survei dasar terhadap
pemahaman, persepsi dan praktik pemilih terkait
dengan aspek pemili di enam target propinsi,
Jakarta
difabel. Inilah kendala mendasar dari
kelompok difabel, dimana mereka sendiri pada
konteks politik juga tidak mau memilih
pemimpin yang difabel.
Pemetaan partisipasi politik ini menjadi
sangat penting dalam rangka menyiapkan
sebuah basis rujukan dalam pemberdayaan dan
penguatan kapasitas kelompok marjinal
difabel. Urgensi terpentingnya adalah agar
penguatan partisipasi politik tidak lagi terjebak
pada hiruk pikuk pencoblosan saja, namun
seara substansial juga memberikan dorongan
kepada komunitas ini untuk melakukan
gerakan perubahan.
Kesadaran untuk memasukkan asumsi
disabilitas dalam proses kebijakan publik
sangat rendah, sehingga kualitas kebijakan
masih jauh dari keberpihakan terhadap
sebagaian masyarakat yang mengalami
disabilitas. Ruang-ruang publik di banyak kota
di Indonesia masih banyak tidak ramah
terhadap aksesibilitas orang dengan disabilitas.
Penyebab dari corak kebijakan yang seperti ini
dikarenakan rendahnya sensitifitas pembuat
kebijakan terhadap persoalan-persoalan
kelompok difabel.
Dalam penelitian The Asia Foundation di
6 Propinsi pada pemilu 2014, tingkat
partisipasi relatif seimbang antara yang tertarik
dan tidak. Kelompok yang „tidak tertarik‟
(27%) dan „tidak tahu‟ (19%) cukup tinggi,
sedangkan yang „tertarik atau tanpa dengan
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
52
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
konpensasi‟ (38%). Namun kelompok difabel
yang benar-benar didorong oleh sebuah
kesadaran perlawanan masih relatif rendah,
yaitu hanya 11% (Tertarik jika tanpa
konpensasi, dan tidak tertarik jika ada
konpensasi). Artinya, sebagai voter kelompok
difabel tidak bisa dibedakan dengan
masyarakat umumnya, belum menjadikan
Pemilu sebagai instrumen perubahan.
Masih dalam penelitian yang sama, salah
satu jawaban dari riset The Asia Foundation
adalah gambaran inferioritas penyandang
disabilitas didalam representasi politik. Jika
mereka diminta jawaban tentang „persepsi
mereka terhadap pemimpin difabel, temuan
yang sangat mengejutkan menunjukkan bahwa
42% orang difabel juga tidak mau memilih
pemimpin yang difabel Sisanya 37%
menjawab memilih dan 21% menjawab tidak
tahu. Data ini adalah gambaran bahwa ada
ketidakpercayaan terhadap wakil rakyat
penyandang disabilitas oleh penyandang
disabilitas sendiri. Oleh karena itu, penting
untuk memahami bagaimana persepsi dan
aktifitas penyandang disabilitas dalam
partisipasi politik untuk memperjuangkan
kepentingannya.
2. Tinjauan Konseptual
Meminjam istilah Samuel P Huntington
dan Joan M Nelson, partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara, baik sebagai individu
maupun komunitas, yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan terkait
kebijakan publik. Aktifitas ini dapat bisa
dengan masuk saluran konvensional seperti
menjadi anggota partai dan NGO, maupun
kegiatan non-konvensional yang sifatnya
spontan, sporadis, ilegal bahkan cara-cara
pemaksaan2
.
Melalui pengertian tersebut, maka
partisipasi politik dapat dipahami dalam dua
model gerakan, yaitu: partisipasi yang muncul
dari kesadaran akan pentingnya keterlibatan
dalam kebijakan publik dan partisipasi yang
digerakkan oleh kekuatan dominan untuk
2
Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, 1976,
No Easy Choice, Political Participation in
Developing Countries, Cambridge, Mass, Harvard
University Press
terlibat dalam melegitimasi bentuk kekuasaan
(mobilized political participation) 3
. Bentuk-
bentuk partisipasi sukarela inilah yang lebih
dekat dengan esensi dari partisipasi publik,
yaitu keterlibatan yang „sepenuh hati‟ dalam
mempengaruhi keputusan yang terkait dengan
publik. Sedangkan sosialisasi, atau lebih
tepatnya ajakan, untuk memilih dalam pemilu
legislatif adalah salah satu bentuk mobilized
political participation. Dari kerangka itu,
maka dikembangkan peran-peran partisipasi
politik ini dapat dikategorikan dalam lima
bentuk sebagai berikut4
:
1. Electoral Activity adalah kegiatan atau
aktifitas yang berkaitan langsung atau
tidak langsung dengan pemilihan
umum. Dalam identifikasi ini
beberapa aktifitas partisipasi dapat
berupa, mengikuti kampanye,
memberikan sumbangan partai,
menjadi sukarelawan dan tentu saja
ikut serta dalam pemilihan umum.
2. Lobbying adalah kegiatan-kegiatan
baik individu maupun kelompok
dalam mempengaruhi proses
kebijakan publik dengan melakukan
negosiasi dan menghubungi para
pejabat pemerintahan dan politik.
Kegiatan ini dilakukan agar kebijakan
publik yang dibuat dapat berpihak
terhadap kepentingan mereka atau
kelompoknya.
3. Organizational Activity adalah
kertelibatan masyarakat kedalam
asosiasi masyarakat, baik organisasi
sosial maupun organisasi politik.
Kelompok-kelompok asosiasi inilah
yang kemudian melakukan aktifitas-
aktifitas agar kebijakan yang mereka
buat dapat didesakkan dan menjadi
agenda publik.
4. Contacting adalah aktifitas langsung
warganegara dalam menyampaikan
pendapatnya tentang permasalahan
3
Huntington, Ibid
4
Sebagaimana di kutip Afan Gaffar dari Samuel P
Huntington dan Joan M Nelson, Juli 1997,
Menampung Partisipasi Politik Rakyat, JSP Vol.1
Nomor 1, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM,
Yogyakarta
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
53
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
publik. Aktifitas ini dapat dilakukan
dengan mendatangi langsung,
mengirim surat pembaca, menelepon
pejabat, menandatangi petisi dan
semacamnya yang tujuannya
mempengaruhi kebijakan.
5. Violence adalah cara-cara yang
menggunakan tekanan dan pemaksaan
untuk mempengaruhi kebijakan
publik. Cara-cara ini dapat dilihat
dengan vandalisme, demonstrasi dan
atau ancaman-ancaman yang ditujukan
untuk melakukan perubahan secara
langsung.
3. Metode Penelitian
Agar dapat memetakan partisipasi politik
difabel di dua kota yang berbeda, riset ini
menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Pencarian data melalui survei yang dilakukan
adalah dengan mengambil sampel kelompok
difabel. Pendekatan ini dipilih untuk bisa
memahami fenomena permukaan secara luas
dari partisipasi politik kelompok difabel
khususnya di 2 kota di Jawa Timur. Proses ini
dilakukan dengan tujuan untuk ditemukan
kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan
hubungan-hubungan antar variabel, sosiologis
maupun psikologis.
Penelitian ini akan dilakukan dengan
melakukan survei di 2 kota, Kota Mojokerto
dan Kota Malang, yang mengambil sampling
kelompok difabel. Pencarian narasumber
dilakukan dengan snowball mengingat karena
jumlah penyandang disabilitas yang tidak jelas
jumlah populasinya karena tidak ada data
resmi. Jumlah responden di Kota malang
sebanyak 34 orang (60%) sedangkan di Kota
Mojokerto jumlah respondennya sebanyak 22
orang (39%). Proses wawancara juga
dilakukan dengan metode Snow Ball, yang
mana responden diketahui dari informasi
responden lain. Kelemahan dan kelebihan
metode pencarian data tersebut yang kemudian
mewarnai proses data diperoleh.
Jika dilihat dari jenis kelamin responden,
sebaran jenis kelamin responden termasuk
merata. Perbedaan jumlah responden laki-laki
dan perempuan tidak jauh berbeda, responden
laki-laki berjumlah 29 orang (52%) dan
responden perempuan 27 orang (48%). Dari
data ini, kita bisa memastikan bahwa
representasi jenis kelamin sudah terwakili dari
pendapat-pendapat yang disampaikan dalam
penelitian ini. Sedangkan persebaran
responden jika dilihat dari jenis disabilitasnya,
maka akan lebih didominasi oleh penyandang
tuna daksa. Responden penyandang tuna daksa
paling mudah di temukan (40 responden), hal
ini karena keterbatasan mobilitas yang menjadi
masalah utama tuna daksa, biasanya dengan
kendaraan roda tiga. Sedangkan responden
tunanetra juga masih relatif mudah ditemui,
karena biasanya mereka berkumpul di panti
pijat, yang dapat diwakili oleh 11 responden.
Persoalan tidak terwakilinya penyandang
disabilitas lain, seperti tuna rungu dan tuna
grahita, lebih disebabkan tidak mudahnya
diidentifikasi oleh peneliti atau memang
disembunyikan keluarganya. Namun
demikian, meskipun memiliki kelemahan ini
pendapat yang diajukan sudah relatif mewakili
kepentingan penyandang disabilitas.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1.Aktivitas dalam Pemilu
Aktifitas dalam pemilu dianggap penting,
karena melalui pemilu diharapkan isu
disabilitas dapat teradvokasi secara politik
oleh pemimpin yang telah dipilih. Responden
menyatakan hal yang sama bahwa pemilu itu
penting dengan ditunjukkannya penggunaan
hak suara dalam pemilihan yang tinggi. Dalam
Pemilu 2014, 87% persen difabel menyatakan
menggunakan hak pilihnya, selebihnya 13%
tidak menggunakan hak suaranya (lihat
Gambar 1). Jumlah ini harus menjadi evaluasi
bagi pemerintah untuk memberikan sosialisasi
Pemilu secara masif terhadap masyarakat,
khususnya bagi para penyandang disabilitas.
Mayoritas penyandang disabilitas
menganggap bahwa Pemilu merupakan sarana
penting untuk mewujudkan kepentingan
mereka. Sebagian besar masing menganggap
penting, terlihat dari 37,5% responden
menyatakan Pemilu „penting‟, dan 26,8%
responden yang menyatakan „sangat penting‟.
Sedangkan sebagian kecil mengatakan lain,
10,7% „tidak penting‟ dan 7,1% menyatakan
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
54
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
„sangat tidak penting‟ (lihat Gambar 2).
Responden yang masih menyatakan bahwa
Pemilu masih dianggap tidak penting dan
sangat tidak penting, kemungkinan besar salah
satunya karena tidak puas dengan output dari
pemilu.
Gambar 1. Penggunaan Hak Suara Pemilu 2014
Gambar 2. pendapat pentingnya pemilu untuk kepentingan
difabel
Hal ini terlihat dari penilaian mereka
yang buruk terhadap wakil rakyat yang terpilih
dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
Sebagian besar menyatakan pesimisme
mereka, yang ditunjukkan dengan 32,1%
responden menyatakan „tidak terwakili‟,
bahkan sebanyak 23,2% merasa „sangat tidak
terwakili‟. Meskipun demikian, beberapa
responden masih merespon positif, yakni
sebanyak 21,4% responden merasa „terwakili‟,
dan 7,1% merasa „sangat terwakili‟
kepentingannya (lihat Gambar 3). Hal ini
diperkuat dengan lemahnya keyakinan
responden kepada wakil rakyat yang
dipilihnya. Hampir separuh responden 44,6%
menyatakan „tidak yakin‟, bahkan 26,8 %
mengatakan „sangat tidak yakin‟. Sedangkan
responden yang masih optimis dengan kinerja
calon legislaif cukup minim, yakni sebanyak
10,7% menyatakan „yakin‟ dan 3,6%
menyatakan „sangat yakin‟ (perhatikan
Gambar 4). Dari data tersebut menunjukkan
bahwa masih sangat minimal sekali dampak
kebijakan publik atau keperpihakan yang
dirasakan bagi para penyandang disabilitas
oleh para pejabat politik. Dimana saja memang
ada persoalan dalam representasi kelompok
kurang beruntung (disanvatage people) dalam
lembaga pemerintahan5
.
Gambar 3. pendapat tentang keterwakilan kepentingan difabel
Gambar 4. keyakinan terhadap calon legislatif akan pemenuhan
janjinya
4.2.Aktivitas Organisasi (Organizational
Activity)
Wujud partisipasi politik yang bisa
memastikan manifestasi kepentingan
kelompok penyandang disabilitas dalam
kebijakan pemerintahan adalah dengan
aktivitas organisasi. Setidaknya ada tiga
bentuk organisasi yang biasa diikuti
penyandang disabilitas, yaitu: Organisasi
5
Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck,
2013,People with Disabilities: Sidelined or
Mainstreamed?, Cambridge University Press, New
York
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
55
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
Lingkungan, Organisasi Masyarakat dan
Organisasi Politik. Dalam konteks
berorganisasi, hampir semua setuju pentingnya
ikut organisasi. Sebanyak 60,7% ‘sangat
setuju‟ dan 35,7% ‘setuju‟ terhadap
pentingnya organisasi. Sedangkan sisanya,
masing-masing 1,8%, berpendapat „kurang
setuju‟ dan „tidak setuju‟ (perhatikan Gambar
5). Dari data ini dapat diketahui bahwa
penyandang disabilitas memiliki potensi besar
dalam melakukan partisipasi politik berupa
keikutsertaan dalam organisasi.
Gambar 5. Pendapat kemudahan kepentingan difabel jika ikut
organisasi
Salah satu keaktifan dalam organisasi
yang dapat diikuti adalah organisasi dalam
level lingkungan seperti di RT, Komunitas
Kampung, Pengajian atau komunitas skala
lokal lainnya. Sebagian besar penyandang
disabilitas yang menjadi narasumber
menyebutkan bahwa mereka cukup aktif
dalam organisasi di lingkungannya. Sebanyak
42,9% responden yang mengatakan „aktif‟ dan
10,7% responden yang mengatakan „sangat
aktif‟ dalam organisasi di kampungnya.
Sebagian kecil lainnya, yaitu 35,7% responden
mengatakan bahwa mereka „jarang aktif‟ dan
10,7% responden lainnya mengatakan „tidak
pernah aktif‟ dalam organisasi di
lingkungannya. (lihat Gambar 6).
Namun jika kita perdalam tingkat keterlibatan
dari penyandang disabilitas di dalam
organisasi di lingkungannya, akan terlihat
bahwa mereka lebih banyak pasif menjadi
anggota saja. Dari hasil survei ditunjukkan jika
sebagian besar 66,1% responden menyatakan
hanya „menjadi anggota‟ saja dalam organisasi
di lingkungannya. Sedangkan hanya ada
17,9% responden saja yang menjadi pengurus
di tingkat lingkungan RT/RW, dan 14,3%
responden lainnya mengaku „pernah menjadi
pengurus‟ (lihat Gambar 7). Hal ini
menunjukkan aktifitas mereka dilingkungan
belum maksimal dalam memainkan peran
sebagai motivator di lingkungannya.
Gambar 6: Aktivitas berorganisasi Lingkungan RT/RW
Gambar 7. Keterlibatan jadi pengurus di organisasi tempat
tinggal
Aktifitas kegiatan di organisasi
masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat
(LSM) semakin menurun dibanding aktifitas di
organisasi lingkungan. Dalam keterlibatan
kegiatan dengan LSM, sebanyak 44,6%
responden mengatakan „tidak ikut‟ dan 16,1%
responden menyatakan „pernah ikut‟ kegiatan
Ormas atau LSM. Hanya sekitar 37,5%
responden menyatakan masih „ikut aktif‟
dalam kegiatan Ormas (lihat Gambar 8).
Namun sayangnya, sebagian besar Organisasi
Kemasyarakatan yang mereka ikuti adalah
bergerak di isu disabilitas. Sebanyak 80,4%
responden hanya mengikuti kegiatan
„organisasi difabel‟, sedangkan sisanya 12,5%
responden ikut organisasi keagamaan,
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
56
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
selebihnya sebanyak 1,8% menyatakan juga
ikut organisasi lainnya (lihat Gambar 9). Hal
ini menunjukan gambaran ekslusifitas kegiatan
organisasi mereka, yang belum maksimal
membangun jaringan diluar kelompok
penyandang disabilitas.
Gambar 8:. keterlibatan dalam organisasi kemasyarakat
Gambar 9. jenis organisasi kemasyarakat yg rutin diikuti
Namun yang patut disyukuri, aktifitas
kelompok difabel dalam ormas yang
diikutinya cukup tinggi. Hal ini dibuktikan
dengan data survey terhadap responden
penyandang disabilitas yang mengikuti ormas,
yakni 58,9% responden mengatakan „aktif‟,
begitupula 23,2% responden mengatakan
„sangat aktif‟ dalam kegiatan organisasi.
Hanya sisa 10,7% yang mengatakan „tidak
aktif‟, dan 5,4 % lainnya mengatakan „jarang
aktif‟ (lihat Gambar 10). Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa kelompok difabel
sebenarnya memiliki semangat dan potensi
gerakan yang luar biasa, namun perlu
penguatan jaringan untuk membuatnya lebih
efektif.
Gambar 10. keaktifan dalam organisasi kemasyarakat yg diikuti
Dalam konteks organisasi politik, para
responden menyadari pentingnya peran partai
politik, meskipun mereka sebagian besar tidak
menjadi anggota partai atau aktif dalam
kegiatan partai politik. Menurut responden,
mayoritas berpendapat bahwa keikutsertaan
dalam partai politik dianggap sangat penting.
Hal ini dibuktikan dengan 53,6% responden
yang mengatakan „perlu‟ dan 21,4%
responden yang mengatakan „sangat perlu‟
untuk ikut partai politik. Sedangkan, hanya
16,1% yang menyatakan „tidak perlu‟ dan
1,8% pendapat yang mengatakan „kurang
perlu‟ (lihat Gambar 11). Namun urgensi
partai ini berbanding terbalik dengan fakta
keikutsertaan mereka dalam partai politik.
Sebanyak 89,3% mengatakan „tidak ikut‟
partai politik, sedangkan yang menyatakan
„ikut‟ dan „pernah ikut‟ masing-masing 5,4%
responden (lihat Gambar 12). Hal senada
dijumpai pada keterlibatan mereka dalam
kegiatan partai politik yang relatif kecil.
Sebagian besar 42,9% responden yang
menayatakan „tidak aktif‟, dan 8,9% yang lain
menyatakan „jarang aktif‟. Sedangkan hanya
16,1% responden yang menyatakan aktif
dalam keterlibatan kegiatan partai (lihat
Gambar 13). Fakta ini disebabkan oleh dua
kemungkinan, partai politik yang tidak
responsif terhadap penyandang disabilitas atau
penyandang disabilitasnya yang tidak agresif
masuk partai6
.
6 Lisa Schur, 2017, Toward Inclusion, Political
and Social participation of people with disabilities,
dalam Routledge Handbook of Disability Law and
Human Rights, Peter Blanck, Eilionóir Flynn,
Roudledge
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
57
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
Gambar 11. pendapat perlunya ikut partai politik
Gambar 12. keikutsertaan jadi anggota parpol
Gambar 13. keaktifan saat ikut parpol tersebut
4.3.Aktivitas Membangun Komunikasi
(Contacting)
Bentuk partisipasi politik lain yang
diharapkan dari penyandang disabilitas adalah
berkomunikasi atau berkontak langsung
pemerintah. Dengan aktivitas tersebut, maka
diharapkan pemerintah tahu benar apa yang
dibutuhkan oleh penyandang disabilitas
langsung dari penyandang disabilitasnya
sendiri. Ada beragam bentuk bagaimana
menyampaikan aspirasi langsung kepada
pemerintah, baik dalam bentuk langsung
maupun tidak langsung. Bentuk langsung
misalnya adalah menyampaikan secara
langsung kepada pejabat terkait tentang
masalah-masalah penyandang disabilitas.
Sedangkan cara tidak langsung misalnya
adalah dengan instrumen media lain, seperti
surat pembaca, kotak saran dan semacamnya.
Harapannya jika penyandang disabilitas
tergerak untuk menyampaikan pendapat secara
langsung maka pemerintah akan lebih
memahami kepentingan penyandang
disabilitas.
Dari kacamata penyandang disabilitas sendiri,
sebenarnya menyampaikan pendapat secara
langsung dianggap penting. Sebanyak 28,6%
responden yang meyakini bahwa
menyampaikan pendapat secara langsung itu
„sangat efektif‟ dan 42,9% responden yang
menyatakan „efektif‟. Artinya sebagian besar
(71,5%) meyakini efektivitas penyampaian
pendapat secara langsung kepada pemerintah.
Hanya sebagian kecil, 12,5% responden yang
menyatakan „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟
(lihat Gambar 14). Dengan temuan ini, maka
dapat tergambarkan bahwa sebenarnya para
penyandang disabilitas sadar bahwa
menyampaikan pendapat secara langsung itu
sangat penting kepada pemerintah, agar
kebijakan yang dibuat pemerintah lebih
berpihak kepada penyandang disabilitas.
Gambar 14. pendapat tentang keefektifan menyampaikan
pendapat langsung
Namun, sekali lagi kesadaran mereka
berbanding terbalik dengan partisipasi
politiknya. Data dalam penelitian ini justru
menunjukkan bahwa kesadaran akan
pentingnya menyampaikan pendapat secara
langsung kepada pemerintah tidak konsisten
dengan praktiknya. Hanya sebagian dari
penyandang disabilitas yang pernah
menyampaikan pendapatnya secara langsung
kepada pemerintah. Hal ini terlihat bahwa
hanya 41,1% responden yang „pernah‟
menyampaikan pendapat kepada pemerintah.
Sedangkan 30 responden (53,6%) justru
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
58
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
mengatakan „tidak pernah‟ menyampaikan
pendapat secara langsung kepada pemerintah
(lihat Gambar 15). Dari sini terlihat selama ini
terdapat persoalan yang menghambat
aktualisasi penyampaian pendapat dari
penyandang disablitas.
Hanya sebagian kecil dari responden
yang berani menyampaikan pendapat secara
langsung, bahkan secara agresif mendatangi
pejabat langsung (26,8% responden). Dari
wawancara biasanya dilakukan dalam bentuk-
bentuk audiensi, khususnya bagi para
penyandang disabilitas yang aktif di dalam
Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD).
Sebagian kecil yang lain berani
menyampaikan usulan-usulan kepada
pemerintah ketika ada acara-acara yang
kebetulan dihadiri pejabat. Sebanyak 12,5%
responden mengaku pernah menyampaikan
usulan kepada pejabat pemerintah yang
kebetulan hadir dalam sebuah acara. Hanya 1
responden yang memiliki pengalaman
menyampaikan saran secara langsung, karena
pernah menjadi tim sukses dari bupati,
sehingga memiliki akses langsung. Sedangkan
sebanyak 8,95% dari responden memanfaatkan
media massa untuk memberikan masukan
kepada pemerintah. Namun sayangnya, 21,4%
responden mengatakan takut atau tidak berani
menyampaikan pendapat kepada pemerintah
dengan beragam alasan (lihat Gambar 16).
Gambar 15. menyampaikan keluhan langsung ke pemerintah
Dari data diatas, dapat ditarik dua
benang merah penting tentang peran
penyampaian pendapat (contacting)
penyandang disabilitas terhadap pemangku
kebijakan. Pertama, meski menyadari
pentingnya contacting dengan pemerintah,
namun ada hambatan terselubung mengapa
mereka tidak melakukannya. Kedua,
Gambar 16. bentuk yang digunakan untuk menyampaikan
keluhan ke pemerintah
hambatan partisipasi contacting, bisa
disebabkan ketidaktahuan, keenganan atau
hambatan psikologis lainnya yang perlu segera
diatasi. Dari data penelitian yang kami
peroleh, belum jelas korelasi antara lemahnya
contacting jika dihubungkan dengan variabel
lain. Soal pendidikan, jenis disabilitas, jenis
kelamin, pendapatan ternyata tidak berkorelasi
dengan aktivitas contacting. Lebih aneh lagi,
pengalaman organisasi, baik ormas difabel,
lingkungan maupun organisasi politik masih
tidak korelatif dengan aktivitas contacting.
Dari sini, tentu ada pertanyaan yang perlu
dijawab dalam penelitian selanjutnya.
4.4.Kegiatan Lobbying
Bentuk partisipasi politik lain yang
diharapkan mampu mengubah kebijakan-
kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi
penyandang disabilitas adalah dengan lobby.
Pengertiannya adalah para penyandang
disabilitas, baik individu maupun kelompok
membangun jaringan untuk mempengaruhi
kebijakan. Hal ini menjadi penting, karena
penyandang disabilitas tidak bisa membangun
organisasi sendiri yang eksklusif, yang justru
akan melemahkan perjuangan penyandang
disabilitas. Semakin luas jaringan, secara
teoritik tentu semakin baik bagi pencapaian
tujuan advokasi kebijakan publik.
Semua penyandang disabilitas mengetahui
benar pentingnya membuat jaringan lobby atau
kerja sama dengan lembaga atau elit yang bisa
mempengaruhi kebijakan. Sebanyak 62,5%
responden menyatakan „sangat perlu‟ dan
33,9% responden lainnya menyatakan „perlu‟
membangun kerja sama (lihat Gambar 17).
Tidak ada responden yang menyatakan tidak
perlu membangun kerja sama. Ini artinya,
sejauh pengalaman para penyandang
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
59
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
disabilitas, kerja sama dengan lembaga atau
elit lain dianggap sangat penting.
Gambar 17. pendapat tentang perlunya kerjasama dengan pihak
lain untuk kepentingan difabel
Menurut responden, kerja sama yang
dianggap paling efektif adalah dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diluar
Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD),
kemudian dengan politisi, pejabat pemerintah
dan terakhir dengan kampus. Sebanyak 32,1%
responden menyatakan bahwa bekerjasama
dengan LSM dianggap paling efektif, karena
secara intensif melakukan advokasi dan
pelatihan, meski tidak pernah memberikan
bantuan langsung. Hal ini mereka rasakan
selama ini menjadi mitra dari beberapa LSM
dalam memperjuangkan kepentingan
penyandang disabilitas. Sedangkan yang
meyakini politisi sebagai mitra kerja sama
yang baik sebanyak 19,6% responden. Dalam
wawancara mereka menyebutkan bahwa lebih
sering politisi memberikan bantuan langsung
baik tunai maupun barang. Serupa dengan
politisi, 17,9% responden mengatakan hal
serupa tentang peran pemerintah, yang
seringnya memberikan bantuan tunai, barang
atau pelatihan (lihat Gambar 18). Sedangkan
kelompok akademisi kampus lebih banyak
hanya memberikan pelatihan-pelatihan saja,
yang bagi sebagian tidak terlalu dibutuhkan
kecuali „uang transport‟-nya.
Dari data diatas dapat disimpulkan
bahwa terkait partisipasi melalui lobby, sudah
menjadi kesadaran bagi para penyandang
disabilitas. Namun yang perlu menjadi catatan,
proses aktivitas kerja sama yang diperlukan itu
yang sifatnya jangka panjang dan intensif agar
membuahkan hasil7
. Hal ini yang menjelaskan
pentingnya membangun jaringan dengan LSM
daripada Kampus. LSM, Pemerintah maupun
politisi, −dengan beragam kepentingannya−,
bisa menjadi mitra yang lebih jangka panjang,
yang berbeda dengan Kampus yang hanya
tentatif. Catatan lain dalam wawancara
informal, penyandang disabilitas masih
memaknai membangun kerja sama (lobby)
adalah memberikan bantuan barang atau tunai.
Meski tidak semua, maka pintu masuk yang
paling penting dalam membangun kerja sama
dengan kelompok penyandang disabilitas
adalah membangun kesadarannya terlebih
dahulu. Catatan ini tentu berharga untuk
menjadi pemahaman jika ingin bekerjasama
dengan penyandang disabilitas atau OPD.
Gambar 18. pendapat dengan siapa penggalangan kerjasama
yang baik
4.5.Penggunaan Pemaksaan (Violence)
Salah satu bentuk partisipasi politik yang
paling mungkin mempengaruhi kebijakan
adalah tindakan aktif mempengaruhi
kebijakan, salah satunya dengan pemaksaan
(violance). Pilihan tindakan yang dimaksud
pemaksaan (violence) tidak selalu dimaknai
dengan perusakan, namun tindakan untuk
mendesak pemerintah memenuhi agenda
kebijakannya. Pada konteks ini, para
penyandang disabilitas perlu memahami benar
strategi penggunaan pemaksaan dalam
mengubah kebijakan, seperti boikot,
demonstrasi dan bentuk-bentuk pemaksaan
lainnya.
7
Shaminder K. Dhillon, 2009, Absent Citizens:
Disability Politics and Policy in Canada,
University of Toronto Press
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
60
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
Pemaksaan atau tindakan memaksakan agenda
kebijakan justru masih dianggap sebagai hal
yang tidak baik bagi responden, namun
dianggap efektif. Sebagian besar penyandang
disabilitas masih melihat dari kacamata yang
negatif terhadap tindakan pemaksaan dalam
kebijakan. Hal ini terlihat dari 57,1%
responden yang “tidak setuju” dengan aksi
pemaksaan, dan 19,6% responden yang
“kurang setuju” dengan tindakan pemaksaan.
Namun, setidaknya ada 10,7% responden yang
„setuju‟ dan 6,3% responden yang „sangat
setuju‟ dengan penggunaan pemaksaan (lihat
Gambar 19). Namun persepsi ketidaksetujuan
penggunaan pemaksaan sedikit tidak konsisten
jika dibandingkan dengan persepsi tentang
efektivitas demonstrasi dalam mengubah
kebijakan. Sebanyak 37,5% responden
berpendapat bahwa demonstrasi adalah cara
yang „efektif‟, dan 7,1% responden lainnya
mengatakan „sangat efektif‟ mengubah
kebijakan. Sedangkan sebagian yang lain,
yaitu 19,6% responden menilai bahwa
demonstrasi „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟
(lihat Gambar 20). Ketidak setujuan masih
diwarnai dengan pemahaman dalam etika
sosial bahwa mengambil tindakan pemaksaan
adalah hal yang buruk, namun penilaian
efektiftasnya merujuk pada pengalaman
demonstrasi lainnya.
Gambar 19. setuju tidaknya tentang protes kebijakan dengan
cara kekerasan
Namun sekali lagi, persepsi tentang
demonstrasi dengan partisipasi politiknya
tidak konsisten bagi penyandang disabilitas.
Faktanya 60,7% responden mengatakan „tidak
pernah ikut‟ dalam demonstrasi, dan hanya
32,1% yang mengaku „pernah ikut
demosntrasi‟ (lihat Gambar 21). Padahal
mereka mengakui strategisnya aktifitas
demonstrasi dalam merubah kebijakan publik.
Sebanyak 25% responden menganggap
demonstrasi „sangat perlu‟, begitu juga dengan
39,3% responden lain menganggap
demonstrasi „perlu‟. Ini artinya, sebagian besar
dari penyandang disabilitas (64,3%)
menganggap bahwa melakukan demonstrasi
dapat memperjuangkan kepentingan
penyandang disabilitas. Meski demikian,
masih ada sedikit responden 21,4% responden
yang beranggapan bahwa demonstrasi itu
„tidak perlu‟ (lihat Gambar 22).
Gambar 20. pendapat efektifnya demo untuk merubah kebijakan
Gambar 21. keikutsertaan dalam demo
Dari wawancara informal ada beberapa alasan
yang muncul mengapa mereka tidak ikut
dalam demonstrasi. Pertama, karena tidak
mampu atau halangan fisik untuk
melakukannya. Kedua, karena tidak berani dan
menganggap demonstrasi adalah sebuah
aktivitas yang buruk. Ketiga, tidak ada yang
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
61
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
mendorong atau mengajak mereka untuk
melakukan demonstrasi. Disatu sisi,
keikutsertaan mereka biasanya didorong oleh
kegiatan dan agenda dalam organisasi
penyandang disabilitas dalam menuntut
sebuah kebijakan.
Gambar 22. pendapat perlunya difabel demo untuk merubah
kepentingan pemerintah
5. Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, maka
berikut lima kesimpulan yang dapat ditarik:
Pertama, Mayoritas responden menggunakan
hak suaranya dalam Pemilu 2014, karena
mengaggap bahwa pemilu merupakan aktivitas
penting yang dapat mengakomodasi
kepentingan difabel. Namun mereka tidak
percaya dengan politisi, karena menganggap
tidak terwakili secara politik dalam
mengakomodir kepentingan difabel. Jadi,
partisipasi politik penyandang disabilitas
cukup aktif dalam pemilu, akan tetapi ada
ketidak percayaan terhadap wakil rakyat dalam
memperjuangkan kepentingan difabel.
Kedua, dalam aktifitas organisasi mayoritas
dari responden sangat setuju bahwa organisasi
dapat memudahkan kepentingan politik
menjadi terwujud. Hal ini kemudian membuat
mereka terlibat aktif mereka dalam kegiatan
lingkungan, meskipun jarang menjadi
pengurus. Namun dalam kegiatan organisasi
kemasyarakatan lainnya, seperti LSM,
mayoritas responden masih banyak belum
terlibat. Kalaupun mereka terlibat mereka
lebih tertarik pada kegiatan Ormas yang fokus
pada isu disabilitas. Sedangkan dalam
organisasi politik, semakin jarang penyandang
disabilitas yang ikut bergabung, meskipun
menganggap penting. Dimungkinkan salah
satu sebabnya adalah kurangnya aksesibilitas
partai politik terhadap penyandang disabilitas.
Ketiga, aktifitas membangun kontak dengan
pemerintah, penyandang disabilitas sadar
bahwa menyampaikan pendapat secara
langsung kepada pemerintah itu penting, agar
kebijakan yang dibuat pemerintah lebih
berpihak kepada penyandang disabilitas. Akan
tetapi permasalahannya adalah mayoritas
responden justru tidak pernah mengatakan
permasalahannya langsung pada pemerintah.
Sehingga penyandang disabilitas masih belum
bisa memanfaatkan ruang-ruang publik yang
ada untuk menyampaikan pendapatnya kepada
pemerintah. Jadi dalam indikator partisipasi
politik ini dapat diketahui bahwa di satu sisi
mereka sadar pentingnya mengutarakan
pendapat, namun hambatan psikologis dan
ketidaktahuan mereka mengenai cara
menyampaikan menjadi kendala.
Keempat, Bentuk partisipasi politik lain yang
diharapkan mampu mengubah kebijakan-
kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi
penyandang disabilitas adalah dengan lobby
atau pembangun jaringan untuk
mempengaruhi kebijakan. Dalam
pengetahuannya, mayoritas responden
mengatakan setuju dengan hal tersebut, dan
menganggap bahwa LSM merupakan mitra
jaringan yang baik bagi para penyandang
disabilitas.
Kelima, Salah satu bentuk dari partisipasi
politik adalah pemaksaan, seperti demonstrasi.
Responden menolak penggunaan cara ini
meskipun mereka sepakat dengan
demonstrasi. Akan tetapi, sebagian besar dari
mereka belum pernah melakukan demonstrasi.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
belum ada dorongan yang kuat dan
terkonsolidasi untuk membuat mereka
melakukan demonstrasi.
Daftar pustaka ditulis tanpa nomor bab.
Semua rujukan pustaka yang digunakan ditulis
dalam daftar pustaka. Daftar pustaka
dituliskan berurutan sesuai dengan urutan
abjad nama belakang penulis pertama diikuti
tahun publikasi dalam kurung. Contoh format
penulisan daftar pustaka adalah sebagai
berikut:
IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62
ISSN: 2355 – 2158
62
Cite this as:
Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:
Vol. 4(1): PP 51-62.
Daftar Pustaka
Afan Gaffar, Menampung (1997). Partisipasi
Politik Rakyat, JSP Vol.1 Nomor 1, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta
Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck.
(2013). People with Disabilities: Sidelined or
Mainstreamed?, Cambridge University Press,
New York
Lisa Schur, Toward Inclusion. (2017).
Political and Social participation of people
with disabilities, dalam Routledge Handbook
of Disability Law and Human Rights, Peter
Blanck, Eilionóir Flynn, Roudledge
Riddle, C. A. (2014). Disability & Justice: The
Capabilities Approach in Practice. Lanham:
Lexington Books/Rowman & Littlefield
Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, No
Easy Choice. (1976). Political Participation in
Developing Countries, Cambridge, Mass,
Harvard University Press
Shakespeare, Tom. (2006). Disability Rights
and Wrongs. New York: Routledge
Shaminder K. Dhillon. (2009). Absent
Citizens: Disability Politics and Policy in
Canada, University of Toronto Press
The Asia Foundation. (2013). Survei dasar
terhadap pemahaman, persepsi dan praktik
pemilih terkait dengan aspek pemili di enam
target propinsi, Jakarta

More Related Content

Similar to Partisipasi Politik Difabel di 2 Kota.pdf

Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015Ikhwan Setiawan
 
Pemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasiPemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasiMuktar Eneste
 
Partisipasi politik: refleksi kritis partisipasi Politik
Partisipasi politik: refleksi kritis partisipasi PolitikPartisipasi politik: refleksi kritis partisipasi Politik
Partisipasi politik: refleksi kritis partisipasi PolitikHisnuddin Lubis
 
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdfMateri Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdfNovySetiaYunas
 
PERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptx
PERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptxPERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptx
PERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptxKazukiNakamoto1
 
Jurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunan
Jurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunanJurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunan
Jurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunanRizalSeptian4
 
11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...
11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...
11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...Farid Athar
 
Meningkatkan partisipasi politik rakyat
Meningkatkan partisipasi politik rakyatMeningkatkan partisipasi politik rakyat
Meningkatkan partisipasi politik rakyatElection Commision
 
Unimed undergraduate-23889-308311005 bab i
Unimed undergraduate-23889-308311005 bab iUnimed undergraduate-23889-308311005 bab i
Unimed undergraduate-23889-308311005 bab iarifkekait
 
Golput dan peran pengawas
Golput dan peran pengawasGolput dan peran pengawas
Golput dan peran pengawasMuhammad Yunus
 
Bab 1 kelas xi budaya politik
Bab 1 kelas xi budaya politikBab 1 kelas xi budaya politik
Bab 1 kelas xi budaya politikHendrastuti Retno
 
Two Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication TheoryTwo Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication Theorymankoma2012
 
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBaktiKelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBaktiRiskyAndreas
 

Similar to Partisipasi Politik Difabel di 2 Kota.pdf (20)

Partisipasi politik
Partisipasi politikPartisipasi politik
Partisipasi politik
 
001
001001
001
 
Outline penelitian
Outline penelitianOutline penelitian
Outline penelitian
 
Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015
 
Pemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasiPemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasi
 
Partisipasi politik
Partisipasi politikPartisipasi politik
Partisipasi politik
 
Partisipasi politik: refleksi kritis partisipasi Politik
Partisipasi politik: refleksi kritis partisipasi PolitikPartisipasi politik: refleksi kritis partisipasi Politik
Partisipasi politik: refleksi kritis partisipasi Politik
 
Pengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesiaPengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesia
 
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdfMateri Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
 
PERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptx
PERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptxPERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptx
PERAN WANITA PADA PARTAI DEMOKRAT LEMBAGA LEGISLATIF.pptx
 
Jurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunan
Jurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunanJurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunan
Jurnal perencanaan partisipatif dalam proses pembangunan
 
11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...
11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...
11 penelitian partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan pe...
 
Meningkatkan partisipasi politik rakyat
Meningkatkan partisipasi politik rakyatMeningkatkan partisipasi politik rakyat
Meningkatkan partisipasi politik rakyat
 
Unimed undergraduate-23889-308311005 bab i
Unimed undergraduate-23889-308311005 bab iUnimed undergraduate-23889-308311005 bab i
Unimed undergraduate-23889-308311005 bab i
 
Golput dan peran pengawas
Golput dan peran pengawasGolput dan peran pengawas
Golput dan peran pengawas
 
skripsi
skripsiskripsi
skripsi
 
Bab 1 kelas xi budaya politik
Bab 1 kelas xi budaya politikBab 1 kelas xi budaya politik
Bab 1 kelas xi budaya politik
 
Two Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication TheoryTwo Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication Theory
 
Bab 1
Bab 1Bab 1
Bab 1
 
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBaktiKelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
Kelompok 4 Pendidikan Kewarganegaraan Stim BudiBakti
 

More from UoB & UoB (University of Brawijaya, University of Birmingham)

More from UoB & UoB (University of Brawijaya, University of Birmingham) (14)

Konsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdf
Konsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdfKonsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdf
Konsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdf
 
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdfPemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
 
Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter
Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna TwitterPandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter
Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter
 
BOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdf
BOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdfBOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdf
BOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdf
 
Tragedi Pembunuhan Gerakan Civil Society, Rasionalitas kehancuran gerakan kor...
Tragedi Pembunuhan Gerakan Civil Society, Rasionalitas kehancuran gerakan kor...Tragedi Pembunuhan Gerakan Civil Society, Rasionalitas kehancuran gerakan kor...
Tragedi Pembunuhan Gerakan Civil Society, Rasionalitas kehancuran gerakan kor...
 
Book Section - Partisipasi untuk desa.pdf
Book Section - Partisipasi untuk desa.pdfBook Section - Partisipasi untuk desa.pdf
Book Section - Partisipasi untuk desa.pdf
 
CEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdf
CEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdfCEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdf
CEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdf
 
BUKU - Negara menata Ummat full.pdf
BUKU - Negara menata Ummat full.pdfBUKU - Negara menata Ummat full.pdf
BUKU - Negara menata Ummat full.pdf
 
Governability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdf
Governability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdfGovernability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdf
Governability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdf
 
TP-6 : Sustainability Development
TP-6 : Sustainability DevelopmentTP-6 : Sustainability Development
TP-6 : Sustainability Development
 
TP-5 : polemik pembangunan
TP-5 : polemik pembangunanTP-5 : polemik pembangunan
TP-5 : polemik pembangunan
 
TP-4:Strukturalisme dan dependensia
TP-4:Strukturalisme dan dependensiaTP-4:Strukturalisme dan dependensia
TP-4:Strukturalisme dan dependensia
 
TP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-Klasik
TP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-KlasikTP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-Klasik
TP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-Klasik
 
Kontrak belajar F & G
Kontrak belajar F & GKontrak belajar F & G
Kontrak belajar F & G
 

Partisipasi Politik Difabel di 2 Kota.pdf

  • 1. [IJDS 2017; Vol. 4 No.1, Month 2017, pp.51-62 ISSN: 2355 – 2158 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. 51 Received, Feb, 2017 Revised, Aprl, 2017 Accepted, May, 2017 PARTISIPASI POLITIK DIFABEL DI 2 KOTA Rachmad Gustomy Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia Abstrak: Partisipasi politik bukan hanya soal pemilu (turn out voter), namun pengertian lebih luas sebagai keterlibatan dalam perubahan kebijakan. Penelitian ini ditujukan untuk menemukan peta partisipasi politik kelompok difabel dalam 5 bentuk; pemilu, organisasi, contacting, lobby dan violance. Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan pola partisipasi kelompok difabel agar nantinya dapat digunakan basis penguatan kapasitas untuk pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan survei di 2 kota di Jawa Timur, yaitu di Kota Malang dan Kota Mojokerto. Survei dilakukan dengan mengambil sampling 56 responden di semua kota. Dari Penelitian ini disimpulkan ada berbedaan antara kesadaran dan tindakan dalam partisipasi politik kelompok difabel. Selain itu partisipasi politik kelompok difabel masih sangat terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi kebijakan publik. Keywords: partisipasi politik, lobi, aksi langsung, aktifitas pemilu, kontak langsung, pembangkangan. 1. Latar Belakang Penelitian ini mendudukkan praktik partisipasi politik kembali pada substansinya, yang tidak hanya menempatkan pemilih (khususnya kelompok marjinal seperti difabel) yang hanya sekedar menjadi pendulang suara (turn out voters). Sehingga pentingnya penelitian ini adalah untuk menjawab bentuk partisipasi politik yang lebih substansial daripada kecenderungan hanya memilih belaka 1 . Selain itu, penelitian ini juga menjawab kecenderungan penelitian yang hanya melihat partisipasi dari kelompok- kelompok marjinal hanya sekedar menjadi obyek perebutan kekuasaan, bukan menjadi subyek dari proses perubahan kebijakan itu sendiri. Di satu sisi yang lain, kelompok difabel adalah sebuah kelompok marjinal yang sangat rentan, dalam bahasa yang sederhana pengabaian terhadap mereka akan membuat mereka mati dengan sendirinya. Persoalan menjadi semakin kompleks ketika kelompok difabel ini juga terasing oleh struktur politik kita, sehingga kemudian melahirkan mentalitas-mentalitas inferior dikalangan 1 Sebagai contoh, lihat penelitian The Asia Foundation, 2013, Survei dasar terhadap pemahaman, persepsi dan praktik pemilih terkait dengan aspek pemili di enam target propinsi, Jakarta difabel. Inilah kendala mendasar dari kelompok difabel, dimana mereka sendiri pada konteks politik juga tidak mau memilih pemimpin yang difabel. Pemetaan partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam rangka menyiapkan sebuah basis rujukan dalam pemberdayaan dan penguatan kapasitas kelompok marjinal difabel. Urgensi terpentingnya adalah agar penguatan partisipasi politik tidak lagi terjebak pada hiruk pikuk pencoblosan saja, namun seara substansial juga memberikan dorongan kepada komunitas ini untuk melakukan gerakan perubahan. Kesadaran untuk memasukkan asumsi disabilitas dalam proses kebijakan publik sangat rendah, sehingga kualitas kebijakan masih jauh dari keberpihakan terhadap sebagaian masyarakat yang mengalami disabilitas. Ruang-ruang publik di banyak kota di Indonesia masih banyak tidak ramah terhadap aksesibilitas orang dengan disabilitas. Penyebab dari corak kebijakan yang seperti ini dikarenakan rendahnya sensitifitas pembuat kebijakan terhadap persoalan-persoalan kelompok difabel. Dalam penelitian The Asia Foundation di 6 Propinsi pada pemilu 2014, tingkat partisipasi relatif seimbang antara yang tertarik dan tidak. Kelompok yang „tidak tertarik‟ (27%) dan „tidak tahu‟ (19%) cukup tinggi, sedangkan yang „tertarik atau tanpa dengan
  • 2. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 52 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. konpensasi‟ (38%). Namun kelompok difabel yang benar-benar didorong oleh sebuah kesadaran perlawanan masih relatif rendah, yaitu hanya 11% (Tertarik jika tanpa konpensasi, dan tidak tertarik jika ada konpensasi). Artinya, sebagai voter kelompok difabel tidak bisa dibedakan dengan masyarakat umumnya, belum menjadikan Pemilu sebagai instrumen perubahan. Masih dalam penelitian yang sama, salah satu jawaban dari riset The Asia Foundation adalah gambaran inferioritas penyandang disabilitas didalam representasi politik. Jika mereka diminta jawaban tentang „persepsi mereka terhadap pemimpin difabel, temuan yang sangat mengejutkan menunjukkan bahwa 42% orang difabel juga tidak mau memilih pemimpin yang difabel Sisanya 37% menjawab memilih dan 21% menjawab tidak tahu. Data ini adalah gambaran bahwa ada ketidakpercayaan terhadap wakil rakyat penyandang disabilitas oleh penyandang disabilitas sendiri. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana persepsi dan aktifitas penyandang disabilitas dalam partisipasi politik untuk memperjuangkan kepentingannya. 2. Tinjauan Konseptual Meminjam istilah Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara, baik sebagai individu maupun komunitas, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan terkait kebijakan publik. Aktifitas ini dapat bisa dengan masuk saluran konvensional seperti menjadi anggota partai dan NGO, maupun kegiatan non-konvensional yang sifatnya spontan, sporadis, ilegal bahkan cara-cara pemaksaan2 . Melalui pengertian tersebut, maka partisipasi politik dapat dipahami dalam dua model gerakan, yaitu: partisipasi yang muncul dari kesadaran akan pentingnya keterlibatan dalam kebijakan publik dan partisipasi yang digerakkan oleh kekuatan dominan untuk 2 Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, 1976, No Easy Choice, Political Participation in Developing Countries, Cambridge, Mass, Harvard University Press terlibat dalam melegitimasi bentuk kekuasaan (mobilized political participation) 3 . Bentuk- bentuk partisipasi sukarela inilah yang lebih dekat dengan esensi dari partisipasi publik, yaitu keterlibatan yang „sepenuh hati‟ dalam mempengaruhi keputusan yang terkait dengan publik. Sedangkan sosialisasi, atau lebih tepatnya ajakan, untuk memilih dalam pemilu legislatif adalah salah satu bentuk mobilized political participation. Dari kerangka itu, maka dikembangkan peran-peran partisipasi politik ini dapat dikategorikan dalam lima bentuk sebagai berikut4 : 1. Electoral Activity adalah kegiatan atau aktifitas yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan pemilihan umum. Dalam identifikasi ini beberapa aktifitas partisipasi dapat berupa, mengikuti kampanye, memberikan sumbangan partai, menjadi sukarelawan dan tentu saja ikut serta dalam pemilihan umum. 2. Lobbying adalah kegiatan-kegiatan baik individu maupun kelompok dalam mempengaruhi proses kebijakan publik dengan melakukan negosiasi dan menghubungi para pejabat pemerintahan dan politik. Kegiatan ini dilakukan agar kebijakan publik yang dibuat dapat berpihak terhadap kepentingan mereka atau kelompoknya. 3. Organizational Activity adalah kertelibatan masyarakat kedalam asosiasi masyarakat, baik organisasi sosial maupun organisasi politik. Kelompok-kelompok asosiasi inilah yang kemudian melakukan aktifitas- aktifitas agar kebijakan yang mereka buat dapat didesakkan dan menjadi agenda publik. 4. Contacting adalah aktifitas langsung warganegara dalam menyampaikan pendapatnya tentang permasalahan 3 Huntington, Ibid 4 Sebagaimana di kutip Afan Gaffar dari Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, Juli 1997, Menampung Partisipasi Politik Rakyat, JSP Vol.1 Nomor 1, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta
  • 3. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 53 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. publik. Aktifitas ini dapat dilakukan dengan mendatangi langsung, mengirim surat pembaca, menelepon pejabat, menandatangi petisi dan semacamnya yang tujuannya mempengaruhi kebijakan. 5. Violence adalah cara-cara yang menggunakan tekanan dan pemaksaan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Cara-cara ini dapat dilihat dengan vandalisme, demonstrasi dan atau ancaman-ancaman yang ditujukan untuk melakukan perubahan secara langsung. 3. Metode Penelitian Agar dapat memetakan partisipasi politik difabel di dua kota yang berbeda, riset ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pencarian data melalui survei yang dilakukan adalah dengan mengambil sampel kelompok difabel. Pendekatan ini dipilih untuk bisa memahami fenomena permukaan secara luas dari partisipasi politik kelompok difabel khususnya di 2 kota di Jawa Timur. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel, sosiologis maupun psikologis. Penelitian ini akan dilakukan dengan melakukan survei di 2 kota, Kota Mojokerto dan Kota Malang, yang mengambil sampling kelompok difabel. Pencarian narasumber dilakukan dengan snowball mengingat karena jumlah penyandang disabilitas yang tidak jelas jumlah populasinya karena tidak ada data resmi. Jumlah responden di Kota malang sebanyak 34 orang (60%) sedangkan di Kota Mojokerto jumlah respondennya sebanyak 22 orang (39%). Proses wawancara juga dilakukan dengan metode Snow Ball, yang mana responden diketahui dari informasi responden lain. Kelemahan dan kelebihan metode pencarian data tersebut yang kemudian mewarnai proses data diperoleh. Jika dilihat dari jenis kelamin responden, sebaran jenis kelamin responden termasuk merata. Perbedaan jumlah responden laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, responden laki-laki berjumlah 29 orang (52%) dan responden perempuan 27 orang (48%). Dari data ini, kita bisa memastikan bahwa representasi jenis kelamin sudah terwakili dari pendapat-pendapat yang disampaikan dalam penelitian ini. Sedangkan persebaran responden jika dilihat dari jenis disabilitasnya, maka akan lebih didominasi oleh penyandang tuna daksa. Responden penyandang tuna daksa paling mudah di temukan (40 responden), hal ini karena keterbatasan mobilitas yang menjadi masalah utama tuna daksa, biasanya dengan kendaraan roda tiga. Sedangkan responden tunanetra juga masih relatif mudah ditemui, karena biasanya mereka berkumpul di panti pijat, yang dapat diwakili oleh 11 responden. Persoalan tidak terwakilinya penyandang disabilitas lain, seperti tuna rungu dan tuna grahita, lebih disebabkan tidak mudahnya diidentifikasi oleh peneliti atau memang disembunyikan keluarganya. Namun demikian, meskipun memiliki kelemahan ini pendapat yang diajukan sudah relatif mewakili kepentingan penyandang disabilitas. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1.Aktivitas dalam Pemilu Aktifitas dalam pemilu dianggap penting, karena melalui pemilu diharapkan isu disabilitas dapat teradvokasi secara politik oleh pemimpin yang telah dipilih. Responden menyatakan hal yang sama bahwa pemilu itu penting dengan ditunjukkannya penggunaan hak suara dalam pemilihan yang tinggi. Dalam Pemilu 2014, 87% persen difabel menyatakan menggunakan hak pilihnya, selebihnya 13% tidak menggunakan hak suaranya (lihat Gambar 1). Jumlah ini harus menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk memberikan sosialisasi Pemilu secara masif terhadap masyarakat, khususnya bagi para penyandang disabilitas. Mayoritas penyandang disabilitas menganggap bahwa Pemilu merupakan sarana penting untuk mewujudkan kepentingan mereka. Sebagian besar masing menganggap penting, terlihat dari 37,5% responden menyatakan Pemilu „penting‟, dan 26,8% responden yang menyatakan „sangat penting‟. Sedangkan sebagian kecil mengatakan lain, 10,7% „tidak penting‟ dan 7,1% menyatakan
  • 4. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 54 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. „sangat tidak penting‟ (lihat Gambar 2). Responden yang masih menyatakan bahwa Pemilu masih dianggap tidak penting dan sangat tidak penting, kemungkinan besar salah satunya karena tidak puas dengan output dari pemilu. Gambar 1. Penggunaan Hak Suara Pemilu 2014 Gambar 2. pendapat pentingnya pemilu untuk kepentingan difabel Hal ini terlihat dari penilaian mereka yang buruk terhadap wakil rakyat yang terpilih dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Sebagian besar menyatakan pesimisme mereka, yang ditunjukkan dengan 32,1% responden menyatakan „tidak terwakili‟, bahkan sebanyak 23,2% merasa „sangat tidak terwakili‟. Meskipun demikian, beberapa responden masih merespon positif, yakni sebanyak 21,4% responden merasa „terwakili‟, dan 7,1% merasa „sangat terwakili‟ kepentingannya (lihat Gambar 3). Hal ini diperkuat dengan lemahnya keyakinan responden kepada wakil rakyat yang dipilihnya. Hampir separuh responden 44,6% menyatakan „tidak yakin‟, bahkan 26,8 % mengatakan „sangat tidak yakin‟. Sedangkan responden yang masih optimis dengan kinerja calon legislaif cukup minim, yakni sebanyak 10,7% menyatakan „yakin‟ dan 3,6% menyatakan „sangat yakin‟ (perhatikan Gambar 4). Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih sangat minimal sekali dampak kebijakan publik atau keperpihakan yang dirasakan bagi para penyandang disabilitas oleh para pejabat politik. Dimana saja memang ada persoalan dalam representasi kelompok kurang beruntung (disanvatage people) dalam lembaga pemerintahan5 . Gambar 3. pendapat tentang keterwakilan kepentingan difabel Gambar 4. keyakinan terhadap calon legislatif akan pemenuhan janjinya 4.2.Aktivitas Organisasi (Organizational Activity) Wujud partisipasi politik yang bisa memastikan manifestasi kepentingan kelompok penyandang disabilitas dalam kebijakan pemerintahan adalah dengan aktivitas organisasi. Setidaknya ada tiga bentuk organisasi yang biasa diikuti penyandang disabilitas, yaitu: Organisasi 5 Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck, 2013,People with Disabilities: Sidelined or Mainstreamed?, Cambridge University Press, New York
  • 5. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 55 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. Lingkungan, Organisasi Masyarakat dan Organisasi Politik. Dalam konteks berorganisasi, hampir semua setuju pentingnya ikut organisasi. Sebanyak 60,7% ‘sangat setuju‟ dan 35,7% ‘setuju‟ terhadap pentingnya organisasi. Sedangkan sisanya, masing-masing 1,8%, berpendapat „kurang setuju‟ dan „tidak setuju‟ (perhatikan Gambar 5). Dari data ini dapat diketahui bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi besar dalam melakukan partisipasi politik berupa keikutsertaan dalam organisasi. Gambar 5. Pendapat kemudahan kepentingan difabel jika ikut organisasi Salah satu keaktifan dalam organisasi yang dapat diikuti adalah organisasi dalam level lingkungan seperti di RT, Komunitas Kampung, Pengajian atau komunitas skala lokal lainnya. Sebagian besar penyandang disabilitas yang menjadi narasumber menyebutkan bahwa mereka cukup aktif dalam organisasi di lingkungannya. Sebanyak 42,9% responden yang mengatakan „aktif‟ dan 10,7% responden yang mengatakan „sangat aktif‟ dalam organisasi di kampungnya. Sebagian kecil lainnya, yaitu 35,7% responden mengatakan bahwa mereka „jarang aktif‟ dan 10,7% responden lainnya mengatakan „tidak pernah aktif‟ dalam organisasi di lingkungannya. (lihat Gambar 6). Namun jika kita perdalam tingkat keterlibatan dari penyandang disabilitas di dalam organisasi di lingkungannya, akan terlihat bahwa mereka lebih banyak pasif menjadi anggota saja. Dari hasil survei ditunjukkan jika sebagian besar 66,1% responden menyatakan hanya „menjadi anggota‟ saja dalam organisasi di lingkungannya. Sedangkan hanya ada 17,9% responden saja yang menjadi pengurus di tingkat lingkungan RT/RW, dan 14,3% responden lainnya mengaku „pernah menjadi pengurus‟ (lihat Gambar 7). Hal ini menunjukkan aktifitas mereka dilingkungan belum maksimal dalam memainkan peran sebagai motivator di lingkungannya. Gambar 6: Aktivitas berorganisasi Lingkungan RT/RW Gambar 7. Keterlibatan jadi pengurus di organisasi tempat tinggal Aktifitas kegiatan di organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin menurun dibanding aktifitas di organisasi lingkungan. Dalam keterlibatan kegiatan dengan LSM, sebanyak 44,6% responden mengatakan „tidak ikut‟ dan 16,1% responden menyatakan „pernah ikut‟ kegiatan Ormas atau LSM. Hanya sekitar 37,5% responden menyatakan masih „ikut aktif‟ dalam kegiatan Ormas (lihat Gambar 8). Namun sayangnya, sebagian besar Organisasi Kemasyarakatan yang mereka ikuti adalah bergerak di isu disabilitas. Sebanyak 80,4% responden hanya mengikuti kegiatan „organisasi difabel‟, sedangkan sisanya 12,5% responden ikut organisasi keagamaan,
  • 6. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 56 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. selebihnya sebanyak 1,8% menyatakan juga ikut organisasi lainnya (lihat Gambar 9). Hal ini menunjukan gambaran ekslusifitas kegiatan organisasi mereka, yang belum maksimal membangun jaringan diluar kelompok penyandang disabilitas. Gambar 8:. keterlibatan dalam organisasi kemasyarakat Gambar 9. jenis organisasi kemasyarakat yg rutin diikuti Namun yang patut disyukuri, aktifitas kelompok difabel dalam ormas yang diikutinya cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan data survey terhadap responden penyandang disabilitas yang mengikuti ormas, yakni 58,9% responden mengatakan „aktif‟, begitupula 23,2% responden mengatakan „sangat aktif‟ dalam kegiatan organisasi. Hanya sisa 10,7% yang mengatakan „tidak aktif‟, dan 5,4 % lainnya mengatakan „jarang aktif‟ (lihat Gambar 10). Dari data ini dapat disimpulkan bahwa kelompok difabel sebenarnya memiliki semangat dan potensi gerakan yang luar biasa, namun perlu penguatan jaringan untuk membuatnya lebih efektif. Gambar 10. keaktifan dalam organisasi kemasyarakat yg diikuti Dalam konteks organisasi politik, para responden menyadari pentingnya peran partai politik, meskipun mereka sebagian besar tidak menjadi anggota partai atau aktif dalam kegiatan partai politik. Menurut responden, mayoritas berpendapat bahwa keikutsertaan dalam partai politik dianggap sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan 53,6% responden yang mengatakan „perlu‟ dan 21,4% responden yang mengatakan „sangat perlu‟ untuk ikut partai politik. Sedangkan, hanya 16,1% yang menyatakan „tidak perlu‟ dan 1,8% pendapat yang mengatakan „kurang perlu‟ (lihat Gambar 11). Namun urgensi partai ini berbanding terbalik dengan fakta keikutsertaan mereka dalam partai politik. Sebanyak 89,3% mengatakan „tidak ikut‟ partai politik, sedangkan yang menyatakan „ikut‟ dan „pernah ikut‟ masing-masing 5,4% responden (lihat Gambar 12). Hal senada dijumpai pada keterlibatan mereka dalam kegiatan partai politik yang relatif kecil. Sebagian besar 42,9% responden yang menayatakan „tidak aktif‟, dan 8,9% yang lain menyatakan „jarang aktif‟. Sedangkan hanya 16,1% responden yang menyatakan aktif dalam keterlibatan kegiatan partai (lihat Gambar 13). Fakta ini disebabkan oleh dua kemungkinan, partai politik yang tidak responsif terhadap penyandang disabilitas atau penyandang disabilitasnya yang tidak agresif masuk partai6 . 6 Lisa Schur, 2017, Toward Inclusion, Political and Social participation of people with disabilities, dalam Routledge Handbook of Disability Law and Human Rights, Peter Blanck, Eilionóir Flynn, Roudledge
  • 7. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 57 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. Gambar 11. pendapat perlunya ikut partai politik Gambar 12. keikutsertaan jadi anggota parpol Gambar 13. keaktifan saat ikut parpol tersebut 4.3.Aktivitas Membangun Komunikasi (Contacting) Bentuk partisipasi politik lain yang diharapkan dari penyandang disabilitas adalah berkomunikasi atau berkontak langsung pemerintah. Dengan aktivitas tersebut, maka diharapkan pemerintah tahu benar apa yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas langsung dari penyandang disabilitasnya sendiri. Ada beragam bentuk bagaimana menyampaikan aspirasi langsung kepada pemerintah, baik dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Bentuk langsung misalnya adalah menyampaikan secara langsung kepada pejabat terkait tentang masalah-masalah penyandang disabilitas. Sedangkan cara tidak langsung misalnya adalah dengan instrumen media lain, seperti surat pembaca, kotak saran dan semacamnya. Harapannya jika penyandang disabilitas tergerak untuk menyampaikan pendapat secara langsung maka pemerintah akan lebih memahami kepentingan penyandang disabilitas. Dari kacamata penyandang disabilitas sendiri, sebenarnya menyampaikan pendapat secara langsung dianggap penting. Sebanyak 28,6% responden yang meyakini bahwa menyampaikan pendapat secara langsung itu „sangat efektif‟ dan 42,9% responden yang menyatakan „efektif‟. Artinya sebagian besar (71,5%) meyakini efektivitas penyampaian pendapat secara langsung kepada pemerintah. Hanya sebagian kecil, 12,5% responden yang menyatakan „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟ (lihat Gambar 14). Dengan temuan ini, maka dapat tergambarkan bahwa sebenarnya para penyandang disabilitas sadar bahwa menyampaikan pendapat secara langsung itu sangat penting kepada pemerintah, agar kebijakan yang dibuat pemerintah lebih berpihak kepada penyandang disabilitas. Gambar 14. pendapat tentang keefektifan menyampaikan pendapat langsung Namun, sekali lagi kesadaran mereka berbanding terbalik dengan partisipasi politiknya. Data dalam penelitian ini justru menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya menyampaikan pendapat secara langsung kepada pemerintah tidak konsisten dengan praktiknya. Hanya sebagian dari penyandang disabilitas yang pernah menyampaikan pendapatnya secara langsung kepada pemerintah. Hal ini terlihat bahwa hanya 41,1% responden yang „pernah‟ menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Sedangkan 30 responden (53,6%) justru
  • 8. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 58 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. mengatakan „tidak pernah‟ menyampaikan pendapat secara langsung kepada pemerintah (lihat Gambar 15). Dari sini terlihat selama ini terdapat persoalan yang menghambat aktualisasi penyampaian pendapat dari penyandang disablitas. Hanya sebagian kecil dari responden yang berani menyampaikan pendapat secara langsung, bahkan secara agresif mendatangi pejabat langsung (26,8% responden). Dari wawancara biasanya dilakukan dalam bentuk- bentuk audiensi, khususnya bagi para penyandang disabilitas yang aktif di dalam Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD). Sebagian kecil yang lain berani menyampaikan usulan-usulan kepada pemerintah ketika ada acara-acara yang kebetulan dihadiri pejabat. Sebanyak 12,5% responden mengaku pernah menyampaikan usulan kepada pejabat pemerintah yang kebetulan hadir dalam sebuah acara. Hanya 1 responden yang memiliki pengalaman menyampaikan saran secara langsung, karena pernah menjadi tim sukses dari bupati, sehingga memiliki akses langsung. Sedangkan sebanyak 8,95% dari responden memanfaatkan media massa untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Namun sayangnya, 21,4% responden mengatakan takut atau tidak berani menyampaikan pendapat kepada pemerintah dengan beragam alasan (lihat Gambar 16). Gambar 15. menyampaikan keluhan langsung ke pemerintah Dari data diatas, dapat ditarik dua benang merah penting tentang peran penyampaian pendapat (contacting) penyandang disabilitas terhadap pemangku kebijakan. Pertama, meski menyadari pentingnya contacting dengan pemerintah, namun ada hambatan terselubung mengapa mereka tidak melakukannya. Kedua, Gambar 16. bentuk yang digunakan untuk menyampaikan keluhan ke pemerintah hambatan partisipasi contacting, bisa disebabkan ketidaktahuan, keenganan atau hambatan psikologis lainnya yang perlu segera diatasi. Dari data penelitian yang kami peroleh, belum jelas korelasi antara lemahnya contacting jika dihubungkan dengan variabel lain. Soal pendidikan, jenis disabilitas, jenis kelamin, pendapatan ternyata tidak berkorelasi dengan aktivitas contacting. Lebih aneh lagi, pengalaman organisasi, baik ormas difabel, lingkungan maupun organisasi politik masih tidak korelatif dengan aktivitas contacting. Dari sini, tentu ada pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian selanjutnya. 4.4.Kegiatan Lobbying Bentuk partisipasi politik lain yang diharapkan mampu mengubah kebijakan- kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi penyandang disabilitas adalah dengan lobby. Pengertiannya adalah para penyandang disabilitas, baik individu maupun kelompok membangun jaringan untuk mempengaruhi kebijakan. Hal ini menjadi penting, karena penyandang disabilitas tidak bisa membangun organisasi sendiri yang eksklusif, yang justru akan melemahkan perjuangan penyandang disabilitas. Semakin luas jaringan, secara teoritik tentu semakin baik bagi pencapaian tujuan advokasi kebijakan publik. Semua penyandang disabilitas mengetahui benar pentingnya membuat jaringan lobby atau kerja sama dengan lembaga atau elit yang bisa mempengaruhi kebijakan. Sebanyak 62,5% responden menyatakan „sangat perlu‟ dan 33,9% responden lainnya menyatakan „perlu‟ membangun kerja sama (lihat Gambar 17). Tidak ada responden yang menyatakan tidak perlu membangun kerja sama. Ini artinya, sejauh pengalaman para penyandang
  • 9. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 59 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. disabilitas, kerja sama dengan lembaga atau elit lain dianggap sangat penting. Gambar 17. pendapat tentang perlunya kerjasama dengan pihak lain untuk kepentingan difabel Menurut responden, kerja sama yang dianggap paling efektif adalah dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diluar Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), kemudian dengan politisi, pejabat pemerintah dan terakhir dengan kampus. Sebanyak 32,1% responden menyatakan bahwa bekerjasama dengan LSM dianggap paling efektif, karena secara intensif melakukan advokasi dan pelatihan, meski tidak pernah memberikan bantuan langsung. Hal ini mereka rasakan selama ini menjadi mitra dari beberapa LSM dalam memperjuangkan kepentingan penyandang disabilitas. Sedangkan yang meyakini politisi sebagai mitra kerja sama yang baik sebanyak 19,6% responden. Dalam wawancara mereka menyebutkan bahwa lebih sering politisi memberikan bantuan langsung baik tunai maupun barang. Serupa dengan politisi, 17,9% responden mengatakan hal serupa tentang peran pemerintah, yang seringnya memberikan bantuan tunai, barang atau pelatihan (lihat Gambar 18). Sedangkan kelompok akademisi kampus lebih banyak hanya memberikan pelatihan-pelatihan saja, yang bagi sebagian tidak terlalu dibutuhkan kecuali „uang transport‟-nya. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa terkait partisipasi melalui lobby, sudah menjadi kesadaran bagi para penyandang disabilitas. Namun yang perlu menjadi catatan, proses aktivitas kerja sama yang diperlukan itu yang sifatnya jangka panjang dan intensif agar membuahkan hasil7 . Hal ini yang menjelaskan pentingnya membangun jaringan dengan LSM daripada Kampus. LSM, Pemerintah maupun politisi, −dengan beragam kepentingannya−, bisa menjadi mitra yang lebih jangka panjang, yang berbeda dengan Kampus yang hanya tentatif. Catatan lain dalam wawancara informal, penyandang disabilitas masih memaknai membangun kerja sama (lobby) adalah memberikan bantuan barang atau tunai. Meski tidak semua, maka pintu masuk yang paling penting dalam membangun kerja sama dengan kelompok penyandang disabilitas adalah membangun kesadarannya terlebih dahulu. Catatan ini tentu berharga untuk menjadi pemahaman jika ingin bekerjasama dengan penyandang disabilitas atau OPD. Gambar 18. pendapat dengan siapa penggalangan kerjasama yang baik 4.5.Penggunaan Pemaksaan (Violence) Salah satu bentuk partisipasi politik yang paling mungkin mempengaruhi kebijakan adalah tindakan aktif mempengaruhi kebijakan, salah satunya dengan pemaksaan (violance). Pilihan tindakan yang dimaksud pemaksaan (violence) tidak selalu dimaknai dengan perusakan, namun tindakan untuk mendesak pemerintah memenuhi agenda kebijakannya. Pada konteks ini, para penyandang disabilitas perlu memahami benar strategi penggunaan pemaksaan dalam mengubah kebijakan, seperti boikot, demonstrasi dan bentuk-bentuk pemaksaan lainnya. 7 Shaminder K. Dhillon, 2009, Absent Citizens: Disability Politics and Policy in Canada, University of Toronto Press
  • 10. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 60 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. Pemaksaan atau tindakan memaksakan agenda kebijakan justru masih dianggap sebagai hal yang tidak baik bagi responden, namun dianggap efektif. Sebagian besar penyandang disabilitas masih melihat dari kacamata yang negatif terhadap tindakan pemaksaan dalam kebijakan. Hal ini terlihat dari 57,1% responden yang “tidak setuju” dengan aksi pemaksaan, dan 19,6% responden yang “kurang setuju” dengan tindakan pemaksaan. Namun, setidaknya ada 10,7% responden yang „setuju‟ dan 6,3% responden yang „sangat setuju‟ dengan penggunaan pemaksaan (lihat Gambar 19). Namun persepsi ketidaksetujuan penggunaan pemaksaan sedikit tidak konsisten jika dibandingkan dengan persepsi tentang efektivitas demonstrasi dalam mengubah kebijakan. Sebanyak 37,5% responden berpendapat bahwa demonstrasi adalah cara yang „efektif‟, dan 7,1% responden lainnya mengatakan „sangat efektif‟ mengubah kebijakan. Sedangkan sebagian yang lain, yaitu 19,6% responden menilai bahwa demonstrasi „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟ (lihat Gambar 20). Ketidak setujuan masih diwarnai dengan pemahaman dalam etika sosial bahwa mengambil tindakan pemaksaan adalah hal yang buruk, namun penilaian efektiftasnya merujuk pada pengalaman demonstrasi lainnya. Gambar 19. setuju tidaknya tentang protes kebijakan dengan cara kekerasan Namun sekali lagi, persepsi tentang demonstrasi dengan partisipasi politiknya tidak konsisten bagi penyandang disabilitas. Faktanya 60,7% responden mengatakan „tidak pernah ikut‟ dalam demonstrasi, dan hanya 32,1% yang mengaku „pernah ikut demosntrasi‟ (lihat Gambar 21). Padahal mereka mengakui strategisnya aktifitas demonstrasi dalam merubah kebijakan publik. Sebanyak 25% responden menganggap demonstrasi „sangat perlu‟, begitu juga dengan 39,3% responden lain menganggap demonstrasi „perlu‟. Ini artinya, sebagian besar dari penyandang disabilitas (64,3%) menganggap bahwa melakukan demonstrasi dapat memperjuangkan kepentingan penyandang disabilitas. Meski demikian, masih ada sedikit responden 21,4% responden yang beranggapan bahwa demonstrasi itu „tidak perlu‟ (lihat Gambar 22). Gambar 20. pendapat efektifnya demo untuk merubah kebijakan Gambar 21. keikutsertaan dalam demo Dari wawancara informal ada beberapa alasan yang muncul mengapa mereka tidak ikut dalam demonstrasi. Pertama, karena tidak mampu atau halangan fisik untuk melakukannya. Kedua, karena tidak berani dan menganggap demonstrasi adalah sebuah aktivitas yang buruk. Ketiga, tidak ada yang
  • 11. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 61 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. mendorong atau mengajak mereka untuk melakukan demonstrasi. Disatu sisi, keikutsertaan mereka biasanya didorong oleh kegiatan dan agenda dalam organisasi penyandang disabilitas dalam menuntut sebuah kebijakan. Gambar 22. pendapat perlunya difabel demo untuk merubah kepentingan pemerintah 5. Penutup Berdasarkan pembahasan diatas, maka berikut lima kesimpulan yang dapat ditarik: Pertama, Mayoritas responden menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014, karena mengaggap bahwa pemilu merupakan aktivitas penting yang dapat mengakomodasi kepentingan difabel. Namun mereka tidak percaya dengan politisi, karena menganggap tidak terwakili secara politik dalam mengakomodir kepentingan difabel. Jadi, partisipasi politik penyandang disabilitas cukup aktif dalam pemilu, akan tetapi ada ketidak percayaan terhadap wakil rakyat dalam memperjuangkan kepentingan difabel. Kedua, dalam aktifitas organisasi mayoritas dari responden sangat setuju bahwa organisasi dapat memudahkan kepentingan politik menjadi terwujud. Hal ini kemudian membuat mereka terlibat aktif mereka dalam kegiatan lingkungan, meskipun jarang menjadi pengurus. Namun dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti LSM, mayoritas responden masih banyak belum terlibat. Kalaupun mereka terlibat mereka lebih tertarik pada kegiatan Ormas yang fokus pada isu disabilitas. Sedangkan dalam organisasi politik, semakin jarang penyandang disabilitas yang ikut bergabung, meskipun menganggap penting. Dimungkinkan salah satu sebabnya adalah kurangnya aksesibilitas partai politik terhadap penyandang disabilitas. Ketiga, aktifitas membangun kontak dengan pemerintah, penyandang disabilitas sadar bahwa menyampaikan pendapat secara langsung kepada pemerintah itu penting, agar kebijakan yang dibuat pemerintah lebih berpihak kepada penyandang disabilitas. Akan tetapi permasalahannya adalah mayoritas responden justru tidak pernah mengatakan permasalahannya langsung pada pemerintah. Sehingga penyandang disabilitas masih belum bisa memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada untuk menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah. Jadi dalam indikator partisipasi politik ini dapat diketahui bahwa di satu sisi mereka sadar pentingnya mengutarakan pendapat, namun hambatan psikologis dan ketidaktahuan mereka mengenai cara menyampaikan menjadi kendala. Keempat, Bentuk partisipasi politik lain yang diharapkan mampu mengubah kebijakan- kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi penyandang disabilitas adalah dengan lobby atau pembangun jaringan untuk mempengaruhi kebijakan. Dalam pengetahuannya, mayoritas responden mengatakan setuju dengan hal tersebut, dan menganggap bahwa LSM merupakan mitra jaringan yang baik bagi para penyandang disabilitas. Kelima, Salah satu bentuk dari partisipasi politik adalah pemaksaan, seperti demonstrasi. Responden menolak penggunaan cara ini meskipun mereka sepakat dengan demonstrasi. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan demonstrasi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa belum ada dorongan yang kuat dan terkonsolidasi untuk membuat mereka melakukan demonstrasi. Daftar pustaka ditulis tanpa nomor bab. Semua rujukan pustaka yang digunakan ditulis dalam daftar pustaka. Daftar pustaka dituliskan berurutan sesuai dengan urutan abjad nama belakang penulis pertama diikuti tahun publikasi dalam kurung. Contoh format penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:
  • 12. IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62 ISSN: 2355 – 2158 62 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. Daftar Pustaka Afan Gaffar, Menampung (1997). Partisipasi Politik Rakyat, JSP Vol.1 Nomor 1, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck. (2013). People with Disabilities: Sidelined or Mainstreamed?, Cambridge University Press, New York Lisa Schur, Toward Inclusion. (2017). Political and Social participation of people with disabilities, dalam Routledge Handbook of Disability Law and Human Rights, Peter Blanck, Eilionóir Flynn, Roudledge Riddle, C. A. (2014). Disability & Justice: The Capabilities Approach in Practice. Lanham: Lexington Books/Rowman & Littlefield Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, No Easy Choice. (1976). Political Participation in Developing Countries, Cambridge, Mass, Harvard University Press Shakespeare, Tom. (2006). Disability Rights and Wrongs. New York: Routledge Shaminder K. Dhillon. (2009). Absent Citizens: Disability Politics and Policy in Canada, University of Toronto Press The Asia Foundation. (2013). Survei dasar terhadap pemahaman, persepsi dan praktik pemilih terkait dengan aspek pemili di enam target propinsi, Jakarta