SlideShare a Scribd company logo
1 of 28
Download to read offline
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/328593916
TRAGEDI PEMBUNUHAN GERAKAN CIVIL SOCIETY
Article in JUSS (Jurnal Sosial Soedirman) · July 2017
DOI: 10.20884/1.juss.2017.1.1.391
CITATIONS
0
READS
90
1 author:
Rachmad Gustomy
University of Birmingham
21 PUBLICATIONS 45 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Rachmad Gustomy on 21 May 2021.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
60
TRAGEDI PEMBUNUHAN GERAKAN CIVIL SOCIETY :
RASIONALITAS KEHANCURAN ASOSIASI KORBAN LUMPUR DI INDONESIA
Oleh : Rachmad Gustomy1
Abstrak
Peristiwa semburan lumpur panas di Sidoarjo adalah tenggelamnya 4 desa,
dengan sedikitnys 12.000 keluarga, yang dituduhkan dilakukan oleh PT Lapindo
Brantas. Masyarakat pada awalnya membentuk asosiasi korban lumpur sebagai
upaya untuk menggalang kekuatan untuk meminta ganti rugi, namun semakin
lama gerakan ini semakin terpecah dan 4 tahun kemudian lenyap menjadi
individu-individu. Padahal tujuan belum tercapai, masih banyak korban lumpur
yang belum mendapat pelunasan pembayaran, padahal ketika terpecah mereka
menjadi semakin lemah dalam memperjuangkan haknya. Pertanyaannya artikel
ini adalah, bagaimana rasionalitas di balik perpecahan itu terjadi dan apa
konstruksi nalar yang melatarbelakanginya? Pendekatan yang digunakan adalah
model kualitatif dari rational choice dalam konteks pengambilan keputusan multi
agen. Penjelasan ini terikat oleh batasan rasionaltas pembentuknya (bounded
rationality), yaitu bencana dan kebijakan yang diambil. Temuannya bahwa
mekanisme transaksi yang dipakai membuat ‘komunitas besar’ warga korban
lumpur terpecah dari komunitas menjadi individu. Penyebabnya adalah karena
struktur pasca Orde Baru yang melahirkan politik liberal, mengkondisikan pilihan
rasional masyarakat kedalam pola transaksional, yang pada akhirnya menggeser
relasi ‘intimitas’ masyarakat dari komunitas menjadi individual.
Keyword : game theory, bounded rationality, asosiasi masyarakat, korban
bencana, compensation, transaction
A. Pendahuluan
Tulisan ini berangkat dari refleksi untuk sekian kalinya, disaat penulis setiap kali datang
kembali ke monumen bencana terbesar di Jawa Timur, luapan lumpur di Sidoarjo. Sampai hari
ini, masih banyak warga korban lumpur yang mengaku belum mendapatkan pelunasan
pembayaran dari PT Lapindo Brantas dan kuatnya kenangan-kenangan pahit masa itu. Meskipun
pemerintah telah menilai semua baik-baik saja, mereka menganggap luapan lumpur itu adalah
momentum hancurnya sejarah kehidupan keluarga mereka. Padaal sebagian dari mereka masih
mengenang betapa besar dan kuatnya gerakan mereka saat itu, sehingga dapat memaksa
pemerintah dan PT Lapindo Brantas untuk duduk bersama membicarakan kembali proses ganti
rugi. Namun, mereka menyesali mengapa saat itu mereka dengan mudah dipecah belah, sehingga
perjuangan yang belum selesai namun organisasi penggeraknya hancur duluan. Cerita kenangan
mereka justru memunculkan pertanyaan yang cukup menganggu, jika memang gerakan mereka
1
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya, Malang
61
sangat besar dan kuat, mengapa mereka kalah? Bagaimana mereka bisa kalah dalam
mengadvokasi dirinya sendiri?
Sekedar menyegarkan ingatan kita tentang peristiwa ini, ingatan kita perlu diputar kembali
pada 29 Mei 2006, dimana saat itu muncul semburan lumpur panas setinggi 6 meter yang
jaraknya hanya sekitar 150 meter dari galian sumur eksplorasi Banjar Panji-1 (BJP-1) di Porong,
kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur, Indonesia. Dari kesaksian warga sekitar saat itu, pihak
PT Lapindo Brantas berjanji untuk segera menangani semburan lumpur yang terjadi dan akan
bertanggungjawab dengan dampak kerugian yang diakibatkannya2
. Seminggu penuh kesibukan
terlihat di sekitar semburan lumpur panas3
, yang areanya mulai tertutup bagi warga umum,
namun tidak membuahkan hasil. Kemudian bersama Pemerintah Daerah dan BP Migas (Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi), PT Lapindo brantas juga membuat
beberapa usaha penanganan lebih intensif, misalnya dengan membuat bendungan cincin di
sekitar semburan dan menyuntikkan lumpur berat. Namun sayang, usaha-usaha penutupan itu
gagal, justru semburan lumpur yang keluar semakin lama semakin besar dan berdampak semakin
meluas. Sehingga kemudian dalam waktu empat bulan lumpur telah menenggelamkan empat
desa dan memaksa para penduduk untuk keluar dari rumah tinggal mereka.
Akibat dari upaya menutup semburan yang gagal tersebut menyebabkan warga sekitar
semburan untuk mengungsi keluar area berbahaya, yang hari demi hari semakin besar. Dalam
waktu 37 hari saja semburan itu sudah memaksa 6.915 orang mengungsi, menenggelamkan
ribuan hektar sawah, ratusan rumah, 17 sekolah dan 15 pabrik yang memiliki ribuan pekerja.
Sebulan saja dampak sosial dari krisis tersebut sudah membuat 5.382 anak sekolah telantar dari
kegiatan belajar, ribuan pekerja pabrik harus menganggur dan padi siap panen harus tenggelam4
.
Dalam waktu dua bulan, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat korban lumpur lumpuh total,
sehingga kehidupan mereka praktis hanya dihabiskan di pengungsian tanpa kejelasan nasib.
Dampak ini kemudian juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi daerah di sekitar
Sidoarjo, karena memotong arus transportasi yang disebabkan jalan tol yang menghubungkan
Surabaya dan Malang ikut tenggelam karena lumpur. Empat bulan kemudian, tepatnya tanggal 8
September 2006, penanganan lumpur diambil alih oleh Pemerintah Pusat dengan membentuk
Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PLS). Bencana semakin meluas
ketika pada 22 November 2006, pipa gas Pertamina yang berada dalam areal lumpur meledak,
sehingga dampak luapan lumpur semakin meluas. Peristiwa ledakan menambah jumlah
pengungsi semakin besar, 21 ribu jiwa atau lebih dari 3.500 kepala keluarga harus pindah ke
areal pengungsian di berbagai lokasi.
Tentu saja peristiwa ini bukan hanya mengakibatkan perubahan geologis saja, namun
memiliki pengaruh terhadap perubahan sosial dan relasi kekuasaan dari aktor-aktor yang terlibat
didalamnya. Ada 3 aktor utama dalam konteks peristiwa itu, yaitu Masyarakat Porong sebagai
korban, PT Lapindo Brantas sebagai pelaku dan Pemerintah sebagai penengah. Kepentingan
masyarakat korban lumpur tentu saja adalah agar mereka segera mendapat kompensasi kerugian
dari dampak lumpur. Kepentingan PT Lapindo Brantas adalah agar terhindar dari kerugian yang
2
Kesaksian warga yang rumahnya di sekitar semburan lumpur utama. Wawancara dengan korban antara tahun
2009-2011
3
Ibid
4
Data pengungsi dan dampaknya yang di upload di Social Impact,
http://www.mudvolcano.com//home.php?page_id=10, diunduh 25 Agustus 2011, pukul 21.34 WIB. (Sayangnya
web ini sudah tidak aktif saat tulisan ini dibuat)
62
berlebihan dari tanggungjawab yang mereka pikul karena dianggap sebagai pelaku bencana.
Sedangkan kepentingan pemerintah, atau individu didalam pemerintahan, adalah agar bencana
ini tidak mengganggu stabilitas politik yang akan mendelegitimasi kekuasaannya. Ketiga
kepentingan yang berbeda inilah yang kemudian melahirkan konflik yang berkepanjangan dalam
proses penyelesaian dampak sosial bencana lumpur selama 7 tahun.
Bagi masyarakat korban lumpur, cara terbaik untuk mendapatkan kembali haknya adalah
dengan membangun asosiasi masyarakat yang akan digunakan sebagai kekuatan penekan untuk
merebut kembali haknya. Sebagaimana semua asosiasi masyarakat dibentuk, tujuan utama dari
asosiasi korban lumpur adalah agar tuntutan mereka dipenuhi oleh Pemerintah dan PT Lapindo
Brantas. Namun pilihan dan strategi gerakan mereka dibatasi oleh nalar bencana yang mereka
hadapi, dalam konteks ini masyarakat korban lumpur bukan hanya sekedar menjadi masyarakat
resiko (risk socety), namun sudah berada pada kondisi masyarakat bencana (disaster society).
Dimana pilihan-pilihan mereka menentukan hidup-mati mereka yang harus direspon dengan
cepat, sehingga terciptalah masyarakat yang rentan (vulnerable).
Disatu sisi, pemerintah sebagai tempat satu-satunya masyarakat menyandarkan harapan
mendapat pembelaan justru menunjukkan sikapnya yang ambigu. Dalam studi terdahulu
(Gustomy, 2012) sudah sangat jelas bahwa pemerintah penuh dengan ketidak jelasan dan justru
mengelola ambiguitas untuk mempertahankan citra dan kepentingannya sendiri. Misalnya dalam
ambiguitas hukum dalam UUPA tahun 1950, yang memperbolehkan perusahaan membeli tanah
atas nama force majeure namun masyarakat yang tidak memiliki sertifikat (hanya Letter C, Petok
D atau SK Gogol) tidak diperbolehkan. Begitu juga wacana Pemerintah yang selalu mengekor
wacana yang dibentuk oleh PT Lapindo Brantas dan didukung dengan jaringan medianya
(Gustomy, 2012). Ali azhar Akbar (2007), dalam penelitiannya menguak beberapa fakta
bagaimana manipulasi wacana dibangun, menjadikan pemerintah sebagai bagian dari agen
wacana yang membela PT Lapindo Brantas. Jim Schiller, dkk (2008), menyebutkan bahwa
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih karena pertimbangan politik, bukan
pertimbangan teknis kebencanaan, karena Aburizal Bakrie sebagai pemiliknya adalah kekuatan
politik penting di Indonesia. Heru Prasetia dan Bosman Batubara (2010) dalam temuannya,
menunjukkan bahwa sejak awal proses pengeboran PT Lapindo Brantas sudah membohongi
warga namun negara hanya diam saja. Hasil-hasil studi itu sepakat pada titik kesimpulan yang
sama bahwa Negara cenderung lebih memihak pada kepentingan perusahaan daripada
kepentingan masyarakat korban lumpur. Tentu saja keperpihakan itu tidak ditunjukkan dalam
bentuknya yang vulgar dan terang-terangan, namun dalam bentuknya yang rumit dan tidak
langsung.
Melanjutkan studi-studi sebelumnya, tulisan ini tidak untuk melihat bagaimana cara
Negara mendukung perusahaan untuk memanipulasi masyarakat korban lumpur, namun
memeriksa lebih jauh bagaimana dampak-dampak dari kebijakan yang dibuat oleh negara dan
Perusahaan terhadap rasionalitas masyarakat. Tujuannya adalah untuk menemukan penjelasan
bagaimana operasionalisasi terpecahnya komunitas masyarakat menjadi individu-individu
belaka. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan rational choice theory, karena penulis
anggap sebagai alat paling tepat untuk memudahkan menjelaskan masalah. Pendekatan ini
memeriksa fenomena dengan melihat bagaimana perilaku-perilaku individu melakukan
pilihannya secara rasional. Namun individu dalam pemahaman penelitian ini bukanlah individu
63
yang mutlak otonom dengan free will-nya, melainkan individu yang terikat rasionalitasnya
(bounded rationality) pada dua struktur kondisi5
, yaitu konteks bencana dan pilihan kebijakan.
Penjelasan akan diurai dalam simulasi permainan (game theory) yang menggambarkan
pilihan-pilihan masing-masing aktor. Dalam banyak penelitian dengan pendekatan di ranah ini
umumnya dilakukan dengan menggunakan kalkulasi matematika yang menjelaskan masing-
masing “permainan”. Seringkali dalam modelnya, dibuat kalkulasi yang paling komprehensif
dalam realitas yang paling memungkinkan dengan hitungan yang kompleks. Namun kritik
terbesarnya, sebagaimana dikatakan Van Damme (1999) bahwa “without having a broad set of
facts on which to theorize, there is a certain danger of spending too much time on models that
are mathematically elegant, yet have little connection to actual behavior. While the primary goal
of behavioral game theory models is to make accurate predictions where equilibrium concepts
do not, it can also circumvent two central problems in game theory: refinement and selections.
Because we replace the stochastic better – response, all possible paths are part of the statistical
equation” (Douglass, 2007). Oleh karena itu model yang digunakan dalam makalah ini adalah
intrepretasi kualitatif dari game theory (lihat Rafał Graboś, 2005). Model pilihan rasional yang
didesain untuk memprediksi satu kali kemungkinan pilihan (one-shot games) dalam sebuah
simulasi permainan dan juga menyediakan kondisi awal dari model pembelajaran (Camerer,
2001). Jadi pendekatan ini digunakan untuk berusaha menggambarkan hubungan yang lebih baik
antara konsep teoritik dan perilaku aktor di dunia nyata daripada kalkulasi matematika
(Douglass, 2007).
B. Aturan sebagai Bounded rationality
Kebijakan yang dibuat pemerintah adalah sebuah aturan main (rule of game) yang harus
dipatuhi oleh semua pemain, baik PT Lapindo Brantas maupun masyarakat korban lumpur.
Kebijakan ini menjadi batasan pilihan rasionalitas dari aktor-aktor yang terlibat (bounded
rationality) dalam permainan strateginya. Secara singkat berikut adalah kebijakan-kebijakan dan
juga aturan turunan yang dibuat dalam penyelesaian konflik lumpur panas Sidoarjo.
1. Perubahan Kebijakan dari ganti rugi (conpensation) menjadi Jual beli (Transactioan)
Secara resmi kebijakan pemerintah keluar 4 bulan setelah bencana terjadi, dengan lahirnya
Keppres Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di
Sidoarjo. Keppres (Keputusan Presiden) ini selain mengatur penanganan teknis juga mengatur
penanganan sosial dari dampak semburan lumpur. Dalam Keppres ini disebutkan bahwa PT
Lapindo Brantas harus bertanggungjawab penuh untuk membiayai semua proses teknis dan juga
penanganan sosial. Konteks wacana dalam kemunculan Keppres ini yaitu ketika masih kuat
wacana bahwa bencana disebabkan kelalaian kegiatan industri sehingga isi kebijakan lebih
menekankan pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas. Meskipun belum mengatur tentang ganti
rugi, dalam Keppres ini sangat jelas menekankan pertanggungjawaban sosial-ekonomi PT
Lapindo Brantas atas semua kerugian warga.
Karena Keppres ini tidak mengatur secara jelas bagaimana proses ganti rugi akan dilakukan,
maka warga korban lumpur mengajukan tuntutan untuk segera ditegaskan mekanismenya.
Wacana yang berkembang saat itu adalah kemungkinan-kemungkinan ganti rugi, khususnya atas
kepemilikan lahan dan bangunan serta kehidupan sosial warga korban lumpur. Namun lama
kelamaan wacana mulai berkembang untuk mengarahkan kebijakan ganti rugi dengan
5
Ariel Rubinstein (1998): Modeling Bounded Rationality. Cambridge, Massachusetts: MIT Press
64
mekanisme jual beli. Dorongan ini dipicu dari dibelinya 12 bekas rumah warga yang dekat rel
kereta api, yang sekarang menjadi tanggul penahan lumpur, seharga 2,5 juta/m2 untuk tanah dan
bangunan oleh Bupati dan Ketua Satlak6
. Pembelian sebagai mekanisme respon cepat ini
kemudian melahirkan kecemburuan warga korban lumpur lainnya, sehingga memunculkan
tuntutan perlakuan yang sama. Akhirnya dorongan untuk menjadikan “jual-beli” sebagai
mekanisme utama tak terbendung, sehingga kemudian lahirlah Perpres Nomor 14 Tahun 2007
tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Dalam keppres tersebut pemerintah membuat
ketentuan jual-beli dengan harga berdasarkan kesepakatan ketika demonstrasi di pendopo
kabupaten. Tanah dinilai Rp1 juta/m2
, bangunan Rp1,5 juta/m2
, bangunan lantai dua Rp1,5
juta/m2
, dan sawah Rp120.000/m2
.
Dalam kacamata awam penggunaan mekanisme “jual-beli” terlihat tidak berpengaruh apapun
yang merugikan kepentingan warga korban lumpur panas, namun sebenarnya memiliki
konsekuensi yang serius dan berdampak jangka panjang yang sangat merugikan korban lumpur.
Dari kacamata konstruksi wacana, maka justru mekanisme “jual-beli” menempatkan PT Lapindo
Brantas bukan sebagai pelaku dari terjadinya bencana semburan lumpur. Karena secara teoritik
jual beli adalah sebuah mekanisme transaksi antara pembeli dan penjual yang didasarkan pada
kesepakatan bersama. Hal ini tentu sangat berbeda jika mekanisme yang dipakai adalah “ganti
rugi” (compensation) dimana mekanisme itu adalah bentuk tanggungjawab dari dari aktivitas
pelaku terhadap korban. Tentu alasan ini sangat masuk akal, secara hukum juga dengan jual beli
tersebut PT Lapindo Brantas tidak bisa dipersalahkan, sehingga tidak dapat dibangkrutkan dan
bisa mengklaim asuransi perusahaan. Ini tentu adalah jalan kompromi yang realistis bagi
pemerintah untuk mengadopsi kepentingan masyarakat korban lumpur dan PT Lapindo Brantas
sekaligus (Gustomy, 2012).
Namun satu hal terpenting yang diabaikan dalam pilihan kebijakan pemerintah adalah
pergeseran pola relasi antara masyarakat korban lumpur dengan PT Lapindo Brantas jika
mekanisme jual-beli dipakai. Padahal ada perubahan mendasar antara mekanisme ganti rugi
(compensation) dengan mekanisme jual beli (transaction). Ganti rugi (compensation) adalah
sebuah pemberian yang dilakukan atas pertangungjawaban pelaku kepada korban atas hilangnya
sesuatu. Dalam logika ini artinya semua yang hilang akan digantikan, bukan hanya kepemilikan
benda individu namun juga kepemilikan komunal dari suatu masyarakat. Dalam konteks ini
artinya mekanisme ganti rugi (compensation), menempatkan masyarakat korban lumpur sebagai
entitas sosial dengan komunitasnya.
Pemahaman yang berbeda jika mekanisme jual beli (transaction) yang dipakai sebagai
bentuk pertangungjawaban atas sebuah kerugian. Dalam jual beli (transaction) logikanya adalah
pertukaran antara dua orang atas dasar kesepakatan bersama, penjual dan pembeli, untuk
mendapat keuntungan bagi kedua belah pihak. Ini artinya bahwa mekanisme jual beli
(transaction) adalah sebuah bentuk hubungan antar individu dalam mempertukarkan
kepemilikan atas dasar saling suka. Dalam konteks ini harus diakui bahwa pilihan pemerintah
dengan memberikan mekanisme jual beli adalah sedang menempatkan masyarakat korban
lumpur sebagai sekumpulan individu dengan private property right-nya, bukan sebagai sebuah
komunitas sosial.
6
Mekanisme jual beli sebenarnya adalah cara yang dianggap efektif dan mulai populer di kalangan pemerintahan
untuk menyelesaikan segala persoalan. Sehingga bisa dipahami jika respon pertama yang diambil Bupati dan Ketua
Satlak adalah dengan membeli tanah dan bangunan warga tersebut.
65
Penyederhanaan kebijakan dengan mekanisme jual beli, disadari atau tidak oleh pemerintah,
sebenarnya sedang menggiring terjadinya pasar monopsoni. Pasar monopsoni adalah salah satu
bentuk pasar tidak sempurna, yaitu dimana hanya ada satu pembeli dengan banyak penjual.
Secara teoritik bisa dipahami bahwa ketika pembeli hanya satu (PT Lapindo Brantas), sedangkan
penjualnya sebanyak 12.000 (berkas korban lumpur) maka keuntungan berada di pihak pembeli.
Penjual tidak ada pilihan dan terpaksa untuk hanya menjual pada satu pihak, sehingga antara satu
penjual dengan penjual yang lain akan saling bersaing. Akibatnya pembeli dapat memegang
kontrol penuh terhadap proses jual beli, karena pasar yang terbentuk tidak sempurna7
.
Secara teoritik mekanisme ini akan berpotensi melahirkan eksploitasi monopsonis
(monopsonist exploitation), dimana pembeli dapat memanfaatkan secara sewenang-wenang
posisinya untuk menentukan mekanisme ataupun harga yang menguntungkan dirinya dari proses
transaksi tersebut8
. Dalam konteks bencana, ancaman monopsonist exploitation adalah persoalan
yang sangat serius, karena korban dalam kondisi yang vulnerable dimana kehidupan mereka
berada pada titik krisis. Kondisi vulnerable ini akan menempatkan pilihan dan respon cepat dari
sebuah tawaran akan menentukan hidup dan mati korban lumpur. Asumsi teoritik inilah nanti
yang akan kita uji untuk memeriksa kembali bounded rationality dari asosiasi masyarakat korban
lumpur untuk menentukan pilihan strategi gerakannya.
2. Kebijakan untuk korban diluar peta terdampak
Keluarnya Perpres Nomor 14 Tahun 2007 memunculkan persoalan bagi warga yang tidak
dimasukkan kedalam peta terdampak namun mereka terkena akibat langsung dari lumpur.
Menurut warga Pemerintah Pusat tidak pernah melibatkan warga untuk menentukan wilayah
mana yang menjadi bagian dari peta terdampak lumpur. Namun rupanya bukan hanya warga,
pemerintah daerah yang sudah terlebih dahulu memverifikasi wilayah terdampak juga tidak
dilibatkan oleh pemerintah pusat9
. Fakta ini menjadi indikasi jika pemerintah memiliki nalar
sendiri dalam memutuskan kebijakannya, meskipun tidak melibatkan pemerintah daerah, apalagi
warga korban lumpur.
Akhirnya setelah melakukan demonstrasi yang masif, termasuk dengan menutup Jalan Raya
Porong, pemerintah kemudian memasukkan beberapa wilayah baru kedalam peta terdampak.
Namun jika diteliti, peta terdampak baru itu juga tidak sepenuhnya atas pertimbangan rawan
bencana bagi masyarakat, namun alasan praktis pemerintah. Seperti dimasukkannya Desa Besuki
Timur dapat dicurigai karena daerah itu memang direncanakan untuk jalur pembuangan air
lumpur ke Sungai Porong. Kalkulasi biaya dan dampaknya juga tidak terlalu mahal, hanya
membutuhkan Rp800 miliar.10
Jika benar, dapat dicurigai bahwa kebijakan dalam Perpres ini
sama sekali tidak didasarkan pada pertimbangan akibat yang ditimbulkan oleh lumpur atau
tekanan masyarakat, tetapi oleh logika kepentingan pemerintah sendiri. Apalagi setelah
diabndingkan bahwa kondisi desa-desa lain masih jauh lebih parah.
Namun yang menjadi catatan dari Perpres peta terdampak baru ini (Perpres Nomor 48 Tahun
2008 dan Perpres Nomor 40 Tahun 2009) semua pembiayaan ditanggung oleh APBN, bukan
oleh PT Lapindo Brantas. Ini menunjukkan bahwa PT Lapindo ditempatkan bukan sebagai posisi
7
Lihat D.N. Dwivedi, 2006. Microeconomics Theory & Aplications, Pearson Education, India, hal 452
8
Ibid
9
Wawancara Ketua Gempur 4 D
10
Wawancara dengan Paring Waluyo Utomo 1, warga korban lumpur, Sabtu, 2 April 2011 di Posko Advokasi untuk
Korban Lapindo, Porong, Sidoarjo.
66
yang harus bertangungjawab, namun negara yang bertangungjawab sebagaimana bencana alam
lainnya. Perubahan kebijakan ini seiring dengan konstruksi wacana yang dibangun oleh pemilik
PT Lapindo Lapindo Brantas dan jaringan politiknya, bahwa semburan lumpur panas adalah
bencana alam bukan karena bencana industri11
.
Disatu sisi, pemerintah tidak memberikan aturan yang ketat dari proses jual beli tersebut,
meskipun dalam konteks yang monopsonist. Nalar kebijakan yang dibawa negara sebagaimana
memahami nalar privat pada umumnya, bahwa proses ini adalah jual-beli biasa yang tidak
membutuhkan campurtangan negara. Hal ini terlihat sangat jelas, karena sejak Perpres 14 tahun
2007 sampai Perpres terakhir 40 tahun 2009, tidak ada mekanisme pengawasan dan evaluasi
dalam proses itu yang jelas diatur oleh pemerintah. Dalam mekanisme yang dibuat, pemerintah
hanya perlu menyerahkan berkas dari BPLS ke PT Minarak Lapindo Jaya (sebagai wakil PT
Lapindo Brantas), kemudian pihak PT Minarak Lapindo Jaya yang membuat aturan jual beli
sebagaimana mekanisme perusahaan. Harapannya proses ini akan berjalan dengan baik-baik saja.
Pada kenyataannya, PT Minarak Lapindo Jaya kemudian membuat mekanisme-mekanisme
diluar ketentuan cash and carry sebagaimana diatur dalam Perpres No 14 tahun 2007. Dalam
perpres tersebut jual beli akan dilakukan dengan mekanisme langsung di bayar cash dan bisa
langsung dibawa pulang (carry). Proses itu seharusnya selesai sebelum habis masa dua tahun
kontrak rumah, sekitar Juni 2008. Namun, dengan berbagai alasan PT Minarak Lapindo Jaya
kemudian memberikan beberapa mekanisme pembayaran, diantaranya:
1. Perubahan dari tunai (cash and carry) menjadi tukar-guling (resettlement)
Pihak PT Lapindo Brantas menolak untuk melakukan akad jual beli tanah dan bangunan
dengan korban lumpur karena sebagian besar bangunan tidak memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan tanah mereka tidak memiliki sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna
bangunan (SHGB), sebagian hanya Letter C dan Petok D. Pihak PT lapindo Brantas beralasan
bahwa jual beli tersebut bertentangan dengan -Undang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dimana tanah dan bangunan yang tidak bersertifikat resmi
tidak dapat di Akta Jual Belikan (AJB/notaris) 12
.
Awalnya pihak PT Lapindo Brantas menolak sama sekali jual beli dengan tanah yang tidak
bisa di AJB-kan, namun dengan difasilitasi tokoh budayawan melakukan “sumpah kepemilikan”
maka perusahaan mau melakukan jual beli namun dengan mekanisme lain. Maka pihak PT
Lapindo Brantas kemudian menawarkan mekanisme barter tukar guling (resettlement) yaitu
menggantikan tanah dengan tanah dan bangunan dengan bangunan di di perumahan Kahuripan
Nirvana Village (KNV), sebuah tempat yang pengembangnya adalah kelompok usaha Bakrie
Groups yang juga pemilik PT Lapindo Brantas. Menurut PT Lapindo Brantas ini adalah cara
terbaik agar terhindar dari jeratan hukum dan cara tercepat bagi warga untuk mendapat
pelunasan 80% sisa aset.
11
Lihat Gustomy, Rachmad (2012). Menjinakkan Negara, Menundukkan Masyarakat: Menelusuri Jejak Strategi
Kuasa PT Lapindo Brantas Inc. dalam Kasus Lumpur Panas di Sidoarjo, dalam Bencana Industri: Kekalahan Negara
dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (eds. Heru Prasetia), Desantara, Jakarta
12
Ketentuan ini justru terlihat ambigu, karena sebenarnya UUPA Nomor 50 Tahun 1960 juga mengatur pelarangan
perusahaan untuk membeli tanah, tetapi pemerintah membolehkannya dengan alasan force majeur (kondisi khusus).
Sebagaimana penolakan Mahkamah Agung terhadap uji materi Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Hal ini semakin
menunjukkan posisi negara yang tidak konsisten dalam memperlakukan hukum pada subyek hukum yang berbeda.
67
Bagi warga yang asetnya tidak bisa di AJB-kan, pilihan ini adalah mutlak dan tidak ada
pilihan lain. Sedangkan bagi yang asetnya bisa di AJB-kan, masih adalah pilihan untuk
menerima mekanisme cash and resetlement. Mekanisme ini agak sedikit lebih rumit, dimana PT
Lapindo Brantas membeli aset warga yang tenggelam, sedangkan disatu sisi warga membeli
perumahan di KNV dari PT Lapindo Brantas. Maksudnya adalah PT Lapindo Brantas membeli
tanah dan bangunan warga sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah, sedangkan warga
membeli rumah dan bangunan sebagaimana harga pasar yang sudah ditentukan oleh
pengembang. Jika ada kelebihan nominal uang dari warga korban lumpur dari nilai asetnya,
misalnya nominal harga aset lebih besar dari nominal harga perumahan, maka mereka akan
mendapat kembalian uang (susuk13
). Namun jika nominal harga aset lebih kecil daripada harga
nominal perumahan, maka warga korban lumpur sebagai pembeli harus mengganti
kekurangannya (tombok14
).
2. Perubahan dari tunai (cash and carry) menjadi cicilan
Perubahan mekanisme bukan hanya kepada aset korban lumpur yang tidak bersertifikat saja,
namun juga kepada aset yang memiliki sertifikat lengkap. Pada awal Kepres No 14. Taun 2007
muncul, pihak PT Lapindo Brantas dalam pengumumannya di media, jelas menegaskan bahwa,
“Semua berkas (SHM/SHGB) yang bisa di-AJB-kan oleh Notaris/PRAT, maka penyelesaian 80%
akan dibayar secara cash & carry sesuai jadwal yang tercantum dalam Perjanjian Ikatan Jual
Beli (PIJB) 20%.”15
Sebenarnya skema cash and carry seperti inilah yang satu-satunya skema
yang sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yaitu pembayaran 20% + 80%
secara tunai sesuai jadwal. Namun, terjadi perubahan-perubahan mekanisme pembayaran cash
and carry, yang tidak dilakukan secara tunai, tetapi cicilan. Pada awal 2010, pembayaran ditawar
dengan pencicilan Rp30 juta per bulan/berkas, yang akhirnya hanya bisa dibayar dengan cicilan
Rp15 juta per bulan/berkas.
Secara umum berikut adalah skema penjelasan yang di berikan PT Lapindo Brantas terkait
dengan mekanisme jual beli yang dilakukan (perhatikan tabel 1) berikut:
Tabel 1 : Skema Penyelesaian 80% Sisa Pembayaran
13
Istilah jawa dari uang kembalian.
14
Istilah Jawa dari menggenapi kekurangan uang yang seharusnya
15
Lihat Iklan Lapindo, Percepatan Pembayaran 80 Persen, Majalah Tempo, 18 Mei 2008
68
Sumber : Gustomy, 2012
C. Peta Kepentingan Asosiasi Korban
Pada awal bencana, terbentuk kelompok-kelompok masyarakat masih berkarakter reaksioner
merespons semburan lumpur. Saat masa krisis awal, antar warga bahkan terjadi konflik karena
masing-masing kelompok (RT) tidak mau terkena lumpur sehingga menimbulkan kesulitan
dalam penanggulan. Setelah kelompok-kelompok masyarakat yang berkarakter mob lenyap,
mulai muncul asosiasi-asosiasi masyarakat yang lebih terorganisasi dan memiliki agenda-agenda
yang lebih rapi. Awal kemunculan asosiasi masyarkat korban lumpur masih dalam bentuknya
yang tunggal solid dan besar, sehingga menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi
pemerintah maupun PT Lapindo Brrantas. Namun seiring dengan waktu asosiasi korban ini
kemudian terpecah-pecah, bahkan kemudian lenyap pada pertengahan 2010, sehingga tidak ada
lagi demonstrasi warga korban lumpur yang dianggap berarti16
. Berikut adalah beberapa
kelompok asosiasi masyarakat yang terbentuk pasca semburan lumpur panas.
1. Forum Silaturahmi Rakyat Korban Luapan Lumpur Porong (FSRKLLP).
FSRKLLP adalah asosiasi korban lumpur yang pertama yang menyatukan warga di empat
desa yang tenggelam yaitu Desa Siring, Desa Renokenongo, Desa Jatirejo, dan Desa
Kedungbendo, untuk bersatu membangun asosiasi agar tuntutan mereka lebih diperhatikan.17
16
Wawancara dengan Paring Waluyo Utomo, pendamping korban lumpur, Senin, 27 Desember 2011 di posko,
Porong, Sidoarjo.
17
Wawancara dengan Khirul Huda, mantan koordinator GKLL, Jumat, 3 September 2011 di kantornya, Sidoarjo.
Berkas Warga
BISA di-
AJB/Notaris
Berkas Warga TIDAK
BISA di-
AJB/Notaris
Mekanisme
Pelunasan
80 %
Berkas:
- Letter C
- Petok D
- SK Gogol
RESETTLEMENT
CASH & CARRY
Skema 2:
Memesan rumah
di Kahuripan
Nirwana Village
+ susuk jika ada
selisih
pembayaran
80%.
Berkas:
- SHM
- SHGB
Skema 1:
Tunai uang
muka 20%,
dengan dicicil
Rp15 juta per
bulan.
Skema 3:
Tanah kembali 100%. Luas bangunan
sesuai standar yang tersedia. Bila ada sisa
luas banguan asal diganti uang.
(Cash & Cicilan) (Resettlement & Susuk)
Setelah dua belas bulan dijanjikan bisa
dijual kembali ke WAR dengan harga
yang sama.
(Cash & Resettlement)
69
Asosiasi ini terbentuk setelah 3 bulan dari bencana, ketika kebijakan-kebijakan yang diambil
oleh pemerintah dan PT Lapindo Brantas dianggap belum memberikan solusi terhadap jaminan
kelangsungan kehidupan warga korban lumpur. Karakter dari asosiasi ini dibangun atas intimitas
yang sangat kuat dan solid dengan kepentingan yang seragam, yaitu proses ganti rugi dan
konpensasi secepatnya. Pada masa fase awal inilah asosiasi ini menjadi satu-satunya wadah bagi
korban lumpur untuk menyatukan kekuatan dan menjadi alat untuk menyuarakan aspirasi dan
kepentingan korban lumpur.
FSRKLLP ini juga yang kemudian menjadi asosiasi representasi warga korban lumpur yang
kemudian duduk bersama dengan Pemerintah dan pihak PT Lapindo Brantas untuk merumuskan
mekanisme ganti rugi yang paling tepat. Dalam perjalanannya inilah kemudian FSRKLLP yang
ikut mendorong lahirnya Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yang berisi tentang ganti rugi PT
Lapindo Brantas kepada korban lumpur. Dengan lahirnya Perpres tersebut maka muncul tuntutan
untuk membuat asosiasi korban lumpur yang lebih terlembaga dan terstruktur, sehingga
FSRKLLP saat itu bertransformasi menjadi GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo). GKLL
ditujukan agar perjuangan untuk menuntut hak warga korban lumpur lebih terlembaga dan
terkoordinasi dengan baik.
2. GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo)
Sebagai sebuah asosiasi GKLL adalah kelompok yang sangat besar, yang memegang mandat
12.000 berkas18
, artinya hampir 95% jumlah warga korban. Ini artinya GKLL pada awalnya
menjadi representasi terpenting dari warga korban lumpur, mengingat mayoritas korban lumpur
berada disana. Sebagai representasi simbolik warga korban lumpur, tokoh-tokoh GKLL yang
banyak dilibatkan dalam perumusan kebijakan penanganan korban lumpur untuk mewakili
korban. Dari GKLL ini juga kemudian lahir perpecahan-perpecahan didalamnya sehingga
kemudian melahirkan asosiasi-asosiasi tandingan semacam dari korban lumpur. Perpecahan itu
yang membuat GKLL tidak dipercaya sebagaian warga, sehingga jumlah akhir warga yang
bergabung di GKLL tersisa 3.000 berkas.
Motif awal GKLL adalah agar warga mendapat kejelasan dan segera turun ganti rugi tanah
dan bangunan mereka yang terkena lumpur. Namun, motif itu berubah ketika ada tawaran-
tawaran baru dari PT Lapindo Brantas untuk mempercepat proses ganti rugi, meskipun skema itu
merugikan sebagian warga korban lain. Motivasinya cukup jelas dan pragmatis, yaitu
memperoleh hak mereka secepatnya meskipun ada kelompok lain yang merasa dirugikan.
Mereka menginginkan hasil jual-beli secepatnya, apapun skenarionya, sehingga kelompok
GKLL ini dikenal sebagai kelompok yang paling pragmatis dan tokoh-tokohnya dianggap
memiliki kedekatan dengan elit PT Lapindo Brantas. Kelompok ini di fasilitasi oleh Emha Ainun
Nadjib dalam melakukan advokasinya untuk terhubung dengan Pemerintah dan PT Lapindo
Brantas.
3. Paguyuban Warga Jatirejo (PW Jatirejo)
Kemunculan PW Jatirejo diawali dengan ketidaksetujuan sebagian warga Jatirejo terhadap
mekanisme bantuan sosial dan ganti rugi dari pihak PT Lapindo Brantas, yang dianggap oleh
mereka akan merugikan warga pada jangka panjang. Kelompok ini juga yang menolak
18
Dalam kalkulasi sederhana minimal juga ada 12.000 Kepala Keluarga, dimana masing-masing berkas
merepresentasikan Kepala Keluarga. Meskipun pada kenyataannya satu berkas, khususnya dalam kompleks kavling
perumahan, biasanya 1 berkas bisa terdiri dari banyak KK karena biasanya berkas sertifikat belum dipecah.
70
mekanisme jual beli yang diusung oleh Perpres Nomor 14 Tahun 2007, karena bagi mereka jual
beli akan memecah warga dan tidak menghormati atau mengakui hak-hak sosial warga. Pada
awalnya yang bergabung dengan kelompok PW Jatirejo ini sebanyak 250 berkas, namun pada
akhirnya yang bertahan hanya 59 berkas (KK) sebelum mereka menyerah dan mengkuti skema
yang ada. Tuntutan mereka adalah adanya relokasi dan ganti rugi bangunan, namun tetap
memiliki hak atas tanah sebelumnya.
Tentu argumentasi dari kelompok PW Jatirejo ini sangat menarik, karena jika ditarik lebih
jauh telah lahir sebuah kesadaran bahwa mekanisme “jual-beli” akan mendorong warga menjadi
individu, daripada mekanisme “ganti-rugi” yang justru akan menguatkan posisi tawar warga.
Setelah di lacak lebih jauh, selain 59 KK tersebut, 2 pesantren dengan ratusan santri yang
menolak tersebut memiliki alasan tersendiri. Gus Maksum, salah satu tokoh masyarakat Jatirejo
menjelaskan, bahwa pilihan itu adalah amanat dari Gus Dur (Mantan Presiden Abdurrahman
Wahid yang juga mantan Ketua PBNU) yang menganggap bahwa “jual-beli” akan
menghancurkan gerakan warga untuk menuntut haknya. Namun dalam sosialisasinya kepada
warga, Gus Maksum menjelaskan bahwa tanah yang dijual di daerah Porong tersebut
mengandung harta karun yang suatu hari nanti berharga mahal19
. Pesan Gus Dur ini menjadi alat
yang efektif untuk menyatukan warga mengingat nalar kosmologis Islam tradisionalis dari
keompok ini.
4. Pagarekontrak (Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak)
Kelompok ini adalah para pengungsi baru dari Desa renokenongo akibat dari ledakan pipa
gas Pertamina pada November 2006, yang akhirnya membuat mereka untuk mengungsi di Pasar
Baru Porong. Ketika warga Renokenongo di pengungsian ini ditawari oleh PT Lapindo Brantas
untuk menerima uang kontrak rumah mereka menolak, mengingat saudara-saudara mereka yang
menerima kontrak sebelumnya menjadi tercerai berai dan tidak terkonsolidasi untuk menuntut
haknya. Dalam kacamata PT Lapindo Brantas para pengungsi yang terpusat di pasar baru ini
akan berbahaya, karena kelompok ini dikenal sangat militan dan terkonsolidasi dalam melakukan
demontrasi. Perah pada 2011 kelompok ini menutup jalan Raya Porong yang mematikan arus
transportasi Surabaya-Malang, sehingga memaksa pemerintah untuk duduk bersama mendengar
tuntutan mereka.
Ditengah tekanan dan segala cara agar menerima kontrak, mereka kemudian membentuk
Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarekontrak) yang menjadi asosiasi
mereka dalam melakukan perlawanan terhadap upaya pemerintah maupun PT Lapindo Brantas
untuk mengusir dari pengungsian20
. Kelompok ini sengaja bertahan di pengungsian dan
bersepakat untuk menolak kontrak sambil menunggu proses ganti rugi melalui mekanisme cash
and carry yang tertuang dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Motivasi mereka relatif sama
dengan Geppres, yaitu segera dibayar cash and carry dan tidak mau terpisah serta tetap bersatu
dengan korban lain. Namun pada akhirnya hanya mampu bertahan 2 tahun, setelah itu menyerah
dan menerima cicilan, dan kemudian merubah namanya menjadi Pagare Korlap (Paguyuban
Warga Renokenongo Korban Lapindo). Saat masih bernama pagarekontrak kelompok ini
mendapat advokasi dari NGO urban poor likage (UP-Link) pimpinan Wardah Hafidz.
5. Geppres (Gerakan Korban Lapindo Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007)
19
Wawancara dengan Gus Maksum, 2011
20
Ada banyak cara yang dipakai seperti mematikan saluran air, listrik dan juga pasokan makan ke pengungsian di
pasar baru.
71
Perpecahan terbesar GKLL terjadi lagi pada 2009 ketika secara sepihak PT Lapindo Brantas
dengan pengurus GKLL membuat skema-skema lain dari proses jual–beli, tanpa ada diskusi
dengan warga, seperti skema cash and resetlement dan semacamnya. Maka, sebagian warga
yang tetap menginginkan skema cash and carry sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 14
Tahun 2007 keluar dan membentuk Geppres. Jumlah berkas warga yang bergabung dengan
Geppres ini sekitar 1.800 berkas, yang sebagian besar adalah warga asli yang hanya memiliki
bukti kepemilikan tanah berupa letter C, Petok D atau SK Gogol yang bukan SHM, mereka
menolak dipaksa mengikuti skema diluar Perpres Nomor 14 Tahun 2007.
Asosiasi ini dibentuk untuk mempertahankan skema cash and carry sebagaimana tercantum
dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Alasan warga yang menolak juga cukup logis, misalnya
penolakan terhadap cash and resetlement ke lokasi perumahan lebih karena alasan sosial, yaitu
warga tidak terbiasa tinggal di perumahan. Alasan yang sama bagi warga yang pekerjaannya jauh
dari perumahan atau pekerjaan yang tidak memungkinkan dilakukan di lingkungan perumahan,
seperti bertani dan beternak. Sehingga bagi mereka skema terbaik adalah kembali dengan
mekanisme cash and carry, sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007, bukan
bentuk lainnya.
6. Paguyuban Warga (PW) Perum TAS 1 dan Tim 16
Kemunculan PW Perum TAS dilatarbelakangi penolakan pihak PT Lapindo Brantas terhadap
bukti hak kepemilikan tanah berupa Letter C dan Petok D dari warga korban lumpur. Jika tidak
ada bukti sertifikat tanah, pihak PT Lapindo Brantas tidak mau membeli tanah warga. Persoalan
hak kepemilikan tanah ini kebanyakan hanya dialami oleh warga asli Porong, sedangkan warga
perumahan (Perum TAS) yang pendatang dan tinggal diperumahan sudah memiliki sertifikat.
Maka kelompok ini berasumsi bahwa kepentingan mereka sudah berbeda dengan GKLL yang
mendorong menerima skema cash and resetlement. Bagi mereka perjuangan akan lebih efektif
dan fokus jika membentuk asosiasi sendiri, sehingga pada Januari 2010 kelompok ini keluar dari
GKLL dan membentuk asosiasi baru, yaitu PW Perum TAS dengan harapan pembayaran tanah
mereka tidak lagi dipersulit oleh pihak PT Lapindo Brantas.
Para warga korban lumpur di Perum TAS sebagian besar para pendatang yang tidak memiliki
ikatan sosiologis terlalu dalam dengan wilayahnya sehingga tidak menghadapi problema yang
sama dengan penduduk asli. Dalam konteks persoalan kepemilikan tanah dan bangunan juga
sangat berbeda. Warga perumahan memiliki sertifikat dan IMB sehingga prosedur hukum yang
dijadikan dalih PT Lapindo Brantas untuk memperlambat pembayaran tidak berlaku untuk
mereka. Jadi, motivasi mereka jelas. Hambatan hukum tidak berlaku sehingga mereka meminta
dibayar secepatnya, meskipun dengan mekanisme cicilan. Namun, pada perkembangannya, PW
Perum TAS juga mengalami perpecahan, setelah pihak PT Lapindo Brantas membuat, atau lebih
tepat memaksa, skema-skema baru pelunasan 80%. Ada sebagian warga Perumtas yang
menerima dan menolak. Maka, muncul Tim 16, yang merupakan gabungan dari 16 RT di Perum
TAS, yang lebih akomodatif dengan skema-skema yang ditawarkan pihak PT Lapindo Brantas.
7. Asosiasi warga di luar peta terdampak
Selain desa yang terdampak langsung di dalam peta Perpres Nomor 14 Tahun 2007,
sebenarnya masih ada sebelas desa lain yang terdampak tidak langsung, yaitu Desa Siring Barat,
Jatirejo Barat, Gedang, Pamotan, Mindi, Pejarakan, Besuki, Kedung Cangkring, Glagah Harum,
Gempolsari, dan Ketapang. Dampak yang mereka rasakan berwujud perubahan lingkungan yang
menjadi sangat tidak layak mereka tinggali, seperti munculnya semburan lumpur, air dan gas,
72
penurunan tanah, kerusakan bangunan, dan semacamnya. Bahkan, dalam riset Institut Teknologi
10 November Surabaya, terdapat sekitar 77 semburan bubble, bercampur antara tanah dan air,
tetapi jika kena api mudah sekali terbakar atau bahkan meledak.21
Akibatnya, di desa-desa itu
mulai muncul peningkatan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), penyakit kulit, dan
semacamnya.
Dari sinilah muncul asosiasi-asosiasi baru korban terdampak di luar peta, salah satunya
Gempur 4D, setelah dua tahun kemudian Presiden SBY menetapkan sebagian dari tiga desa itu
masuk peta, yang dituangkan dalam Perpres Nomor 48 Tahun 2008. Selain itu, masih ada
kelompok lain seperti Gerakan 3 Desa, Paguyuban Warga 9 Desa, Koalisi 9 RT dan Aliansi 45
RT yang menuntut untuk dimasukkan ke dalam peta sampai saat ini. Kepentingan mereka jelas,
mereka juga termasuk korban. Meskipun rumah tidak tenggelam, tetapi tidak layak huni,
sehingga menginginkan diperlakukan sama dengan korban lumpur lain. Posisi kelompok ini pada
akhirnya yang paling aman karena proses jual beli mereka dengan pemerintah yang dananya
ditanggung APBN.
Secara sederhana asosiasi-asosiasi warga korban lumpur dapat dipetakan kedalam bagan
berikut:
Tabel 2: Asosiasi Korban Lumpur Panas Sidoarjo
No Nama Asosiasi Terbentuk Jumlah Tujuan
1 FSRKLLP 3 bulan
setelah
12.000 berkas Menuntut penegasan mekanisme ganti
rugi dari pemerintah
2 GKLL April 2007 Dari 12.000
berkas tersisa
3.000 berkas
Jual beli secepatnya mengikuti skenario
yang ditawarkan pihak PT Lapindo
Brantas
3 PW Jatirejo (Pecahan
GKLL)
April 2007 59 berkas dan 2
pesantren
Ganti rugi lokasi dan biaya
pembangunan, tanah tetap menjadi hak
mereka
4 Geppres (Pecahan
GKLL)
2009 1.800 berkas Menolak mekanisme diluar cash and
carry sebagaimana amanat Perpres No.
14 tahun 2007 meski tidak memiliki
sertifikat
5 Pagare Kontrak Juni 2007 450 KK Menolak Kontrak dan tetap di
pengungsian untuk menjaga konsolidasi
6 PW Perumtas (Pecahan
GKLL)
Januari
2010
Warga
kompleks
Perumtas 1
Menolak resetlement, meminta kembali
ke cash and carry
7 Tim 16 (pecahan PW
Perumtas)
2010 16 RT di
perumtas
Menerima skema cash and cicilan
8 Pagare Korlap
(perubahan
pagarekontrak)
2010 450 KK Menerima pelunasan cash and cicilan
80% secepatnya
9 Gerakan 3 Desa,
Paguyuban Warga 9
Desa
Juli 2008 Desa sekitar
kolam lumpur
Dimasukkan kedalam Peta Terdampak
yang dibiayai pemerintah
10 Gempur 4D, Koalisi 9
RT, dan Aliansi 45 RT
2011 RT yang belum
masuk peta
Dimasukkan kedalam Peta Terdampak
yang dibiayai pemerintah
21
SK Gubernur Jatim Nomor 360/1417/KPTS/031/06.
73
terdampak
D. Strategi Permainan Korban Lumpur
Sebelum munculnya Keppres No.14 tahun 2007, masyarakat korban lumpur masih sangat
solid dan bersatu dalam FSRKLLP, dengan agenda utama yaitu mendapatkan kejelasan proses
ganti rugi yang akan mereka terima. Namun setelah munculnya Keppres tersebut mulai muncul
benih-benih perpecahan di masyarakat korban yang berpengaruh pada asosiasi yang mereka
bentuk. Masing-masing aktor dengan kepentingannya memainkan strategi-strategi untuk
mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Berikut adalah simulasi permainan dari masing-masing
aktor dengan menggunakan model kualitatif dalam game theory.
1. Game strategy dalam perubahan mekanisme jual beli
Perpecahan pertama dalam asosiasi warga korban lumpur mulai muncul pada awal kelahiran
Perpres No.14 tahun 2007, yang mengusung mekanisme jual beli sebagai cara penyelesaian
masalah. GKLL yang merupakan metamorfosis dari FSRKLLP menerima mekanisme jual beli
sebagai pengganti mekanisme ganti rugi. Namun sebagian warga, khususnya yang terletak di
desa Jatirejo menginginkan mekanisme yang lain, yaitu tanah dan bangunan yang tenggelam
tidak dijual namun diberikan ganti rugi berupa pemindahan lokasi atau penggantian finansial
yang sifatnya kolektif. Akhirnya kelompok ini memisahkan diri dari GKLL dan membentuk PW
Jatirejo, awal yang bergabung ada 250 berkas sampai kemudian bertahan tinggal 59 berkas
sebelum akhirnya menyerah. Mereka berusaha melakukan advokasi sendiri melalui jaringan
yang dimilikinya, khususnya jaringan Nahdlotul Ulama (NU), dengan harapan akan
mendapatkan hak-hak sosialnya juga.
Tuntutan hak mereka ini dipengaruhi oleh peran ulama lokal yang menjadi tokoh masyarakat
dan menjadi referensi pilihan rasionalnya. Dua pesantren di desa tersebut menjadi sentral
referensi pengetahuan dan keputusan warga masyarakat, sebagaimana fungsi sosial yang sudah
berjalan selama ini. Gus Maksum, salah satu tokoh lokal tersebut, menjelaskan bahwa pilihan itu
juga atas dasar diskusi yang panjang dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga
seorang tokoh NU. Alasan rasionalnya adalah, proses “jual-beli” itu akan merugikan warga
karena menempatkan warga dalam posisinya sebagai individu, sehingga dari awal sudah muncul
kesadaran bahwa kebijakan ini akan melahirkan pasar monopsoni dan kemungkinan melahirkan
monopsonist explioitation. Namun dalam sosialisasinya ke warga, Gus Maksum meyakinkan
bahwa sebagaimana amanat Gus Dur bahwa sebenarnya tanah di Jatirejo mengandung harta
karun. Selain itu juga selalu diingatkan jika jual beli dilakukan, maka aset sosial seperti
“pemakaman desa” juga akan dimiliki PT Lapindo Brantas, yang akan membuat warga kesulitan
mengirim doa kepada leluhur22
.
Dalam game theory rasionalitas ini dengan mudah dijelaskan, dimana jika mekanisme “ganti
rugi” yang di pakai, maka akan mendorong permainan kedalam model stug hunt yang
mengarahkan pada bentuk konsolidasi warga sebagai nash equilibrium-nya. Sebagai contoh,
kepemilikan warga yang tenggelam terdiri dari 2 kriteria, kepemilikan personal (private
property) dan kepemilikan publik (public property). Kepemilikan private diantaranya adalah : 1)
tanah, dan 2) rumah, sedangkan kepemilikan publik dapat dicontohkan, 3) mushala dan 4) balai
22
Wawancara Gus maksum, Opcit
74
desa. Keempat sumberdaya ini dapat dijadikan ukuran untuk melihat kemungkinan game theory,
yang mengarahkannya pada model stug hunt game (lihat tabel berikut).
Tabel 3 : Model Stug Hunt Game mekanisme conpensation
Game Tuntutan
bersama
Tuntutan
Individu
Tuntutan
bersama
4,4
(Semua
tuntutan
kelompok A
dan B
diadopsi)
0,2
(Tuntutan
Individu
tertentu saja
yang diadopsi)
Tuntutan
Individu
2,0
(Tuntutan
Individu
tertentu saja
yang diadopsi)
2,2
(Individu hanya
mendapatkan
tuntutannya
sendiri)
Model diatas mengandaikan jika mekanisme ganti rugi dan bukan jual-beli yang dipakai,
maka dalam kalkulasi rational choice akan mengarahkan warga untuk tetap bertahan sebagai
komunitas. Dalam model diatas digambarkan jika masyarakat bergerak atas nama individu, maka
dia hanya akan mendapat hak individunya masing-masing (nilai 2,2 dari masing-masing private
property). Begitu juga jika ada sebagian yang meminta ganti rugi sebagai individu, sedangkan
yang lain sebagai kelompok, maka kemungkinan besar mereka akan mendapat negosisasi terkecil
dari yang sudah ada sebagai dasar kesepakatan (nilai 2,0 dan 0,2). Hal ini akan berbeda jika
mereka secara serentak membangun kekuatan, maka kemungkinan terbesar adalah semua hak
personal dan hak sosial akan dipenuhin (nilai 4,4). Pada titik inilah nash equilibrium terjadi,
sehingga kecenderungan kebijakan ganti rugi akan membuat warga masyarakat terikat dengan
komunitasnya, termasuk dalam mengajukan tuntutan akan hak pribadi dan sosialnya.
Refleksi strategi kelompok PW Jatirejo mungkin sangat mendalam dan akurat, namun
disatu sisi warga korban lumpur sedang berada dalam kondisi krisis yang sangat vulnerable.
Strategi menuntut ganti rugi, dengan mengkondisikan asosiasi warga yang terkonsolidasi
membutuhkan energi yang sangat besar, padahal disatu sisi ada tuntutan ekonomi dan kebutuhan
bertahan hidup ditengah krisis. Akibatnya tidak banyak warga yang mengikuti pilihan strategi
kelompok PW Jatirejo, bagi korban yang lain kebutuhannya adalah segera dilunasi agar mereka
bisa bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan normal. Meskipun disatu sisi, jika mereka
dapat bersatu mereka akan mendapatkan untung yang lebih besar.
PT Lapindo Brantas dalam konteks ini kemudian sangat diuntungkan dengan mekanisme
jual beli yang diusung oleh pemerintah. Mekanisme ini akan mengarahkan perilaku masyarakat
bukan dalam entitasnya sebagai komunitas namun sebagai individu. Dalam konteks mekanisme
“jual-beli” maka warga ditempatkan dalam kondisi Prisonner Dilemm, dimana mengarahkan
mereka untuk menerima aturan dan mekanisme dalam proses jual beli. Untuk lebih jelas
perhatikan model prisonner dilemma dalam tabel berikut (lihat tabel 4).
Tabel 4 : Model Prisoner Dilemma mekanisme transaction
Game B - Menerima B - Menolak
75
A-Menerima
A & B antri
melakukan
proses jual beli
A : Transaksi A
didahulukan
B: Transaksi B
ditunda
A - Menolak
A: Transaksi A
ditunda
B : Transaksi B
didahulukan
Semua transaksi
ditunda, meski
kemungkinan
mendapat
konpensasi lebih
besar
Dalam model ini, jika satu kelompok menerima dan kelompok lain menolak, maka PT
Lapindo akan mengutamakan kelompok yang menerima dulu. Sedangkan jika masing-masing
kelompok menolak, jelas PT Lapindo Brantas akan menunda semua proses menjadi lebih lama,
meskipun ada kemungkinan, dengan tekanan yang masif kepada pemerintah dan perusahaan,
mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar. Namun disisi yang lain, jika mereka semua
menerima maka PT Lapindo Brantas akan melakukan proses itu segera dalam jadwal yang sudah
ditentukan. Dalam konteks krisis dapat dibayangkan, bahwa setiap keterlambatan bantuan atau
ganti rugi kepada korban akan membawa pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan mereka.
Bisa dibayangkan, 12.000 penjual saling bersaing untuk segera dibayar oleh hanya 1 pembeli.
Maka pilihan paling rasional yang dapat dilakukan adalah semua akan berpikir untuk menerima,
karena jika tertunda maka kesengsaraan kehidupan mereka ditengah krisis akan mereka hadapi.
Pilihan untuk menerima inilah yang menjadi nash equilibrium dari masyarakat korban lumpur
ketika dihadapkan dengan proses “jual-beli”.
2. Game Strategy dalam Mekanisme Resetlement dan cicilan
Dari penjelasan diatas terlihat jelas bagaimana bekerjanya pasar monopsoni membentuk
pilihan rasional dari korban lumpur untuk menerima atau menolak sebuah kebijakan. Maka tidak
dapat dipungkiri bahwa mekanisme ini menjerumuskan pembeli kedalam perilaku monopsonist
exploitation. Posisi inilah yang kemudian membuat PT Lapindo Brantas mengeluarkan bebera
skema pembayaran, yang tentu saja untuk mengurangi kerugian dan memaksimalkan keuntungan
yang diperolehnya. Apalagi secara legalitas kebijakan pemerintah tidak disertai dengan
ketentuan pengawasan dan evaluasi terhadap proses jual beli yang dilakukan. Dari sinilah
kemudian PT Lapindo Brantas menawarkan skema baru diluar cash and carry yang diamanatkan
Perpres No.14 tahun 2007, yaitu: 1) skema tukar guling (resettlement), 2) skema resettlement +
susuk, dan 3) skema mekanisme cicilan.
Dengan peluang melakukan monopsonist exploitation, PT Lapindo Brantas dapat
memainkan ultimatum game, dimana aturan mainnya adalah perusahaan diwajibkan untuk
melakukan jual beli oleh pemerintah, namun disatu sisi dia memiliki ruang untuk
menegosiasikan dengan warga. Posisi PT Lapindo Brantas adalah posisi sentral, dimana
permainan tidak akan terjadi jika mereka absen. Dalam konteks yang lebih real, tawaran tukar
guling (resettlement) bagi warga yang tidak memiliki sertifikat SHM dan IMB, oleh PT Lapindo
Brantas dimanfaatkan untuk melakukan strategi ultimatum game yang akan lebih
menguntungkannya. Misalkan skema resettlement, PT Lapindo Brantas dapat menghemat lebih
76
banyak, karena tanah KNV dibeli dengan harga hanya Rp. 250.000/m223
, sedangkan jika
mengganti dalam bentuk cash & carry harus dihargai Rp. 1.000.000/m2. Pola ini dapat dilihat
dalam gambar berikut (lihat gambar 1):
Gambar 1 : Model Ultimatum Game Resettlement
Maka dengan memainkan ultimatum game, pilihan unfair PT Lapindo Brantas lebih
rasional karena akan lebih untung. Sedangkan bagi warga korban lumpur, jika mereka
memaksakan diri untuk meminta mekanisme cash & carry, maka ancaman bahwa berkas yang
tidak di AJB kan tidak bisa diproses dalam jual beli. Pada konteks ini posisi PT Lapindo Brantas
sebagai pembeli lebih kuat, sehingga bisa dipastikan bahwa kecenderungan untuk memaksakan
mekanisme resetlement adalah pilihan paling masuk akal. Strategi ini akan melahirkan Paretto
equilibrium, yang mana setiap strategi akan berpengaruh terhadap besarnya keuntungan masing-
masing aktor.
Respon dari skema ini beragam tergantung dari latar belakang masing-masing asosiasi.
Bagi sebagian anggota GKLL, pilihan ini juga tidak ada salahnya, karena PT Lapindo Brantas
menjanjikan 3 Keuntungan jika mengikuti mekanisme tukar guling yang ditawarkan oleh
perusahaan, yaitu: 1) Uang muka 20% dianggap sebagai sodakoh, sehingga pelunasan akan
dimulai dari 100% aset awal, 2) Proses pembayaran akan lebih cepat, 3) Setahun kemudian
dijanjikan rumah dan tanah dapat dijual kepada WAR. Dalam konteks ini GKLL memainkan
strategi pilihan yang menguntungkannya (lihat gambar 2 dibawah).
Gambar 2 : Model Strategi Permainan GKLL
23
Informasi dari warga soal harga tanah yang dibeli PT lapindo brantas. 150 rb untuk tanah dan 100.00 biaya
pengurukan, wawancara warga, opcit
UNFAIR :
Resettlement
FAIR :
Cash & Carry
Reject
Accept
Accept Reject
PT Lapindo
Brantas
( 0,0 )
(1000,-250)
( 0,0 )
(1000,-1000)
Mud Flow
Victim Lumpur
Mud Flow
Victim
Lumpur
77
Dari model permainan diatas dapat dilihat, bahwa pilihan menerima tawaran dari PT
Lapindo Brantas akan memberikan point keuntungan tiga (3) bagi warga GKLL. Sedangkan jika
mereka menolak dan tetap menerima cash and carry, maksimal mereka hanya akan dapat uang
yang sesuai dengan ketentuan namun dengan waktu yang lebih lama dan tidak mendapat bonus
20% yang sudah habis24
.
Namun sebagian kelompok yang lain didalam GKLL, menganggap bahwa pilihan
sebagian teman mereka sangat merugikan kepentingan kelompok yang lain. Sebagian warga
yang lain adalah warga asli yang biasa hidup sebagai petani dan berternak, yang tidak biasa
tinggal diperumahan. Ini artinya jika mereka memilih mekanisme ini, mereka harus mengalami 3
kerugian, yaitu: 1) Mereka tidak bisa menjalankan profesinya sebagai petani dan peternak
diperumahan, 2) Mereka tidak terbiasa dengan membayar iuran di perumahan, 3) Harga terlalu
mahal. Sehingga pilihan terbaik bagi mereka adalah tetap mempertahankan mekanisme cash and
carry, meskipun beresiko keterlambatan menerima pembayaran dari PT Lapindo Brantas (lihat
gambar 3)
Gambar 3 : Model Strategi Permainan Geppres/Pagarekontrak
Dengan alasan itulah, maka 1.800 berkas kemudian keluar dari GKLL dan mendirikan
Geppres. Beberapa perwakilan GKLL yang menandatangi persetujuan untuk mengikuti
24
Wawancara dengan Khoirul Huda, opcit
Reject
Accept
Reject
Accept
Accept Reject
Resettlement
( 0,0 )
(0,1)
( 0,0 )
(1,-3)
Geppres/Pagarekontrak Geppres/Pagarekontrak
Menolak
Terima
Reject
Accept
Accept Reject
Resettlement
( 0,0 )
(0,1)
( 0,0 )
(1,3)
GKLL GKLL
78
mekanisme resettlement dianggap melakukan penghianatan kepada kelompok yang tergabung di
Geppres, mereka dianggap tidak sabar dan terlalu cepat menyerah pada proses perjuangan
menuntut hak25
. Dalam konteks ini, Pagarekontrak juga memiliki pandangan yang sama yaitu
menolak mekanisme resettlement, mereka lebih baik dibayar cash dan mencari tempat sendiri.
Namun menurut elit GKLL pilihan itu adalah pilihan paling mungkin setelah 2,5 tahun proses
pembayaran yang berlarut-larut dan tidak kunjung selesai, yang membuat warga semakin
menderita26
.
Ditandatanginya mekanisme resettlement oleh elit GKLL, mau tidak mau membuat
asosiasi ini kemudian lebih mengarahkan semua proses kedalam model resettlement, termasuk
mekanisme resettlement + susuk. Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, mekanisme
resettlement+susuk ini diperuntukkan bagi pemilik sertifikat yang mau melakukan tukar guling.
Akibat dari bergsernya pilihan strategi GKLL inilah kemudian muncul kelompok baru
khususnya warga dari perumahan, yang ingin lebih fokus mengurus mekanisme cash and carry.
Kelompok inilah yang kemudian berpisah dengan GKLL dan membentuk PW Perumtas, yang
menuntut haknya dibayar dengan cash and carry dan tidak menerima mekanisme resettlement
karena berkas mereka bisa di AJB-kan. Kebanyakan warga perumahan tidak memiliki persoalan
dengan kepemilikan SHM dan IMB, maka dalam rasionalitas mereka akan mendapat 2
keuntungan, yaitu: 1) bonus 20% sebagaimana janji PT Lapindo Brantas, 2) Uang cash yang bisa
dimanfaatkan segera. Namun jika mereka menerima, maka proses bisa berjalan sangat lama
khususnya yang memiliki aset besar (lihat gambar 4)
Gambar 4 : Model Strategi Permainan PW Perumtas
Selain mekanisme resettlement, sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelumnya, PT
Lapindo Brantas juga membuat mekanisme cicilan untuk mengulur proses pembayaran cash and
carry. Dalam proses ini jelas bahwa PT Lapindo Brantas masih memainkan strategi ultimatum
game, karena dengan alasan kehabisan dana maka pembayaran terpaksa harus dicicil. PT
Lapindo Brantas adalah aktor kunci dalam permainan ini, karena jika uang habis maka
25
Wawancara dengan Cak Mat, Gepress, 2011
26
Dari Khoirul Huda, GKLL, 2011
Reject
Accept
Reject
Accept
Accept Reject
Instalment (Cicilan)
( 0,0 )
(2,0)
( 0,0 )
(2,-1)
PW Perumtas PW Perumtas
79
permainan akan selesai27
. Maka dengan alasan inilah keluarlah mekanisme ‘cicilan’ dalam proses
pelunasan 80% sisa. Dalam kalkulasi sederhana, maka PT Lapindo Brantas dapat
memperpanjang proses pelunasan yang seharus selesai setahun setelahnya. Misalkan dalam
hitungan sederhana, jika aset Rp. 500 juta maka dengan cicilan sebesar Rp. 15 juta/bulan bisa
diulur menjadi 34 bulan, dari pada dilunasi hanya dalam 12 bulan dimana perbulan harus bayar
41 juta/bulan (perhatikan gambar 5).
Gambar 5 : Model Ultimatum Game Cicilan
Namun mekanisme ini tentu tidak bisa diterima oleh masyarakat korban yang memiliki
aset besar, khususnya yang asetnya milyaran. Sebagian dari mereka adalah para penduduk asli
yang terdiri dari banyak keluarga namun hanya memiliki satu berkas yang diatasnamakan
orangtua atau pewaris mereka, padahal sertifikat belum dipecah menjadi kepemilikan individu
ahli waris mereka28
. Ada juga kasus dimana tanah kavling perumahan yang biasanya berisi
antara 15-40 KK, yang berkasnya masih atas nama satu orang dan belum dipecah menjadi milik
masing-masing KK29
. Semisal aset satu berkas 2 Milyar rupiah, maka jika dicicil Rp. 15 juta
perbulan maka baru akan lunas 132 bulan (11 tahun), belum lagi jika harus dibagi 30 KK,
sehingga masing-masing KK hanya mendapat Rp. 500.000/bulan. Sedangkan jika mereka
dibayar dalam waktu setahun, maka perbulan mereka bisa memperoleh Rp166juta yang dibagi
30 menjadi Rp. 5,5juta. Sehingga menjadi wajar jika mereka memilih untuk menolak mekanisme
cicilan yang ditawarkan, dan memilih keluar dari GKLL untuk bergabung dengan Geppres,
Pagarekontrak atau PW Perumtas saat itu (perhatikan gambar 6).
Gambar 6 : Model Strategi Permainan kelompok aset besar
27
Beberapa warga yang bernegosiasi pernah ditantang oleh Nirwan Bakrie dengan mengatakan, “Kalau semisalkan
warga tidak mau…ya sudahlah…..Kalau dihukum, ya sudah. Saya masuk penjara saja… Kami sudah tak punya
uang,”, yang akhirnya membuat sebgaian warga terpaksa menerima
28
Wawancara dengan korban, opcit
29
Wawancara dengan korban, opcit
UNFAIR :
Instalment (Cicilan)
FAIR :
Cash & Carry
Reject
Accept
Accept Reject
PT Lapindo Brantas
(0,0)
(500,15)
(0,0)
(500,41)
Mud Flow Victim
Lumpur
Mud Flow Victim
Lumpur
80
Namun dalam logika yang berbeda, ada sebagian dari warga yang merasa mekanisme
pembayaran cicilan tidak menjadi masalah, karena yang penting dibayar. Kelompok inilah yang
ada didalam kelompok PW Perumtas, yang relatif memiliki aset yang tidak besar. Aset mereka
kebanyakan kurang dari 300 juta sehingga bisa dilunasi dengan cicilan 15 juta perbulan dan bisa
lunas kurang dari 2 tahun. Pada akhirnya kelompok inilah yang kemudian keluar dari PW
perumtas, dan kemudian mendirikan Kelompok Tim 16, yang terdiri dari 16 RT di Perumtas 1,
dengan tujuan utama mendapat pembayaran daripada meminta mekanisme yang lain. Bagi
mereka tidak masalah dicicil, yang penting segera dibayarkan oleh PT Lapindo Brantas,
sekaligus mereka juga mendapat untuk bonus 20% dari uang muka yang diberikan diawal (lihat
gambar 7).
Gambar 7 : Model Strategi Permainan Tim 16
Uraian panjang lebar strategi permainan dari masing-msing aktor baik PT Lapindo
Brantas maupun asosiasi-asosiasi masyarakat korban lumpur yang terbentuk, menunjukkan
bahwa semakin lama asosiasi-asosiasi itu terpecah kedalam bentuk-bentuk terkecilnya. Sampai
pertengahan 2010 kemudian asosiasi-asosiasi tersebut membubarkan diri dan tidak tersisa
gerakan yang memadai. Catatan terpentingnya adalah strategi gerakan apapun yang dipakai
dibatasi oleh satu bounded rationality yang sangat kuat, yaitu bencana yang melahirkan krisis.
Dengan konteks krisis ini maka daya tahan (endurance) masyarakat dalam melakukan
perlawanan sangat terbatas, mereka akhirnya menyerah ketika proses itu ditunda atau
Reject
Accept
Reject
Accept
Accept Reject
Instalment (Cicilan)
( 0,0 )
(0,0)
( 0,0 )
(0,2)
Tim 16 Tim 16
Reject
Accept
Reject
Accept
Accept Reject
Instalment (Cicilan)
( 0,0 )
(5,5jt,12)
( 0,0 )
(500rb,132)
)
Aset Besar Aset Besar
81
diperpanjang. Akhirnya mereka menerima skenario apapun, asal dibayar tanpa ditunda untuk
menyambung hidup mereka yang sedang sekarat. Kondisi krisis menjadi bounded rationality
dominan yang mematahkan rasionalitas apapun yang memungkinkan mereka untuk bernegosiasi
dengan PT Lapindo Brantas. Pilihan selain menerima skenario apapun hanya akan membuat
mereka sekarat lebih parah dan kemudian mati, karena kartu kematian sepenuhnya ada di tangan
perusahaan. Perhatikan model dibawah untuk menjelaskan pilihan rasional yang mungkin bisa
diambil dalam kondisi krisis (lihat gambar 8). Pada titik inilah dominant equilibrium terjadi.
Gambar 8 : Perubahan strategi setelah 3,5 tahun bencana
E. Penutup : Predatory State
Untuk memahami bekerjanya kekuasaan dalam kasus semburan lumpur panas di
Sidoarjo, definisi konvensional tentang kekuasaan tidak bisa kita gunakan lagi. Konsep
kekuasaan konvensional memaknai bahwa kekuasaan adalah sebuah kepemilikan yang melekat
pada seseorang atau insitusi30
, dimana fungsi kekuasaan adalah a) kekuatan untuk melakukan
sesuatu dan mengontrol sesuatu, atau b) otoritas legal untuk melakukan sesuatu atau memaksa
orang lain melakukan sesuatu. Dalam konteks konvensional, kekuasaan dimaknai dengan sesuatu
(otoritas) yang negatif, koersif dan represif yang memaksa kita melakukan sesuatau yang tidak
dikehendaki (Gaventa 2003). Namun dalam menjelaskan konteks ini, konsep kekuasaan yang
paling tepat digunakan dalam menjelaskan pola relasi ini adalah konsep Foucault dalam
memahami kekuasaan. Dalam perspektif Faucault, kekuasaan itu dimana-mana, menyebar dan
melekat dalam sebuah wacana (discourse), pengetahuan dan rezim kebenaran (Foucault 1991;
Rabinow 1991). Dalam konteks ini kekuasaan adalah sebuah kebutuhan (necessary), yang
produktif dan juga memiliki dorongan positif di masyarakat (Gaventa 2003).
Konsep ini memang tidak bisa di integrasikan dengan konsep kekuasaan konvensional,
sehingga membacanya perlu sedikit berbeda. Dalam konteks penangan korban lumpur Sidoarjo,
dominasi perusahaan tidak dapat dibaca sebagai sebuah mekanisme pemaksaan yang represif
atau otoritatif, namun yang perlu diperiksa adalah perubahan relasinya yang menandakan
perubahan rezim kebenaran yang membentuknya. Dalam kajian ini dapat dilihat bahwa proses
reproductive power mulai muncul saat pemerintah mengeluarkan Perpres No. 14 tahun 2007,
yang mengganti kebijakan “ganti rugi” (compensation) menjadi kebijakan “jual beli”
30
Definisi yang umum di pakai dalam perspektif Marxian atau Machiavellian
Reject
Accept
Reject
Accept
Accept Reject
Pembayaran Model Apapun
( 0,-1 )
(0,-1)
( 0,-1 )
(0,1)
Mud flow Victim Mud flow Victim
82
(Transaction). Perubahan terpenting dalam kebijakan ini adalah terbentuknya mekanisme “jual-
beli” sebagai ‘kebenaran” dan menjadi satu-satunya bentuk relasi antar aktor.
Padahal pola relasi “jual-beli”, bukanlah sebuah relasi alamiah dari masyarakat, sehingga
kemudian munculah pola-pola diskursif (discursive pattern) dalam praktik pelaksanaan
kebijakan tersebut. Masing-masing aktor dalam relasi alamiahnya memiliki bentuk relasi alamiah
yang berbeda, merujuk pada gagasan PWD UGM31
, perbedaan pola aktor itu antara lain:
Pertama, intimacy adalah bentuk dasar relasi didalam masyarakat. Pola relasi berdasarkan
kedekatan kedekatan (intimacy), sebagai basis pengelolaan kekuatan kolektif untuk mengatasi
masalah. Beberapa bentuk intimacy dapat ditemukan dalam bentuknya yang di kenal dengan
kekerabatan, suku, agama dan bentuk-bentuk ikatan-ikatan lain di masyarakat. Pada saat inilah
masyarakay dikenal dengan ikatannya dalam komunitas, bukan masyarakat sebagai individu.
Dengan modal intimacy juga masyarakat korban lumpur panas Sidoarjo menggalang massa dan
melakukan perlawanan kepada kebijakan Pemerintah dan PT Lapindo Brantas. Modal intimacy
yang kuat ini juga yang menyatukan ribuan warga untuk datang ke Jakarta atau memblokade
Jalan Raya Porong, yang akhirnya memaksa Pemerintah dan PT Lapindo Brantas untuk duduk
bersama kembali membicarakan proses ganti rugi yang tidak selesai.
Kedua, transactional adalah bentuk dasar relasi didalam perusahaan. Bentuk-bentuk
perdagangan atau pertukaran (exchange) adalah pola relasi yang umum dilakukan oleh
perusahaan. Proses transaksional berangkat dari asumsi bertemunya kelebihan kekurangan
sehingga terjadi proses pertukaran sukarela antara pihak-pihak yang memiliki posisi setara. Pola
transaksional adalah hubungan individu dengan individu yang didasari pada kebutuhan yang
saling menguntungkan. Sebuah perusahaan yang baik tentunya adalah perusahaan yang mampu
memaksimalkan perolehan keuntungannya dalam melakukan proses transaksi, sebagai
manifestasi dari semangat laissez faire. Prose ideal dalam transaksi ekonomi adalah tidak adanya
intervensi dari pemerintah, yang mana tugasnya hanya memberikan perlindungan hak
kepemilikan individu (private property right).
Ketiga, statism adalah bentuk dasar relasi di dalam negara yang mana sistem kenegaraan
dibangun dalam bentuknya yang berjenjang, dengan komando otoritas dari atas ke bawah. Dalam
logika negara (state) relasi yang bekerja adalah bentuk tingkatan otoritas yang berlapis, yang
mana lapisan tertinggi dapat mendiktekan kehendaknya dalam memaknai kepentingan publik
(statism) kepada lapisan dibawahnya. Kebijakan adalah bentuk dari relasi statism, dimana
otoritas yang lebih tinggi membuat kebijakan sedangkan lapisan dibawahnya menjalankan
keputusan dari kebijakan itu.
Kebijakan yang dibuat oleh negara dengan mekanisme “jual-beli” inilah yang kemudian
membuat rezim kebenaran baru yang merubah semua pola-pola dan bentuk relasi di masyarakat.
Masyarakat diminta keluar dari pola relasi alamiahnya, yaitu intimacy, untuk masuk kedalam
model relasi kekuasaan ala perusahaan, yaitu transaksional. Akibatnya, ibarat hiu yang bertarung
dengan singa di tengah lautan, masyarakat yang awalnya begitu kuat intimitasnya akhirnya
terpecah-pecah sampai akhirnya menjadi kepingan individu. Padahal jika mereka bersatu
kekuatan masyarakat sangat besar dan bisa memaksa negara dan perusahaan untu mendengarkan
mereka. Lebih celaka lagi, masyarakat dalam konteks korban lumpur adalah masyarakat dalam
31
Dalam Tim PWD, Power, Welfare and Democracy: Rekonstruksi Relasi-Kuasa yang Mensejahterakan,
Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Norwegian Embassy,
2010, hal.54-58.
83
kondisi bencana yang vulnerable, disaat kelaparan, frustasi dan masa depan yang tidak jelas
mereka harus dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang disodorkan oleh negara. Sehingga
jebakan prisonner dilemma yang terkandung dalam model kebijakan itu, membuat asosiasi
korban lumpur kemudian harus mengikuti hasrat alaminya untuk bertahan hidup. Sebagai
perbandingan, warga korban lumpur yang diluar peta terdampak tahun 2007 dimana proses jual
belinya diambilkan dari APBN, mereka tidak mengalami dilema yang sama. Mereka tunduk pada
mekanisme staisme negara dan tidak memiliki masalah dalam pembayaran, meskipun kemudian
pemerintah ikut menunda pembayaran dengan alasan agar tidak muncul kecemburuan sosial.
(Perhatikan gambar 9). Namun dalam relasinya dengan perusahaan, negara yang seharusnya
sebagai satu-satunya institusi yang berhak membuat kebijakan (Dye, 1975), harus juga
terjerumus dalam bentuk relasi yang transaksional dengan perusahaan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa semua kebijakan negara sangat politis dan lebih dekat dengan kepentingan perusahaan,
apalagi menjadi bagian dari proses transaksi pemilu 2009 (Gustomy, 2012; Schiller, 2008;
Bosman&Heru, 2010; Ali Akbar, 2007).
Gambar 9 : Pola Relasi 3 Aktor
Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa negara lebih memilih bentuk relasi kekuasaan
yang sifatnya transaksional? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memeriksa kembali
konteks yang lebih makro dari struktur politik yang membentuk relasi kekuasaannya. Dari
peristiwa ini, dapat ditarik garis benang merah bahwa struktur politik liberal yang dipakai di
Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap nalar-nalar yang menjadi pilihan dalam
kebijakan publik. Pola-pola transaksi ekonomi hampir menjadi strategi standar dalam setiap
pemenangan pemilu, begitu juga dengan cara negara membangun relasinya dengan masyarakat
(Ibrahim & Dahlan, 2010). Akibatnya nalar transactional menjadi episteme, sebuah logika
kebenaran yang tidak dipertanyakan, dalam menyelesaikan masalah dan membuat kebijakan.
Meski pemerintah Indonesia mengaku tidak liberal, karena memang tidak ada satupun
negara didunia yang konsisten dengan asumsi-asumsi neo-liberalisme dan masih membuat
kebijakan populis (Harvey, 2004), pemerintah indonesia dalam konteks ini cukup konsisten
membawa asumsi liberalnya. Sangat mungkin Pemerintah saat ini sedang mempraktikkan ide
Adam Smith, bahwa unit analisis dalam pemerintahan adalah individu, bukan keluarga,
masyarakat, atau juga negara, sehingga kepentingan individu adalah harmoni yang tercipta diatur
sistem kompetisi bebas. Sama halnya dengan Margareth Thacther, yang meyakini bahwa yang
ada hanyalah sekumpulan individu bukan masyarakat sebagai sebuah entitas (Wiwoho, 2010).
Karena dengan transaksi ekonomi individu, tiap-tiap orang bebas mengejar keuntungan dan
Statism
Transaction
Society
Corporate
State
Transaction
84
kepentingannnya sendiri, sehingga bukan hanya individu yang beruntung, namun masyarakat
juga. Karena jika setiap individu mengalami peningkatan kesejahteraan, maka secara kolektif
dapat diidentifikasi bahwa masyarakat juga berkembang. Dalam bahasa Adam Smith ini disebut
sistem natural liberty, dimana peran pemerintah dalam mengintervensi seharusnya harus sangat
dibatasi dan ketat. Sehingga dalam konteks “jual-beli” antara PT Lapindo Brantas dengan
masyarakat korban lumpur, pemerintah tidak campur tangan, sebagai bentuk konsistensi
ideologis dari netralnya intervensi negara.
Namun celakanya, relasi ini adalah bentuk monopsoni dan bukan kondisi pasar sempurna
yang normal, apalagi ada konteks bencana dan krisis di belakangnya. Dimana 12.000 berkas dari
keluarga yang kelaparan dan tidak punya tempat tinggal, harus berebut perhatian dari seorang
pembeli. Tentu dalam konteks ini PT Lapindo Brantas juga tidak dapat disalahkan juga, karena
sudah sewajarnya perusahaan dengan nalar laissez faire mengejar keuntungan untuk dirinya
semaksimal mungkin dengan cara apapun. Sebagai kapitalis sejati sudah wajar jika perusahaan
melakukan pola eksploitasi sebagai cara meraih keuntungan sendiri, karena PT Lapindo Brantas
bukan lembaga sosial. Nalar yang tidak tepat inilah yang dapat menempatkan pemerintahan
Indonesia dalam konteks ini termasuk predatory state.
Tentu ini debatable ditengah klaim demokrasi yang dianut di Indonesia, namun saya
menemukan beberapa argumen teoritik yang mendukung pendapat ini. Secara tidak langsung
saya sepakat dengan Jusuf Wanandi (2002) yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah failed
state, merujuk pada beberapa kasus dimana absennya kehadiran negara dalam memberikan
perlindungan dan keadilan. Kegagalan negara (failure state) dalam beberapa penelusuran teoritik
berangkat dari cara pandang bahwa kesalahan berangkat dari aktor yang berada di puncak (top
rulers) memiliki motif-motif predatory (Avinash Dixit, 2006). Dalam memahami predatory state,
bukan berarti negara absen terhadap penyediaan public goods atau bentuk perlindungan lainnya,
namun justru kemampuan untuk menyediakan public goods yang menjandi alat untuk memangsa
masyarakatnya (Boaz Moselle,2001). Dalam konteks peristiwa ini, kekuasaan pemerintah dalam
membuat kebijakan bencana justru menjadi ruang bagi elit puncak pemerintahan dalam
menegosiasikan kepentingannya dalam pemilu 2009 silam (Gustomy, 2012). Begitu juga negara
telah melakukan pembiaran terjadinya penderitaan terhadap rakyat atas nama konsistensi agar
negara tidak turut campur dalam urusan privat (Gustomy, ibid). Tentunya juga tuduhan ini masih
bisa diperdalam dalam kajian berikutnya.
Namun yang jelas imbas dari kekuasaan yang produktif maka di level masyarakat korban
juga lahir predator-predator yang memangsa sesama korban, sehingga beberapa mantan elit
asosiasi korban bisa menjadi kaya mendadak. Sudah menjadi jamak jika nalar laissez faire dari
perusahaan menular kepada semua individu, sehingga melahirkan makelar-makelar sertifikat
yang mencari keuntungan dengan mendorong warga lain ikut skema perusahaan. PT Lapindo
Brantas memancingnya dengan memberikan hadiah Rp 1 Juta perorang, bagi siapa saja yang bisa
membawa berkas warga lainnya untuk masuk skema pembayaran perusahaan32
. Iming-iming ini
yang mendorong banyak elit asosiasi masyarakat menjadi makelar sertifikat. Kemudahan
mencari uang ini kemudian memunculkan makelar-makelar sertifikat yang lain dan mendorong
semakin cepatnya proses kehancuran asosiasi korban lumpur. Pada akhirnya, mereka bukan
hanya terkotak dalam berkas-berkas sebagai representasi kepemilikan keluarga, bahkan banyak
yang diantara keluarga saling berkonflik sehingga terpecah menjadi individu sejati.
32
Wawancara dengan korban, opcit
85
Daftar Pustaka
Akbar, Ali Azhar, Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo, Yogyakarta, GalangPress, 2009
Badoh, Ibrahim Z. Fahmy and Abdullah Dahlan, (2010). Korupsi Pemilu Di Indonesia, Indonesia
Corruption Watch, Jakarta
D.N. Dwivedi, 2006. Microeconomics Theory & Aplications, Pearson Education, India
Dixit, A. (2006), “Predatory States and Failing States: An Agency Perspective,” working paper,
Princeton, NJ : Center for Economic Policy Studies
F. Camerer and T-H Ho, (2001). Strategic Learning and Teaching in Games,” in S. Hioch and H.
Kunreuther, eds., Wharton on Decision Making, New York: Wiley,
Foucault, M. (1991). Discipline and Punish: the birth of a prison. London, Penguin.
Gaventa, John (2003) Power after Lukes: a review of the literature, Brighton: Institute of
Development Studies.
Graboś, Rafał (2005). Qualitative Model of Game Theory, in Modeling Decisions for Artificial
Intelligence,Lecture Notes in Computer Science Volume 3558, 2005, pp
47-58
Gustomy, Rachmad (2012). Menjinakkan Negara, Menundukkan Masyarakat: Menelusuri Jejak
Strategi Kuasa PT Lapindo Brantas Inc. dalam Kasus Lumpur Panas di
Sidoarjo, dalam Bencana Industri: Kekalahan Negara dan Masyarakat
Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (eds. Heru Prasetia), Desantara,
Jakarta
Micklich, Douglas L. (2007) The thinking steps model in game theory: a qualitative approach in
following the rules, Developments in Business Simulation and
Experiential Learning, Volume 34, 2007, Illinois State University
Moselle, B. and Polak, B. (2001). ‘A model of predatory state’, Journal of Law, Economics, and
Organization, vol. 17, pp. 1–33
Prasetia, Heru & Bosman Batubara, (2010). Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan
Masyarakat Sipil, Jakarta, Desantara, 2010
Rabinow, Paul (editor) (1991) The Foulcault Reader: An introduction to Foulcault’s thought,
London, Penguin.
Rubinstein, Ariel (1998): Modeling Bounded Rationality. Cambridge, Massachusetts: MIT Press
Schiller, Jim, Anton Lucas and Priyambudi Sulistiyanto (2008). Learning from the East Java
Mudflow: Disaster Politics in Indonesia, Indonesia No. 85 (Apr., 2008),
pp. 51-77, Published by: Southeast Asia Program Publications at Cornell
University
Tim PWD, Power, Welfare and Democracy : Rekonstruksi Relasi-Kuasa yang mensejahterakan,
kerjasama PSSAT UGM dengan Norwegian Embassy, Yogyakarta, 2010.
86
Van Damme, (1999). Game Theory: The Next Stage, in L.A. Gerard-Vanet, Alan P. Kirman, and
M. Ruggiero (Ed.’s), Economics beyond the Millennium, Oxford
University Press
Wanandi, Jusuf (2002). Indonesia: A Failed State?, Washington Quarterly, Vol. 25, 2002
Wibowo, I dan F. Wahono,(ed). Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras, 2003.
Koran
Iklan Lapindo, Percepatan Pembayaran 80 Persen, Majalah Tempo, 18 Mei 2008
Regulasi
SK Gubernur Jatim Nomor 360/1417/KPTS/031/06
Keppres Nomor 13 Tahun 2006
Perpres Nomor 14 Tahun 2007
Perpres Nomor 48 Tahun 2008
Perpres Nomor 40 Tahun 2009
Website
http://www.mudvolcano.com//home.php?page_id=10, diunduh 25 Agustus 2011, pukul 21.34
WIB.
Wawancara
Wawancara dengan Abdurrohim, Koordinator Gempur 4D, Kamis, 31 Maret 2011, dirumahnya,
Perum Tanggulangin, Porong Sidoarjo
Wawancara dengan Cak Mat, koordinator GEPPRES, Sabtu, 2 April 2011, dirumahnya, Perum
TAS, Sidoarjo
Wawancara dengan Gus Maksum, tokoh agama dan pemimpin penolakan pembelian tanah,
Kamis, 31 Maret 2011, di pondok Pesantren Porong Sidoarjo
Wawancara dengan Haji Sunarto, koordinator PAGAREKORLAP, Selasa, 14 September 2011,
dirumahnya, Renojoyo, Sidoarjo
Wawancara dengan Khoirul Huda, mantan koordinator GKLL, Jumat, 3 September 2011, di
kantor nya, Sidoarjo
Wawancara dengan korban lumpur, dari 2008- 2011, di sekitar semburan lupur sidoarjo
Wawancara dengan Paring Waluyo Utomo, warga korban lumpur, Sabtu, 2 April 2010 di Posko
Advokasi untuk Korban Lapindo, porong Sidoarjo
View publication stats

More Related Content

Similar to Tragedi Pembunuhan Gerakan Civil Society, Rasionalitas kehancuran gerakan korban lumpur Lapindo

02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatible02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatiblealinda21
 
Program community development Pertamina Sebagai Wujud CSR
Program community development Pertamina Sebagai Wujud CSRProgram community development Pertamina Sebagai Wujud CSR
Program community development Pertamina Sebagai Wujud CSRHabibullah
 
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAIPARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAIWasmui
 
Ekspansi Batubara.pdf
Ekspansi Batubara.pdfEkspansi Batubara.pdf
Ekspansi Batubara.pdfMas S2
 
Pembebasan Lahan Disoal
Pembebasan Lahan DisoalPembebasan Lahan Disoal
Pembebasan Lahan DisoalZakaria Ibn
 

Similar to Tragedi Pembunuhan Gerakan Civil Society, Rasionalitas kehancuran gerakan korban lumpur Lapindo (7)

3401418043_Artikel Skripsi.docx
3401418043_Artikel Skripsi.docx3401418043_Artikel Skripsi.docx
3401418043_Artikel Skripsi.docx
 
02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatible02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatible
 
Lumpur lapindo
Lumpur lapindoLumpur lapindo
Lumpur lapindo
 
Program community development Pertamina Sebagai Wujud CSR
Program community development Pertamina Sebagai Wujud CSRProgram community development Pertamina Sebagai Wujud CSR
Program community development Pertamina Sebagai Wujud CSR
 
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAIPARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
 
Ekspansi Batubara.pdf
Ekspansi Batubara.pdfEkspansi Batubara.pdf
Ekspansi Batubara.pdf
 
Pembebasan Lahan Disoal
Pembebasan Lahan DisoalPembebasan Lahan Disoal
Pembebasan Lahan Disoal
 

More from UoB & UoB (University of Brawijaya, University of Birmingham)

More from UoB & UoB (University of Brawijaya, University of Birmingham) (14)

Partisipasi Politik Difabel di 2 Kota.pdf
Partisipasi Politik Difabel di 2 Kota.pdfPartisipasi Politik Difabel di 2 Kota.pdf
Partisipasi Politik Difabel di 2 Kota.pdf
 
Konsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdf
Konsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdfKonsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdf
Konsekuensi nalar kedisiplinan dalam kebijakan ICT pasca orde baru.pdf
 
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdfPemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
 
Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter
Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna TwitterPandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter
Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter
 
BOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdf
BOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdfBOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdf
BOOK - Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah.pdf
 
Book Section - Partisipasi untuk desa.pdf
Book Section - Partisipasi untuk desa.pdfBook Section - Partisipasi untuk desa.pdf
Book Section - Partisipasi untuk desa.pdf
 
CEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdf
CEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdfCEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdf
CEJISS - Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018.pdf
 
BUKU - Negara menata Ummat full.pdf
BUKU - Negara menata Ummat full.pdfBUKU - Negara menata Ummat full.pdf
BUKU - Negara menata Ummat full.pdf
 
Governability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdf
Governability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdfGovernability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdf
Governability - New Development and Rural Economy at Sanankerto.pdf
 
TP-6 : Sustainability Development
TP-6 : Sustainability DevelopmentTP-6 : Sustainability Development
TP-6 : Sustainability Development
 
TP-5 : polemik pembangunan
TP-5 : polemik pembangunanTP-5 : polemik pembangunan
TP-5 : polemik pembangunan
 
TP-4:Strukturalisme dan dependensia
TP-4:Strukturalisme dan dependensiaTP-4:Strukturalisme dan dependensia
TP-4:Strukturalisme dan dependensia
 
TP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-Klasik
TP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-KlasikTP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-Klasik
TP-3: Pendekatan Klasik dan Neo-Klasik
 
Kontrak belajar F & G
Kontrak belajar F & GKontrak belajar F & G
Kontrak belajar F & G
 

Tragedi Pembunuhan Gerakan Civil Society, Rasionalitas kehancuran gerakan korban lumpur Lapindo

  • 1. See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/328593916 TRAGEDI PEMBUNUHAN GERAKAN CIVIL SOCIETY Article in JUSS (Jurnal Sosial Soedirman) · July 2017 DOI: 10.20884/1.juss.2017.1.1.391 CITATIONS 0 READS 90 1 author: Rachmad Gustomy University of Birmingham 21 PUBLICATIONS 45 CITATIONS SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Rachmad Gustomy on 21 May 2021. The user has requested enhancement of the downloaded file.
  • 2. 60 TRAGEDI PEMBUNUHAN GERAKAN CIVIL SOCIETY : RASIONALITAS KEHANCURAN ASOSIASI KORBAN LUMPUR DI INDONESIA Oleh : Rachmad Gustomy1 Abstrak Peristiwa semburan lumpur panas di Sidoarjo adalah tenggelamnya 4 desa, dengan sedikitnys 12.000 keluarga, yang dituduhkan dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Masyarakat pada awalnya membentuk asosiasi korban lumpur sebagai upaya untuk menggalang kekuatan untuk meminta ganti rugi, namun semakin lama gerakan ini semakin terpecah dan 4 tahun kemudian lenyap menjadi individu-individu. Padahal tujuan belum tercapai, masih banyak korban lumpur yang belum mendapat pelunasan pembayaran, padahal ketika terpecah mereka menjadi semakin lemah dalam memperjuangkan haknya. Pertanyaannya artikel ini adalah, bagaimana rasionalitas di balik perpecahan itu terjadi dan apa konstruksi nalar yang melatarbelakanginya? Pendekatan yang digunakan adalah model kualitatif dari rational choice dalam konteks pengambilan keputusan multi agen. Penjelasan ini terikat oleh batasan rasionaltas pembentuknya (bounded rationality), yaitu bencana dan kebijakan yang diambil. Temuannya bahwa mekanisme transaksi yang dipakai membuat ‘komunitas besar’ warga korban lumpur terpecah dari komunitas menjadi individu. Penyebabnya adalah karena struktur pasca Orde Baru yang melahirkan politik liberal, mengkondisikan pilihan rasional masyarakat kedalam pola transaksional, yang pada akhirnya menggeser relasi ‘intimitas’ masyarakat dari komunitas menjadi individual. Keyword : game theory, bounded rationality, asosiasi masyarakat, korban bencana, compensation, transaction A. Pendahuluan Tulisan ini berangkat dari refleksi untuk sekian kalinya, disaat penulis setiap kali datang kembali ke monumen bencana terbesar di Jawa Timur, luapan lumpur di Sidoarjo. Sampai hari ini, masih banyak warga korban lumpur yang mengaku belum mendapatkan pelunasan pembayaran dari PT Lapindo Brantas dan kuatnya kenangan-kenangan pahit masa itu. Meskipun pemerintah telah menilai semua baik-baik saja, mereka menganggap luapan lumpur itu adalah momentum hancurnya sejarah kehidupan keluarga mereka. Padaal sebagian dari mereka masih mengenang betapa besar dan kuatnya gerakan mereka saat itu, sehingga dapat memaksa pemerintah dan PT Lapindo Brantas untuk duduk bersama membicarakan kembali proses ganti rugi. Namun, mereka menyesali mengapa saat itu mereka dengan mudah dipecah belah, sehingga perjuangan yang belum selesai namun organisasi penggeraknya hancur duluan. Cerita kenangan mereka justru memunculkan pertanyaan yang cukup menganggu, jika memang gerakan mereka 1 Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya, Malang
  • 3. 61 sangat besar dan kuat, mengapa mereka kalah? Bagaimana mereka bisa kalah dalam mengadvokasi dirinya sendiri? Sekedar menyegarkan ingatan kita tentang peristiwa ini, ingatan kita perlu diputar kembali pada 29 Mei 2006, dimana saat itu muncul semburan lumpur panas setinggi 6 meter yang jaraknya hanya sekitar 150 meter dari galian sumur eksplorasi Banjar Panji-1 (BJP-1) di Porong, kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur, Indonesia. Dari kesaksian warga sekitar saat itu, pihak PT Lapindo Brantas berjanji untuk segera menangani semburan lumpur yang terjadi dan akan bertanggungjawab dengan dampak kerugian yang diakibatkannya2 . Seminggu penuh kesibukan terlihat di sekitar semburan lumpur panas3 , yang areanya mulai tertutup bagi warga umum, namun tidak membuahkan hasil. Kemudian bersama Pemerintah Daerah dan BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi), PT Lapindo brantas juga membuat beberapa usaha penanganan lebih intensif, misalnya dengan membuat bendungan cincin di sekitar semburan dan menyuntikkan lumpur berat. Namun sayang, usaha-usaha penutupan itu gagal, justru semburan lumpur yang keluar semakin lama semakin besar dan berdampak semakin meluas. Sehingga kemudian dalam waktu empat bulan lumpur telah menenggelamkan empat desa dan memaksa para penduduk untuk keluar dari rumah tinggal mereka. Akibat dari upaya menutup semburan yang gagal tersebut menyebabkan warga sekitar semburan untuk mengungsi keluar area berbahaya, yang hari demi hari semakin besar. Dalam waktu 37 hari saja semburan itu sudah memaksa 6.915 orang mengungsi, menenggelamkan ribuan hektar sawah, ratusan rumah, 17 sekolah dan 15 pabrik yang memiliki ribuan pekerja. Sebulan saja dampak sosial dari krisis tersebut sudah membuat 5.382 anak sekolah telantar dari kegiatan belajar, ribuan pekerja pabrik harus menganggur dan padi siap panen harus tenggelam4 . Dalam waktu dua bulan, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat korban lumpur lumpuh total, sehingga kehidupan mereka praktis hanya dihabiskan di pengungsian tanpa kejelasan nasib. Dampak ini kemudian juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi daerah di sekitar Sidoarjo, karena memotong arus transportasi yang disebabkan jalan tol yang menghubungkan Surabaya dan Malang ikut tenggelam karena lumpur. Empat bulan kemudian, tepatnya tanggal 8 September 2006, penanganan lumpur diambil alih oleh Pemerintah Pusat dengan membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PLS). Bencana semakin meluas ketika pada 22 November 2006, pipa gas Pertamina yang berada dalam areal lumpur meledak, sehingga dampak luapan lumpur semakin meluas. Peristiwa ledakan menambah jumlah pengungsi semakin besar, 21 ribu jiwa atau lebih dari 3.500 kepala keluarga harus pindah ke areal pengungsian di berbagai lokasi. Tentu saja peristiwa ini bukan hanya mengakibatkan perubahan geologis saja, namun memiliki pengaruh terhadap perubahan sosial dan relasi kekuasaan dari aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Ada 3 aktor utama dalam konteks peristiwa itu, yaitu Masyarakat Porong sebagai korban, PT Lapindo Brantas sebagai pelaku dan Pemerintah sebagai penengah. Kepentingan masyarakat korban lumpur tentu saja adalah agar mereka segera mendapat kompensasi kerugian dari dampak lumpur. Kepentingan PT Lapindo Brantas adalah agar terhindar dari kerugian yang 2 Kesaksian warga yang rumahnya di sekitar semburan lumpur utama. Wawancara dengan korban antara tahun 2009-2011 3 Ibid 4 Data pengungsi dan dampaknya yang di upload di Social Impact, http://www.mudvolcano.com//home.php?page_id=10, diunduh 25 Agustus 2011, pukul 21.34 WIB. (Sayangnya web ini sudah tidak aktif saat tulisan ini dibuat)
  • 4. 62 berlebihan dari tanggungjawab yang mereka pikul karena dianggap sebagai pelaku bencana. Sedangkan kepentingan pemerintah, atau individu didalam pemerintahan, adalah agar bencana ini tidak mengganggu stabilitas politik yang akan mendelegitimasi kekuasaannya. Ketiga kepentingan yang berbeda inilah yang kemudian melahirkan konflik yang berkepanjangan dalam proses penyelesaian dampak sosial bencana lumpur selama 7 tahun. Bagi masyarakat korban lumpur, cara terbaik untuk mendapatkan kembali haknya adalah dengan membangun asosiasi masyarakat yang akan digunakan sebagai kekuatan penekan untuk merebut kembali haknya. Sebagaimana semua asosiasi masyarakat dibentuk, tujuan utama dari asosiasi korban lumpur adalah agar tuntutan mereka dipenuhi oleh Pemerintah dan PT Lapindo Brantas. Namun pilihan dan strategi gerakan mereka dibatasi oleh nalar bencana yang mereka hadapi, dalam konteks ini masyarakat korban lumpur bukan hanya sekedar menjadi masyarakat resiko (risk socety), namun sudah berada pada kondisi masyarakat bencana (disaster society). Dimana pilihan-pilihan mereka menentukan hidup-mati mereka yang harus direspon dengan cepat, sehingga terciptalah masyarakat yang rentan (vulnerable). Disatu sisi, pemerintah sebagai tempat satu-satunya masyarakat menyandarkan harapan mendapat pembelaan justru menunjukkan sikapnya yang ambigu. Dalam studi terdahulu (Gustomy, 2012) sudah sangat jelas bahwa pemerintah penuh dengan ketidak jelasan dan justru mengelola ambiguitas untuk mempertahankan citra dan kepentingannya sendiri. Misalnya dalam ambiguitas hukum dalam UUPA tahun 1950, yang memperbolehkan perusahaan membeli tanah atas nama force majeure namun masyarakat yang tidak memiliki sertifikat (hanya Letter C, Petok D atau SK Gogol) tidak diperbolehkan. Begitu juga wacana Pemerintah yang selalu mengekor wacana yang dibentuk oleh PT Lapindo Brantas dan didukung dengan jaringan medianya (Gustomy, 2012). Ali azhar Akbar (2007), dalam penelitiannya menguak beberapa fakta bagaimana manipulasi wacana dibangun, menjadikan pemerintah sebagai bagian dari agen wacana yang membela PT Lapindo Brantas. Jim Schiller, dkk (2008), menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih karena pertimbangan politik, bukan pertimbangan teknis kebencanaan, karena Aburizal Bakrie sebagai pemiliknya adalah kekuatan politik penting di Indonesia. Heru Prasetia dan Bosman Batubara (2010) dalam temuannya, menunjukkan bahwa sejak awal proses pengeboran PT Lapindo Brantas sudah membohongi warga namun negara hanya diam saja. Hasil-hasil studi itu sepakat pada titik kesimpulan yang sama bahwa Negara cenderung lebih memihak pada kepentingan perusahaan daripada kepentingan masyarakat korban lumpur. Tentu saja keperpihakan itu tidak ditunjukkan dalam bentuknya yang vulgar dan terang-terangan, namun dalam bentuknya yang rumit dan tidak langsung. Melanjutkan studi-studi sebelumnya, tulisan ini tidak untuk melihat bagaimana cara Negara mendukung perusahaan untuk memanipulasi masyarakat korban lumpur, namun memeriksa lebih jauh bagaimana dampak-dampak dari kebijakan yang dibuat oleh negara dan Perusahaan terhadap rasionalitas masyarakat. Tujuannya adalah untuk menemukan penjelasan bagaimana operasionalisasi terpecahnya komunitas masyarakat menjadi individu-individu belaka. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan rational choice theory, karena penulis anggap sebagai alat paling tepat untuk memudahkan menjelaskan masalah. Pendekatan ini memeriksa fenomena dengan melihat bagaimana perilaku-perilaku individu melakukan pilihannya secara rasional. Namun individu dalam pemahaman penelitian ini bukanlah individu
  • 5. 63 yang mutlak otonom dengan free will-nya, melainkan individu yang terikat rasionalitasnya (bounded rationality) pada dua struktur kondisi5 , yaitu konteks bencana dan pilihan kebijakan. Penjelasan akan diurai dalam simulasi permainan (game theory) yang menggambarkan pilihan-pilihan masing-masing aktor. Dalam banyak penelitian dengan pendekatan di ranah ini umumnya dilakukan dengan menggunakan kalkulasi matematika yang menjelaskan masing- masing “permainan”. Seringkali dalam modelnya, dibuat kalkulasi yang paling komprehensif dalam realitas yang paling memungkinkan dengan hitungan yang kompleks. Namun kritik terbesarnya, sebagaimana dikatakan Van Damme (1999) bahwa “without having a broad set of facts on which to theorize, there is a certain danger of spending too much time on models that are mathematically elegant, yet have little connection to actual behavior. While the primary goal of behavioral game theory models is to make accurate predictions where equilibrium concepts do not, it can also circumvent two central problems in game theory: refinement and selections. Because we replace the stochastic better – response, all possible paths are part of the statistical equation” (Douglass, 2007). Oleh karena itu model yang digunakan dalam makalah ini adalah intrepretasi kualitatif dari game theory (lihat Rafał Graboś, 2005). Model pilihan rasional yang didesain untuk memprediksi satu kali kemungkinan pilihan (one-shot games) dalam sebuah simulasi permainan dan juga menyediakan kondisi awal dari model pembelajaran (Camerer, 2001). Jadi pendekatan ini digunakan untuk berusaha menggambarkan hubungan yang lebih baik antara konsep teoritik dan perilaku aktor di dunia nyata daripada kalkulasi matematika (Douglass, 2007). B. Aturan sebagai Bounded rationality Kebijakan yang dibuat pemerintah adalah sebuah aturan main (rule of game) yang harus dipatuhi oleh semua pemain, baik PT Lapindo Brantas maupun masyarakat korban lumpur. Kebijakan ini menjadi batasan pilihan rasionalitas dari aktor-aktor yang terlibat (bounded rationality) dalam permainan strateginya. Secara singkat berikut adalah kebijakan-kebijakan dan juga aturan turunan yang dibuat dalam penyelesaian konflik lumpur panas Sidoarjo. 1. Perubahan Kebijakan dari ganti rugi (conpensation) menjadi Jual beli (Transactioan) Secara resmi kebijakan pemerintah keluar 4 bulan setelah bencana terjadi, dengan lahirnya Keppres Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Keppres (Keputusan Presiden) ini selain mengatur penanganan teknis juga mengatur penanganan sosial dari dampak semburan lumpur. Dalam Keppres ini disebutkan bahwa PT Lapindo Brantas harus bertanggungjawab penuh untuk membiayai semua proses teknis dan juga penanganan sosial. Konteks wacana dalam kemunculan Keppres ini yaitu ketika masih kuat wacana bahwa bencana disebabkan kelalaian kegiatan industri sehingga isi kebijakan lebih menekankan pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas. Meskipun belum mengatur tentang ganti rugi, dalam Keppres ini sangat jelas menekankan pertanggungjawaban sosial-ekonomi PT Lapindo Brantas atas semua kerugian warga. Karena Keppres ini tidak mengatur secara jelas bagaimana proses ganti rugi akan dilakukan, maka warga korban lumpur mengajukan tuntutan untuk segera ditegaskan mekanismenya. Wacana yang berkembang saat itu adalah kemungkinan-kemungkinan ganti rugi, khususnya atas kepemilikan lahan dan bangunan serta kehidupan sosial warga korban lumpur. Namun lama kelamaan wacana mulai berkembang untuk mengarahkan kebijakan ganti rugi dengan 5 Ariel Rubinstein (1998): Modeling Bounded Rationality. Cambridge, Massachusetts: MIT Press
  • 6. 64 mekanisme jual beli. Dorongan ini dipicu dari dibelinya 12 bekas rumah warga yang dekat rel kereta api, yang sekarang menjadi tanggul penahan lumpur, seharga 2,5 juta/m2 untuk tanah dan bangunan oleh Bupati dan Ketua Satlak6 . Pembelian sebagai mekanisme respon cepat ini kemudian melahirkan kecemburuan warga korban lumpur lainnya, sehingga memunculkan tuntutan perlakuan yang sama. Akhirnya dorongan untuk menjadikan “jual-beli” sebagai mekanisme utama tak terbendung, sehingga kemudian lahirlah Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Dalam keppres tersebut pemerintah membuat ketentuan jual-beli dengan harga berdasarkan kesepakatan ketika demonstrasi di pendopo kabupaten. Tanah dinilai Rp1 juta/m2 , bangunan Rp1,5 juta/m2 , bangunan lantai dua Rp1,5 juta/m2 , dan sawah Rp120.000/m2 . Dalam kacamata awam penggunaan mekanisme “jual-beli” terlihat tidak berpengaruh apapun yang merugikan kepentingan warga korban lumpur panas, namun sebenarnya memiliki konsekuensi yang serius dan berdampak jangka panjang yang sangat merugikan korban lumpur. Dari kacamata konstruksi wacana, maka justru mekanisme “jual-beli” menempatkan PT Lapindo Brantas bukan sebagai pelaku dari terjadinya bencana semburan lumpur. Karena secara teoritik jual beli adalah sebuah mekanisme transaksi antara pembeli dan penjual yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Hal ini tentu sangat berbeda jika mekanisme yang dipakai adalah “ganti rugi” (compensation) dimana mekanisme itu adalah bentuk tanggungjawab dari dari aktivitas pelaku terhadap korban. Tentu alasan ini sangat masuk akal, secara hukum juga dengan jual beli tersebut PT Lapindo Brantas tidak bisa dipersalahkan, sehingga tidak dapat dibangkrutkan dan bisa mengklaim asuransi perusahaan. Ini tentu adalah jalan kompromi yang realistis bagi pemerintah untuk mengadopsi kepentingan masyarakat korban lumpur dan PT Lapindo Brantas sekaligus (Gustomy, 2012). Namun satu hal terpenting yang diabaikan dalam pilihan kebijakan pemerintah adalah pergeseran pola relasi antara masyarakat korban lumpur dengan PT Lapindo Brantas jika mekanisme jual-beli dipakai. Padahal ada perubahan mendasar antara mekanisme ganti rugi (compensation) dengan mekanisme jual beli (transaction). Ganti rugi (compensation) adalah sebuah pemberian yang dilakukan atas pertangungjawaban pelaku kepada korban atas hilangnya sesuatu. Dalam logika ini artinya semua yang hilang akan digantikan, bukan hanya kepemilikan benda individu namun juga kepemilikan komunal dari suatu masyarakat. Dalam konteks ini artinya mekanisme ganti rugi (compensation), menempatkan masyarakat korban lumpur sebagai entitas sosial dengan komunitasnya. Pemahaman yang berbeda jika mekanisme jual beli (transaction) yang dipakai sebagai bentuk pertangungjawaban atas sebuah kerugian. Dalam jual beli (transaction) logikanya adalah pertukaran antara dua orang atas dasar kesepakatan bersama, penjual dan pembeli, untuk mendapat keuntungan bagi kedua belah pihak. Ini artinya bahwa mekanisme jual beli (transaction) adalah sebuah bentuk hubungan antar individu dalam mempertukarkan kepemilikan atas dasar saling suka. Dalam konteks ini harus diakui bahwa pilihan pemerintah dengan memberikan mekanisme jual beli adalah sedang menempatkan masyarakat korban lumpur sebagai sekumpulan individu dengan private property right-nya, bukan sebagai sebuah komunitas sosial. 6 Mekanisme jual beli sebenarnya adalah cara yang dianggap efektif dan mulai populer di kalangan pemerintahan untuk menyelesaikan segala persoalan. Sehingga bisa dipahami jika respon pertama yang diambil Bupati dan Ketua Satlak adalah dengan membeli tanah dan bangunan warga tersebut.
  • 7. 65 Penyederhanaan kebijakan dengan mekanisme jual beli, disadari atau tidak oleh pemerintah, sebenarnya sedang menggiring terjadinya pasar monopsoni. Pasar monopsoni adalah salah satu bentuk pasar tidak sempurna, yaitu dimana hanya ada satu pembeli dengan banyak penjual. Secara teoritik bisa dipahami bahwa ketika pembeli hanya satu (PT Lapindo Brantas), sedangkan penjualnya sebanyak 12.000 (berkas korban lumpur) maka keuntungan berada di pihak pembeli. Penjual tidak ada pilihan dan terpaksa untuk hanya menjual pada satu pihak, sehingga antara satu penjual dengan penjual yang lain akan saling bersaing. Akibatnya pembeli dapat memegang kontrol penuh terhadap proses jual beli, karena pasar yang terbentuk tidak sempurna7 . Secara teoritik mekanisme ini akan berpotensi melahirkan eksploitasi monopsonis (monopsonist exploitation), dimana pembeli dapat memanfaatkan secara sewenang-wenang posisinya untuk menentukan mekanisme ataupun harga yang menguntungkan dirinya dari proses transaksi tersebut8 . Dalam konteks bencana, ancaman monopsonist exploitation adalah persoalan yang sangat serius, karena korban dalam kondisi yang vulnerable dimana kehidupan mereka berada pada titik krisis. Kondisi vulnerable ini akan menempatkan pilihan dan respon cepat dari sebuah tawaran akan menentukan hidup dan mati korban lumpur. Asumsi teoritik inilah nanti yang akan kita uji untuk memeriksa kembali bounded rationality dari asosiasi masyarakat korban lumpur untuk menentukan pilihan strategi gerakannya. 2. Kebijakan untuk korban diluar peta terdampak Keluarnya Perpres Nomor 14 Tahun 2007 memunculkan persoalan bagi warga yang tidak dimasukkan kedalam peta terdampak namun mereka terkena akibat langsung dari lumpur. Menurut warga Pemerintah Pusat tidak pernah melibatkan warga untuk menentukan wilayah mana yang menjadi bagian dari peta terdampak lumpur. Namun rupanya bukan hanya warga, pemerintah daerah yang sudah terlebih dahulu memverifikasi wilayah terdampak juga tidak dilibatkan oleh pemerintah pusat9 . Fakta ini menjadi indikasi jika pemerintah memiliki nalar sendiri dalam memutuskan kebijakannya, meskipun tidak melibatkan pemerintah daerah, apalagi warga korban lumpur. Akhirnya setelah melakukan demonstrasi yang masif, termasuk dengan menutup Jalan Raya Porong, pemerintah kemudian memasukkan beberapa wilayah baru kedalam peta terdampak. Namun jika diteliti, peta terdampak baru itu juga tidak sepenuhnya atas pertimbangan rawan bencana bagi masyarakat, namun alasan praktis pemerintah. Seperti dimasukkannya Desa Besuki Timur dapat dicurigai karena daerah itu memang direncanakan untuk jalur pembuangan air lumpur ke Sungai Porong. Kalkulasi biaya dan dampaknya juga tidak terlalu mahal, hanya membutuhkan Rp800 miliar.10 Jika benar, dapat dicurigai bahwa kebijakan dalam Perpres ini sama sekali tidak didasarkan pada pertimbangan akibat yang ditimbulkan oleh lumpur atau tekanan masyarakat, tetapi oleh logika kepentingan pemerintah sendiri. Apalagi setelah diabndingkan bahwa kondisi desa-desa lain masih jauh lebih parah. Namun yang menjadi catatan dari Perpres peta terdampak baru ini (Perpres Nomor 48 Tahun 2008 dan Perpres Nomor 40 Tahun 2009) semua pembiayaan ditanggung oleh APBN, bukan oleh PT Lapindo Brantas. Ini menunjukkan bahwa PT Lapindo ditempatkan bukan sebagai posisi 7 Lihat D.N. Dwivedi, 2006. Microeconomics Theory & Aplications, Pearson Education, India, hal 452 8 Ibid 9 Wawancara Ketua Gempur 4 D 10 Wawancara dengan Paring Waluyo Utomo 1, warga korban lumpur, Sabtu, 2 April 2011 di Posko Advokasi untuk Korban Lapindo, Porong, Sidoarjo.
  • 8. 66 yang harus bertangungjawab, namun negara yang bertangungjawab sebagaimana bencana alam lainnya. Perubahan kebijakan ini seiring dengan konstruksi wacana yang dibangun oleh pemilik PT Lapindo Lapindo Brantas dan jaringan politiknya, bahwa semburan lumpur panas adalah bencana alam bukan karena bencana industri11 . Disatu sisi, pemerintah tidak memberikan aturan yang ketat dari proses jual beli tersebut, meskipun dalam konteks yang monopsonist. Nalar kebijakan yang dibawa negara sebagaimana memahami nalar privat pada umumnya, bahwa proses ini adalah jual-beli biasa yang tidak membutuhkan campurtangan negara. Hal ini terlihat sangat jelas, karena sejak Perpres 14 tahun 2007 sampai Perpres terakhir 40 tahun 2009, tidak ada mekanisme pengawasan dan evaluasi dalam proses itu yang jelas diatur oleh pemerintah. Dalam mekanisme yang dibuat, pemerintah hanya perlu menyerahkan berkas dari BPLS ke PT Minarak Lapindo Jaya (sebagai wakil PT Lapindo Brantas), kemudian pihak PT Minarak Lapindo Jaya yang membuat aturan jual beli sebagaimana mekanisme perusahaan. Harapannya proses ini akan berjalan dengan baik-baik saja. Pada kenyataannya, PT Minarak Lapindo Jaya kemudian membuat mekanisme-mekanisme diluar ketentuan cash and carry sebagaimana diatur dalam Perpres No 14 tahun 2007. Dalam perpres tersebut jual beli akan dilakukan dengan mekanisme langsung di bayar cash dan bisa langsung dibawa pulang (carry). Proses itu seharusnya selesai sebelum habis masa dua tahun kontrak rumah, sekitar Juni 2008. Namun, dengan berbagai alasan PT Minarak Lapindo Jaya kemudian memberikan beberapa mekanisme pembayaran, diantaranya: 1. Perubahan dari tunai (cash and carry) menjadi tukar-guling (resettlement) Pihak PT Lapindo Brantas menolak untuk melakukan akad jual beli tanah dan bangunan dengan korban lumpur karena sebagian besar bangunan tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan tanah mereka tidak memiliki sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB), sebagian hanya Letter C dan Petok D. Pihak PT lapindo Brantas beralasan bahwa jual beli tersebut bertentangan dengan -Undang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dimana tanah dan bangunan yang tidak bersertifikat resmi tidak dapat di Akta Jual Belikan (AJB/notaris) 12 . Awalnya pihak PT Lapindo Brantas menolak sama sekali jual beli dengan tanah yang tidak bisa di AJB-kan, namun dengan difasilitasi tokoh budayawan melakukan “sumpah kepemilikan” maka perusahaan mau melakukan jual beli namun dengan mekanisme lain. Maka pihak PT Lapindo Brantas kemudian menawarkan mekanisme barter tukar guling (resettlement) yaitu menggantikan tanah dengan tanah dan bangunan dengan bangunan di di perumahan Kahuripan Nirvana Village (KNV), sebuah tempat yang pengembangnya adalah kelompok usaha Bakrie Groups yang juga pemilik PT Lapindo Brantas. Menurut PT Lapindo Brantas ini adalah cara terbaik agar terhindar dari jeratan hukum dan cara tercepat bagi warga untuk mendapat pelunasan 80% sisa aset. 11 Lihat Gustomy, Rachmad (2012). Menjinakkan Negara, Menundukkan Masyarakat: Menelusuri Jejak Strategi Kuasa PT Lapindo Brantas Inc. dalam Kasus Lumpur Panas di Sidoarjo, dalam Bencana Industri: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (eds. Heru Prasetia), Desantara, Jakarta 12 Ketentuan ini justru terlihat ambigu, karena sebenarnya UUPA Nomor 50 Tahun 1960 juga mengatur pelarangan perusahaan untuk membeli tanah, tetapi pemerintah membolehkannya dengan alasan force majeur (kondisi khusus). Sebagaimana penolakan Mahkamah Agung terhadap uji materi Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Hal ini semakin menunjukkan posisi negara yang tidak konsisten dalam memperlakukan hukum pada subyek hukum yang berbeda.
  • 9. 67 Bagi warga yang asetnya tidak bisa di AJB-kan, pilihan ini adalah mutlak dan tidak ada pilihan lain. Sedangkan bagi yang asetnya bisa di AJB-kan, masih adalah pilihan untuk menerima mekanisme cash and resetlement. Mekanisme ini agak sedikit lebih rumit, dimana PT Lapindo Brantas membeli aset warga yang tenggelam, sedangkan disatu sisi warga membeli perumahan di KNV dari PT Lapindo Brantas. Maksudnya adalah PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan warga sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah, sedangkan warga membeli rumah dan bangunan sebagaimana harga pasar yang sudah ditentukan oleh pengembang. Jika ada kelebihan nominal uang dari warga korban lumpur dari nilai asetnya, misalnya nominal harga aset lebih besar dari nominal harga perumahan, maka mereka akan mendapat kembalian uang (susuk13 ). Namun jika nominal harga aset lebih kecil daripada harga nominal perumahan, maka warga korban lumpur sebagai pembeli harus mengganti kekurangannya (tombok14 ). 2. Perubahan dari tunai (cash and carry) menjadi cicilan Perubahan mekanisme bukan hanya kepada aset korban lumpur yang tidak bersertifikat saja, namun juga kepada aset yang memiliki sertifikat lengkap. Pada awal Kepres No 14. Taun 2007 muncul, pihak PT Lapindo Brantas dalam pengumumannya di media, jelas menegaskan bahwa, “Semua berkas (SHM/SHGB) yang bisa di-AJB-kan oleh Notaris/PRAT, maka penyelesaian 80% akan dibayar secara cash & carry sesuai jadwal yang tercantum dalam Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) 20%.”15 Sebenarnya skema cash and carry seperti inilah yang satu-satunya skema yang sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yaitu pembayaran 20% + 80% secara tunai sesuai jadwal. Namun, terjadi perubahan-perubahan mekanisme pembayaran cash and carry, yang tidak dilakukan secara tunai, tetapi cicilan. Pada awal 2010, pembayaran ditawar dengan pencicilan Rp30 juta per bulan/berkas, yang akhirnya hanya bisa dibayar dengan cicilan Rp15 juta per bulan/berkas. Secara umum berikut adalah skema penjelasan yang di berikan PT Lapindo Brantas terkait dengan mekanisme jual beli yang dilakukan (perhatikan tabel 1) berikut: Tabel 1 : Skema Penyelesaian 80% Sisa Pembayaran 13 Istilah jawa dari uang kembalian. 14 Istilah Jawa dari menggenapi kekurangan uang yang seharusnya 15 Lihat Iklan Lapindo, Percepatan Pembayaran 80 Persen, Majalah Tempo, 18 Mei 2008
  • 10. 68 Sumber : Gustomy, 2012 C. Peta Kepentingan Asosiasi Korban Pada awal bencana, terbentuk kelompok-kelompok masyarakat masih berkarakter reaksioner merespons semburan lumpur. Saat masa krisis awal, antar warga bahkan terjadi konflik karena masing-masing kelompok (RT) tidak mau terkena lumpur sehingga menimbulkan kesulitan dalam penanggulan. Setelah kelompok-kelompok masyarakat yang berkarakter mob lenyap, mulai muncul asosiasi-asosiasi masyarakat yang lebih terorganisasi dan memiliki agenda-agenda yang lebih rapi. Awal kemunculan asosiasi masyarkat korban lumpur masih dalam bentuknya yang tunggal solid dan besar, sehingga menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi pemerintah maupun PT Lapindo Brrantas. Namun seiring dengan waktu asosiasi korban ini kemudian terpecah-pecah, bahkan kemudian lenyap pada pertengahan 2010, sehingga tidak ada lagi demonstrasi warga korban lumpur yang dianggap berarti16 . Berikut adalah beberapa kelompok asosiasi masyarakat yang terbentuk pasca semburan lumpur panas. 1. Forum Silaturahmi Rakyat Korban Luapan Lumpur Porong (FSRKLLP). FSRKLLP adalah asosiasi korban lumpur yang pertama yang menyatukan warga di empat desa yang tenggelam yaitu Desa Siring, Desa Renokenongo, Desa Jatirejo, dan Desa Kedungbendo, untuk bersatu membangun asosiasi agar tuntutan mereka lebih diperhatikan.17 16 Wawancara dengan Paring Waluyo Utomo, pendamping korban lumpur, Senin, 27 Desember 2011 di posko, Porong, Sidoarjo. 17 Wawancara dengan Khirul Huda, mantan koordinator GKLL, Jumat, 3 September 2011 di kantornya, Sidoarjo. Berkas Warga BISA di- AJB/Notaris Berkas Warga TIDAK BISA di- AJB/Notaris Mekanisme Pelunasan 80 % Berkas: - Letter C - Petok D - SK Gogol RESETTLEMENT CASH & CARRY Skema 2: Memesan rumah di Kahuripan Nirwana Village + susuk jika ada selisih pembayaran 80%. Berkas: - SHM - SHGB Skema 1: Tunai uang muka 20%, dengan dicicil Rp15 juta per bulan. Skema 3: Tanah kembali 100%. Luas bangunan sesuai standar yang tersedia. Bila ada sisa luas banguan asal diganti uang. (Cash & Cicilan) (Resettlement & Susuk) Setelah dua belas bulan dijanjikan bisa dijual kembali ke WAR dengan harga yang sama. (Cash & Resettlement)
  • 11. 69 Asosiasi ini terbentuk setelah 3 bulan dari bencana, ketika kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan PT Lapindo Brantas dianggap belum memberikan solusi terhadap jaminan kelangsungan kehidupan warga korban lumpur. Karakter dari asosiasi ini dibangun atas intimitas yang sangat kuat dan solid dengan kepentingan yang seragam, yaitu proses ganti rugi dan konpensasi secepatnya. Pada masa fase awal inilah asosiasi ini menjadi satu-satunya wadah bagi korban lumpur untuk menyatukan kekuatan dan menjadi alat untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan korban lumpur. FSRKLLP ini juga yang kemudian menjadi asosiasi representasi warga korban lumpur yang kemudian duduk bersama dengan Pemerintah dan pihak PT Lapindo Brantas untuk merumuskan mekanisme ganti rugi yang paling tepat. Dalam perjalanannya inilah kemudian FSRKLLP yang ikut mendorong lahirnya Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yang berisi tentang ganti rugi PT Lapindo Brantas kepada korban lumpur. Dengan lahirnya Perpres tersebut maka muncul tuntutan untuk membuat asosiasi korban lumpur yang lebih terlembaga dan terstruktur, sehingga FSRKLLP saat itu bertransformasi menjadi GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo). GKLL ditujukan agar perjuangan untuk menuntut hak warga korban lumpur lebih terlembaga dan terkoordinasi dengan baik. 2. GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo) Sebagai sebuah asosiasi GKLL adalah kelompok yang sangat besar, yang memegang mandat 12.000 berkas18 , artinya hampir 95% jumlah warga korban. Ini artinya GKLL pada awalnya menjadi representasi terpenting dari warga korban lumpur, mengingat mayoritas korban lumpur berada disana. Sebagai representasi simbolik warga korban lumpur, tokoh-tokoh GKLL yang banyak dilibatkan dalam perumusan kebijakan penanganan korban lumpur untuk mewakili korban. Dari GKLL ini juga kemudian lahir perpecahan-perpecahan didalamnya sehingga kemudian melahirkan asosiasi-asosiasi tandingan semacam dari korban lumpur. Perpecahan itu yang membuat GKLL tidak dipercaya sebagaian warga, sehingga jumlah akhir warga yang bergabung di GKLL tersisa 3.000 berkas. Motif awal GKLL adalah agar warga mendapat kejelasan dan segera turun ganti rugi tanah dan bangunan mereka yang terkena lumpur. Namun, motif itu berubah ketika ada tawaran- tawaran baru dari PT Lapindo Brantas untuk mempercepat proses ganti rugi, meskipun skema itu merugikan sebagian warga korban lain. Motivasinya cukup jelas dan pragmatis, yaitu memperoleh hak mereka secepatnya meskipun ada kelompok lain yang merasa dirugikan. Mereka menginginkan hasil jual-beli secepatnya, apapun skenarionya, sehingga kelompok GKLL ini dikenal sebagai kelompok yang paling pragmatis dan tokoh-tokohnya dianggap memiliki kedekatan dengan elit PT Lapindo Brantas. Kelompok ini di fasilitasi oleh Emha Ainun Nadjib dalam melakukan advokasinya untuk terhubung dengan Pemerintah dan PT Lapindo Brantas. 3. Paguyuban Warga Jatirejo (PW Jatirejo) Kemunculan PW Jatirejo diawali dengan ketidaksetujuan sebagian warga Jatirejo terhadap mekanisme bantuan sosial dan ganti rugi dari pihak PT Lapindo Brantas, yang dianggap oleh mereka akan merugikan warga pada jangka panjang. Kelompok ini juga yang menolak 18 Dalam kalkulasi sederhana minimal juga ada 12.000 Kepala Keluarga, dimana masing-masing berkas merepresentasikan Kepala Keluarga. Meskipun pada kenyataannya satu berkas, khususnya dalam kompleks kavling perumahan, biasanya 1 berkas bisa terdiri dari banyak KK karena biasanya berkas sertifikat belum dipecah.
  • 12. 70 mekanisme jual beli yang diusung oleh Perpres Nomor 14 Tahun 2007, karena bagi mereka jual beli akan memecah warga dan tidak menghormati atau mengakui hak-hak sosial warga. Pada awalnya yang bergabung dengan kelompok PW Jatirejo ini sebanyak 250 berkas, namun pada akhirnya yang bertahan hanya 59 berkas (KK) sebelum mereka menyerah dan mengkuti skema yang ada. Tuntutan mereka adalah adanya relokasi dan ganti rugi bangunan, namun tetap memiliki hak atas tanah sebelumnya. Tentu argumentasi dari kelompok PW Jatirejo ini sangat menarik, karena jika ditarik lebih jauh telah lahir sebuah kesadaran bahwa mekanisme “jual-beli” akan mendorong warga menjadi individu, daripada mekanisme “ganti-rugi” yang justru akan menguatkan posisi tawar warga. Setelah di lacak lebih jauh, selain 59 KK tersebut, 2 pesantren dengan ratusan santri yang menolak tersebut memiliki alasan tersendiri. Gus Maksum, salah satu tokoh masyarakat Jatirejo menjelaskan, bahwa pilihan itu adalah amanat dari Gus Dur (Mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga mantan Ketua PBNU) yang menganggap bahwa “jual-beli” akan menghancurkan gerakan warga untuk menuntut haknya. Namun dalam sosialisasinya kepada warga, Gus Maksum menjelaskan bahwa tanah yang dijual di daerah Porong tersebut mengandung harta karun yang suatu hari nanti berharga mahal19 . Pesan Gus Dur ini menjadi alat yang efektif untuk menyatukan warga mengingat nalar kosmologis Islam tradisionalis dari keompok ini. 4. Pagarekontrak (Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak) Kelompok ini adalah para pengungsi baru dari Desa renokenongo akibat dari ledakan pipa gas Pertamina pada November 2006, yang akhirnya membuat mereka untuk mengungsi di Pasar Baru Porong. Ketika warga Renokenongo di pengungsian ini ditawari oleh PT Lapindo Brantas untuk menerima uang kontrak rumah mereka menolak, mengingat saudara-saudara mereka yang menerima kontrak sebelumnya menjadi tercerai berai dan tidak terkonsolidasi untuk menuntut haknya. Dalam kacamata PT Lapindo Brantas para pengungsi yang terpusat di pasar baru ini akan berbahaya, karena kelompok ini dikenal sangat militan dan terkonsolidasi dalam melakukan demontrasi. Perah pada 2011 kelompok ini menutup jalan Raya Porong yang mematikan arus transportasi Surabaya-Malang, sehingga memaksa pemerintah untuk duduk bersama mendengar tuntutan mereka. Ditengah tekanan dan segala cara agar menerima kontrak, mereka kemudian membentuk Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarekontrak) yang menjadi asosiasi mereka dalam melakukan perlawanan terhadap upaya pemerintah maupun PT Lapindo Brantas untuk mengusir dari pengungsian20 . Kelompok ini sengaja bertahan di pengungsian dan bersepakat untuk menolak kontrak sambil menunggu proses ganti rugi melalui mekanisme cash and carry yang tertuang dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Motivasi mereka relatif sama dengan Geppres, yaitu segera dibayar cash and carry dan tidak mau terpisah serta tetap bersatu dengan korban lain. Namun pada akhirnya hanya mampu bertahan 2 tahun, setelah itu menyerah dan menerima cicilan, dan kemudian merubah namanya menjadi Pagare Korlap (Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo). Saat masih bernama pagarekontrak kelompok ini mendapat advokasi dari NGO urban poor likage (UP-Link) pimpinan Wardah Hafidz. 5. Geppres (Gerakan Korban Lapindo Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007) 19 Wawancara dengan Gus Maksum, 2011 20 Ada banyak cara yang dipakai seperti mematikan saluran air, listrik dan juga pasokan makan ke pengungsian di pasar baru.
  • 13. 71 Perpecahan terbesar GKLL terjadi lagi pada 2009 ketika secara sepihak PT Lapindo Brantas dengan pengurus GKLL membuat skema-skema lain dari proses jual–beli, tanpa ada diskusi dengan warga, seperti skema cash and resetlement dan semacamnya. Maka, sebagian warga yang tetap menginginkan skema cash and carry sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 keluar dan membentuk Geppres. Jumlah berkas warga yang bergabung dengan Geppres ini sekitar 1.800 berkas, yang sebagian besar adalah warga asli yang hanya memiliki bukti kepemilikan tanah berupa letter C, Petok D atau SK Gogol yang bukan SHM, mereka menolak dipaksa mengikuti skema diluar Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Asosiasi ini dibentuk untuk mempertahankan skema cash and carry sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Alasan warga yang menolak juga cukup logis, misalnya penolakan terhadap cash and resetlement ke lokasi perumahan lebih karena alasan sosial, yaitu warga tidak terbiasa tinggal di perumahan. Alasan yang sama bagi warga yang pekerjaannya jauh dari perumahan atau pekerjaan yang tidak memungkinkan dilakukan di lingkungan perumahan, seperti bertani dan beternak. Sehingga bagi mereka skema terbaik adalah kembali dengan mekanisme cash and carry, sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007, bukan bentuk lainnya. 6. Paguyuban Warga (PW) Perum TAS 1 dan Tim 16 Kemunculan PW Perum TAS dilatarbelakangi penolakan pihak PT Lapindo Brantas terhadap bukti hak kepemilikan tanah berupa Letter C dan Petok D dari warga korban lumpur. Jika tidak ada bukti sertifikat tanah, pihak PT Lapindo Brantas tidak mau membeli tanah warga. Persoalan hak kepemilikan tanah ini kebanyakan hanya dialami oleh warga asli Porong, sedangkan warga perumahan (Perum TAS) yang pendatang dan tinggal diperumahan sudah memiliki sertifikat. Maka kelompok ini berasumsi bahwa kepentingan mereka sudah berbeda dengan GKLL yang mendorong menerima skema cash and resetlement. Bagi mereka perjuangan akan lebih efektif dan fokus jika membentuk asosiasi sendiri, sehingga pada Januari 2010 kelompok ini keluar dari GKLL dan membentuk asosiasi baru, yaitu PW Perum TAS dengan harapan pembayaran tanah mereka tidak lagi dipersulit oleh pihak PT Lapindo Brantas. Para warga korban lumpur di Perum TAS sebagian besar para pendatang yang tidak memiliki ikatan sosiologis terlalu dalam dengan wilayahnya sehingga tidak menghadapi problema yang sama dengan penduduk asli. Dalam konteks persoalan kepemilikan tanah dan bangunan juga sangat berbeda. Warga perumahan memiliki sertifikat dan IMB sehingga prosedur hukum yang dijadikan dalih PT Lapindo Brantas untuk memperlambat pembayaran tidak berlaku untuk mereka. Jadi, motivasi mereka jelas. Hambatan hukum tidak berlaku sehingga mereka meminta dibayar secepatnya, meskipun dengan mekanisme cicilan. Namun, pada perkembangannya, PW Perum TAS juga mengalami perpecahan, setelah pihak PT Lapindo Brantas membuat, atau lebih tepat memaksa, skema-skema baru pelunasan 80%. Ada sebagian warga Perumtas yang menerima dan menolak. Maka, muncul Tim 16, yang merupakan gabungan dari 16 RT di Perum TAS, yang lebih akomodatif dengan skema-skema yang ditawarkan pihak PT Lapindo Brantas. 7. Asosiasi warga di luar peta terdampak Selain desa yang terdampak langsung di dalam peta Perpres Nomor 14 Tahun 2007, sebenarnya masih ada sebelas desa lain yang terdampak tidak langsung, yaitu Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, Gedang, Pamotan, Mindi, Pejarakan, Besuki, Kedung Cangkring, Glagah Harum, Gempolsari, dan Ketapang. Dampak yang mereka rasakan berwujud perubahan lingkungan yang menjadi sangat tidak layak mereka tinggali, seperti munculnya semburan lumpur, air dan gas,
  • 14. 72 penurunan tanah, kerusakan bangunan, dan semacamnya. Bahkan, dalam riset Institut Teknologi 10 November Surabaya, terdapat sekitar 77 semburan bubble, bercampur antara tanah dan air, tetapi jika kena api mudah sekali terbakar atau bahkan meledak.21 Akibatnya, di desa-desa itu mulai muncul peningkatan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), penyakit kulit, dan semacamnya. Dari sinilah muncul asosiasi-asosiasi baru korban terdampak di luar peta, salah satunya Gempur 4D, setelah dua tahun kemudian Presiden SBY menetapkan sebagian dari tiga desa itu masuk peta, yang dituangkan dalam Perpres Nomor 48 Tahun 2008. Selain itu, masih ada kelompok lain seperti Gerakan 3 Desa, Paguyuban Warga 9 Desa, Koalisi 9 RT dan Aliansi 45 RT yang menuntut untuk dimasukkan ke dalam peta sampai saat ini. Kepentingan mereka jelas, mereka juga termasuk korban. Meskipun rumah tidak tenggelam, tetapi tidak layak huni, sehingga menginginkan diperlakukan sama dengan korban lumpur lain. Posisi kelompok ini pada akhirnya yang paling aman karena proses jual beli mereka dengan pemerintah yang dananya ditanggung APBN. Secara sederhana asosiasi-asosiasi warga korban lumpur dapat dipetakan kedalam bagan berikut: Tabel 2: Asosiasi Korban Lumpur Panas Sidoarjo No Nama Asosiasi Terbentuk Jumlah Tujuan 1 FSRKLLP 3 bulan setelah 12.000 berkas Menuntut penegasan mekanisme ganti rugi dari pemerintah 2 GKLL April 2007 Dari 12.000 berkas tersisa 3.000 berkas Jual beli secepatnya mengikuti skenario yang ditawarkan pihak PT Lapindo Brantas 3 PW Jatirejo (Pecahan GKLL) April 2007 59 berkas dan 2 pesantren Ganti rugi lokasi dan biaya pembangunan, tanah tetap menjadi hak mereka 4 Geppres (Pecahan GKLL) 2009 1.800 berkas Menolak mekanisme diluar cash and carry sebagaimana amanat Perpres No. 14 tahun 2007 meski tidak memiliki sertifikat 5 Pagare Kontrak Juni 2007 450 KK Menolak Kontrak dan tetap di pengungsian untuk menjaga konsolidasi 6 PW Perumtas (Pecahan GKLL) Januari 2010 Warga kompleks Perumtas 1 Menolak resetlement, meminta kembali ke cash and carry 7 Tim 16 (pecahan PW Perumtas) 2010 16 RT di perumtas Menerima skema cash and cicilan 8 Pagare Korlap (perubahan pagarekontrak) 2010 450 KK Menerima pelunasan cash and cicilan 80% secepatnya 9 Gerakan 3 Desa, Paguyuban Warga 9 Desa Juli 2008 Desa sekitar kolam lumpur Dimasukkan kedalam Peta Terdampak yang dibiayai pemerintah 10 Gempur 4D, Koalisi 9 RT, dan Aliansi 45 RT 2011 RT yang belum masuk peta Dimasukkan kedalam Peta Terdampak yang dibiayai pemerintah 21 SK Gubernur Jatim Nomor 360/1417/KPTS/031/06.
  • 15. 73 terdampak D. Strategi Permainan Korban Lumpur Sebelum munculnya Keppres No.14 tahun 2007, masyarakat korban lumpur masih sangat solid dan bersatu dalam FSRKLLP, dengan agenda utama yaitu mendapatkan kejelasan proses ganti rugi yang akan mereka terima. Namun setelah munculnya Keppres tersebut mulai muncul benih-benih perpecahan di masyarakat korban yang berpengaruh pada asosiasi yang mereka bentuk. Masing-masing aktor dengan kepentingannya memainkan strategi-strategi untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Berikut adalah simulasi permainan dari masing-masing aktor dengan menggunakan model kualitatif dalam game theory. 1. Game strategy dalam perubahan mekanisme jual beli Perpecahan pertama dalam asosiasi warga korban lumpur mulai muncul pada awal kelahiran Perpres No.14 tahun 2007, yang mengusung mekanisme jual beli sebagai cara penyelesaian masalah. GKLL yang merupakan metamorfosis dari FSRKLLP menerima mekanisme jual beli sebagai pengganti mekanisme ganti rugi. Namun sebagian warga, khususnya yang terletak di desa Jatirejo menginginkan mekanisme yang lain, yaitu tanah dan bangunan yang tenggelam tidak dijual namun diberikan ganti rugi berupa pemindahan lokasi atau penggantian finansial yang sifatnya kolektif. Akhirnya kelompok ini memisahkan diri dari GKLL dan membentuk PW Jatirejo, awal yang bergabung ada 250 berkas sampai kemudian bertahan tinggal 59 berkas sebelum akhirnya menyerah. Mereka berusaha melakukan advokasi sendiri melalui jaringan yang dimilikinya, khususnya jaringan Nahdlotul Ulama (NU), dengan harapan akan mendapatkan hak-hak sosialnya juga. Tuntutan hak mereka ini dipengaruhi oleh peran ulama lokal yang menjadi tokoh masyarakat dan menjadi referensi pilihan rasionalnya. Dua pesantren di desa tersebut menjadi sentral referensi pengetahuan dan keputusan warga masyarakat, sebagaimana fungsi sosial yang sudah berjalan selama ini. Gus Maksum, salah satu tokoh lokal tersebut, menjelaskan bahwa pilihan itu juga atas dasar diskusi yang panjang dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga seorang tokoh NU. Alasan rasionalnya adalah, proses “jual-beli” itu akan merugikan warga karena menempatkan warga dalam posisinya sebagai individu, sehingga dari awal sudah muncul kesadaran bahwa kebijakan ini akan melahirkan pasar monopsoni dan kemungkinan melahirkan monopsonist explioitation. Namun dalam sosialisasinya ke warga, Gus Maksum meyakinkan bahwa sebagaimana amanat Gus Dur bahwa sebenarnya tanah di Jatirejo mengandung harta karun. Selain itu juga selalu diingatkan jika jual beli dilakukan, maka aset sosial seperti “pemakaman desa” juga akan dimiliki PT Lapindo Brantas, yang akan membuat warga kesulitan mengirim doa kepada leluhur22 . Dalam game theory rasionalitas ini dengan mudah dijelaskan, dimana jika mekanisme “ganti rugi” yang di pakai, maka akan mendorong permainan kedalam model stug hunt yang mengarahkan pada bentuk konsolidasi warga sebagai nash equilibrium-nya. Sebagai contoh, kepemilikan warga yang tenggelam terdiri dari 2 kriteria, kepemilikan personal (private property) dan kepemilikan publik (public property). Kepemilikan private diantaranya adalah : 1) tanah, dan 2) rumah, sedangkan kepemilikan publik dapat dicontohkan, 3) mushala dan 4) balai 22 Wawancara Gus maksum, Opcit
  • 16. 74 desa. Keempat sumberdaya ini dapat dijadikan ukuran untuk melihat kemungkinan game theory, yang mengarahkannya pada model stug hunt game (lihat tabel berikut). Tabel 3 : Model Stug Hunt Game mekanisme conpensation Game Tuntutan bersama Tuntutan Individu Tuntutan bersama 4,4 (Semua tuntutan kelompok A dan B diadopsi) 0,2 (Tuntutan Individu tertentu saja yang diadopsi) Tuntutan Individu 2,0 (Tuntutan Individu tertentu saja yang diadopsi) 2,2 (Individu hanya mendapatkan tuntutannya sendiri) Model diatas mengandaikan jika mekanisme ganti rugi dan bukan jual-beli yang dipakai, maka dalam kalkulasi rational choice akan mengarahkan warga untuk tetap bertahan sebagai komunitas. Dalam model diatas digambarkan jika masyarakat bergerak atas nama individu, maka dia hanya akan mendapat hak individunya masing-masing (nilai 2,2 dari masing-masing private property). Begitu juga jika ada sebagian yang meminta ganti rugi sebagai individu, sedangkan yang lain sebagai kelompok, maka kemungkinan besar mereka akan mendapat negosisasi terkecil dari yang sudah ada sebagai dasar kesepakatan (nilai 2,0 dan 0,2). Hal ini akan berbeda jika mereka secara serentak membangun kekuatan, maka kemungkinan terbesar adalah semua hak personal dan hak sosial akan dipenuhin (nilai 4,4). Pada titik inilah nash equilibrium terjadi, sehingga kecenderungan kebijakan ganti rugi akan membuat warga masyarakat terikat dengan komunitasnya, termasuk dalam mengajukan tuntutan akan hak pribadi dan sosialnya. Refleksi strategi kelompok PW Jatirejo mungkin sangat mendalam dan akurat, namun disatu sisi warga korban lumpur sedang berada dalam kondisi krisis yang sangat vulnerable. Strategi menuntut ganti rugi, dengan mengkondisikan asosiasi warga yang terkonsolidasi membutuhkan energi yang sangat besar, padahal disatu sisi ada tuntutan ekonomi dan kebutuhan bertahan hidup ditengah krisis. Akibatnya tidak banyak warga yang mengikuti pilihan strategi kelompok PW Jatirejo, bagi korban yang lain kebutuhannya adalah segera dilunasi agar mereka bisa bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan normal. Meskipun disatu sisi, jika mereka dapat bersatu mereka akan mendapatkan untung yang lebih besar. PT Lapindo Brantas dalam konteks ini kemudian sangat diuntungkan dengan mekanisme jual beli yang diusung oleh pemerintah. Mekanisme ini akan mengarahkan perilaku masyarakat bukan dalam entitasnya sebagai komunitas namun sebagai individu. Dalam konteks mekanisme “jual-beli” maka warga ditempatkan dalam kondisi Prisonner Dilemm, dimana mengarahkan mereka untuk menerima aturan dan mekanisme dalam proses jual beli. Untuk lebih jelas perhatikan model prisonner dilemma dalam tabel berikut (lihat tabel 4). Tabel 4 : Model Prisoner Dilemma mekanisme transaction Game B - Menerima B - Menolak
  • 17. 75 A-Menerima A & B antri melakukan proses jual beli A : Transaksi A didahulukan B: Transaksi B ditunda A - Menolak A: Transaksi A ditunda B : Transaksi B didahulukan Semua transaksi ditunda, meski kemungkinan mendapat konpensasi lebih besar Dalam model ini, jika satu kelompok menerima dan kelompok lain menolak, maka PT Lapindo akan mengutamakan kelompok yang menerima dulu. Sedangkan jika masing-masing kelompok menolak, jelas PT Lapindo Brantas akan menunda semua proses menjadi lebih lama, meskipun ada kemungkinan, dengan tekanan yang masif kepada pemerintah dan perusahaan, mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar. Namun disisi yang lain, jika mereka semua menerima maka PT Lapindo Brantas akan melakukan proses itu segera dalam jadwal yang sudah ditentukan. Dalam konteks krisis dapat dibayangkan, bahwa setiap keterlambatan bantuan atau ganti rugi kepada korban akan membawa pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan mereka. Bisa dibayangkan, 12.000 penjual saling bersaing untuk segera dibayar oleh hanya 1 pembeli. Maka pilihan paling rasional yang dapat dilakukan adalah semua akan berpikir untuk menerima, karena jika tertunda maka kesengsaraan kehidupan mereka ditengah krisis akan mereka hadapi. Pilihan untuk menerima inilah yang menjadi nash equilibrium dari masyarakat korban lumpur ketika dihadapkan dengan proses “jual-beli”. 2. Game Strategy dalam Mekanisme Resetlement dan cicilan Dari penjelasan diatas terlihat jelas bagaimana bekerjanya pasar monopsoni membentuk pilihan rasional dari korban lumpur untuk menerima atau menolak sebuah kebijakan. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme ini menjerumuskan pembeli kedalam perilaku monopsonist exploitation. Posisi inilah yang kemudian membuat PT Lapindo Brantas mengeluarkan bebera skema pembayaran, yang tentu saja untuk mengurangi kerugian dan memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya. Apalagi secara legalitas kebijakan pemerintah tidak disertai dengan ketentuan pengawasan dan evaluasi terhadap proses jual beli yang dilakukan. Dari sinilah kemudian PT Lapindo Brantas menawarkan skema baru diluar cash and carry yang diamanatkan Perpres No.14 tahun 2007, yaitu: 1) skema tukar guling (resettlement), 2) skema resettlement + susuk, dan 3) skema mekanisme cicilan. Dengan peluang melakukan monopsonist exploitation, PT Lapindo Brantas dapat memainkan ultimatum game, dimana aturan mainnya adalah perusahaan diwajibkan untuk melakukan jual beli oleh pemerintah, namun disatu sisi dia memiliki ruang untuk menegosiasikan dengan warga. Posisi PT Lapindo Brantas adalah posisi sentral, dimana permainan tidak akan terjadi jika mereka absen. Dalam konteks yang lebih real, tawaran tukar guling (resettlement) bagi warga yang tidak memiliki sertifikat SHM dan IMB, oleh PT Lapindo Brantas dimanfaatkan untuk melakukan strategi ultimatum game yang akan lebih menguntungkannya. Misalkan skema resettlement, PT Lapindo Brantas dapat menghemat lebih
  • 18. 76 banyak, karena tanah KNV dibeli dengan harga hanya Rp. 250.000/m223 , sedangkan jika mengganti dalam bentuk cash & carry harus dihargai Rp. 1.000.000/m2. Pola ini dapat dilihat dalam gambar berikut (lihat gambar 1): Gambar 1 : Model Ultimatum Game Resettlement Maka dengan memainkan ultimatum game, pilihan unfair PT Lapindo Brantas lebih rasional karena akan lebih untung. Sedangkan bagi warga korban lumpur, jika mereka memaksakan diri untuk meminta mekanisme cash & carry, maka ancaman bahwa berkas yang tidak di AJB kan tidak bisa diproses dalam jual beli. Pada konteks ini posisi PT Lapindo Brantas sebagai pembeli lebih kuat, sehingga bisa dipastikan bahwa kecenderungan untuk memaksakan mekanisme resetlement adalah pilihan paling masuk akal. Strategi ini akan melahirkan Paretto equilibrium, yang mana setiap strategi akan berpengaruh terhadap besarnya keuntungan masing- masing aktor. Respon dari skema ini beragam tergantung dari latar belakang masing-masing asosiasi. Bagi sebagian anggota GKLL, pilihan ini juga tidak ada salahnya, karena PT Lapindo Brantas menjanjikan 3 Keuntungan jika mengikuti mekanisme tukar guling yang ditawarkan oleh perusahaan, yaitu: 1) Uang muka 20% dianggap sebagai sodakoh, sehingga pelunasan akan dimulai dari 100% aset awal, 2) Proses pembayaran akan lebih cepat, 3) Setahun kemudian dijanjikan rumah dan tanah dapat dijual kepada WAR. Dalam konteks ini GKLL memainkan strategi pilihan yang menguntungkannya (lihat gambar 2 dibawah). Gambar 2 : Model Strategi Permainan GKLL 23 Informasi dari warga soal harga tanah yang dibeli PT lapindo brantas. 150 rb untuk tanah dan 100.00 biaya pengurukan, wawancara warga, opcit UNFAIR : Resettlement FAIR : Cash & Carry Reject Accept Accept Reject PT Lapindo Brantas ( 0,0 ) (1000,-250) ( 0,0 ) (1000,-1000) Mud Flow Victim Lumpur Mud Flow Victim Lumpur
  • 19. 77 Dari model permainan diatas dapat dilihat, bahwa pilihan menerima tawaran dari PT Lapindo Brantas akan memberikan point keuntungan tiga (3) bagi warga GKLL. Sedangkan jika mereka menolak dan tetap menerima cash and carry, maksimal mereka hanya akan dapat uang yang sesuai dengan ketentuan namun dengan waktu yang lebih lama dan tidak mendapat bonus 20% yang sudah habis24 . Namun sebagian kelompok yang lain didalam GKLL, menganggap bahwa pilihan sebagian teman mereka sangat merugikan kepentingan kelompok yang lain. Sebagian warga yang lain adalah warga asli yang biasa hidup sebagai petani dan berternak, yang tidak biasa tinggal diperumahan. Ini artinya jika mereka memilih mekanisme ini, mereka harus mengalami 3 kerugian, yaitu: 1) Mereka tidak bisa menjalankan profesinya sebagai petani dan peternak diperumahan, 2) Mereka tidak terbiasa dengan membayar iuran di perumahan, 3) Harga terlalu mahal. Sehingga pilihan terbaik bagi mereka adalah tetap mempertahankan mekanisme cash and carry, meskipun beresiko keterlambatan menerima pembayaran dari PT Lapindo Brantas (lihat gambar 3) Gambar 3 : Model Strategi Permainan Geppres/Pagarekontrak Dengan alasan itulah, maka 1.800 berkas kemudian keluar dari GKLL dan mendirikan Geppres. Beberapa perwakilan GKLL yang menandatangi persetujuan untuk mengikuti 24 Wawancara dengan Khoirul Huda, opcit Reject Accept Reject Accept Accept Reject Resettlement ( 0,0 ) (0,1) ( 0,0 ) (1,-3) Geppres/Pagarekontrak Geppres/Pagarekontrak Menolak Terima Reject Accept Accept Reject Resettlement ( 0,0 ) (0,1) ( 0,0 ) (1,3) GKLL GKLL
  • 20. 78 mekanisme resettlement dianggap melakukan penghianatan kepada kelompok yang tergabung di Geppres, mereka dianggap tidak sabar dan terlalu cepat menyerah pada proses perjuangan menuntut hak25 . Dalam konteks ini, Pagarekontrak juga memiliki pandangan yang sama yaitu menolak mekanisme resettlement, mereka lebih baik dibayar cash dan mencari tempat sendiri. Namun menurut elit GKLL pilihan itu adalah pilihan paling mungkin setelah 2,5 tahun proses pembayaran yang berlarut-larut dan tidak kunjung selesai, yang membuat warga semakin menderita26 . Ditandatanginya mekanisme resettlement oleh elit GKLL, mau tidak mau membuat asosiasi ini kemudian lebih mengarahkan semua proses kedalam model resettlement, termasuk mekanisme resettlement + susuk. Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, mekanisme resettlement+susuk ini diperuntukkan bagi pemilik sertifikat yang mau melakukan tukar guling. Akibat dari bergsernya pilihan strategi GKLL inilah kemudian muncul kelompok baru khususnya warga dari perumahan, yang ingin lebih fokus mengurus mekanisme cash and carry. Kelompok inilah yang kemudian berpisah dengan GKLL dan membentuk PW Perumtas, yang menuntut haknya dibayar dengan cash and carry dan tidak menerima mekanisme resettlement karena berkas mereka bisa di AJB-kan. Kebanyakan warga perumahan tidak memiliki persoalan dengan kepemilikan SHM dan IMB, maka dalam rasionalitas mereka akan mendapat 2 keuntungan, yaitu: 1) bonus 20% sebagaimana janji PT Lapindo Brantas, 2) Uang cash yang bisa dimanfaatkan segera. Namun jika mereka menerima, maka proses bisa berjalan sangat lama khususnya yang memiliki aset besar (lihat gambar 4) Gambar 4 : Model Strategi Permainan PW Perumtas Selain mekanisme resettlement, sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelumnya, PT Lapindo Brantas juga membuat mekanisme cicilan untuk mengulur proses pembayaran cash and carry. Dalam proses ini jelas bahwa PT Lapindo Brantas masih memainkan strategi ultimatum game, karena dengan alasan kehabisan dana maka pembayaran terpaksa harus dicicil. PT Lapindo Brantas adalah aktor kunci dalam permainan ini, karena jika uang habis maka 25 Wawancara dengan Cak Mat, Gepress, 2011 26 Dari Khoirul Huda, GKLL, 2011 Reject Accept Reject Accept Accept Reject Instalment (Cicilan) ( 0,0 ) (2,0) ( 0,0 ) (2,-1) PW Perumtas PW Perumtas
  • 21. 79 permainan akan selesai27 . Maka dengan alasan inilah keluarlah mekanisme ‘cicilan’ dalam proses pelunasan 80% sisa. Dalam kalkulasi sederhana, maka PT Lapindo Brantas dapat memperpanjang proses pelunasan yang seharus selesai setahun setelahnya. Misalkan dalam hitungan sederhana, jika aset Rp. 500 juta maka dengan cicilan sebesar Rp. 15 juta/bulan bisa diulur menjadi 34 bulan, dari pada dilunasi hanya dalam 12 bulan dimana perbulan harus bayar 41 juta/bulan (perhatikan gambar 5). Gambar 5 : Model Ultimatum Game Cicilan Namun mekanisme ini tentu tidak bisa diterima oleh masyarakat korban yang memiliki aset besar, khususnya yang asetnya milyaran. Sebagian dari mereka adalah para penduduk asli yang terdiri dari banyak keluarga namun hanya memiliki satu berkas yang diatasnamakan orangtua atau pewaris mereka, padahal sertifikat belum dipecah menjadi kepemilikan individu ahli waris mereka28 . Ada juga kasus dimana tanah kavling perumahan yang biasanya berisi antara 15-40 KK, yang berkasnya masih atas nama satu orang dan belum dipecah menjadi milik masing-masing KK29 . Semisal aset satu berkas 2 Milyar rupiah, maka jika dicicil Rp. 15 juta perbulan maka baru akan lunas 132 bulan (11 tahun), belum lagi jika harus dibagi 30 KK, sehingga masing-masing KK hanya mendapat Rp. 500.000/bulan. Sedangkan jika mereka dibayar dalam waktu setahun, maka perbulan mereka bisa memperoleh Rp166juta yang dibagi 30 menjadi Rp. 5,5juta. Sehingga menjadi wajar jika mereka memilih untuk menolak mekanisme cicilan yang ditawarkan, dan memilih keluar dari GKLL untuk bergabung dengan Geppres, Pagarekontrak atau PW Perumtas saat itu (perhatikan gambar 6). Gambar 6 : Model Strategi Permainan kelompok aset besar 27 Beberapa warga yang bernegosiasi pernah ditantang oleh Nirwan Bakrie dengan mengatakan, “Kalau semisalkan warga tidak mau…ya sudahlah…..Kalau dihukum, ya sudah. Saya masuk penjara saja… Kami sudah tak punya uang,”, yang akhirnya membuat sebgaian warga terpaksa menerima 28 Wawancara dengan korban, opcit 29 Wawancara dengan korban, opcit UNFAIR : Instalment (Cicilan) FAIR : Cash & Carry Reject Accept Accept Reject PT Lapindo Brantas (0,0) (500,15) (0,0) (500,41) Mud Flow Victim Lumpur Mud Flow Victim Lumpur
  • 22. 80 Namun dalam logika yang berbeda, ada sebagian dari warga yang merasa mekanisme pembayaran cicilan tidak menjadi masalah, karena yang penting dibayar. Kelompok inilah yang ada didalam kelompok PW Perumtas, yang relatif memiliki aset yang tidak besar. Aset mereka kebanyakan kurang dari 300 juta sehingga bisa dilunasi dengan cicilan 15 juta perbulan dan bisa lunas kurang dari 2 tahun. Pada akhirnya kelompok inilah yang kemudian keluar dari PW perumtas, dan kemudian mendirikan Kelompok Tim 16, yang terdiri dari 16 RT di Perumtas 1, dengan tujuan utama mendapat pembayaran daripada meminta mekanisme yang lain. Bagi mereka tidak masalah dicicil, yang penting segera dibayarkan oleh PT Lapindo Brantas, sekaligus mereka juga mendapat untuk bonus 20% dari uang muka yang diberikan diawal (lihat gambar 7). Gambar 7 : Model Strategi Permainan Tim 16 Uraian panjang lebar strategi permainan dari masing-msing aktor baik PT Lapindo Brantas maupun asosiasi-asosiasi masyarakat korban lumpur yang terbentuk, menunjukkan bahwa semakin lama asosiasi-asosiasi itu terpecah kedalam bentuk-bentuk terkecilnya. Sampai pertengahan 2010 kemudian asosiasi-asosiasi tersebut membubarkan diri dan tidak tersisa gerakan yang memadai. Catatan terpentingnya adalah strategi gerakan apapun yang dipakai dibatasi oleh satu bounded rationality yang sangat kuat, yaitu bencana yang melahirkan krisis. Dengan konteks krisis ini maka daya tahan (endurance) masyarakat dalam melakukan perlawanan sangat terbatas, mereka akhirnya menyerah ketika proses itu ditunda atau Reject Accept Reject Accept Accept Reject Instalment (Cicilan) ( 0,0 ) (0,0) ( 0,0 ) (0,2) Tim 16 Tim 16 Reject Accept Reject Accept Accept Reject Instalment (Cicilan) ( 0,0 ) (5,5jt,12) ( 0,0 ) (500rb,132) ) Aset Besar Aset Besar
  • 23. 81 diperpanjang. Akhirnya mereka menerima skenario apapun, asal dibayar tanpa ditunda untuk menyambung hidup mereka yang sedang sekarat. Kondisi krisis menjadi bounded rationality dominan yang mematahkan rasionalitas apapun yang memungkinkan mereka untuk bernegosiasi dengan PT Lapindo Brantas. Pilihan selain menerima skenario apapun hanya akan membuat mereka sekarat lebih parah dan kemudian mati, karena kartu kematian sepenuhnya ada di tangan perusahaan. Perhatikan model dibawah untuk menjelaskan pilihan rasional yang mungkin bisa diambil dalam kondisi krisis (lihat gambar 8). Pada titik inilah dominant equilibrium terjadi. Gambar 8 : Perubahan strategi setelah 3,5 tahun bencana E. Penutup : Predatory State Untuk memahami bekerjanya kekuasaan dalam kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, definisi konvensional tentang kekuasaan tidak bisa kita gunakan lagi. Konsep kekuasaan konvensional memaknai bahwa kekuasaan adalah sebuah kepemilikan yang melekat pada seseorang atau insitusi30 , dimana fungsi kekuasaan adalah a) kekuatan untuk melakukan sesuatu dan mengontrol sesuatu, atau b) otoritas legal untuk melakukan sesuatu atau memaksa orang lain melakukan sesuatu. Dalam konteks konvensional, kekuasaan dimaknai dengan sesuatu (otoritas) yang negatif, koersif dan represif yang memaksa kita melakukan sesuatau yang tidak dikehendaki (Gaventa 2003). Namun dalam menjelaskan konteks ini, konsep kekuasaan yang paling tepat digunakan dalam menjelaskan pola relasi ini adalah konsep Foucault dalam memahami kekuasaan. Dalam perspektif Faucault, kekuasaan itu dimana-mana, menyebar dan melekat dalam sebuah wacana (discourse), pengetahuan dan rezim kebenaran (Foucault 1991; Rabinow 1991). Dalam konteks ini kekuasaan adalah sebuah kebutuhan (necessary), yang produktif dan juga memiliki dorongan positif di masyarakat (Gaventa 2003). Konsep ini memang tidak bisa di integrasikan dengan konsep kekuasaan konvensional, sehingga membacanya perlu sedikit berbeda. Dalam konteks penangan korban lumpur Sidoarjo, dominasi perusahaan tidak dapat dibaca sebagai sebuah mekanisme pemaksaan yang represif atau otoritatif, namun yang perlu diperiksa adalah perubahan relasinya yang menandakan perubahan rezim kebenaran yang membentuknya. Dalam kajian ini dapat dilihat bahwa proses reproductive power mulai muncul saat pemerintah mengeluarkan Perpres No. 14 tahun 2007, yang mengganti kebijakan “ganti rugi” (compensation) menjadi kebijakan “jual beli” 30 Definisi yang umum di pakai dalam perspektif Marxian atau Machiavellian Reject Accept Reject Accept Accept Reject Pembayaran Model Apapun ( 0,-1 ) (0,-1) ( 0,-1 ) (0,1) Mud flow Victim Mud flow Victim
  • 24. 82 (Transaction). Perubahan terpenting dalam kebijakan ini adalah terbentuknya mekanisme “jual- beli” sebagai ‘kebenaran” dan menjadi satu-satunya bentuk relasi antar aktor. Padahal pola relasi “jual-beli”, bukanlah sebuah relasi alamiah dari masyarakat, sehingga kemudian munculah pola-pola diskursif (discursive pattern) dalam praktik pelaksanaan kebijakan tersebut. Masing-masing aktor dalam relasi alamiahnya memiliki bentuk relasi alamiah yang berbeda, merujuk pada gagasan PWD UGM31 , perbedaan pola aktor itu antara lain: Pertama, intimacy adalah bentuk dasar relasi didalam masyarakat. Pola relasi berdasarkan kedekatan kedekatan (intimacy), sebagai basis pengelolaan kekuatan kolektif untuk mengatasi masalah. Beberapa bentuk intimacy dapat ditemukan dalam bentuknya yang di kenal dengan kekerabatan, suku, agama dan bentuk-bentuk ikatan-ikatan lain di masyarakat. Pada saat inilah masyarakay dikenal dengan ikatannya dalam komunitas, bukan masyarakat sebagai individu. Dengan modal intimacy juga masyarakat korban lumpur panas Sidoarjo menggalang massa dan melakukan perlawanan kepada kebijakan Pemerintah dan PT Lapindo Brantas. Modal intimacy yang kuat ini juga yang menyatukan ribuan warga untuk datang ke Jakarta atau memblokade Jalan Raya Porong, yang akhirnya memaksa Pemerintah dan PT Lapindo Brantas untuk duduk bersama kembali membicarakan proses ganti rugi yang tidak selesai. Kedua, transactional adalah bentuk dasar relasi didalam perusahaan. Bentuk-bentuk perdagangan atau pertukaran (exchange) adalah pola relasi yang umum dilakukan oleh perusahaan. Proses transaksional berangkat dari asumsi bertemunya kelebihan kekurangan sehingga terjadi proses pertukaran sukarela antara pihak-pihak yang memiliki posisi setara. Pola transaksional adalah hubungan individu dengan individu yang didasari pada kebutuhan yang saling menguntungkan. Sebuah perusahaan yang baik tentunya adalah perusahaan yang mampu memaksimalkan perolehan keuntungannya dalam melakukan proses transaksi, sebagai manifestasi dari semangat laissez faire. Prose ideal dalam transaksi ekonomi adalah tidak adanya intervensi dari pemerintah, yang mana tugasnya hanya memberikan perlindungan hak kepemilikan individu (private property right). Ketiga, statism adalah bentuk dasar relasi di dalam negara yang mana sistem kenegaraan dibangun dalam bentuknya yang berjenjang, dengan komando otoritas dari atas ke bawah. Dalam logika negara (state) relasi yang bekerja adalah bentuk tingkatan otoritas yang berlapis, yang mana lapisan tertinggi dapat mendiktekan kehendaknya dalam memaknai kepentingan publik (statism) kepada lapisan dibawahnya. Kebijakan adalah bentuk dari relasi statism, dimana otoritas yang lebih tinggi membuat kebijakan sedangkan lapisan dibawahnya menjalankan keputusan dari kebijakan itu. Kebijakan yang dibuat oleh negara dengan mekanisme “jual-beli” inilah yang kemudian membuat rezim kebenaran baru yang merubah semua pola-pola dan bentuk relasi di masyarakat. Masyarakat diminta keluar dari pola relasi alamiahnya, yaitu intimacy, untuk masuk kedalam model relasi kekuasaan ala perusahaan, yaitu transaksional. Akibatnya, ibarat hiu yang bertarung dengan singa di tengah lautan, masyarakat yang awalnya begitu kuat intimitasnya akhirnya terpecah-pecah sampai akhirnya menjadi kepingan individu. Padahal jika mereka bersatu kekuatan masyarakat sangat besar dan bisa memaksa negara dan perusahaan untu mendengarkan mereka. Lebih celaka lagi, masyarakat dalam konteks korban lumpur adalah masyarakat dalam 31 Dalam Tim PWD, Power, Welfare and Democracy: Rekonstruksi Relasi-Kuasa yang Mensejahterakan, Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Norwegian Embassy, 2010, hal.54-58.
  • 25. 83 kondisi bencana yang vulnerable, disaat kelaparan, frustasi dan masa depan yang tidak jelas mereka harus dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang disodorkan oleh negara. Sehingga jebakan prisonner dilemma yang terkandung dalam model kebijakan itu, membuat asosiasi korban lumpur kemudian harus mengikuti hasrat alaminya untuk bertahan hidup. Sebagai perbandingan, warga korban lumpur yang diluar peta terdampak tahun 2007 dimana proses jual belinya diambilkan dari APBN, mereka tidak mengalami dilema yang sama. Mereka tunduk pada mekanisme staisme negara dan tidak memiliki masalah dalam pembayaran, meskipun kemudian pemerintah ikut menunda pembayaran dengan alasan agar tidak muncul kecemburuan sosial. (Perhatikan gambar 9). Namun dalam relasinya dengan perusahaan, negara yang seharusnya sebagai satu-satunya institusi yang berhak membuat kebijakan (Dye, 1975), harus juga terjerumus dalam bentuk relasi yang transaksional dengan perusahaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa semua kebijakan negara sangat politis dan lebih dekat dengan kepentingan perusahaan, apalagi menjadi bagian dari proses transaksi pemilu 2009 (Gustomy, 2012; Schiller, 2008; Bosman&Heru, 2010; Ali Akbar, 2007). Gambar 9 : Pola Relasi 3 Aktor Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa negara lebih memilih bentuk relasi kekuasaan yang sifatnya transaksional? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memeriksa kembali konteks yang lebih makro dari struktur politik yang membentuk relasi kekuasaannya. Dari peristiwa ini, dapat ditarik garis benang merah bahwa struktur politik liberal yang dipakai di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap nalar-nalar yang menjadi pilihan dalam kebijakan publik. Pola-pola transaksi ekonomi hampir menjadi strategi standar dalam setiap pemenangan pemilu, begitu juga dengan cara negara membangun relasinya dengan masyarakat (Ibrahim & Dahlan, 2010). Akibatnya nalar transactional menjadi episteme, sebuah logika kebenaran yang tidak dipertanyakan, dalam menyelesaikan masalah dan membuat kebijakan. Meski pemerintah Indonesia mengaku tidak liberal, karena memang tidak ada satupun negara didunia yang konsisten dengan asumsi-asumsi neo-liberalisme dan masih membuat kebijakan populis (Harvey, 2004), pemerintah indonesia dalam konteks ini cukup konsisten membawa asumsi liberalnya. Sangat mungkin Pemerintah saat ini sedang mempraktikkan ide Adam Smith, bahwa unit analisis dalam pemerintahan adalah individu, bukan keluarga, masyarakat, atau juga negara, sehingga kepentingan individu adalah harmoni yang tercipta diatur sistem kompetisi bebas. Sama halnya dengan Margareth Thacther, yang meyakini bahwa yang ada hanyalah sekumpulan individu bukan masyarakat sebagai sebuah entitas (Wiwoho, 2010). Karena dengan transaksi ekonomi individu, tiap-tiap orang bebas mengejar keuntungan dan Statism Transaction Society Corporate State Transaction
  • 26. 84 kepentingannnya sendiri, sehingga bukan hanya individu yang beruntung, namun masyarakat juga. Karena jika setiap individu mengalami peningkatan kesejahteraan, maka secara kolektif dapat diidentifikasi bahwa masyarakat juga berkembang. Dalam bahasa Adam Smith ini disebut sistem natural liberty, dimana peran pemerintah dalam mengintervensi seharusnya harus sangat dibatasi dan ketat. Sehingga dalam konteks “jual-beli” antara PT Lapindo Brantas dengan masyarakat korban lumpur, pemerintah tidak campur tangan, sebagai bentuk konsistensi ideologis dari netralnya intervensi negara. Namun celakanya, relasi ini adalah bentuk monopsoni dan bukan kondisi pasar sempurna yang normal, apalagi ada konteks bencana dan krisis di belakangnya. Dimana 12.000 berkas dari keluarga yang kelaparan dan tidak punya tempat tinggal, harus berebut perhatian dari seorang pembeli. Tentu dalam konteks ini PT Lapindo Brantas juga tidak dapat disalahkan juga, karena sudah sewajarnya perusahaan dengan nalar laissez faire mengejar keuntungan untuk dirinya semaksimal mungkin dengan cara apapun. Sebagai kapitalis sejati sudah wajar jika perusahaan melakukan pola eksploitasi sebagai cara meraih keuntungan sendiri, karena PT Lapindo Brantas bukan lembaga sosial. Nalar yang tidak tepat inilah yang dapat menempatkan pemerintahan Indonesia dalam konteks ini termasuk predatory state. Tentu ini debatable ditengah klaim demokrasi yang dianut di Indonesia, namun saya menemukan beberapa argumen teoritik yang mendukung pendapat ini. Secara tidak langsung saya sepakat dengan Jusuf Wanandi (2002) yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah failed state, merujuk pada beberapa kasus dimana absennya kehadiran negara dalam memberikan perlindungan dan keadilan. Kegagalan negara (failure state) dalam beberapa penelusuran teoritik berangkat dari cara pandang bahwa kesalahan berangkat dari aktor yang berada di puncak (top rulers) memiliki motif-motif predatory (Avinash Dixit, 2006). Dalam memahami predatory state, bukan berarti negara absen terhadap penyediaan public goods atau bentuk perlindungan lainnya, namun justru kemampuan untuk menyediakan public goods yang menjandi alat untuk memangsa masyarakatnya (Boaz Moselle,2001). Dalam konteks peristiwa ini, kekuasaan pemerintah dalam membuat kebijakan bencana justru menjadi ruang bagi elit puncak pemerintahan dalam menegosiasikan kepentingannya dalam pemilu 2009 silam (Gustomy, 2012). Begitu juga negara telah melakukan pembiaran terjadinya penderitaan terhadap rakyat atas nama konsistensi agar negara tidak turut campur dalam urusan privat (Gustomy, ibid). Tentunya juga tuduhan ini masih bisa diperdalam dalam kajian berikutnya. Namun yang jelas imbas dari kekuasaan yang produktif maka di level masyarakat korban juga lahir predator-predator yang memangsa sesama korban, sehingga beberapa mantan elit asosiasi korban bisa menjadi kaya mendadak. Sudah menjadi jamak jika nalar laissez faire dari perusahaan menular kepada semua individu, sehingga melahirkan makelar-makelar sertifikat yang mencari keuntungan dengan mendorong warga lain ikut skema perusahaan. PT Lapindo Brantas memancingnya dengan memberikan hadiah Rp 1 Juta perorang, bagi siapa saja yang bisa membawa berkas warga lainnya untuk masuk skema pembayaran perusahaan32 . Iming-iming ini yang mendorong banyak elit asosiasi masyarakat menjadi makelar sertifikat. Kemudahan mencari uang ini kemudian memunculkan makelar-makelar sertifikat yang lain dan mendorong semakin cepatnya proses kehancuran asosiasi korban lumpur. Pada akhirnya, mereka bukan hanya terkotak dalam berkas-berkas sebagai representasi kepemilikan keluarga, bahkan banyak yang diantara keluarga saling berkonflik sehingga terpecah menjadi individu sejati. 32 Wawancara dengan korban, opcit
  • 27. 85 Daftar Pustaka Akbar, Ali Azhar, Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo, Yogyakarta, GalangPress, 2009 Badoh, Ibrahim Z. Fahmy and Abdullah Dahlan, (2010). Korupsi Pemilu Di Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jakarta D.N. Dwivedi, 2006. Microeconomics Theory & Aplications, Pearson Education, India Dixit, A. (2006), “Predatory States and Failing States: An Agency Perspective,” working paper, Princeton, NJ : Center for Economic Policy Studies F. Camerer and T-H Ho, (2001). Strategic Learning and Teaching in Games,” in S. Hioch and H. Kunreuther, eds., Wharton on Decision Making, New York: Wiley, Foucault, M. (1991). Discipline and Punish: the birth of a prison. London, Penguin. Gaventa, John (2003) Power after Lukes: a review of the literature, Brighton: Institute of Development Studies. Graboś, Rafał (2005). Qualitative Model of Game Theory, in Modeling Decisions for Artificial Intelligence,Lecture Notes in Computer Science Volume 3558, 2005, pp 47-58 Gustomy, Rachmad (2012). Menjinakkan Negara, Menundukkan Masyarakat: Menelusuri Jejak Strategi Kuasa PT Lapindo Brantas Inc. dalam Kasus Lumpur Panas di Sidoarjo, dalam Bencana Industri: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (eds. Heru Prasetia), Desantara, Jakarta Micklich, Douglas L. (2007) The thinking steps model in game theory: a qualitative approach in following the rules, Developments in Business Simulation and Experiential Learning, Volume 34, 2007, Illinois State University Moselle, B. and Polak, B. (2001). ‘A model of predatory state’, Journal of Law, Economics, and Organization, vol. 17, pp. 1–33 Prasetia, Heru & Bosman Batubara, (2010). Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil, Jakarta, Desantara, 2010 Rabinow, Paul (editor) (1991) The Foulcault Reader: An introduction to Foulcault’s thought, London, Penguin. Rubinstein, Ariel (1998): Modeling Bounded Rationality. Cambridge, Massachusetts: MIT Press Schiller, Jim, Anton Lucas and Priyambudi Sulistiyanto (2008). Learning from the East Java Mudflow: Disaster Politics in Indonesia, Indonesia No. 85 (Apr., 2008), pp. 51-77, Published by: Southeast Asia Program Publications at Cornell University Tim PWD, Power, Welfare and Democracy : Rekonstruksi Relasi-Kuasa yang mensejahterakan, kerjasama PSSAT UGM dengan Norwegian Embassy, Yogyakarta, 2010.
  • 28. 86 Van Damme, (1999). Game Theory: The Next Stage, in L.A. Gerard-Vanet, Alan P. Kirman, and M. Ruggiero (Ed.’s), Economics beyond the Millennium, Oxford University Press Wanandi, Jusuf (2002). Indonesia: A Failed State?, Washington Quarterly, Vol. 25, 2002 Wibowo, I dan F. Wahono,(ed). Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras, 2003. Koran Iklan Lapindo, Percepatan Pembayaran 80 Persen, Majalah Tempo, 18 Mei 2008 Regulasi SK Gubernur Jatim Nomor 360/1417/KPTS/031/06 Keppres Nomor 13 Tahun 2006 Perpres Nomor 14 Tahun 2007 Perpres Nomor 48 Tahun 2008 Perpres Nomor 40 Tahun 2009 Website http://www.mudvolcano.com//home.php?page_id=10, diunduh 25 Agustus 2011, pukul 21.34 WIB. Wawancara Wawancara dengan Abdurrohim, Koordinator Gempur 4D, Kamis, 31 Maret 2011, dirumahnya, Perum Tanggulangin, Porong Sidoarjo Wawancara dengan Cak Mat, koordinator GEPPRES, Sabtu, 2 April 2011, dirumahnya, Perum TAS, Sidoarjo Wawancara dengan Gus Maksum, tokoh agama dan pemimpin penolakan pembelian tanah, Kamis, 31 Maret 2011, di pondok Pesantren Porong Sidoarjo Wawancara dengan Haji Sunarto, koordinator PAGAREKORLAP, Selasa, 14 September 2011, dirumahnya, Renojoyo, Sidoarjo Wawancara dengan Khoirul Huda, mantan koordinator GKLL, Jumat, 3 September 2011, di kantor nya, Sidoarjo Wawancara dengan korban lumpur, dari 2008- 2011, di sekitar semburan lupur sidoarjo Wawancara dengan Paring Waluyo Utomo, warga korban lumpur, Sabtu, 2 April 2010 di Posko Advokasi untuk Korban Lapindo, porong Sidoarjo View publication stats