1. Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah setelah pembunuhan Usman bin Affan untuk menstabilkan keamanan Madinah.
2. Ali mendapat tantangan dari Muawiyah, Thalhah, dan kelompok Khawarij karena berselisih pendapat mengenai pembunuhan Usman dan proses arbitrasi.
3. Biografi Ali bin Abi Thalib mencakup latar belakang, peran penting dalam Islam sejak masa Nabi, serta pemer
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Biografi dan sejarah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
1. Biografi dan Sejarah kepemimpinan
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Latar Belakang
Beberapa hari setelah pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, stabilitas keamanan kota
Madinah menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama
kira-kira lima hari sampai terpilihnya Khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib
tampil menggantikan Usman, menerima baiat dari sejumlah kaum Muslimin.
Setelah jabatan kekhalifahan jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib dengan dukungan kaum
pemberontak terhadap Usman bin Affan unsur-unsur pertentangan dan persaingan yang sejak
Nabi wafat, berkecamuk dalam dada orang-orang yang dendam dan yang menginginkan
kekuasaan. Terutama yang datang dari pihak Umayah, yang dikepalai oleh Mu’awiyah ini tak
mungkin diselesaikan melalui jalan damai. Karena itu, peranglah yang ditempuh oleh kedua
belah pihak yaitu pertempuran bersenjata yang terkenal dengan perang siffin.
Kemenangan dalam perang telah tampak berada di pihak Ali. Untuk menghindari
kekalahannya atas saran dari Amr bin Ash Mu’awiyah memerintahkan supaya mushaf-
mushaf Al-Qur’an diangkat di atas tombak-tombak dengan seruan agar kedua belah pihak
berhukum kembali kepada Al-Qur’an. Ali mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh
Mu’awiyah itu hanya taktik dan tipu muslihat, untuk menghindari dari kekalahan. Oleh
karena itu, ia menolak gencatan senjata dan menyerukan pengikutnya agar meneruskan
peperangan. Namun mayoritas pengikutnya menolak diteruskannya peperangan, dan menyeru
gencatan senjata, untuk memberi peluang bagi keberadaan arbitrasi. Tujuannya adalah untuk
mengakhiri pertikaian antara Ali dan Muawiyah.
Tetapi hal itu di tolak oleh Muawiyah, dengan dalih bahwa Ali, enggan mengadili dan
menghukum para pembunuh Usman bin Affan, Ali yang semula menolak diadakannya
arbitrasi yang dianggapnya hanya sebagai taktik dan tipu muslihat akhirnya terpaksa
menerima diadakannya arbitrasi yang diusulkan Mu’awiyah itu. Tetapi sebagian pengikutnya
yang berhaluan keras, walaupun hanya merupakan minoritas, menolak diadakannya arbitrasi.
Sebagai konsekwensinya, mereka meninggalkan barisan Ali, dan membangun kekuatan
sendiri, yaitu dengan nama Khawarij.[1]
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
Bagaimana Biografi Ali bin Abi Thalib dan bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi
Thalib sebagai Khalifah?
Apa yang melatar belakangi khalifah Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan dari
Khawarij, Thalhah dan Muawiyah?
Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
`Ali bin Abi Thalib lahir (Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661). Khalifah
keempat terakhir dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang
masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian menjadi
menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin Abdul Manaf, adalah
2. kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul Mutholib. Ibunya bernama Fatimah binti
As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir dia di beri nama Haidarah oleh ibunya.
Namun kemudian di ganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia enam tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw. sebagaimana Nabi
saw. pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, Ali
baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah
Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah saw, taat
kepadanya dan banyak menyaksikan Rasulullah saw, menerima wahyu. Ia anak asuh
Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala
persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sewaktu Rasulullah hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar al-Siddiq, Ali diperintahkan
untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. dan tidur di tempat tidurnya. ini dimaksudkan
untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi masih berada di
rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi saw. Ali juga
ditugaskan untuk mengembalikan sejumblah barang titipan kepada pemilik masing-masing.
Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa
sedikitpun merasa takut. Melalui cara itu Rasulullah saw. dan Abu Bakar selamat
meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah saw. dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali menyusul
ke sana. Di Madinah ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah saw. yang
ketika itu tahun ke 2 H beliau berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan sembilan wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah
istri pertama. Dari fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri. Yaitu Hasan, Husein,
Zainab dan Ummu Kalsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah
wafat Ali menikah lagi berturut-turut dengan:
3. Ummu Bamin bin Hisyam dari bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra yaitu
Abbas, Ja’far, Abdullah dan Usman.
Laila binti Mas’ud at-Tamimyah yang melahirkan dua putra yaitu Abdullah dan Abu Bakar.
Asma binti Umar al-Quimiah, yang melahirkan dua putra yaitu Yahya dan Muhammad.
as-Sahbah binti Rabiah dari bani Jasyim bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang
melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah.
Umamah binti Abi Ass bin ar-Arrab, putri Zainab binti Rasulullah saw. yang melahirkan satu
anak yaitu Muhammad.
Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-
Hanafiah).
Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan
Ramlah.
Mahyah binti Imri’ al-Qais al-Kabiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati
lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zulfikar”.
Ia turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw. dan selalu
menjadi andalan pada barisan depan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam
sebagaimana tergambar dari sabda Nabi saw. “aku adalah kotanya ilmu pengetahuan sedang
Ali sebagai pintu gerbangnya”. Karena itu, nasehat dan fatwanya selalu di dengar para
Khalifah sebelumnya. Ia selalu di tempatkan pada jabatan kadi atau Mufti.[2]
Ali diberi juga julukan (gelar) Abutturab (arti letterliknya “pak tanah”) dijuluki demikian,
karena pada suatu saat ia tidur di Masjid, pakainya terlepas dari badan, hingga ia tidur di atas
tanah tanpa alas. Kemudian ia dibangunkan oleh Nabi, sambil berkata, “bangunlah, hai
Abutturab” dan gelar itulah tampaknya amat di sukainya.
Dialah seorang anak kecil yang mula pertama membenarkan tindak tanduk Nabi saw. dan
masuk Islam sedang umurnya baru menginjak delapan tahun. Berarti ia memiliki jiwa yang
tidak dikotori oleh keadaan-keadaan jahiliah dan satu kalipun tidak pernah ikut menyembah
berhala, karena itu kepadanya disebutkan: “Karramallahu Wajahahu” yang artinya: semoga
Allah memuliakan Wajahnya, sementara kepada para sahabat lainnya hanya disebutkan
“Radliallahu ‘Anhu” yang artinya, semoga Allah Meridhoinya.
Ali terkenal sebagai seorang yang tidak mencintai dunia meskipun bila ia mau, peluang untuk
itu sangatlah mudah. Ia ahli dalam berpidato, memiliki sastra dan juga bahasa yang indah
dengan lidah yang fasih. Ia juga hafal Al-Qur’an serta mengumpulkannya dan
membetulkannya di hadapan Nabi.
Ali adalah orang pertama dari golongan Bani Hashim yang menjadi khalifah, seorang yang
mula-mula meletakkan dasar ilmu Nahwu atau Gramatika Bahasa Arab. Dia juga yang
4. diserahi untuk melakukan perang tanding pada permulaan dan pendahuluan perang Sabil
yang pertama, yaitu perang Badar. Pantaslah kalau ia termasuk kelompok sepuluh yang
disebutkan oleh Nabi yang dijamin masuk surga.
Ali bin Abi Thalib juga seorang yang mendapat kehormatan dan kepercayaan Nabi saw.
dengan mengutusnya ke Negeri Yaman, ketika usianya masi sangat muda belia, tapi ia di
do’akan oleh Nabi : “Ya Tuhan, pimpinlah hatinya dan tetapkanlah lidahnya” sehingga
seluruh sahabat mengakui bahwa Ali-lah orang yang dipandang lebih mengetahui tentang
Hukum dan Peradilan.
Ali juga pernah mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai wakil Nabi yaitu menjadi Wali
Kota Madinah ketika Nabi pergi bersama Jaisu Usrah diperang Tabuk. Ketika Ali berkata
kepada Nabi, “Ya Rasulullah, mengapa tuan tinggalkan saya bersama orang-orang
perempuan dan anak-anak”? lalu dijawab oleh Nabi,
اِاَّ انبى ِ نَّلى اهُ الَيَّلَِّ اَّسل ََّّمَ اَّالََّ نِعلَّ : اَّنَتََّ نعىى امَّ زَىَّةِ
اََََّّهْلََّ اَنى ن َّمَسَى اهلَّتِهِ انبَّت َّه بعَ َِّ
Terjemahan :“Bahwasanya Nabi saw berkata kepada Ali: “Enkau bagiku seperti Nabi Harun
menempati posisi Nabi Musa”, kecuali sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku.” (H.R.
Ahmad dan Bazzar).[3]
Jadi ia mengikuti semua perang sabil yang di lakukan oleh Nabi kecuali perang tabuk ia
bertugas di Madinah. Sebagai seorang sahabat Nabi, ia juga memiliki kemauan dan
kelebihan. Ia adalah seorang yang pemurah, dermawan rendah hati, ramah tamah, jujur,
amanah (dapat dipercaya) qana’ah (mencakup dengan apa yang ada dengan tidak berlebih-
lebihan), adil disiplin dan banyak lagi.[4]
Pemerintahan dan Situasi Politik Pada Masa Ali bin Abi
Thalib
1. Situasi Politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Situasi politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib cukup rawan mengingat Usman
terbunuh di tangan pemberontak. Pada kesempatan tersebut, Ibn Harb memegang kendali
keamanan kota Madinah sampai terpilihnya seorang Khalifah yang baru.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat
menjadi Khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut
menduduki kursi Khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali
berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan
tokoh-tokoh Ahl asy-Syura” bersama para pejuang Perang Badar.[5]
Pengangkatan Syaidina Ali menjadi Khalifah tidaklah sebagaimana yang dilakukan terhadap
Abu Bakar dan Umar, sebab hanya orang-orang yang Pro terhadap Ali yang melakukan Baiat
(penobatan) itu. Ali memegang jabatan pada hari Jum’at 13 Zulhijjah 35 Hijriah, dan orang
yang pertama kali melakukan baiat terhadap Syaidina Ali adalah Thalhah yang akhirnya
justru memihak Mu’awiyah.[6]
5. Setelah pembaiatan, Ali mengucapkan pidato yang isinya antara lain: “Wahai manusia, kamu
telah membaiat saya sebagaimana yang telah dilakukan kepada Khalifah-khalifah yang
dahulu dari padaku. Saya hanya menolak sebelum jatuh pilihan, apabila pilihan telah jatuh,
menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Baiat terhadap diriku ini
adalah yang rata, yang umum. Barang siapa yang mungkir dari padanya terpisahlah ia dari
agama Islam.[7]
Banyaknya peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali dan yang terpenting adalah
dua hal, yaitu peperangan jamal (unta) dan peperangan Siffin.[8]
2. Prinsip Politik Ali bin Abi Thalib
Prinsip Politik Ali tergambar bahwa ia seorang yang berani, yang memiliki kepribadian yang
mulia bahkan sebagai seorang anak asuh Rasulullah ia banyak menerima ilmu mengenai
rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ia mengikuti Rasulullah sejak kecil baik dalam suka
dan duka, dan tentunya hal tersebut mempengaruhi dalam melaksanakan pemerintahannya.[9]
Meskipun di belakang hari ia tidak mampu untuk mengembalikan pemerintahan sebagaimana
Rasulullah karena situasinya yang cukup berbeda. Hal yang menonjol prinsip Ali adalah
kompromi politik, hal tersebut tergambar pada saat pemberontakan Thalhah dan sekutu-
sekutunya.
3. Kebijakan Politik Ali bin Abi Thalib
Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah resmi memegang jabatan Khalifah adalah
memberhentikan semua gubernur yang diangkat oleh Usman, termasuk Mu’awiyah, dengan
mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Usman kepada
keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang sangat ketat
agar tidak terjadi penyelewengan oleh para pejabat pemerintah. Ternyata para pejabat baru
yang diangkat oleh Ali menimbulkan Pro dan Kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan
Basrah. Penggantian para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36
Hijriyah.[10]
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan setelah pemberontakan di
Kabul dan Sistan ditumpas, ia juga mendirikan pemukiman-pemukiman meliter perbatasan
Syria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan Parsi.[11]
Dalam pengelolaan uang negara Khalifah Ali mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh
khalifah Umar, harta rakyat dikembalikan kepada rakyat. sikap jujur dan adil yang diterapkan
oleh Ali ini, menimbulkan amarah di antara sejumblah pendukungnya sendiri dan kemudian
berpihak kepada Mu’awiyah. Khalifah Ali juga menberi contoh mengenai persamaan di
depan hukum dan peradilan, hal ini menunjukkan bahwa prinsip persamaan semua lapisan
sosial dan etnik di depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana pada
masa-masa sebelum sejak masa Rasulullah.
Latar Belakang Adanya Tantangan dari Khawarij,
Thalhah dan Mu’awiyah
6. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan kebijakan-kebijakannya untuk memulihkan situasi
umat Islam tidaklah mulus mengingat Thalhah, Khawarij dan Mu’awiyah, menuntut agar
kasus pembunuhan Khalifah Usman segera ditangkap dan mereka segera dibawa ke meja
hijau. Namun tuntutan mereka itu tidak dikabulkan oleh Ali dengan beberapa alasan: Pertama
Karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi
seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan-kedudukan
Khalifah. Kedua Menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah. Khalifah Usman
tidak di bunuh oleh hanya satu orang saja, melainkan banyak orang yang melakukan
pembunuhan tersebut.[12]
Dia pun menghindari pertikaian dengan Thalhah dan sekutunya. Tetapi tampaknya
penyelesaian damai sulit untuk di capai. Maka kontak senjata pun tak dapat dielakkan lagi,
sehingga Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Peperangan ini terkenal dengan nama “waqi’ah al-Jamal” (perang Unta/Jamal) yang terjadi
pada tahun 36 Hijriyah, dalam peperangan itu, pihak Ali bin Abi Thalib memperoleh
kemenangan.
Tantangan selanjutnya muncul dari Mu’awiyah, yang tidak menerima pemberhentiannya,
yang pada akhirnya terjadi peperangan antara pasukan Mu’awiyah dan pasukan Ali bin Abi
Thalib di Siffin. Ali bin Abi Thalib pada mulanya tidak menginginkan terjadinya
pertempuran tersebut, tetapi Mu’awiyah tak mengindahkannya sehingga mengakibatkan
jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak. Namun pada akhirnya pertempuran tersebut
dapat dihentikan dengan meminta diadakannya perdamaian antara kedua belah pihak dengan
cara mengangkat kitab suci Al-Qur’an sebagai symbol perdamaian. Kelicikan Mu’awiyah ini
disambut baik oleh Khalifah Ali dengan mengadakan gencatan senjata. Kedua belah pihak
mengambil jalan Tahkim (arbitrase) untuk mengakhiri pertempuran, masing-masing pihak
mengangkat satu wakil untuk mengadakan perundingan, dari pihak Mu’awiyah di utus Amr
bin Ash sedangkan dari pihak Ali mengangkat Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil.
Baca Juga: Sejarah Perkembangan dan Kemunduran Khalifahan Bani Umayah
Dari pertemuan mereka, diputuskan bahwa Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib harus
melepaskan jabatannya. Namun setelah Abu Musa al-Asy’ari mengumumkan untuk
meletakkan jabatan Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Ash justru menolak menjatuhkan
Mu’awiyah. Peristiwa Tahkim secara politik merugikan pihak Ali.
Keputusan Ali untuk mengadakan tahkim pun telah menuai protes dari sebagian pasukannya,
yang kemudian keluar dari pasukan Ali dan dikenal dengan nama “Khawarij”. Mereka
berpegang pada prinsip bahwa kebenaran yang sesungguhnya itu bukanlah semata-mata
hanya berada ditangan manusia. Sebagaimana mereka berberpegang pada firman Allah Qs.
al-Maidah (5) : 44
Terjamahan : Sungguh, kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya. Yang dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan
atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah
kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.[13]
7. Dengan pandangan kaum Khawarij tersebut, mereka merencanakan untuk membunuh tokoh-
tokoh yang ikut dalam peristiwa Tahkim, dan hal ini telah berhasil membunuh Ali pada tahun
40 H, ketika Ali menuju ke Masjid hendak mengimami shalat berjama’ah Subuh.[14]
Ali ra. Terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H.
Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun pendapat pertama lebih shahih dan
populer.
Ali ra. ditikam pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan. Ada yang
mengatakan bahwa dia wafat pada hari dia di tikam, ada juga yang mengatakan pada hari
Ahad tanggal 19 Ramadhan.
Al-fallas berkata, “Ada yang mengatakan, dia ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan
dan wafat pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.
Ada yang mengatakan, dia wafat dalam usia 63 tahun. Itulah pendapat yang masyhur,
demikian di tuturkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-
Sabi’i dan Abu Bakar bin Ayasy. Sebagian ulama lain mengatakan, wafat dalam usia 63 atau
64 tahun. Diriwayatkan dari Abu Ja’far al-Baqir, katanya, “wafat dalam usia 64 tahun.”
Masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib lima tahun kurang tiga bulan. Ada yang mengatakan
empat tahun sembilan bulan tiga hari. Ada yang mengatakan empat tahun delapan bulan dua
puluh tiga hari.
Secara umum prestasi Khulafa’ al-Rasyidin dalam hal perluasan wilayah, diawali pada masa
Abu Bakar dan mencapai titik tertingginya pada masa Umar dan relativ berhenti pada masa
Ali yang kekhalifaannya lebih banyak diliputi oleh banyak pertikaian internal sehingga tidak
memungkinkan ekspansi lebih jauh. Pada akhir satu generasi pasca Muhammad, inperium
Islam telah membenteng dari Oxus hingga Syrtis di Afrika sebelah Utara.[15]
Demikian gambaran tentang kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin yang kemudian menjadi
inspirasi bagi sebagian orang untuk mendirikan Negara Islam, namun dalam waktu yang
bersamaan justru kepemimpinan tersebut dipahami sebagai dasar demokrasi tanpa harus
memformalkan dalam bentuk Negara Islam.
Kesimpulan
Setelah Usman terbunuh Ali bin Abi Thalib pun ditunjuk sebagai Khalifah keempat. Namun
perjalanan kekhalifaan Ali tidaklah berjalan mulus, karena munculnya banyak tekanan akibat
pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Kebijakan Ali bin Abi Thalib dalam rangka pemulihan stabilitas pemerintahan justru
kemudian memicu pemberontakan baru seperti penggantian Umaiyyah. Selanjutnya dalam
internal pasukan Ali sendiri muncul pemberontakan akibat adanya arbitrase antara Ali dan
Mu’awiyah, kelompok ini yang kemudian dikenal dengan Khawarij yang di belakang hari
mereka membunuh Ali.