2. A. PENGERTIAN HAJI DAN UMRAH
Kata “Haji” berasal dari Bahasa Arab “al Hajju” ziarah berkunjung, yang berarti
secara bahasa “al qoshdu ila syai’i al mu’addhom” artinya bersengaja ziarah
berkunjung kepada sesuatu yang dihormati/dimuliakan. Imam Abdurrahman al
Jaziry dalam kitabnya Al Fiqh ala Madzahib al Arba’ah memberikan defisi haji agak
spesifik, Haji secara bahasa; ‘al qoshdu ila mua’dzom , secara syara; melakukan
perbuatan yang khusus yang dilakukan pada waktu yang khusus dan di tempat yang
khusus untuk tujuan yang khusus [A’malun makhsushotun tuaddi fi zamanin
mahshusin wa makanin makhsusin ala wajhin makhsusin]. Atau dengan pengertian
secara umum menurut Istilah/Syara’, Haji adalah berziarah atau berkunjung ke
Baitullah [Ka’bah} Makkah al Mukarromah untuk beribadah kepada Allah SWT
dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Ihram,
2. Tawaf,
3. Sa’i,
4. Wukuf di Arafah,
5. Wukuf/Mabit di Muzdalifah,
6. Tahallul.
3. Yakni Ziarah yang bertujuan untuk menyuburkan rasa cinta. Sedangkan Umrah menurut syara’:
Berziarah atau berkunjung ke Baitiullah [ Ka’bah] Makkah al Mukarromah untuk beribadah
kepada Allah SWT dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Ihram,
2. Tawaf,
3. Sa’i,
4. Tahallul.
B. HUKUM HAJI DAN UMRAH
Para Ulama sepakat bahwa hukum haji wajib bagi setiap umat Islam baik laki-laki maupun
perempuan, hanya sekali seumur hidup bagi orang-orang yang mampu [istito’ah]. Allah SWT
berfirman:
Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, [diantaranya] maqom Ibrahim. Barang
siapa memasukinya [tanah haram] menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barang siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Maha Kaya [tidak
memerlukan sesuatu] dari semesta alam”. QS. 3:97
Adapun hukum Umrah terdapat perbedaan pendapat [ikhtilaf] sebagai berikut:
1. imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal hukumnya wajib.
4. Adapun hukum Umrah terdapat perbedaan pendapat [ikhtilaf] sebagai berikut:
1. Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal hukumnya wajib.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam suarat al Baqoroh ayat 197:
“Wa atimmul hajja wal ‘umrota lillahi…” [Dan sempurnakanlah ibadah haji dan
umrah karena Allah…].
Dan hadits Nabi saw:
Atinya: “Dari Abu Razin, bahwasanya dia datang kepada Nabi saw dan berkata: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua sekali, tidak mampu berhaji dan tidak
mampu berumrah dan tidak mapu bepergian”. Rasulullah bersabda: “Hajikan
untuk ayahmu dan umrahkan!”. [HR. Abu Dawud, Nas’I dan Timidzi].
2. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dan qaul qodim Imam Syafi’I, bahwa Umrah
hukumnya Sunnah mu’akkad. Nabi bersabda:
Artinya: “Dari Jabir ra, sesungguhnya Nabi saw ditanya tentang umrah, apakah
wajib?. Rasulullah menjawab: “tidak”, akan tetapi kalua engkau berumrah, maka
itu lebih baik”. {HR. ahmad dan Tirmidzi].
5. C. WAKTU HAJI [terkait dengan kewajiban]
1. Menurut Imam Syafi’i: Pelaksanaan ibadah haji boleh ditunda [ala al tarokhi ],
dengan syarat:
a. Ada urusan yang lebih mendesak yang berkaitan dengan kemaslahatan dirinya atau
orang lain.
b. Adanya kenyakinan, bahwa dia masih mampu malaksanakannya, baik yang
berhubungan dengan waktu, biaya maupun kesehatannya pada waktu yang lain.
2. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal: Pelaksanaan ibadah
haji harus segera [ala al faur], yakni di tahun itu juga harus dilaksanakan. Nabi saw
bersabda: “an Ibn Abbas ra, qola: qola Rasulullah saw: “Man aroda al hajja fal
yata’ajjal, fa innahu qod ya’radul maridlu wa tadlillu al dlollatu wa ta’ridlu al
hajatu”. [HR. Ahmad wa Ibn Majah].
Artinya:” Dari Ibn Abbas ra, bersabda Rasululllah saw.: “Barang siapa [sudah
berkemampuan] untuk haji, maka hendaklah ia segera melaksanakan, sebab kadang-
kadang terserang sakit, barang [persiapan] hilang, dang terhalang oleh keperluan
mendadak”. HR. Ahmad dan Ibn Majah.
6. D. KETENTUAN PELAKSANAAN IBADAH HAJI DAN UMRAH
1. Pengertian syarat
Syarat adalah sesuatu yang mengikat [robthu]. Menurut Ibn Mandur: “Syarat
adalah keharusan sesuatu dan menjadikan keharusannya [seperti] dalam jual
beli dan sebagainya”. [ilzamu al sya’i waltizamuhu fl al ba’i wa nahwihi].
Menurut istilah Fiqh: “Ketiadaan sesuatu tidak mengharuskan ketiadaan yang
lain, dan adanya dia tidak mengharuskan ada dan tidak adanya yang lain” [ma
yalzamu min adamihi al adamu, wala yalzamu min wujudihi wujudun wala
adamun lidzatihi].
2. Syarat wajib Haji dan Umrah
a. Syarat wajib haji dan umrah menurut Jumhur Ulama:
1. Islam
2. baligh
3. berakal sehat
4. merdeka [bukan hamba sahaya]
5. mampu [istita’ah]
Imam Malik hanya mensyaratkan [beragama] Isalam.
7. b. Syarat sah haji dan umrah
Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali:
1. Islam
2. Mumayyiz [sudah dapat membedakan antara yang baik dan
buruk]
3. Dilaksanakan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Sepakat empat Imam madzhab mensahkan wali bagi anak yang
belum mumayyaz mewakili ihramnya, menghadirkan di arafah,
melontar jumrah serta membawanya tawaf dan sa’i.
2. Rukun Haji
Rukun menurut bahasa adalah ruknun‘ berarti penopang,
sandaran, unsur, elemen dasar, kekuatan. Adapun menurut istilah
yaitu: Hal yang menopang berdirinya sesuatu, karena sesuatu itu
berdiri dengan unsur pokoknya [rukun}, bukan karena berdiri
sendiri [Ma yaqumu bihi dzalika al syai’u mina al taqommumi idz
qowwamu al syai’u biruknihi la mina al qiyami binafsihi].
8. Rukun haji menurut Imam Syafi’i
1. Ihram
2. Tawaf Ifadah
3. Sa’I
4. Wukuf di Arafah [hari Arafah]
5. Memotong/menggunting ramput
6. Tartib
Maksud kata tertib disini adalah mendahulukan ihram dari semua amalan
haji. Melaksanakan wukuf sebelum tawaf ifadah dan menggunting rambut.
Melaksanakan tawaf ifadah sebelum sai, kecuali yang sudah sai pada waktu
tawaf qudum [bagi yang melaksanakan haji ifrad atau haji qiron], maka
setelah tawaf ifadah tidak diharuskan sai lagi.
9. 3. Rukum Umrah
Menurut madzhab Syafi’i ada lima:
1. Ihram
2. Tawaf
3. Sa’i
4. Memotong/menggunting rambut
5. Tartib
4. Wajib Haji dan Umrah
Wajib haji dan umrah adalah sesuatu hal yang apabila ditinggalkan haji atau
umrahnya sah, akan tetapi wajib membayar dam.
10. a. Pengertian wajib
Menurut Bahasa keharusan atau kepastian [tsubutun wa luzumun.
Sedangkan menurut Istilah perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa, tetapi
hajinya sah akan tetapi wajib membayar dam.
Wajib Haji menurut madzhab Syafi’i ada 5
1. Ihram [ihram haji dari miqot]
2. Mabit di Muzdalifah
3. Melontar jumrah aqobah [tanggal 10 dzulhijjah]
4. Mabit di Mina
5. Menjauhi larangan-larangan ihram
11. Wajib Umrah
Pada dasarnya wajib umrah sama dengan wajib haji menurut para
Imam madzhab, kecuali wukuf, mabit, dan melontar jumrah karena
ketiganya hanya ada dalam haji.
Sunnah Haji dan Umrah.
Amalan Sunnah yang bisa dikerjakan adalah; mandi ketika akan
memulai ikhram, memakai wangi-wangian, menyisir rambut dan memakai
minyak wangi, memakai kain ihram dua helai tidak berjahit [bagi laki-
laki] berwarna putih, memotong kuku, membaca talbiyah [keras bagi
laki-laki, pelan bagi perempuan], memperbanyak membaca tahmid,
tasbih, dan lain-lain.
12. E. TATA CARA PELAKSANAAN HAJI
Berdasarkan pelaksanaannya, ibadah haji dibagi menjadi tiga macam,
yaitu:
1. Ibadah haji Ifrod
Secara Bahasa ifrod berarti menyendirikan. Maksudnya orang
melaksanakan ibadah haji sajaa tanpa melaksanakan umrah dan tidak
dikenakan dam.
Haji ifrod ini dapat dilaksanakan dengan empat macam cara, yaitu:
a. Melaksanakan haji saja [tanpa melaksanakan umrah].
b. Melaksanakan haji dulu, menyusul umrah setelah selesai haji.
c. Melaksanakan umrah diluar bulan-bulan haji, menyusul
melaksanakan haji di bulan haji.
d. Melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji, kemudian pulan ke
tanah air, menyusul pergi haji pada bulan-bulan haji itu juga.
13. 2. Haji qiron.
Kata qiron artinya bersamaan atau berteman, maksudnya orang
melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan dengan sekali niat
untuk dua pekerjaan, tetapi diharuskan membayar dam.
3. Haji tamattu’.
Kata tamattu’ artinya bersenang-senang. Maksudnya orang
melaksanakan umrah terlebih dahulu pada bulan-bulan haji itu, lalu
tahallul. Kemudian ia berihram haji dari Makkah atau sekitarnya pada
tanggal 8 dzulhijjah [hari tarwiyah] atau tanggal 9 dzulhijjah tanpa
harus kembali lagi dari muqot semula.
Selama jeda waktu tahallul itu, dia bisa bersenang-senang, karena
tidak dalam keadaan ihram dan tidak kena larangan ihram, tapi dia
dikenakan dam. [dam nusuk].