Studi ini menguji efektivitas beberapa agen hayati, yaitu Pseudomonas fluorescens GI-19, Bacillus subtilis, Trichoderma viride, dan kombinasinya, dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Penelitian dilakukan di lapangan dan menunjukkan bahwa semua perlakuan dapat menekan penyakit layu walau dengan tingkat yang berbeda, dengan kombinasi B. sub
1. Nurjanani : Kajian Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia Solanacearum) Menggunakan Agens Hayati Pada Tanaman Tomat
KAJIAN PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum)
MENGGUNAKAN AGENS HAYATI PADA TANAMAN TOMAT
Nurjanani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
ABSTRAK
Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu pada tomat merupakan salah satu faktor penghambat dalam
peningkatan produksi tomat. Patogen ini memiliki kisaran inang yang luas, dan memiliki kemampuan bertahan hidup
dalam waktu lama di dalam tanah, sehingga patogen tersebut sulit dikendalikan, serta dapat menurunkan hasil dari
5-100%. Pengendalian dengan varietas tahan, pergiliran tanaman, dan penggunaan antibiotik belum memuaskan.
Penggunaan agens hayati merupakan alternatif dalam mengendalikan patogen ini. Pengkajian bertujuan untuk
mengetahui keefektifan P. fluorescens GI-19 B. subtilis, T. viride dan kombinasinya dalam menekan perkembangan
penyakit layu bakteri R. solanacearum pada tomat di lapangan. Pengkajian dilaksanakan di kebun petani, Desa Bulu
Ballea, Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa pada bulan April sampai Agustus 2009. Rancangan yang
digunakan adalah acak kelompok yang terdiri dari delapan perlakuan yaitu: P0 = kontrol (tanpa agens hayati), P1 = P.
fluorescens GI-19, P2 = B. subtilis, P3 = T. viride, P4= P. fluorescens GI-19 + B. subtilis, P5 = fluorescens GI-19 + T.
viride, P6 = B. subtilis + T. viride, dan P7 = Streptomisin Sulfat 20% (Agrept 20 WP). Setiap perlakuan diulang tiga
kali. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa semua perlakuan secara nyata dapat menekan perkembangan penyakit
layu, namun dengan tingkat yang bervariasi tergantung macam perlakuan. Hasil pengkajian dapat disimpulkan bahwa
(1) Semua agens hayati dan Streptomisin Sulfat 20% yang diuji dapat menekan perkembangan intensitas penyakit
layu bakteri pada tomat, (2) Perlakuan yang efektif mengendalikan penyakit layu bakteri adalah campuran P.
fluorescens GI-19 + B. subtilis, P. fluorescens GI-19 + T. viride, B. subtilis + T. viride, aplikasi tunggal B. subtilis,
dan T. viride; sedang yang agak efektif adalah P. fluorescens dan Streptomisin Sulfat 20%, (3) Agens hayati yang
diaplikasikan bersama dengan agens hayati lainnya tidak selalu lebih efektif daripada agens hayati yang
diaplikasikan secara tunggl.
Kata Kunci: Tomat, layu bakteri, pengedalian, agens hayati
ABSTRACT
Ralstonia solanacearum causes wilt disease in tomato is one limiting factor in increasing tomato production. This
pathogen has a wide host range, and has the ability to survive long periods in the soil, So the pathogen is difficult
to conrol, and can decrease the results from 5-100%. Control with resistant varieties, crop rotation, and the use
of antibiotics have not been satisfactory. The use of biological agents is an alternative in controlling these
pathogen. The assessment aims to determine the effectiveness of P. fluorescens GI-19, B. subtilis, T. viride and
combinations there of in suppressing the development of bacterial wilt disease R. solanacearum on tomato in the
field. Assessments carried out in the garden farmer, Bulu Ballea Village, Tinggi Moncong district, Gowa regency in
April to August 2009. The design used was a random group of eight treatments are: P0 = control (without
biological agents), P1 = P. fluorescens GI-19, P2 = B. subtilis, P3 = T. viride, P4 = P. fluorescens GI-19 + B. subtilis,
P5 = P. fluorescens GI-19 + T viride, P6 = B. subtilis + T. viride, and P7 = Streptomycin Sulfate 20% (Agrept 20
WP). Each treatment was three replication. The results of the assessment showed that all treatment can
suppress the development of significant wilt disease, but to varying degrees depending on the kind of treatment.
The results of the assessment can be concluded that (1) All biological agents and Streptomycin Sulfate 20%
tested can suppress the development of the intensity of bacterial wilt disease in tomatoes, (2) The treatment
that was effective to control bacterial wilt disease was a mixture of P. fluorescens GI-19 + B. subtilis, P.
1
2. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.4.,2011
fluorescens GI-19 + T viride, B. subtilis + T. viride, a single application of B. subtilis, and T. viride; than the
treatment that was near effective to control bacteria wilt disease were P. fluorescens and Streptomycin Sulfate
20%, (3) biological agents were applied with other biological agents were not always more effective than biological
agents were applied alone.
Keywords: Tomato, bacterial wilt, control, biological agents
I. PENDAHULUAN
Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai
nilai gizi cukup baik terutama sebagai sumber vitamin A dan C serta dapat dikonsumsi baik dalam bentuk
segar maupun olahan (Puslitbang Hortikultura. 2004). Permintaan konsumen akan buah tomat semakin
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya gizi serta tumbuhnya berbagai industri pengolahan buah tomat. Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan bahan baku industri, diperlukan upaya peningkatan produksi tomat baik kuantitas,
kualitas maupun kontinuitas.
Tomat dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, baik dalam skala kecil
maupun skala besar. Ralstonia solanacearum atau nama terdahulu Pseudomonas solanacearum (Smith)
merupakan salah satu faktor penghambat dalam peningkatan produksi tomat. R. solanacearum memiliki
kisaran inang yang sangat luas yaitu meliputi lebih dari 200 spesies tanaman dan gulma dalam 33 famili
(McCarter. 1996). Beberapa di antara inang tersebut adalah tomat, kentang, kacang tanah, cabai,
terong, tembakau, pisang, tanaman hias dan gulma (Kelman. 1953). Di samping kisaran inangnya yang luas,
R. solanacearum juga memiliki kemampuan bertahan hidup dalam waktu lama di dalam tanah yang
menyebabkan patogen tersebut sulit dikendalikan. Penurunan hasil akibat serangan R. solanacearum
pada tomat berkisar antara 5 – 100% (Puslitbang Hortikultura. 1994), tergantung varietas dan cara
pengelolaan tanaman.
Pengendalian yang telah dilakukan terhadap penyakit layu bakteri ini antara lain adalah
penggunaan varietas tahan, pergiliran tanaman, dan penggunaan antibiotika, namun hasilnya belum
memuaskan (Semangun. 1989). Oleh karena itu, penggunaan agens hayati diharapkan dapat menjadi salah
satu alternatif dalam pengendalian penyakit tersebut. Menurut Nesmith & Jenkins (1985) bakteri
fluorescens Pseudomonas spp., Bacillus sp., dan cendawan Trichoderma sp. dapat menghambat
pertumbuhan R. solanacearum di media agar. Selanjutnya Anuratha & Gnanamanickam (1990) melaporkan
bahwa aplikasi P. fluorescens strain Pfcp dan Bacillus spp. dapat menekan penyakit layu oleh R.
solanacearum, sehingga persentase tomat yang bertahan hidup dapat mencapai 95% pada percobaan
rumah kaca dan 36% pada percobaan di lapangan. Sementara itu Mulya (1997) melaporkan bahwa daya
proteksi P. fluorescens PfG32 terhadap R. solanacearum pada tomat dapat mencapai 49,06%.
Salah satu pendekatan untuk meningkatkan keefektifan agens hayati adalah dengan aplikasi
campuran satu agens hayati dengan agens hayati lainnya yang mempunyai potensi biokontrol superior.
Sebagai contoh aplikasi campuran P. fluorescens strain 2-79 dengan 13-79 dapat menekan intensitas
penyakit take-all pada gandum sampai 50%, lebih tinggi dibanding dengan strain 2-79 yang diaplikasikan
secara tunggal. Demikian pula dengan aplikasi campuran P. fluorescens dengan Trichoderma spp.
penekanannya terhadap penyakit take-all pada gandum lebih tinggi dibanding dengan apabila
diaplikasikan sendiri-sendiri (Duffy et al. 1996).
Tujuan
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan P. fluorescens GI-19, B. subtilis, T.
viride dan kombinasinya dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri R. solanacearum pada
tomat di lapangan
2
3. Nurjanani : Kajian Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia Solanacearum) Menggunakan Agens Hayati Pada Tanaman Tomat
II. BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di kebun petani, Desa Bulu Ballea, Kecamatan Tinggi Moncong
Kabupaten Gowa pada bulan April sampai Agustus 2009. Rancangan yang digunakan adalah acak
kelompok yang terdiri dari delapan perlakuan yaitu: P0 = kontrol (tanpa agens hayati), P1 = P.
fluorescens GI-19, P2 = B. subtilis, P3 = T. viride, P4= P. fluorescens GI-19 + B. subtilis, P5 =
fluorescens GI-19 + T. viride, P6 = B. subtilis + T. viride, dan P7 = Streptomisin Sulfat 20% (Agrept 20
WP). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali.
Aplikasi Agens Hayati
P. fluorescens GI-19, B. subtilis dan Streptomisin Sulfat 20% diaplikasikan dengan pencelupan
benih ke dalam suspensi bahan-bahan tersebut yang telah dicampur dengan 1 ml carboxymethyl
cellulose (CMC) atau penyiraman bibit pada 5 hari sebelum tanam. Sementara itu T. viride diaplikasikan
dengan cara pencampuran benih yang telah diberi 1 ml CMC dengan biakan cendawan tersebut (2,5 g
biakan/100 biji benih) dan infestasi biakan cendawan tersebut sebanyak 1 g/kantung medium tumbuh
bibit tomat 5 hari sebelum tanam. Pada perlakuan pencampuran agens hayati, masing-masing
diaplikasikan setengah dari jumlah agens hayati yang diaplikasikan pada perlakuan tunggal.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap intensitas penyakit layu. Perkembangan intensitas penyakit
diamati setiap minggu sejak munculnya gejala. Intensitas penyakit dihitung dengan menggunakan rumus
(Gunawan. 1989):
A1n1 + a2n2 + .......... + annn
IP = ------------------------------------- x 100%
5 x total tanaman
IP = Intensitas penyakit
a = nilai skoring tiap tanaman
n = jumlah tanaman dengan nilai skoring tertentu.
Kategori serangan berdasarkan nilai skoring yang ditentukan sebagai berikut:
0 = tidak ada serangan
1 = satu daun layu
2 = dua atau tiga daun layu
3 = semua daun layu kecuali daun ke dua dan ke tiga termuda
4 = semua daun layu
5 = tanaman mati
Keefektifan relatif pengendalian (KRP) agens hayati dan Streptomisin Sulfat 20% terhadap
bakteri layu (R. solanacearum) dihitung menggunakan rumus (Unterstenhofer. 1976) sebagai berikut:
IS Ko - IS P
KRP = ---------------- X 100%
IS Ko
KRP = Keefektifan relatif pengendalian
IS Ko = Intensitas serangan pada petak kontrol
IS P = Intensitas serangan pada petak perlakuan.
3
4. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.4.,2011
Analisis Data
Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati dilakukan analisis sidik ragam
dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) proram. Selanjutnya untuk mengetahui
perbedaan nilai tengah antar perlakuan dilakukan uji Duncan pada alfa = 0,05.
Kriteria keefektifan pengendalian tiap perlakuan ditentukan sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria keefektifan relatif pengendalian
Nilai keefektifan relatif
Kategori keefektifan
Pengendalian (KRP)
KRP ≥ 80% Sangat efektif
60%≤ KRP < 80% Efektif
40% ≤ KRP < 60% Agak efektif
20% ≤ KRP < 40% Kurang efektif
KRP < 20% Tidak efektif
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis sidik ragam terhadap intensitas penyakit layu bakteri R. solanacearum diketahui
bahwa jenis agens hayati memberikan pengaruh nyata. Intensitas penyakit layu pada seluruh petak
percobaan terus meningkat sejak 2 MST, namun dengan laju yang bervariasi dipengaruhi oleh macam
perlakuan.
Data Tabel 2 menunjukkan bahwa semua perlakuan secara nyata dapat menekan perkembangan
penyakit layu, namun dengan tingkat yang bervariasi. Berdasarkan intensitas penyakit pada pengamatan
terakhir (6 MST) diketahui bahwa dalam menekan terjadinya layu dengan aplikasi tunggal B. subtilis
cenderung lebih baik dibanding P. fluorescens GI-19 dan T. viride serta secara nyata lebih baik
daripada Streptomisin Sulfat 20%. Sementara itu dalam aplikasi campuran B. subrilis + P. fluorescens
GI-19 keefektifannya dalam menekan terjadinya layu cenderung meningkat dibanding aplikasi B. subtilis
atau P. fluorescens GI-19 secara tunggal. Demikian pula aplikasi campuran P. fluorescens GI-19 + T.
viride nyata lebih baik daripada aplikasi P. fluorescens GI-19 atau T. viride secara tunggal. Namun
aplikasi campuran B. subtilis + T. viride keefektifannya dalam menekan layu bakteri cenderung menurun
dibanding B. subtilis atau sama dengan aplikasi T. viride yang diaplikasikan secara tunggal. Peningkatan
penekanan terhadap penyakit layu pada perlakuan campuran agens hayati disebabkan di dalam tanah,
selain R. solanacearum juga terdapat berbagai jenis nematoda terutama nematoda puru akar
(Meloidogyne sp.). Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa serangan nematoda dapat memicu
terjadinya layu oleh R. solanacearum. Semakin banyak populasi nematoda, maka semakin tinggi intensitas
penyakit layu bakteri (Mustika. 1992). Dengan tertekannya nematoda puru akar maka infeksi R.
solanacearum juga dapat berkurang. Penekanan populasi M. incognita oleh T. viride telah dilaporkan oleh
Adnan et al. (1998).
Bacillus spp. telah dilaporkan termasuk kelompok bakteri penghasil antibiotik yang potensial
sebagai agens hayati. Kelompok bakteri ini pada umumnya diaplikasikan pada benih dan telah dilaporkan
selain menekan berbagai patogen tular tanah seperti F. oxysporum, Rhizoctonia solani, Botrytis cinera,
Gaeumannomyces graminis var. triciti dan Pythium sp., juga memproduksi hormon yang dapat memacu
pertumbuhan tanaman (Kim et al. 1997).
4
5. Nurjanani : Kajian Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia Solanacearum) Menggunakan Agens Hayati Pada Tanaman Tomat
Tabel 2. Pengaruh jenis agens hayati dan Streptomisin Sulfat 20% terhadap
intensitas penyakit layu bakteri (R. solanacearum) pada tomat
Minggu setelah tanam (MST)1)
Perlakuan
2 3 4 5 6
Kontrol 3,15a 9,45a 20,37a 30,74a 37,04a
P. fluorescens GI-19 0,74b 3,33b 8,52b 12,96b 15,74bc
B. subtilis 0,00b 1,11b 4,26cde 8,89bc 11,18bc
T. viride 0,37b 1,67b 6,85bc 12,23b 14,07bc
P. fluorescens GI-19 + 0,15b 1,29b 3,89de 6,66c 7,78d
B. subtilis
P. fluorescens GI-19 + 0,37b 1,29b 3,52e 6,85c 8,70d
T. viride
B. subtilis + T. viride 0,37b 1,67b 5,37bcd 9,99b 12,41bc
Streptomisin Sulfat 20% 0,74b 2,04b 5,93bcd 13,89b 17,78b
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% berdasarkan uji Duncan
1
) Data diuji setelah ditransformasi ke Arcsin Akar x
Keefektifan pengendalian agens hayati dan kombinasinya serta Sreptomisin Sulfat 20% cukup
bervariasi (Tabel 3). P. fluorescens GI-19 tergolong agak efektif menekan R. solanacearum dan
keefektifannya sama dengan Streptomisin Sulfat 20%, sedangkan campuran P. fluorescens GI-19 + B.
subtilis, P. fluorescens GI-19 + T. viride, B. subtilis + T. viride, dan B. subtilis secara tunggal, tergolong
efektif dalam menekan R. solanacearum.
Jenis agens hayati dan Streptomisin Sulfat 20% menunjukkan pengaruh yang bervariasi
terhadap total bobot buah tomat (Tabel 4) dan bobot 10 buah tomat (Tabel 4). Berdasarkan uji Duncan
pada taraf 5%, semua jenis agens hayati berpengaruh nyata lebih baik terhadap produksi buah tomat
dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan Streptomisin Sulfat 20%. Total bobot buah tomat teringgi
diperoleh dari petak perlakuan aplikasi campuran P. fluorescens GI-19 + B. subtilis, dan campuran P.
fluorescens GI-19 + T. viride, namun total produksi pada perlakuan campuran P. fluorescens GI-19 + T.
viride tidak berbeda nyata dengan perlakuan agens hayati lainnya. Demikian pula berat 10 buah tomat
juga tertinggi diperoleh dari petak perlakuan aplikasi campuran P. fluorescens GI-19 + B. subtilis
meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan campuran P. fluorescens GI-19 + T. viride, P.
fluorescens GI-19 dan pencampuran B. subtilis + T. viride, namun berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya.
5
6. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.4.,2011
Tabel 3. Keefektifan relatif (%) pengendalian agens hayati dan Streptomisin Sulfat 20%
terhadap intensitas penyakit layu bakteri (R. solanacearum) pada tomat
Minggu setelah tanam (MST)1)
Perlakuan
2 3 4 5 6
P. fluorescens GI-19 73,38b 64,73a 53,86b 55,68b 56,91bc
B. subtilis 100,00a 89,53a 77,47ab 69,19ab 68,80ab
T. viride 86,69ab 82,30a 62,46ab 60,24b 60,25bc
P. fluorescens GI-19 + 94,72ab 87,13a 79,73ab 77,38a 78,75a
B. subtilis
P. fluorescens GI-19 + 86,69ab 87,13a 81,34a 76,26a 75,67a
T. viride
B. subtilis + T. viride 86,69ab 86,69a 73,15ab 67,30ab 66,38ab
Streptomisin Sulfat 20% 77,18ab 77,18a 70,17ab 52,63b 50,92c
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% berdasarkan uji Duncan
1
) Data diuji setelah ditransformasi ke Arcsin Akar x
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot 10 buah tomat pada semua perlakuan nyata lebih
tinggi daripada kontrol dan cenderung lebih tinggi daripada perlakuan Streptomisin Sulfat 20%. Hal ini
diduga disebabkan agens hayati selain dapat menghasilkan antibiotik yang dapat menekan pertumbuhan
patogen, juga diduga menghasilkan zat yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman termasuk ukuran
buah, sehingga berat buah juga meningkat. Campbell (1989) mengemukakan bahwa Pseudomonas sp. Yang
diaplikasikan pada benih dapat meningkatkan berat kering tanaman. Selanjutnya Pierson et al. (1994)
melaporkan bahwa beberapa isolat P. fluorescens yang diaplikasikan pada benih gandum untuk
pengendalian penyakit take-all terbukti dapat meningkatkan tinggi tanaman dan hasilnya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Semua agens hayati dan Streptomisin Sulfat 20% yang diuji dapat menekan perkembangan
intensitas penyakit layu bakteri pada tomat.
2. Perlakuan yang efektif mengendalikan penyakit layu bakteri adalah campuran P. fluorescens GI-
19 + B. subtilis, P. fluorescens GI-19 + T. viride, B. subtilis + T. viride, aplikasi tunggal B.
subtilis, dan T. viride; sedang yang agak efektif adalah P. fluorescens dan Streptomisin Sulfat
20%.
3. Agens hayati yang diaplikasikan bersama dengan agens hayati lainnya tidak selalu lebih efektif
daripada agens hayati yang diaplikasikan secara tunggl.
6
7. Nurjanani : Kajian Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia Solanacearum) Menggunakan Agens Hayati Pada Tanaman Tomat
Tabel 4. Rataan bobot buah dan bobot 10 buah dalam berbagai Perlakuan
jenis agens hayati dan Streptomisin Sulfat 20%
Respon yang diamati *)
Perlakuan
Total berat buah (kg) Berat 10 buah (kg)
Kontrol 0,60c 0,53b
P. fluorescens GI-19 1,22b 0,83ab
B. subtilis 1,31b 0,74bc
T. viride 1,28b 0,75bc
P. fluorescens GI-19 + 1,74a 0,92a
B. subtilis
P. fluorescens GI-19 + 1,44ab 0,84ab
T. viride
B. subtilis + T. viride 1,18b 0,80abc
Streptomisin Sulfat 20% 0,83c 0,69c
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% berdasarkan uji Duncan
*)
kg per 12 tanaman
Saran
Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tentang mekanisme penekanan B. subtilis dan T. viride
terhadap R. solanacearum dan patogen lainnya yang berassosiasi dengan R. solanacearum tersebut pada
tomat. Demikian pula pengkajian aspek ekologi P. fluorescens GI-19, dan T. viride, serta formulasi yang
tepat untuk memudahkan penggunaannya oleh petani. Pengendalian patogen lainnya terutama
Phytophthora infestans baik di petak pengkajian maupun di petak produksi juga perlu mendapat
perhatian.
V. DAFTAR PUSTAKA
Adnam AM, Suseno R, Tjitrosoma S, Hadi S, Wardojo S, Rambe A. 1998. Pengaruh infestasi ganda
Meloidogyne incognita dan cendawah pengkoloni nematoda puru akar pada pertumbuhan kedelai.
Bul HPT 10 (1): 29-37.
Anuratha CS, Gnanamanickam. 1990. Biological control of bacterial wilt caused by Pseudodmonas
solanacearum in India wit antagonistic bacteria. J. Plant an Soil 124: 109-116.
Campbell R. 1989. Biolocical control of microbial plant pathogens. Cambridge Univ. Pr: 137-144.
Duffy BK, Simon A, Weller DM. 1996. Combination of Trichoderma koningii with fluorescens
pseudomonas for control of take-all on wheat. Phytopathology 86: 188-194.
7
8. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.4.,2011
Gunawan OS. 1989. Pengendalian penyakit layu bakteri Pseudomonas solanacearum EF SMITH pada
tanaman tomat dengan Agrimisina 15/1,5 WP di Dago Bandung. Bul Hort 17(3): 41-44.
Kelman A. 1953. The bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. A. Literature Rev and
Bibliography. NC Agr Exp Stn Tech Bull: 99.
Kim DS, Weller DM, Cook RJ. 1977. Population dynamics of Bacillus sp. L324-92R12 and Pseudomonas
fluorescens 2-79 RN10 in the rhizosphere of wheat. Phytopathol 87 (5): 559-567.
McCarter SM. 1996. Bacterial wilt. Di dalam: Jones JB, Stall RE, Zotter TA, editor. Compendium of
tomato diseases. Am Phytopathol Soc. APS Pr: 28-29.
Mulya K. 1997. Penekanan perkembangan penyakit layu bakteri tomat oleh Pseudomonas fluorescens. J
Hort 7(2): 685-691.
Mustika I. 1992. Plant parasitic nematodes associated with ginger (Zingiber officinale Rosch) in
North Sumatra. J Spice medicinal crops 1: 38-41.
Nesmith WC, Jenkins SF Jr. 1985. Influence of an antagonist and controlled matric potential on the
survival of Pseudomonas solanacearum in tour North Carolina Soils. Phytopathology 75: 1182-
1187.
Puslitbang Hortikultura. 2004. Hasil-hasil penelitian hortikultura Pelita V. Jakarta: Badan Litbang
Pertanian:81.
Semangun H. 1989. Penyakit-penyakit taaman hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada Univ Pr: 251-
256.
Unterstenhofer G. 1976. The basic principles of crop protection field trials. Liverkusen:
Pflanzenshutz-Nachricten. Bayer AG.
8