slide ini di buat dalam perkuliahan hukum kontrak atau contract drafting, pada masa perkuliahan semester 7 tahun 2011, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jurusan HUKUM BISNIS SYARIAH
Legal Writing – Cont’d
Mulai dengan menulis untuk kepentingan hukum (penulisan hukum)
Penting sekali untuk praktisi hukum seperti advokat, hakim, in-house lawyers, jaksa, dll
Tujuan : Untuk menginformasikan, membujuk, mencatat suatu hal penting
Untuk hakim, jika ditulis secara tidak baik atau bahkan salah maka pesan yang mau disampaikan tidak akan tercapai. Jika ini adalah suatu putusan pengadilan, maka putusan tersebut tentu berisiko dibantah lebih lanjut (upaya hukum seperti banding, kasasi, dll)
Untuk advokat, jika salah menulis bahasa hukum maka bisa kalah di suatu kasus, kehilangan klien, dokumen menjadi ambigu tidak jelas (berakibat sengketa), malpraktik, dll
Terdapat tiga tipe :
Untuk menginformasikan, misalnya surat kepada klien, surat kepada pihak ketiga, nasihat hukum dan memo. Surat termasuk komunikasi elektronik seperti surat elektronik dan WhatsApp misalnya
Untuk membujuk, misalnya gugatan, memori banding, memori kasasi
Untuk mencatat atau mendokumentasikan, misalnya akta, kontrak, wasiat, resolusi rapat umum pemegang saham, dll
slide ini di buat dalam perkuliahan hukum kontrak atau contract drafting, pada masa perkuliahan semester 7 tahun 2011, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jurusan HUKUM BISNIS SYARIAH
Legal Writing – Cont’d
Mulai dengan menulis untuk kepentingan hukum (penulisan hukum)
Penting sekali untuk praktisi hukum seperti advokat, hakim, in-house lawyers, jaksa, dll
Tujuan : Untuk menginformasikan, membujuk, mencatat suatu hal penting
Untuk hakim, jika ditulis secara tidak baik atau bahkan salah maka pesan yang mau disampaikan tidak akan tercapai. Jika ini adalah suatu putusan pengadilan, maka putusan tersebut tentu berisiko dibantah lebih lanjut (upaya hukum seperti banding, kasasi, dll)
Untuk advokat, jika salah menulis bahasa hukum maka bisa kalah di suatu kasus, kehilangan klien, dokumen menjadi ambigu tidak jelas (berakibat sengketa), malpraktik, dll
Terdapat tiga tipe :
Untuk menginformasikan, misalnya surat kepada klien, surat kepada pihak ketiga, nasihat hukum dan memo. Surat termasuk komunikasi elektronik seperti surat elektronik dan WhatsApp misalnya
Untuk membujuk, misalnya gugatan, memori banding, memori kasasi
Untuk mencatat atau mendokumentasikan, misalnya akta, kontrak, wasiat, resolusi rapat umum pemegang saham, dll
Mata kuliah wajib yang diberikan tidak hanya untuk mahasiswa hukum tetapi juga bagi mahasiswa di bidang ekonomi dengan tujuan mempertajam pengetahuan hukum yang hadir dalam dunia ekonomi dan bisnis
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan
DI SUSUN OLEH :
NAMA : WIDYIA ASTUTI
NPM : 1434021395
KELAS : KARYAWAN (SABTU)
NAMA DOSEN : DR. EDDY SANUSI, SE, MM
NAMA PENGARANG : DR. H. SUDIARTO, SH, M.HUM
Mata kuliah wajib yang diberikan tidak hanya untuk mahasiswa hukum tetapi juga bagi mahasiswa di bidang ekonomi dengan tujuan mempertajam pengetahuan hukum yang hadir dalam dunia ekonomi dan bisnis
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan
DI SUSUN OLEH :
NAMA : WIDYIA ASTUTI
NPM : 1434021395
KELAS : KARYAWAN (SABTU)
NAMA DOSEN : DR. EDDY SANUSI, SE, MM
NAMA PENGARANG : DR. H. SUDIARTO, SH, M.HUM
Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, alternatif resolusi sengketa atau resolusi sen...Hayyu Safitri
Â
Quiz Minggu 2
Jawablah Quiz ini dengan baik dan benar:
Jelaskan menurut pakar dan atau Undang-unndang yang berlaku tentang:
1. Resolusi Sengketa secara umum
2. Resolusi Sengketa Ekonomi
3. Dan hal-hal lain yang berhubungan dari materi minggu 2 berdasarkan RPS
Selamat menjawab Quiz.
Similar to 2, hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019 (20)
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
Â
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Â
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
1. Hukum Bisnis dan Lingkungan
Tugas Minggu ke – 2
Riski Ariyani 43218010006
Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, CMA, MM, MPM
Alternatif Resolusi Sengketa atau Resolusi Sengketa
Ekonomi
Dalam KBBI, Sengketa berarti pertentangan atau konflik diantara orang
orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek
permasalahan. Sengketa ekonomi adalah sengketa yang timbul diantara
para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau
perdagangan. mekanisme pennyelesaian sengketa dapat melalui
negosiasi/perundingan, enquiry (penyelidikan), mediasi, konsultasi, atau
arbitrasi.
1)Negosiasi/Perundingan adalah komunikasi dua arah dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai
kepentingan yang sama atau berbeda.
2)Enquiry (penyelidikan) adalah merupakan kegiatan untuk mencari fakta
yang dilakukan oleh pihak ketiga
3)MediasiMediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediatoryang
tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
4)Konsiliasi adalah Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang
berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan
tersebut. Dalam pengertian lain Konsolidasi (conciliation), dapat pula diartikan
sebagai pendamai atau lembaga pendamai.
2. 5)Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana
para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral,
yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.Istilah arbitrase berasal dari
kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif
Yang pertama-tama perlu ditekankan adalah bahwa istilah “penyelesaian
diluar pengadilan” tidak sama dengan istilah ADR, meskipun terdapat
kesamaan dimana suatu perkara pelanggaran pidana tidak diajukan ke
pengadilan.[4] Apabila ADR merupakan lembaga yang diakui secara hukum
sebagai lembaga penyelesai perkara yang sah dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan melalui mekanisme mediasi, arbitrase, negosiasi atau
rekonsiliasi, tidak demikian halnya dengan penyelesaian perkara di luar
pengadilan.
Untuk yang kedua ini, umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan
beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu
kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki
wewenang melakukan diskresi/pengenyampingan perkara pidana yang
dilakukan oleh pihak tertentu, sekaligus (tidak dalam semua hal) dilanjutkan
dengan permintaan kepada pelaku/pelanggar agar mengakomodasi kerugian
korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam
perkara pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan utama dari penggunaan ADR dalam menyelesaikan kasus-kasus
pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan
kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol
adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak
pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan/disepakati dengan
pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan
3. bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan
berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim.
Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut[5]:
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan,
baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai
ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal
80 KUHP)
3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”,
bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda
4. 4. pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di
bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai
ultimum remedium
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba
ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk
melakukan diskresi
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses
ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang
hukum yang dimilikinya
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran
hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat
Sedangkan kelemahan dari penggunaan sistem ini adalah, dapatnya menjadi
sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya
apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum
juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku
kejahatan atau pelanggar aturan. Terakhir, juga tidak semua kalangan setuju
bahwa ADR dalam konteks pidana pada dasarnya sederajat atau ekuivalen
satu sama lain.
4. Salahsatu persoalan penting yang menjadi pertanyaan adalah, bagimana
hubungan antara ADR dan Restorative Justice (selanjutnya disebut dengan
RJ). RJ merupakan salahsatu model ADR dimana lebih ditujukan pada
kejahatan terhadap sesama individu/ anggota masyarakat daripada kejahatan
terhadap negara. Dalam RJ, pihak-pihak yang terlibat lebih diutamakan untuk
menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian
hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada para pihak yang terlibat untuk
menentukan solusi, membangun rekonsiliasi demikian pula membangun
hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Hubungan baik ini berguna
untuk, salahsatunya, menekan residivisme[6]. Dalam hal ini, korban
memainkan peran yang utama dalam proses penyelesaian masalah dan
dapat mengajukan tuntutan sebagai kompensasi kepada pelaku[7].
Singkatnya, RJ menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan
pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama
antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat.
Posisi Dalam Sistem Hukum
Pemerintah, khususnya melalui Presiden Megawati Soekarnoputri, menurut
Gayus Lumbuun, sesungguhnya telah memperkenalkan ADR dalam sistem
hukum pidana, yakni melalui Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian
Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham. Inpres ini ditujukan kepada beberapa menteri/kepala
lembaga pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional[8].
Dalam diktum pertama angka 4 Inpres No. 8 Tahun 2002 tersebut dinyatakan
bahwa, “dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang
terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang
5. Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau
penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan
dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang
pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Masih menurut Gayus Lumbuun, sebagai suatu kebijakan, maka kelemahan
dari kebijakan release and discharge (R &D) ini terlihat dari kurang kuatnya
landasan hukum pelaksanaan R & D itu sendiri. Seharusnya, kebijakan R & D
dituangkan dalam undang-undang dan diatur secara komprehensif menjadi
suatu bentuk alternatif penyelesaian perkara-perkara non-pidana. Betapapun
demikian, secara substantif, konsep R & D merupakan langkah maju dalam
sistem hukum pidana yang mengarah kepada alternative dispute resolution
system.
Terkait dengan kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan
pidana Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis
mengenai Court Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia pada tahun 2003, dalam salahsatu kesimpulan terakhirnya antara
lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai salahsatu bentuk ADR, seyogyanya
bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang
menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan
dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara
pidana yang ringan.
Hal ini penting untuk ditekankan mengingat konstruksi hukum pidana
Indonesia sebenarnya tidak mengenal model penyelesaian perkara pidana
melalui ADR. Sebagaimana dapat terlihat, dalam hal perkara perselisihan
yang termasuk bidang hukum non-hukum pidana sekalipun, model ADR
ditempatkan sebagai alternatif terakhir.
Selanjutnya, di tingkat peradilan, ADR tidak terlepas dari pasal 130 HIR/154
Rbg yang memberi dasar hukum adanya Court Annexed Mediation (lembaga
6. mediasi di pengadilan). Karena pasal 130 HIR/154 Rbg kurang jelas baik
prosedur, tahapan dan acaranya, maka Mahkamah Agung RI pada tanggal 11
September 2003 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02
Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma yang terdiri dari
18 pasal itu antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa institusionalisasi
proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di
samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif)[9]. Maka,
hakim dalam hal ini berperan aktif untuk mendamaikan para pihak yang
bersengketa dalam waktu 22 hari.
Di Mahkamah Agung dewasa ini, telah sejak beberapa lama dibentuk Pusat
Mediasi Nasional yang berfungsi untuk menyebarluaskan kemampuan (skill)
khususnya bagi para hakim dalam rangka melakukan mediasi antar para
pihak dalam kasus yang memungkinkan hal itu terjadi. Selanjutnya, dorongan
melakukan mediasi terkait penyelesaian kasus juga dilakukan oleh berbagai
pihak di berbagai tingkatan kewilayahan. Salahsatunya adalah yang hingga
kini ditumbuhkembangkan LP3S melalui program Balai Mediasi Desa di Nusa
Tenggara Barat[10].
Secara yuridis pula, menurut Artidjo Alkostar, ADR diluar pengadilan telah
diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa
lembaga pendorong metode ADR, antara lain BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia) yang memfokuskan diri pada dunia perdagangan dan
ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi (UU No. 18 Tahun 1999 jo
UU No.m 29 Tahun 2000 jo PP No. 29 Tahun 2000) dengan yurisdiksi bidang
keperdataan. Begitu pula terdapat ADR-ADR yang lain, seperti menyangkut
masalah hak cipta dan karya intelektual, perburuhan, persaingan usaha,
konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain.
Di pihak lain, terdapat pula rencana Pemerintah untuk melakukan
amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
7. Acara Pidana. Rencana ini telah tertunda sekian lama, yang salahsatu
penyebabnya adalah adanya debat tak berkesudahan antara ahli hukum yang
berperspektif legal-konvensional dan yang berperspektif legal-sosiologis.
Khususnya diantara mereka yang berperspektif legal sosiologis, telah cukup
lama terpengaruh oleh model berpikir liberal dalam rangka proses peradilan
pidana, yang kemudian banyak dikenal dengan due process liberal model.
Adapun beberapa prinsip utama dari model berpikir ini sebagai berikut [11]:
1. Titik berat adalah pada kualitas kasus, bukan kuantitasnya. Sumber
daya perlu dikerahkan guna mengungkap kasus secara tuntas dan,
olehkarenanya, tidak perlu mengejar jumlah
2. Amat memelihara hak-hak individual dan juga memperhatikan situasi
individual tersangka. Selanjutnya, model ini juga menekankan
pentingnya memperhatikan hak-hak korban.
3. Jika hukum dianggap memperburuk situasi tersangka serta korban,
demikian pula diprediksikan tidak akan memperbaiki hubungan dengan
korban, maka sebaiknya tidak atau jangan dipergunakan
Potensi Pengembangan
Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa kasus-kasus hukum yang memiliki
preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut:
Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan
negara. Atau, dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk
kategori delik aduan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu,
ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah
masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang
mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya.
Kedua, tindakan pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai
tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak
langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk tindak pidana di bidang
8. ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara
dalam kasus-kasus korupsi[12].
Dalam kaitan itu, maka tak terhindarkan apabila pemanfaatan ADR dalam
perspektif ini lebih dirasakan pentingnya untuk dikembangkan oleh kepolisian
ketimbang kejaksaan ataupun pengadilan, mengingat peran kepolisian
sebagai gerbang awal dari sistem peradilan pidana. Dapat diperkirakan
bahwa suatu kasus yang telah dimulai secara ADR, katakanlah demikian,
akan lebih mungkin untuk diteruskan dan berakhir dengan cara ADR pula
ketimbang ADR dimunculkan di tengah (ketika perkara ditangani kejaksaan)
atau diakhir proses peradilan pidana (maksudnya diputus oleh pengadilan).
Dalam konteks kepolisian tersebut, maka isyunya adalah sebagai berikut:
Terkait sistem peradilan pidana Indonesia, maka pada dasarnya proses yang
harus dilalui dan berkas yang perlu dilengkapi terkait perkara besar atau kecil,
sebenarnya sama saja. Dalam kaitan itu, perkara kecil seyogyanya
diselesaikan dengan cara lain guna menghindari tumpukan perkara
(congestion). Adapun yang dimaksud dengan perkara kecil atau ringan
mencakup sebagai berikut:
– Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP
– Tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp
7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
– Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP
sebagai berikut:
– Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan
– Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia
– Pasal 364 tentang pencurian ringan
9. – Pasal 373 tentang penggelapan ringan
– Pasal 379 tentang penipuan ringan
– Pasal 482 tentang penadahan ringan
– Pasal 315 tentang penghinaan ringan
Kembali pada perkara kecil atau ringan tersebut, maka masyarakat
(khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk
menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang
warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana. Kapasitas
itulah yang kita kenal dengan sebutan ”peradilan adat” atau village justice
(dorpsrechtspraak) yang pada dasarnya merupakan upaya penduduk secara
sukarela untuk menyelesaikan permasalahannya kepada suatu badan yang
diketuai oleh kepala desa, tetua atau badan lain yang diakui dalam
masyarakat. Setiap masyarakat, diyakini bahkan oleh ahli seperti teer Haar
(1948) sebagai dimiliki oleh setiap masyarakat lokal dan dimanfaatkan untuk
menyelesaikan konflik atau sengketa yang mereka hadapi[13]. Sayangnya,
kapital sosial ini telah sejak beberapa lama tertinggal atau bahkan dilupakan
pengembangannya. Salahsatu yang tertinggal adalah lembaga sosial
Pecalang di Bali[14].
Kebijakan untuk tidak lekas-lekas membawa kasus yang kecil ke jalur
penyidikan, juga selaras dengan model kegiatan kepolisian ”perpolisian
komunitas” (terjemahan bebas dari community policing) yang dalam konteks
Polri dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari berbagai elemen yang
secara teoritik dianjurkan oleh community policing) saja yakni kemitraan
(partnership) dan pemecahan masalah (problem solving). Hal itu tercermin
dalam Surat Keputusan Kapolri no 737/X/2005[15]. Dengan kata lain, justru
dewasa ini hendak dipacu inisiatif maupun kemampuan masyarakat yang
dibantu kepolisian setempat guna mengupayakan terjadinya pemecahan
masalah terkait kasus-kasus lokal dan bersifat ringan.
10. Selain diskresi (sebagai suatu pengenyampingan hukum atas masalah
hukum) maupun ADR (penggunaan cara lain atas masalah hukum), maka
sebenarnya masih terdapat satu lagi mekanisme bernuansa ADR dalam
kepolisian. Mekanisme itu sering disebut dengan diversi (atau pembelokan
non-penal oleh) polisi atau police diversion[16]. Seperti juga dikresi dan ADR,
maka diversi polisi juga sebenarnya telah sering dilakukan namun kerap tidak
disadari oleh kepolisian sendiri. Adapun jenis-jenisnya mencakup mulai dari
pengabaian pidana atau pelanggaran yang telah terjadi (offence ignored),
pemberian peringatan secara informal (informal warning), pemberian
peringatan formal (formal warning), pemberitahuan bersifat pembatasan
(infringement notice) hingga perintah kepolisian untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu (public address)
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat
digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat
langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga
(mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional
maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat
ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik
maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak
dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata
dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of
fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi
teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual,
11. sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen
(construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum
(question of fact and law).
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) berbunyi:
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para
pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di
Pengadilan Negeri.”
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian
Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian
sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek
pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya
dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para
pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa
secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif
penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam
bukunya Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan
(litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan
(non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution
(ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian
sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
12. Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU
Arbitrase dan APS).
Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian masing-
masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:
a. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak
tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana
pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan
keperluan dan kebutuhan kliennya.
b. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui
proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas
dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
c. Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
d. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan
kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
e. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis
dan sesuai dengan bidang keahliannya
13. Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar
pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian
yang dilakukan di dalam pengadilan (litigasi). Kita ambil contoh mediasi. Dari
pasal tersebut kita ketahui bahwa mediasi itu adalah penyelesaian di luar
pengadilan, akan tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang
dilakukan di dalam pengadilan.
Rachmadi Usman, (Ibid, hal. vii-viii) mengatakan dengan diberlakukannya
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun
2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata
tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh
prosedur mediasi di pengadilan.
Anonim1.https://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/alternatif-penyelesaian-
sengketa-di-indonesia/ (diakses 20 March 2019, 4:14PM)
Anonim2.https://aliesaja.wordpress.com/2010/06/03/penyelesaian-sengketa-
ekonomi/ (diakses 20 March 2019, 4:20 PM)
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. 2013
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52897351a003f/litigasi-
dan-alternatif-penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan/
(diakses 20 March 2019, 4:32 PM)