1). Dokumen tersebut membahas tentang tingkat tutur bahasa Sasak pada masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna. Terdapat tiga tingkat tutur yaitu yang menunjukkan tingkat kesopanan tinggi, sedang, dan rendah.
2). Tingkat tutur berpengaruh terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat tersebut dan menentukan hubungan antar golongan sosial yang berbeda.
3). Penelitian ini
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara mengenai bahasa sudah pasti tidak akan ada habis-habisnya, karena setiap manusia
membutuhkan dan menggunakan bahasa dalam berinteraksi dengan sesamanya yang
digunakan sebagai alat berkomunikasi. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa bahasa sangat
berpengaruh dalam kehidupan manusia secara menyeluruh, baik dalam kehidupan sosial,
budaya, pendidikan, agama, dan sebagainya, karena bahasa bersifat universal, produktif,
dinamis, dan disertai dengan sifat lainnya.
Kenyataannya di Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang memiliki keanekaragaman
baik dari adat istiadat maupun dari bahasanya, yang biasa disebut sebagai bahasa daerah yang
merupakan ciri khas dari setiap daerah tersebut. Selain itu, bahasa yang setiap suku bangsa
tersebut memilki pelapisan sosial yang beragam menjadi ciri khas setiap suku bangsa
dipengaruhi oleh adat istiadat daerah setempat yang membentuk suatu sistem pelapisan atau
tingkat sosial. Pelapisan sosial yang beragam ini , sistemnya sesuai dengan sistem nilai dalam
menentukan kebudayaan dari para warga dan sukunya. Sehingga secara garis besar terdapat
sistem pelapisan sosial tradisional, sistem pelapisan sosial Indonesia, dan sistem pelapisan
sosial agama.
Khusus dalam sistem pelapisan sosial tradisional di Indonesia, pada umumnya merupakan
kedudukan yang askriptif yaitu kedudukan yang terutama berdasarkan kualitas pribadi.
Kualitas pribadi yang dinilai untuk menentukan kedudukan sosial adalah jenis kelamin,
senioritas, dan keturunan. Berkaitan dengan keturunan inilah timbul adanya tingkatan
pelapisan sosial dengan penyebutan yang berbeda-beda dikalangan suku bangsa di Indonesia.
Dikalangan suku Sasak sendiri juga terdapat pelapisan sosial yang dilihat dari garis
keturunannya khususnya pada masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten
Muna.
Untuk mengetahui golongan atau tingkatan sosial pada masyarakat Desa Bangunsari,
Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna. tersebut selain diketahui melalui gelar
kebangsawanan yang disandangnya, bisa juga diketahui melalui bahasa yang digunakannya.
Artinya setiap tingkatan sosial atau golongan memiliki tingkatan kebahasaan tersendiri
seperti masyarakat Jawa yang memiliki tingkatan kebahasaan yang dipakai oleh orang-orang
tertentu dalam golongannya yaitu yang biasa disebut krama dan ngoko. Begitu pula halnya
2. dengan masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna. yang memiliki
tingkat kebahasaan untuk menandakan pada golongan mana setiap orang berada. Tingkat
kebahasaan inilah yang disebut dengan tingkat tutur.
Tingkat tutur yang masih dipakai sampai saat ini oleh masyarakat Desa Bangunsari,
Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna. dilihat dari bentuk dan fungsinnya ada tiga bentuk
tingkat tutur yaitu 1). bentuk tingkat tutur Kaji-Meran (yang artinya Ya-Saya dalam bahasa
Indonesia) untuk menunjukkan tingkat kesopanan tinggi. 2). bentuk tingkat tutur Tiang-
nggih, untuk menujukkan tinggkat kesopanan sedang atau menengah. 3). bentuk tingkat tutur
Aoq-ape untuk menunjukkan tingkat kesopanan rendah. Berkenaan dengan tingkat tutur ini
pada masyarakat Sasak biasa dikenal dengan sebutan bahasa halus dan bahasa kasar.
Dijelaskan bahwa ketiga lapisan atau tingkat sosial masyarakat tersebut berpengaruh terhadap
kaidah pemakaian bahasa yang digunakan. Artinya bahwa golongan Perwangse berbeda
tingkat tutur yang digunakan dengan golongan Perbape, begitu juga sebaliknya. Golongan
yang berada ditingkat rendah harus menggunakan tingkat tutur yang bentuk dan fungsi
kesopanannya tinggi jika berbicara dengan golongan tinggi (Jajarkarang jika berbicara
dengan Perwangse atau Perbape harus menggunakan tingkat tutur yang lebih tinggi seperti
bentuk kaji-meran atau tiang-nggih). Sebaliknya golongan yang berada ditingkat tinggi harus
menggunakan tingkat tutur yang tingkat kesopanannya sedang atau bahkan rendah jika
berbicara dengan golongan rendah (Perwangse atau Perbape jika berbicara dengan
Jajarkarang harus menggunakan tingkat tutur yang lebih rendah seperti aoq-ape).
Namun pada penelitian ini bukanlah masalah gelar atau golongan yang disandang yang akan
dikaji, melainkan masalah bahasa yaitu mengenai bentuk dan fungsi ujaran atau tingkat tutur
seseorang dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya, dengan kata lain mengenai
pemakaian bahasa. Oleh karena itu, penelitian tentang “Tingkat Tutur Bahasa jawa Pada
Masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna.” sangat penting untuk
dilaksanakan, karena sepengetahuan penulis bahwa belum ada yang pernah melakukan
penelitian kebahasaan khususnya di Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten
Muna. lebih khusus lagi tentang tingkat tutur.
3. 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah bentuk tingkat tutur bahasa Sasak pada masyarakat Desa Bangunsari
Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna
2. Bagaimanakah fungsi tingkat tutur bahasa Sasak pada Masyarakat Desa Bangunsari,
Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan bentuk tingkat tutur bahasa Sasak pada masyarakat Desa
Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna.
2. Mendeskripsikan fungsi tingkat tutur bahasa jawa pada masyarakat Desa Bangunsari,
Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bahasa khususnya Desa
Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna.
2. Bahasa merupakan salah satu budaya nasional yang perlu untuk dijaga dan
dilestarikan.
3. Menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bahasa daerah yang merupakan salah satu ciri
khas dan kekayaan daerah khususnya masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan
Lasalepa, Kabupaten Muna.
4. Mempertahankan adat kesopanan dalam berbahasa yang sudah mulai pudar
khususnya pada masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten
Muna. dengan mempelajari tingkat tutur Bahasa jawa
4. BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Relevan
Penelitian tentang bahasa sudah banyak dilakukan apalagi tentang tingkat tutur yang biasa
dikenal dengan unggah ungguh atau undha usuk dalam bahasa Jawa, baik tingkat tutur bahasa
Jawa, Bali, Sunda serta Sasak dan sebagainya. Akan tetapi seperti yang telah diungkapkan
bahwa mengkaji tentang bahasa tidak akan ada habis-habisnya. Penelitian yang pernah
mengkaji hal yang serupa dengan penelitian ini adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh
Syahdan (1997) dan Sapiin (1993)
Selanjutnya adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh Syamsinas Jafar dan Syahbuddin
(2004) tentang Bahasa dan Identitas Sosial (Kajian Tingkat Tutur Bahasa Bima), mengkaji
bentuk, fungsi, dan makna tingkat tutur bahasa Bima. Bahasa Bima memiliki dua bentuk
tingkat tutur yang terdiri atas bentuk dalam ragam biasa dan ragam tinggi. Dilihat dari
fungsinya, tingkat tutur bahasa Bima tediri atas fungsi dalam ragam biasa dan fungsi dalam
ragam tinggi. Ragam biasa berfungsi menyatakan persamaan usia, status, situasi yang tidak
formal, dan menciptakan jarak sosial kedekatan dan keakraban. Ragam tinggi berfungsi
menyatakan perbedaan usia, status, situasi formal, dan menciptakan jarak sosial tidak dekat
dan tidak akrab. Sedangkan makna dari tingkat tutur bahasa Bima ini memiliki makna
penghormatan yang tedapat pada pemakaian ragam tinggi, sedangkan nilai solidaritas
terdapat pada ragam biasa.
1). Ragam tutur bahasa jawayang menyatakan tingkat kesopanan rendah.
2). Ragam tutur bahasa jawa yang menyatakan tingkat kesopanan sedang.
3). Ragam tutur bahasa jawa yang menyatakan tingkat kesopanan tinggi.
Penelitian yang lain juga pernah dilakukan ole Ase (2006) skripsi yang berjudul “Pemakaian
Bahasa jawa Halus Berdasarkan Status Sosial Sebuah Studi Kasus Di Desa Bangunsari,
Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna.”, menerangkan bahwa pemakaian bahasa jawa ada
tiga tingkatan yaitu
(1) tingkat kesopanan tinggi, disebut tingkat Kaji-meran yang digunakan dikalangan
bangsawan (menak) pada situasi formal,
(2) tingkat kesopanan menengah, disebut tingkat Tiang-nggih yang dipergunakan oleh
kalangan Jajarkarang pada saat berbicara dengan kalangan bangsawan (menak), dan (3)
5. tingkat kesopanan rendah, yang disebut Aoq-ape yang dipergunakan oleh masyarakat biasa
(Jajarkarang). Selain itu pemakain bahasa Sasak halus ini juga dipakai pada acara sorong
serah pada adat perkawinan suku jawa. Pemakaian bahasa halus di desa Puyung masih
tergantung dari lawan bicaranya yan berarti dengan siapa ia berbicara seperti antara orang
muda dengan orang tua, yang statusnya lebih tinggi atau sesama bangsawan baik dalam
suasana formal maupun non formal. Dilihat dari hasil beberapa penelitian yang pernah
dilakukan seperti yang telah diterangkan di atas, memang sudah banyak yang telah meneliti
tentang tingkat tutur bahasa jawa, tetapi penulis masih merasa ada perbedaan yang perlu
dikaji lagi dalam permasalahan ini, seperti adanya kelompok Perbape yang tidak pernah
disinggung sebagai pemakai tingkat tutur bentuk kedua pada penelitian-penelitian
sebelumnya.
2.2 Kerangka Teori
2.2.1 Tingkat Tutur
Dalam KBBI (2002:1197) menyebutkan bahwa tingkat adalah susunan yang berlapis-lapis
atau berlenggek-lenggek seperti lenggek rumah, tumpuan pada tangga (jenjang); tinggi
rendah martabat (kedudukan, jabatan, kemajuan, peradaban, dsb); atau dengan kata lain
adalah tingkat yang menyatakan kualitas atau keadaan yang dipandang lebih tinggi atau lebih
rendah dalam hububgannya dengan titik tertentu. Sedangkan pengertian tutur adalah (masih
dalam KBBI, 2002:1231) kata; perkataan (yang diucapkan); kata yang diujarkan. Dengan
kata lain tutur yaitu perbuatan yang menyatakan keadaan psikologis pembicara karena
sesuatu atau perbuatan yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu, misal dalam
memperingatkan, bertanya dsb.
Jadi jika dirunut dari pengertian diatas tingkat tutur adalah lapisan-lapisan atau tingkatan
(jenjang) ujaran yang yang diucapkan pada keadaan yang lebih tinggi atau rendah dalam
hubungannya dengan pembicara atau lawan bicara.
Bandingkan dengan pengertian yang diungkapkan oleh Mahyuni dkk, (1992:5) yang
menerangkan bahwa tingkat tutur adalah variasi bahasa yang ditentukan oleh perbedaan sikap
sopan santun pembicara terhadap lawan bicara. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-
orang yang berbeda tingkat sosialnya ini termasuk variasi dialek sosial; lazim juga disebut
sosiolek (Nababan dalam Chaer dan Agustina, 2004:39).
Tingkat tutur bahasa jawa yang dimaksud oleh mahyuni dkk (1992:11) adalah (1) tingkat
tutur bahasa jawa yang memiliki tingkatan kesopanan tinggi, yang disebut Kaji-meran, (2)
tingkat tutur bahasa jawa yang memiliki tingkatan kesopanan menengah, yang disebut Tiang-
6. nggih, dan (3) tingkat tutur bahasa Sasak yang memiliki tingkatan kesopanan rendah, disebut
Aoq-ape. Dari ketiga tingkat tutur bahasa Sasak di atas, dua diantaranya tergolong tingkat
tutur bahasa Sasak halus yaitu tingkat tutur bentuk pertama dan kedua.
Sedangkan Rahardi (2001:51-53) dalam bukunya (Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode)
menyebutkan bahwa tingkat tutur itu adalah sistem kode dalam suatu masyarakat tutur. Kode
jenis ini faktor penentunya adalah relasi antara penutur dengan mitra tutur. Bila seorang
penutur bertutur dengan orang yang perlu untuk dihormati, maka pastilah penutur itu akan
menggunakan kode tutur yang memiliki makna hormat. Sebaliknya jika penutur berbicara
dengan seorang yang dianggap tidak perlu untuk dihormati, maka penutur sudah barang tentu
akan menggunakan kode tutur yang tidak hormat pula. Sistem tingkat tutur ini sering pula
disebut sebagai sebagai sistem undha usuk yang dapat dibedakan menjadi tingkat tutur
hormat dan tingkat tutur tidak hormat.
Seperti yang terjadi pada masyarakat Jawa, dalam pergaulan dipergunakan dua atau tiga
tingkat bahasa atau tutur yaitu Ngoko untuk sesama, Krama dan Krama Inggil untuk menyapa
mereka yang dianggap lebih tinggi, baik dalam usia maupun fungsi masyarakat
(Ciptoprawiro, 1986:25).
2.2.2 Bentuk Tingkat Tutur
Bentuk merupakan suatu susunan atau rangkaian yang mencakup pilihan kata, susunan
kalimat, jalannya irama, pikiran, perasaan yang terjelma di dalamnya dan membentuk satu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan sehingga terbentuknya suatu keindahan (Ali Syahbana
dalam Susilawati, 2005:11).
Secara umum sebenarnya bentuk tingkat tutur secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
bentuk yaitu bentuk hormat dan bentuk biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua
macam bentuk tingkat tutur ternyata bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat yang
lainnya (Rahardi, 2001:5).
Sedangkan mengenai bentuk tingkat tutur bahasa Sasak ini sendiri dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu basa biasa (tingkat Aoq-ape), basa madya (tingkat Tiang-nggih) , dan basa utama
(Tingkat Kaji-meran) seperti yang telah dijelaskan oleh Azhar (1996:52). Untuk lebih
7. jelasnya lihat contoh pada tabel berikut ini:
TABEL 1.
No Bahasa Indonesia Basa biasa Basa madya Basa utama
1. Mau gelem Puron Puron
2. Marah Nesu Nesu Menggah
3. Makan Mangan Medaran/Majengan Nede
4. Nama Aran Pasengan Asmo
5. Dipanggil Diatori Diulami Diulami
2.2.3 Fungsi Tingkat Tutur
Fungsi yang terdapat dalam KBBI (2002:322) adalah kegunaan suatu hal; penggunaan
bahasa untuk menampakkan hal ihwal yang bersangkutan dengan pribadi pembicara;
penggunaan bahasa untuk mengadakan atau memelihara kontak antara pembicara dan
pendengar; penggunaan bahasa untuk penyampaian informasi antara pembicara dengan
pendengar; kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat.
Sedangkan menurut Danandjaja dalam Badrun dkk, (1996:11) fungsi adalah kegunaan
seni dalam masyarakat yang menyebabkan masyarakat terlibat dalam karya seni. Yang
menjadi pembahasan dalam penelitian ini memang jelas adalah tentang bahasa, akan tetapi
disisi lain bahasa merupakan karya seni penuturnya, bahasa merupakan media penyampaian
pesan yang terkandung dalam seni itu.
Jadi secara umum fungsi tingkat tutur disini adalah berguna untuk memberikan
penghormatan kepada orang yang layak dihormati dan untuk menjaga kesopanan dalam
berkomunikasi dengan orang lain dalam masyarakat. Seperti yang telah diungkapkan Dally
dkk (2005:39) bahwa fungsi adalah jabatan pekerjaan yang dilakukan. Selain itu Fajri dan
Senja (298) juga menjelaskan bahwa fungsi adalah kegunaan suatu hal; daya guna.
2.2.4 Kelas atau Tingkat Sosial
Kelas sosial (social class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan
tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan,
kasta, dan sebagainya (Sumarsono, 2007:43). Kelas sosial yang dilihat di sini adalah kasta,
karena kasta memang dianggap sejenis kelas sosial.
8. Sedangkan Milroy (dalam Mahsun, 2007:238) menjelaskan kelas sosial adalah kelompok
orang yang mempunyai kemiripan pekerjaan dan pendapatan serta sebagai konsekuensinya
mereka mempunyai kemiripan gaya hidup dan keyakinan.
Kaitan bahasa dengan kelas atau tingkat sosial ini adalah seperti yang terjadi pada masyarakat
Bali yang pada umumnya yang mengenal lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial (kelas
atau tingkat sosial) dalam bentuk kasta.
9. BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
3.1.1 Jenis Data
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu mendeskripsikan bentuk dan fungsi pemakaian
tingkat tutur bahasa jawa pada masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa,
Kabupaten Muna.
3.1.2 Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data kebahasaan yang bersumber dari informan, yang
diambil dari penutur asli bahasa jawa yang berada di Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa,
Kabupaten Muna.
Data-data yang disaring dan dianalisis diambil dari informan yang dianggap refresentatif dan
akurat.
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi adalah subjek penelitian (Arikunto, 2006:130). Dalam hubungannya dengan
penelitian ini, yang menjadi populasinya adalah seluruh masyarakat Desa Bangunsari,
Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2006:131). Sampel
dalam penelitian ini adalah wakil-wakil dari populasi tadi yaitu wakil dari masyarakat tanak
awu yang merupakan penutur asli bahasa sasak. Dalam penentuan sampel ini, teknik yang
digunakan adalah random sampling yaitu pengambilan informan secara acak di sekitar tempat
tinggal penulis. Pengambilan informan secara acak dianggap cukup karena pada dasarnya
mereka adalah orang-orang yang biasa berbahasa seperti itu.
10. 3.3 Metode dan Teknik Penyediaan Data
Kegiatan ilmiah yang disebut penelitian dalam semua disiplin ilmu pada dasarnya dibagi
dalam tiga tahap (a) tahap penyediaan data, (b) tahap analisis data, dan (c) tahap penyajian
hasil analisis data, setiap tahapan tersebut memiliki metode dan teknik tersendiri, yang
berbeda satu sama lainnya (Mahsun, 2007:127)
Dalam penelitian ini ada dua cara yang digunakan untuk menyediakan data dan informasi.
Cara-cara tersebut adalah dengan metode simak dan metode cakap, dari kedua metode ini
akan dipaparkan sebagai berikut.
3.3.1 Metode dan Teknik Simak
Pada penelitian ini digunakan metode dan teknik simak karena cara yang
ditempuh untuk memperoleh data selain dengan wawancara adalah dengan menyimak
penggunaan bahasa. Disebut metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh
data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:92). Dalam ilmu sosial,
metode ini disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi (Moelong, 2001 dan
Gunarwan, 2002 dalam Mahsun, 2007:242-243). Selanjutnya dijelaskan tentang teknik dasar
yang dilakukan dalam metode ini yaitu teknik sadap yaitu dilakukan dengan menyadap
pemakaian bahasa dari informan. Teknik sadap ini merupakan teknik dasar yang memiliki
teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan teknik simak libat cakap dan catat.
Dengan memakai metode ini penulis berharap dapat memperoleh data-data bahasa yang pada
umunya sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.
3.3.2 Metode dan Teknik Cakap (Wawancara)
Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh
dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan
(Mahsun, 2007:95) Dalam penelitian ilmu sosial, metode cakap ini dikenal dengan nama
metode wawancara atau interview. Metode ini digunakan pada tahap penyedian data yang
dilakukan dengan cara peneliti melakukan percakapan atau kontak dengan penutur selaku
narasumber (masih dalam Mahsun, 2007:250). Adapun teknik yang digunakan dalam metode
ini adalah menggunakan teknik pancing dan teknik cakap semuka dengan tujuan untuk
memunculkan data kebahasaan berupa kosakata atau kalimat yang menjurus kepada tingkat
tutur bahasa Sasak yang dipakai oleh penuturnya.
11. Pelaksanaan teknik pancing tersebut merupakan stimulasi (pancingan) pada informan untuk
memunculkan data kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Teknik ini kemudian
dilanjutkan dengan teknik cakap semuka dengan melakukan percakapan antara peneliti
dengan informan yang bersumber pada pancingan yang sudah disiapkan atau secara
spontanitas memunculkan pertanyaan di tengah-tengah percakapan. Teknik cakap ini
dilakukan dengan berhadapan langsung dengan informan dalam bentuk wawancara dengan
memberikan beberapa pertanyaan kepada informan.
3.4 Metode danTeknik Analisis data
Analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasikan atau
mengelompokkan data. Pada tahap ini dilakukan upaya mengelompokkan, menyamakan data
yang sama dan membedakan data yang memang berbeda, serta menyisihkan pada kelompok
lain data yang serupa, tetapi tidak sama. Dengan kata lain pada tahap ini dilakukan pemilahan
atau memilah data yang diperlukan atau tidak. Data itu sendiri (menurut Anshen dalam
Mahsun, 2007:254) memiliki dua wujud, yaitu data yang berwujud angka (kuantitatif) dan
data yang berwujud bukan angka (kualitatif). Dilihat dari dua wujud data tadi, penelitian ini
merupakan penelitian bidang kebahasaan yang bersifat deskriptif, maka wujud atau jenis data
yang digunakan adalah data kualitatif bukan kuantitatif.
Karena penelitian ini berkaitan dengan data kualitatif, maka data yang sudah terkumpul
dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu data yang dianalisis dalam bentuk
kata-kata bukan angka (Mahsun, 2007:257). Terdapat enam metode yang digunakan dalam
analisis kualitatif, khususnya dalam bidang ilmu sosial, yaitu metode analisis isi, metode
analisis domein, metode analisis taksonomis, metode analisis komponensial, metode analisis
tema kultural, dan metode analisis komparatif konstan. Untuk keperluan analisis ini akan
difokuskan pada metode komparatif konstan yang biasa disebut metode padan.
Metode padan yang tepat digunakan berkaitan dengan permasalahan yang dikaji adalah
metode padan intralingual yaitu metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsur-
unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa
bahasa yang berbeda (Mahsun, 2007:118).
12. 3.5 Metode dan Teknik Penyajian Data
Hasil analisis data akan disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal, karena
pada prinsipnya, penyajian hasil analisis baik itu untuk tujuan kajian slinguistik sinkronik,
linguistik diakronik, maupun sosiolinguistik adalah sama (Mahsun, 2007:279). Penggunaan
metode formal dan informal ini pada penyajian hasil analisis data berdasarkan perumusan
dengan menggunakan kata-kata atau kalimat dan penggunaan lambang-lambang (simbol).
Ihwal penggunaan kata-kata dan tanda (lambang) merupakan teknik hasil penjabaran dari
masing-masing metode penyajian tersebut.
13. DAFTAR PUSTAKA
1. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi
Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta
2. Ase. 2006. “Pemakaian Bahasa Sasak Halus Berdasarkan Status Sosial Sebuah Studi
Kasus Di Jawa Timur”.
3. Azhar, Muhammad. 1996. Reramputan Pelajaran Basa Sasak, untuk kelas 5 SD.
Klaten: PT Intan Pariwara
4. ………………….. 2002. Reramputan Pelajaran Basa Sasak, untuk kelas 4 SD.
Klaten: PT Intan Pariwara
5. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal (Edisi
Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta
6. Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
7. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
8. Fajri, Em Zul dan Ratu Aprilia Senja. …… Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa
Publisher