1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa dapat dicerminkan dari pendidikannya, akan tetapi bangsa kita
sekarang sedang menghadapi begitu banyaknya tantangan salah satunya tantangan di era
yang moderen ini atau era Globalisasi. Tidak hanya mempengaruhi salah satu bidang
tetapi adanya Globalisasi ini tentunya mempengaruhi segala bidang baik itu pendidikan,
keamanan, kebangsaan, adat istiadat, persatuan dan sebagainya. Namun pada
kesempatan ini kami selaku penulis akan mencoba membahas tentang Fenomena
Pendidikan di Era Globalisasi. Guna memenuhi salah satu tugas mandiri mata kuliah
pengembangan kurikulum.
B.Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar mengetahui bagaimana Fenomena
Pendidikan di Indonesia.
Serta mengetahui apa saja yang dipengaruhi oleh Globalisasi dan Pasar bebas
2. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dunia Pendidikan Di Era Global
Dominasi era global telah membuat para penyelenggara pendidikan terjebak dalam
perasaan ketidak-pastian dengan sistem pendidikan saat ini. Hal ini disebabkan oleh
tingkat kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi informasi, melampaui kesiapan lembaga-lembaga pendidikan dalam
mendesign kurikulum, metode dan sarana yang dimiliki guna menghasilkan
lulusanlulusannya memasuki sebuah era yang ditandai dengan tingkat kompetisi dan
perubahan yang begitu masif dan cepat. Saat ini, persoalan yang dihadapi oleh lembaga
pendidikan bukan sekadar relevansi antara content yang diberikan kepada peserta didik
dengan kebutuhan dunia kerja supaya lulusannya siap memasuki dunia kerja, akan tetapi
lebih mengarah pada apa yang harus dicermati oleh dunia pendidikan terhadap relevansi
dimensi paedagogies-didaktif ( antara lain : tehnik pengajaran, kurikulum, metode, tempat
pembelajaran dan lainnya ) dengan trend budaya global.
Profesor Mastuhu dalam Menata Ulang Pemikiran Sitem Pendidikan Nasional dalam Abad
21 mengemukakan : “Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau “mensejagat”.
Sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan
kapanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan,
data, informasi, produksi, temuan obat-obatan, pembangunan, pemberontakan, sabotase,
dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh
dunia. Hal ini biasanya banyak terjadi di lingkungan politik, bisnis, atau perdagangan, dan
berpeluang mampu mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya.Misalnya, Mc
Donald’s, Berger King, Domino’s Pizza, Kentucky Fried Chicken, Jean’s, tas tangan merk
Gucci dari Itali, kartu kredit City Bank, ABN Amro, dan lain sebagainya. Barang-barang ini
telah mampu mengubah kebiasaan, dari sejak : makan, pakaian, dan gaya hidup
seseorang atau kelompok dari “tradisi lokal” ke“tradisi global”.
Yang perlu dicermati adalah globalisasi membawa akibat terjadinya perubahan yang terus
menerus dan semakin cepat. Fenomena perubahan yang kian berakselerasi memberi
imperatif berbagai lembaga pendidikan yang ada untuk terus melakukan self reform jika
ingin tetap mempertahankan eksistensinya di jaman yang berlari seperti sekarang. Namun,
juga perlu diperhatikan bahwa jika reformasi dilakukan secara serampangan, sekadar
reaktif dan tidak visioner, justru akan menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan di
masa mendatang.
3. 3
Misalkan, sekitar tahun 80-an, dunia pendidikan kita dikritik habis-habisan oleh
masyarakat, khususnya dari kalangan dunia kerja. Lulusan sekolah, baik sekolah
menengah maupun perguruan tinggi, dikeluhkan tidak memiliki kapasitas dan ketrampilan
yang memadai seperti dibutuhkan oleh dunia kerja. Mereka hanya pandai berteori, tetapi
tidak menguasai teknis-praktisnya. Tak ayal, kurikulum pendidikan, metode pengajaran,
prasarana dan sarana praktek, sertalink and match dalam lembaga pendidikan menjadi
pembicaraan publik.
Dunia pendidikan bukannya tidak memahami persoalan tersebut. Negara, sebagai pihak
yang mengemban amanat penyelenggara pendidikan terus melakukan upaya-upaya
penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun sayangnya,
kebijakan-kebijakan penyempurnaan yang dibuat cenderung bersifat reaksioner serta
kurang didasari visi yang jelas.
Doni Koesoema A dalam artikelnya „Pendidikan Manusia Versus Kebutuhan Pasar‟ menilai
bahwa tanggapan pemerintah atas berbagai persoalan dalam dunia pendidikan terkesan
lebih bersifat reaksioner ketimbang visioner. Kebijakan yang diambil pemerintah dalam
meningkatkan kualitas dunia pendidikan hanya didasarkan sikap reaktif, kaget, bingung,
bahkan sekadar memenuhi kepentingan dan kebutuhan sesaat. Keluhan, bahwa ganti
menteri ganti kebijakan, ganti buku pelajaran, dan lain- lain adalah afirmasi atas situasi ini.
( Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004 ). Selanjutnya, Doni Koesoema A juga
memberi contoh kebijakan pemerintah yang kurang didasari visi jangka panjang di bidang
pendidikan : “pendidikan kita ditengarai menghasilkan orang-orang yang tidak siap masuk
dunia kerja. Karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah menyiapkan
sekolah-sekolah agarmenghasilkan orang-orang yang siap memasuki dunia kerja.
Bagaimana caranya ? Diperkenalkan program link and match. Program link and
match dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud, kini berubah
menjadi Mendiknas ) Wardiman Djojonegoro ( 1993-1998 ) yang mengaitkan berbagai
macam program dan kurikulum di sekolah dengan tuntutan yang dibutuhkan perusahaan
Program link and match ini dalam implementasinya bernama Pendidikan Sistem Ganda (
PSG ). PSG dimaksudkan sebagai model belajar sambil magang kerja. PSG merupakan
bentuk penyelenggaraan pendidikan yang memadukan secara sistemik dan sinkron antara
program pendidikan sekolah dengan program penguasaan keahlian / ketrampilan yang
diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja dan diarahkan untuk mencapai
suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Dilihat sepintas, barangkali tidak ada yang keliru dengan PSG ini. Namun jika dicermati
lebih jauh, maka akan terlihat bahwa visi yang ada di balik kebijakan PSG ini sangat
membahayakan. Saat itu, link and match dianggap sebagai sebuah imperatif yang harus
diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.
4. 4
Ini merupakan dominasi dunia industri yang dibiarkan masuk dalam sistem pendidikan
tanpa mempertimbangkan kerugian yang akan diderita peserta didik dan bangsa secara
umum.
B. Persoalan-Persoalan Yang Dihadapi Dunia Pendidikan
Dengan link and match seolah-olah satu-satunya tujuan pendidikan yang dibenarkan
adalah mempersiapkan peserta didik untuk cocok masuk sebagai salah satu bagian dari
dunia industri. Maka, segala upaya pendidikan adalah harus disesuaikan memenuhi
kebutuhan dunia kerja. Sekali lagi, program link and match tidaklah salah. Karena tujuan
peserta didik menjalani pendidikan adalah untuk mempersiapkan diri memasuki dunia
kerja. Namun, menjadi bahaya manakala ini diasumsikan sebagai satusatunya tujuan
pendidikan. Dengan berasumsi demikian, maka fungsi-fungsi lain dari pendidikan
direduksi, jika tidak dikatakan dihilangkan.
Lembaga pendidikan yang mendesign kurikulumnya guna membekali peserta didiknya
dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan dunia kerja merupakan sikap yang bijak.
Karena, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan dengan
kebutuhan masyarakat merupakan sebuah tuntutuan yang mendesak dan terus ada.
Namun, merupakan cerminan keterbatasan horizon pemikiran manakala beranggapan
bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat.
Kebijakan pendidikan yang dilatari oleh horizon berpikir sempit seperti ini berpotensi
melahirkan proses dehumanisasi pada diri peserta didik. Pendidikan yang terlalu
memfokus pada upaya mencetak tenaga-tenaga trampil yang dibutuhkan dunia industri
dan melupakan tujuan-tujuan pendidikan yang lain, akan melahirkan robot-robot berbaju
manusia. Implikasi dari kebijakan-kebijakan pendidikan semacam itu telah lama kita
rasakan. Misalkan, rendahnya moralitas, rendahnya sikap toleransi, rendahnya sikap
menghargai sesama, lemahnya mental enterpreuner, rendahnya mental team-work,
minimnya jiwa kepemimpinan dan lain-lain.
Percepatan inovasi yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut
manusia-manusia pembelajar yang terus mau dan mampu meng-upgrade diri. Ini berarti
lembaga pendidikan harus juga mampu mendorong dan mengembangkan kemampuan
belajar peserta didiknya. Lembaga pendidikan harus memberi ketrampilan learn how to
learn.
Ketika lembaga-lembaga pendidikan „dipaksa‟ mendesign kurikulumnya hanya untuk
kepentingan link and match, dan mengabaikan learn how to learn ini, pasti akan
menghasilkan generasi-generasi yang gagap terhadap aneka perubahan yang terjadi di
era global ini. Barangkali, generasi hasil program link and match akan menunjukkan kinerja
yang memuaskan saat mereka baru memasuki dunia industri/kerja. Namun, ketika
5. 5
perusahaan harus menggunakan instrumen-nstrumen baru, yang ini berarti menuntut para
pekerjanya untuk mempelajari hal-hal baru, maka umumnya performance dari generasi ini
akan mengecewakan. Mereka kurang memiliki ketrampilan untuk mempelajari hal-hal baru.
Belum lagi jika kita lihat fakta bahwa jenis-jenis pekerjaan yang sepuluh sampai dua puluh
tahun lalu masih berjaya, kini satu per satu mulai sirna ditelan arus perubahan. Seperti
diuraikan di atas, lembaga pendidikan yang terlalu terfokus pada program link and
match bertujuan menghasilkan output yang memiliki ketrampilan pada jenis pekerjaan
tertentu. Permasalahan muncul manakala jenis pekerjaan yang dikuasai tersebut dipaksa
sirna, maka yang bersangkutan tidak mampu berbuat apa-apa. Ketrampilan yang dimiliki
dari lembaga pendidikan yang telah ditempuh menjadi tidak berguna bagi hidupnya.
Artinya, program link and match yang dilakukan secara gegabah akan mempersempit
ruang kerja alumninya.
Kemajuan di bidang teknologi informasi memang banyak memberi kemudahan bagi kita
saat ini. Melalui berbagai media elektronik ( televisi dan internet ), kita dan anak-anak kita
setiap detik dibanjiri dengan berbagai informasi dari berbagai belahan dunia. Banyak
informasi yang memang berguna bagi kita dan anak-anak kita untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Namun, juga harus diakui bahwa kemudahan dan
manfaat yang ditawarkan, banyak juga sisi mudhlaratnya. Resahnya para orangtua akan
maraknya pornografi di dunia maya, kejahatan dan penipuan yang terjadi di dunia maya
memberi bukti atas hal ini. Banyaknya sisi mudhlarat tersebut bukan berarti kita bisa
menjauhkan diri dari pemanfaatan teknologi informasi. Karena, siapa pun yang
menjauhkan diri dari gegap gempitanya dunia teknologi informasi ini akan ditinggal oleh
arus perubahan. Akan terjerumus dalam kategori golongan primitif.
Alvin Toffler dalam bukunya Culture Shock :”Globalisasi, selain menghadirkan peluang
“positif” untuk hidup mudah, nyaman, murah, indah dan maju; juga dapat menghadirkan
peluang “negatif” sekaligus, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan,, dan penyesatan.
Globalisasi bekerja selama 24 jam dengan menawarkan banyak pilihan dan kebebasan
yang bersifat pribadi. Pendek kata, dewasa ini telah terjadi “banjir pilihan dan peluang”,
terserah kemampuan seseorang untuk memilikinya.
Mencermati apa yang dikemukakan Toffler di atas, secara tersirat memberi amanat bahwa
dunia pendidikan harus memberi satu life skill kepada peserta didik yang saat ini sangat
penting, yakni ketrampilan mencari, menyaring, memilah dan memanfaatkan berbagai
informasi, peluang dan pilihan dengan benar. Sekaligus juga memberi nilai-nilai hidup
untuk berani membuang informasi dan pilihan yang tidak berguna dan merusak.
6. 6
C. Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Peran pendidikan dalam pembangunan sangat besar. Salah satu tujuan berdirinya
negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD
1945 alinea ke empat). Untuk mencapai tujuan ini diperlukan pembangunan dunia
pendidikan yang berkualitas di Indonesia. Dalam arti sederhana, pendidikan diartikan
sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya pendidikan atau paedagogi berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia
menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh
seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau
penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, 2004).
Tujuan utama yang akan dicapai dalam pendidikan adalah membentuk manusia
secara utuh (holistic) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial,
kreativitas, spiritual dan intelektual secara optimal serta lifelong learners (pembelajar sejati).
Dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas terdapat Sembilan (9) pilar karakter
yang terkandung dalam nilai-nilai universal, antara lain:
1. Cinta Tuhan dan Alam Semesta beserta isinya
2. Tanggung jawab Kedisiplinan dan Kemandirian
3. Kejujuran
4. Hormat dan Santun
5. Kasih Sayang, Kepedulian dan Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras dan Pantang Menyerah
7. Keadilan dan Kepemimpinan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan (Megawangi, 2004)
Pendidikan yang berkualitas sangat berperan besar dalam menentukan kualitas
individu ataupun masyarakat bangsa secara keseluruhan. Di sini perlu mendudukkan
pendidikan sebagai sebuah nilai yang tumbuh di masyarakat. Jika nilai pengetahuan begitu
dominan dalam setiap gerak masyarakat, dengan sendirinya masyarakat akan berjuang
untuk menuntut ilmu tanpa mengenal kata berhenti. Hal tersebut merupakan cikal bakal
terbangunnya semangat toleransi, keinginan untuk saling berbagi (reciprosity) dan semangat
kemanusiaan (altruism) untuk membangun keselamatan, muncul perasaan berharga (sense
of efficacy), merangsang keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain (networking)
dan saling mempercayai (trust).
7. 7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Profesor Mastuhu dalam Menata Ulang Pemikiran Sitem Pendidikan Nasional dalam Abad
21 mengemukakan : “Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau “mensejagat”.
Sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan
kapanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan,
data, informasi, produksi, temuan obat-obatan, pembangunan, pemberontakan, sabotase,
dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh
dunia. Hal ini biasanya banyak terjadi di lingkungan politik, bisnis, atau perdagangan, dan
berpeluang mampu mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya.Misalnya, Mc
Donald‟s, Berger King, Domino‟s Pizza, Kentucky Fried Chicken, Jean‟s, tas tangan merk
Gucci dari Itali, kartu kredit City Bank, ABN Amro, dan lain sebagainya. Barang-barang ini
telah mampu mengubah kebiasaan, dari sejak : makan, pakaian, dan gaya hidup
seseorang atau kelompok dari “tradisi lokal” ke“tradisi global”.
Lembaga pendidikan yang mendesign kurikulumnya guna membekali peserta didiknya
dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan dunia kerja merupakan sikap yang bijak.
Karena, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan dengan
kebutuhan masyarakat merupakan sebuah tuntutuan yang mendesak dan terus ada.
Namun, merupakan cerminan keterbatasan horizon pemikiran manakala beranggapan
bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat.
B. Saran
Saran yang dapat kami sampaikan, yaitu kita selaku generasi muda untuk lebih banyak
membaca serta mencari informasi yang terbaru supaya kita mengetahui perkembangan
pendidikan di negara kita.