1. ADAT
Bagi setiap orang khususnya orang Bali, adat bukanlah hal yang baru, karena adat merupakan
salah satu nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang orang Bali. Dalam
perkembangannya sejak tahun 1969, masalah adat mulai mendapat perhatian yang serius dari
semua pihak, yaitu pada saat diselenggarakannya seminar hukum “Pembinaan Awig-awig
Dalam Tertib Masyarakat” oleh Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Udayana.
Melalui seminar tersebut, ditemukanlah dasar hukum berlakunya hukum adat Bali dan
disepakati untuk dijadikan landasan utama dalam pembinaan adat, menyusun awig-awig atau
aturan-aturan adat. Namun masyarakat kecenderungan masih menganggap adat semata-mata
sebagai peraturan hanya dari aspek hukumnya saja, terutama bagi masyarakat kalangan
berkedudukan, berilmu pengetahuan dan keadaan sosial ekonomi yang sudah mapan.
Tapi bagi masyarakat luas, pada umumnya adat bukanlah salah satu bentuk hukum tertulis,
tetapi merupakan pelaksanaan dari ajaran agama Hindu yang dianutnya, bahkan dianggap
sebagai penerapan ajaran agama Hindu yang harus dipenuhi.
Sehingga dualisme pengertian adat akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam bentuk
sengketa-sengketa adat, sehingga menyulitkan usaha-usaha untuk pembinaan adat di
masyarakat Bali.
Oleh karenanya, untuk mencegah hal-hal buruk terjadi, Parisada Hindu Dharma memutuskan
dalam mahasabhanya, bahwa adat Bali adalah adat yang bersumber pada ajaran agama
Hindu.
Masalah adat bukanlah hanya milik masyarakat Bali saja, melainkan hampir tiap-tiap daerah
memiliki adat istiadat yang berciri khas, seperti ditemukan oleh Van Volenhoven tentang
pembagian 19 wilayah Hukum Adat di Indonesia, yaitu :
1. Aceh (Sebagian besar daerah propinsi Aceh)
2. Tanah Gayo (Gayo Lueus), Alas dan Batak (Tapanuli), termasuk Tapanuli Utara (Pak-Pak
Batak/Barus, Karo Batak, Simalungun Batak, Toba Batak dan Tapanuli Selatan (Padang
Lawas, Angkola, Mandailing) dan Nias
3. Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Kampar dan Kerinci, serta
Mentawai)
2. 4. Sumatera Selatan (Rejang Bengkulu, Lampung, Palembang, Enggano)
5. Melayu (Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatera dan orang-orang Banjar)
6. Bangka Belitung
7. Kalimantan (daerah Pulau Kalimantan)
8. Minahasa (Menado)
9. Gorontalo (Balaang, Mongondow, Boalemo)
10. Tanah Toraja (Sulawesi Bagian Tengah, Toraja, Sigi, Kaili, To Lainang, Kep. Banggai)
11. Sulawesi Selatan (Bugis, Bone, Goa, Laikang Panre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
12. Kep. Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tabelo, Pulau Sula)
13. Maluku (Ambon, Banda, orang Uliaser, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kep. Timor (Timor, Mallo, Sumba, Kodi, Flores, Nada, Roti, Sawu, Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali, Tenganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembrana,
Lombok, Sumbawa)
17. Jawa Tengah dan Timur termasuk Madura
18. Daerah Kerajaan (Solo, Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Parahyangan, Sunda, Jakarta, Banten)
Kenyataannya pembagiaan wilayah hukum adat ini menunjukkan tiap-tiap daerah memiliki
adat dan hukum adat sendiri yang terpelihara, dipupuk dan dibina oleh masyarakatnya dan
mendapat pengayoman dari pemerintah.
Jadi tidaklah benar kalau adat hanya terdapat di Bali saja, sehingga adat-adat itu harus
ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan tatanan kehidupan modern, kolot atau
ketinggalan jaman. Memang benar ada beberapa adat yang harus ditinggalkan atau
disesuaikan dengan kehidupan sekarang, namun tidak berarti semua adat harus dihapuskan.
Salah satu contoh, yaitu penghapusan peradilan adat berdasarkan Undang-Undang Darurat
No. 1 Tahun 1951, bukan berarti penghapusan adat, tetapi lembaga peradilan adatnya yang
dihapus.
Beberapa anggapan keliru tentang adat di masyarakat, misalnya :
Adat harus ditinggalkan karena menghambat jalannya pembangunan
Upacara-upacara adat harus ditiadakan secara bertahap karena tidak sesuai dengan kemajuan
jaman dan menghabiskan biaya terlalu besar
3. Bila ada perbedaan antara adat dengan ajaran agama, maka ketentuan-ketentuan adat harus
diabaikan atau dihapuskan
Adat menghambat penegakkan hukum nasional
Adat sudah tidak cocok dikembangkan atau dipertahankan, bila kita ingin mencapai
Kemajuan dibidang ekonomi, sosial budaya, dan kehidupan ketatanegaraan
Pandangan demikian sesungguhnya sangat keliru, dan dapat mendorong masyarakat untuk
meninggalkan adat-istiadat warisan nilai-nilai leluhurnya, berarti menggiring pula masyarakat
meninggalkan kepribadiannya yang berlandaskan keluhuran budi pekerti.
Tidaklah mungkin terdapat suatu peradaban yang tinggi pada suatu masyarakat yang tidak
memiliki adat-istiadat sebagai himpunan tata nilai yang dijadikan patokan norma dalam
prikehidupan masyarakatnya.
Hal ini dapat dikatakan bahwa tata cara penyelenggaraan upacara yang dilaksanakan oleh
umat Hindu di seluruh Indonesia, yang dinamakan Panca Yadnya, bervariasi menurut adat
setempat atau disesuaikan dengan Desa Kala Patra. Sehingga upacara kelahiran bayi, upacara
meningkat dewasa, perkawinan, kematian, ngaben (pembakaran jenazah) dan lain-lain,
bervariasi dan berlainan menurut adat masing-masing, baik di Bali maupun wilayah lain di
Indonesia.
Di Bali sendiri, masing-masing daerahnya memiliki adat istiadat tersendiri dalam
melaksanakan kegiatan upacara agama Hindu. Dari sudut kenyataan, kita mengerti bahwa
pelaksanaan upacara agama Hindu menurut adat istiadat setempat, tidaklah bertentangan
dengan inti sari ajaran Agama Hindu, diperbolehkan dan mendapat perlindungan hukum
sesuai pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Adat, berasal dari kata Arab yang artinya kebiasaan. Sedangkan ajaran-ajaran agama Hindu
pada umumnya ditulis dalam bahasa Sansekerta, Jawa Kuno (Kawi) atau bahasa Bali dan
tidak ada yang ditulis dalam bahasa Arab. Hal ini berarti kemungkinan istilah adat tidak
dikenal oleh masyarakat Bali sebelum pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Indonesia
(termasuk Bali).
Masyarakat Bali ketika itu telah mempunyai istilah-istilah sendiri untuk menyebutkan adat
istiadat yaitu Dresta (Catur Dresta), Sima, Lokacara dan sebagainya. Dresta berasal dari
4. bahasa Sansekerta yang artinya tingkah laku nyata dari masyarakat, yang dapat disaksikan
dalam hubungan dengan pelaksanaan tata cara upacara agama Hindu.
Adat dan Hukum Adat adalah berbeda, sehingga adat tidak dapat dilihat hanya dari sudut
aspek hukumnya saja. Terlebih lagi adat di Bali bersumber pada ajaran agama Hindu,
sehingga adat perlu dikaji dari sudut aspek agama Hindu, sosial budaya dan berbagai aspek
kehidupan masyarakat di Bali dalam ruang lingkup pengamalan dharma agama dan dharma
negara.
BUDAYA
Secara amnya, budaya (culture) bermaksud cara hidup manusia. Ia merupakan perkembangan
lanjut tubuh badan, akal dan semangat manusia. Perkara ini dapat dilihat melalui etimologi
perkataan "budaya" yang bermaksud " budi + daya "; yakni budi sebagai aspek dalaman
manusia manakala daya sebagai aspek lahiriah manusia. Maka pada kesimpulannya, budaya
boleh dipahamkan sebagai segala penghasilan masyarakat manusia.
Konsep budaya merupakan satu konsep yang penting untuk membandingkan perbedaan
antara suatu masyarakat dengan suatu masyarakat yang lain.
Ciri-ciri Budaya
• Budaya merupakan pengkonsian suatu masyarakat
• Budaya tidak dapat berpisah dengan bahasa.
• Budaya diperolehi melalui proses pembelajaran.