SlideShare a Scribd company logo
1 of 306
MENOLAK TUMBANG
Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
PERPUSTAKAAN NASIONAL
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 978-602-8384-80-3
1. Gender 2. Kemiskinan 3. Penegakan Hukum
I JUDUL
+xx, 285 halaman, galeri foto, indeks
21 x 28 cm, sampul karton
© INSISTPress, Rumah Kitab & AIPJ-AusAID
Cetakan pertama, April 2014
Rancang sampul: Armin Hari & Beta Pettawaranie
Kompugrafi & kartografi: Rumah Pakem
Marcoes-Natsir, Lies (2014),
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Yogyakarta: INSISTPress.
n Penyumbang data dan tulisan: Anis Hidayah, Evelyn Suleeman,
Hasriadi Ary, Imelda Bachtiar, Ishak Salim, Mayadina, Mia Siscawati,
Nani Zulminarni, Nanda Amelia, Ninik Rahayu,
Nurhady Sirimorok, Nursyida Syam, Nurul Saadah,
Nurul Widyaningrum, Reza Idria, Saleh Abdullah,
Syarifah Rahmatillah, Vincent Sangu.
n Fotografer: Armin Hari n Penyumbang foto: Beta Pettawaranie,
Boris Adivarrahman, Ewin Laudjeng, M. Anshar, Saleh Abdullah,
Zulfan Djawon Muhammad n Repro foto: INSISTPress, FIRD.
n Pengolah data: Fredian Tonny, Raisa Sugiri, Boris Adivarrahman.
n Pemeriksa naskah dan bahasa: Anwar Jimpe Rahman, Ismet Natsir,
Markaban Anwar.
n Penyunting & penyelaras akhir: Roem Topatimasang.
n INSISTPress
Jalan Raya Kaliurang Km.18
Dukuh Sempu, Sambirejo, Pakembinangun,
Sleman, Yogyakarta 55582
Tel. +62 274 8594244 | Fax. +62 274 896403
email: press@insist.or.id | blog.insist.or.id/insistpress
n RUMAH KITA BERSAMA
Jalan Taman Amir Hamzah 8
Jakarta 10320
Tel. +62 21 3928233
n AIPJ
Lantai 17 - International Financial Center (IFC) Building,
Jalan Sudirman Kav.22-23
Jakarta 12920
Tel. +62 21 5710199 | www.aipj.or.id
LIES MARCOES-NATSIR
MENOLAK TUMBANG
Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
April 2014
Australia Indonesia
Partnership for Justice
Fotografer ARMIN HARI | Penyunting ROEM TOPATIMASANG
ARMINHARI
Buku yang penting dan indah ini terbit saat
kita berhadapan dengan suatu kenyataan
pahit yang menyayat hati sebagai bangsa
yang berdaulat dan berperikemanusiaan.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (2012), yang datanya baru selesai
diolah dan dikomunikasikan kepada publik
pada akhir tahun lalu, menemukan bahwa
jumlah perempuan yang meninggal dunia saat
melahirkan telah bertambah besar, bukannya
semakin berkurang, sejak tahun 2007!
Ternyata, seluruh gegap-gempita pertumbuhan
ekonomi nasional Indonesia dan keterlibatan
high-profile pemerintah kita dalam gerakan
sedunia untuk mencapai tujuan-tujuan
Pembangunan Milenium (Millineum Development
Goals - MDGs), beserta segenap program
nasional untuk ‘sayang ibu’ dan mengentaskan
kemiskinan, tidak ada artinya bagi perempuan
miskin ketika ia berada pada titik kehidupannya
yang paling rentan dan juga paling mulia: saat
seorang ibu melahirkan anaknya.
Menyimak janji Pemerintah Indonesia untuk
mencapai sasaran-sasaran MDGs, Angka
Kematian Ibu (AKI) ditargetkan akan berkurang
menjadi 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015. Kenyataannya, pada
tahun 2012, angka ini justru melonjak naik
menjadi 359 sejak tahun 2007, saat mana
AKI berkisar pada 228 kematian per 100.000
kelahiran hidup. Banyaknya perempuan miskin
PENGANTAR
Amanah Konstitusi
Kamala Chandrakirana
Pegiat Hak-hak Perempuan
& Hak Asasi Manusia
viii | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
yang kehilangan nyawa saat melahirkan saat
ini nyaris sama dengan keadaaan negeri kita 19
tahun yang silam, yaitu tahun 1995. Dalam hal ini
bukan kemajuan yang telah kita capai, melainkan
kemunduran!
Buku ini menunjukkan, dengan kata-kata
dan gambar, betapa kompleksnya persoalan
kemiskinan bagi perempuan. Tanpa pemahaman
tentang kompleksitas dan kekhususan pengalaman
dan kerentanan perempuan, upaya pemerintah untuk
menanggulangi kemiskinan tidak akan berhasil mengangkat harkat hidup
dari warga perempuan Indonesia yang paling miskin dan terpinggirkan. Fakta
meningkatnya Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah bukti kompleksitas
dan kekhususan tersebut. Pengalaman perempuan yang jatuh dan hidup dalam
kemiskinan tidak sama dan sebangun dengan pengalaman laki-laki. Realitas
ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan hadir dan berdampak
dalam seluruh perjalanan hidup manusia sejak dari lahir hingga ke liang kubur.
Ketidakadilan struktural yang hidup langgeng karena ditopang oleh berbagai
peraturan perundang-undangan mempunyai dampak-dampak tersendiri pada
perempuan, karena praktik diskriminasi dan kekerasan berbasis gender yang
mewarnai segala dimensi kehidupan mereka sehari-hari. Jelas, ini bukan soal
teknis tentang ketajaman sistem penentuan sasaran dari program-program
pemerintah semata. Ini adalah soal strategis tentang keterlibatan efektif
perempuan dalam seluruh aspek dan tahapan pembangunan bangsa, di setiap
tingkat pengambilan keputusan.
Undang-undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
(Pasal 27); berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun (Pasal 28I); berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan (Pasal 28G); dan berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
PENGANTAR: Amanah Konstitusi | ix
kesamaan dan keadilan (Pasal 28H). Pelaksanaan jaminan hukum bagi
setiap warga negara adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya
membebaskan warga perempuan dari kemiskinan dan pemiskinan.
Perbaikan dan pembatalan berbagai peraturan perundang-undangan,
di tingkat nasional dan daerah, yang diskriminatif dan bertentangan
dengan jaminan-jaminan konstitusional negeri kita juga merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari peluang perempuan miskin Indonesia
untuk menikmati ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.’ Untuk
itu, mekanisme uji materi produk hukum dan kebijakan, melalui badan-
badan eksekutif, legislatif, judisial serta badan-badan quasi negara yang
independen seperti Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan, perlu
ditingkatkan daya tanggap dan efektifitasnya bagi perempuan miskin.
Terlepas dari ada atau tidaknya sarana yang tepat dan efektif untuk
memastikan keterlibatan aktif perempuan dalam upaya-upaya
pemerintah untuk menyejahterakan rakyat, perempuan Indonesia tidak
pernah berdiam dan tunduk pasif pada kenyataan ketidakadilan dan
kemiskinan di hadapannya. Kisah-kisah perjuangan perempuan yang
tertera dalam buku ini adalah cuplikan-cuplikan saja dari pengalaman
beragam perempuan di seantero Nusantara yang masih tak terhitung,
tak tercatat, dan bahkan seringkali tak terlihat oleh pandangan mata
yang penuh bias. Buku yang diberi judul ‘Menolak Tumbang’ ini
merupakan kesaksian atas kekuatan dan ketangguhan perempuan
miskin Indonesia yang bersuara dan bertindak, sendiri maupun bersama
sesamanya, melalui pengorganisasian dan gerak bersama untuk
membangun suatu kekuatan sosial yang berpengaruh. Inilah wujud dari
kedaulatan perempuan sebagai warga bangsa dan negara Indonesia.
Semakin tinggi pohon tumbuh, semakin besar angin yang
menghantamnya. Menguatnya kepemimpinan perempuan --di ranah
politik formal maupun di komunitas-- juga memunculkan penolakan
dan perlawanan yang tak terhindarkan. Dukungan politik dan
perlindungan hukum bagi perempuan miskin yang bersuara, bertindak
dan bergerak menjadi tanggung jawab bersama semua pihak, dalam
jajaran pemerintahan dan masyarakat sipil, yang bertekad memenuhi
x | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
janji bangsa tentang kesejahteraan dan kemanusiaan bagi semua tanpa
kecuali. Perjuangan perempuan miskin dan terpinggirkan untuk
memperbaiki nasibnya dan merebut kembali martabatnya sebagai
warga yang berdiri sama tinggi dengan warga lainnya, hanya bisa
berhasil secara berkelanjutan jika logika perjuangannya menyentuh
dan terintegrasi dalam kebijakan-kebijakan makro di bidang ekonomi,
ketenagakerjaan, pertanahan, pertanian, kehutanan, perdagangan,
hubungan internasional, pertahanan, dan seterusnya. Logika
perjuangan perempuan miskin bukan hanya terbatas pada arena
kesejahteraan sosial, sebagaimana sering diasumsikan.
Harapan saya buku ini bisa menjadi sarana untuk membuka dialog
tentang pengalaman kemiskinan dan pemiskinan perempuan
di Indonesia dan bagaimana mengatasinya secara efektif dan
berkelanjutan. Pertukaran pandangan dan pencarian bersama
di antara berbagai pihak untuk menemukan jalan-jalan keluar
yang sungguh-sungguh berarti bagi perempuan miskin sangatlah
mendesak bagi masa depan bangsa Indonesia. Kita harus bisa bangkit
dari kegagalan dan kemunduran yang begitu menyakitkan dan
memalukan sebagaimana dialami oleh begitu banyak perempuan
miskin yang kehilangan nyawa saat melahirkan.
Mari kita buka jalan, dengan memanfaatkan segala kekuatan sosial,
ekonomi, politik dan hukum yang ada, untuk berdialog secara terbuka
dan kritis dalam proses yang demokratis -- dari kampung-kampung
kecil di mana perempuan miskin hidup dan berjuang hingga di
gedung-gedung besar di kota metropolitan tempat para pembuat
kebijakan nasional menjalankan kewajibannya-- untuk memenuhi
amanat konstitusi Indonesia bagi semua warga
negara, laki-laki dan perempuan dengan
setara.
Jakarta, 25 Maret 2014.
ARMINHARI
PENGANTAR
Amanah Konstitusi | viii - xi
n Kamala Chandrakirana
DAFTAR ISI | xiv - xv
DAFTAR SINGKATAN | xvi - xix
xiv | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
DAFTAR ISI
BAGIAN SATU
Gender, Anak Perempuan & Keluarga Miskin
1 Timang-timang Anak Ditimbang | 22
n GALERI 1: Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan | 28 - 33
2 Tumbuh Kembang Tidak Seimbang | 39
n GALERI 2: Kerja Rangkap, Bukan Pelengkap | 60 - 71
PRAKATA
Perjalanan Menyusun Buku | 1
PENDAHULUAN
Perjalanan Menolak Tumbang | 12
BAGIAN DUA
Jalan Panjang Meraih Peluang
3 Empat Isu Perjuangan Kartini | 75
GALERI 1
GALERI 2
DAFTAR ISI | xv
BAGIAN TIGA
Makna Kelangsungan Hidup
4 ‘Kantong Doraemon’ Bernama Sektor Informal | 99
n GALERI 3: Berani Hidup, Demi Hidup | 112 - 117
5 Rindu Dendam pada Rentenir | 118
6 Miskin di Lumbung Sendiri | 129
7 Mengharap Berkah dari Perkebunan | 138
n GALERI 4: Perempuan-perempuan Kebun | 160 - 165
8 Jasa Perempuan di Sektor Jasa | 166
9 Bertahan Hidup: Masa Tua Perempuan Miskin | 181
n GALERI 5: Menjadi Tua, Tetap Berdaya | 192 - 197
BAGIAN EMPAT
Tarik-ulur Meretas Kesenjangan
10 Fanatisme Agama & Pemiskinan Perempuan | 201
11 Mengorek Data Tersembunyi | 215
12 Meretas Senjang, Memenuhi Hak | 222
13 Suara Perempuan dalam Advokasi | 231
14 Bersikukuh pada Hukum | 245
BAGIAN LIMA
Penutup & Refleksi
15 Untuk Keadilan, Demi Kehidupan | 268
PUSTAKA | 272
INDEKS | 277
TIM PENYUSUN | 281
GALERI 3
GALERI 4
GALERI 5
DAFTAR SINGKATAN
AIPJ 		 Australia-Indonesia Partnership for Justice
AKI		 Angka Kematian Ibu
AMAN		 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
APBN/D	 Anggaran Pendapatan & Belanja Negara/Daerah
APIK		 Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan
APS		 Angka Partisipasi Sekolah
ASEAN		 Association of South East Asian Nations
AusAID	 Australian Agency for International Development
BADILAG	 Badan Pengadilan Agama
BAPPEDA	 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS	 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BK		 Bimbingan dan Konseling
BKKBN		 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BLK		 Balai Latihan Kerja
BMP		 Buruh Migran Perempuan
BNP2TKI	 Balai Nasional Pengerahan & Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
BNPB		 Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BOS		 Bantuan Operasional Sekolah
BP3AKB	 Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak & Keluarga Berencana
BP3TKI		 Balai Pelayanan Penempatan & Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
BPJS		 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPPA		 Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak
BPPC		 Badan Penyanggah Pemasaran Cengkeh
BPS		 Badan Pusat Statistik
BSUIA		 Bale Syura Ureung Inong Aceh
CEDAW	 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
DM		 Darurat Militer
DKI		 Daerah Khusus Ibukota
DOM		 Daerah Operasi Militer
FIRD		 Flores Institute for Resource Development
FITRA		 Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
GAM		 Gerakan Aceh Merdeka
GAP		 Gender Analysis Pathway
GERWANI	 Gerakan Wanita Indonesia
GRB		 Gender Responsive Budget
GTZ		 Gesselschaft für Technische Zusammenarbeit
IALDF		 Indonesia Australia Legal Development Facility
IIQ		 Institut Ilmu al-Qur’an
ILO		 International Labor Organization
INKAPA	 Industrialisasi Kakao Perdesaan dan Pemberdayaan Petani Perempuan
INKUD		 Induk Koperasi Unit Desa
INSIST		 Indonesian Society for Social Transformation
IPB		 Institut Pertanian Bogor
IUP		 Izin Usaha Pertambangan
JAMKESMAS	 Jaminan Kesehatan Masyarakat
JKP3		 Jaringan Kerja PROLEGNAS Pro Perempuan
xvi | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
JPIC-SVD 	 Justice, Peace, and Integrity of Creation - Societas Verbi Divini
JRMK		 Jaringan Rakyat Miskin Kota
KDRT		 Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KITLV		 Konigklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde
KK		 Kartu Keluarga
KKG		 Keadilan dan Kesetaraan Gender
KKPK		 Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran
KOMNAS	 Komisi Nasional
KORAMIL	 Komando Rayon Militer
KPAI		 Komite Perlindungan Anak Indonesia
KPK		 Komisi Pemberantasan Korupsi
KRAN		 Koalisi Rakyat Advokasi Tambang
KTKLN		 Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri
KUA		 Kantor Urusan Agama
KUD		 Koperasi Unit Desa
KUHP		 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
LIPS		 Lembaga Informasi Perburuhan Sedane
LITBANG	 Penelitian dan Pengembangan
MCK		 Mandi-Cuci-Kakus
MIGAS		 Minyak dan Gas Bumi
MISPI		 Mitra Sejati Perempuan Indonesia
MIUMI		 Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia
MUI		 Majelis Ulama Indonesia
MURI		 Museum Rekor Indonesia
NAD		 Nanggroe Aceh Darussalam
NII		 Negara Islam Indonesia
NTB		 Nusa Tenggara Barat
NTT		 Nusa Tenggara Timur
NU		 Nahdhatul Ulama
ODHA		 Orang Dengan HIV dan IDS
OTSUS		 Otonomi Khusus
OXFAM UK/I	 OXFAM United Kingdom & Ireland
P2TP2A	 Pusat Pelayanan Terpadu untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak
PAD		 Pendapatan Asli Daerah
PAM		 Perusahaan Air Minum
PAUD		 Pendidikan Anak Usia Dini
PERDA		 Peraturan Daerah
PEKKA		 Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga
PILKADA	 Pemilihan Kepala Daerah
PILKADES	 Pemilihan Kepala Desa
PIR		 Perkebunan Inti Rakyat
PJTKI		 Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia
PKBI		 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
PKDRT		 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
PKT/PPT	 Pusat Krisis Terpadu/Pusat Pelayanan Terpadu
PL		 Petugas Lapangan
PN		 Pengadilan Negeri
DAFTAR SINGKATAN | xvii
PNPM		 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
PNS		 Pegawai Negeri Sipil
POKJA		 Kelompok Kerja
POLWAN	 Polisi Wanita
PPLS		 Pendataan Program Perlindungan Sosial
PPRG		 Perencanaan Penganggaran yang Responsif Gender
PROLEGNAS	 Program Legislasi Nasional
PRT		 Pembantu Rumah Tangga
PSHK		 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
PSKK		 Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan
PSW		 Pusat Studi Wanita
PTPPO		 Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang
PUG		 Pengarusutamaan Gender
PUSKAPA	 Pusat Kajian Perlindungan Anak
RASKIN	 Beras untuk Keluarga Miskin
RPJMD		 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RTRW		 Rencana Tata Ruang Wilayah
RUU		 Rancangan Undang-undang
SAKERNAS	 Survei Angkatan Kerja Nasional
SAPDA		 Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak
SATPOL PP	 Satuan Polisi Pamong Praja
SD		 Sekolah Dasar
SEMA		 Surat Edaran Mahkamah Agung
SEMBAKO	 Sembilan Bahan Pokok
SKB		 Surat Keputusan Bersama
SKPD		 Satuan Kerja Pemerintah Daerah
SLB		 Sekolah Luar Biasa
SMK		 Sekolah Menengah Kejuruan
SPP		 Simpan Pinjam [untuk] Perempuan
SPKBK		 Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas
SPKS		 Serikat Petani Kelapa Sawit
SRHR		 Sexual Reproductive Health Rights
STKIP		 Sekolah Tinggi Keguruan & Ilmu Pendidikan
SUSENAS	 Survei Sosial Ekonomi Nasional
TBC		 tuberculosis
TKI		 Tenaga Kerja Indonesia
TKW		 Tenaga Kerja Wanita
TNP2K		 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
TNS		 Teon, Nila, Serua
TPS		 Tempat Pemungutan Suara
UEA		 United Arab Emirates
UMR		 Upah Minimum Regional
UNDP		 United Nations Development Program
UNESCO	 United Nations of Education, Science and Cultural Organization
UNFPA	 United Nations Population Fund
UNICEF	 United Nations Children Fund	
UNRISD	 United Nations Research Institute for Social Development
UPC		 Urban Poor Consortium
USAID		 United States Agency for International Development
UUPA		 Undang-undang Pemerintahan Aceh
WAJAR	 Wajib Belajar
WALHI	 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
WANTIMPRES Dewan Pertimbangan Presiden
WCC		 Women Crisis Centre
WH		 Wilayatul Hisbah (Polisi Syari’ah di Aceh)
YKP		 Yayasan Kesehatan Perempuan
ARMINHARI
ARMINHARI
Ini adalah narasi dengan ilustrasi foto tentang ikhtiar
perempuan miskin menolak pasrah pada kemiskinannya.
Suatu ikhtiar tanpa jera, meski kata ‘miskin’ menguntit
mereka nyaris di sepanjang hidup --dari pagi hingga pagi
lagi, dari lahir sampai lanjut usia.
Berbeda dari umumnya kajian-kajian yang menghubungkan
antara gender dan kemiskinan, dalam kajian ini kami lebih
menonjolkan kemampuan kaum perempuan bertahan
menghadapi kemiskinan, dan sejauh mana sistem dan
praktik hukum mampu menopang kemampuan bertahan
(resilience) mereka dalam melawan pemiskinan tersebut.
Semula buku ini hendak menggambarkan pemiskinan
di Aceh dalam konteks konflik, pasca tsunami, dan
penerapan syariat Islam. Saya cukup lama bekerja di Aceh
dan karenanya punya kesempatan untuk mendengar dari
dekat nada suara kaum perempuan yang kian meninggi
setiap kali berkisah tentang konflik, kekerasan seksual,
serta mempelajari kebijakan yang mengatur bagaimana
seharusnya perempuan bertingkah laku. Namun, diskusi
dengan Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan
pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS), Diani Sediawati --yang juga Wakil Ketua
Badan Pengurus Australia-Indonesia Partnership for Justice
(AIPJ)-- menghasilkan catatan penting tentang perlunya
memetakan pemiskinan, gender, dan hukum secara lebih
komprehensif. Pada kenyataannya, pemiskinan dan dampak
lanjutannya tak hanya menimpa perempuan dalam situasi
konflik, melainkan juga dalam kehidupan yang seolah tanpa
gejolak. Gagasan itu kemudian dimatangkan dalam rumusan
PRAKATA
Perjalanan Menyusun Buku
	 PRAKATA: Perjalanan Menyusun Buku | 1
penelitian ‘Gender, Kemiskinan dan
Penegakan Hukum.’ Karenanya, isu
penerapan hukum di Aceh tidak menjadi
kajian khusus, namun aspek hukumnya
tetap menjadi perhatian dalam buku ini.
Narasi ini adalah refleksi dari catatan
perjalanan sembilan bulan di delapan
wilayah Nusantara (lihat peta). Di
setiap daerah itu, saya dan tim peneliti
serta fotografer di bawah koordinasi
Armin Hari --bersama-sama atau secara
terpisah-- berada di lapangan untuk
2 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
500 km
U
Banda Aceh
Pasai
Aceh Besar
Jakarta
Serang
Sukabumi
Garut
Cianjur
Bandung
Pontianak
Bengkayang
Wonosari
Surabaya
Denpasar Mataram
Martap
Pangandaran
Kuningan
Madiun
Jember
Tabanan
Kubu Raya
Cirebon
Kampar
Jambi
LhoksukonTakengon
Bener Meuriah
LAUT JAWA
LAUT CINA SELATAN
SAMUDERA HINDIA
Pas
mendalami isu sesuai konteks daerah dan
menerjemahkannya ke dalam bingkai
foto.
Perjalanan dimulai pada Maret 2013 dari
Pantai Timur Samudera Pasai di Aceh
lalu menyeberangi Selat Sunda melintasi
Pulau Jawa dari Banten hingga Madura,
lalu berlanjut terus sampai ke bagian
timur Indonesia. Sepanjang perjalanan,
kami mengamati pemiskinan sebagai
proses yang terkait dengan hilangnya
kontrol perempuan atas lahan dan
PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 3
Jeneponto
Ende
Noelbaki
pura
Makassar
Palu
Kulawi
Kendari
Muna
Ambon Haruku
Waipia
Tempat-tempat utama penelitian
Maumere Adonara
Tempat gambar/foto tambahan
Mappi
Merauke
Polewali
Lembata
Kei
Wakatobi
Toraja
Sinjai
Palue Alor
Donggala
Gorontalo
PETA PERJALANAN PENELITIAN
LAUT ARAFURA
LAUT SULAWESI
SAMUDERA TEDUH
LAUT BANDA
Banggai
Gowa
Minahasa
Jayapura
sangkayu
ragam sumber ekonomi serta otonomi
mereka yang berlangsung tepat di awal
era ‘pembangunan.’ Kami mencermati
perubahan pekerjaan perempuan dari
sektor pertanian ke dunia industri, lalu
sebagiannya tersudut ke sektor informal
atau pekerjaan lain yang tanpa nama
di kota-kota besar. Mereka bekerja
serabutan, tumpang tindih, jungkir balik,
yang terkadang sulit didefinisikan bentuk
dan jenisnya. Persoalan ekonomi yang
tampak hanyalah ujung terdekat dari
sejumlah persoalan sosial, politik, dan
budaya yang menyebabkan hilangnya
hak mereka untuk hidup layak dan
bermartabat sebagai manusia.
Di wilayah Tengah dan Timur Indonesia,
perjalanan diawali dari Bali dengan
gambaran pemiskinan yang terhubung
dengan alih kepemilikan lahan dalam
industri pariwisata serta dampaknya
yang luar biasa keras, nyaris tanpa
batas. Di Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Nusa Tenggara Timur (NTT), selain
praktik perkawinan di bawah umur,
kami mencatat perubahan-perubahan
sosial ekonomi yang dahsyat dengan
lahirnya generasi buruh rantau (migrant
workers) yang dikenal luas dengan
sebutan ‘Tenaga Kerja Wanita’ (TKW)
dan ‘Tenaga Kerja Indonesia’ (TKI).
Di Kepulauan Maluku, kami melihat
pemiskinan akibat konflik dan bencana,
sebagaimana tergambar di wilayah NTB,
NTT, dan Aceh.
Kami melintasi pedalaman Kalimantan
Barat dan Selatan. Kami menapaki jejak
pemiskinan akibat industrialisasi hutan,
alih kepemilikan dan fungsi lahan
menjadi rimba kelapa sawit --hal yang
juga kami saksikan di Sulawesi Barat dan
Sulawesi Tenggara, serta Aceh.
Untuk kebutuhan mengumpulkan
kisah mereka, kami mengamati kaum
perempuan di berbagai daerah tersebut,
mendengarkan pengalaman mereka serta
menyaksikan mereka menghadapi proses
pemiskinan dan cara mereka berupaya
keluar dari kubangan itu. Karenanya,
tak hanya ‘sekadar wawancara,’ kami
berada di tengah mereka dengan segenap
empati serta kesabaran untuk memahami
‘rasa’ yang tak terkatakan, tak teraba,
dan tak terbaca. Meskipun penelitian
adalah dunia kami, dan mengambil
gambar ‘yang bicara dengan sendirinya’
adalah keahlian fotografer kami, namun
untuk berada di tengah mereka bukanlah
perkara gampang. Mengubah posisi
dari ‘orang luar’ menjadi ‘orang dalam’
yang diakui dan diterima, membutuhkan
keahlian yang tak sederhana. Modal kami
adalah empati dan kesediaan mendengar
serta menumbuhkan keyakinan bahwa
informasi yang kami catat pasti tak sia-
sia.
Selama perjalanan, sering kami
terkapar, menggeleng tanpa henti,
tak percaya pada mata sendiri.
Pertumbuhan ekonomi --yang niat
asalnya untuk mencapai kesejahteraan--
telah menyisakan ampas bernama
‘kemiskinan.’ Jutaan perempuan
yang terpapar kemiskinan di seluruh
Nusantara seperti berjalan beriringan
dengan pertumbuhan ekonomi.
Namun kami juga kerap terpana oleh
4 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
1
Pernyataan salah seorang peserta Focus Group
Discussion (FGD) dengan kelompok warga
di Waipia, Maluku Tengah --mitra Yayasan
Humanum Ambon-- 5 Juli 2013.
cara mereka menertawakan hidup
melawan pemiskinan. Betapa tidak,
ketika menceritakan kampung mereka
yang diserang dan dibakar, lalu mereka
hidup di pengungsian, ibu-ibu di salah
satu daerah konflik di Waipia, Maluku
Tengah, masih bisa terpingkal-pingkal
menertawakan tingkah laku kaum lelaki
yang mendadak cengeng; atau mereka
tergelak ketika mengungkap rahasia
kehidupan di barak, yang oleh banyak
perempuan diceritakan sambil berbisik-
bisik:
“Eee... bagaimana beta seng (tidak) hamil?
Tiap kali listrik dimatikan, paitua (suami)
colek-colek beta pung (punya) kaki, ajak
beta pi (pergi) ke WC umum. Sekali waktu
ada orang sedang pakai itu WC, terpaksa
katong (kami) pura-pura cuci baju di
malam buta karena listrik su (sudah)
dipadamkan. Sebentar dong (mereka)
su keluar, katong buru-buru masuk seng
kunci pintu lai!”1
Namun dari Palu, suara Ibu Suha (67)
masih bergetar ketika berkisah tentang
penangkapannya 45 tahun lalu, karena
dianggap sebagai anggota Gerakan
Wanita Indonesia (GERWANI). Dengan
sangat runtut --seolah kejadian itu
baru berlangsung kemarin petang-- ia
mengenang hari-hari panjang yang
membuat separuh hidupnya jauh
dari kebebasan untuk berkegiatan
secara wajar, bahkan lama setelah ia
‘dibebaskan’ sekalipun. Peristiwa di
barak ia kenang dengan mata tergenang.
“Setiap hari kami mencari cara agar tak
diciduk dari barak dan dibawa ke hutan
seperti perempuan lain yang pulang
hanya tinggal nama”.2
Jelas sudah, sekecil apapun peluang
untuk hidup mereka usahakan untuk
merebutnya!
Kisah-kisah seperti itulah yang terdapat
dalam buku ini. Kisah yang lahir
dari pengalaman perempuan yang
--sebagaimana warga yang lain-- berhak
untuk hidup layak dan bermartabat.
***
Penelitian yang menghasilkan buku ini
dimungkinkan berkat AIPJ dan AusAID
(Australian Agency for International
Development) yang menyediakan
dukungan dana, serta INSIST (Indonesian
Society for Social Transformation)
sebagai mitra di lapangan dan
penerbitnya. Nani Zulminarni --Direktur
PEKKA (Pemberdayaan Perempuan
Kepala Keluarga)-- memberi saya jalan
untuk bertemu dengan Nicola Colbran
--Direktur AIPJ-- ketika proyek ini
dirintis. Nani juga yang memberikan
masukan bagaimana seharusnya buku ini
ditulis:
“Mbak... ratusan buku telah aku baca
untuk memahami kemiskinan dan
gender, dan setiap kali membacanya
yang terbayang adalah ibu-ibu anggota
PEKKA di desa-desa: mampukah mereka
memahaminya? Bukan mereka tak
2
Ibu ‘Suha’(bukan nama sebenarnya),
wawancara di Palu, 28 September 3013.
PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 5
pintar, tapi buku-buku itu terlalu rumit
untuk dipahami. Aku ingin buku ini tak
hanya bisa dibaca oleh para aktivis atau
pengambil kebijakan, tetapi juga oleh
mereka yang terkena dampak kebijakan
itu.”3
Setelah Nicola Colbran meninggalkan
AIPJ, penggantinya, Craig Ewers,
menjadi mitra diskusi yang memberi
kepercayaan bahwa kami punya
pengetahuan memadai untuk memangku
amanah ini. Dalam aspek teknis, Hilda
Suherman, Endang Suyatin, Junardi
Nurlete serta staf lainnya di AIPJ
merupakan mitra kerja yang hangat.
Sementara dari sisi substansi, saya
terbantu oleh pekerjaan Anne Lockley,
konsultan gender AIPJ yang telah
terlebih dahulu membuat kajian tentang
gender dan kemiskinan dengan Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K). Tetapi, tentu
saja, secara keseluruhan penelitian
ini merupakan tanggungjawab kami,
tim peneliti dan fotografer. Demikian
halnya perspektif yang kami gunakan.
AIPJ --yang berkomitmen untuk
menyuarakan keadilan-- mendukung
penelitian ini dalam rangka memastikan
bahwa kemanfaatan program kerjasama
mereka dapat dinikmati secara adil oleh
perempuan miskin.
Untuk isu pelayanan hukum bagi
perempuan miskin dan isu-isu yang
ditangani Peradilan Negeri dan Peradilan
Agama, narasumber utama kami adalah
Wahyu Widiana --mantan Direktur
Jenderal Badan Peradilan Agama
(BADILAG) Mahkamah Agung yang
kini menjadi konsultan AIPJ. Adapun di
lapangan, kami mewawancarai pimpinan
Pengadilan Negeri di Banda Aceh,
Cianjur, Cibinong, Garut, Denpasar,
Tabanan, dan Ambon, untuk mendalami
pelayanan ‘Keadilan bagi Orang Miskin’
(Justice for the Poor). Kami juga bertemu
dengan pimpinan daerah --beberapa
orang Bupati dan Camat-- serta pimpinan
Kantor Catatan Sipil setempat yang
melakukan kegiatan bersama dengan
para hakim Pengadilan Negeri dan
Peradilan Agama untuk layanan akte
kelahiran secara terpadu.
Semua narasumber mengetahui tujuan
buku ini dan mendapatkan persetujuan
dalam pemotretannya. Namun, demi
menghormati mereka, beberapa nama
telah disamarkan, kecuali untuk para
pejabat publik atau mereka yang
tidak keberatan. Lebih dari 100 orang
perempuan dan laki-laki menjadi sumber
informasi kami dengan intensitas
penggalian yang bertingkat-tingkat, kami
melibatkan sejumlah peneliti setempat
seperti jaringan PEKKA, kader Aisyiyah,
kader pengorganisasian masyarakat,
dan aktivis atau peneliti dari perguruan
tinggi. Keterlibatan mereka sangat
penting, karena mereka adalah sumber
pengetahuan tentang keadaan setempat,
tradisi, kelembagaan sosial dan adat,
budaya lokal, serta konflik tersembunyi
yang berpengaruh pada pemiskinan.
Untuk tema tertentu, kami mengundang
para penulis yang kami anggap punya
kompetensi dalam bidangnya: Reza
3
Komunikasi pribadi dengan penulis melalui
e-mail tanggal 25 Juni 2013.
6 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Idria dari Universitas Islam Negeri
(UIN) Ar-Raniry di Banda Aceh menulis
tentang situasi politik terkini di Aceh
dan dampaknya terhadap perempuan
miskin; Evelyn Suleeman dari Universitas
Indonesia (UI) memberi pemahaman
tentang data statistik perempuan
kepala keluarga; Mayadina dari Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(FITRA) tentang isu anggaran; Imelda
Bachtiar tentang lembaga-lembaga
bantuan hukum bagi perempuan; Nurul
Widyaningrum dari Akatiga menjelaskan
situasi perempuan di sektor informal;
Ishak Salim dari Komunitas Ininnawa-
INSIST menulis tentang perempuan di
perkebunan kakao; Mia Siscawati dari
Pusat Kajian Antropologi UI dan Sajogyo
Institute tentang perlawanan perempuan
di ladang sawit; serta Saleh Abdullah dari
INSIST tentang pemiskinan akibat isu-
isu fundamentalisme agama. Sebagian
dari tulisan mereka kami sajikan utuh,
sebagian lainnya --seizin mereka-- kami
olah ulang agar sesuai dengan alur
narasi.
Kami juga mengundang sejumlah
pegiat (aktivis) untuk menyumbangkan
tulisan tentang pengalaman atau
pengetahuan mereka mengenai lembaga
tempat mereka berkiprah, seperti Nani
Zulminarni tentang PEKKA; Ninik
Rahayu tentang Komisi Nasional
(KOMNAS) Perempuan; Syarifah
Rahmatillah dari Mitra Sejati Perempuan
Indonesia (MISPI) tentang peraturan
pemberdayaan perempuan miskin
di Aceh; Nurul Saadah dari Sentra
Advokasi Perempuan Difable dan Anak
(SAPDA) tentang perempuan difabel;
Vincent Sangu dari Flores Institute for
Resource Development (FIRD) tentang
perempuan dan lingkungan, khususnya
berkaitan dengan isu pertambangan
di Ende; Nursyida Syam dari Klub
Baca Perempuan Lombok tentang
pemberdayaan perempuan dan anak-
anak buruh rantau di lingkungannya.
Di luar itu, beberapa ahli kami libatkan
sejak awal sebagai pemberi umpan
balik atas naskah mentah dan ketika
masih di lapangan. Mereka adalah
Myra Diarsi (pegiat perempuan), Prof.
Saparinah Sadli, Nurul Agustina, Sita van
Bemmelen (peneliti), Ita Fatia Nadia (UN
Women), Maria Hartiningsih (wartawati
senior Kompas), Zubaidah Djohar (pegiat
sastra), dan Bivitri Susanti (peneliti
hukum).
Masalah besar yang kami hadapi
sebetulnya bukan di lapangan, melainkan
bagaimana kebenaran bisa disuarakan.
Pendekatan kualitatif dalam penelitian
kemiskinan sering dianggap sebagai
berita anekdotal yang tak bisa ditarik
sebagai kebenaran menyeluruh.
Karenanya, sebagaimana disampaikan
oleh Kamala Chandrakirana --pegiat
perempuan dan HAM dan salah seorang
pendiri PEKKA-- data kualitatif harus
menjadi batu uji untuk membumikan
data kuantitatif tentang kemiskinan
dan pelanggaran hukum yang dialami
4
Kamala Chandrakirana, ‘Pidato Kunci Forum
Nasional III PEKKA (Perempuan Kepala
Keluarga),’ Hotel Grand Cempaka, Jakarta, 26
November 2013.
PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 7
perempuan.4
Dengan kata lain, tanpa
data kualitatif, maka data kuantitatif
hanya menjadi angka yang tak bersuara.
Inilah memang maksud lain dari buku
ini: membunyikan suara yang tak
terdengar.
Di Bogor, tempat saya tinggal, pekerjaan
mengolah dan menafsirkan data
statistik kuantitatif tentang kemiskinan
dibantu oleh peneliti dari Fakultas
Ekologi Manusia, Departemen Sains,
Komunikasi, dan Pengembangan
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor
(IPB), terutama Fredian Tonny. Di
lapangan, kami dibantu para peneliti
yang memiliki pengalaman matang
dengan metode etnografi seperti Ishak
Salim, Hasriadi Ary, Nanda Amelia, dan
Nurhady Sirimorok. Demikian juga saya
dibantu oleh beberapa asisten seperti
Raisa Sugiri dan Boris Adivarrahman.
Sementara untuk urusan keuangan dan
manajemen, ada Fransiska Weki Bheri,
Billah Yuhadian dan staf administrasi
dari Rumah Kita Bersama serta Mareta
Ekaterina, O.P.Wardhani dan Parjono
dari Sekretariat INSIST.
Naskah bahasa Indonesia dibaca dan
dikritisi sekawanan ahli. Anwar Jimpe
Rachman dan Ismed Natsir adalah
penyunting yang tekun dan sabar
menghadapi naskah yang seringkali
bongkar pasang. Untuk versi bahasa
Inggris saya berutang budi pada Abmi
Handayani dan Edward Thornton.
Namun secara keseluruhan saya
berutang budi pada Anne Lockley yang
bersedia menjadi mitra penulis (co-writer)
untuk edisi bahasa Inggris. Anne juga
telah bertindak sebagai penyunting
yang bukan hanya sabar tetapi juga
‘ratu tega’ memotong dan menyusun
kembali naskah yang cenderung hendak
mengisahkan segalanya. Ia memiliki
kesabaran luar biasa, mengingat naskah
dari bahasa Indonesia tak selalu mudah
untuk dipersingkat. Lalu, pada tahap
akhir, seluruh naskah diperiksa ulang
dan diolah menjadi buku oleh Roem
Topatimasang dari INSIST, dibantu oleh
Markaban Anwar dari INSISTPress untuk
pemeriksaan akhir bahasa dan proses
pencetakannya.
***
Buku ini terdiri dari lima bagian dan
dipecah ke dalam lima belas bab.
Setelah pengantar yang menjelaskan
tentang apa dan mengapa buku ini
disusun, pada Bagian Satu, pembaca
diajak memahami dinamika konstruksi
gender yang melahirkan pemiskinan
akibat ketidaksetaraan sebagaimana
dimuat dalam Bab 1 dan Bab 2.
Dengan mengikuti daur (siklus)
kehidupan, babakan dalam bab-bab
berikutnya pada Bagian Dua, dibagi
berdasarkan daur tersebut. Di beberapa
bagian kami sertakan pula kolom
pembelajaran berharga dari lapangan.
Pada Bagian Tiga, kami memperlihatkan
bentuk-bentuk diskriminasi berbasis
gender di usia produktif pada sektor
yang berbeda-beda. Pemaparan
kami lanjutkan dengan membahas
kemiskinan di usia lanjut, karena
buku ini dimaksudkan mencatat
bagaimana perempuan mengatasi
ARMINHARI
8 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
masalah pemiskinan di sepanjang usia
mereka dan bagaimana sistem hukum
menanggapinya.
Pada Bagian Empat, memperlihatkan
sejumlah upaya dalam meretas
hambatan, seperti upaya penegakan
hukum dan penguatan aspek gender
dalam kebijakan.
Keseluruhan narasi ini ditutup dengan
Catatan Akhir pada Bagian Lima sebagai
refleksi dari lapangan.
Melalui buku ini kami berusaha
menunjukkan ragam keuletan luar
biasa dari para perempuan yang
mengalami pemiskinan sistematis. Bagi
kami, keuletan itu merupakan bukti
bahwa pada dasarnya mereka memiliki
kesadaran untuk melawan ketidakadilan
gender.
Buku ini memperlihatkan bagaimana
perempuan menolak, melawan, dan
menaklukkan pemiskinan mereka. Ada
yang bertahan; sebagiannya kalah dan
pasrah, namun tak gampang tumbang.
Usaha-usaha mereka untuk bertahan
boleh jadi didorong oleh naluri, suatu
mekanisme alamiah untuk bertahan
hidup, atau oleh kesadaran kritis yang
menciptakan peran aktif (agency) mereka
dalam masyarakat.
***
Kami berharap buku ini bisa menjadi
rujukan bagi para pengambil kebijakan
untuk melihat perjuangan luar biasa
para perempuan di segala penjuru Tanah
Air. Melalui buku ini para pembuat
kebijakan bisa melihat bagaimana
ketidaksetaraan gender bekerja, dan
dengan kekuasaan yang mereka miliki,
niscaya mereka dapat mengubah situasi
itu melalui kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang lebih cerdas
dan berpihak. Jika hal itu dapat terjadi,
jutaan orang akan terselamatkan dari
kemiskinan yang tidak seharusnya
mereka alami.
Pada akhirnya, buku ini perlu dimaknai
sebagai suatu ‘perjalanan hati.’ Narasinya
bercerita tentang satu negeri yang tak
mungkin tegak berdiri tanpa kehadiran
perempuan yang pantang tumbang
dihadang kemiskinan!v
Cuplikan ‘perjalanan’ menyusun buku ini: saat lokakarya perencanaan awal di Yogyakarta (KIRI); saat
mewawancarai seorang narasumber lokal di Aceh (TENGAH); dan saat mendarat di Pulau Haruku, Maluku
Tengah, untuk mengamati ritual adat tahunan dan mewawancarai narasumber lokal (KANAN),
PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 9
BETAPETTAWARANIE
Hayat berumur 25 tahun. Ia menikah muda dengan
mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari
desa tetangganya. Pada 2009, ketika mengandung anak
kedua, Hayat membawa suaminya ke rumah sakit, yang
kemudian meninggal dengan diagnosis mengidap HIV
dan AIDS. Melalui Hayat, virus itu telah pula menulari
anak-anaknya. Warga tahu soal diagnosis itu dari petugas
kesehatan yang memulangkan jenazah. Sejak itu mereka
menjadi rentan stigma. Si sulung misalnya, nyaris tak
masuk SD karena sekolah khawatir orangtua murid yang
lain akan keberatan ada murid dengan HIV.5
Meski tampak sehat, Hayat ringkih diserang TBC paru. Ia
tak mencari nafkah karena harus mengurus anak-anaknya.
Kehidupannya ditopang ayah yang mengolah sawah dan
kebun berlahan sempit. Mereka tinggal di rumah Hayat,
rumah kayu berlantai tanah pemberian ibu angkatnya.
Setelah dihantam tsunami, damai menyapa Aceh, tapi
tidak pada keluarga Hayat. Ibunya banyak melamun
sejak rumah mereka dibakar orang pada masa konflik
Daerah Operasi Militer (DOM) dulu. Ayahnya sering
5
Informasi terakhir dari HIV NAD Support Group (25 Juli 2013),
setelah melalui advokasi dan lobi, Komite Penanggulangan AIDS
Aceh dan NAD Support Group serta diramaikan media, putri
sulung Hayat kini sudah bisa masuk SD.
PENDAHULUAN
Perjalanan Menolak Tumbang
12 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Tapi luasannya berkurang setiap tahun.
Sejak kecil, Hayat diangkat anak oleh
kerabatnya yang tak punya anak. Ia
lantas mendapat hibah adat berupa
sawah dan rumah dari mendiang ibu
angkatnya. Namun kaum lelaki dari
keluarga angkatnya datang menggugat.
Hayat tak punya kekuatan hukum
kecuali kesaksian tetangga bahwa ia
merawat ibu angkatnya dengan kasih
sayang. Ia juga kehilangan kesempatan
sekolah karena mereka tinggal di
jantung daerah konflik. Ibu angkatnya
tak mengizinkan ia bepergian jauh. Pun
tak membiarkan Hayat mengenal calon
suaminya sebelum naik ke pelaminan.
Padahal, kala itu, ia sudah berumur 18
tahun, cukup dewasa untuk bisa menilai
calon suaminya. Dari perkawinan itu
ia tak hanya mendapatkan mas kawin
15 gram emas, tetapi juga virus yang
mematikan.
Namun Hayat tidak tinggal diam.
Melalui perkenalannya dengan HIV
NAD Support Group --satu Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) lokal-- ia
menjadi anggota jaringan ODHA dan
PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 13
hilang kendali dan berubah perangai
jadi pemarah. Tak seperti Hayat yang
hanya tamat Sekolah Menengah Pertama
(SMP), Rima, adik perempuan Hayat,
sebetulnya lulus SMA. Demikian juga
Nurdin, adiknya yang lelaki. Namun
mereka hanya bisa bertani. Rima harus
menjaga ibunya yang juga terjangkit
TBC. Sebagaimana terjadi pada Hayat,
Rima dan ibunya ikut menanggung
stigma. Orang menyangka Rima juga
ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS).
Jika bepergian, Rima dan ibunya memilih
melintasi sungai daripada meniti
jembatan desa. Mereka tak tahan pada
sorot mata curiga. Nurdin merasa ditolak
oleh lingkungannya dan ia tak segan
membanting pintu di depan Hayat.
Mungkin nasib Hayat tak akan seburuk
ini bila tak tertular HIV. Namun
konflik saja sudah cukup membuat
banyak perempuan kehilangan akses ke
sumberdaya dan jatuh semakin miskin.
Padahal Hayat hidup di daerah ‘lumbung
padi’ di pedalaman Aceh. Ayah-ibu
Hayat pernah punya sawah dan ladang
yang memadai untuk menopang hidup.
kenal dengan para dokter spesialis HIV
di Aceh. Pengetahuan Hayat tentang
HIV dan AIDS memberinya kekuatan
dan keberanian untuk bersaksi di depan
publik bahwa ia dan dua anaknya hidup
dengan HIV. Meski setelah kesaksian itu
stigma yang disandangnya kian berat,
namun Hayat tak surut langkah. Pun
ketika pihak sekolah hendak menolak
anak perempuannya, Hayat melawan
dengan penjelasan tentang proses
penularan HIV. Ia mencontohkan adik
perempuannya yang tetap negatif. Ia juga
bicara kepada media --didampingi oleh
NAD Support Group untuk Advokasi.
Menurutnya, sia-sia saja Aceh sembunyi
dari kenyataan, karena angka ODHA
terus merayap naik.6
Secara ekonomi, Hayat tak punya jalan
keluar selain bertahan dengan yang ia
punya. Bila butuh uang, ia gadaikan
secara bergilir pohon melinjo, pinang,
kelapa, dan belimbing sayur, lalu
menebusnya setelah panen padi. Jika
terpaksa, ia menjual buah-buahan selagi
hijau di pohon. Menurutnya tak ada guna
menangisi keadaan. Ia harus memikirkan
anak-anaknya untuk bertahan dan
terbiasa hidup dengan HIV.
Kisah Hayat adalah miniatur dari peta
persoalan perempuan-perempuan yang
dimiskinkan. Mereka dikondisikan dalam
situasi tanpa pilihan. Tapi pelanggaran
hukum, praktik diskriminasi, konflik,
6
Yuslindarwati, salah seorang pegiat NAD
Support Group. Wawancara di Banda Aceh, 5
April 2013.
globalisasi ekonomi yang seolah tak
saling terhubung, ternyata menjadi
penyebab yang sangat nyata dalam
proses pemiskinan yang berdampak beda
pada perempuan. Kisah ini hanya satu
dari puluhan pengalaman perempuan
yang didokumentasikan dan jutaan
dari mereka yang tersebar di negeri
ini. Mereka adalah saksi bagaimana
lembaga, nilai, praktik, dan situasi sosial
menciptakan pemiskinan melalui praktik
diskriminasi.
Iva, anak sulung Hayat kini boleh bersekolah,
tapi ia tak punya teman. Setiap hari, ia bermain
sendirian di kolong rumah hibah dari nenek
angkatnya.
14 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
BORISADIVARRAHMAN
Perjalanan Memaknai
Pemiskinan Perempuan
Dalam buku ini, ‘miskin’ dan
‘kemiskinan’ diartikan sebagai fakta
sosial yang dapat dilihat dan diukur
dengan mempelajari gejala, data, dan
informasi yang tersedia. Sedangkan
‘pemiskinan’ adalah proses sosial dan
politik yang menciptakan keadaan
yang menyebabkan mereka miskin.
Sebagai fakta sosial, kemiskinan dapat
terjadi dan dialami oleh siapa saja,
sementara pemiskinan disebabkan oleh
7
Terimakasih kepada Prof. Dr. Soedrajad
Djiwandono yang menjelaskan secara
epistimologi perbedaan antara ‘kemiskinan’
dan ‘pemiskinan.’
pilihan-pilihan politik para pembuat
kebijakan --visi dan kebijakan mereka
tentang ekonomi, pembangunan,
pengelolaan sumberdaya dan cara
mendistribusikannya, termasuk cara
menangani kemiskinan itu sendiri.7
Kajian seperti ini berguna untuk
memperlihatkan cara yang berbeda
dalam mengukur kemiskinan dan
bagaimana mengatasinya. Selama
ini, kemiskinan kerap diukur hanya
melalui paradigma ekonomi --melulu
soal produktivitas, akses pada modal,
manajemen usaha, dan sejenisnya.
Pendekatan serupa itu mengabaikan
faktor-faktor lain yang berpengaruh pada
capaian kesejahteraan perempuan seperti
rendahnya status sosial mereka, bias
gender dalam pembangunan, kurangnya
kesempatan kerja dan pendapatan,
faktor-faktor budaya dan nilai-nilai,
kekerasan, dan pelanggaran hukum.
Karenanya, dalam menyelesaikan
kemiskinan, pemberdayaan ekonomi
saja tak akan sampai ke tujuan.
Pemberdayaan ekonomi seharusnya
seiring sejalan dengan pemberdayaan
sosial dan hukum yang peka pada
realitas ketimpangan lelaki dan
perempuan, sebagaimana kepekaan yang
dibutuhkan pada realitas ketimpangan
sosial yang dialami kelompok orang
dengan difabilitas.
PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 15
Buku ini sengaja menggunakan kata
‘pemiskinan’ (impoverishment). Eksplorasi
kami di lapangan memperlihatkan bahwa
bagi banyak perempuan, penyumbang
terbesar kemiskinan mereka adalah nilai,
proses sosial, kelembagaan, dan praktik
diskriminasi berbasis prasangka yang
secara sistematis menyingkirkan mereka
dari sumberdaya ekonomi, sosial, dan
politik.
Pemiskinan yang dialami Hayat
tak sekedar karena ia tertular HIV,
tetapi karena ia berada dalam situasi
konflik, persaingan bebas dalam
penguasaan ekonomi secara global
melalui penguasaan sumberdaya
alam dan politik. Pada sisi lainnya, ia
juga mengalami pemiskinan karena
pelanggaran hak-haknya yang paling
dasar, yakni hak untuk aman terbebas
dari rasa takut, hak untuk mendapatkan
pendidikan yang seharusnya dilindungi
secara hukum, serta hak sebagai
perempuan.
Pengalaman pemiskinan berbeda
antara laki-laki dan perempuan, namun
pengalaman laki-laki lebih sering
dikenali dan diakui karena status sosial
mereka sebagai ‘kepala rumah tangga’
dan ‘pencari nafkah utama.’ Sering sekali
terdapat anggapan bahwa menolong laki-
laki yang miskin secara otomatis juga
akan menolong istri dan anak-anaknya.
Tentu saja asumsi serupa itu keliru,
karena kebutuhan laki-laki tidak selalu
sama dengan perempuan, atau tidak
semua perempuan didukung oleh laki-
laki secara finansial.
16 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
8
Razavi, Shahra (1998), ‘Gendered Poverty
and Social Change: An Issues Paper,’
Discussion Paper No 94. UNRISD, h.ii.
Ketika laki-laki dan perempuan
dimiskinkan, perempuan akan
mengalami akibat atau dampak yang
berbeda. Ini disebabkan karena mereka
telah lebih dulu mengalami diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin, peran gender,
status perkawinan, dan ‘kelas sosial’
mereka di masyarakat. Karenanya,
mereka mengalami dua kali himpitan:
pertama, karena mereka miskin; kedua,
karena mereka perempuan.
Dalam ‘bahasa pembangunan,’ masalah
ini dikenali sebagai ‘ketidakadilan
gender’.
Untuk mengatasi persoalan tersebut,
para pakar menggunakan alat analisis
yang dikenal sebagai ‘analisis gender.’
Analisis gender pada dasarnya
mampu mengeksplorasi hubungan
antara gender dan kemiskinan. Seperti
diungkapkan Shahra Razavi lebih dari
satu dasawarsa lalu, kami juga berangkat
dari posisi bahwa “...analisis gender
tentang kemiskinan bukan semata
memperlihatkan apakah perempuan
lebih menderita akibat kemiskinan
daripada laki-laki, melainkan bagaimana
gender membedakan proses-proses sosial
yang mengarah ke kemiskinan, dan jalan
keluar dari kemiskinan mereka.”8
Istilah ‘gender,’ mestinya tak asing lagi
di telinga kita. Kata itu telah dikenal di
Indonesia lebih dari seperempat abad.
Kata itu jelas tidak menunjuk pada
PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 17
9
Draf RUU KKG adalah prakarsa Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR-RI) dalam upaya meningkatkan
tanggungjawab pemerintah menutup
kesenjangan gender dalam penerimaan
manfaat pembangunan. Salah satu kelompok
yang menentang RUU-KKG adalah MIUMI
(Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia), sayap muda dan perempuan dari
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan beberapa
organisasi massa. RUU ini mulai dibahas di
DPR-RI sejak Agustus 2011 dan sampai saat
ini masih sedang dibahas.
perempuan, namun terkait dengan
perempuan dalam konteks relasi sosial
dan relasi kuasa yang berpengaruh
kepada mereka. Untuk tujuan buku ini,
gender didefinisikan sebagai gagasan
kita –-manusia-- tentang perbedaan
karakteristik, peran, nilai, dan
kesempatan antara lelaki dan perempuan
yang diciptakan dan menciptakan
lingkungannya.
Dalam pengamatan kami, belakangan
ini muncul penolakan atas apa pun
yang bertajuk gender. Tak main-main,
Rancangan Undang-undang Kesetaraan
dan Keadilan Gender (RUU KKG)
--yang dimaksudkan sebagai landasan
hukum untuk mengimplementasikan
pembangunan yang adil bagi
perempuan-- dipersoalkan oleh beberapa
kalangan.9
Terbangun argumentasi
bahwa keadilan gender bukan hanya
ideologi impor, tetapi dianggap bisa
merusak tatanan keluarga. Kesadaran
tentang penindasan berbasis perbedaan
gender, atau munculnya cara pandang
yang mempertanyakan kemapanan
dominasi lelaki, dipahami akan
10
Beberapa orang yang menolak RUU KKG
datang dari universitas seperti IPB, dan
lulusan universitas di Timur Tengah. Beberapa
anggota DPR-RI yang menolak RUU-KKG
juga menggunakan argumen yang sama.
mengganggu nilai-nilai keluarga. Di mata
para penolaknya, ketimpangan relasi
gender dianggap wajar. Ketimpangan
itu, bagi mereka, merupakan ‘hukum
keselarasan’ --ada yang kuat, ada yang
lemah. Mereka tak melihatnya sebagai
praktik diskriminasi. Sebaliknya,
gagasan keadilan yang diusung melalui
kesetaraan gender dicurigai akan
menggugat sumber nilai-nilai (agama dan
kebudayaan) sembari bersikukuh bahwa
dominasi lelaki adalah kemauan alam
atau kehendak Tuhan.10
Dalam konteks itu, penelitian ini
dirancang untuk menggali pengalaman
dan pengetahuan perempuan
tentang pemiskinan dan bagaimana
pelanggaran hukum berpengaruh
terhadap pemiskinan itu. Penggaliannya
menggunakan pendekatan yang
secara konsisten memakai kacamata
gender dalam mengamati daur
(siklus) kehidupan perempuan. Data
dikumpulkan dengan ‘mendengarkan
perempuan bertutur’, suatu pendekatan
yang telah lama dikenal dalam penelitian
feminis. Dengan cara itu, suara
perempuan menjadi mungkin untuk
didengar dan dijadikan sebagai sumber
utama informasi. Melalui wawancara
mendalam, kami mendengarkan
kisah-kisah mereka serta bersimpati
pada pengalaman hidup mereka.
18 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
‘Mendengarkan perempuan bertutur’
ini dimaksudkan untuk menghindari
bias dari ‘pemegang otoritas kebenaran’
--biasanya laki-laki-- yang selama ini
selalu menjadi sumber utama informasi
dan sumber penafsir hukum. ‘Mendengar
perempuan bertutur’ berangkat dari
satu keyakinan bahwa pengalaman
perempuan adalah sah sebagai
kebenaran. Karenanya, kami menguji
informasi lain (misalnya dari laki-laki)
PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 19
11
Tentang metode penelitian feminis, lihat:
Reinharz, Shulamit (2005), Metode-Metode
Feminis dalam Penelitian Sosial, Jakarta: Women
Research Institute.
dari perspektif perempuan, dan bukan
kebalikannya.11
Dalam kajian ini, daur kehidupan
perempuan dijadikan patokan. Sebab,
hal ini terkait dengan bagaimana gender
dikonstruksikan di setiap tahapan
daur tersebut dan terhubung dengan
pemiskinan dan pelanggaran hukum
pada tiap tahap kehidupan perempuan.
Menyadari bahwa pelanggaran hak-
hak dasar, diskriminasi berbasis gender
menjadi penyebab pemiskinan, maka
dalam narasi ini dikemukakan bagaimana
kelembagaan dan sistem hukum
dibunyikan dan digerakkan sebagai
instrumen yang bisa diandalkan untuk
melawan pemiskinan berbasis prasangka
gender.v
BETAPETTAWARANIE
BETAPETTAWARANIE
Gender,
Anak Perempuan
& Keluarga Miskin
BAGIAN
SATU
Timang-timang,
Anak Ditimbang1
Sering orang menyangka secara sosial anak perempuan
teramat rapuh dan karenanya mereka dianggap
paling perlu mendapatkan perlindungan. Sekarang mari
kita simak kisah Sonya dan Salsa serta beberapa anak
perempuan sebayanya.
***
Sonya baru empat tahun, tapi ia tak seperti balita pada
umumnya. Bersama adiknya, ia membantu ibunya,
Irene, mengangkut air. Dalam usia mainnya, ia lebih
sibuk bekerja. Irene tertawa kecil ketika ditanya soal akte
kelahiran Sonya. Ia menggeleng. Pertanyaan itu terlalu
jauh, sedang untuk makan hari itu saja ia tak punya
jawaban.
Bersama ratusan pengungsi lain dari Timor Timur, Irene
telah bertahun-tahun menetap di kompleks pengungsian
Terminal Noelbaki, Kupang.12
Entah sampai kapan. Irene
hanya memikirkan tiga anaknya, sementara suaminya
kerja serabutan di terminal.
12
Pada tahun 1976-1999, Timor Timur (sekarang Republik Timor
Leste) merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia (RI). Ketika
terjadi konflik pasca referendum 1999, kelompok pro-integrasi
mengungsi ke wilayah RI. Sejak itu, ribuan pengungsi --sebagian
besar perempuan dan anak-- tinggal di barak-barak pengungsian,
antara lain, di Noelbaki, Naibonat, dan Tupukan, Kupang.
Sebagian telah menetap di perumahan permanen.
22 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Anita da Costa, salah seorang
pengungsi Timor Timur di
‘gubuk’nya di kompleks
pengungsi di Noelbaki,
Kupang, NTT.
Hari itu sumur bor di dekat rumah (tepatnya:
gubuk) Irene, tak berfungsi. Sejak mereka tinggal
di sana, hal seperti itu amat sering terjadi. Pihak
yang mengurus pengungsi tak pernah datang lagi.
Karenanya, tiap kali fasilitas umum rusak, mereka
ARMINHARI
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 23
harus menanganinya sendiri. Hari itu,
dua pemuda berkeliling mengumpulkan
sumbangan untuk perbaikan. Tapi warga
terlalu miskin untuk saweran.
Untuk menyambung hidup, beberapa
perempuan berjualan sayuran di Pasar
Noelbaki. Salah satunya, Anita da Costa,
perempuan beranak dua. Dua hari sekali,
Anita memborong kebun kangkung atau
sawi putih siap petik seharga Rp 100.000
untuk dipanen beberapa kali. Dua orang
tetangganya, termasuk Irene, membantu
Anita. Mereka bekerja sepanjang sore,
bahkan sampai malam. Subuh keesokan
harinya, sayuran dibawa ke pasar. Jika
laris, Anita mendapatkan untung Rp
25.000 - 30.000. Irene dan temannya
akan kebagian Rp 5.000 - 10.000.
Itulah pendapatan mereka sehari-hari.
Penghasilan suami, jika ada, habis untuk
rokok dan moke --minuman beralkohol
produksi lokal.
Karenanya, tiap kali sumur bor rusak,
mereka harus menunggu sampai
sumbangan terkumpul. Hari itu, Irene,
dibantu Sonya dan adiknya, David,
mengambil air dari sumur yang lebih
jauh. Sonya harus mengangkutnya bolak-
balik, sebab David hanya bisa membawa
jeriken kosong. Umur David baru dua
tahun.
***
Sonya --anak pengungsi Timor Timur di kamp pengungsi Noelbaki, Kupang. Jika sumur bor
rusak, mereka membantu ibu mengangkat air dari tempat yang lebih jauh.
24 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
ARMINHARI
ARMINHARI
Siang itu, Salsabila segera ganti seragam
merah putihnya. Ia masih berpeluh
setelah pulang sekolah. Dari pelataran
penuh batu, neneknya meminta Salsa
cepat makan dan cuci piring. Hari itu
Nenek membutuhkan lebih banyak batu
yang dibelah.
Bersama neneknya, Salsa tinggal di
Dusun Gegutu, Desa Sayang-sayang,
Lombok Barat. Salsa duduk di Kelas III
Sekolah Dasar (SD). Umurnya baru 9
tahun. Ibunya seorang TKW di Kuwait
dan belum pulang sejak dua tahun lalu.
Orangtua Salsa bercerai. Ayah Salsa juga
TKI, kabarnya di Malaysia. Selama ini
Salsa dan abangnya diurus neneknya,
tukang belah batu itu.
“Cuma bantu-bantu saja daripada main,”
jawab neneknya perihal Salsa yang ikut
membelah batu. Tapi tangan Salsa sudah
kapalan. Jadi pastilah bukan sedang
main-main dan tidak hanya satu dua
hari. Upah membelah batu Rp 2.000
per bak air besar. Tiap hari mereka bisa
memecah batu sampai 10 - 12 bak. Kalau
sedang ada keperluan, seperti hari itu,
nenek harus membelah batu sampai 15
bak, dibantu Salsa.
***
Kisah Sonya dan Salsa adalah cerita
sehari-hari. Di sekitar kita tak sulit
menemukan anak perempuan seperti
mereka—bahkan bisa lebih parah. Kisah
Salsabilla membantu nenek memecah batu dengan palu
godam sebesar lengannya.
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 25
mereka menggambarkan bagaimana
konstruksi gender bekerja, bahkan sejak
kanak-kanak. Dalam keluarga miskin,
anak laki-laki dan perempuan diberi
tugas dan wewenang yang berbeda.
Sebetulnya itu dianggap wajar, karena
pada setiap kebudayaan anak-anak
ditumbuhkan sesuai dengan harapan
sosialnya, termasuk harapan sosial
menjadi anak yang berbakti kepada
orangtua. Dalam banyak budaya, bekerja
membantu orangtua tidak dianggap
beban. Bahkan jauh lebih baik daripada
bermain. Dalam kenyataannya, bermain
dan bekerja pada anak keluarga miskin
memang sulit dibedakan.
***
ARMINHARI
Nabila adalah anak sulung dari keluarga
Malik dan Atikah. Mereka tinggal di Desa
Namo, Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah. Nabila kini 13 tahun tapi masih
duduk di Kelas V SD. Kendati pernah
tinggal kelas, sebenarnya Nabila bukan
anak bodoh. Ketika teman seusianya
masuk SD, Nabila harus menjaga
adik kembarnya, Aisyah dan Aminah.
Sementara adik Nabila, Husein, yang
lahir satu tahun di bawahnya, masuk
SD tepat di umur enam tahun. Atikah
membutuhkan tenaga Nabila untuk
mengurus rumah tangganya. Hanya
dengan bantuan itu, Atikah bisa ke
kebun kakao atau membantu suaminya
menarik rotan di hutan. Setelah adik
kembarnya bisa ditinggal, Nabila mulai
masuk SD. Namun ketika ia naik ke Kelas
III, ibunya hamil lagi dan Nabila harus
cuti. Sekarang pun, setelah adik-adiknya
mandiri, Nabila tetap mengambil alih
pekerjaan ibunya dan, karenanya, Nabila
sering izin tidak masuk sekolah.
Keluarga itu sangat miskin. Hampir
tidak mungkin mereka bisa makan
jika Malik dan Atikah absen bekerja
sehari saja. Setiap hari mereka ke hutan
mencari rotan, kayu bakar untuk dijual,
pandan hutan untuk tikar, atau menjadi
buruh pangkas rumput. Seperti yang
lain, mereka punya kebun kakao meski
berlahan sempit. Sayangnya, hasil kakao
tak bisa diandalkan lagi dalam beberapa
tahun terakhir. Ini menyebabkan Atikah
sekeluarga dan seluruh kampung tak
panen. Padahal, jika tak panen, tak ada
pekerjaan tambahan bagi orang upahan
Indira baru 4 tahun. Ia bersekolah di
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nagrak,
Cisarua, Sukabumi, Jawa Barat. Menurut
orangtuanya, Indira diajak ke kebun untuk
bermain sambil menjaga adiknya dan
sekaligus ikut memetik tomat.
ARMINHARI
26 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
seperti mereka. Dalam situasi itu, Nabila
harus membantu keluarganya agar
ibunya bisa ke hutan. Tak heran jika
kini ia masih duduk di SD sementara
teman-temannya telah masuk ke Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Dalam hal ini,
Nabila bukan pengecualian.
Nabila dan pekerjaan rutin hariannya:
membantu pekerjaan rumah ibunya
sambil menjaga dua adik kembarnya,
Aisyah dan Aminah.
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 27
ARMINHARI
ARMINHARI
ANAK LELAKI & PEREMPUAN SAMA-SAMA BEKERJA.
Anak lelaki dan perempuan dalam keluarga miskin sering
harus ikut mencari nafkah. “Uangnya untuk Ibu,” demikian
kata mereka. Untuk alasan itu pula, orangtua dalam keluarga
miskin tak mempersoalkan anak mereka tak pergi ke sekolah
atau bahkan mendorong anak mereka berhenti sekolah.
GALERI 1 Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan
GALERI 1 Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan
ARMINHARI
ARMINHARIBETAPETTAWARANIE
ANAK PEREMPUAN MEMBANTU DI RUMAH,
ANAK LELAKI JUGA.
Anak lelaki membantu pekerjaan orang tua
--menggembala, mencari kayu bakar, mengangkut
air, dan sebagainya. Pekerjaan itu juga bisa dilakukan
anak perempuan. Tapi pekerjaan rumah tangga
--mencuci piring, masak, mengasuh adik-- hanya
dianggap pantas dilakukan anak perempuan.
BETAPETTAWARANIE
ARMINHARIARMINHARI
CITRA PEKERJAAN DIBENTUK SEJAK KANAK-KANAK.
Konstruksi gender diinternalisasikan melalui
permainan. Pada anak lelaki permainan dihubungkan
dengan maskulinitas mereka seperti main perang-
perangan, sementara pada perempuan adalah
mengurus rumah tangga.
GALERI 1 Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan
34 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Meski kekerasan tak mengenal strata
sosial, kemiskinan menyebabkan praktik
kekerasan seksual pada anak semakin
kondusif: buruknya tempat tinggal,
relasi kuasa orangtua yang timpang,
ketergantungan ekonomi istri terhadap
suami, atau lelaki kehilangan pekerjaan
dan tinggal di rumah. Hal lain adalah
pengabaian kolektif terhadap anak-
anak keluarga miskin sehingga ‘tanda
peringatan’ (alarm) atas kekerasan
seksual terhadap mereka tidak berfungsi.
Ini semua membuat anak perempuan dari
keluarga miskin sangat rentan terhadap
kekerasan seksual.15
Kekerasan seksual pada anak perempuan
di keluarga miskin juga sering terkait
dengan ‘kewajiban kultural’ mereka.
Mereka dituntut untuk mengalah atau
berbakti kepada orangtua dalam bentuk
yang berbeda dari jenis tuntutan kepada
anak lelaki. Pemaksaan kawin di bawah
umur --atau bahkan dengan sengaja
dijual untuk dilacurkan-- hanya terjadi
pada anak perempuan, meski anak lelaki
miskin harus ikut mencari nafkah dengan
cara yang keras.
Apalagi bagi anak perempuan
berkebutuhan khusus. Women
Crisis Center (WCC) Rifka Annisa
di Yogyakarta mencatat, sejak 2003
pengaduan perkara kekerasan seksual
Praktik eksploitasi dan diskriminasi
bisa berawal dari sini. Meski sama-
sama mengalami kemiskinan, sejak kecil
anak perempuan sering menanggung
beban lebih berat. Bahkan, pada kasus
paling ekstrem seperti hubungan seksual
sedarah (incest), anak perempuan
menjadi pengganti ibu dalam memenuhi
kebutuhan biologis bapaknya.13
“Sejak konflik, kami membuka Rumah
Aman di sini (Ambon). Banyak istri
menjadi korban kekerasan suaminya
yang kehilangan pekerjaan. Anak
perempuan menjadi korban kekerasan
seksual bapaknya atau bapak tirinya. Tak
jarang ibunya tahu, tapi dalam situasi
di pengungsian, ibunya tak berdaya.
Beban mencari nafkah terlalu berat untuk
ditanggung sendiri. Anak sering diminta
tutup mulut. Anak pun patuh karena di
pengungsian tak punya siapa-siapa selain
ibunya. Situasi ini sangat menyulitkan
dalam proses pendampingan di Rumah
Aman. Anak dan ibu seperti bersekongkol
menutupi kebejatan ayah atau ayah
tirinya dan suaminya. Padahal, anak telah
nyata menunjukkan gejala gangguan
mental.”14
13
Dalam catatan Komite Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), incest yang terjadi dalam
kelurga miskin sering dipicu oleh tidak
memadainya ruangan di dalam rumah. Dalam
banyak kasus, incest juga terjadi ketika istri
bekerja di luar rumah atau menjadi buruh
rantau. Melalui penaklukan anak perempuan
atau menciptakan rasa bersalah karena ibunya
meninggalkan keluarga untuk bekerja, anak
perempuan sering diminta berkorban dengan
melayani kebutuhan biologis bapaknya.
(Wawancara dengan Badriyah Fayumi, KPAI,
17 Juni 2013).
14
Lies Marantika, Yayasan Humanum.
Wawancara di Ambon, 12 Juli 2013.
15
Pusat Studi Gender Universitas Indonesia
(2013), ‘Kekerasan Seksual di Lembaga
Pendidikan di Wilayah Depok’. Laporan
penelitian tak diterbitkan.
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 35
ARMINHARI
Anak-anak perempuan keluarga miskin di barak
pengungsian seperti di Ambon (ATAS), atau
di perkampungan kumuh dan padat seperti di
Jayapura (BAWAH), adalah yang termasuk paling
rentan menjadi korban kekerasan dan kejahatan
seksual, bahkan oleh orang-orang terdekat
(keluarga dan kerabat) mereka sendiri.
BETAPETTAWARANIE
ARMINHARI
pada anak perempuan dengan kebutuhan
khusus (difabilitas) meningkat berkali
lipat: dari 2 kasus pada tahun 2004
menjadi 4 kasus pada 2008 dan 8 kasus
pada tahun 2011. Kualitas kekerasannya
juga semakin parah.16
Demikian halnya
dengan kasus-kasus yang ditangani
lembaga untuk kelompok difabilitas
seperti SAPDA (Sentra Advokasi
Perempuan Difable dan Anak).17
Banyak
dari kasus-kasus kekerasan seksual
tersebut tak penah sampai ke pengadilan.
Persoalan terberat dalam kekerasan
terhadap anak berkebutuhan khusus
adalah karena korban kerap dianggap
tidak cakap hukum. Laporan kekerasan
seringkali dimentahkan bahkan oleh
keluarganya sendiri. Pada kasus tertentu,
korban atau keluarganya justru yang
disalahkan keluarga pelaku. Mereka
dianggap tidak mampu menjaga anak
berkebutuhan khusus itu. Bahkan, dalam
beberapa kasus, anak perempuan yang
mengalami gangguan kesehatan mental
dianggap punya kelainan secara seksual.
Karenanya ketika terjadi kekerasan
seksual, tindakan pelaku tidak dihitung
sebagai kejahatan dan tidak diusut.18
Kemiskinan yang dialami anak-anak
16
Data dari wawancara dengan Direktur WCC
Rifka Annisa di Yogyakarta, 12 September
2013.
17
Beberapa kali Yayasan SAPDA menangani
kasus pada Sekolah Luar Biasa (SLB)
yang mengalami kekerasan seksual oleh
guru atau pengasuh asrama. SAPDA
kemudian menyusun panduan penanganan
kasus dengan pendekatan yang tidak
menggeneralisasikan kasus. (Wawancara
Nurul Saadah, SAPDA, 9 April 2013).
18
Keterangan diperoleh dari Yenni Rosa
Damayanti yang pernah menangani korban
kekerasan seksual pada anak perempuan
yang dipasung karena menderita ganguan
kesehatan mental. (Wawancara di Jakarta, 18
Februari 2013).
36 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
juga sering diselesaikan dengan cara-
cara ‘penyelesaian sementara yang
tidak tuntas’ (ad hoc). Misalnya, dengan
menitipkan mereka pada kerabat,
tetangga, atau keluarga lain. Meski tak
sedikit yang benar-benar memelihara
mereka secara layak, cara seperti itu
sering juga digunakan sebagai praktik
perbudakan terselubung, terutama
pada anak perempuan. Anak angkat
diperlakukan sebagai pembantu tanpa
upah dan tanpa diberi pendidikan. Kasus
Mila di Aceh menggambarkan hal yang
lebih parah lagi.
Mila Bersaksi di Pengadilan
Majid, ayah Mila, semula buruh pada
kilang penggergajian kayu. Setelah
lahannya tergusur perluasan kebun sawit
di Aceh Timur, kilang kayunya tutup
dan Majid mengganggur. Sebetulnya
ia bisa bekerja di kebun sawit, tapi
perkebunan membutuhkan tenaga baru
yang tahan banting. Majid pasrah pada
keringkihannya.
Derita lain datang tak diundang. Marliyah,
ZULFAND.MUHAMMAD
ibu Mila, lumpuh separuh pasca persalinan anak bungsunya. Ia menderita anemia dan
kekurangan gizi kala hamil. Alih-alih mengatasi masalah, Majid minggat menarik becak
di Medan. Marliyah pun sendirian menanggung beban tiga anaknya: dua lelaki dan satu
perempuan.
Karena lumpuh sebelah, Marliyah hanya bisa bekerja pada ibu atau kakaknya dengan
upah serantang nasi dan lauk. Untuk mengurangi beban, ia titipkan Mila kepada kakak
perempuannya. Tapi karena kakaknya juga banyak tanggungan, Mila dititipkan lagi
pada sepasang suami istri tanpa anak yang pantas menjadi kakek dan neneknya. Orang
hanya mau mengambil anak perempuan, karena anak lelaki tak bisa diandalkan untuk
mengurus rumah tangga. Padahal Mila ketika itu baru berumur 6 tahun
Sebagaimana terungkap di persidangan, kekerasan seksual dialami Mila sejak berumur
7 tahun hingga peristiwa ini terungkap ketika Mila berumur 11 tahun. Pada awal April
2013, ketika sidang berlangsung, di depan para penegak hukum --lima orang lelaki
bertoga hitam yang terdiri dari majelis hakim, pembela dan jaksa itu-- Mila menceritakan
dengan terbata-bata dalam bahasa daerah tentang apa yang ia lihat, ia pegang, dan ia
rasakan dari tindakan durjana ayah angkatnya.v
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 37
Kekerasan seksual dan eksploitasi
hanyalah contoh dari kerentanan anak
perempuan dalam kemiskinan. Situasi
itu hanya bisa dicerna dengan perangkat
analisis yang tepat untuk memahami
ketimpangan antara (anak) lelaki dan
perempuan serta kerentanan yang
diakibatkannya. Dan itu bukan sesuatu
yang mustahil untuk dicarikan jalan
keluarnya. Beberapa lembaga yang
terkait dengan hukum telah melakukan
upaya-upaya itu.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN)
Cibinong, D.S. Dewi, sejak lama
memberi perhatian khusus pada anak
yang berhadapan dengan hukum. Ia
mencontohkan upaya lembaga hukum
agar lebih peka pada anak di pengadilan.
Ia mencatat, di berbagai daerah tempat
ia pernah bertugas --PN Bale Endah
Bandung dan PN Stabat, Langkat,
Sumatera Utara-- dan tempatnya
kini bertugas --PN Cibinong, Bogor,
Jawa Barat-- jumlah anak lelaki dan
perempuan yang berhadapan dengan
kasus hukum terus meningkat.19
Hakim Dewi --dan beberapa tokoh
hukum seperti almarhum Hakim
Agung Bismar Siregar dan Hakim
Agung Mariani (untuk sekadar
menyebut beberapa contoh)-- selalu
mengedepankan asas restorative justice
dalam perkara-perkara yang menyangkut
anak, yakni prinsip hukum yang
bertujuan memperbaiki keadaan anak,
baik sebagai pelaku maupun korban.
Cara ini dianggap jauh lebih penting
daripada menghukum pelaku sebagai
mekanisme pembalasan atas tindakannya
atau yang biasa disebut sebagai
retributive punishment.20
Sementara bagi anak perempuan korban
kekerasan seksual, hal utama yang
harus dilakukan adalah menjauhkan
anak dari trauma berulang-ulang.
Karenanya, perangkat ruang sidang yang
ramah terhadap anak korban kekerasan
seksual mutlak harus tersedia. Selain itu,
hakim wajib menghindari penggunaan
bahasa, gerak tubuh, dan atribut yang
membuat anak terintimidasi. Ini berlaku
terutama pada mahkamah yang tidak
menyediakan hakim khusus untuk
perkara anak. Untuk itu, menunjuk
tim majelis yang paham seluk beluk
kekerasan seksual pada anak --meskipun
bukan hakim khusus perkara anak--
adalah sangat instrumental.
Di atas itu semua, menurut Hakim Dewi,
sangat penting melakukan pendekatan
kepada orangtua korban agar tak
memperparah kejiwaan anak dengan
19
Dalam catatan data perkara anak tahun
2013 di PN Cibinong, jumlah anak sebagai
pelaku adalah 9 perkara, anak sebagai korban
31 perkara, 28 di antaranya adalah perkara
kekerasan seksual kepada anak perempuan
dengan pelaku lelaki dewasa 25 orang dan
pelaku anak lelaki 3 orang.
20
Wawancara tanggal 3 Juli 2013. Lebih lanjut
lihat Dewi D.S. dan Fatahillah A.Syukur
(2011), Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Jakarta:
Indie Publishing.
38 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Hakim Dewi di Pengadilan Negeri Cibinong,
Bogor, ketika memutuskan kewajiban
negara memberi akte kelahiran pada setiap
anak. Keputusan itu dibuatnya sebelum
keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No.6/2013 tentang hak setiap anak
mendapatkan akte kelahiran tanpa perlu
putusan pengadilan lagi.
ARMINHARI
bertindak hanya mementingkan ego
orang dewasa. Hakim Dewi, misalnya,
menolak upaya keluarga yang menuntut
pelaku kekerasan seksual (dewasa)
yang hendak mengawini korban sebagai
upaya penyelesaian di luar sidang.
Perdamaian seperti itu, menurutnya,
hanya memikirkan kepentingan orang
dewasa dan mengabaikan penderitaan
anak. Sementara bagi anak perempuan
berkebutuhan khusus, negara wajib
menghadirkan tenaga ahli yang
memahami persoalan mereka tanpa
prasangka negatif, apalagi merampas
hak-hak dasarnya sebagai anak atau
sebagai manusia lantaran difabilitasnya.
Dengan sistem dan penegak hukum yang
peka pada kebutuhan anak (lelaki dan
perempuan) dan pada persoalan gender,
rasa keadilan bagi anak perempuan
serupa Mila bisa terpenuhi. Namun
penegakan hukum tak mungkin bekerja
sendiri. Sistem sosial yang adil kepada
perempuan --dalam masyarakat yang
masih mengutamakan anak lelaki--
adalah arena perjuangan yang tak
kalah penting. Melalui perjuangan itu
nasib anak perempuan seperti Sonya,
Salsa, Nabila dan Mila, niscaya bisa
terselamatkan. Jika saja Indonesia
memiliki lebih dari seribu Hakim Dewi
yang peka terhadap ketidakadilan gender
dalam dunia peradilan, niscaya anak dan
perempuan akan lebih terlindungi dari
pemiskinan yang tidak perlu.v
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 39
Tumbuh Kembang
Tidak Seimbang2
Dalam banyak budaya dan kelompok sosial yang kami
kunjungi, anak perempuan dianggap penting, tetapi
anak lelaki adalah harapan keluarga. Perbedaan perlakukan
kepada anak lelaki dan perempuan melekat dalam beragam
unsur budaya, dongeng, legenda, ajaran agama, praktik
sosial, hingga kebijakan pasar dan politik.
Ibu Lilis, perempuan Sunda, mandor pengolahan pucuk teh
di perkebunan Goalpara, Sukabumi, Jawa Barat, membuat
amsal tentang anak lelakinya: ”lalaki mah panjang lengkahna
pikeun jaga nulung ka indung (lelaki itu langkahnya panjang
untuk kelak menolong ibu).” Sebaliknya, anak perempuan
dinilainya ‘pendek langkah,’ terikat oleh anak-anak,
keluarga, rumah tangga, atau kampung halamannya.
Nyatanya, dua anak lelakinya tak benar-benar bisa
membantu. Wahyu merantau ke Jambi sebagai guru SD,
sedang anak bungsunya, Acep, supir angkutan umum
luar kota, jarang berkunjung. Kehidupan Bu Lilis praktis
ditunjang Enik, anak perempuan sulungnya yang menikah
dengan buruh kebun sayuran.
Pekerjaan Enik mengurus rumah tangga. Tapi ia luar
biasa repot. Dua anaknya masih harus diasuh, sementara
ia membantu mengurus rumah ibunya, masak untuk
ayahnya, dan setiap hari ke Taman Kanak-kanak (TK)
Para pekerja perempuan di
perkebunan teh Goalpara,
Sukabumi, Jawa Barat, sedang
menimbang pucuk-pucuk
teh hasil pemetikan. Mereka
bekerja di perkebunan luas itu
sepanjang hari.
untuk antar jemput keponakannya --anak Wahyu yang
dititipkan pada ibu mereka. Bila pucuk teh melimpah
dan penggilingan berlangsung hingga malam, seluruh
tanggung jawab rumah tangga Lilis ada di tangan Enik.
Sebagaimana dalam keluarga berada, dalam keluarga
miskin pun pandangan tentang anak tak selalu statis.
Pandangan tentang keutamaan anak lelaki sering juga
bersifat normatif. Tetapi, anggapan itu akan menjadi
nyata ketika dipatri dalam tradisi, dipraktikkan dalam
keyakinan (agama), dan bergerak dalam angan-angan.
40 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
ARMINHARI
Mak Itoh, seorang pedagang keliling
makanan jajan di Cikulur, Serang,
Banten,21
menjelaskan:
“Kalau anaknya laki-laki, gawan (oleh-
oleh untuk dukun persalinan) nya
juga lain, bayarnya juga lebih mahal.
Berkatnya untuk dukun lebih lengkap
pake ayam atau sedikitnya endog (telur,)
tak hanya tahu, tempe, srundeng kelapa,
dan uraban. Kalau bayinya laki-laki, kata
paraji (dukun) nya itu ngurutnya bedas
(keras), dan bantu kelahirannya juga lebih
besar tenaganya.”
Pembedaan ‘nilai’ serupa itu tak hanya
ditemui dalam praktik kesehatan
tradisional. Di Negeri (Desa) Waru,
Kecamatan Teon Nila Serua (TNS),
21
Sejak Multatuli menerbitkan Max Havelaar
tahun 1860, kemiskinan menghantui rakyat
kecil Banten hingga kini. Dari 10,6 juta
jiwa penduduknya (laki-laki 5,4 juta, dan
perempuan 5,9 juta), sebagian besar berada
di batas garis kemiskinan. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan jumlah warga
miskin Banten sampai Maret 2013 adalah
sebesar 656.243 jiwa. Artinya naik 7.989 jiwa
dari triwulan sebelumnya.
Indikator kemiskinan terlihat dari Angka
Kematian Ibu (AKI) daerah ini tertinggi di
Pulau Jawa. Menjadi buruh rantau merupakan
pilihan paling mungkin bagi perempuan
akibat rendahnya pendidikan. Perubahan
pola pemanfaatan tanah dari lahan pertanian
menjadi industri menggusur kesempatan
kerja petani dan buruh tani tanpa pendidikan.
Pabrik-pabrik manufaktur diisi tenaga buruh
perempuan berupah terendah. Keadaan itu
secara gender menyebabkan buruknya kondisi
sosial ekonomi perempuan justru di provinsi
yang dipimpin oleh seorang gubernur
perempuan, Ratu Atut Chosia --yang ketika
buku ini disusun sedang dalam penyelidikan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
22
Focus Group Discussion (FGD) dengan ibu-
ibu dampingan Yayasan Pasuri --satu LSM
lokal anggota Jaringan Baileo Maluku-- di
Negeri Waru, Kecamatan TNS, Maluku
Tengah, 9 Juli 2013.
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 41
Maluku Tengah, perbedaan biaya
melahirkan anak lelaki dan anak
perempuan bisa sampai Rp 200.000
atau Rp 300.000. Ibu bidan beralasan
bahwa penggunaan obat suntik untuk
merangsang kelahiran bayi lelaki harus
lebih banyak, meskipun bidan sendiri
mengakui tingkat kesulitan membantu
persalinan tak ada hubungannya dengan
jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan.22
Di banyak keluarga, anak lelaki
digadang-gadang sebagai gantungan
hidup. Mungkin itu tak berlebihan,
sebab bagi keluarga miskin anak lelaki
diangankan bisa menjadi penahan
beban agar bandul kemiskinan tak
meluncur lebih dalam ke sumur tanpa
dasar. Perubahan pola tenaga kerja
dan kurangnya pekerjaan lelaki tidak
Mak Itoh di dapur rumahnya.
ARMINHARI
Upacara gusaran di daerah perkebunan
sayuran di Lembang, Bandung, dipimpin
oleh paraji (dukun) perempuan. Dalam
perhelatan sederhana seperti ini pun
konstruksi gender tentang bagaimana
seharusnya menjadi lelaki dan perempuan
dilakukan. Melalui upacara sawer, paraji
menyampaikan wejangan dalam nyanyian
Sunda yang menekankan bagaimana anak
lelaki seharusnya kelak menjadi ksatria
atau pahlawan.
secara otomatis mengubah prioritas bagi
anak lelaki. Ritual dan tradisi memastikan
superioritas anak lelaki terpelihara dan
harapan sosial tak berubah.
Dalam tradisi Islam Jawa dan Sunda,
selamatan atas kelahiran bayi selalu
dilakukan, meski bukan dalam bentuk
aqiqah --memotong kambing; dua ekor
bagi anak lelaki, dan satu bagi anak
perempuan. Dalam tradisi Sunda, anak
laki-laki menjalani upacara adat seperti
gusaran sebelum sunat. Ritual ini terdiri dari
ibak (mandi), dangdos (berdandan), diparas
(bercukur), saweran (menabur dengan beras,
permen, irisan kunyit, dan uang recehan)
ARMINHARI
42 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
berisi perlambang dan nasihat yang
mengukuhkan maskulinitas pada lelaki,
atau femininitas bagi anak perempuan,
sesuai dengan harapan sosial masyarakat
terhadap mereka masing-masing.
Pada keluarga miskin sekalipun,
kelahiran anak lelaki dianggap sebagai
berkah untuk alasan yang sepertinya
sepele bagi banyak orang: membawa
pulang berkat (makanan) dari pesta
selamatan --upacara yang hanya dihadiri
para lelaki.
“Enaknya ya punya anak lelaki, bisa ikut
‘ngriung (berkumpul) dan pulang bawa
berkat. Tujuh malam kita bisa makan
berkat kalau ada tetangga slametan.
Padahal, di sini orang slametan hampir
tiap hari. Saya tak bisa mendapatkan
besek (bungkusan) berkat karena anak
saya semuanya perempuan. Perempuan
tak diundang slametan. Kalau kebetulan
mantu saya pulang telat, ya kapiran, tak
kebagian berkat.”23
Setiap ibu dalam keluarga miskin akan
sangat mengandalkan bantuan dan
berbagi tanggungjawab dengan anak
perempuan mereka. Di sejumlah daerah
yang dikunjungi, nilai anak perempuan
dalam keluarga miskin jelas mengalami
pergeseran. Banyak orangtua yang
sangat menyadari bahwa peluang kerja
pada anak perempuan lebih besar.
Namun, unsur kelembagaan dalam
masyarakat --seperti adat dan agama,
bahkan peraturan negara-- tetap saja
mengukuhkan keutamaan anak lelaki.
Setelah Gunung Meletus:
Anak Perempuan di Pulau
Palue
Di wilayah tertentu, seperti di Pulau
Palue, Kabupaten Sikka, Flores,
nilai anak perempuan dianggap tak
sepenting anak lelaki. Herannya,
pandangan itu keluar dari warga pulau
yang sebagian besar penduduknya
perempuan. Pulau ini laksana ‘Pulau
Bidadari’ --pulau kaum perempuan
dengan bibir merah bergincu sirih
pinang. Mereka pekerja keras yang ulet
dan tangguh. Dengan tertawa lepas,
mereka mengatakan lelaki itu pemalas
dan kerjanya hanya minum moke (arak
lokal).
Sebetulnya, sejak dulu kala banyak
lelaki dari pulau ini merantau dan
mencari pekerjaan di tempat lain.
Para lelaki nelayan yang tinggal di
pesisir, pergi melaut selama berbulan-
bulan. Mereka mencari ikan sampai
ke Manggarai, bahkan Papua, dan
kembali di musim barat. Lelaki dari
daerah pegunungan merantau secara
mandiri ke Malaysia lewat Batam atau
Nunukan. Mereka tak mau disebut TKI,
karena tidak pernah memanfaatkan
fasilitas perusahaan Penyedia Jasa
Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Mereka
bekerja di penggergajian kayu dan
perkebunan sawit.
Beberapa perempuan mengikuti
suami mereka merantau, tapi bukan
sebagai pekerja rumah tangga. Mereka
mengurus suami, membuka dapur
23
Katipah (pekerja serabutan), wawancara di
Samparwadi, Serang. 5 April 2013.
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 43
bagi anak-anak. Pada anak lelaki dan
perempuan, dampaknya sama beratnya.
Ketika tinggal di pengungsian, anak
perempuan kembali menjadi pembantu
bagi ibu mereka untuk memulai
kehidupan baru. Selain itu, mereka harus
beradaptasi dengan lingkungan, teman,
dan sekolah yang baru.
Hermin Emanuella bersama Ibu Guru Karmadina Bhure dan teman-temannya, murid-murid SD Katolik
Awamaleh Nitunglea yang dititipkan di SD INPRES Sinde Kabor, Maumere (GAMBAR SISIPAN). Di kampungnya
di Desa Nitunglea di Pulau Palue, Hermin semula tinggal bersama ibunya, Maria Rakka Lebih. Ayahnya, Emanuel
Woro, merantau ke Malaysia. Sejak Gunung Rokatenda meletus, Hermin dan ibu serta neneknya mengungsi ke
Maumere. Mereka tinggal di Lorong Haji Kasim, Kilometer Dua, Kampung Garam, Maumere. Ketika di kampung,
Hermin telah sekolah Kelas I. Proses belajar mengajar, menurut Ibu guru Karmadina Bhure --yang juga guru
Hermin ketika di kampung-- sudah berlangsung tiga bulan. Namun bencana itu menghentikan seluruh kegiatan
dua SD yang terletak di jalur aliran lahar dingin. Ibu Karmadina adalah pegawai negeri sipil (PNS) pertama
yang mengungsi ke Maumere dan ditempatkan mengajar di SD INPRES Sinde Kabor, tempat Hermin dan 20
orang temannya dititipkan. Tapi Hermin kemudian ‘mogok sekolah.’ Alasannya, karena ia tak pandai berbahasa
Indonesia. Seperti diceritakan kembali oleh ibu guru Karmadina, Hermin mengatakan: ”Saya takut sekolah, nanti
anak-anak pukul saya karena saya tak bisa bicara bahasa Indonesia.”
ARMINHARI
44 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
bagi para pekerja bujangan yang juga
merantau. Sementara yang tinggal
di desa --umumnya perempuan tua--
menenun kain (ikat) tradisional sambil
bekerja mengolah kebun sebagai petani
lahan gunung.
Bencana seperti letusan Gunung
Rokatenda akan berdampak buruk
ARMINHARI
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 45
Ambon: Anak Lelaki &
Perempuan di Medan Konflik
Di Pulau Haruku, Maluku Tengah,
sebagaimana di Kepulauan Maluku
umumnya, kedudukan anak lelaki dan
perempuan relatif setara. Sangat boleh
jadi ini karena pengaruh Belanda yang
memberi kesempatan pendidikan yang
sama bagi keduanya. Tokoh Pergerakan
Kemerdekaan dari Maluku seperti
Christina Martha Tiahahu mempelopori
kepemimpinan kaum perempuan sejak
zaman Belanda.
Namun secara adat, anak lelaki tetap
istimewa. Karenanya di beberapa kasus,
anak perempuan justru didorong untuk
bersekolah lebih tinggi sebagai ikhtiar
untuk menyeimbangkan. Eliza Kissya,
Kepala Kewang (harafiahnya: ‘Penjaga
Hutan’) Negeri Haruku --penerima
Anugerah Nasional Lingkungan Hidup,
Kalpataru, tahun 1986-- menjelaskan
alasannya:
“Sejak tahun 1823, tanah-tanah adat telah
diregistrasi dan tercatat ada dua jenis
tanah: (1) dusun pusaka yang merupakan
tanah pusaka bagi anak lelaki dan
perempuan; dan (2) dusun dati, semacam
tanah warisan khusus bagi anak lelaki.
Anak perempuan disekolahkan tinggi-
tinggi agar mereka bisa melindungi
saudaranya yang lelaki yang harus
mengurus tanah adat, tanah dati, hutan
sagu, kebun kelapa, kebun cengkeh yang
hasilnya semua dimanfaatkan keluarga.
Anak perempuan saya belum lulus
kuliah ketika ia kawin. Ia lalu dibawa
suaminya merantau ke Jakarta. Saya
bilang pada suaminya, kewajiban saya
belum selesai, jadi saya bawa lagi dia
pulang ke Ambon, saya biayai dia kuliah.
Saya dan istri urus anak-anaknya sampai
dia lulus dan bekerja. Anak perempuan
harus dapat pendidikan baik agar mereka
mandiri. Anak lelaki sudah banyak diberi
keistimewaan oleh lingkungannya, oleh
adat.”24
24
Eliza Kissya, wawancara di Pulau Haruku,
Maluku Tengah, 11 Juli 2013.
Eliza Kissya (paling kiri) saat memimpin rapat
dan perjamuan adat Kewang Haruku untuk ritual
tahunan Buka Sasi Lompa, tengah malam 23
November 2013. Dua dari lima orang perempuan
anggota tetap Dewan Adat Haruku tersebut
tampak di latar belakang.
Tetapi usaha untuk menempatkan anak-
anak dalam pijakan yang seimbang
itu sangat tak mudah tatkala terjadi
guncangan sosial seperti konflik atau
bencana. Anak perempuan, laki-laki,
atau anak-anak berkebutuhan khusus,
menghadapi masalah berat yang sering
kali berbeda bentuknya. Demikian halnya
dengan warga lanjut usia.
ARMINHARI
25
Nus Ukru, Koordinator Jaringan Baileo
Maluku, wawancara di Ambon, 6 Juli 2013.
26
Lies Marantika, Yayasan Humanum,
Ambon. Wawancara di Ambon, 7 Juli 2013.
Dalam konflik Ambon yang berlangsung
selama empat tahun, misalnya, anak
lelaki terdorong untuk menunjukkan
maskulinitas mereka dengan belajar
langsung dari laki-laki dewasa. Mereka
meninggalkan rumah atau pengungsian
dan hidup di jalan-jalan untuk belajar
‘bertempur.’25
Akibat konflik, baik anak-anak lelaki
maupun perempuan sama-sama
kehilangan kesempatan mereka untuk
sekolah. Namun, konflik menempatkan
anak perempuan ke dalam situasi yang
sangat berat. Di pengungsian, mereka
harus mengambil alih pekerjaan ibu.
Konflik telah menghilangkan pekerjaan
dan menyeret ayah mereka ke medan
konflik dengan meninggalkan keluarga.
Dengan begitu, kebutuhan sehari-hari
harus dipenuhi oleh perempuan. Di
pengungsian, anak perempuan masuk ke
dalam perangkap kerja domestik yang
lebih berat daripada ketika di rumah
asalnya: prasarana terbatas, tenaga kerja
pengganti dari keluarga batih tidak
ada. Apalagi jika ada orang lanjut usia,
anak kecil, atau anggota keluarga yang
berkebutuhan khusus. Semua beban akan
dilimpahkan kepada anak perempuan.26
Sebagaimana anak lelaki, anak
perempuan belum tentu punya
kesempatan sekolah setelah berakhirnya
masa konflik. Mereka --baik anak lelaki
maupun perempuan-- yang kehilangan
ibu, pendidikannya bisa benar-benar
kandas. Tetapi, peluang sekolah bagi
anak perempuan dan anak lelaki bisa
berbeda. Ini terutama ketika ayah mereka
tak menemukan pekerjaan pengganti.
Karenanya, ibu mereka harus terus
melanjutkan mencari nafkah. Dalam
keadaan seperti itu, anak perempuan
kembali mengambil alih pekerjaan
ibunya: mengurus rumah tangga.
“Selama konflik, suami saya terpaksa
berhenti dari pekerjaannya. Ia dulu
bekerja di perusahaan pengolahan
makanan laut. Saya tidak punya
pekerjaan, saya hanya ibu rumah tangga.
Kami punya dua anak, satu lelaki dan
satu perempuan. Biaya sekolah naik,
mereka harus berganti oto beberapa kali,
Anak perempuan pengungsi di satu pojok barak
pengungsi korban kerusuhan sosial 1999-2002 di
Gudang Vitas Barito, Passo, Ambon.
46 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
27
Ibu Helena, wawancara di Ambon, 26
November 2013.
28
Penduduk Bali berkisar 2 juta jiwa, 5% di
antaranya adalah pendatang. Kebanyakan
penduduk asli Bali ini menjadi pekerja
upahan di sektor industri pariwisata. Hal ini
dan kami harus membeli air minum.
Pada saat itu, harga air bukan main
mahalnya. Tangki yang didatangkan dari
Negeri Halong ke desa kami di Galala
bisa dua atau tiga kali lipat mahalnya
dari sekarang. Sekarang, harganya Rp
159.000 per tangki. Ibu saya keturunan
Jawa-Ambon dan memiliki keterampilan
memijat. Selama konflik, ada banyak
tentara datang dari Jakarta, dan mereka
mencari tukang pijat yang baik. Ibu
saya mendorong saya untuk memijat
di hotel, karena mereka kekurangan
tenaga. Secepatnya, saya belajar memijat
dan saya banyak dicari setelahnya. Saya
melanjutkan pekerjaan ibu sebagai tukang
pijat untuk membayar biaya sekolah
anak-anak, membeli makan, air, dan
membayar sewa rumah. Anak tertua
kami sekarang sudah bekerja, tetapi
anak perempuan kami berhenti sekolah
saat masih SMP. Sekarang dia tinggal di
rumah dan merawat ibu saya yang sudah
tua. Suami saya masih mencari pekerjaan.
Sejak konflik di kota Ambon berakhir,
semakin banyak orang datang dari luar.
Mereka semua muda, suami saya sudah
tua.”27
Bali & Lombok: Anak
Perempuan Tak Dapat Warisan
Tak peduli kaya atau miskin, hadirnya
anak lelaki di keluarga Bali adalah
dambaan keluarga.28
Tak heran jika
seorang perempuan tak mau ikut
program Keluarga Berencana (KB)
sebelum punya anak lelaki, meski telah
punya empat anak perempuan. Pada
April 2013, muncul berita di koran
lokal bahwa seorang bapak mengakhiri
hidupnya karena anak keempatnya
perempuan lagi. Dalam tradisi Bali, anak
lelaki adalah purusa, pewaris, dan garis
keluarga diturunkan secara ketat melalui
garis lelaki, begitu juga rumah dan harta
warisan.
Tanpa anak lelaki, satu keluarga akan
kehilangan tali pelanjut keturunan dan
tak akan ada yang mewakili keluarga
dalam upacara adat dan pertemuan
banjar (musyawarah warga desa).
Padahal upacara adat merupakan pusat
kehidupan orang Bali. Begitu pentingnya
kehadiran anak lelaki, hingga di wilayah
tertentu, seperti Tabanan, tersedia
mekanisme adat untuk mengatasi
masalah kelangkaan anak lelaki itu
melalui pengangkatan menantu laki-laki
sebagai sentana. Artinya seorang lelaki
atau suami ikut istri, sementara istrinya
ditetapkan oleh keluarga bapaknya
sebagai pewaris atau purusa. Tak banyak
lelaki yang bersedia menukar perannya,
sebab begitu menjadi sentana, ia akan
kehilangan haknya sebagai anak lelaki
dalam keluarganya sendiri.
Tentu, anak perempuan dalam adat Bali
juga punya nilai. Setelah dewasa mereka
akan disebut pradana. Tapi, tetap saja,
perempuan dianggap tidak memiliki
memunculkan sejumlah persoalan, karena
basis ekonomi orang Bali pada dasarnya
adalah pertanian.
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 47
29
Lebih lanjut lihat Mantra, Gayatri (2011),
‘Kekerasan Ideologi Patriarki pada Perempuan
Bali,’ Bali Sruti, the Voice of Women in Bali, 5
Juni.
30
Wawancara Ni Luh Darmiati (Niki), Pantai
Kuta, Bali, 1 Juni 2013.
pradana sempurna jika tidak menikah,
tidak punya anak, atau tidak punya
anak lelaki.29
Seorang ibu, apalagi telah
tua dan berasal dari keluarga miskin,
akan sangat tergantung pada anak
laki-laki dan menantunya. Hubungan
ibu dan anak perempuannya secara
adat lebih renggang dibandingkan
hubungan dengan tetangga. Sebab,
setelah menikah, anak perempuan akan
terpisah dari keluarganya dan masuk
ke keluarga suaminya. Oleh karena itu,
hubungan yang harus diciptakan dan
dikembangkan adalah antara ibu mertua
dan menantunya --hubungan yang
pada kenyataanya selalu rumit. Posisi
perempuan --baik sebagai anak atau
sebagai menantu-- sama sulitnya, karena
mereka kehilangan banyak aspek dari
kemandirian mereka.
Ni Luh Darmiati atau Niki adalah anak
bungsu dari Meme Dami (64), salah
seorang tukang urut di Pantai Kuta. Niki
juga bekerja di pantai untuk perawatan
kuku (manicure, pedicure). Niki punya tiga
orang kakak lelaki. Rumah Meme Dami
ada di Blok Plaza, hanya beberapa ratus
meter dari Pantai Kuta. Setelah menikah,
Niki pindah ke rumah mertuanya di
Karangasem. Namun, karena terlalu
jauh untuk dilaju, Niki pulang ke Kuta
agar tetap bisa bekerja. Sejak sebelum
menikah, tiap pagi Niki dan Memenya
pergi bersama-sama mencari rezeki
ke Pantai Kuta dan pulang ke rumah
yang sama di malam hari. Namun, kini
statusnya telah berbeda, karena Niki tak
lagi punya hak atas rumah itu. Niki kini
‘indekos’ di rumah Meme (ibu) nya.30
Industri pariwisata telah mengubah
wajah Bali menjadi tempat hiburan 24
ARMINHARI
Mural kehidupan masyarakat agraris
perdesaan Bali di dinding tembok Aston
International Hotel, Kuta, Denpasar, Bali.
Disemarakkan dalam lukisan, digusur terus
dalam kenyataan sebenarnya.
48 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
jam. Dampak paling menyedihkan dari
industri pariwisata adalah meningkatnya
pekerja seks, termasuk mereka yang
masih di bawah umur. Mereka datang
dari daerah-daerah di Jawa Timur,
dan dikenal sebagai ‘perempuan Bali
dengan citarasa Banyuwangi.’ Yayasan
Kertapraja yang bekerja menangani HIV
mencatat banyaknya kasus perdagangan
orang (trafficking) dan pelacuran
anak yang dibawa dari Jawa Timur,
Kalimantan, Jawa Barat, dan daerah-
daerah miskin di Bali Utara. Baik anak
perempuan atau laki-laki terancam
masuk ke dalam dunia prostitusi. Mereka
semua berada dalam risiko terinfeksi
penyakit menular. Bagi perempuan,
risiko itu bertambah, yaitu kehamilan
yang tak dikehendaki.31
Kebudayaan Lombok juga
mengutamakan anak lelaki. Mayoritas
penduduk Lombok adalah suku
Sasak beragama Islam. Pusat otoritas
keagamaan ada pada ‘Tuan Guru’
(kedudukannya serupa dengan Kyai di
Jawa). Ada sejumlah suku adat lokal
31
Heru Utomo, Yayasan Kertapraja,
sebagaimana dikutip dalam Merdeka.com, 21
Oktober 2013.
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 49
--seperti Suku Sasak Bayan di Lombok
Utara dan Sasak Kopang di Narmada dan
Lingsar-- yang menganut ‘Islam Watu
Telu’ dan secara adat sangat kuat dengan
kebudayaan agraris yang juga berpusat
pada lelaki.
Seperti adat Bali, di kebudayaan Sasak
asli, rumah diwariskan kepada anak
lelaki. Asumsinya, setiap perempuan
yang berkeluarga akan dibawa suaminya.
Pada kenyataannya, perempuan Sasak
merupakan pekerja keras. Mereka
harus bisa menghidupi diri sendiri dan
anaknya tanpa tergantung kepada suami.
Padahal, banyak lelaki setempat pergi
merantau karena kehilangan pekerjaan
sebagai petani setelah lahan dijual demi
berhaji dan bekal merantau. Berdasarkan
survei PEKKA, perempuan kepala
keluarga di atas rerata 76% di beberapa
desa di Lombok, terlepas dari status
perkawinan mereka. (Hal ini dibahas
lebih rinci pada Bab 11)
Ada juga adat Sasak yang menyerap
ajaran Islam dalam hak kewarisan,
yakni perempuan mendapatkan bagian
sepersonan (disimbolkan sebakul yang
bisa dijunjung di kepala) sementara lelaki
mendapat sepelembah (disimbolkan satu
pikulan yang terdiri dari dua bakul).
Dalam bahasa Sasak, pembagian waris
itu disebut ‘sepelembah sepersonan’ atau
satu berbanding dua bagian.32
Ini tak
berbeda dengan cara orang Jawa atau
32
Rajagukguk, Erman (2007), ‘Pluralisme
Hukum Waris: Studi Kasus Hak Waris di
Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat’; tersedia
di http://www.ermanhukum.com
Sunda membagi waris sepikul (dua
bagian) untuk lelaki dan segendongan
(satu bagian) untuk perempuan.
Walau tak mendapat warisan, dan
setelah menikah perempuan dianggap
keluar dan pindah menjadi tanggungan
keluarga suaminya, orangtua anak
perempuan dari keluarga berada akan
memberi perhiasan lengkap untuk
bekal rumah tangga.33
Sayangnya,
setelah menikah, perempuan sendiri
tidak memiliki kendali penuh atas harta
bawaannya itu.
“Memang benar, perhiasan dari orangtua
adalah milik perempuan, tetapi setelah
menikah, itu seolah-olah menjadi harta
bersama suami istri. Ketika butuh
biaya, misalnya untuk melahirkan, anak
sekolah, perempuan mana yang tega
mempertahankan perhiasannya kalau
suaminya tidak sanggup bayar? Ada
suami mau bekerja ke Malaysia tapi tak
punya modal, lalu pinjam perhiasan
istri dengan janji nanti dikembalikan.
Tapi suami tak pulang-pulang. Akhirnya
perhiasan habis bukan buat perempuan,
tetapi buat keluarga.”34
Kemiskinan selalu berakibat pada
keterbatasan akses anak-anak pada
pendidikan, khususnya semasa konflik.
Penelitian KOMNAS Perempuan tentang
dampak kekerasan terhadap kelompok
minoritas agama menunjukkan hal
yang memprihatinkan terkait akses
pendidikan anak perempuan korban
33
Rajagukguk, ibid, hal.5.
34
Halimah, kader PEKKA, wawancara, Desa
Gemel, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, 9
Juli 2013.
50 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
ARMINHARI
konflik.35, 36
Aspirasi pendidikan bagi
anak perempuan di lingkungan warga
Ahmadiyah biasanya lumayan tinggi
dibandingkan warga di sekitar mereka
tinggal. Namun, bagi warga Ahmadiyah
di Lombok, situasinya jadi berbeda.
Setelah terusir dari kampungnya,
banyak orangtua yang hanya bisa
memprioritaskan anak lelaki untuk
bersekolah, karena dalam keadaan yang
35
KOMNAS Perempuan (2008), ‘Laporan
Pemantauan: Perempuan dan Anak
Ahmadiyah, Korban Diskriminasi Berlapis.’
Jakarta: KOMNAS Perempuan.
36
Saparinah Sadli, wawancara di Jakarta, 15
September 2013.
memprihatinkan mereka membutuhkan
muballigh (juru dakwah lelaki) yang
bisa menguatkan hati mereka. Dengan
bergotong-royong, mereka mengirimkan
anak laki-laki sekolah ke luar kota.
Sementara itu, anak perempuan berhenti
sekolah dan dicarikan jodoh dengan
sesama pengikut Ahmadiyah dari kota
lain.37
37
Basyiruddin Aziz, salah seorang calon
muballigh Ahmadiyah dari Garut yang
bertugas mendampingi warga Ahmadiyah
di pengungsian di Mataram, Lombok.
Wawancara di Mataram, 9 Juli 2013.
Namanya: Nisa. Umur:
21 tahun. Namun,
kemampuan berpikirnya
sangat rendah. Ia mengalami
gangguan kesehatan mental
dan kelumpuhan total. Tujuh
tahun lalu, sebelum terusir
dari kampungnya di Lombok
Timur dan kemudian dari
Lombok Tengah, Nisa masih
bisa berjalan. Ia bisa makan
dan keluar rumah sendiri.
Namun sejak penyerangan
terhadap warga Ahmadiyah
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 51
Nisa & Bapu Acun
38
Ahmadiyah adalah salah satu aliran dalam Islam, yang sering disebut dengan istilah
negatif, yaitu ‘sekte.’ Di Indonesia, Ahmadiyah Lahore resmi berdiri sebagai organisasi
berbadan hukum pada tahun 1930. Sementara Ahmadiyah Qadiyan berdiri pada tahun
1959. Sebanyak 32 keluarga atau 117 jama’ah Ahmadiyah di Lombok mengungsi ke Asrama
Transito Mataram sejak 4 Februari 2006. Sementara di bekas bangunan Rumah Sakit Umum
(RSU) Praya, Mataram, terdapat 9 keluarga, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Sejak saat itu, warga Ahmadiyah menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Pemerintah
--diwakili oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung-- menandatangani
Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 3/2008 tentang ‘Peringatan dan Perintah kepada
Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jama’ah Ahmadiyah Indonesia.’
Dalam kenyataannya di lapangan, peringatan yang tertuang dalam SKB itu menjadi
sumber legitimasi bagi masyarakat melakukan penyerangan, diskriminasi, dan intimidasi
terhadap anggota jama’ah Ahmadiyah. Keadaan semacam itu terus terjadi, bahkan di
semua wilayah di mana jama’ah Ahmadiyah bermukim, seperti di Banten, Bekasi, Garut,
Tasikmalaya, Kuningan, dan Sumbawa. Akibat pengusiran mereka oleh warga setempat,
komunitas Ahmadiyah bisa tiba-tiba mengalami pemiskinan total.
di Lombok38
keluarga Nisa harus mengungsi berpindah-pindah. Sejak itu
kemampuan Nisa terus menurun. Tak ada fasilitas yang memadai untuk
bergerak. Jangankan untuk latihan, kursi roda pun mereka tak punya. Setiap
hari Nisa hanya tergolek di dekat jendela. Ia asyik menatap awan berarak. Ia
akan menangis kala mendengar petir, saat lapar atau sakit. Ia juga menangis
jika ibunya tak menyapanya setelah ditinggal berjualan seharian. Dua kakak
Nisa, Nurul dan Faizah, bergantian mengurusnya; membopong Nisa ke kamar
mandi atau memberinya makan. Padahal Nurul baru saja melahirkan.
Selain Nisa, di kamar
berdinding kain coklat itu ada
nenek (bapu) Acun (GAMBAR
SISIPAN). Ia setengah buta
dan telah renta. Bapu Acun
masih bisa makan sendiri.
Tetapi untuk ke kamar mandi,
ia membutuhkan bantuan
cucu-cucunya. Ia menyadari
cucunya sudah sangat repot.
Karenanya, ia lebih banyak
tinggal di dalam bagian
kamarnya yang sempit hanya
berdinding kain (KIRI).v
ARMINHARI
52 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
39
Maya Say, pegiat buruh perempuan di
Maumere, wawancara, 28 Mei 2013.
40
Pernyataan ini dikeluarkan oleh hakim-
hakim pengadilan negeri dan pengadilan
agama dalam Focus Group Discussion (FGD)
soal identitas hukum yang diselenggarakan
oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak
Universitas Indonesia (PUSKAPA-UI) dan
Mahkamah Agung, di Kupang, 14 Mei 2013.
Nusa Tenggara Timur:
Melestarikan Tradisi,
Menambang Utang
Dalam kebudayaan orang Ende dan
Sikka, seperti umumnya di NTT, nilai
anak perempuan terkait dengan belis
(maskawin adat). Belis memang bisa
sangat mahal, bernilai puluhan hingga
ratusan juta rupiah. Belis yang disediakan
keluarga lelaki meliputi gading, emas
kuno, kuda, sapi atau kerbau, dan hasil
bumi --terutama kelapa dan pisang ber
truk-truk. Demikian sebaliknya, dari
pihak perempuan, balasan hantaran
juga bisa sangat mahal. Selain kuda dan
sapi, mereka harus menyediakan kain
tenun (ikat) sebanyak kerabat lelaki pada
keluarga calon suaminya.
Dalam pemahaman adat NTT, praktik itu
bertujuan untuk memberi ‘harga’ pada
anak perempuan dan keluarga besarnya.
Bagi aristokrat lokal, belis pun berfungsi
untuk mempertahankan status sosial
mereka. Namun bagi warga miskin,
belis menyebabkan mereka terlilit utang
rentenir atau bank perkreditan berbunga
tinggi.
Praktik meminjam uang ini dikenali
banyak orang sebagai akar pemiskinan
di manapun, tak terkecuali di Indonesia
Timur. Namun begitu, baik gereja
maupun para ahli kebudayaan, seperti
tak menemukan jalan untuk menghadapi
adat berbiaya tinggi ini. Sejumlah
perempuan tidak menikah karena tak ada
calon suami yang sanggup membayar
belisnya. Perempuan yang mengalami
nasib serupa itu biasa disebut du’a deri
gete (harafiahnya: ‘perempuan besar
duduk’ alias perawan tua atau jomblo),
suatu ungkapan yang bagi banyak
perempuan sangat merendahkan. Dilihat
dari strata sosialnya, banyak pengisi
du’a deri gete ini datang dari kalangan
bangsawan, karena tak ada laki-laki yang
sanggup membayar belisnya.39
Meski mereka berasal dari kalangan
bangsawan, mereka dapat terjebak dalam
kemiskinan karena banyaknya upacara-
upacara tradisional yang mahal. Jika satu
keluarga bangsawan jatuh miskin, yang
pertama kali terkena dampaknya adalah
anak-anak perempuannya: mereka
tak bisa menikah, karena belis mereka
luar biasa mahalnya. Selain itu, lelaki
memiliki posisi penting dalam keluarga
dan mengendalikan semua properti
seperti rumah dan tanah, sementara
perempuan tak mendapatkan warisan.
Tradisi belis yang mahal pada
kenyataannya mendorong praktik
berkeluarga di luar nikah resmi
(negara).40
Membayar belis merupakan
tahapan paling awal dalam perkawinan
yang diakui adat. Setelah kawin adat,
mereka harus menjalani pemberkatan
BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 53
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan

More Related Content

What's hot

4 sd sayangi hewan dan tumbuhan (2)
4 sd   sayangi hewan dan tumbuhan (2)4 sd   sayangi hewan dan tumbuhan (2)
4 sd sayangi hewan dan tumbuhan (2)
Nesri Baidani
 
Terapia ivu dove si sbaglia
Terapia ivu dove si sbagliaTerapia ivu dove si sbaglia
Terapia ivu dove si sbaglia
Dino Sgarabotto
 

What's hot (20)

La violenza sulle donne e la sua rappresentazione
La violenza sulle donne e la sua rappresentazioneLa violenza sulle donne e la sua rappresentazione
La violenza sulle donne e la sua rappresentazione
 
Femminismo
FemminismoFemminismo
Femminismo
 
Tugas Sejarah
Tugas SejarahTugas Sejarah
Tugas Sejarah
 
VIH-SIDA
VIH-SIDAVIH-SIDA
VIH-SIDA
 
Sejarah Kelas 12
Sejarah Kelas 12Sejarah Kelas 12
Sejarah Kelas 12
 
4 sd sayangi hewan dan tumbuhan (2)
4 sd   sayangi hewan dan tumbuhan (2)4 sd   sayangi hewan dan tumbuhan (2)
4 sd sayangi hewan dan tumbuhan (2)
 
Diritti delle donne
Diritti delle donneDiritti delle donne
Diritti delle donne
 
Revolusi menegakkan panji panji nkri
Revolusi menegakkan panji panji nkriRevolusi menegakkan panji panji nkri
Revolusi menegakkan panji panji nkri
 
Hubungan Internasional dalam Bidang Budaya
Hubungan Internasional dalam Bidang BudayaHubungan Internasional dalam Bidang Budaya
Hubungan Internasional dalam Bidang Budaya
 
Terapia ivu dove si sbaglia
Terapia ivu dove si sbagliaTerapia ivu dove si sbaglia
Terapia ivu dove si sbaglia
 
Gerakan sosial filipina
Gerakan sosial filipinaGerakan sosial filipina
Gerakan sosial filipina
 
Sejarah indonesia, DI/TII jawabarat
Sejarah indonesia, DI/TII jawabaratSejarah indonesia, DI/TII jawabarat
Sejarah indonesia, DI/TII jawabarat
 
Sejarah Pemberontakan PKI madiun 1948- SMA TUNAS DHARMA KARAWANG
Sejarah Pemberontakan PKI madiun 1948- SMA TUNAS DHARMA KARAWANGSejarah Pemberontakan PKI madiun 1948- SMA TUNAS DHARMA KARAWANG
Sejarah Pemberontakan PKI madiun 1948- SMA TUNAS DHARMA KARAWANG
 
Femminicidio
FemminicidioFemminicidio
Femminicidio
 
Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan AreaPertempuran Medan Area
Pertempuran Medan Area
 
Alzheimer quale prevenzione rotary 26.10.16
Alzheimer quale prevenzione  rotary 26.10.16Alzheimer quale prevenzione  rotary 26.10.16
Alzheimer quale prevenzione rotary 26.10.16
 
Mujer y vih jul 2016 15 jul 2016
Mujer y vih jul 2016 15 jul 2016Mujer y vih jul 2016 15 jul 2016
Mujer y vih jul 2016 15 jul 2016
 
Centri antiviolenza e percorsi di uscita dalla violenza
Centri antiviolenza e percorsi di uscita dalla violenzaCentri antiviolenza e percorsi di uscita dalla violenza
Centri antiviolenza e percorsi di uscita dalla violenza
 
Pertempuran ambarawa
Pertempuran ambarawaPertempuran ambarawa
Pertempuran ambarawa
 
Sej indo sby
Sej indo sbySej indo sby
Sej indo sby
 

Viewers also liked

soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012
 soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012 soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012
soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012
Edi Topan
 
Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...
Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...
Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...
Rosdi Ramli
 
医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用
医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用
医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用
Shinji Kobayashi
 

Viewers also liked (20)

Natalia Trushina-Jimenez - Hilliarea to visit in Winter
Natalia Trushina-Jimenez - Hilliarea to visit in WinterNatalia Trushina-Jimenez - Hilliarea to visit in Winter
Natalia Trushina-Jimenez - Hilliarea to visit in Winter
 
Digital Inclusion: Why is it important for local government?
Digital Inclusion: Why is it important for local government?Digital Inclusion: Why is it important for local government?
Digital Inclusion: Why is it important for local government?
 
Rencana aksi perubahan
Rencana aksi perubahanRencana aksi perubahan
Rencana aksi perubahan
 
Kpts pemberhentian sekdes PNS di Kab. Pangandaran
Kpts pemberhentian sekdes PNS di Kab. PangandaranKpts pemberhentian sekdes PNS di Kab. Pangandaran
Kpts pemberhentian sekdes PNS di Kab. Pangandaran
 
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca PerceraianMemastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
 
コネクテッド ファクトリー
コネクテッド ファクトリーコネクテッド ファクトリー
コネクテッド ファクトリー
 
自宅DCのススメ #dentoolt
自宅DCのススメ #dentoolt自宅DCのススメ #dentoolt
自宅DCのススメ #dentoolt
 
Laporan Kerja Proyek Akhir "Pemancar Wifi Wajan Bolic"
Laporan Kerja Proyek Akhir "Pemancar Wifi Wajan Bolic"Laporan Kerja Proyek Akhir "Pemancar Wifi Wajan Bolic"
Laporan Kerja Proyek Akhir "Pemancar Wifi Wajan Bolic"
 
soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012
 soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012 soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012
soal-un-bahasa-indonesia-smp-2012
 
Enfisema
EnfisemaEnfisema
Enfisema
 
Proyek Perubahan Diklat Pim IV penanganan pengaduan masyarakat UPT Puskesmas ...
Proyek Perubahan Diklat Pim IV penanganan pengaduan masyarakat UPT Puskesmas ...Proyek Perubahan Diklat Pim IV penanganan pengaduan masyarakat UPT Puskesmas ...
Proyek Perubahan Diklat Pim IV penanganan pengaduan masyarakat UPT Puskesmas ...
 
ARCHICAD Bronze Badge
ARCHICAD Bronze BadgeARCHICAD Bronze Badge
ARCHICAD Bronze Badge
 
Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...
Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...
Kreativiti & inovatif ( Tajuk : Laporan Modul penghasilan BBM multimedia micr...
 
Distracted driving
Distracted drivingDistracted driving
Distracted driving
 
医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用
医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用
医療分野におけるオープンソースソフトウェアの開発と利用
 
Paparan seminar rpp diklatpim iii angkatan iv
Paparan seminar rpp diklatpim iii angkatan ivPaparan seminar rpp diklatpim iii angkatan iv
Paparan seminar rpp diklatpim iii angkatan iv
 
Health & Safety - A holistic understanding of sleep
Health & Safety - A holistic understanding of sleepHealth & Safety - A holistic understanding of sleep
Health & Safety - A holistic understanding of sleep
 
Erasmus environment - trash to treasure
Erasmus  environment - trash to treasureErasmus  environment - trash to treasure
Erasmus environment - trash to treasure
 
Resultados iii etapa 01 03-17-cetpro
Resultados iii etapa 01 03-17-cetproResultados iii etapa 01 03-17-cetpro
Resultados iii etapa 01 03-17-cetpro
 
Resultados no aptos iii etapa 01-03-17 preliminar
Resultados no aptos   iii etapa 01-03-17 preliminarResultados no aptos   iii etapa 01-03-17 preliminar
Resultados no aptos iii etapa 01-03-17 preliminar
 

Similar to Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan

F1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitaloka
F1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitalokaF1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitaloka
F1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitaloka
Riska Fordiana
 
10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final
Hery Rock
 
10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final
Hery Rock
 
BAB I-pkk-pemberdayaan ekonomi
BAB I-pkk-pemberdayaan ekonomiBAB I-pkk-pemberdayaan ekonomi
BAB I-pkk-pemberdayaan ekonomi
Imraan Muslim
 
Gender dan Pembangunan
Gender dan PembangunanGender dan Pembangunan
Gender dan Pembangunan
Irenty Helena
 
Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )
Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )
Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )
PerlindunganPerempua
 
Nestapa ibu akibat perdagangan bebas
Nestapa ibu akibat perdagangan bebasNestapa ibu akibat perdagangan bebas
Nestapa ibu akibat perdagangan bebas
Rizky Faisal
 
[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...
[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...
[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...
Plan Politika
 

Similar to Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan (20)

Gender, Perempuan Dan Pembangunan
Gender, Perempuan Dan PembangunanGender, Perempuan Dan Pembangunan
Gender, Perempuan Dan Pembangunan
 
Tor lkk kota bogor
Tor lkk kota bogorTor lkk kota bogor
Tor lkk kota bogor
 
Hak Politik Perempuan Skala Global
Hak Politik Perempuan Skala GlobalHak Politik Perempuan Skala Global
Hak Politik Perempuan Skala Global
 
Artikel kepemimpinan
Artikel kepemimpinanArtikel kepemimpinan
Artikel kepemimpinan
 
F1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitaloka
F1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitalokaF1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitaloka
F1 d013027,riska fordiana, artikel jurnal representasi rieke dyah pitaloka
 
Makna pemilu bagi perempuan
Makna pemilu bagi perempuanMakna pemilu bagi perempuan
Makna pemilu bagi perempuan
 
10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final
 
10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final10 agenda politik perempuan final
10 agenda politik perempuan final
 
BAB I-pkk-pemberdayaan ekonomi
BAB I-pkk-pemberdayaan ekonomiBAB I-pkk-pemberdayaan ekonomi
BAB I-pkk-pemberdayaan ekonomi
 
Gender dan Pembangunan
Gender dan PembangunanGender dan Pembangunan
Gender dan Pembangunan
 
Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial
Konstruksi Gender Dalam Realitas SosialKonstruksi Gender Dalam Realitas Sosial
Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial
 
JANJI PALSU FEMINISME UNTUK MENYEJAHTERAKAN GENERASI MUDA.docx
JANJI PALSU FEMINISME UNTUK MENYEJAHTERAKAN GENERASI MUDA.docxJANJI PALSU FEMINISME UNTUK MENYEJAHTERAKAN GENERASI MUDA.docx
JANJI PALSU FEMINISME UNTUK MENYEJAHTERAKAN GENERASI MUDA.docx
 
PPT_KEL.4.pdf
PPT_KEL.4.pdfPPT_KEL.4.pdf
PPT_KEL.4.pdf
 
Pemberdayaan_Perempuan.pptx
Pemberdayaan_Perempuan.pptxPemberdayaan_Perempuan.pptx
Pemberdayaan_Perempuan.pptx
 
PPT IIMP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN.pptx
PPT IIMP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN.pptxPPT IIMP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN.pptx
PPT IIMP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN.pptx
 
Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )
Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )
Bahan materi di kppi purwakarta (18 september 2019 )
 
Pertemuan Ke-7.pptx
Pertemuan Ke-7.pptxPertemuan Ke-7.pptx
Pertemuan Ke-7.pptx
 
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi MasyarakatMultikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
 
Nestapa ibu akibat perdagangan bebas
Nestapa ibu akibat perdagangan bebasNestapa ibu akibat perdagangan bebas
Nestapa ibu akibat perdagangan bebas
 
[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...
[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...
[plan politika] [Pemuda dan Politik Indonesia]Indonesian Youth and Politics :...
 

Recently uploaded

Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptxStandar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
hartonohajar
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
citraislamiah02
 
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfRUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
NezaPurna
 
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
iman333159
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
Di Prihantony
 

Recently uploaded (13)

UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
 
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxSOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
 
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdfAgenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
 
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptxStandar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
 
Manajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptx
Manajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptxManajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptx
Manajemen Kontrak pada Aplikasi SPANpptx
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfRUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
 
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
 
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
 
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
 
PELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptx
PELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptxPELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptx
PELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptx
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
 

Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan

  • 1.
  • 2. MENOLAK TUMBANG Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 3. PERPUSTAKAAN NASIONAL Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-8384-80-3 1. Gender 2. Kemiskinan 3. Penegakan Hukum I JUDUL +xx, 285 halaman, galeri foto, indeks 21 x 28 cm, sampul karton © INSISTPress, Rumah Kitab & AIPJ-AusAID Cetakan pertama, April 2014 Rancang sampul: Armin Hari & Beta Pettawaranie Kompugrafi & kartografi: Rumah Pakem Marcoes-Natsir, Lies (2014), Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan Yogyakarta: INSISTPress. n Penyumbang data dan tulisan: Anis Hidayah, Evelyn Suleeman, Hasriadi Ary, Imelda Bachtiar, Ishak Salim, Mayadina, Mia Siscawati, Nani Zulminarni, Nanda Amelia, Ninik Rahayu, Nurhady Sirimorok, Nursyida Syam, Nurul Saadah, Nurul Widyaningrum, Reza Idria, Saleh Abdullah, Syarifah Rahmatillah, Vincent Sangu. n Fotografer: Armin Hari n Penyumbang foto: Beta Pettawaranie, Boris Adivarrahman, Ewin Laudjeng, M. Anshar, Saleh Abdullah, Zulfan Djawon Muhammad n Repro foto: INSISTPress, FIRD. n Pengolah data: Fredian Tonny, Raisa Sugiri, Boris Adivarrahman. n Pemeriksa naskah dan bahasa: Anwar Jimpe Rahman, Ismet Natsir, Markaban Anwar. n Penyunting & penyelaras akhir: Roem Topatimasang. n INSISTPress Jalan Raya Kaliurang Km.18 Dukuh Sempu, Sambirejo, Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta 55582 Tel. +62 274 8594244 | Fax. +62 274 896403 email: press@insist.or.id | blog.insist.or.id/insistpress n RUMAH KITA BERSAMA Jalan Taman Amir Hamzah 8 Jakarta 10320 Tel. +62 21 3928233 n AIPJ Lantai 17 - International Financial Center (IFC) Building, Jalan Sudirman Kav.22-23 Jakarta 12920 Tel. +62 21 5710199 | www.aipj.or.id
  • 4. LIES MARCOES-NATSIR MENOLAK TUMBANG Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan April 2014 Australia Indonesia Partnership for Justice Fotografer ARMIN HARI | Penyunting ROEM TOPATIMASANG
  • 6.
  • 7. Buku yang penting dan indah ini terbit saat kita berhadapan dengan suatu kenyataan pahit yang menyayat hati sebagai bangsa yang berdaulat dan berperikemanusiaan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2012), yang datanya baru selesai diolah dan dikomunikasikan kepada publik pada akhir tahun lalu, menemukan bahwa jumlah perempuan yang meninggal dunia saat melahirkan telah bertambah besar, bukannya semakin berkurang, sejak tahun 2007! Ternyata, seluruh gegap-gempita pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia dan keterlibatan high-profile pemerintah kita dalam gerakan sedunia untuk mencapai tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (Millineum Development Goals - MDGs), beserta segenap program nasional untuk ‘sayang ibu’ dan mengentaskan kemiskinan, tidak ada artinya bagi perempuan miskin ketika ia berada pada titik kehidupannya yang paling rentan dan juga paling mulia: saat seorang ibu melahirkan anaknya. Menyimak janji Pemerintah Indonesia untuk mencapai sasaran-sasaran MDGs, Angka Kematian Ibu (AKI) ditargetkan akan berkurang menjadi 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Kenyataannya, pada tahun 2012, angka ini justru melonjak naik menjadi 359 sejak tahun 2007, saat mana AKI berkisar pada 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Banyaknya perempuan miskin PENGANTAR Amanah Konstitusi Kamala Chandrakirana Pegiat Hak-hak Perempuan & Hak Asasi Manusia viii | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 8. yang kehilangan nyawa saat melahirkan saat ini nyaris sama dengan keadaaan negeri kita 19 tahun yang silam, yaitu tahun 1995. Dalam hal ini bukan kemajuan yang telah kita capai, melainkan kemunduran! Buku ini menunjukkan, dengan kata-kata dan gambar, betapa kompleksnya persoalan kemiskinan bagi perempuan. Tanpa pemahaman tentang kompleksitas dan kekhususan pengalaman dan kerentanan perempuan, upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan tidak akan berhasil mengangkat harkat hidup dari warga perempuan Indonesia yang paling miskin dan terpinggirkan. Fakta meningkatnya Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah bukti kompleksitas dan kekhususan tersebut. Pengalaman perempuan yang jatuh dan hidup dalam kemiskinan tidak sama dan sebangun dengan pengalaman laki-laki. Realitas ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan hadir dan berdampak dalam seluruh perjalanan hidup manusia sejak dari lahir hingga ke liang kubur. Ketidakadilan struktural yang hidup langgeng karena ditopang oleh berbagai peraturan perundang-undangan mempunyai dampak-dampak tersendiri pada perempuan, karena praktik diskriminasi dan kekerasan berbasis gender yang mewarnai segala dimensi kehidupan mereka sehari-hari. Jelas, ini bukan soal teknis tentang ketajaman sistem penentuan sasaran dari program-program pemerintah semata. Ini adalah soal strategis tentang keterlibatan efektif perempuan dalam seluruh aspek dan tahapan pembangunan bangsa, di setiap tingkat pengambilan keputusan. Undang-undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27); berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun (Pasal 28I); berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan (Pasal 28G); dan berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai PENGANTAR: Amanah Konstitusi | ix
  • 9. kesamaan dan keadilan (Pasal 28H). Pelaksanaan jaminan hukum bagi setiap warga negara adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya membebaskan warga perempuan dari kemiskinan dan pemiskinan. Perbaikan dan pembatalan berbagai peraturan perundang-undangan, di tingkat nasional dan daerah, yang diskriminatif dan bertentangan dengan jaminan-jaminan konstitusional negeri kita juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari peluang perempuan miskin Indonesia untuk menikmati ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.’ Untuk itu, mekanisme uji materi produk hukum dan kebijakan, melalui badan- badan eksekutif, legislatif, judisial serta badan-badan quasi negara yang independen seperti Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan, perlu ditingkatkan daya tanggap dan efektifitasnya bagi perempuan miskin. Terlepas dari ada atau tidaknya sarana yang tepat dan efektif untuk memastikan keterlibatan aktif perempuan dalam upaya-upaya pemerintah untuk menyejahterakan rakyat, perempuan Indonesia tidak pernah berdiam dan tunduk pasif pada kenyataan ketidakadilan dan kemiskinan di hadapannya. Kisah-kisah perjuangan perempuan yang tertera dalam buku ini adalah cuplikan-cuplikan saja dari pengalaman beragam perempuan di seantero Nusantara yang masih tak terhitung, tak tercatat, dan bahkan seringkali tak terlihat oleh pandangan mata yang penuh bias. Buku yang diberi judul ‘Menolak Tumbang’ ini merupakan kesaksian atas kekuatan dan ketangguhan perempuan miskin Indonesia yang bersuara dan bertindak, sendiri maupun bersama sesamanya, melalui pengorganisasian dan gerak bersama untuk membangun suatu kekuatan sosial yang berpengaruh. Inilah wujud dari kedaulatan perempuan sebagai warga bangsa dan negara Indonesia. Semakin tinggi pohon tumbuh, semakin besar angin yang menghantamnya. Menguatnya kepemimpinan perempuan --di ranah politik formal maupun di komunitas-- juga memunculkan penolakan dan perlawanan yang tak terhindarkan. Dukungan politik dan perlindungan hukum bagi perempuan miskin yang bersuara, bertindak dan bergerak menjadi tanggung jawab bersama semua pihak, dalam jajaran pemerintahan dan masyarakat sipil, yang bertekad memenuhi x | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 10. janji bangsa tentang kesejahteraan dan kemanusiaan bagi semua tanpa kecuali. Perjuangan perempuan miskin dan terpinggirkan untuk memperbaiki nasibnya dan merebut kembali martabatnya sebagai warga yang berdiri sama tinggi dengan warga lainnya, hanya bisa berhasil secara berkelanjutan jika logika perjuangannya menyentuh dan terintegrasi dalam kebijakan-kebijakan makro di bidang ekonomi, ketenagakerjaan, pertanahan, pertanian, kehutanan, perdagangan, hubungan internasional, pertahanan, dan seterusnya. Logika perjuangan perempuan miskin bukan hanya terbatas pada arena kesejahteraan sosial, sebagaimana sering diasumsikan. Harapan saya buku ini bisa menjadi sarana untuk membuka dialog tentang pengalaman kemiskinan dan pemiskinan perempuan di Indonesia dan bagaimana mengatasinya secara efektif dan berkelanjutan. Pertukaran pandangan dan pencarian bersama di antara berbagai pihak untuk menemukan jalan-jalan keluar yang sungguh-sungguh berarti bagi perempuan miskin sangatlah mendesak bagi masa depan bangsa Indonesia. Kita harus bisa bangkit dari kegagalan dan kemunduran yang begitu menyakitkan dan memalukan sebagaimana dialami oleh begitu banyak perempuan miskin yang kehilangan nyawa saat melahirkan. Mari kita buka jalan, dengan memanfaatkan segala kekuatan sosial, ekonomi, politik dan hukum yang ada, untuk berdialog secara terbuka dan kritis dalam proses yang demokratis -- dari kampung-kampung kecil di mana perempuan miskin hidup dan berjuang hingga di gedung-gedung besar di kota metropolitan tempat para pembuat kebijakan nasional menjalankan kewajibannya-- untuk memenuhi amanat konstitusi Indonesia bagi semua warga negara, laki-laki dan perempuan dengan setara. Jakarta, 25 Maret 2014.
  • 12.
  • 13. PENGANTAR Amanah Konstitusi | viii - xi n Kamala Chandrakirana DAFTAR ISI | xiv - xv DAFTAR SINGKATAN | xvi - xix xiv | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan DAFTAR ISI BAGIAN SATU Gender, Anak Perempuan & Keluarga Miskin 1 Timang-timang Anak Ditimbang | 22 n GALERI 1: Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan | 28 - 33 2 Tumbuh Kembang Tidak Seimbang | 39 n GALERI 2: Kerja Rangkap, Bukan Pelengkap | 60 - 71 PRAKATA Perjalanan Menyusun Buku | 1 PENDAHULUAN Perjalanan Menolak Tumbang | 12 BAGIAN DUA Jalan Panjang Meraih Peluang 3 Empat Isu Perjuangan Kartini | 75 GALERI 1 GALERI 2
  • 14. DAFTAR ISI | xv BAGIAN TIGA Makna Kelangsungan Hidup 4 ‘Kantong Doraemon’ Bernama Sektor Informal | 99 n GALERI 3: Berani Hidup, Demi Hidup | 112 - 117 5 Rindu Dendam pada Rentenir | 118 6 Miskin di Lumbung Sendiri | 129 7 Mengharap Berkah dari Perkebunan | 138 n GALERI 4: Perempuan-perempuan Kebun | 160 - 165 8 Jasa Perempuan di Sektor Jasa | 166 9 Bertahan Hidup: Masa Tua Perempuan Miskin | 181 n GALERI 5: Menjadi Tua, Tetap Berdaya | 192 - 197 BAGIAN EMPAT Tarik-ulur Meretas Kesenjangan 10 Fanatisme Agama & Pemiskinan Perempuan | 201 11 Mengorek Data Tersembunyi | 215 12 Meretas Senjang, Memenuhi Hak | 222 13 Suara Perempuan dalam Advokasi | 231 14 Bersikukuh pada Hukum | 245 BAGIAN LIMA Penutup & Refleksi 15 Untuk Keadilan, Demi Kehidupan | 268 PUSTAKA | 272 INDEKS | 277 TIM PENYUSUN | 281 GALERI 3 GALERI 4 GALERI 5
  • 15. DAFTAR SINGKATAN AIPJ Australia-Indonesia Partnership for Justice AKI Angka Kematian Ibu AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara APBN/D Anggaran Pendapatan & Belanja Negara/Daerah APIK Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan APS Angka Partisipasi Sekolah ASEAN Association of South East Asian Nations AusAID Australian Agency for International Development BADILAG Badan Pengadilan Agama BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BK Bimbingan dan Konseling BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BLK Balai Latihan Kerja BMP Buruh Migran Perempuan BNP2TKI Balai Nasional Pengerahan & Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana BOS Bantuan Operasional Sekolah BP3AKB Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak & Keluarga Berencana BP3TKI Balai Pelayanan Penempatan & Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPPA Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak BPPC Badan Penyanggah Pemasaran Cengkeh BPS Badan Pusat Statistik BSUIA Bale Syura Ureung Inong Aceh CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women DM Darurat Militer DKI Daerah Khusus Ibukota DOM Daerah Operasi Militer FIRD Flores Institute for Resource Development FITRA Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran GAM Gerakan Aceh Merdeka GAP Gender Analysis Pathway GERWANI Gerakan Wanita Indonesia GRB Gender Responsive Budget GTZ Gesselschaft für Technische Zusammenarbeit IALDF Indonesia Australia Legal Development Facility IIQ Institut Ilmu al-Qur’an ILO International Labor Organization INKAPA Industrialisasi Kakao Perdesaan dan Pemberdayaan Petani Perempuan INKUD Induk Koperasi Unit Desa INSIST Indonesian Society for Social Transformation IPB Institut Pertanian Bogor IUP Izin Usaha Pertambangan JAMKESMAS Jaminan Kesehatan Masyarakat JKP3 Jaringan Kerja PROLEGNAS Pro Perempuan xvi | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 16. JPIC-SVD Justice, Peace, and Integrity of Creation - Societas Verbi Divini JRMK Jaringan Rakyat Miskin Kota KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga KITLV Konigklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde KK Kartu Keluarga KKG Keadilan dan Kesetaraan Gender KKPK Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran KOMNAS Komisi Nasional KORAMIL Komando Rayon Militer KPAI Komite Perlindungan Anak Indonesia KPK Komisi Pemberantasan Korupsi KRAN Koalisi Rakyat Advokasi Tambang KTKLN Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri KUA Kantor Urusan Agama KUD Koperasi Unit Desa KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana LIPS Lembaga Informasi Perburuhan Sedane LITBANG Penelitian dan Pengembangan MCK Mandi-Cuci-Kakus MIGAS Minyak dan Gas Bumi MISPI Mitra Sejati Perempuan Indonesia MIUMI Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia MUI Majelis Ulama Indonesia MURI Museum Rekor Indonesia NAD Nanggroe Aceh Darussalam NII Negara Islam Indonesia NTB Nusa Tenggara Barat NTT Nusa Tenggara Timur NU Nahdhatul Ulama ODHA Orang Dengan HIV dan IDS OTSUS Otonomi Khusus OXFAM UK/I OXFAM United Kingdom & Ireland P2TP2A Pusat Pelayanan Terpadu untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak PAD Pendapatan Asli Daerah PAM Perusahaan Air Minum PAUD Pendidikan Anak Usia Dini PERDA Peraturan Daerah PEKKA Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga PILKADA Pemilihan Kepala Daerah PILKADES Pemilihan Kepala Desa PIR Perkebunan Inti Rakyat PJTKI Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKDRT Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PKT/PPT Pusat Krisis Terpadu/Pusat Pelayanan Terpadu PL Petugas Lapangan PN Pengadilan Negeri DAFTAR SINGKATAN | xvii
  • 17. PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNS Pegawai Negeri Sipil POKJA Kelompok Kerja POLWAN Polisi Wanita PPLS Pendataan Program Perlindungan Sosial PPRG Perencanaan Penganggaran yang Responsif Gender PROLEGNAS Program Legislasi Nasional PRT Pembantu Rumah Tangga PSHK Pusat Studi Hukum dan Kebijakan PSKK Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan PSW Pusat Studi Wanita PTPPO Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang PUG Pengarusutamaan Gender PUSKAPA Pusat Kajian Perlindungan Anak RASKIN Beras untuk Keluarga Miskin RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah RUU Rancangan Undang-undang SAKERNAS Survei Angkatan Kerja Nasional SAPDA Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak SATPOL PP Satuan Polisi Pamong Praja SD Sekolah Dasar SEMA Surat Edaran Mahkamah Agung SEMBAKO Sembilan Bahan Pokok SKB Surat Keputusan Bersama SKPD Satuan Kerja Pemerintah Daerah SLB Sekolah Luar Biasa SMK Sekolah Menengah Kejuruan
  • 18. SPP Simpan Pinjam [untuk] Perempuan SPKBK Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas SPKS Serikat Petani Kelapa Sawit SRHR Sexual Reproductive Health Rights STKIP Sekolah Tinggi Keguruan & Ilmu Pendidikan SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional TBC tuberculosis TKI Tenaga Kerja Indonesia TKW Tenaga Kerja Wanita TNP2K Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan TNS Teon, Nila, Serua TPS Tempat Pemungutan Suara UEA United Arab Emirates UMR Upah Minimum Regional UNDP United Nations Development Program UNESCO United Nations of Education, Science and Cultural Organization UNFPA United Nations Population Fund UNICEF United Nations Children Fund UNRISD United Nations Research Institute for Social Development UPC Urban Poor Consortium USAID United States Agency for International Development UUPA Undang-undang Pemerintahan Aceh WAJAR Wajib Belajar WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia WANTIMPRES Dewan Pertimbangan Presiden WCC Women Crisis Centre WH Wilayatul Hisbah (Polisi Syari’ah di Aceh) YKP Yayasan Kesehatan Perempuan ARMINHARI
  • 20. Ini adalah narasi dengan ilustrasi foto tentang ikhtiar perempuan miskin menolak pasrah pada kemiskinannya. Suatu ikhtiar tanpa jera, meski kata ‘miskin’ menguntit mereka nyaris di sepanjang hidup --dari pagi hingga pagi lagi, dari lahir sampai lanjut usia. Berbeda dari umumnya kajian-kajian yang menghubungkan antara gender dan kemiskinan, dalam kajian ini kami lebih menonjolkan kemampuan kaum perempuan bertahan menghadapi kemiskinan, dan sejauh mana sistem dan praktik hukum mampu menopang kemampuan bertahan (resilience) mereka dalam melawan pemiskinan tersebut. Semula buku ini hendak menggambarkan pemiskinan di Aceh dalam konteks konflik, pasca tsunami, dan penerapan syariat Islam. Saya cukup lama bekerja di Aceh dan karenanya punya kesempatan untuk mendengar dari dekat nada suara kaum perempuan yang kian meninggi setiap kali berkisah tentang konflik, kekerasan seksual, serta mempelajari kebijakan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan bertingkah laku. Namun, diskusi dengan Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Diani Sediawati --yang juga Wakil Ketua Badan Pengurus Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ)-- menghasilkan catatan penting tentang perlunya memetakan pemiskinan, gender, dan hukum secara lebih komprehensif. Pada kenyataannya, pemiskinan dan dampak lanjutannya tak hanya menimpa perempuan dalam situasi konflik, melainkan juga dalam kehidupan yang seolah tanpa gejolak. Gagasan itu kemudian dimatangkan dalam rumusan PRAKATA Perjalanan Menyusun Buku PRAKATA: Perjalanan Menyusun Buku | 1
  • 21. penelitian ‘Gender, Kemiskinan dan Penegakan Hukum.’ Karenanya, isu penerapan hukum di Aceh tidak menjadi kajian khusus, namun aspek hukumnya tetap menjadi perhatian dalam buku ini. Narasi ini adalah refleksi dari catatan perjalanan sembilan bulan di delapan wilayah Nusantara (lihat peta). Di setiap daerah itu, saya dan tim peneliti serta fotografer di bawah koordinasi Armin Hari --bersama-sama atau secara terpisah-- berada di lapangan untuk 2 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan 500 km U Banda Aceh Pasai Aceh Besar Jakarta Serang Sukabumi Garut Cianjur Bandung Pontianak Bengkayang Wonosari Surabaya Denpasar Mataram Martap Pangandaran Kuningan Madiun Jember Tabanan Kubu Raya Cirebon Kampar Jambi LhoksukonTakengon Bener Meuriah LAUT JAWA LAUT CINA SELATAN SAMUDERA HINDIA Pas
  • 22. mendalami isu sesuai konteks daerah dan menerjemahkannya ke dalam bingkai foto. Perjalanan dimulai pada Maret 2013 dari Pantai Timur Samudera Pasai di Aceh lalu menyeberangi Selat Sunda melintasi Pulau Jawa dari Banten hingga Madura, lalu berlanjut terus sampai ke bagian timur Indonesia. Sepanjang perjalanan, kami mengamati pemiskinan sebagai proses yang terkait dengan hilangnya kontrol perempuan atas lahan dan PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 3 Jeneponto Ende Noelbaki pura Makassar Palu Kulawi Kendari Muna Ambon Haruku Waipia Tempat-tempat utama penelitian Maumere Adonara Tempat gambar/foto tambahan Mappi Merauke Polewali Lembata Kei Wakatobi Toraja Sinjai Palue Alor Donggala Gorontalo PETA PERJALANAN PENELITIAN LAUT ARAFURA LAUT SULAWESI SAMUDERA TEDUH LAUT BANDA Banggai Gowa Minahasa Jayapura sangkayu
  • 23. ragam sumber ekonomi serta otonomi mereka yang berlangsung tepat di awal era ‘pembangunan.’ Kami mencermati perubahan pekerjaan perempuan dari sektor pertanian ke dunia industri, lalu sebagiannya tersudut ke sektor informal atau pekerjaan lain yang tanpa nama di kota-kota besar. Mereka bekerja serabutan, tumpang tindih, jungkir balik, yang terkadang sulit didefinisikan bentuk dan jenisnya. Persoalan ekonomi yang tampak hanyalah ujung terdekat dari sejumlah persoalan sosial, politik, dan budaya yang menyebabkan hilangnya hak mereka untuk hidup layak dan bermartabat sebagai manusia. Di wilayah Tengah dan Timur Indonesia, perjalanan diawali dari Bali dengan gambaran pemiskinan yang terhubung dengan alih kepemilikan lahan dalam industri pariwisata serta dampaknya yang luar biasa keras, nyaris tanpa batas. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), selain praktik perkawinan di bawah umur, kami mencatat perubahan-perubahan sosial ekonomi yang dahsyat dengan lahirnya generasi buruh rantau (migrant workers) yang dikenal luas dengan sebutan ‘Tenaga Kerja Wanita’ (TKW) dan ‘Tenaga Kerja Indonesia’ (TKI). Di Kepulauan Maluku, kami melihat pemiskinan akibat konflik dan bencana, sebagaimana tergambar di wilayah NTB, NTT, dan Aceh. Kami melintasi pedalaman Kalimantan Barat dan Selatan. Kami menapaki jejak pemiskinan akibat industrialisasi hutan, alih kepemilikan dan fungsi lahan menjadi rimba kelapa sawit --hal yang juga kami saksikan di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, serta Aceh. Untuk kebutuhan mengumpulkan kisah mereka, kami mengamati kaum perempuan di berbagai daerah tersebut, mendengarkan pengalaman mereka serta menyaksikan mereka menghadapi proses pemiskinan dan cara mereka berupaya keluar dari kubangan itu. Karenanya, tak hanya ‘sekadar wawancara,’ kami berada di tengah mereka dengan segenap empati serta kesabaran untuk memahami ‘rasa’ yang tak terkatakan, tak teraba, dan tak terbaca. Meskipun penelitian adalah dunia kami, dan mengambil gambar ‘yang bicara dengan sendirinya’ adalah keahlian fotografer kami, namun untuk berada di tengah mereka bukanlah perkara gampang. Mengubah posisi dari ‘orang luar’ menjadi ‘orang dalam’ yang diakui dan diterima, membutuhkan keahlian yang tak sederhana. Modal kami adalah empati dan kesediaan mendengar serta menumbuhkan keyakinan bahwa informasi yang kami catat pasti tak sia- sia. Selama perjalanan, sering kami terkapar, menggeleng tanpa henti, tak percaya pada mata sendiri. Pertumbuhan ekonomi --yang niat asalnya untuk mencapai kesejahteraan-- telah menyisakan ampas bernama ‘kemiskinan.’ Jutaan perempuan yang terpapar kemiskinan di seluruh Nusantara seperti berjalan beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Namun kami juga kerap terpana oleh 4 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 24. 1 Pernyataan salah seorang peserta Focus Group Discussion (FGD) dengan kelompok warga di Waipia, Maluku Tengah --mitra Yayasan Humanum Ambon-- 5 Juli 2013. cara mereka menertawakan hidup melawan pemiskinan. Betapa tidak, ketika menceritakan kampung mereka yang diserang dan dibakar, lalu mereka hidup di pengungsian, ibu-ibu di salah satu daerah konflik di Waipia, Maluku Tengah, masih bisa terpingkal-pingkal menertawakan tingkah laku kaum lelaki yang mendadak cengeng; atau mereka tergelak ketika mengungkap rahasia kehidupan di barak, yang oleh banyak perempuan diceritakan sambil berbisik- bisik: “Eee... bagaimana beta seng (tidak) hamil? Tiap kali listrik dimatikan, paitua (suami) colek-colek beta pung (punya) kaki, ajak beta pi (pergi) ke WC umum. Sekali waktu ada orang sedang pakai itu WC, terpaksa katong (kami) pura-pura cuci baju di malam buta karena listrik su (sudah) dipadamkan. Sebentar dong (mereka) su keluar, katong buru-buru masuk seng kunci pintu lai!”1 Namun dari Palu, suara Ibu Suha (67) masih bergetar ketika berkisah tentang penangkapannya 45 tahun lalu, karena dianggap sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Dengan sangat runtut --seolah kejadian itu baru berlangsung kemarin petang-- ia mengenang hari-hari panjang yang membuat separuh hidupnya jauh dari kebebasan untuk berkegiatan secara wajar, bahkan lama setelah ia ‘dibebaskan’ sekalipun. Peristiwa di barak ia kenang dengan mata tergenang. “Setiap hari kami mencari cara agar tak diciduk dari barak dan dibawa ke hutan seperti perempuan lain yang pulang hanya tinggal nama”.2 Jelas sudah, sekecil apapun peluang untuk hidup mereka usahakan untuk merebutnya! Kisah-kisah seperti itulah yang terdapat dalam buku ini. Kisah yang lahir dari pengalaman perempuan yang --sebagaimana warga yang lain-- berhak untuk hidup layak dan bermartabat. *** Penelitian yang menghasilkan buku ini dimungkinkan berkat AIPJ dan AusAID (Australian Agency for International Development) yang menyediakan dukungan dana, serta INSIST (Indonesian Society for Social Transformation) sebagai mitra di lapangan dan penerbitnya. Nani Zulminarni --Direktur PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga)-- memberi saya jalan untuk bertemu dengan Nicola Colbran --Direktur AIPJ-- ketika proyek ini dirintis. Nani juga yang memberikan masukan bagaimana seharusnya buku ini ditulis: “Mbak... ratusan buku telah aku baca untuk memahami kemiskinan dan gender, dan setiap kali membacanya yang terbayang adalah ibu-ibu anggota PEKKA di desa-desa: mampukah mereka memahaminya? Bukan mereka tak 2 Ibu ‘Suha’(bukan nama sebenarnya), wawancara di Palu, 28 September 3013. PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 5
  • 25. pintar, tapi buku-buku itu terlalu rumit untuk dipahami. Aku ingin buku ini tak hanya bisa dibaca oleh para aktivis atau pengambil kebijakan, tetapi juga oleh mereka yang terkena dampak kebijakan itu.”3 Setelah Nicola Colbran meninggalkan AIPJ, penggantinya, Craig Ewers, menjadi mitra diskusi yang memberi kepercayaan bahwa kami punya pengetahuan memadai untuk memangku amanah ini. Dalam aspek teknis, Hilda Suherman, Endang Suyatin, Junardi Nurlete serta staf lainnya di AIPJ merupakan mitra kerja yang hangat. Sementara dari sisi substansi, saya terbantu oleh pekerjaan Anne Lockley, konsultan gender AIPJ yang telah terlebih dahulu membuat kajian tentang gender dan kemiskinan dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Tetapi, tentu saja, secara keseluruhan penelitian ini merupakan tanggungjawab kami, tim peneliti dan fotografer. Demikian halnya perspektif yang kami gunakan. AIPJ --yang berkomitmen untuk menyuarakan keadilan-- mendukung penelitian ini dalam rangka memastikan bahwa kemanfaatan program kerjasama mereka dapat dinikmati secara adil oleh perempuan miskin. Untuk isu pelayanan hukum bagi perempuan miskin dan isu-isu yang ditangani Peradilan Negeri dan Peradilan Agama, narasumber utama kami adalah Wahyu Widiana --mantan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (BADILAG) Mahkamah Agung yang kini menjadi konsultan AIPJ. Adapun di lapangan, kami mewawancarai pimpinan Pengadilan Negeri di Banda Aceh, Cianjur, Cibinong, Garut, Denpasar, Tabanan, dan Ambon, untuk mendalami pelayanan ‘Keadilan bagi Orang Miskin’ (Justice for the Poor). Kami juga bertemu dengan pimpinan daerah --beberapa orang Bupati dan Camat-- serta pimpinan Kantor Catatan Sipil setempat yang melakukan kegiatan bersama dengan para hakim Pengadilan Negeri dan Peradilan Agama untuk layanan akte kelahiran secara terpadu. Semua narasumber mengetahui tujuan buku ini dan mendapatkan persetujuan dalam pemotretannya. Namun, demi menghormati mereka, beberapa nama telah disamarkan, kecuali untuk para pejabat publik atau mereka yang tidak keberatan. Lebih dari 100 orang perempuan dan laki-laki menjadi sumber informasi kami dengan intensitas penggalian yang bertingkat-tingkat, kami melibatkan sejumlah peneliti setempat seperti jaringan PEKKA, kader Aisyiyah, kader pengorganisasian masyarakat, dan aktivis atau peneliti dari perguruan tinggi. Keterlibatan mereka sangat penting, karena mereka adalah sumber pengetahuan tentang keadaan setempat, tradisi, kelembagaan sosial dan adat, budaya lokal, serta konflik tersembunyi yang berpengaruh pada pemiskinan. Untuk tema tertentu, kami mengundang para penulis yang kami anggap punya kompetensi dalam bidangnya: Reza 3 Komunikasi pribadi dengan penulis melalui e-mail tanggal 25 Juni 2013. 6 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 26. Idria dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry di Banda Aceh menulis tentang situasi politik terkini di Aceh dan dampaknya terhadap perempuan miskin; Evelyn Suleeman dari Universitas Indonesia (UI) memberi pemahaman tentang data statistik perempuan kepala keluarga; Mayadina dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) tentang isu anggaran; Imelda Bachtiar tentang lembaga-lembaga bantuan hukum bagi perempuan; Nurul Widyaningrum dari Akatiga menjelaskan situasi perempuan di sektor informal; Ishak Salim dari Komunitas Ininnawa- INSIST menulis tentang perempuan di perkebunan kakao; Mia Siscawati dari Pusat Kajian Antropologi UI dan Sajogyo Institute tentang perlawanan perempuan di ladang sawit; serta Saleh Abdullah dari INSIST tentang pemiskinan akibat isu- isu fundamentalisme agama. Sebagian dari tulisan mereka kami sajikan utuh, sebagian lainnya --seizin mereka-- kami olah ulang agar sesuai dengan alur narasi. Kami juga mengundang sejumlah pegiat (aktivis) untuk menyumbangkan tulisan tentang pengalaman atau pengetahuan mereka mengenai lembaga tempat mereka berkiprah, seperti Nani Zulminarni tentang PEKKA; Ninik Rahayu tentang Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan; Syarifah Rahmatillah dari Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI) tentang peraturan pemberdayaan perempuan miskin di Aceh; Nurul Saadah dari Sentra Advokasi Perempuan Difable dan Anak (SAPDA) tentang perempuan difabel; Vincent Sangu dari Flores Institute for Resource Development (FIRD) tentang perempuan dan lingkungan, khususnya berkaitan dengan isu pertambangan di Ende; Nursyida Syam dari Klub Baca Perempuan Lombok tentang pemberdayaan perempuan dan anak- anak buruh rantau di lingkungannya. Di luar itu, beberapa ahli kami libatkan sejak awal sebagai pemberi umpan balik atas naskah mentah dan ketika masih di lapangan. Mereka adalah Myra Diarsi (pegiat perempuan), Prof. Saparinah Sadli, Nurul Agustina, Sita van Bemmelen (peneliti), Ita Fatia Nadia (UN Women), Maria Hartiningsih (wartawati senior Kompas), Zubaidah Djohar (pegiat sastra), dan Bivitri Susanti (peneliti hukum). Masalah besar yang kami hadapi sebetulnya bukan di lapangan, melainkan bagaimana kebenaran bisa disuarakan. Pendekatan kualitatif dalam penelitian kemiskinan sering dianggap sebagai berita anekdotal yang tak bisa ditarik sebagai kebenaran menyeluruh. Karenanya, sebagaimana disampaikan oleh Kamala Chandrakirana --pegiat perempuan dan HAM dan salah seorang pendiri PEKKA-- data kualitatif harus menjadi batu uji untuk membumikan data kuantitatif tentang kemiskinan dan pelanggaran hukum yang dialami 4 Kamala Chandrakirana, ‘Pidato Kunci Forum Nasional III PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga),’ Hotel Grand Cempaka, Jakarta, 26 November 2013. PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 7
  • 27. perempuan.4 Dengan kata lain, tanpa data kualitatif, maka data kuantitatif hanya menjadi angka yang tak bersuara. Inilah memang maksud lain dari buku ini: membunyikan suara yang tak terdengar. Di Bogor, tempat saya tinggal, pekerjaan mengolah dan menafsirkan data statistik kuantitatif tentang kemiskinan dibantu oleh peneliti dari Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains, Komunikasi, dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB), terutama Fredian Tonny. Di lapangan, kami dibantu para peneliti yang memiliki pengalaman matang dengan metode etnografi seperti Ishak Salim, Hasriadi Ary, Nanda Amelia, dan Nurhady Sirimorok. Demikian juga saya dibantu oleh beberapa asisten seperti Raisa Sugiri dan Boris Adivarrahman. Sementara untuk urusan keuangan dan manajemen, ada Fransiska Weki Bheri, Billah Yuhadian dan staf administrasi dari Rumah Kita Bersama serta Mareta Ekaterina, O.P.Wardhani dan Parjono dari Sekretariat INSIST. Naskah bahasa Indonesia dibaca dan dikritisi sekawanan ahli. Anwar Jimpe Rachman dan Ismed Natsir adalah penyunting yang tekun dan sabar menghadapi naskah yang seringkali bongkar pasang. Untuk versi bahasa Inggris saya berutang budi pada Abmi Handayani dan Edward Thornton. Namun secara keseluruhan saya berutang budi pada Anne Lockley yang bersedia menjadi mitra penulis (co-writer) untuk edisi bahasa Inggris. Anne juga telah bertindak sebagai penyunting yang bukan hanya sabar tetapi juga ‘ratu tega’ memotong dan menyusun kembali naskah yang cenderung hendak mengisahkan segalanya. Ia memiliki kesabaran luar biasa, mengingat naskah dari bahasa Indonesia tak selalu mudah untuk dipersingkat. Lalu, pada tahap akhir, seluruh naskah diperiksa ulang dan diolah menjadi buku oleh Roem Topatimasang dari INSIST, dibantu oleh Markaban Anwar dari INSISTPress untuk pemeriksaan akhir bahasa dan proses pencetakannya. *** Buku ini terdiri dari lima bagian dan dipecah ke dalam lima belas bab. Setelah pengantar yang menjelaskan tentang apa dan mengapa buku ini disusun, pada Bagian Satu, pembaca diajak memahami dinamika konstruksi gender yang melahirkan pemiskinan akibat ketidaksetaraan sebagaimana dimuat dalam Bab 1 dan Bab 2. Dengan mengikuti daur (siklus) kehidupan, babakan dalam bab-bab berikutnya pada Bagian Dua, dibagi berdasarkan daur tersebut. Di beberapa bagian kami sertakan pula kolom pembelajaran berharga dari lapangan. Pada Bagian Tiga, kami memperlihatkan bentuk-bentuk diskriminasi berbasis gender di usia produktif pada sektor yang berbeda-beda. Pemaparan kami lanjutkan dengan membahas kemiskinan di usia lanjut, karena buku ini dimaksudkan mencatat bagaimana perempuan mengatasi ARMINHARI 8 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 28. masalah pemiskinan di sepanjang usia mereka dan bagaimana sistem hukum menanggapinya. Pada Bagian Empat, memperlihatkan sejumlah upaya dalam meretas hambatan, seperti upaya penegakan hukum dan penguatan aspek gender dalam kebijakan. Keseluruhan narasi ini ditutup dengan Catatan Akhir pada Bagian Lima sebagai refleksi dari lapangan. Melalui buku ini kami berusaha menunjukkan ragam keuletan luar biasa dari para perempuan yang mengalami pemiskinan sistematis. Bagi kami, keuletan itu merupakan bukti bahwa pada dasarnya mereka memiliki kesadaran untuk melawan ketidakadilan gender. Buku ini memperlihatkan bagaimana perempuan menolak, melawan, dan menaklukkan pemiskinan mereka. Ada yang bertahan; sebagiannya kalah dan pasrah, namun tak gampang tumbang. Usaha-usaha mereka untuk bertahan boleh jadi didorong oleh naluri, suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup, atau oleh kesadaran kritis yang menciptakan peran aktif (agency) mereka dalam masyarakat. *** Kami berharap buku ini bisa menjadi rujukan bagi para pengambil kebijakan untuk melihat perjuangan luar biasa para perempuan di segala penjuru Tanah Air. Melalui buku ini para pembuat kebijakan bisa melihat bagaimana ketidaksetaraan gender bekerja, dan dengan kekuasaan yang mereka miliki, niscaya mereka dapat mengubah situasi itu melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang lebih cerdas dan berpihak. Jika hal itu dapat terjadi, jutaan orang akan terselamatkan dari kemiskinan yang tidak seharusnya mereka alami. Pada akhirnya, buku ini perlu dimaknai sebagai suatu ‘perjalanan hati.’ Narasinya bercerita tentang satu negeri yang tak mungkin tegak berdiri tanpa kehadiran perempuan yang pantang tumbang dihadang kemiskinan!v Cuplikan ‘perjalanan’ menyusun buku ini: saat lokakarya perencanaan awal di Yogyakarta (KIRI); saat mewawancarai seorang narasumber lokal di Aceh (TENGAH); dan saat mendarat di Pulau Haruku, Maluku Tengah, untuk mengamati ritual adat tahunan dan mewawancarai narasumber lokal (KANAN), PRAKATA: Perjalanan Menulis Buku | 9
  • 30.
  • 31. Hayat berumur 25 tahun. Ia menikah muda dengan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari desa tetangganya. Pada 2009, ketika mengandung anak kedua, Hayat membawa suaminya ke rumah sakit, yang kemudian meninggal dengan diagnosis mengidap HIV dan AIDS. Melalui Hayat, virus itu telah pula menulari anak-anaknya. Warga tahu soal diagnosis itu dari petugas kesehatan yang memulangkan jenazah. Sejak itu mereka menjadi rentan stigma. Si sulung misalnya, nyaris tak masuk SD karena sekolah khawatir orangtua murid yang lain akan keberatan ada murid dengan HIV.5 Meski tampak sehat, Hayat ringkih diserang TBC paru. Ia tak mencari nafkah karena harus mengurus anak-anaknya. Kehidupannya ditopang ayah yang mengolah sawah dan kebun berlahan sempit. Mereka tinggal di rumah Hayat, rumah kayu berlantai tanah pemberian ibu angkatnya. Setelah dihantam tsunami, damai menyapa Aceh, tapi tidak pada keluarga Hayat. Ibunya banyak melamun sejak rumah mereka dibakar orang pada masa konflik Daerah Operasi Militer (DOM) dulu. Ayahnya sering 5 Informasi terakhir dari HIV NAD Support Group (25 Juli 2013), setelah melalui advokasi dan lobi, Komite Penanggulangan AIDS Aceh dan NAD Support Group serta diramaikan media, putri sulung Hayat kini sudah bisa masuk SD. PENDAHULUAN Perjalanan Menolak Tumbang 12 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 32. Tapi luasannya berkurang setiap tahun. Sejak kecil, Hayat diangkat anak oleh kerabatnya yang tak punya anak. Ia lantas mendapat hibah adat berupa sawah dan rumah dari mendiang ibu angkatnya. Namun kaum lelaki dari keluarga angkatnya datang menggugat. Hayat tak punya kekuatan hukum kecuali kesaksian tetangga bahwa ia merawat ibu angkatnya dengan kasih sayang. Ia juga kehilangan kesempatan sekolah karena mereka tinggal di jantung daerah konflik. Ibu angkatnya tak mengizinkan ia bepergian jauh. Pun tak membiarkan Hayat mengenal calon suaminya sebelum naik ke pelaminan. Padahal, kala itu, ia sudah berumur 18 tahun, cukup dewasa untuk bisa menilai calon suaminya. Dari perkawinan itu ia tak hanya mendapatkan mas kawin 15 gram emas, tetapi juga virus yang mematikan. Namun Hayat tidak tinggal diam. Melalui perkenalannya dengan HIV NAD Support Group --satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal-- ia menjadi anggota jaringan ODHA dan PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 13 hilang kendali dan berubah perangai jadi pemarah. Tak seperti Hayat yang hanya tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Rima, adik perempuan Hayat, sebetulnya lulus SMA. Demikian juga Nurdin, adiknya yang lelaki. Namun mereka hanya bisa bertani. Rima harus menjaga ibunya yang juga terjangkit TBC. Sebagaimana terjadi pada Hayat, Rima dan ibunya ikut menanggung stigma. Orang menyangka Rima juga ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS). Jika bepergian, Rima dan ibunya memilih melintasi sungai daripada meniti jembatan desa. Mereka tak tahan pada sorot mata curiga. Nurdin merasa ditolak oleh lingkungannya dan ia tak segan membanting pintu di depan Hayat. Mungkin nasib Hayat tak akan seburuk ini bila tak tertular HIV. Namun konflik saja sudah cukup membuat banyak perempuan kehilangan akses ke sumberdaya dan jatuh semakin miskin. Padahal Hayat hidup di daerah ‘lumbung padi’ di pedalaman Aceh. Ayah-ibu Hayat pernah punya sawah dan ladang yang memadai untuk menopang hidup.
  • 33. kenal dengan para dokter spesialis HIV di Aceh. Pengetahuan Hayat tentang HIV dan AIDS memberinya kekuatan dan keberanian untuk bersaksi di depan publik bahwa ia dan dua anaknya hidup dengan HIV. Meski setelah kesaksian itu stigma yang disandangnya kian berat, namun Hayat tak surut langkah. Pun ketika pihak sekolah hendak menolak anak perempuannya, Hayat melawan dengan penjelasan tentang proses penularan HIV. Ia mencontohkan adik perempuannya yang tetap negatif. Ia juga bicara kepada media --didampingi oleh NAD Support Group untuk Advokasi. Menurutnya, sia-sia saja Aceh sembunyi dari kenyataan, karena angka ODHA terus merayap naik.6 Secara ekonomi, Hayat tak punya jalan keluar selain bertahan dengan yang ia punya. Bila butuh uang, ia gadaikan secara bergilir pohon melinjo, pinang, kelapa, dan belimbing sayur, lalu menebusnya setelah panen padi. Jika terpaksa, ia menjual buah-buahan selagi hijau di pohon. Menurutnya tak ada guna menangisi keadaan. Ia harus memikirkan anak-anaknya untuk bertahan dan terbiasa hidup dengan HIV. Kisah Hayat adalah miniatur dari peta persoalan perempuan-perempuan yang dimiskinkan. Mereka dikondisikan dalam situasi tanpa pilihan. Tapi pelanggaran hukum, praktik diskriminasi, konflik, 6 Yuslindarwati, salah seorang pegiat NAD Support Group. Wawancara di Banda Aceh, 5 April 2013. globalisasi ekonomi yang seolah tak saling terhubung, ternyata menjadi penyebab yang sangat nyata dalam proses pemiskinan yang berdampak beda pada perempuan. Kisah ini hanya satu dari puluhan pengalaman perempuan yang didokumentasikan dan jutaan dari mereka yang tersebar di negeri ini. Mereka adalah saksi bagaimana lembaga, nilai, praktik, dan situasi sosial menciptakan pemiskinan melalui praktik diskriminasi. Iva, anak sulung Hayat kini boleh bersekolah, tapi ia tak punya teman. Setiap hari, ia bermain sendirian di kolong rumah hibah dari nenek angkatnya. 14 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 34. BORISADIVARRAHMAN Perjalanan Memaknai Pemiskinan Perempuan Dalam buku ini, ‘miskin’ dan ‘kemiskinan’ diartikan sebagai fakta sosial yang dapat dilihat dan diukur dengan mempelajari gejala, data, dan informasi yang tersedia. Sedangkan ‘pemiskinan’ adalah proses sosial dan politik yang menciptakan keadaan yang menyebabkan mereka miskin. Sebagai fakta sosial, kemiskinan dapat terjadi dan dialami oleh siapa saja, sementara pemiskinan disebabkan oleh 7 Terimakasih kepada Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono yang menjelaskan secara epistimologi perbedaan antara ‘kemiskinan’ dan ‘pemiskinan.’ pilihan-pilihan politik para pembuat kebijakan --visi dan kebijakan mereka tentang ekonomi, pembangunan, pengelolaan sumberdaya dan cara mendistribusikannya, termasuk cara menangani kemiskinan itu sendiri.7 Kajian seperti ini berguna untuk memperlihatkan cara yang berbeda dalam mengukur kemiskinan dan bagaimana mengatasinya. Selama ini, kemiskinan kerap diukur hanya melalui paradigma ekonomi --melulu soal produktivitas, akses pada modal, manajemen usaha, dan sejenisnya. Pendekatan serupa itu mengabaikan faktor-faktor lain yang berpengaruh pada capaian kesejahteraan perempuan seperti rendahnya status sosial mereka, bias gender dalam pembangunan, kurangnya kesempatan kerja dan pendapatan, faktor-faktor budaya dan nilai-nilai, kekerasan, dan pelanggaran hukum. Karenanya, dalam menyelesaikan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi saja tak akan sampai ke tujuan. Pemberdayaan ekonomi seharusnya seiring sejalan dengan pemberdayaan sosial dan hukum yang peka pada realitas ketimpangan lelaki dan perempuan, sebagaimana kepekaan yang dibutuhkan pada realitas ketimpangan sosial yang dialami kelompok orang dengan difabilitas. PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 15
  • 35. Buku ini sengaja menggunakan kata ‘pemiskinan’ (impoverishment). Eksplorasi kami di lapangan memperlihatkan bahwa bagi banyak perempuan, penyumbang terbesar kemiskinan mereka adalah nilai, proses sosial, kelembagaan, dan praktik diskriminasi berbasis prasangka yang secara sistematis menyingkirkan mereka dari sumberdaya ekonomi, sosial, dan politik. Pemiskinan yang dialami Hayat tak sekedar karena ia tertular HIV, tetapi karena ia berada dalam situasi konflik, persaingan bebas dalam penguasaan ekonomi secara global melalui penguasaan sumberdaya alam dan politik. Pada sisi lainnya, ia juga mengalami pemiskinan karena pelanggaran hak-haknya yang paling dasar, yakni hak untuk aman terbebas dari rasa takut, hak untuk mendapatkan pendidikan yang seharusnya dilindungi secara hukum, serta hak sebagai perempuan. Pengalaman pemiskinan berbeda antara laki-laki dan perempuan, namun pengalaman laki-laki lebih sering dikenali dan diakui karena status sosial mereka sebagai ‘kepala rumah tangga’ dan ‘pencari nafkah utama.’ Sering sekali terdapat anggapan bahwa menolong laki- laki yang miskin secara otomatis juga akan menolong istri dan anak-anaknya. Tentu saja asumsi serupa itu keliru, karena kebutuhan laki-laki tidak selalu sama dengan perempuan, atau tidak semua perempuan didukung oleh laki- laki secara finansial. 16 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan 8 Razavi, Shahra (1998), ‘Gendered Poverty and Social Change: An Issues Paper,’ Discussion Paper No 94. UNRISD, h.ii. Ketika laki-laki dan perempuan dimiskinkan, perempuan akan mengalami akibat atau dampak yang berbeda. Ini disebabkan karena mereka telah lebih dulu mengalami diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, peran gender, status perkawinan, dan ‘kelas sosial’ mereka di masyarakat. Karenanya, mereka mengalami dua kali himpitan: pertama, karena mereka miskin; kedua, karena mereka perempuan. Dalam ‘bahasa pembangunan,’ masalah ini dikenali sebagai ‘ketidakadilan gender’. Untuk mengatasi persoalan tersebut, para pakar menggunakan alat analisis yang dikenal sebagai ‘analisis gender.’ Analisis gender pada dasarnya mampu mengeksplorasi hubungan antara gender dan kemiskinan. Seperti diungkapkan Shahra Razavi lebih dari satu dasawarsa lalu, kami juga berangkat dari posisi bahwa “...analisis gender tentang kemiskinan bukan semata memperlihatkan apakah perempuan lebih menderita akibat kemiskinan daripada laki-laki, melainkan bagaimana gender membedakan proses-proses sosial yang mengarah ke kemiskinan, dan jalan keluar dari kemiskinan mereka.”8 Istilah ‘gender,’ mestinya tak asing lagi di telinga kita. Kata itu telah dikenal di Indonesia lebih dari seperempat abad. Kata itu jelas tidak menunjuk pada
  • 36. PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 17 9 Draf RUU KKG adalah prakarsa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam upaya meningkatkan tanggungjawab pemerintah menutup kesenjangan gender dalam penerimaan manfaat pembangunan. Salah satu kelompok yang menentang RUU-KKG adalah MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia), sayap muda dan perempuan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan beberapa organisasi massa. RUU ini mulai dibahas di DPR-RI sejak Agustus 2011 dan sampai saat ini masih sedang dibahas. perempuan, namun terkait dengan perempuan dalam konteks relasi sosial dan relasi kuasa yang berpengaruh kepada mereka. Untuk tujuan buku ini, gender didefinisikan sebagai gagasan kita –-manusia-- tentang perbedaan karakteristik, peran, nilai, dan kesempatan antara lelaki dan perempuan yang diciptakan dan menciptakan lingkungannya. Dalam pengamatan kami, belakangan ini muncul penolakan atas apa pun yang bertajuk gender. Tak main-main, Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) --yang dimaksudkan sebagai landasan hukum untuk mengimplementasikan pembangunan yang adil bagi perempuan-- dipersoalkan oleh beberapa kalangan.9 Terbangun argumentasi bahwa keadilan gender bukan hanya ideologi impor, tetapi dianggap bisa merusak tatanan keluarga. Kesadaran tentang penindasan berbasis perbedaan gender, atau munculnya cara pandang yang mempertanyakan kemapanan dominasi lelaki, dipahami akan 10 Beberapa orang yang menolak RUU KKG datang dari universitas seperti IPB, dan lulusan universitas di Timur Tengah. Beberapa anggota DPR-RI yang menolak RUU-KKG juga menggunakan argumen yang sama. mengganggu nilai-nilai keluarga. Di mata para penolaknya, ketimpangan relasi gender dianggap wajar. Ketimpangan itu, bagi mereka, merupakan ‘hukum keselarasan’ --ada yang kuat, ada yang lemah. Mereka tak melihatnya sebagai praktik diskriminasi. Sebaliknya, gagasan keadilan yang diusung melalui kesetaraan gender dicurigai akan menggugat sumber nilai-nilai (agama dan kebudayaan) sembari bersikukuh bahwa dominasi lelaki adalah kemauan alam atau kehendak Tuhan.10 Dalam konteks itu, penelitian ini dirancang untuk menggali pengalaman dan pengetahuan perempuan tentang pemiskinan dan bagaimana pelanggaran hukum berpengaruh terhadap pemiskinan itu. Penggaliannya menggunakan pendekatan yang secara konsisten memakai kacamata gender dalam mengamati daur (siklus) kehidupan perempuan. Data dikumpulkan dengan ‘mendengarkan perempuan bertutur’, suatu pendekatan yang telah lama dikenal dalam penelitian feminis. Dengan cara itu, suara perempuan menjadi mungkin untuk didengar dan dijadikan sebagai sumber utama informasi. Melalui wawancara mendalam, kami mendengarkan kisah-kisah mereka serta bersimpati pada pengalaman hidup mereka.
  • 37. 18 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan ‘Mendengarkan perempuan bertutur’ ini dimaksudkan untuk menghindari bias dari ‘pemegang otoritas kebenaran’ --biasanya laki-laki-- yang selama ini selalu menjadi sumber utama informasi dan sumber penafsir hukum. ‘Mendengar perempuan bertutur’ berangkat dari satu keyakinan bahwa pengalaman perempuan adalah sah sebagai kebenaran. Karenanya, kami menguji informasi lain (misalnya dari laki-laki)
  • 38. PENDAHULUAN: Perjalanan Menolak Tumbang | 19 11 Tentang metode penelitian feminis, lihat: Reinharz, Shulamit (2005), Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Jakarta: Women Research Institute. dari perspektif perempuan, dan bukan kebalikannya.11 Dalam kajian ini, daur kehidupan perempuan dijadikan patokan. Sebab, hal ini terkait dengan bagaimana gender dikonstruksikan di setiap tahapan daur tersebut dan terhubung dengan pemiskinan dan pelanggaran hukum pada tiap tahap kehidupan perempuan. Menyadari bahwa pelanggaran hak- hak dasar, diskriminasi berbasis gender menjadi penyebab pemiskinan, maka dalam narasi ini dikemukakan bagaimana kelembagaan dan sistem hukum dibunyikan dan digerakkan sebagai instrumen yang bisa diandalkan untuk melawan pemiskinan berbasis prasangka gender.v BETAPETTAWARANIE
  • 40. Gender, Anak Perempuan & Keluarga Miskin BAGIAN SATU
  • 41. Timang-timang, Anak Ditimbang1 Sering orang menyangka secara sosial anak perempuan teramat rapuh dan karenanya mereka dianggap paling perlu mendapatkan perlindungan. Sekarang mari kita simak kisah Sonya dan Salsa serta beberapa anak perempuan sebayanya. *** Sonya baru empat tahun, tapi ia tak seperti balita pada umumnya. Bersama adiknya, ia membantu ibunya, Irene, mengangkut air. Dalam usia mainnya, ia lebih sibuk bekerja. Irene tertawa kecil ketika ditanya soal akte kelahiran Sonya. Ia menggeleng. Pertanyaan itu terlalu jauh, sedang untuk makan hari itu saja ia tak punya jawaban. Bersama ratusan pengungsi lain dari Timor Timur, Irene telah bertahun-tahun menetap di kompleks pengungsian Terminal Noelbaki, Kupang.12 Entah sampai kapan. Irene hanya memikirkan tiga anaknya, sementara suaminya kerja serabutan di terminal. 12 Pada tahun 1976-1999, Timor Timur (sekarang Republik Timor Leste) merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia (RI). Ketika terjadi konflik pasca referendum 1999, kelompok pro-integrasi mengungsi ke wilayah RI. Sejak itu, ribuan pengungsi --sebagian besar perempuan dan anak-- tinggal di barak-barak pengungsian, antara lain, di Noelbaki, Naibonat, dan Tupukan, Kupang. Sebagian telah menetap di perumahan permanen. 22 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 42. Anita da Costa, salah seorang pengungsi Timor Timur di ‘gubuk’nya di kompleks pengungsi di Noelbaki, Kupang, NTT. Hari itu sumur bor di dekat rumah (tepatnya: gubuk) Irene, tak berfungsi. Sejak mereka tinggal di sana, hal seperti itu amat sering terjadi. Pihak yang mengurus pengungsi tak pernah datang lagi. Karenanya, tiap kali fasilitas umum rusak, mereka ARMINHARI BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 23
  • 43. harus menanganinya sendiri. Hari itu, dua pemuda berkeliling mengumpulkan sumbangan untuk perbaikan. Tapi warga terlalu miskin untuk saweran. Untuk menyambung hidup, beberapa perempuan berjualan sayuran di Pasar Noelbaki. Salah satunya, Anita da Costa, perempuan beranak dua. Dua hari sekali, Anita memborong kebun kangkung atau sawi putih siap petik seharga Rp 100.000 untuk dipanen beberapa kali. Dua orang tetangganya, termasuk Irene, membantu Anita. Mereka bekerja sepanjang sore, bahkan sampai malam. Subuh keesokan harinya, sayuran dibawa ke pasar. Jika laris, Anita mendapatkan untung Rp 25.000 - 30.000. Irene dan temannya akan kebagian Rp 5.000 - 10.000. Itulah pendapatan mereka sehari-hari. Penghasilan suami, jika ada, habis untuk rokok dan moke --minuman beralkohol produksi lokal. Karenanya, tiap kali sumur bor rusak, mereka harus menunggu sampai sumbangan terkumpul. Hari itu, Irene, dibantu Sonya dan adiknya, David, mengambil air dari sumur yang lebih jauh. Sonya harus mengangkutnya bolak- balik, sebab David hanya bisa membawa jeriken kosong. Umur David baru dua tahun. *** Sonya --anak pengungsi Timor Timur di kamp pengungsi Noelbaki, Kupang. Jika sumur bor rusak, mereka membantu ibu mengangkat air dari tempat yang lebih jauh. 24 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan ARMINHARI
  • 44. ARMINHARI Siang itu, Salsabila segera ganti seragam merah putihnya. Ia masih berpeluh setelah pulang sekolah. Dari pelataran penuh batu, neneknya meminta Salsa cepat makan dan cuci piring. Hari itu Nenek membutuhkan lebih banyak batu yang dibelah. Bersama neneknya, Salsa tinggal di Dusun Gegutu, Desa Sayang-sayang, Lombok Barat. Salsa duduk di Kelas III Sekolah Dasar (SD). Umurnya baru 9 tahun. Ibunya seorang TKW di Kuwait dan belum pulang sejak dua tahun lalu. Orangtua Salsa bercerai. Ayah Salsa juga TKI, kabarnya di Malaysia. Selama ini Salsa dan abangnya diurus neneknya, tukang belah batu itu. “Cuma bantu-bantu saja daripada main,” jawab neneknya perihal Salsa yang ikut membelah batu. Tapi tangan Salsa sudah kapalan. Jadi pastilah bukan sedang main-main dan tidak hanya satu dua hari. Upah membelah batu Rp 2.000 per bak air besar. Tiap hari mereka bisa memecah batu sampai 10 - 12 bak. Kalau sedang ada keperluan, seperti hari itu, nenek harus membelah batu sampai 15 bak, dibantu Salsa. *** Kisah Sonya dan Salsa adalah cerita sehari-hari. Di sekitar kita tak sulit menemukan anak perempuan seperti mereka—bahkan bisa lebih parah. Kisah Salsabilla membantu nenek memecah batu dengan palu godam sebesar lengannya. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 25
  • 45. mereka menggambarkan bagaimana konstruksi gender bekerja, bahkan sejak kanak-kanak. Dalam keluarga miskin, anak laki-laki dan perempuan diberi tugas dan wewenang yang berbeda. Sebetulnya itu dianggap wajar, karena pada setiap kebudayaan anak-anak ditumbuhkan sesuai dengan harapan sosialnya, termasuk harapan sosial menjadi anak yang berbakti kepada orangtua. Dalam banyak budaya, bekerja membantu orangtua tidak dianggap beban. Bahkan jauh lebih baik daripada bermain. Dalam kenyataannya, bermain dan bekerja pada anak keluarga miskin memang sulit dibedakan. *** ARMINHARI Nabila adalah anak sulung dari keluarga Malik dan Atikah. Mereka tinggal di Desa Namo, Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Nabila kini 13 tahun tapi masih duduk di Kelas V SD. Kendati pernah tinggal kelas, sebenarnya Nabila bukan anak bodoh. Ketika teman seusianya masuk SD, Nabila harus menjaga adik kembarnya, Aisyah dan Aminah. Sementara adik Nabila, Husein, yang lahir satu tahun di bawahnya, masuk SD tepat di umur enam tahun. Atikah membutuhkan tenaga Nabila untuk mengurus rumah tangganya. Hanya dengan bantuan itu, Atikah bisa ke kebun kakao atau membantu suaminya menarik rotan di hutan. Setelah adik kembarnya bisa ditinggal, Nabila mulai masuk SD. Namun ketika ia naik ke Kelas III, ibunya hamil lagi dan Nabila harus cuti. Sekarang pun, setelah adik-adiknya mandiri, Nabila tetap mengambil alih pekerjaan ibunya dan, karenanya, Nabila sering izin tidak masuk sekolah. Keluarga itu sangat miskin. Hampir tidak mungkin mereka bisa makan jika Malik dan Atikah absen bekerja sehari saja. Setiap hari mereka ke hutan mencari rotan, kayu bakar untuk dijual, pandan hutan untuk tikar, atau menjadi buruh pangkas rumput. Seperti yang lain, mereka punya kebun kakao meski berlahan sempit. Sayangnya, hasil kakao tak bisa diandalkan lagi dalam beberapa tahun terakhir. Ini menyebabkan Atikah sekeluarga dan seluruh kampung tak panen. Padahal, jika tak panen, tak ada pekerjaan tambahan bagi orang upahan Indira baru 4 tahun. Ia bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nagrak, Cisarua, Sukabumi, Jawa Barat. Menurut orangtuanya, Indira diajak ke kebun untuk bermain sambil menjaga adiknya dan sekaligus ikut memetik tomat. ARMINHARI 26 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 46. seperti mereka. Dalam situasi itu, Nabila harus membantu keluarganya agar ibunya bisa ke hutan. Tak heran jika kini ia masih duduk di SD sementara teman-temannya telah masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam hal ini, Nabila bukan pengecualian. Nabila dan pekerjaan rutin hariannya: membantu pekerjaan rumah ibunya sambil menjaga dua adik kembarnya, Aisyah dan Aminah. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 27
  • 47. ARMINHARI ARMINHARI ANAK LELAKI & PEREMPUAN SAMA-SAMA BEKERJA. Anak lelaki dan perempuan dalam keluarga miskin sering harus ikut mencari nafkah. “Uangnya untuk Ibu,” demikian kata mereka. Untuk alasan itu pula, orangtua dalam keluarga miskin tak mempersoalkan anak mereka tak pergi ke sekolah atau bahkan mendorong anak mereka berhenti sekolah. GALERI 1 Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan
  • 48.
  • 49. GALERI 1 Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan
  • 50. ARMINHARI ARMINHARIBETAPETTAWARANIE ANAK PEREMPUAN MEMBANTU DI RUMAH, ANAK LELAKI JUGA. Anak lelaki membantu pekerjaan orang tua --menggembala, mencari kayu bakar, mengangkut air, dan sebagainya. Pekerjaan itu juga bisa dilakukan anak perempuan. Tapi pekerjaan rumah tangga --mencuci piring, masak, mengasuh adik-- hanya dianggap pantas dilakukan anak perempuan.
  • 51. BETAPETTAWARANIE ARMINHARIARMINHARI CITRA PEKERJAAN DIBENTUK SEJAK KANAK-KANAK. Konstruksi gender diinternalisasikan melalui permainan. Pada anak lelaki permainan dihubungkan dengan maskulinitas mereka seperti main perang- perangan, sementara pada perempuan adalah mengurus rumah tangga. GALERI 1 Anak, Konstruksi Gender & Pekerjaan
  • 52.
  • 53. 34 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan Meski kekerasan tak mengenal strata sosial, kemiskinan menyebabkan praktik kekerasan seksual pada anak semakin kondusif: buruknya tempat tinggal, relasi kuasa orangtua yang timpang, ketergantungan ekonomi istri terhadap suami, atau lelaki kehilangan pekerjaan dan tinggal di rumah. Hal lain adalah pengabaian kolektif terhadap anak- anak keluarga miskin sehingga ‘tanda peringatan’ (alarm) atas kekerasan seksual terhadap mereka tidak berfungsi. Ini semua membuat anak perempuan dari keluarga miskin sangat rentan terhadap kekerasan seksual.15 Kekerasan seksual pada anak perempuan di keluarga miskin juga sering terkait dengan ‘kewajiban kultural’ mereka. Mereka dituntut untuk mengalah atau berbakti kepada orangtua dalam bentuk yang berbeda dari jenis tuntutan kepada anak lelaki. Pemaksaan kawin di bawah umur --atau bahkan dengan sengaja dijual untuk dilacurkan-- hanya terjadi pada anak perempuan, meski anak lelaki miskin harus ikut mencari nafkah dengan cara yang keras. Apalagi bagi anak perempuan berkebutuhan khusus. Women Crisis Center (WCC) Rifka Annisa di Yogyakarta mencatat, sejak 2003 pengaduan perkara kekerasan seksual Praktik eksploitasi dan diskriminasi bisa berawal dari sini. Meski sama- sama mengalami kemiskinan, sejak kecil anak perempuan sering menanggung beban lebih berat. Bahkan, pada kasus paling ekstrem seperti hubungan seksual sedarah (incest), anak perempuan menjadi pengganti ibu dalam memenuhi kebutuhan biologis bapaknya.13 “Sejak konflik, kami membuka Rumah Aman di sini (Ambon). Banyak istri menjadi korban kekerasan suaminya yang kehilangan pekerjaan. Anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual bapaknya atau bapak tirinya. Tak jarang ibunya tahu, tapi dalam situasi di pengungsian, ibunya tak berdaya. Beban mencari nafkah terlalu berat untuk ditanggung sendiri. Anak sering diminta tutup mulut. Anak pun patuh karena di pengungsian tak punya siapa-siapa selain ibunya. Situasi ini sangat menyulitkan dalam proses pendampingan di Rumah Aman. Anak dan ibu seperti bersekongkol menutupi kebejatan ayah atau ayah tirinya dan suaminya. Padahal, anak telah nyata menunjukkan gejala gangguan mental.”14 13 Dalam catatan Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), incest yang terjadi dalam kelurga miskin sering dipicu oleh tidak memadainya ruangan di dalam rumah. Dalam banyak kasus, incest juga terjadi ketika istri bekerja di luar rumah atau menjadi buruh rantau. Melalui penaklukan anak perempuan atau menciptakan rasa bersalah karena ibunya meninggalkan keluarga untuk bekerja, anak perempuan sering diminta berkorban dengan melayani kebutuhan biologis bapaknya. (Wawancara dengan Badriyah Fayumi, KPAI, 17 Juni 2013). 14 Lies Marantika, Yayasan Humanum. Wawancara di Ambon, 12 Juli 2013. 15 Pusat Studi Gender Universitas Indonesia (2013), ‘Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan di Wilayah Depok’. Laporan penelitian tak diterbitkan.
  • 54. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 35 ARMINHARI Anak-anak perempuan keluarga miskin di barak pengungsian seperti di Ambon (ATAS), atau di perkampungan kumuh dan padat seperti di Jayapura (BAWAH), adalah yang termasuk paling rentan menjadi korban kekerasan dan kejahatan seksual, bahkan oleh orang-orang terdekat (keluarga dan kerabat) mereka sendiri. BETAPETTAWARANIE ARMINHARI pada anak perempuan dengan kebutuhan khusus (difabilitas) meningkat berkali lipat: dari 2 kasus pada tahun 2004 menjadi 4 kasus pada 2008 dan 8 kasus pada tahun 2011. Kualitas kekerasannya juga semakin parah.16 Demikian halnya dengan kasus-kasus yang ditangani lembaga untuk kelompok difabilitas seperti SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan Difable dan Anak).17 Banyak dari kasus-kasus kekerasan seksual tersebut tak penah sampai ke pengadilan. Persoalan terberat dalam kekerasan terhadap anak berkebutuhan khusus adalah karena korban kerap dianggap tidak cakap hukum. Laporan kekerasan seringkali dimentahkan bahkan oleh keluarganya sendiri. Pada kasus tertentu, korban atau keluarganya justru yang disalahkan keluarga pelaku. Mereka dianggap tidak mampu menjaga anak berkebutuhan khusus itu. Bahkan, dalam beberapa kasus, anak perempuan yang mengalami gangguan kesehatan mental dianggap punya kelainan secara seksual. Karenanya ketika terjadi kekerasan seksual, tindakan pelaku tidak dihitung sebagai kejahatan dan tidak diusut.18 Kemiskinan yang dialami anak-anak 16 Data dari wawancara dengan Direktur WCC Rifka Annisa di Yogyakarta, 12 September 2013. 17 Beberapa kali Yayasan SAPDA menangani kasus pada Sekolah Luar Biasa (SLB) yang mengalami kekerasan seksual oleh guru atau pengasuh asrama. SAPDA kemudian menyusun panduan penanganan kasus dengan pendekatan yang tidak menggeneralisasikan kasus. (Wawancara Nurul Saadah, SAPDA, 9 April 2013). 18 Keterangan diperoleh dari Yenni Rosa Damayanti yang pernah menangani korban kekerasan seksual pada anak perempuan yang dipasung karena menderita ganguan kesehatan mental. (Wawancara di Jakarta, 18 Februari 2013).
  • 55. 36 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan juga sering diselesaikan dengan cara- cara ‘penyelesaian sementara yang tidak tuntas’ (ad hoc). Misalnya, dengan menitipkan mereka pada kerabat, tetangga, atau keluarga lain. Meski tak sedikit yang benar-benar memelihara mereka secara layak, cara seperti itu sering juga digunakan sebagai praktik perbudakan terselubung, terutama pada anak perempuan. Anak angkat diperlakukan sebagai pembantu tanpa upah dan tanpa diberi pendidikan. Kasus Mila di Aceh menggambarkan hal yang lebih parah lagi. Mila Bersaksi di Pengadilan Majid, ayah Mila, semula buruh pada kilang penggergajian kayu. Setelah lahannya tergusur perluasan kebun sawit di Aceh Timur, kilang kayunya tutup dan Majid mengganggur. Sebetulnya ia bisa bekerja di kebun sawit, tapi perkebunan membutuhkan tenaga baru yang tahan banting. Majid pasrah pada keringkihannya. Derita lain datang tak diundang. Marliyah, ZULFAND.MUHAMMAD ibu Mila, lumpuh separuh pasca persalinan anak bungsunya. Ia menderita anemia dan kekurangan gizi kala hamil. Alih-alih mengatasi masalah, Majid minggat menarik becak di Medan. Marliyah pun sendirian menanggung beban tiga anaknya: dua lelaki dan satu perempuan. Karena lumpuh sebelah, Marliyah hanya bisa bekerja pada ibu atau kakaknya dengan upah serantang nasi dan lauk. Untuk mengurangi beban, ia titipkan Mila kepada kakak perempuannya. Tapi karena kakaknya juga banyak tanggungan, Mila dititipkan lagi pada sepasang suami istri tanpa anak yang pantas menjadi kakek dan neneknya. Orang hanya mau mengambil anak perempuan, karena anak lelaki tak bisa diandalkan untuk mengurus rumah tangga. Padahal Mila ketika itu baru berumur 6 tahun Sebagaimana terungkap di persidangan, kekerasan seksual dialami Mila sejak berumur 7 tahun hingga peristiwa ini terungkap ketika Mila berumur 11 tahun. Pada awal April 2013, ketika sidang berlangsung, di depan para penegak hukum --lima orang lelaki bertoga hitam yang terdiri dari majelis hakim, pembela dan jaksa itu-- Mila menceritakan dengan terbata-bata dalam bahasa daerah tentang apa yang ia lihat, ia pegang, dan ia rasakan dari tindakan durjana ayah angkatnya.v
  • 56. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 37 Kekerasan seksual dan eksploitasi hanyalah contoh dari kerentanan anak perempuan dalam kemiskinan. Situasi itu hanya bisa dicerna dengan perangkat analisis yang tepat untuk memahami ketimpangan antara (anak) lelaki dan perempuan serta kerentanan yang diakibatkannya. Dan itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dicarikan jalan keluarnya. Beberapa lembaga yang terkait dengan hukum telah melakukan upaya-upaya itu. Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, D.S. Dewi, sejak lama memberi perhatian khusus pada anak yang berhadapan dengan hukum. Ia mencontohkan upaya lembaga hukum agar lebih peka pada anak di pengadilan. Ia mencatat, di berbagai daerah tempat ia pernah bertugas --PN Bale Endah Bandung dan PN Stabat, Langkat, Sumatera Utara-- dan tempatnya kini bertugas --PN Cibinong, Bogor, Jawa Barat-- jumlah anak lelaki dan perempuan yang berhadapan dengan kasus hukum terus meningkat.19 Hakim Dewi --dan beberapa tokoh hukum seperti almarhum Hakim Agung Bismar Siregar dan Hakim Agung Mariani (untuk sekadar menyebut beberapa contoh)-- selalu mengedepankan asas restorative justice dalam perkara-perkara yang menyangkut anak, yakni prinsip hukum yang bertujuan memperbaiki keadaan anak, baik sebagai pelaku maupun korban. Cara ini dianggap jauh lebih penting daripada menghukum pelaku sebagai mekanisme pembalasan atas tindakannya atau yang biasa disebut sebagai retributive punishment.20 Sementara bagi anak perempuan korban kekerasan seksual, hal utama yang harus dilakukan adalah menjauhkan anak dari trauma berulang-ulang. Karenanya, perangkat ruang sidang yang ramah terhadap anak korban kekerasan seksual mutlak harus tersedia. Selain itu, hakim wajib menghindari penggunaan bahasa, gerak tubuh, dan atribut yang membuat anak terintimidasi. Ini berlaku terutama pada mahkamah yang tidak menyediakan hakim khusus untuk perkara anak. Untuk itu, menunjuk tim majelis yang paham seluk beluk kekerasan seksual pada anak --meskipun bukan hakim khusus perkara anak-- adalah sangat instrumental. Di atas itu semua, menurut Hakim Dewi, sangat penting melakukan pendekatan kepada orangtua korban agar tak memperparah kejiwaan anak dengan 19 Dalam catatan data perkara anak tahun 2013 di PN Cibinong, jumlah anak sebagai pelaku adalah 9 perkara, anak sebagai korban 31 perkara, 28 di antaranya adalah perkara kekerasan seksual kepada anak perempuan dengan pelaku lelaki dewasa 25 orang dan pelaku anak lelaki 3 orang. 20 Wawancara tanggal 3 Juli 2013. Lebih lanjut lihat Dewi D.S. dan Fatahillah A.Syukur (2011), Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Jakarta: Indie Publishing.
  • 57. 38 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan Hakim Dewi di Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor, ketika memutuskan kewajiban negara memberi akte kelahiran pada setiap anak. Keputusan itu dibuatnya sebelum keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.6/2013 tentang hak setiap anak mendapatkan akte kelahiran tanpa perlu putusan pengadilan lagi. ARMINHARI bertindak hanya mementingkan ego orang dewasa. Hakim Dewi, misalnya, menolak upaya keluarga yang menuntut pelaku kekerasan seksual (dewasa) yang hendak mengawini korban sebagai upaya penyelesaian di luar sidang. Perdamaian seperti itu, menurutnya, hanya memikirkan kepentingan orang dewasa dan mengabaikan penderitaan anak. Sementara bagi anak perempuan berkebutuhan khusus, negara wajib menghadirkan tenaga ahli yang memahami persoalan mereka tanpa prasangka negatif, apalagi merampas hak-hak dasarnya sebagai anak atau sebagai manusia lantaran difabilitasnya. Dengan sistem dan penegak hukum yang peka pada kebutuhan anak (lelaki dan perempuan) dan pada persoalan gender, rasa keadilan bagi anak perempuan serupa Mila bisa terpenuhi. Namun penegakan hukum tak mungkin bekerja sendiri. Sistem sosial yang adil kepada perempuan --dalam masyarakat yang masih mengutamakan anak lelaki-- adalah arena perjuangan yang tak kalah penting. Melalui perjuangan itu nasib anak perempuan seperti Sonya, Salsa, Nabila dan Mila, niscaya bisa terselamatkan. Jika saja Indonesia memiliki lebih dari seribu Hakim Dewi yang peka terhadap ketidakadilan gender dalam dunia peradilan, niscaya anak dan perempuan akan lebih terlindungi dari pemiskinan yang tidak perlu.v
  • 58. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 39 Tumbuh Kembang Tidak Seimbang2 Dalam banyak budaya dan kelompok sosial yang kami kunjungi, anak perempuan dianggap penting, tetapi anak lelaki adalah harapan keluarga. Perbedaan perlakukan kepada anak lelaki dan perempuan melekat dalam beragam unsur budaya, dongeng, legenda, ajaran agama, praktik sosial, hingga kebijakan pasar dan politik. Ibu Lilis, perempuan Sunda, mandor pengolahan pucuk teh di perkebunan Goalpara, Sukabumi, Jawa Barat, membuat amsal tentang anak lelakinya: ”lalaki mah panjang lengkahna pikeun jaga nulung ka indung (lelaki itu langkahnya panjang untuk kelak menolong ibu).” Sebaliknya, anak perempuan dinilainya ‘pendek langkah,’ terikat oleh anak-anak, keluarga, rumah tangga, atau kampung halamannya. Nyatanya, dua anak lelakinya tak benar-benar bisa membantu. Wahyu merantau ke Jambi sebagai guru SD, sedang anak bungsunya, Acep, supir angkutan umum luar kota, jarang berkunjung. Kehidupan Bu Lilis praktis ditunjang Enik, anak perempuan sulungnya yang menikah dengan buruh kebun sayuran. Pekerjaan Enik mengurus rumah tangga. Tapi ia luar biasa repot. Dua anaknya masih harus diasuh, sementara ia membantu mengurus rumah ibunya, masak untuk ayahnya, dan setiap hari ke Taman Kanak-kanak (TK)
  • 59. Para pekerja perempuan di perkebunan teh Goalpara, Sukabumi, Jawa Barat, sedang menimbang pucuk-pucuk teh hasil pemetikan. Mereka bekerja di perkebunan luas itu sepanjang hari. untuk antar jemput keponakannya --anak Wahyu yang dititipkan pada ibu mereka. Bila pucuk teh melimpah dan penggilingan berlangsung hingga malam, seluruh tanggung jawab rumah tangga Lilis ada di tangan Enik. Sebagaimana dalam keluarga berada, dalam keluarga miskin pun pandangan tentang anak tak selalu statis. Pandangan tentang keutamaan anak lelaki sering juga bersifat normatif. Tetapi, anggapan itu akan menjadi nyata ketika dipatri dalam tradisi, dipraktikkan dalam keyakinan (agama), dan bergerak dalam angan-angan. 40 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 60. ARMINHARI Mak Itoh, seorang pedagang keliling makanan jajan di Cikulur, Serang, Banten,21 menjelaskan: “Kalau anaknya laki-laki, gawan (oleh- oleh untuk dukun persalinan) nya juga lain, bayarnya juga lebih mahal. Berkatnya untuk dukun lebih lengkap pake ayam atau sedikitnya endog (telur,) tak hanya tahu, tempe, srundeng kelapa, dan uraban. Kalau bayinya laki-laki, kata paraji (dukun) nya itu ngurutnya bedas (keras), dan bantu kelahirannya juga lebih besar tenaganya.” Pembedaan ‘nilai’ serupa itu tak hanya ditemui dalam praktik kesehatan tradisional. Di Negeri (Desa) Waru, Kecamatan Teon Nila Serua (TNS), 21 Sejak Multatuli menerbitkan Max Havelaar tahun 1860, kemiskinan menghantui rakyat kecil Banten hingga kini. Dari 10,6 juta jiwa penduduknya (laki-laki 5,4 juta, dan perempuan 5,9 juta), sebagian besar berada di batas garis kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah warga miskin Banten sampai Maret 2013 adalah sebesar 656.243 jiwa. Artinya naik 7.989 jiwa dari triwulan sebelumnya. Indikator kemiskinan terlihat dari Angka Kematian Ibu (AKI) daerah ini tertinggi di Pulau Jawa. Menjadi buruh rantau merupakan pilihan paling mungkin bagi perempuan akibat rendahnya pendidikan. Perubahan pola pemanfaatan tanah dari lahan pertanian menjadi industri menggusur kesempatan kerja petani dan buruh tani tanpa pendidikan. Pabrik-pabrik manufaktur diisi tenaga buruh perempuan berupah terendah. Keadaan itu secara gender menyebabkan buruknya kondisi sosial ekonomi perempuan justru di provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur perempuan, Ratu Atut Chosia --yang ketika buku ini disusun sedang dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 22 Focus Group Discussion (FGD) dengan ibu- ibu dampingan Yayasan Pasuri --satu LSM lokal anggota Jaringan Baileo Maluku-- di Negeri Waru, Kecamatan TNS, Maluku Tengah, 9 Juli 2013. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 41 Maluku Tengah, perbedaan biaya melahirkan anak lelaki dan anak perempuan bisa sampai Rp 200.000 atau Rp 300.000. Ibu bidan beralasan bahwa penggunaan obat suntik untuk merangsang kelahiran bayi lelaki harus lebih banyak, meskipun bidan sendiri mengakui tingkat kesulitan membantu persalinan tak ada hubungannya dengan jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan.22 Di banyak keluarga, anak lelaki digadang-gadang sebagai gantungan hidup. Mungkin itu tak berlebihan, sebab bagi keluarga miskin anak lelaki diangankan bisa menjadi penahan beban agar bandul kemiskinan tak meluncur lebih dalam ke sumur tanpa dasar. Perubahan pola tenaga kerja dan kurangnya pekerjaan lelaki tidak Mak Itoh di dapur rumahnya. ARMINHARI
  • 61. Upacara gusaran di daerah perkebunan sayuran di Lembang, Bandung, dipimpin oleh paraji (dukun) perempuan. Dalam perhelatan sederhana seperti ini pun konstruksi gender tentang bagaimana seharusnya menjadi lelaki dan perempuan dilakukan. Melalui upacara sawer, paraji menyampaikan wejangan dalam nyanyian Sunda yang menekankan bagaimana anak lelaki seharusnya kelak menjadi ksatria atau pahlawan. secara otomatis mengubah prioritas bagi anak lelaki. Ritual dan tradisi memastikan superioritas anak lelaki terpelihara dan harapan sosial tak berubah. Dalam tradisi Islam Jawa dan Sunda, selamatan atas kelahiran bayi selalu dilakukan, meski bukan dalam bentuk aqiqah --memotong kambing; dua ekor bagi anak lelaki, dan satu bagi anak perempuan. Dalam tradisi Sunda, anak laki-laki menjalani upacara adat seperti gusaran sebelum sunat. Ritual ini terdiri dari ibak (mandi), dangdos (berdandan), diparas (bercukur), saweran (menabur dengan beras, permen, irisan kunyit, dan uang recehan) ARMINHARI 42 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 62. berisi perlambang dan nasihat yang mengukuhkan maskulinitas pada lelaki, atau femininitas bagi anak perempuan, sesuai dengan harapan sosial masyarakat terhadap mereka masing-masing. Pada keluarga miskin sekalipun, kelahiran anak lelaki dianggap sebagai berkah untuk alasan yang sepertinya sepele bagi banyak orang: membawa pulang berkat (makanan) dari pesta selamatan --upacara yang hanya dihadiri para lelaki. “Enaknya ya punya anak lelaki, bisa ikut ‘ngriung (berkumpul) dan pulang bawa berkat. Tujuh malam kita bisa makan berkat kalau ada tetangga slametan. Padahal, di sini orang slametan hampir tiap hari. Saya tak bisa mendapatkan besek (bungkusan) berkat karena anak saya semuanya perempuan. Perempuan tak diundang slametan. Kalau kebetulan mantu saya pulang telat, ya kapiran, tak kebagian berkat.”23 Setiap ibu dalam keluarga miskin akan sangat mengandalkan bantuan dan berbagi tanggungjawab dengan anak perempuan mereka. Di sejumlah daerah yang dikunjungi, nilai anak perempuan dalam keluarga miskin jelas mengalami pergeseran. Banyak orangtua yang sangat menyadari bahwa peluang kerja pada anak perempuan lebih besar. Namun, unsur kelembagaan dalam masyarakat --seperti adat dan agama, bahkan peraturan negara-- tetap saja mengukuhkan keutamaan anak lelaki. Setelah Gunung Meletus: Anak Perempuan di Pulau Palue Di wilayah tertentu, seperti di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Flores, nilai anak perempuan dianggap tak sepenting anak lelaki. Herannya, pandangan itu keluar dari warga pulau yang sebagian besar penduduknya perempuan. Pulau ini laksana ‘Pulau Bidadari’ --pulau kaum perempuan dengan bibir merah bergincu sirih pinang. Mereka pekerja keras yang ulet dan tangguh. Dengan tertawa lepas, mereka mengatakan lelaki itu pemalas dan kerjanya hanya minum moke (arak lokal). Sebetulnya, sejak dulu kala banyak lelaki dari pulau ini merantau dan mencari pekerjaan di tempat lain. Para lelaki nelayan yang tinggal di pesisir, pergi melaut selama berbulan- bulan. Mereka mencari ikan sampai ke Manggarai, bahkan Papua, dan kembali di musim barat. Lelaki dari daerah pegunungan merantau secara mandiri ke Malaysia lewat Batam atau Nunukan. Mereka tak mau disebut TKI, karena tidak pernah memanfaatkan fasilitas perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Mereka bekerja di penggergajian kayu dan perkebunan sawit. Beberapa perempuan mengikuti suami mereka merantau, tapi bukan sebagai pekerja rumah tangga. Mereka mengurus suami, membuka dapur 23 Katipah (pekerja serabutan), wawancara di Samparwadi, Serang. 5 April 2013. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 43
  • 63. bagi anak-anak. Pada anak lelaki dan perempuan, dampaknya sama beratnya. Ketika tinggal di pengungsian, anak perempuan kembali menjadi pembantu bagi ibu mereka untuk memulai kehidupan baru. Selain itu, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan, teman, dan sekolah yang baru. Hermin Emanuella bersama Ibu Guru Karmadina Bhure dan teman-temannya, murid-murid SD Katolik Awamaleh Nitunglea yang dititipkan di SD INPRES Sinde Kabor, Maumere (GAMBAR SISIPAN). Di kampungnya di Desa Nitunglea di Pulau Palue, Hermin semula tinggal bersama ibunya, Maria Rakka Lebih. Ayahnya, Emanuel Woro, merantau ke Malaysia. Sejak Gunung Rokatenda meletus, Hermin dan ibu serta neneknya mengungsi ke Maumere. Mereka tinggal di Lorong Haji Kasim, Kilometer Dua, Kampung Garam, Maumere. Ketika di kampung, Hermin telah sekolah Kelas I. Proses belajar mengajar, menurut Ibu guru Karmadina Bhure --yang juga guru Hermin ketika di kampung-- sudah berlangsung tiga bulan. Namun bencana itu menghentikan seluruh kegiatan dua SD yang terletak di jalur aliran lahar dingin. Ibu Karmadina adalah pegawai negeri sipil (PNS) pertama yang mengungsi ke Maumere dan ditempatkan mengajar di SD INPRES Sinde Kabor, tempat Hermin dan 20 orang temannya dititipkan. Tapi Hermin kemudian ‘mogok sekolah.’ Alasannya, karena ia tak pandai berbahasa Indonesia. Seperti diceritakan kembali oleh ibu guru Karmadina, Hermin mengatakan: ”Saya takut sekolah, nanti anak-anak pukul saya karena saya tak bisa bicara bahasa Indonesia.” ARMINHARI 44 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan bagi para pekerja bujangan yang juga merantau. Sementara yang tinggal di desa --umumnya perempuan tua-- menenun kain (ikat) tradisional sambil bekerja mengolah kebun sebagai petani lahan gunung. Bencana seperti letusan Gunung Rokatenda akan berdampak buruk
  • 64. ARMINHARI BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 45 Ambon: Anak Lelaki & Perempuan di Medan Konflik Di Pulau Haruku, Maluku Tengah, sebagaimana di Kepulauan Maluku umumnya, kedudukan anak lelaki dan perempuan relatif setara. Sangat boleh jadi ini karena pengaruh Belanda yang memberi kesempatan pendidikan yang sama bagi keduanya. Tokoh Pergerakan Kemerdekaan dari Maluku seperti Christina Martha Tiahahu mempelopori kepemimpinan kaum perempuan sejak zaman Belanda. Namun secara adat, anak lelaki tetap istimewa. Karenanya di beberapa kasus, anak perempuan justru didorong untuk bersekolah lebih tinggi sebagai ikhtiar untuk menyeimbangkan. Eliza Kissya, Kepala Kewang (harafiahnya: ‘Penjaga Hutan’) Negeri Haruku --penerima Anugerah Nasional Lingkungan Hidup, Kalpataru, tahun 1986-- menjelaskan alasannya: “Sejak tahun 1823, tanah-tanah adat telah diregistrasi dan tercatat ada dua jenis tanah: (1) dusun pusaka yang merupakan tanah pusaka bagi anak lelaki dan perempuan; dan (2) dusun dati, semacam tanah warisan khusus bagi anak lelaki. Anak perempuan disekolahkan tinggi- tinggi agar mereka bisa melindungi saudaranya yang lelaki yang harus mengurus tanah adat, tanah dati, hutan sagu, kebun kelapa, kebun cengkeh yang hasilnya semua dimanfaatkan keluarga. Anak perempuan saya belum lulus kuliah ketika ia kawin. Ia lalu dibawa suaminya merantau ke Jakarta. Saya bilang pada suaminya, kewajiban saya belum selesai, jadi saya bawa lagi dia pulang ke Ambon, saya biayai dia kuliah. Saya dan istri urus anak-anaknya sampai dia lulus dan bekerja. Anak perempuan harus dapat pendidikan baik agar mereka mandiri. Anak lelaki sudah banyak diberi keistimewaan oleh lingkungannya, oleh adat.”24 24 Eliza Kissya, wawancara di Pulau Haruku, Maluku Tengah, 11 Juli 2013. Eliza Kissya (paling kiri) saat memimpin rapat dan perjamuan adat Kewang Haruku untuk ritual tahunan Buka Sasi Lompa, tengah malam 23 November 2013. Dua dari lima orang perempuan anggota tetap Dewan Adat Haruku tersebut tampak di latar belakang. Tetapi usaha untuk menempatkan anak- anak dalam pijakan yang seimbang itu sangat tak mudah tatkala terjadi guncangan sosial seperti konflik atau bencana. Anak perempuan, laki-laki, atau anak-anak berkebutuhan khusus, menghadapi masalah berat yang sering kali berbeda bentuknya. Demikian halnya dengan warga lanjut usia.
  • 65. ARMINHARI 25 Nus Ukru, Koordinator Jaringan Baileo Maluku, wawancara di Ambon, 6 Juli 2013. 26 Lies Marantika, Yayasan Humanum, Ambon. Wawancara di Ambon, 7 Juli 2013. Dalam konflik Ambon yang berlangsung selama empat tahun, misalnya, anak lelaki terdorong untuk menunjukkan maskulinitas mereka dengan belajar langsung dari laki-laki dewasa. Mereka meninggalkan rumah atau pengungsian dan hidup di jalan-jalan untuk belajar ‘bertempur.’25 Akibat konflik, baik anak-anak lelaki maupun perempuan sama-sama kehilangan kesempatan mereka untuk sekolah. Namun, konflik menempatkan anak perempuan ke dalam situasi yang sangat berat. Di pengungsian, mereka harus mengambil alih pekerjaan ibu. Konflik telah menghilangkan pekerjaan dan menyeret ayah mereka ke medan konflik dengan meninggalkan keluarga. Dengan begitu, kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi oleh perempuan. Di pengungsian, anak perempuan masuk ke dalam perangkap kerja domestik yang lebih berat daripada ketika di rumah asalnya: prasarana terbatas, tenaga kerja pengganti dari keluarga batih tidak ada. Apalagi jika ada orang lanjut usia, anak kecil, atau anggota keluarga yang berkebutuhan khusus. Semua beban akan dilimpahkan kepada anak perempuan.26 Sebagaimana anak lelaki, anak perempuan belum tentu punya kesempatan sekolah setelah berakhirnya masa konflik. Mereka --baik anak lelaki maupun perempuan-- yang kehilangan ibu, pendidikannya bisa benar-benar kandas. Tetapi, peluang sekolah bagi anak perempuan dan anak lelaki bisa berbeda. Ini terutama ketika ayah mereka tak menemukan pekerjaan pengganti. Karenanya, ibu mereka harus terus melanjutkan mencari nafkah. Dalam keadaan seperti itu, anak perempuan kembali mengambil alih pekerjaan ibunya: mengurus rumah tangga. “Selama konflik, suami saya terpaksa berhenti dari pekerjaannya. Ia dulu bekerja di perusahaan pengolahan makanan laut. Saya tidak punya pekerjaan, saya hanya ibu rumah tangga. Kami punya dua anak, satu lelaki dan satu perempuan. Biaya sekolah naik, mereka harus berganti oto beberapa kali, Anak perempuan pengungsi di satu pojok barak pengungsi korban kerusuhan sosial 1999-2002 di Gudang Vitas Barito, Passo, Ambon. 46 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 66. 27 Ibu Helena, wawancara di Ambon, 26 November 2013. 28 Penduduk Bali berkisar 2 juta jiwa, 5% di antaranya adalah pendatang. Kebanyakan penduduk asli Bali ini menjadi pekerja upahan di sektor industri pariwisata. Hal ini dan kami harus membeli air minum. Pada saat itu, harga air bukan main mahalnya. Tangki yang didatangkan dari Negeri Halong ke desa kami di Galala bisa dua atau tiga kali lipat mahalnya dari sekarang. Sekarang, harganya Rp 159.000 per tangki. Ibu saya keturunan Jawa-Ambon dan memiliki keterampilan memijat. Selama konflik, ada banyak tentara datang dari Jakarta, dan mereka mencari tukang pijat yang baik. Ibu saya mendorong saya untuk memijat di hotel, karena mereka kekurangan tenaga. Secepatnya, saya belajar memijat dan saya banyak dicari setelahnya. Saya melanjutkan pekerjaan ibu sebagai tukang pijat untuk membayar biaya sekolah anak-anak, membeli makan, air, dan membayar sewa rumah. Anak tertua kami sekarang sudah bekerja, tetapi anak perempuan kami berhenti sekolah saat masih SMP. Sekarang dia tinggal di rumah dan merawat ibu saya yang sudah tua. Suami saya masih mencari pekerjaan. Sejak konflik di kota Ambon berakhir, semakin banyak orang datang dari luar. Mereka semua muda, suami saya sudah tua.”27 Bali & Lombok: Anak Perempuan Tak Dapat Warisan Tak peduli kaya atau miskin, hadirnya anak lelaki di keluarga Bali adalah dambaan keluarga.28 Tak heran jika seorang perempuan tak mau ikut program Keluarga Berencana (KB) sebelum punya anak lelaki, meski telah punya empat anak perempuan. Pada April 2013, muncul berita di koran lokal bahwa seorang bapak mengakhiri hidupnya karena anak keempatnya perempuan lagi. Dalam tradisi Bali, anak lelaki adalah purusa, pewaris, dan garis keluarga diturunkan secara ketat melalui garis lelaki, begitu juga rumah dan harta warisan. Tanpa anak lelaki, satu keluarga akan kehilangan tali pelanjut keturunan dan tak akan ada yang mewakili keluarga dalam upacara adat dan pertemuan banjar (musyawarah warga desa). Padahal upacara adat merupakan pusat kehidupan orang Bali. Begitu pentingnya kehadiran anak lelaki, hingga di wilayah tertentu, seperti Tabanan, tersedia mekanisme adat untuk mengatasi masalah kelangkaan anak lelaki itu melalui pengangkatan menantu laki-laki sebagai sentana. Artinya seorang lelaki atau suami ikut istri, sementara istrinya ditetapkan oleh keluarga bapaknya sebagai pewaris atau purusa. Tak banyak lelaki yang bersedia menukar perannya, sebab begitu menjadi sentana, ia akan kehilangan haknya sebagai anak lelaki dalam keluarganya sendiri. Tentu, anak perempuan dalam adat Bali juga punya nilai. Setelah dewasa mereka akan disebut pradana. Tapi, tetap saja, perempuan dianggap tidak memiliki memunculkan sejumlah persoalan, karena basis ekonomi orang Bali pada dasarnya adalah pertanian. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 47
  • 67. 29 Lebih lanjut lihat Mantra, Gayatri (2011), ‘Kekerasan Ideologi Patriarki pada Perempuan Bali,’ Bali Sruti, the Voice of Women in Bali, 5 Juni. 30 Wawancara Ni Luh Darmiati (Niki), Pantai Kuta, Bali, 1 Juni 2013. pradana sempurna jika tidak menikah, tidak punya anak, atau tidak punya anak lelaki.29 Seorang ibu, apalagi telah tua dan berasal dari keluarga miskin, akan sangat tergantung pada anak laki-laki dan menantunya. Hubungan ibu dan anak perempuannya secara adat lebih renggang dibandingkan hubungan dengan tetangga. Sebab, setelah menikah, anak perempuan akan terpisah dari keluarganya dan masuk ke keluarga suaminya. Oleh karena itu, hubungan yang harus diciptakan dan dikembangkan adalah antara ibu mertua dan menantunya --hubungan yang pada kenyataanya selalu rumit. Posisi perempuan --baik sebagai anak atau sebagai menantu-- sama sulitnya, karena mereka kehilangan banyak aspek dari kemandirian mereka. Ni Luh Darmiati atau Niki adalah anak bungsu dari Meme Dami (64), salah seorang tukang urut di Pantai Kuta. Niki juga bekerja di pantai untuk perawatan kuku (manicure, pedicure). Niki punya tiga orang kakak lelaki. Rumah Meme Dami ada di Blok Plaza, hanya beberapa ratus meter dari Pantai Kuta. Setelah menikah, Niki pindah ke rumah mertuanya di Karangasem. Namun, karena terlalu jauh untuk dilaju, Niki pulang ke Kuta agar tetap bisa bekerja. Sejak sebelum menikah, tiap pagi Niki dan Memenya pergi bersama-sama mencari rezeki ke Pantai Kuta dan pulang ke rumah yang sama di malam hari. Namun, kini statusnya telah berbeda, karena Niki tak lagi punya hak atas rumah itu. Niki kini ‘indekos’ di rumah Meme (ibu) nya.30 Industri pariwisata telah mengubah wajah Bali menjadi tempat hiburan 24 ARMINHARI Mural kehidupan masyarakat agraris perdesaan Bali di dinding tembok Aston International Hotel, Kuta, Denpasar, Bali. Disemarakkan dalam lukisan, digusur terus dalam kenyataan sebenarnya. 48 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 68. jam. Dampak paling menyedihkan dari industri pariwisata adalah meningkatnya pekerja seks, termasuk mereka yang masih di bawah umur. Mereka datang dari daerah-daerah di Jawa Timur, dan dikenal sebagai ‘perempuan Bali dengan citarasa Banyuwangi.’ Yayasan Kertapraja yang bekerja menangani HIV mencatat banyaknya kasus perdagangan orang (trafficking) dan pelacuran anak yang dibawa dari Jawa Timur, Kalimantan, Jawa Barat, dan daerah- daerah miskin di Bali Utara. Baik anak perempuan atau laki-laki terancam masuk ke dalam dunia prostitusi. Mereka semua berada dalam risiko terinfeksi penyakit menular. Bagi perempuan, risiko itu bertambah, yaitu kehamilan yang tak dikehendaki.31 Kebudayaan Lombok juga mengutamakan anak lelaki. Mayoritas penduduk Lombok adalah suku Sasak beragama Islam. Pusat otoritas keagamaan ada pada ‘Tuan Guru’ (kedudukannya serupa dengan Kyai di Jawa). Ada sejumlah suku adat lokal 31 Heru Utomo, Yayasan Kertapraja, sebagaimana dikutip dalam Merdeka.com, 21 Oktober 2013. BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 49
  • 69. --seperti Suku Sasak Bayan di Lombok Utara dan Sasak Kopang di Narmada dan Lingsar-- yang menganut ‘Islam Watu Telu’ dan secara adat sangat kuat dengan kebudayaan agraris yang juga berpusat pada lelaki. Seperti adat Bali, di kebudayaan Sasak asli, rumah diwariskan kepada anak lelaki. Asumsinya, setiap perempuan yang berkeluarga akan dibawa suaminya. Pada kenyataannya, perempuan Sasak merupakan pekerja keras. Mereka harus bisa menghidupi diri sendiri dan anaknya tanpa tergantung kepada suami. Padahal, banyak lelaki setempat pergi merantau karena kehilangan pekerjaan sebagai petani setelah lahan dijual demi berhaji dan bekal merantau. Berdasarkan survei PEKKA, perempuan kepala keluarga di atas rerata 76% di beberapa desa di Lombok, terlepas dari status perkawinan mereka. (Hal ini dibahas lebih rinci pada Bab 11) Ada juga adat Sasak yang menyerap ajaran Islam dalam hak kewarisan, yakni perempuan mendapatkan bagian sepersonan (disimbolkan sebakul yang bisa dijunjung di kepala) sementara lelaki mendapat sepelembah (disimbolkan satu pikulan yang terdiri dari dua bakul). Dalam bahasa Sasak, pembagian waris itu disebut ‘sepelembah sepersonan’ atau satu berbanding dua bagian.32 Ini tak berbeda dengan cara orang Jawa atau 32 Rajagukguk, Erman (2007), ‘Pluralisme Hukum Waris: Studi Kasus Hak Waris di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat’; tersedia di http://www.ermanhukum.com Sunda membagi waris sepikul (dua bagian) untuk lelaki dan segendongan (satu bagian) untuk perempuan. Walau tak mendapat warisan, dan setelah menikah perempuan dianggap keluar dan pindah menjadi tanggungan keluarga suaminya, orangtua anak perempuan dari keluarga berada akan memberi perhiasan lengkap untuk bekal rumah tangga.33 Sayangnya, setelah menikah, perempuan sendiri tidak memiliki kendali penuh atas harta bawaannya itu. “Memang benar, perhiasan dari orangtua adalah milik perempuan, tetapi setelah menikah, itu seolah-olah menjadi harta bersama suami istri. Ketika butuh biaya, misalnya untuk melahirkan, anak sekolah, perempuan mana yang tega mempertahankan perhiasannya kalau suaminya tidak sanggup bayar? Ada suami mau bekerja ke Malaysia tapi tak punya modal, lalu pinjam perhiasan istri dengan janji nanti dikembalikan. Tapi suami tak pulang-pulang. Akhirnya perhiasan habis bukan buat perempuan, tetapi buat keluarga.”34 Kemiskinan selalu berakibat pada keterbatasan akses anak-anak pada pendidikan, khususnya semasa konflik. Penelitian KOMNAS Perempuan tentang dampak kekerasan terhadap kelompok minoritas agama menunjukkan hal yang memprihatinkan terkait akses pendidikan anak perempuan korban 33 Rajagukguk, ibid, hal.5. 34 Halimah, kader PEKKA, wawancara, Desa Gemel, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, 9 Juli 2013. 50 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 70. ARMINHARI konflik.35, 36 Aspirasi pendidikan bagi anak perempuan di lingkungan warga Ahmadiyah biasanya lumayan tinggi dibandingkan warga di sekitar mereka tinggal. Namun, bagi warga Ahmadiyah di Lombok, situasinya jadi berbeda. Setelah terusir dari kampungnya, banyak orangtua yang hanya bisa memprioritaskan anak lelaki untuk bersekolah, karena dalam keadaan yang 35 KOMNAS Perempuan (2008), ‘Laporan Pemantauan: Perempuan dan Anak Ahmadiyah, Korban Diskriminasi Berlapis.’ Jakarta: KOMNAS Perempuan. 36 Saparinah Sadli, wawancara di Jakarta, 15 September 2013. memprihatinkan mereka membutuhkan muballigh (juru dakwah lelaki) yang bisa menguatkan hati mereka. Dengan bergotong-royong, mereka mengirimkan anak laki-laki sekolah ke luar kota. Sementara itu, anak perempuan berhenti sekolah dan dicarikan jodoh dengan sesama pengikut Ahmadiyah dari kota lain.37 37 Basyiruddin Aziz, salah seorang calon muballigh Ahmadiyah dari Garut yang bertugas mendampingi warga Ahmadiyah di pengungsian di Mataram, Lombok. Wawancara di Mataram, 9 Juli 2013. Namanya: Nisa. Umur: 21 tahun. Namun, kemampuan berpikirnya sangat rendah. Ia mengalami gangguan kesehatan mental dan kelumpuhan total. Tujuh tahun lalu, sebelum terusir dari kampungnya di Lombok Timur dan kemudian dari Lombok Tengah, Nisa masih bisa berjalan. Ia bisa makan dan keluar rumah sendiri. Namun sejak penyerangan terhadap warga Ahmadiyah BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 51 Nisa & Bapu Acun
  • 71. 38 Ahmadiyah adalah salah satu aliran dalam Islam, yang sering disebut dengan istilah negatif, yaitu ‘sekte.’ Di Indonesia, Ahmadiyah Lahore resmi berdiri sebagai organisasi berbadan hukum pada tahun 1930. Sementara Ahmadiyah Qadiyan berdiri pada tahun 1959. Sebanyak 32 keluarga atau 117 jama’ah Ahmadiyah di Lombok mengungsi ke Asrama Transito Mataram sejak 4 Februari 2006. Sementara di bekas bangunan Rumah Sakit Umum (RSU) Praya, Mataram, terdapat 9 keluarga, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Sejak saat itu, warga Ahmadiyah menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Pemerintah --diwakili oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung-- menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 3/2008 tentang ‘Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jama’ah Ahmadiyah Indonesia.’ Dalam kenyataannya di lapangan, peringatan yang tertuang dalam SKB itu menjadi sumber legitimasi bagi masyarakat melakukan penyerangan, diskriminasi, dan intimidasi terhadap anggota jama’ah Ahmadiyah. Keadaan semacam itu terus terjadi, bahkan di semua wilayah di mana jama’ah Ahmadiyah bermukim, seperti di Banten, Bekasi, Garut, Tasikmalaya, Kuningan, dan Sumbawa. Akibat pengusiran mereka oleh warga setempat, komunitas Ahmadiyah bisa tiba-tiba mengalami pemiskinan total. di Lombok38 keluarga Nisa harus mengungsi berpindah-pindah. Sejak itu kemampuan Nisa terus menurun. Tak ada fasilitas yang memadai untuk bergerak. Jangankan untuk latihan, kursi roda pun mereka tak punya. Setiap hari Nisa hanya tergolek di dekat jendela. Ia asyik menatap awan berarak. Ia akan menangis kala mendengar petir, saat lapar atau sakit. Ia juga menangis jika ibunya tak menyapanya setelah ditinggal berjualan seharian. Dua kakak Nisa, Nurul dan Faizah, bergantian mengurusnya; membopong Nisa ke kamar mandi atau memberinya makan. Padahal Nurul baru saja melahirkan. Selain Nisa, di kamar berdinding kain coklat itu ada nenek (bapu) Acun (GAMBAR SISIPAN). Ia setengah buta dan telah renta. Bapu Acun masih bisa makan sendiri. Tetapi untuk ke kamar mandi, ia membutuhkan bantuan cucu-cucunya. Ia menyadari cucunya sudah sangat repot. Karenanya, ia lebih banyak tinggal di dalam bagian kamarnya yang sempit hanya berdinding kain (KIRI).v ARMINHARI 52 | MENOLAK TUMBANG: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan
  • 72. 39 Maya Say, pegiat buruh perempuan di Maumere, wawancara, 28 Mei 2013. 40 Pernyataan ini dikeluarkan oleh hakim- hakim pengadilan negeri dan pengadilan agama dalam Focus Group Discussion (FGD) soal identitas hukum yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA-UI) dan Mahkamah Agung, di Kupang, 14 Mei 2013. Nusa Tenggara Timur: Melestarikan Tradisi, Menambang Utang Dalam kebudayaan orang Ende dan Sikka, seperti umumnya di NTT, nilai anak perempuan terkait dengan belis (maskawin adat). Belis memang bisa sangat mahal, bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Belis yang disediakan keluarga lelaki meliputi gading, emas kuno, kuda, sapi atau kerbau, dan hasil bumi --terutama kelapa dan pisang ber truk-truk. Demikian sebaliknya, dari pihak perempuan, balasan hantaran juga bisa sangat mahal. Selain kuda dan sapi, mereka harus menyediakan kain tenun (ikat) sebanyak kerabat lelaki pada keluarga calon suaminya. Dalam pemahaman adat NTT, praktik itu bertujuan untuk memberi ‘harga’ pada anak perempuan dan keluarga besarnya. Bagi aristokrat lokal, belis pun berfungsi untuk mempertahankan status sosial mereka. Namun bagi warga miskin, belis menyebabkan mereka terlilit utang rentenir atau bank perkreditan berbunga tinggi. Praktik meminjam uang ini dikenali banyak orang sebagai akar pemiskinan di manapun, tak terkecuali di Indonesia Timur. Namun begitu, baik gereja maupun para ahli kebudayaan, seperti tak menemukan jalan untuk menghadapi adat berbiaya tinggi ini. Sejumlah perempuan tidak menikah karena tak ada calon suami yang sanggup membayar belisnya. Perempuan yang mengalami nasib serupa itu biasa disebut du’a deri gete (harafiahnya: ‘perempuan besar duduk’ alias perawan tua atau jomblo), suatu ungkapan yang bagi banyak perempuan sangat merendahkan. Dilihat dari strata sosialnya, banyak pengisi du’a deri gete ini datang dari kalangan bangsawan, karena tak ada laki-laki yang sanggup membayar belisnya.39 Meski mereka berasal dari kalangan bangsawan, mereka dapat terjebak dalam kemiskinan karena banyaknya upacara- upacara tradisional yang mahal. Jika satu keluarga bangsawan jatuh miskin, yang pertama kali terkena dampaknya adalah anak-anak perempuannya: mereka tak bisa menikah, karena belis mereka luar biasa mahalnya. Selain itu, lelaki memiliki posisi penting dalam keluarga dan mengendalikan semua properti seperti rumah dan tanah, sementara perempuan tak mendapatkan warisan. Tradisi belis yang mahal pada kenyataannya mendorong praktik berkeluarga di luar nikah resmi (negara).40 Membayar belis merupakan tahapan paling awal dalam perkawinan yang diakui adat. Setelah kawin adat, mereka harus menjalani pemberkatan BAGIAN SATU: Gender, Anak Perempuan & Kemiskinan | 53