1. Detergen
Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Di sisi lain,
detergen harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti fungsi jangka pendek (short therm
function) atau daya kerja cepat, mampu bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang
rendah dan harga yang terjangkau (Jurado et al, 2006)
Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan tingkat
konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah
Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009).
Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain
mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Pada
umumnya detergen bersifat surfaktan anionik yang berasal dari derivat minyak nabati atau
minyak bumi (Chantraine F et all, 2009).
Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan dengan gugus utama
surfaktant adalah ABS (Alkyl Benzene Sulfonate) yang sulit di biodegradabel, maka pada
tahun 1965 industri mengubahnya dengan yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama
surfaktant LAS (Linier Alkyl Benzene Sulfonate). Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen
Indonesia (APEDI), surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl
benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate rantai
lurus (LAS) sebesar 60%. Alasan penggunaan ABS antara lain karena harganya murah,
stabil dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah. Dibandingkan dengan LAS, ABS
lebih sukar diuraikan secara alami sehingga pada banyak negara di dunia penggunaan ABS
telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai
larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam
produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim pasta
dan busanya melimpah (Anonimous, 2009).
Bahan – bahan yang umum terkandung pada deterjen adalah :
1. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai
ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini
berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang
menempel pada permukaan bahan. Surfaktant terbagi atas jenis anionic (Alkyl Benzene
Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS),
sedangkan jenis kedua bersifat kationik (Garam Ammonium) dan jenis yang ketiga bersifat
non ionic (Nonyl phenol polyethoxyle) serta Amphoterik (Acyl Ethylenediamines).
2. Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan
cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air, dapat berupa Phosphates (Sodium Tri
Poly Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra
Acetate/EDTA), Silikat (Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat).
3. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan
memantapkan sehingga dapat menurunkan harga, misal Sodium sulfate
4. Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik,
misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan
langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud
komersialisasi produk. Contohnya enzyme, borax, sodium chloride, Carboxy Methyl
Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan
tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi – wangian atau
parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat.
2. Menurut kandungan gugus aktifnya detergen diklasifikasikan sebagai deterjen jenis keras dan
jenis lunak. Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan deterjen
tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan
pencemaran air. Salah satu contohnya adalah Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Sedangkan
detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh
mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai, misalnya Lauril Sulfat atau Lauril
Alkil Sulfonat. (LAS).
Pada awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dan
ditambahkan dalam berbagai bentuk produk seperti personal cleaning product (sampo, sabun
cuci tangan), laundry sebagai pencuci pakaian merupakan produk deterjen yang paling
populer di masyarakat, dishwashing product sebagai pencuci alat rumah tangga baik untuk
penggunaan manual maupun mesin pencuci piring, household cleaner sebagai pembersih
rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas
(Arifin, 2008).
Tabel 1. Banyaknya produksi barang yang mengandung B3 Tahun 2004-2006
Uraian
Satuan
2004
2005
2006
Deterjen
Kg
-
-
1.860.770
Deterjen padat untuk keperluan Rumah Tangga
Kg
5.731.000
5.783.071
-
Deterjen bubuk untuk keperluan Rumah Tangga
Ton
227.152
227.191
91.003
Deterjen cream untuk keperluan Rumah Tangga
Ton
240.528
950.295
6.773
Deterjen cair untuk keperluan Rumah Tangga
Ton
30.472
30.472
646
Deterjen lainnya
Lusin
7.052.436
4.955.057
3. -
Sumber : Statistik Lingkungan Hidup, 2009, BPS, 2009
Dampak Limbah Deterjen terhadap Kesehatan Manusia dan Kesehatan Lingkungan
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau
objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi dan
meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah
lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen
sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
modern.
Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus
diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif
baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen
yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak
langsung terhadap manusia dan lingkungannya.
Umumnya deterjen yang digunakan sebagai pencuci pakaian/laundry merupakan deterjen
anionik karena memiliki daya bersih yang tinggi. Pada deterjen anionik sering ditambahkan
zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-
ammonium cloride, diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP)
dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl sulfate (SLS), sodium laureth sulfate
(SLES) atau linear alkyl benzene sulfonate (LAS). Golongan ammonium kuartener ini dapat
membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat
menyebabkan kanker.
Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada kulit,
memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa.
Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya, mengandung
tingkat polutan organik yang tinggi serta mempengaruhi kesesuaian air sungai untuk
digunakan manusia dan merangsang pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Selain
itu deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang
mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi
menurun. Ikan membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/ liter atau 5
ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati, tetapi
bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan berkembang.
Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik,
sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan
nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen
terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan
kerang akan mati.
Keberadaan busa-busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak udara dan
air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan
organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Ahsan et al, 2005).
Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk. Bau busuk ini
berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik
lanjutan oleh bakteri anaerob.
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air dan Builders.
Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan
magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat. Fosfat
pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya
racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk
4. hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan
unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sungai/danau, yang ditandai oleh
ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak langsung dapat
membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa, penggunaan fosfat telah
dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih ramah lingkungan
(Anonimous, 2009).
Ahsan et al (2005) menyatakan bahwa penghilangan jumlah fosfat dapat dilakukan dengan
adsorpsi sederhana serta efisiensi penghilangan ion fosfat dengan concentrate menurun
dengan peningkatan suhu, sementara peningkatan suhu pada shell (kerang) cenderung dapat
meningkatkan efisiensi ion fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu, penghilangan ion
fosfat dengan shell dilakukan pada suhu yang relatif tinggi.
Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian menyebutkan bahwa
detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan dan bersifat karsinogen, misalnya 3,4
Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air
minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun
jika tertelan dalam tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun non ionik).
Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana produk-produk kimia
(deterjen) aman di lingkungan yaitu daya racun (toksisitas) dan daya urai (biodegradable).
ABS dalam lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen
ini dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’.
Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif
ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat
menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air sehingga pada
perkembangannnya digantikan dengan LAS mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun
belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak
bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh mikroorganisme.
LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa terdegradasi sampai
90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam memecah bagian ujung rantai
kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan butuh proses beta oksidasi, karena itu
perlu waktu. Penelitian Heryani dan Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam
membutuhkan waktu 9 hari untuk menguraikan 50% LAS.
Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh
bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada spektrumya. Dengan tidak
terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS
akan dipenuhi oleh busa, menurunkan tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali dari
gumpalan (flock) koloid, pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang
berguna, penyumbatan pada pori – pori media filtrasi.
Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini
terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan
pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai.
Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan
kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat keasamannya (pH) antara 10 – 12
(Ahsan S et al, 2005).
5. Gambar 2. Pertumbuhan Eceng Gondok Akibat Pencemaran Limbah Deterjen
Gambar 3. Eutrofikasi Sungai/Danau yang Tercemar Deterjen
Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM
(mg/liter)
(kg/hari.Hari)
BOD5
50
4.3
COD
100
8.6
TSS
200
17.2
pH
6.0 - 9.0
Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3/MENLH/1/1998
Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri