SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
Download to read offline
SAAT DAN TEMPAT
TERUTANG PAJAK DAN
    TARIF dan DPP
                   OLEH
Anggota :     Heliza Deliyanti    1001103010071
              Redha Rizky        1001103010092
              Akmal Hanif        1001103020037
              Mastura Sajida     1001103010023
              Nabila Muharamah   1001103010021
              Linda AgustinA     1001103020047




            FAKULTAS EKONOMI
     UNIVERSITAS SYIAH KUALA
     DARUSSALAM, BANDA ACEH
                 2011/2012
SAAT DAN TEMPAT
         TERUTANG PAJAK
a. Saat Pajak Terutang.
      Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar
pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi sangat relevan. Tanpa
diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan bilamana PKP
wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya.

       Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya
dengan penentuan saat tim-bulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif,
PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak
timbul karena undang-undang. Dengan kata lain dapat di-rumuskan
bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam
undang-undang, yaitu sejak adanya suatu ke-adaan, peristiwa atau
perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Dengan rumusan yang
lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak
adanya objek pajak. Ajaran materiil timbulnya utang pajak dianut oleh
suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajak-nya menggunakan
self assessment system. Mekanisme pemungutan PPN menggunakan
sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan
ajaran materiil.

Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa pajak
terutang:

1) pada saat penyerahan BKP atau JKP

2) pada saat impor BKP

3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari
luar Daerah Pabean di    dalam Daerah Pabean
4) pada saat pembayaran dalam hal :

   a) pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP

   b) pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak
      Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
      Pabean.

5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


b. Tempat Pajak Terutang
Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di
:

1) tempat tinggal atau tempat kedudukan ; dan

2) tempat kegiatan usaha dilakukan, atau

3) tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;

4) tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ;

5) tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam
    hal    pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar
    Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ; atau

6) satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
    sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis
   dari Pengusaha Kena Pajak.

      Ketentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan
lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun
2000, yang menetapkan bahwa :

1) Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean.
   Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan
     atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2)   Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP
     dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
3)   Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau
     JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean adalah di
     tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan, terdaftar
     sebagai Wajib Pajak.
4)   Tempat pajak terutang untuk kegiatan membangun sendiri yang
     dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan
     adalah di tempat bangunan didirikan.
5)   Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib
     Pajak Besar, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
     KEP-335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di KPP Wajib
     Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan.
6)   Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak
     atas permintaan tertulis dari wajib pajak atau secara jabatan.


     a) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam Keputusan Direktur
     Jenderal Pajak Nomor: KEP-525/PJ./2000 tanggal 6 Desember
     2000 ditetapkan bahwa PKP orang pribadi yang mem-punyai tempat
     tinggal yang tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, terutang
     pajak hanya ditempat kegiatan usahanya, sepanjang PKP tersebut
     tidak melakukan kegiatan usa-ha apapun di tempat tinggalnya.

     b) Dalam hal PKP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha
     dalam wilayah satu KPP, berdasarkan Surat Edaran Direktur
     Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998
     ditegaskan pengukuhannya disatukan di kantor pusatnya.

     c) Beberapa PKP tertentu ditetapkan bahwa pada dasarnya terutang
     di tempat kantor pusatnya dikukuhkan sebagai PKP dengan beberapa
     pengecualian :
(1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara

   Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
   394/PJ./2003 tanggal 31 Desember 2003 yang telah diubah
  dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
  73/PJ/2004 tanggal 14 April 2004, tentang Tempat
  Terutangnya Pajak Bagi PKP Yang Dikukuhkan di KPP Wajib
  Pajak BUMN ditetapkan sebagai berikut :

  (a)   Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang mengelola Wajib
        Pajak BUMN yang melakukan penyerahan BKP dan atau
        JKP dan atau melakukan ekspor BKP, wajib dikukuhkan
        sebagai PKP di KPP dimaksud dan pajak terutang di tempat
        PKP dikukuhkan. Dikecualikan dari ketentuan ini bagi PKP
        BUMN yang :


        i. melaksanakan proyek atau tender dari Pemerintah daerah
        atau     panitia pemberi proyek atau tender di daerah
        tertentu yang     mengharuskan PKP peserta proyek atau
        tender dikukuhkan     sebagai PKP di KPP lokasi tempat
        kegiatan usaha ; atau

        ii. mempunyai lebih dari 200 (dua ratus) tempat kegiatan
        usaha termasuk antara lain cabang, lokasi usaha, perwakilan,
        unit pemasaran dan sejenisnya termasuk distrik, dan tidak
        memiliki Sistem Informasi Akuntasi yang terhubung antara
        pusat dengan cabang maupun antar cabang (on line).


  Bagi BUMN yang tidak melakukan pemusatan tempat pajak
  terutang dimaksud, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis
  kepada Kepala KPP BUMN.
(b) Bagi BUMN yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai PKP
oleh     KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, maka
KPP ini         wajib melakukan pencabutan Pe-ngukuhan PKP
tersebut paling     lambat tanggal 31 Januari 2004.

(c) Dalam hal telah dilakukan pencabutan Pengukuhan PKP yang
dilakukan oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN,
tetapi PKP yang bersangkutan belum melaporkan seluruh kegiatan
usahanya secara terpusat untuk Masa Pajak Januari 2004 sampai
dengan Agustus 2004 di KPP BUMN, maka PKP tempat
pemusatan wajib melakukan pembetulan SPT Masa PPN tersebut
dengan menggabungkan kegiatan seluruh ccabang yang pengukuh-
annya telah dicabut.

(d) PKP yang melakukan pemusatan tempat PPN terutang tetapi
 pengukuhan-nya di KPP selain KPP BUMN belum dicabut, tidak
wajib melaporkan ke-giatan usaha ke KPP BUMN dengan syarat :


   i. masih menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP
      BUMN ;

   ii. menyampaikman pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP
       BUMN bahwa telah menyampaikan SPT Masa PPN di
   KPP      selain KPP BUMN.


(e) PKP BUMN yang dibebani kewajiban untuk melakukan
pemusatan      PPN terutang di KPP BUMN, wajib
melaksanakannya paling lambat tanggal 31 Agustus 2004.

(f) Bagi PKP BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban
pemusatan tempat PPN terutang yang dibebankan kepadanya,
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas secara tidak langsung
   meng-anulir salah satu diktum Keputusan Direktur Jenderal
  Pajak Nomor KEP-515/ KEP/2000 sebagaimana telah diubah
  dengan Nomor KEP-337/PJ./2002 tanggal 2 Juli 2002, khusus
  bagian yang mengatur tentang tempat pajak terutang bagi BUMN.



(2) Badan Usaha Milik Daerah
   bagi Wajib Pajak BUMD yang melakukan penyerahan BKP dan
   atau JKP ter-utang pajak dan wajib melaporkan usahanya untuk
   dikukuhkan sebagai PKP di KPP di wilayah kerjanya.


(3) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing
    Wajib Pajak Penanaman Modal Asing dapat dikelompokkan
    menjadi dua yaitu :


    (a) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing yang tidak “masuk
    bursa”, yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib
    melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP
    Penamaman Modal Asing sebagai tempat pajak terutang ;


    (b) Khusus bagi Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di
    Kawasan Berikat Pulau Batam, Kawasan Pulau Bintan, dan
    kawasan Pulau Karimun, atas permohonan Wajib Pajak diberi
    kemudahan untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya
    pada KPP setempat sebagai tempat pajak terutang.
(4) Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) untuk seluruh
   Wajib Pajak Badan (BUT) dan Orang Asing yang melakukan
    penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk
   dikukuhkan sebagai PKP di KPP BADORA sebagai tempat pajak
   terutang ;


(5) Seluruh Wajib Pajak Yang Telah Mendapat Ijin Emisi Saham
Dari Badan Pengawas Pasar Modal yang melakukan penyerahan
BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP di KPP Masuk Bursa, kecuali Wajib Pajak yang telah
dikukuhkan sebagai PKP di KPP tempat Wajib Pajak ini
berkedudukan ;

(6) Wajib Pajak besar sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-263/PJ/2002 tanggal 8 Mei
2002 yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, pajak
terutang dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP di KPP Wajib Pajak Besar.
TARIF dan DASAR
      PENGENAAN PAJAK
Dasar Pengenaan Pajak :
 1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
 2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada butir a
    dalam hal :
       a. Jual beli adalah harga transaksi;
       b. Tukar- menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
       c. Hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
       d. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
          adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
       e. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah
          nilai pasar objek pajak tersebut;
       f. Penunjukkan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi
          yang tercantum dalam risalah lelang;
       g. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang
          mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar objek
          pajak tersebut;
       h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
          pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
       i. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah
          nilai pasar objek pajak tersebut.
 3. Apabila Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas tidak
    diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang
    digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada
    tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai
    adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
 4. Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
    dimaksud diatas belum ditetapkan, Menteri keuangan dapat
    menetapkan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
     regional setinggi-tingginya Rp 60.000.000,- (enam puluh juta
     rupiah).
  6. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan
     Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
     Pajak.
  7. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
     tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
  8. BPHTB = 5% x NPOPKP




Tarif Pajak
  1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai
       Tentang berapa besarnya tarif untuk PPN ini telah ditetapkan
dalam UU PPN, yaitu diatur dalam Pasal 7.
       Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa Tarif Pajak Pertambahan
Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
       Sedangkan Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen
diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.

      Sebagamana telah diketahui bahwa Pajak Pertambahan Nilai
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu atas:
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang
dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang
diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan
melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar
Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol
persen).
      Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan
yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
      Tarif pajak sebesar 10% tersebut sebagaimana tersebut diatas dapat
diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15%
(lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
      Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau
peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi
wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)
dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.


     2. Tarif Pajak atas Barang Mewah
1.    Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah
      10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima
      persen).
2.    Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan
      pajak dengan tarif 0% (nol persen).
3.    Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena
      Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
      Barang Mewah.
4.    Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
      atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan
      Keputusan Menteri Keuangan.”
Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelompokan BKP yang
tergolong mewah ini adalah PP Nomor 145 Tahun 2000 yang kemudian
mengalami beberapa perubahan dengan PP Nomor 60Tahun 2001, PP
Nomor 7 Tahun 2002, PP Nomor 6 Tahun 2003, PP Nomor 43 Tahun
2003, PP Nomor 55 Tahun 2004, PP Nomor 41 Tahun 2005 dan PP
Nomor 12 Tahun 2006.

     Adapun Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur jenis barang
yang dikenakan PPnBM adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor
570/KMK.04/2000,      381/KMK.03/2001,       141/KMK.03/2002,
39/KMK.03/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
620/PMK.03/2004.

More Related Content

What's hot

SRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONAL
SRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONALSRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONAL
SRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONALSri Suwanti
 
Dasar Akuntansi & Kerangka Konseptual
Dasar Akuntansi & Kerangka KonseptualDasar Akuntansi & Kerangka Konseptual
Dasar Akuntansi & Kerangka KonseptualFair Nurfachrizi
 
Pemeriksaan Kas Dan Bank 2
Pemeriksaan Kas Dan Bank 2Pemeriksaan Kas Dan Bank 2
Pemeriksaan Kas Dan Bank 2gueste4aa42e
 
PPN Saat & Tempat Terutang
PPN   Saat & Tempat TerutangPPN   Saat & Tempat Terutang
PPN Saat & Tempat Terutangkaromah95
 
Akuntansi persediaan - PEMDA
Akuntansi persediaan - PEMDAAkuntansi persediaan - PEMDA
Akuntansi persediaan - PEMDAMahyuni Bjm
 
akuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutangakuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutangrisfanpratama
 
Akuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanat
Akuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanatAkuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanat
Akuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanatFatma Wati
 
Laporan arus kas
Laporan arus kasLaporan arus kas
Laporan arus kasAdi Jauhari
 
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptxSyahrulFujiana
 
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Sistem Akuntansi Pemerintah DaerahSistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Sistem Akuntansi Pemerintah DaerahSujatmiko Wibowo
 
Spt tahunan wp orang pribadi
Spt tahunan wp orang pribadiSpt tahunan wp orang pribadi
Spt tahunan wp orang pribadiTriyani Budianto
 
Materi AKM 2 Utang Jangka Panjang
Materi AKM 2 Utang Jangka PanjangMateri AKM 2 Utang Jangka Panjang
Materi AKM 2 Utang Jangka PanjangRyan Gamof
 

What's hot (20)

Pertemuan 7
Pertemuan 7Pertemuan 7
Pertemuan 7
 
SRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONAL
SRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONALSRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONAL
SRI SUWANTI - LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN LAPORAN OPERASIONAL
 
Konsep aktiva
Konsep aktivaKonsep aktiva
Konsep aktiva
 
Pph Potong Pungut PPT
Pph Potong Pungut PPTPph Potong Pungut PPT
Pph Potong Pungut PPT
 
Dasar Akuntansi & Kerangka Konseptual
Dasar Akuntansi & Kerangka KonseptualDasar Akuntansi & Kerangka Konseptual
Dasar Akuntansi & Kerangka Konseptual
 
Pemeriksaan Kas Dan Bank 2
Pemeriksaan Kas Dan Bank 2Pemeriksaan Kas Dan Bank 2
Pemeriksaan Kas Dan Bank 2
 
PPN objek
PPN objekPPN objek
PPN objek
 
Slide ta12
Slide ta12Slide ta12
Slide ta12
 
Akuntansi pajak
Akuntansi pajakAkuntansi pajak
Akuntansi pajak
 
PPN Saat & Tempat Terutang
PPN   Saat & Tempat TerutangPPN   Saat & Tempat Terutang
PPN Saat & Tempat Terutang
 
Akuntansi persediaan - PEMDA
Akuntansi persediaan - PEMDAAkuntansi persediaan - PEMDA
Akuntansi persediaan - PEMDA
 
akuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutangakuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutang
 
Akuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanat
Akuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanatAkuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanat
Akuntansi untuk penjualan konsinyasi untuk pengamanat
 
Laporan arus kas
Laporan arus kasLaporan arus kas
Laporan arus kas
 
Pp laba ditahan
Pp laba ditahanPp laba ditahan
Pp laba ditahan
 
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
 
Likuidasi
LikuidasiLikuidasi
Likuidasi
 
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Sistem Akuntansi Pemerintah DaerahSistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
 
Spt tahunan wp orang pribadi
Spt tahunan wp orang pribadiSpt tahunan wp orang pribadi
Spt tahunan wp orang pribadi
 
Materi AKM 2 Utang Jangka Panjang
Materi AKM 2 Utang Jangka PanjangMateri AKM 2 Utang Jangka Panjang
Materi AKM 2 Utang Jangka Panjang
 

Viewers also liked

PPN Pengantar & Karakter
PPN  Pengantar  & KarakterPPN  Pengantar  & Karakter
PPN Pengantar & Karakterkaromah95
 
PPN Pemungutan PPN
 PPN   Pemungutan PPN PPN   Pemungutan PPN
PPN Pemungutan PPNkaromah95
 
PPN Faktur Pajak
PPN   Faktur PajakPPN   Faktur Pajak
PPN Faktur Pajakkaromah95
 
PPN tentang PPnBM
PPN tentang PPnBMPPN tentang PPnBM
PPN tentang PPnBMkaromah95
 
PPN SPT Masa
PPN SPT MasaPPN SPT Masa
PPN SPT Masakaromah95
 

Viewers also liked (6)

PPN Pengantar & Karakter
PPN  Pengantar  & KarakterPPN  Pengantar  & Karakter
PPN Pengantar & Karakter
 
PPN Pemungutan PPN
 PPN   Pemungutan PPN PPN   Pemungutan PPN
PPN Pemungutan PPN
 
PPN Faktur Pajak
PPN   Faktur PajakPPN   Faktur Pajak
PPN Faktur Pajak
 
PPN tentang PPnBM
PPN tentang PPnBMPPN tentang PPnBM
PPN tentang PPnBM
 
PPN SPT Masa
PPN SPT MasaPPN SPT Masa
PPN SPT Masa
 
PPN dan PPnbm
PPN dan PPnbmPPN dan PPnbm
PPN dan PPnbm
 

Similar to Saat dan tempat terutang pajak

Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak
Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung PajakDasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak
Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung PajakBbe Mee
 
Kewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawanKewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawanGuruh Agustinus
 
NPWP dan NPPKP
NPWP dan NPPKPNPWP dan NPPKP
NPWP dan NPPKPAriza Ekky
 
Uu no 28 tahun 2007 + penjelasan
Uu no 28 tahun 2007 + penjelasanUu no 28 tahun 2007 + penjelasan
Uu no 28 tahun 2007 + penjelasanYesica Adicondro
 
Kewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawanKewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawanGuruh Agustinus
 
Kelompok 8
Kelompok 8Kelompok 8
Kelompok 8Rekno Wr
 
Buku kup edit 04112013 upload
Buku kup edit 04112013 uploadBuku kup edit 04112013 upload
Buku kup edit 04112013 uploadalverawaty
 
Perpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptx
Perpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptxPerpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptx
Perpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptxAtikaSitiAminah1
 
wajib pajak dan npwp
wajib pajak dan npwpwajib pajak dan npwp
wajib pajak dan npwpYan Chen
 
Aturan norma penghitungan penghasilan netto
Aturan norma penghitungan penghasilan nettoAturan norma penghitungan penghasilan netto
Aturan norma penghitungan penghasilan nettoYannuar Bimantara
 
01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan Indonesia
01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan Indonesia01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan Indonesia
01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan IndonesiaBudi Septiawan
 
NPWP DAN NPPKP SERTA SPT
NPWP DAN NPPKP SERTA SPTNPWP DAN NPPKP SERTA SPT
NPWP DAN NPPKP SERTA SPTsaidah2323
 
Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty -
Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty  -Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty  -
Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty -superandrosa
 
PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...
PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...
PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...Yudhi Aldriand
 

Similar to Saat dan tempat terutang pajak (20)

2_KUP A - NPWP.pptx
2_KUP A - NPWP.pptx2_KUP A - NPWP.pptx
2_KUP A - NPWP.pptx
 
pp
pppp
pp
 
Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak
Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung PajakDasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak
Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak
 
Kewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawanKewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawan
 
Pajak
PajakPajak
Pajak
 
NPWP dan NPPKP
NPWP dan NPPKPNPWP dan NPPKP
NPWP dan NPPKP
 
Uu no 28 tahun 2007 + penjelasan
Uu no 28 tahun 2007 + penjelasanUu no 28 tahun 2007 + penjelasan
Uu no 28 tahun 2007 + penjelasan
 
Kewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawanKewajiban perpajakan karyawan
Kewajiban perpajakan karyawan
 
Kelompok 8
Kelompok 8Kelompok 8
Kelompok 8
 
Buku kup edit 04112013 upload
Buku kup edit 04112013 uploadBuku kup edit 04112013 upload
Buku kup edit 04112013 upload
 
Perpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptx
Perpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptxPerpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptx
Perpajakan-2-Pertemuan-2-02092019.pptx
 
wajib pajak dan npwp
wajib pajak dan npwpwajib pajak dan npwp
wajib pajak dan npwp
 
Aturan norma penghitungan penghasilan netto
Aturan norma penghitungan penghasilan nettoAturan norma penghitungan penghasilan netto
Aturan norma penghitungan penghasilan netto
 
01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan Indonesia
01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan Indonesia01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan Indonesia
01 npwp,pembayaran,SPT Perpajakan Indonesia
 
Booklet KUP
Booklet KUPBooklet KUP
Booklet KUP
 
Per 20.pj.2013
Per 20.pj.2013Per 20.pj.2013
Per 20.pj.2013
 
Per 20/PJ/2013
Per 20/PJ/2013Per 20/PJ/2013
Per 20/PJ/2013
 
NPWP DAN NPPKP SERTA SPT
NPWP DAN NPPKP SERTA SPTNPWP DAN NPPKP SERTA SPT
NPWP DAN NPPKP SERTA SPT
 
Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty -
Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty  -Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty  -
Per 08 thn 2017 ttg skd bagi subjek pajak dn indonesia untuk tax treaty -
 
PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...
PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...
PERATURAN MENKEU RI No 118/PMK.03/2016 ttg Pelaksanaan Undang-undang No 11 Ta...
 

Saat dan tempat terutang pajak

  • 1. SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK DAN TARIF dan DPP OLEH Anggota : Heliza Deliyanti 1001103010071 Redha Rizky 1001103010092 Akmal Hanif 1001103020037 Mastura Sajida 1001103010023 Nabila Muharamah 1001103010021 Linda AgustinA 1001103020047 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2011/2012
  • 2. SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK a. Saat Pajak Terutang. Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya. Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat tim-bulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang. Dengan kata lain dapat di-rumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu ke-adaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya objek pajak. Ajaran materiil timbulnya utang pajak dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajak-nya menggunakan self assessment system. Mekanisme pemungutan PPN menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran materiil. Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa pajak terutang: 1) pada saat penyerahan BKP atau JKP 2) pada saat impor BKP 3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
  • 3. 4) pada saat pembayaran dalam hal : a) pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP b) pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. b. Tempat Pajak Terutang Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di : 1) tempat tinggal atau tempat kedudukan ; dan 2) tempat kegiatan usaha dilakukan, atau 3) tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ; 4) tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ; 5) tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ; atau 6) satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, yang menetapkan bahwa : 1) Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean. Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
  • 4. kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2) Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. 3) Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan, terdaftar sebagai Wajib Pajak. 4) Tempat pajak terutang untuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan. 5) Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib Pajak Besar, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di KPP Wajib Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan. 6) Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis dari wajib pajak atau secara jabatan. a) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-525/PJ./2000 tanggal 6 Desember 2000 ditetapkan bahwa PKP orang pribadi yang mem-punyai tempat tinggal yang tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, terutang pajak hanya ditempat kegiatan usahanya, sepanjang PKP tersebut tidak melakukan kegiatan usa-ha apapun di tempat tinggalnya. b) Dalam hal PKP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam wilayah satu KPP, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998 ditegaskan pengukuhannya disatukan di kantor pusatnya. c) Beberapa PKP tertentu ditetapkan bahwa pada dasarnya terutang di tempat kantor pusatnya dikukuhkan sebagai PKP dengan beberapa pengecualian :
  • 5. (1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 394/PJ./2003 tanggal 31 Desember 2003 yang telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 73/PJ/2004 tanggal 14 April 2004, tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi PKP Yang Dikukuhkan di KPP Wajib Pajak BUMN ditetapkan sebagai berikut : (a) Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang mengelola Wajib Pajak BUMN yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dan atau melakukan ekspor BKP, wajib dikukuhkan sebagai PKP di KPP dimaksud dan pajak terutang di tempat PKP dikukuhkan. Dikecualikan dari ketentuan ini bagi PKP BUMN yang : i. melaksanakan proyek atau tender dari Pemerintah daerah atau panitia pemberi proyek atau tender di daerah tertentu yang mengharuskan PKP peserta proyek atau tender dikukuhkan sebagai PKP di KPP lokasi tempat kegiatan usaha ; atau ii. mempunyai lebih dari 200 (dua ratus) tempat kegiatan usaha termasuk antara lain cabang, lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya termasuk distrik, dan tidak memiliki Sistem Informasi Akuntasi yang terhubung antara pusat dengan cabang maupun antar cabang (on line). Bagi BUMN yang tidak melakukan pemusatan tempat pajak terutang dimaksud, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN.
  • 6. (b) Bagi BUMN yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, maka KPP ini wajib melakukan pencabutan Pe-ngukuhan PKP tersebut paling lambat tanggal 31 Januari 2004. (c) Dalam hal telah dilakukan pencabutan Pengukuhan PKP yang dilakukan oleh KPP selain yang mengelola Wajib Pajak BUMN, tetapi PKP yang bersangkutan belum melaporkan seluruh kegiatan usahanya secara terpusat untuk Masa Pajak Januari 2004 sampai dengan Agustus 2004 di KPP BUMN, maka PKP tempat pemusatan wajib melakukan pembetulan SPT Masa PPN tersebut dengan menggabungkan kegiatan seluruh ccabang yang pengukuh- annya telah dicabut. (d) PKP yang melakukan pemusatan tempat PPN terutang tetapi pengukuhan-nya di KPP selain KPP BUMN belum dicabut, tidak wajib melaporkan ke-giatan usaha ke KPP BUMN dengan syarat : i. masih menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN ; ii. menyampaikman pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN bahwa telah menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN. (e) PKP BUMN yang dibebani kewajiban untuk melakukan pemusatan PPN terutang di KPP BUMN, wajib melaksanakannya paling lambat tanggal 31 Agustus 2004. (f) Bagi PKP BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban pemusatan tempat PPN terutang yang dibebankan kepadanya, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • 7. Keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas secara tidak langsung meng-anulir salah satu diktum Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-515/ KEP/2000 sebagaimana telah diubah dengan Nomor KEP-337/PJ./2002 tanggal 2 Juli 2002, khusus bagian yang mengatur tentang tempat pajak terutang bagi BUMN. (2) Badan Usaha Milik Daerah bagi Wajib Pajak BUMD yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP ter-utang pajak dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP di wilayah kerjanya. (3) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing Wajib Pajak Penanaman Modal Asing dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : (a) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing yang tidak “masuk bursa”, yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Penamaman Modal Asing sebagai tempat pajak terutang ; (b) Khusus bagi Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di Kawasan Berikat Pulau Batam, Kawasan Pulau Bintan, dan kawasan Pulau Karimun, atas permohonan Wajib Pajak diberi kemudahan untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya pada KPP setempat sebagai tempat pajak terutang.
  • 8. (4) Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) untuk seluruh Wajib Pajak Badan (BUT) dan Orang Asing yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP BADORA sebagai tempat pajak terutang ; (5) Seluruh Wajib Pajak Yang Telah Mendapat Ijin Emisi Saham Dari Badan Pengawas Pasar Modal yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Masuk Bursa, kecuali Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP di KPP tempat Wajib Pajak ini berkedudukan ; (6) Wajib Pajak besar sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-263/PJ/2002 tanggal 8 Mei 2002 yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP, pajak terutang dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Wajib Pajak Besar.
  • 9. TARIF dan DASAR PENGENAAN PAJAK Dasar Pengenaan Pajak : 1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. 2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada butir a dalam hal : a. Jual beli adalah harga transaksi; b. Tukar- menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut; c. Hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut; d. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar objek pajak tersebut; e. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut; f. Penunjukkan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang; g. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar objek pajak tersebut; h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut; i. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut. 3. Apabila Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. 4. Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud diatas belum ditetapkan, Menteri keuangan dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
  • 10. 5. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). 6. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. 7. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. 8. BPHTB = 5% x NPOPKP Tarif Pajak 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai Tentang berapa besarnya tarif untuk PPN ini telah ditetapkan dalam UU PPN, yaitu diatur dalam Pasal 7. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen diterapkan atas: a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. ekspor Jasa Kena Pajak. Sebagamana telah diketahui bahwa Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu atas: a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor; b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau
  • 11. permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. Tarif pajak sebesar 10% tersebut sebagaimana tersebut diatas dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. 2. Tarif Pajak atas Barang Mewah 1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). 2. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). 3. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 4. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
  • 12. Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelompokan BKP yang tergolong mewah ini adalah PP Nomor 145 Tahun 2000 yang kemudian mengalami beberapa perubahan dengan PP Nomor 60Tahun 2001, PP Nomor 7 Tahun 2002, PP Nomor 6 Tahun 2003, PP Nomor 43 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2004, PP Nomor 41 Tahun 2005 dan PP Nomor 12 Tahun 2006. Adapun Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur jenis barang yang dikenakan PPnBM adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 570/KMK.04/2000, 381/KMK.03/2001, 141/KMK.03/2002, 39/KMK.03/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004.