defenisi kecerdasan Menurut Howard Gardner kecerdasan adalah
1. Kemampuan untuk memecahkan sutu masalah.
2. Kemampuan untuk menciptakan masalah baru untuk dipecahkan
3. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan yang berharga dalam sutu kebudayaan masyarakat.
Pada tahun 1921, empat belas orang ahli ilmu jiwa oleh editor “journal of educational psycology” mengenai arti kecerdasan.Walaupun jawaban mereka bervariasi namun ada dua tema ppokok yang sama dalam jawaban mereka.Menurut mereka kecerdasan adalah :
1. Kaasitas untuk belajar dari pengalaman.
2. Kemampuan unyuk beradaptasi
Defenisi diatas merupakan hal yang sangat penting.Kapasitas untuk belajar dari pengalaman berarti orang yang cerdas juga dapat membuat kesalahan.Bahkan orang yang cerdas juga dapat membuat kesalahan. Adalah Orang yang cerdas adalah orang yang membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut, kemudian tidak membuat kesalahan yang sama lagi.
Kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan berarti untuk menjadi cerdas tidaklah semata-mata bergantung pada nilai atau hasil tes atau ujian sekolah.Disini menjadi cerdas meliputi kemampuan untuk menangani suatu pekerjaaan,bagaiman berhubungan dengan orang lain dan bagaimana mengatur hidup secara umum.
1. 1
BAB II
PEMBAHASAN
a. Defenisi kecerdasan
Menurut Howard Gardner kecerdasan adalah
1. Kemampuan untuk memecahkan sutu masalah.
2. Kemampuan untuk menciptakan masalah baru untuk dipecahkan
3. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan yang
berharga dalam sutu kebudayaan masyarakat.
Pada tahun 1921, empat belas orang ahli ilmu jiwa oleh editor “journal of
educational psycology” mengenai arti kecerdasan.Walaupun jawaban mereka bervariasi
namun ada dua tema ppokok yang sama dalam jawaban mereka.Menurut mereka
kecerdasan adalah :
1. Kaasitas untuk belajar dari pengalaman.
2. Kemampuan unyuk beradaptasi
Defenisi diatas merupakan hal yang sangat penting.Kapasitas untuk belajar dari
pengalaman berarti orang yang cerdas juga dapat membuat kesalahan.Bahkan orang yang
cerdas juga dapat membuat kesalahan. Adalah Orang yang cerdas adalah orang yang
membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut, kemudian tidak membuat
kesalahan yang sama lagi.
Kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan berarti untuk menjadi cerdas
tidaklah semata-mata bergantung pada nilai atau hasil tes atau ujian sekolah.Disini
menjadi cerdas meliputi kemampuan untuk menangani suatu pekerjaaan,bagaiman
berhubungan dengan orang lain dan bagaimana mengatur hidup secara umum.
b. Definisi dan Sejarah Kecerdasan Emosional
Pada tahun 1985 seorang mahasiswa kedokteran di sebuah Universitas AS
menulis disertasi dengan tema “emotional intelligence”. Tahun 1990 psikolog Peter
Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire
mengembangkan cara pengukuran kemampuan manusia dalam bidang emosi. Mereka
menemukan beberapa orang lebih baik dari pada yang lain dalam berfikir seperti:
mengenali perasaan-perasaan mereka sendiri, mengenali perasaan-perasaan orang lain dan
pemecahan masalah melibatkan isu-isu emosional.
Pada tahun 1995 berkat buku best-seller karya Daniel Goleman “Emotional
Intelligences” menyebar luas dan menyeruak menyadarkan masyarakat dan dijadikan judul
2. 2
utama pada sampul majalah Time. Dalam bukunya ia mengoleksi berbagai informasi
menarik tentang pikiran, emosi, dan kelakuan Mayer, Salovey, dan David Caruso
menawarkan definisi tentang EI yaitu:”Kemampuan untuk memproses informasi
emosional, yang secara khusus melibatkan persepsi, perpaduan, pengertian, dan mengolah
emosi”. (Mayer and Cobb,2000).
Dalam pengertian ini mengandung empat cabang dari kemampuan mental, yakni:
(1) identifikasi emosional, persepsi, dan ekspresi (kemampuan mengenali emosi
wajah/mimik muka, musik dan ceritera-ceritera), (2) fasilitas/kemudahan pemikiran
emosional (kemampuan yang menghubungkan emosi dengan sensasi mental lain seperti
rasa dan warna) dan penggunaan emosi dalam pemikiran dan pemecahan masalah
(memadukan emosi dalam berfikir), (3) pemahaman emosi (melibatkan pemecahan
masalah-masalah emosi seperti mengetahui emosi yang sama atau kebalikannya dan
hubungan yang ada di dalamnya, (4) pengolahan emosi (implikasi aksi sosial dalam emosi
dan aturan dari emosi itu sendiri). Mayer dan Salovey mempublikasikan cabangcabang ini
dan memberikan rincian pemetaan gambaran fikiran mereka.
Dalam artikel itu mereka mengatakan cabang-cabang dalam pemetaan ini
“disusun dari proses psikologis yang lebih dasar pada yang lebih tinggi, lebih pada proses
penggabungan menurut psikologi”. Sebagai contoh cabang tahap rendah mengenai
kemampuan penerimaan dan pengungkapan emosi secara sederhana (relatif). Sebaliknya
tahap cabang sangat tinggi mengenai kesadaran.
Menurut Goleman IQ hanya menyumbangkan 20% terhadap suksesnya seseorang
dalam menentukan kehidupannya, sedangkan Mayer dan Salovey mengatakan, untuk 80%
dari sisa sebagai perbedaannya sampai sekarang belum dapat dikatakan bagian penentu
kesuksesan hidup seseorang. Pernyataan-pernyataan yang masih dianggap prematur
disukai oleh para pihak yang mempelajari ilmu kedokteran baru. Tes ECI-360 yang dibuat
Goleman, setelah dilakukan studi secara seksama ternyata bukan untuk mengetahui skala
kecerdasan emosional seseorang.
Goleman dalam definisinya beranggapan bahwa kecerdasan emosional sama
dengan karakter moral, juga dia beranggapan bahwa kemampuan untuk mengikuti aturan
main, optimisme, kemampuan bersosialisasi merupakan bagian dari kecerdasan emosi,
padahal yang namanya motivasi, ketekunan/ketabahan, kemampuan mengontrol hati,
kemampuan menunda rasa gembira/bahagia dan kemampuan berharap belum digambarkan
sebagai bagian dari EI, karena belum teruji dengan tes secara ilmiah. Halhal tersebut lebih
3. 3
banyak berhubungan dengan tingkah laku, bukan berhubungan dengan kemampuan
mental.
c. hakekat kecerdasan adversity
Dalam mewujudkan kompetensi, seseorang perlu melakukan langkahlangkah
yang memungkinkan yang bersangkutan mengambil jalan yang paling taktis. Jalan taktis
tersebut berguna untuk melakukan terobosan penting agar kesuksesan menjadi nyata.
Menurut Stoltz (2000:8), suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh
Adversity Quotient (AQ). Dikatakan juga bahwa AQ berakar pada bagaimana kita
merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan. Orang yang memiliki AQ
lebih tinggi tidak menyalahkan pihak lain atas kemunduran yang terjadi dan mereka
bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. (Welles, 2000:2). Stoltz membagi tiga
kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu
pertama, high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan .
Yang kedua, low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari
tantangan, dan yang ketiga AQ sedang/moderat (campers) (Maragoni, 2001:1). AQ
mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000:9) yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka kerja
konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2)
merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan, dan (3) merupakan
serangkaian peralatan dasar yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon
terhadap kesulitan.
Agar kesuksesan menjadi nyata maka Stoltz (2003:9) berpendapat bahwa
gabungan dari ketiga unsur di atas yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang
praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki
komponen dasar meraih sukses.Stoltz sebagai tokoh AQ bersama para rekannya yang lain,
telah membuktikan bahwa mereka yang memiliki AQ lebih tinggi menikmati serangkian
manfaat termasuk kinerja, produktifitasm kreatifitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan,
dan vitalitas yang lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang AQ-nya rendah.
Stoltz beranggapan bahwa IQ dan EQ tidaklah cukup dalam meramalkan
keseksesan seseorang. Stoltz mengelompokkan individu menjadi tiga : quitter, camper,
dan climber. Penggunaan istilah ini memang berdasarkan pada sebuah kisah ketika para
pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak Everest. Ia melihat ada pendaki yang
yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada
ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan puncak
tersebut. Itulah kemudian ia mengistilahkan orang yang berhenti di tegah jalan sebelum
4. 4
usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu
sebagai camper, sedangkan yang ingin terus meraih kesuksesan ia sebut climber.
Profil Quitter, Camper, dan Climber
Profil Ciri, Deskripsi, dan Karakteristik
Quitter 1. Menolak untuk mendaki lebih tinggi
lagi
2. Gaya hidupnya tidak menyenangkan
atau datar dan tidak “lengkap”
3. Bekerja sekedar cukup untuk hidup
4. Cenderung menghindari tantangan
berat yang muncul dari komitmen
yang sesungguhnya
5. Jarang sekali memiliki persahabatan
yang sejati
6. Dalam menghadapi perubahan
mereka cenderung melawan atau lari
dan cenderung menolak dan
menyabot perubahan
7. Terampil dalam menggunakan
katakata yang sifatnya membatasi,
seperti “tidak mau”, “mustahil”, “ini
konyol” dan sebagainya.
8. Kemampuannya kecilatau bahkan
tidak ada sama sekali; mereka tidak
memiliki visi dan keyakinan akan
masa depan, konribusinya sangat
kecil.
Camper 1. Mereka mau untuk mendaki,
meskipun akan “berhenti” di pos
tertentu, dan merasa cukup sampai
disitu
2. Mereka cukup puas telah mencapai
suatu tahapan tertentu (satisficer)
5. 5
3. Masih memiliki sejumlah inisiatif,
sedikit semangat, dan beberapa
usaha.
4. Mengorbankan kemampuan
individunya untuk mendapatkan
kepuasan, dan mampu membina
hubungan dengan para camper
lainnya
5. Menahan diri terhadap perubahan,
meskipun kadang tidak menyukai
perubahan besar karena mereka
merasa nyaman dengan kondisi yang
ada
6. Mereka menggunakan bahasa dan
kata-kata yang kompromistis,
misalnya, “ini cukup bagus”, atau
“kita cukuplah sampai di sini saja”
7. Prestasi mereka tidak tinggi, dan
kontribusinya tidak besar juga
8. Meskipun telah melalui berbagai
rintangan, namun mereka akan
berhenti juga pada suatu tempat dan
mereka “berkemah” di situ
Climber 1. Mereka membaktikan dirinya untuk
terus “mendaki”, mereka adalah
pemikir yang selalu memikirkan
kemungkinan-kemungkinan
2. Hidupnya “lengkap” karena telah
melewati dan mengalami semua
tahapan sebelumnya.
3. Mereka menyadari bahwa akan
banyak imbalan yang diperoleh dalam
jangka panjang melalui “langkah-
6. 6
langkah kecil” yang sedang
dilewatinya
4. Menyambut baik tantangan,
memotivasi diri, memiliki semangat
tinggi, dan berjuang mendapatkan
yang terbaik dalam hidup;
merekacenderung membuat segala
sesuatu terwujud
5. Tidak takut menjelajahi potensi-
potensi tanpa batas yang ada di antara
dua manusia; memahami dan
menyambut baik risiko menyakitkan
yang ditimbulkan karena bersedia
menerima kritik
6. Menyambut baik setiap perubahan,
bahkan ikut mendorong setiap
perubahan tersebut ke arah yang
positif
7. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
dan kata-kata yang penuh dengan
kemungkinan-kemungkinan; mereka
berbicara tentang apa yang bisa
dikerjakan dan cara mengerjakannya;
mereka berbicara tentang tindakan,
dan tidak sabar dengan kata-kata yang
tidak didukung dengan perbuatan
8. Memberikan kontribusi yang cukup
besar karena bisa mewujudkan
potensi yang ada pada dirinya
9. Mereka tidak asing dengan situasi
yang sulit karena kesulitan
merupakan bagian dari hidup
7. 7
d. Kecerdasan spritual
Kecerdasan spiritual mencakup 5 (lima) komponen, yaitu a) meyakini Tuhan
sebagai Maha Segala-galanya Atas Segala Sesuatu. Wujud kecerdasan ini membuat
manusia yakin betul bahwa Tuhan sebagai tempat bergantung bagi makhlukNya, b)
kemampuan untuk bekerja keras dan kemampuan untuk mencari ridho Tuhan. Sehingga
seseorang akan memiliki etos kerja yang tinggi dan senantiasa bersungguh-sungguh dalam
menjalankan aktivitasnya, c) kemampuan untuk kokoh melakukan ibadah secara disiplin,
d) kecerdasan ini diisi dengan kesabaran, ketahanan dan kemampuan. Untuk melihat
bahwa orang harus selalu berikhtiar agar tidak putus asa, e) menerima keputusan terakhir
akan takdir dari Tuhan yang akan mendatangkan ketenangan dari hidup.
Komponen dari kecerdasan spiritual menurut Zohar & Marshall (2002: 14)
mencakup: a) kemampuan untuk bersikap fleksibel, b) adanya tingkat kesadaran diri yang
tinggi, c) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, d) kemampuan
untuk menghadapi dan melampaui perasaan sakit, e) kualitas hidup yang diilhami oleh visi
dan nilai-nilai, f) keinginan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, g)
kecenderungan untuk berpandangan holistic, h) kecenderungan untuk bertanya “mengapa”
atau “bagaimana jika” dan berupaya untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar, i)
mampu memberi inspirasi kepada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komponen kecerdasan
spiritual adalah, a) memiliki prinsip dan visi yang kuat. Prinsip adalah suatu kebenaran
yang hakiki dan fundamental berlaku secara universal bagi seluruh manusia. Prinsip
merupakan pedoman berperilaku, yang berupa nilai-nilai permanen dan mendasar. Setelah
prinsip, kita harus mempunyai visi. Visi adalah cara pandang bagaimana memandang
sesuatu dengan benar, b) mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman, c) mampu
memaknai setiap sisi kehidupan. Semua yang terjadi di alam raya ini ada maknanya.
Semua kejadian pada diri kita dan lingkungan ada hikmahnya, d) mampu bertahan dalam
kesulitan dan penderitaan, jika tubuh banyak dalam kemudahan dan kesenangan, maka
aspek jiwa akan rusak.
Orang yang tidak pernah mengalami kesulitan atau sakit, jiwanya tidak pernah
tersentuh. Penderitaan dan kesulitanlah yang menumbuhkan dan mengembangkan dimensi
spiritual.Bila SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang akan
terlihat pada diri seseorang adalah (1) kemampuan bersikap fleksibel, (2) tingkat
kesadaran diri tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
(4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, (5) kualitas hidup yang
8. 8
diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak
perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan
holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?”
untuk mencari jawaban yang mendasar, (9) memiliki kemudahan untuk bekerja melawan
konvensi
e. Kecerdasan majemuk
Kecerdasan majemuk adalah teori yang dicetuskan oleh Howard Gardner'" untuk
menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap individu memiliki banyak kecerdasan. Menurut
Gardner, kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah
dan menghasilkan produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suasana budaya atau
masyarakat tertentu."Adapun kecerdasan-kecerdasan tersebut yaltu:
1. Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah
kata-kata secara efektif, baik secata oral maupun tertutis.
2. Kecerdasan matematis-logis adalah kemampuan untuk menangani bilangan
dan perhitungan, poh serta pemikiran logis dan ikniah.
3. Kecerdasan ruang-spasial adalah kemampuan untuk menangkap duniaruang-
spasial secara tepat.
4. Kecerdasan musikal adalah kemampuan untuk mengembangkan,
mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara
5. Kecerdasan kinestetik-badani adalah kemampuan menggunakan tubuh atau
gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan.
6. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan peka
terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan
akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptatif berdasarkan
pengenalan diri itu.
7. Kecerdasan natural adalah kemampuan untuk mengerti alam lingkungan dengan
baik, dapat membuat distingsi konsekuensial tain dalam alam naturaI;
kemampuan untuk memahami dan menikmati alam; dan menggunakan
kemampuan tersebut secara produktif.
8. Kecerdasan eksistensial adalah kepekaan atau kemampuan untuk menjawab
persoalan-persoalan terdalam eksistensi manusia."
f. Sejarah keterkaitan IQ, EQ dan SQ.
9. 9
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari
pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet,
ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet
dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal
sebagai test Stanford-Binet.
Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari
setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap
masing-masing individu tersebut. Kecerdasan intelektual (IQ) diyakini menjadi sebuah
ukuran standar kecerdasan selama bertahun-tahun. Bahkan hingga hari ini pun masih
banyak orangtua yang mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ
(intelligence quotient) di atas level normal (lebih dari 100). Syukur-syukur kalau bisa jadi
anak superior dengan IQ di atas 130.
Harapan ini tentu sah saja. Dalam paradigma IQ dikenal kategori hampir atau
genius kalau seseorang punya IQ di atas 140. Albert Einstein adalah ilmuwan yang IQ-nya
disebut-sebut lebih dari 160. Namun, dalam perjalanan berikutnya orang mengamati, dan
pengalaman memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam
studi, tetapi kurang berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang
menyimpulkan, IQ penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi kurang
penting untuk menapak tangga karier. Untuk menapak tangga karier, ada sejumlah unsur
lain yang lebih berperan.
Misalnya saja yang mewujud dalam seberapa jauh seseorang bisa bekerja dalam
tim, seberapa bisa ia menenggang perbedaan, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan
menangkap bahasa tubuh orang lain. Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes
kemampuan (aptitude test) yang ia peroleh saat mencari pekerjaan. Pertanyaan sekitar hal
ini kemudian terjawab ketika Daniel Goleman menerbitkan buku Emotional Intelligence:
Why It Can Matter More Than IQ (1995).
Sebelumnya, para ahli juga telah memahami bahwa kecerdasan tidak semata-mata
ada pada kemampuan dalam menjawab soal matematika atau fisika. Kecerdasan bisa
ditemukan ketika seseorang mudah sekali mempelajari musik dan alat-alatnya, bahkan
juga pada seseorang yang pintar sekali memainkan raket atau menendang bola.
10. 10
Ada juga yang berpendapat kecerdasan adalah kemampuan menyesuaikan diri
terhadap lingkungan, dan lainnya beranggapan kecerdasan adalah kemampuan untuk
berpikir secara abstrak dan seterusnya. Kemudian dari berbagai hasil penelitian, telah
banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih significant
disbanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat
minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya (hampir
seluruhnya terbukti) mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi.
Terbukti banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi,
terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak orang yang kecerdasan intelektualnya
biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pegusaha-pengusaha
sukses, dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Di sinilah kecerdasan emosi atau
emotional quotient (EQ) membuktikan eksistensinya. EQ adalah istilah baru yang
dipopulerkan oleh Daniel Goleman.Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan
psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi
pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional.
Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang popular
dengan sebutan “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional degerakan oleh
emosi EQ merupakan serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi, serta
mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial, kerja sama, dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi pencritaan otak
(brain-imaging), yaitu sebuah teknologi yang kini membantu para ilmuwan dalam
memetakan hati manusia, semakin memperkuat keyakinan kita bawa otak memiliki bagian
rasional dan emosional yang saling bergantung.
11. 11
Setelah itu, ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil meraih
prestasi dan kesuksesan, acapkali rang tersebut disergap oleh perasaan “kosong” dan
hampa dalam celah batin kehidupanya. Setelah prestasi puncak telah dipijak, ketika semua
pemuasan kebedaan telah diraihnya, setelah uang hasil jeri payah berada dalam
genggaman, ia tak tahu lagi ke mana harus melangkah. Untuk apa semua prestasi itu
diraihnya?, hingga hampir-hampir diperbudak oleh uang serta waktu tanpa tahu dan
mengerti di mana ia harus berpijak?.
Di sinilah kecerdasan spiritual atau yang biasa disebut SQ muncul untuk
melengkapi IQ dan EQ yang ada di diri setiap orang. Danah Zohar da Ian Marshall
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan
makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.Spiritual Quotient
(SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan
tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang telah dibahas
sebelumnya, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan
intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara
proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari
pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah
keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual), seperti di bawah ini:
g. Indikator dan alat ukur IQ, EQ dan SQ.
Berdasarkan pengalaman, tidak ada indikator dan alat ukur yang jelas untuk
mengukur atau menilai kecerdasan setiap individu, kecuali untuk kecerdasan intelektual
atau IQ, dalam konteks ini dikenal sebuah tes yang biasa disebut dengan psikotest untuk
mengetahui tingkat IQ seseorang, akan tetapi test tersebut juga tidak dapat secara mutlak
dinyatakan sebagai salah satu identitas dirinya karena tingkat intelektual seseorang selalu
dapat berubah berdasarkan usia mental dan usia kronologisnya. Sedangkan untuk
kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), hingga saat ini belum ada alat yang
dpat mengukurnya dengan jelas karena dua kecerdasan tersebut bersifat kualitatif bukan
kuantitatif.
Seperti halnya dengan alat ukur kecerdasan, indikator orang yang memilki IQ,
EQ dan SQ juga tidak ada ketetuan yang jelas, sehingga untuk mengetahui seseorang
12. 12
tersebut memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
biasanya dilihat dari hal-hal yang biasanya ada pada orang yang memiliki IQ, EQ dan SQ
tinggi dan dilihat berdasarkan kompone dari klasifikasi kecerdasan tersebut. Orang yang
memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup tinggi dapat dilihat selain dari hasil tes,
dapat terlihat juga bawa biasanya orang tersebut memiliki kemapuan matematis, memiliki
kemampuan membayangka ruang, melihat sekeliling secara runtun atau menyeluruh, dapat
mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk lain, memiliki kemapuan untuk
mengenali, menyambung, dan merangkai katakata serta mencari hubungan antara satu kata
dengan kata yang lainya, dan juga memiliki memori yang cukup bagus.
Seseorang dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi diindikatori memiliki hal-hal
sebagai berikut :
1. Sadar diri, panada mengendalikan diri, dapat dipercaya, dapat beradaptasi dengan
baik dan memiliki jiwa kreatif,
2. Bisa berempati, mampu memahami perasaan orang lain, bisa mengendaikan konflik,
bisa bekerja sama dalam tim,
3. Mampu bergaul dan membangun sebuah persahabatan,
4. Dapat mempengaruhi orang lain,
5. Bersedia memikul tanggung jawab,
6. Berani bercita-cita,
7. Bermotivasi tinggi,
8. Selalu optimis, -
9. Memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan
10. Senang mengatur dan mengorganisasikan aktivitas.
Lain halnya dengan indikator-indikator dari orang yang memiliki IQ dan S yang
cukup tinggi di atas, orang yang miliki kecerdasan spiritual yang tinggi tidak dapat dilihat
dengan mudah karena kembali ke pengertian SQ, yaitu kemampuan seseorang untuk
memecahkan persoalan makna dan nilai, untuk menempatkan perilaku dan hidup kita
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa jalan hidup yang kita
pilih memiliki makna yang lebih daripada yang lain, dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
kecerdasan spiritual adalah kecakapan yang lebih bersifat pribadi, sehingga semua kembali
kepada individu itu sendiri dan kepada hubungannya dengan Sang Pencipta.
13. 13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap
individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-
masing individu tersebut. Kecerdasan intelektual (IQ) diyakini menjadi sebuah ukuran
standar kecerdasan selama bertahun-tahun. Bahkan hingga hari ini pun masih banyak
orangtua yang mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ (intelligence
quotient) di atas level normal (lebih dari 100). Syukur-syukur kalau bisa jadi anak superior
dengan IQ di atas 130.
EQ merupakan serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi,
serta mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial, kerja sama, dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi pencritaan otak
(brain-imaging), yaitu sebuah teknologi yang kini membantu para ilmuwan dalam
memetakan hati manusia, semakin memperkuat keyakinan kita bawa otak memiliki bagian
rasional dan emosional yang saling bergantung.
SQ muncul untuk melengkapi IQ dan EQ yang ada di diri setiap orang. Danah
Zohar da Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku
dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai
bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang
lain.Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat berguna untuk membantu rekan-rekan dalam pemahaman
mengenai keempat kecerdasan tersebut.Dan kita berusaha untuk menyeimbangkan
keempat kecerdasan tersebut.