Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan KUHP di Indonesia dan negara lain, serta tujuan dan kelebihan KUHP baru yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP. KUHP baru ini bertujuan menghilangkan nuansa kolonial, mendemokratisasi rumusan pasal pidana, menyusun kembali ketentuan pidana secara menyeluruh, dan mengadopsi filosofi pemidanaan yang memperhatikan pelaku dan kor
2. Sejarah KUHP
1. 4.
2. 5
3.
PERANCIS
Penal Code
Perancis
Tahun 1810.
menggantikan
Crimineel
Wetboek voor
het Koningrijk
Holland
Belanda
Nederlandsch
Wetboek van
Strafrecht
(WvS)
disahkan pada
3 Maret 1881
Belanda
berlaku efektif
pada 1
September
1886
Hindia
Belanda
diterapkan
di hindia
belanda
sejak 1
Januari
1918
Indonesia
1. Peraturan
Pemerintah
Nomor 2 Tahun
1945 Tentang
Badan-badan Dan
Peraturan
Pemerintah Dulu
2. undang-undang
no. 1 tahun 1946
tentang Peraturan
Hukum Pidana,
3. undang-undang
nomor 73 tahun
1958,
pemberlakuan UU
no 1/46
4. Undang-undang
nomor 1 tahun
2023 tentan Kitab
Undang-undang
3. MISI PEMBARUAN
KUHP/WvS
Dekolonialisasi: Upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, yaitu
mewujudkan Keadilan Korektif-Rehabilitatif-Restoratif, Tujuan & Pedoman Pemidanaan
(Standard of Sentencing), & memuat alternatif Sanksi Pidana;
Demokratisasi: Pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai Konstitusi
(Pasal 28 J UUD 1945) & Pertimbangan Hukum dari Putusan MK atas pengujian pasal-pasal
KUHP yang terkait;
Konsolidasi: Penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana
di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas);
Harmonisasi: Sebagai bentuk adaptasi & keselarasan dalam merespon perkembangan hukum
terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law);
Modernisasi: filosofi pembalasan klasik (Daad-strafrecht) yang berorientasi kepada perbuatan
semata-mata dengan filosofi integratif (Daad-Daderstrafrecht-Slachtoffer) yang
memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan dan peringanan
pidana).
4. Kelebihan
KUHP Baru
10.Perluasan jenis pidana pokok (Pengawasan dan
Kerja Sosial);
11.Pembagian Pidana dan Tindakan ke dalam 3
kelompok (umum, anak, korporasi);
12.Pidana denda diatur dalam 8 kategori;
13.Mengatur penjatuhan pidana mati
secara bersyarat sebagai jalan tengah
pro kontra pidana mati;
14.Mencegah penjatuhan pidana penjara utk TP Max 5
Tahun;
15.Mengatur alternatifpidana penjara berupa
pidana denda, pidana pengawasan, dan
pidana kerja sosial;
16.Mengatur Pemidanaan Dua Jalur, yaitu berupa
Pidana & Tindakan;
17.Mengatur Pertanggungawaban Mutlak
(Strict Liability) & Pertanggungjawaban
Pengganti (Vicarious Liability).
1. Bertitik tolak dari asas keseimbangan;
2. Rekodifikasi Hukum Pidana yang
terbuka dan terbatas;
3. Tujuan Pemidanaan;
4. Pedoman Pemidanaan;
5. pertimbangan bagi hakim sebelum
menjatuhkan pemidanaan;
6. Penentuan sanksi pidana dengan
Modified Delphi Method;
7. Putusan Pemaafan Oleh Hakim (Judicial
Pardon);
8. Pertanggungjawaban pidana korporasi;
9. Mengutamakan pidana pokok yang lebih
ringan;
5. 3 (Tiga) Permasalahan Pokok Hukum Pidana
Pertanggungjawaban pidana
(schuld/guilt/mens rea)
Pidana/pemidanaan
(straf/punishment/poena)
Tindak Pidana
(strafbaarfeit/criminal
act/actus reus)
6. PERKEMBANGAN KUHP DAN RUU KUHP
KUHPBuku Kesatu Aturan
Umum (9 bab dan 103
pasal)
Buku Kedua Kejahatan
(31 bab, 385 pasal)
Buku Ketiga Pelanggaran
Pasal (9 bab dan 61
pasal).
RKUHP
BUKU KESATU
ATURAN UMUM (6 Bab
dan 187 Pasal)
BUKU KEDUA
TINDAK PIDANA (37 Bab
dan 437 Pasal/ Pasal
188-Pasal 624)
7. BUKU I
KETENTUAN UMUM
Ketentuan Umum (Buku I) sangat strategis,
karena memuat asas-asas hukum (legal
principles) yang berlaku baik ke dalam maupun
ke luar KUHP yang menampung pelbagai
aspirasi di atas, sekaligus merupakan nilai-nilai
perekat (adhesive) dan pemersatu
(integrasionist) sistem hukum pidana nasional
yang tersebar dan berjauhan baik di dalam
maupun di luar KUHP, termasuk yang
tercantum dalam hukum administratif dan
peraturan daerah. Dari asas-asas ini terpancar
(dispersed) pengaturan
suatu lapangan hukum pidana yang konsisten
dan solid.
8. BAB
I. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA
II. TINDAK PIDANA DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
III. PEMIDANAAN, PIDANA, DAN
TINDAKAN
IV. GUGURNYA KEWENANGAN
PENUNTUTAN
V. DAN PELAKSANAAN PIDANA
VI. ATURAN PENUTUP
8
9. • Menurut Waktu
• Menurut Tempat
Asas Wilayah atau Teritorial
Asas Pelindungan dan Asas
Nasional Pasif
Asas Universal
Asas Nasional Aktif
• Pengecualian
• Waktu Tindak Pidana
• Tempat Tindak Pidana
9
BERLAKUNYA
KETENTUAN
PERATURAN
PERUNDANG-
UNDANGAN
PIDANA
10. Hukum yang hidup di
masyarakat
Pasal 2 & 601 RKUHP)
• Sebagai bentuk pengakuan & penghormatan
terhadap hukum adat (delik adat) yang masih
hidup akan tetapi dibatasi oleh Pancasila, UUD
NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum.
• Sanksinya berupa pemenuhan kewajiban adat
(Pasal 601) yang dianggap sebanding dengan
Pidana Denda kategori II (10 juta Rupiah), dan
dapat dikenakan pidana pengganti berupa ganti
rugi jika kewajiban adat setempat tidak dijalankan
(Pasal 96)
• Sesuai pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-
X/2012 yang menyebutkan pengukuhan dan
hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan Perda dan ketentuan lebih lanjut diatur
dalam PP. Menurut Mahkamah merupakan
delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionallnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur UU.”
Pasal 2
1. Menegaskan berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
2. tidak diatur dalam KUHP baru dan sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi
manusia, dan asas hukum umum yang diakui
masyarakat bangsa-bangsa.
4. tata cara dan kriteria penetapan
hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5. Memberlakukan hukum pidana adat melalui Peraturan
Daerah memperkuat kedudukan hukum pidana adat
(Penjelasan Pasal 2).
11. a. mencegah dilakukannya Tindak Pidana
dengan menegakkan norma hukum demi
pelindungan dan pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan dan pembimbingan
agar menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
akibat Tindak Pidana, memulihkan
keseimbangan, serta mendatangkan rasa arnan
dan damai dalam masyarakat; dan
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
11
PEMIDANAAN
BERTUJUAN
12. ❑ Dalam mengadili suatu
perkara pidana, hakim wajib
menegakkan hukum dan
keadilan.
❑ Jika dalam menegakkan
hukum dan keadilan terdapat
pertentangan antara
kepastian hukum dan
keadilan, hakim wajib
mengutamakan keadilan.
12
PEDOMAN PEMIDANAAN
13. Tindak Pidana
a. Tindak Pidana merupakan perbuatan yang
oleh peraturan perundang-undangan diancam
dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan.
b. diancam dengan sanksi pidana dan/atau
tindakan oleh peraturan perundangundangan
harus bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
c. Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan
hukum, kecuali ada alasan pembenar.
13
TINDAK PIDANA DAN
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
⮚Tindak Pidana
⮚Permufakatan Jahat
⮚Persiapan
⮚Percobaan
⮚Penyertaan
⮚Pengulangan
⮚Tindak Pidana Aduan
⮚Alasan Pembenar
14. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Pertanggung jawaban Pidana
Setiap Orang hanya dapat
dimintai pertanggungjawaban
atas Tindak Pidana yang
dilakukan dengan sengaja atau
karena kealpaan
14
PERTANGGUNGJAWABAN
ORANG
Pertanggunglawaban atas
Tindak Pidana oleh Korporasi
dikenakan terhadap:
a. Korporasi,
b. pengurus yang mempunyai
kedudukan fungsional,
c. pemberi perintah,
d. pemegang kendali, dan/ atau
e. pemilik manfaat Korporasi.
PERTANGGUNGJAWABAN
KORPORASI
15. ALASAN PEMBENAR DAN PEMAAF
a. adanya peraturan perundang-
undangan.
b. pelaksanaan perintah jabatan
yang sah.
c. keadaan darurat.
d. pembelaan terpaksa.
15
ALASAN PEMBENAR
a. Pertanggunglawaban pidana tidak dapat dikenakan
terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak
Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun.
b. daya paksa, oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan
atau adanya ancarnan, tekanan, atau kekuatan yang
tidak dapat dihindari.
c. pembelaan terpaksa melampaui batas disebabkan
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman ser€rngan seketika yang melawan hukum.
d. perintah jabatan yang tidak sah, yang dikira sah oleh
pelaku berdasarkan itikat baik
ALASAN PEMAAF
16. Dalam penjatuhan pidana Hakim wajib
mempertimbangkan:
a. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
b. motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
c. sikap batin pelaku Tindak Pidana;
d. Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan
atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan Tindak Pidana;
f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan
Tindak Pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan
ekonomi pelalu Tindak Pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Tindak Pidana;
i. pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau
keluarga Korban;
j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban;
dan/ atau
k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat. 16
PEMIDANAAN,
PIDANA, DAN
TINDAKAN
Pedoman Pemidanaan
17. Dalam penjatuhan pidana Dalam pemidanaan
terhadap Korporasi wajib dipertimbangkan:
a. tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
b. tingkat keterlibatan pengunrs yang mempunyai
kedudukan fungsional Korporasi dan/ atau peran
pemberi perintah, pemegang kendali, dan/ atau
pemilik manfaat Korporasi;
c. lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan;
d. frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi;
e. bentuk kesalahan Tindak Pidana;
f. keterlibatanPejabat;
g. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat;
h. rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau
kegiatan;
i. pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/
atau
j. kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak
Pidana.
17
PEMIDANAAN,
PIDANA, DAN
TINDAKAN
Pedoman Pemidanaan Korporasi
18. Perkembangan
Jenis Pidana
PIDANA POKOK PIDANA TAMBAHAN PIDANA YANG BERSIFAT
KHUSUS
TINDAKAN
KUHP/WvS 1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidanakurungan;
4. Pidanadenda;
5. pidana tutupan.
1. pencabutan hak-haktertentu;
2. perampasan barang-barangtertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
- -
KUHPBaru a. pidanapenjara;
b. pidanatutupan;
c. pidanapengawasan;
d. pidanadenda;dan
e. pidanakerjasosial.
a.pencabutan haktertentu;
b.perampasan Barangtertentu dan/atau
tagihan;
c.pengumuman putusan hakim;
d.pembayaran ganti rugi;
e.pencabutan izintertentu; dan
f.pemenuhan kewajibanadat setempat.
pidana mati a. konseling;
b. rehabilitasi;
c. pelatihan kerja;
d. perawatan di
lembaga; dan/atau
e. perbaikanakibat
TindakPidana.
Pidana Pokok dan tambahan adalah jenis sanksi yang bersifat pidana
(straf/pubishment). Tindakan adalah jenis sanksi yang lebih bersifat tindakan
(maatregel/treatment) untuk memperbaiki pelaku.
19. PEDOMAN PIDANA PENGAWASAN DAN KERJA SOSIAL
Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana
yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi
pidana pengawasan dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan
Pasal 54 dan Pasal 70.
19
Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan
kepada terdakwa yang melakukan Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana
penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan
hakim menjatuhkan pidana penjara
paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana
denda paling banyak kategori II.
PIDANA PENGAWASAN PIDANA KERJA SOSIAL
20. Pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan
keadaan:
a. terdakwa adalah Anak;
b. terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;
c. terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;
d. kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;
e. terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban;
f. terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan
akan menimbulkan kerugian yang besar;
g. Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari
orang lain;
h. Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan
terjadinya Tindak Pidana tersebut;
i. Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan
yang tidak mungkin terulang lagi;
j. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak
akan melakukan Tindak Pidana yang lain;
k. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi
terdakwa atau keluarganya;
L pembinaan di luar lemb"ga pemasyarakatan diperkirakan akan
berhasil untuk diri terdakwa;
m. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi
sifat berat Tindak Pidana yang dilakukan terdakwa;
n. Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/ atau 20
Pedoman
Penjatuhan
Pidana
penjara
Tidak berlaku bagi:
a. Tindak Pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Tindak Pidana yang diancam dengan
pidana minimum khusus;
c. Tindak Pidana tertentu yang sangat
membahayakan atau merugikan
masyarakat; atau
d. Tindak Pidana yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara.
21. Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
a. kategori I, Rp1.000.00O,0O (satu juta rupiah);
b. kategori II, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. kategori III, Rp50.0O0.O00,0O (lima puluh juta
rupiah);
d. kategori IV, Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah);
e. kategori V, Rp500.000.000,O0 (lima ratus juta
rupiah);
f. kategori VI, Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
g. kategori VII, RpS.0O0.O00.0O0,O0 (lima miliar
rupiah); dan
h. kategori VIII, Rp5O.0O0.O0O.00O,0O (lima puluh
miliar rupiah).
21
Pedoman
Pidana Denda
Pidana Denda hanya dapat
dijatuhkan jika:
a. tanpa Korban;
b. Korban tidak
mempermasalahkan; atau
c. bukan pengulangan Tindak
Pidana.
22. PIDANA MATI
(PASAL 67 & 100 RUU
KUHP)
• RUU KUHP telah mengatur bahwa Hakim
dapat menjatuhkan pidana mati dengan
masa percobaan selama 10 (sepuluh)
tahun dengan mempertimbangkan: rasa
penyesalan terdakwa dan ada harapan
untuk memperbaiki diri; peran terdakwa
dalam Tindak Pidana; atau ada alasan
yang meringankan (Pasal 100 ayat 1).
• Ketentuan ini sudah sesuai dengan pertimbangan
Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, yang
menyatakan bahwa perumusan, penerapan,
maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia hendaknya dapat
dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh
tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji
dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup
atau selama 20 tahun.
23. Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Anak berupa:
a. pidana pokok; dan
b. pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1. pembinaan di luar lembaga;
2. pelayanan masyarakat; atau
3. pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. pidana penjara.
Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
23
Pedoman Diversi,
Tindakan, dan
Pidana bagi Anak
Anak yang melakukan Tindak
Pidana yang diancam dengan
pidana penjara di bawah 7
(tqjuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan
Tindak Pidana wajib
diupayakan diversi.
Anak dapat dikenai tindakan berupa:
a. pengembalian kepada Orang Tua/wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di lembaga;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/ atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau
badan swasta;
f. pencabutan Surat izin mengemudi; dan/ atau
g. perbaikan akibat Tindak Pidana.
24. Pidana tambahan bagl Korporasi terdiri atas:
a. pembayaran ganti nrgi;
b. perbaikan akibat Tindak Pidana;
c. pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
d. pemenuhan kewajiban adat;
e. pembiayaan pelatihan kerja;
f. perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak
Pidana;
g. pengumuman putusan pengadilan;
h. pencabutan izin tertentu;
i. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
j. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau
kegiatan Korporasi;
k. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi;
dan
l. pembubaran Korporasi.
24
Pidana
Pidana bagi
Korporasi
Pidana bagi Korporasi terdiri atas:
a. pidana pokok; dan
b. pidana tambahan.
Pidana pokok adalah pidana denda
Tindakan yang dapat dikenakan bagi Korporasi:
a. pengambilalihanKorporasi;
b. penempatan di bawah pengawasan; dan/ atau
c. penempatan Korporasi di bawah pengampuan.
25. BUKU II
TINDAK PIDANA
Tindak pidana yang diatur dalam Buku II tentang
Tindak Pidana yang melarang beberapa
perbuatan yang terkait dengan penyelenggaraan
Negara dan kehidupan berbangsa dan bernegara
serta kehidupan bermasyarakat.
Adapun Buku Ketiga KUHP lama yang mengatur
tentang Tindak Pidana Pelanggaran dihapus dan
materinya secara selektif ditampung ke dalam
Buku Kedua namun hanya diancam dengan
pidana denda.
Buku Kedua Undang-Undang ini harrya
dirumuskan tiga jenis pidana, yaitu pidana
penjara, pidana denda, dan pidana mati. Jenis
pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana
ke{a sosial pada hakikatnya mempakan cara
pelaksanaan pidana sebagai alternatif pidana
penjara
26. Buku Kedua antaralain memuat
ketentuan mengenai:
✔ tindak pidana terhadap keamanan negara (tindak pidana
terhadap ideologi negara dan tindak pidana terorisme);
✔ tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden;
✔ tindak pidana terhadap negara sahabat tindak pidana
pencurian;
✔ kepala negara sahabat, dan perwakilan negara sahabat;
✔ tindak pidana terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
✔ tindak pidana terhadap ketertiban umum; tindak pidana
terhadap penyelenggaraan peradilan; tindak pidana terhadap
agama dan kehidupan beragama;
✔ tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi
orang, kesehatan, barang, dan lingkungan hidup;
✔ tindak pidana kesusilaan;
✔ tindak pidana menelantarkan orang;
✔ tindak pidana penghinaan;
✔tindak pidana pembocoran rahasia;
✔tindak pidana terhadap kemerdekaan orang;
✔tindak pidana penyelundupan orang;
✔tindak pidana terhadap nyawa;
✔tindak pidana penganiayaan;
✔tindak pidana pencurian;
✔tindak pidana perbuatan curang;
✔tindak pidana jabatan;
✔tindak pidana pelayaran;
✔tindak pidana penerbangan dan tindak
pidana terhadap sarana serta prasarana
penerbangan,
✔tindak pidana penadahan,
✔tindak pidana penerbitan dan pencetakan;
✔Tindak Pidana Khusus;.
26
27. • Tidak dimaksudkan untuk
menghidupkan kembali Pasal
134 KUHP tentang Penghinaan
Presiden yang telah dianulir
MK, tetapi justru mengacu pada
pertimbangan dan Putusan MK
Putusan MK No. 013-022/PUU-
IV/2006 mengenai Pasal 207
KUHP yang menyatakan bahwa
dalam hal penghinaan ditujukan
kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden selaku pejabat tetap
bisa dituntut dengan Pasal
Penghinaan Terhadap
Penguasa Umum tapi sebagai
Delik Aduan.
• Pasal ini menutup kemungkinan
“dilaporkannya” Penghinaan
Presiden/Wapres oleh
relawan/simpatisan
Presiden/Wapres, karena hanya
Presiden/Wapres yang dapat
mengajukan pengaduan.
• Ketentuan ini selaras dengan
pengaturan penghinaan terhadap
kepala negara sahabat, dan juga
merupakan pemberatan dari
penghinaan terhadap warga negara
biasa dan penghinaan terhadap
pejabat.
• Pasal ini tidak membatasi demokrasi
dan kebebasan berpendapat, karena
Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP secara
tegas telah membedakan kritik dan
penghinaan, dan menegaskan bahwa
kritik dimaksudkan untuk
kepentingan umum sehingga tidak
bisa dipidana.
PENGHINAAN PRESIDEN
28. • KUHP tidak pernah
mengatur tindak pidana
santet. Yang dipidana
adalah mengaku memiliki
kekuatan gaib yang dapat
menimbulkan penyakit,
kematian, atau
penderitaan mental atau
fisik.
• Delik ini justru untuk
mencegah timbulnya
kejahatan baru berupa
penipuan, pemerasan,
atau timbulnya korban
akibat adanya orang
yang mengaku
mempunyai kekuatan
gaib.
• Pasal ini juga
melindungi
religiusitas yang
terkandung dalam
sila pertama
Pancasila.
• Pasal ini jenisnya adalah Delik Formil, yaitu yang dilarang adalah
perbuatannya saja, tanpa memperhatikan adanya akibat yang ditimbulkan
dari perbuatan itu.
TINDAK PIDANA MENYATAKAN DIRI MEMILIKI
KEKUATAN GAIB UNTUK MENCELAKAKAN ORANG
29. TINDAK PIDANA
GANGGUAN & PENYESATAN
PROSES PERADILAN
(CONTEMPT OF COURT)
▪ Pasal ini diperlukan untuk
menjaga ketertiban jalannya
persidangan;
▪ Untuk mencegah dilakukannya
live streaming terhadap proses
persidangan tanpa izin hakim;
▪ Untuk melindungi integritas dan
wibawa pengadilan;
▪ Tidak mengurangi kebebasan
pers untuk mempublikasikan
berita setelah persidangan.
30. TINDAK PIDANA TERHADAP AGAMA
(PENODAAN AGAMA)
• Masih diperlukan pengaturannya di Indonesia yang multi religi agar tidak terjadi perbuatan main
hakim sendiri.
• Ketentuan dalam RUU KUHP sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) Konvensi Internasional Hak Sipil &
Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 dan Pasal 5 UU PNPS No.1/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama.
• Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah menunjukkan permusuhan, kebencian, dan
hasutan untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama dan
kepercayaan orang lain.
• Telah diberikan penjelasan sebagai berikut:
Uraian tertulis atau lisan yang objektif (ilmiah) yang disertai penjelasan dengan usaha untuk
menghindari kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana.
31. TINDAK PIDANA MEMPERTUNJUKAN
ALAT PENCEGAH KEHAMILAN
KEPADA ANAK
• Bukan merupakan hal baru, karena ketentuan yang hampir serupa sudah diatur dalam Pasal 534 KUHP dan Pasal
535 KUHP Tentang Tindak Pidana Menunjukkan Alat Pencegah Kehamilan.
• Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi anak dari perilaku seks
bebas.
• Pengecualian: Penyampaian informasi dan/atau peragaan alat, obat, dan cara kontrasepsi yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terlatih di tempat dan dengan cara layak, untuk kepentingan program KB,
pencegahan PMS, pendidikan dan ilmu pengetahuan.
• Pasal 28 UU No 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan & Pembangunan Keluarga melarang
mempertunjukan alat pencegah kehamilan kepada umum.
32. TINDAK PIDANA PERZINAAN (PASAL 411),
KOHABITASI (PASAL 412) DAN
PERKOSAAN DALAM PERKAWINAN (PASAL 477)
Tujuan:
“Mengejawantahkan
nilai-nilai masyarakat
Indonesia &
penghormatan terhadap
lembaga perkawinan”
Pembatasan:
• Delik aduan yang hanya dapat diproses bila ada
pengaduan dari pasangan, orang tua, atau anak.
• Pengaduan tidak wajib diikuti dengan pengajuan
gugatan perceraian seperti dalam Pasal 284 KUHP.
• Untuk mencegah terjadinya main hakim sendiri oleh
masyarakat.
• Syarat kepala desa sebagai pengadu dihapuskan.
• Melengkapi pengaturan marital rape yang diatur
dalam Pasal 53 UU PKDRT
33. 33
KOHABITASI
(HIDUP BERSAMA)
Setiap Orang
yang
melakukan
hidup bersama
sebagai suami
istri di luar
perkawinan
CABUL
Setiap Orang yang melakukan
perbuatan cabul terhadap
orang lain yang berbeda atau
sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum,
b. secara paksa dengan
Kekerasan atau Ancaman
Kekerasan, atau
c. yang dipublikasikan
sebagai muatan
Pornografi,
PERZINAHAN
Setiap Orang
yang
melakukan
persetubuhan
dengan orang
yang bukan
suami atau
istrinya
34. 34
❑Ayat 1. Setiap Orang yang dengan Kekerasan
atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang
bersetubuh dengannya. Dalam hal Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan
dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan Korban.
❑Ayat (2). a. persetubuhan dengan seseorang
dengan persetujuannya, karena orang tersebut
percaya bahwa orang itu merupalan
suami/istrinya yang sah;
b. persetubuhan dengan Anak;
c. persetubuhan dengan seseorang, padahal
diketahui bahwa orang lain tersebut dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya; atau
d. persetubuhan dengan penyandang disabilitas
mental dan/ atau disabilitas intelektual dengan
memberi atau menjanjikan uang atau Barang,
menyalahgunakan wibawa yang timbul dari
hubungan keadaan, atau dengan penyesatan
menggerakkannya untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan persetubuhan
dengannya, padahal tentang keadaan
disabilitas itu diketahui.
❑Dianggap juga melakukan Tindak
Pidana perkosaan, jika dalam
keadaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dengan
cara:
a. memasukkan alat kelamin ke
dalam anus atau mulut orang lain;
b. memasukkan alat kelamin orang
lain ke dalam anus atau mulutnya
sendiri; atau
c. memasukkan bagian tubuhnya
yang bukan alat kelamin atau
suatu benda ke dalam alat kelamin
atau anus orang lain.
TINDAK PIDANA
PERKOSAAN
35. 35
✔Tindak Pidana berat
terhadap hak asasi manusia,
✔Tindak Pidana terorisme,
✔Tindak Pidana korupsi,
✔Tindak Pidana pencucian
uang,
✔Tindak Pidana narkotika
Penempatan dalam bab tersendiri tersebut
didasarkan pada karakteristik khusus, yaitu:
a. dampak vilrtimisasinya (Korbannya) besar;
b. sering bersifat transnasional terorganisasi
(Tfansnational Oryanizcd Cimel;
c. pengaturan acara pidananya bersifat khusus;
d. sering menyimpang dari asas umum hukum pidana
materiel;
e. adanya lembaga pendukung penegakan hukum
yang bersifat dan memiliki kewenangan khusus
(misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan
Narkotika Nasional, dan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia);
f. didukung oleh berbagai konvensi internasional,
baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum
diratifftasi; dan
g. merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat
(super mala per se) dan tercela dan sangat dikutuk
oleh masyarakat (strong people ardemnation).
TINDAK PIDANA KHUSUS
36. Pasai 624
Undang-Undang ini mulai
berlaku setelah 3 (tiga) tahun
terhitung sejak tanggal
diundangkan..
36
PERATURAN
PELAKSANA DAN
KEBERLAKUAN
Pasal 621
Peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini
diundangkan.