Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Kembali pada role model
1. Dalam kolom kredensial Kompas edisi minggu (05/04/2014), Trias Kuncahyono mengangkat
tulisan berjudul “Anak-anak Abraham”. Hal menarik dari pembahasannya adalah bagaimana
sebuah konflik sektarian selalu dikaitkan dengan agama. Sebut saja genderang perang yang
tengah ditabuh NIIS. Tanpa menggali informasi rinci, kita akan menduga bahwa NIIS berperang
atas nama agama apalagi jika dikaitkan dengan nama yang dipakai kelompok ini. Negara Islam
Irak Suriah atau lebih kondang dengan istilah Islamic State of Iraq and Syuria (ISIS). Kita akan
dengan mudah menganggapnya sebagai gerakan perjuangan Islam. Menurut Lies Marcoes,
anggapan bahwa ISIS sebagai gerakan jihad jugalah yang membuat warga muda Indonesia tiba-
tiba nekat terbang bergabung dengan ISIS. Tapi, benarkah ISIS dan konflik Timur Tengah lainnya
adalah konflik yang pecah karena egoism kayakinan.
Trias Kuncahyono mengutip pernyataan Haryatnoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan bahwa
agama sering tampil dalam dua sisi mata uang yang bertentangan. Di satu sisi agama
diposisikan sebagi tempat orang mencari kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang
kukuh. Di sisi lain, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan seperti ketika kita
melihat konflik di Timur Tengah sebagai konflik agama, seperti kita melihat konflik antara Israel
dan Palestina sebagai konflik agama.
Untuk mengetahuinya, kita harus kembali napak tilas perjalanan agama. Tidak perlu merunut
jauh sampai Ibrahim --bapak yang di tangan keturunannya agama samawi lahir ke bumi--, kita
cukup kembali pada role model kita, Nabi Muhammad. Jika kita mendefinisikan agama dalam
sudut keras, saya rasa itu akan bertentangan dengan keteladanan yang dicerminkan
Muhammad. Siapa yang tidak ingat kisah Muhammad dilempari kotoran dan duri oleh
seseorang yang tidak menyukai kiprah Muhammad dalam menyebarkan Islam. Kisah itu
menyimpan keteladanan maha bijak yang wajib kita contoh. Dalam kisah itu, Muhammad tidak
sekalipun membalas perbuatan si pelempar selain dengan menjenguknya kala si pelempar jatuh
sakit. Kisah sederhana ini menceritakan pada kita bahwa di tangan Muhammad, agama Islam
lahir sebagai kedamaian, kasih sayang, dan cinta. Fakta ini jauh berbeda dengan fenoma agama
hari ini yang ditampilkan penganutnya dalam wajah pembuat onar, penebar kebencian, dan
eksklusifitas yang anti kelompok luar.
2. Mungkin kita perlu ingat seuntai ayat yang selalu menjadi pembuka segala sesuatu yang hendak
dilakukan seorang muslim. Bismillahirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Dalam ayat tersebut, tuhan kaum Muslim, menginginkan Diri-
Nya dikenal sebagai rahmat dan rahim, pengasih juga penyayang. Lalu kenapa kita masih
menampilkan diri kita sebagai pemeluk yang keras dalam memperjuangkan keyakinannya?
Mungkin, seperti kata Trias, “demikianlah wajah anak-anak Abraham di zaman kini”.