1. 1. Latar Belakang
Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa merupakan suatu sistem lambang
bunyi yang bersifat arbitrer (Chaer 2). Maksudnya, tidak ada hubungan jelas antara
acuan dan hal yang diacu. Kondisi ketidakjelasan tersebut membuat semantik tidak
terlalu diminati keberadaannya. Hal itu terjadi karena struktur dalam cabang dari
linguistik ini tidak terlalu jelas. Ditambah lagi, makna, sebagai objek studi dari
semantik, tidak memiliki pakem yang kuat. Namun, pada tahun 1960-an, studi
tentang semantik mulai berkembang. Semantik tidak dapat terpisah dari linguistik.
Hal ini terjadi karena orang mulai menyadari esensi dari kegiatan berbahasa yakni
mengekspreksikan lambang-lambang bahasa untuk menyampaikan makna-makna
yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, pengetahuan akan hubungan antara
lambang dan satuan bahasa diperlukan dalam komunikasi. (Chaer 2).
Semantik adalah bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-
tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Sebagai tanda linguistik, makna
menjadi konsep dasar dari studi semantik (Chaer 2). Dalam membangun konsep
makna, terdapat tiga hal penting yakni, bentuk (symbol), konsep (reference), dan
acuan (referent) (Ullmann 15).
Metafora adalah ungkapan kebahasaan untuk menyatakan suatu nama dengan
nama yang lain (Keraf 6).. Kemudian, Metafora sendiri memiliki kemampuan untuk
mencapai efek komunikatif di luar bahasa terlihat dalam proses komunikasi, kerap
terjadi pengalihan informasi. Pengalihan ini kemudian yang menyebabkan terjadinya
„penyimpangan‟. Penyimpangan inilah yang merupakan bentuk dari metafora (Leech
20).
Kemunculan metafora dalam artikel-artikel media cetak dapat menambah
variasi dalam satu tulisan (Nurudin 77). Khusus untuk artikel olahraga, keberadaan
metafora pada artikel sepak bola menunjukkan kekayaan kosakata di dalamnya meski
1
2. metafora masih dipandang sebelah mata. Hal ini dapat dimengerti melihat
perkembangan dan penginventarisasi kosakata bidang olahraga tidak secepat bidang
lain (Yuwono 2). Meski demikian, sepak bola, yang pada masa-masa sebelumnya
dianggap hanya sebagai sebuah olahraga, kini telah merambah ranah industri seperti
mode, iklan, bahkan sampai layar lebar (Boyle 13). Ia menambahkan, peran media
sebagai penyambung informasi dari lapangan hijau ke masyarakat turut
mempermudah pemerolehan informasi (Boyle 14).
Dalam realita sosial, masyarakat sekarang cenderung melihat berita dari hal
yang umum ke hal yang spesifik. Dengan membaca teras berita, mereka sudah dapat
mendapatkan informasi umum dari satu artikel. Melalui pemaparan teras berita yang
singkat dan informatif, masyarakat mendapatkan informasi secara padat dan menarik
(Nurudin 78). Hal itu tidak lepas dari peran teras berita sebagai komponen untuk
menghidupkan tulisan. Teras berita adalah awal dari keseluruhan berita yang akan
disampaikan. Melalui ini, penulis dapat menyampaikan gagasan tentang apa yang
akan ia sampaikan dalam tulisannya (Santana 87).
Maxime Lambert dalam “OM-PSG : Une Rivalité plus mediatique que
sportive”di http://www.chronofoot.com/clasico/om-psg-une-rivalite-plus-mediatique-
que-sportive_art21916.html pada 24 November 2011, menjelaskan bahwa Paris
Saint-Germain dan Olympique de Marseille merupakan dua klub rival di Prancis.
Meski demikian, kedua klub sebenarnya tidak berada dalam satu wilayah dan tidak
juga memiliki histori perburuan liga. Bahkan, pada saat PSG baru didirikan pada
1970, OM sudah lebih dahulu merasakan 5 gelar liga. Sejarah rivalitas mereka
sebenarnya baru dimulai ketika dominasi Racing, rival PSG runtuh. Kepindahan 5
pemain kunci mereka ke PSG turut menjadi faktor merosotnya klub yang bermarkas
di Paris tersebut. Semenjak saat itu, OM menjadi rival utama PSG. Lambert
mengemukakan, pertemuan kedua kesebelasan penuh dengan intrik dan kontroversi.
Pada 17 Desember 1992, lawatan OM ke Parc des Princes menghasilkan 5 kartu
kuning. Tekel keras dan tensi pertarungan dua kesebelasan di lapangan hijau.
Kemudian, pada pekan ke-28 Ligue 1 musim 2011/12, pertandingan PSG-OM
2
3. disaksikan sampai 2,6 juta penonton di layar kaca.Menjelang musim 2012/2013
bergulir, majalah Prancis, France Football, tak luput menyajikan informasi terkini
dari dua klub raksasa diatas.
France Football adalah majalah dwi-mingguan Prancis yang memuat berita
mengenai sepak bola internasional (Mishra 113). Setiap tahun, France Football
memilih pemain terbaik Prancis. Sampai tahun 1995, hanya pesepak bola Prancis
yang berlaga di kompetisi sendiri yang berhak atas gelar tersebut. Namun, sejak 1996,
pesepak bola Prancis yang bermain di luar negeri dapat memperoleh gelar tersebut.
Sumbangsih France Football dalam dunia sepak bola internasional adalah anugerah
pemain terbaik dunia Ballon d’or (Mishra 114). France Football dikenal di dunia
jurnalisme sepak bola dunia melalui sajian berita yang aktual, liputan foto yang
menarik, serta sajian statistik akurat yang merangkum kompetisi sepak bola
internasional (Mishra 113). Berangkat dari kondisi tersebut, penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut tentang jenis metafora yang mendominasi pada teras berita
artikel sepakbola majalah Prancis France Football.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, masalah yang dikemukakan dalam
penelitian ini adalah jenis metafora apa yang dominan dalam teras berita artikel sepak
bola majalah Prancis France Football.
3. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memaparkan jenis metafora yang dominan dalam teras berita artikel sepak bola
majalah Prancis France Football.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada metafora yang terdapat dalam teras
berita artikel olahraga bahasa Prancis.
3
4. 5. Metodologi Penelitian
5.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Menurut Creswell, metode kualitatif merupakan metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna (4). Kemudian, Bogdan dan Taylor dalam
Moleong, menyebutkan bahwa metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati (2). Karena penelitian ini akan mengeksplorasi unsur
bahasa metaforis dan mendeskripsikannya, maka penerapan metode kualitatif tepat
digunakan dalam penelitian ini.
5.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel sepak bola
mengenai Paris Saint-Germain dan Olympique de Marseille dalam majalah France
Football No 3460 année 67, Mardi 31 Juillet 2012, No 3461 année 67, Mardi 7 Août
2012, No 3465 année 67, Mardi 4 Septembre 2012 dan No 3470 année 67, Mardi 9
Octobre 2012. Isu kepindahan pemain, persiapan klub menjelang bergulirnya musim
baru serta ulasan pertemuan kedua kesebelasan menjadi topik dalam artikel-artikel
pada beberapa edisi di atas yang akan diteliti.
5.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan
dengan mengidentifikasi data yang berupa unsur-unsur bahasa metaforis dalam teras
berita majalah France Football. Seperti contoh teras berita : Le PSG est déjà
champion. Ses stars, son effectif luxueux et l’affaiblissement….. .Pada teras berita
tersebut, luxueux merupakan metafora karena mengalami pergeseran makna. Lebih
4
5. lanjut, luxueux berarti „kemewahan‟ yang memiliki komponen makna : mahal,
mewah dan mentereng. Kemudian, salah satu komponen luxueux yaitu „mentereng‟,
dialihkan ke „sesuatu yang hebat dan menimbulkan rasa kagum‟ karena jurnalis
menilai permainan PSG yang efektif menimbulkan rasa kagum bagi penonton yang
menyaksikan pertandingan mereka.
Makna Makna‟
Mentereng Sesuatu yang hebat dan menimbulkan rasa kagum
Simbol Acuan 1 Acuan 2
Mewah PSG
Berdasarkan penjelasan singkat diatas, terlihat bahwa luxueux terbukti telah
mengalami pergeseran makna. Oleh karena itu, luxueux adalah data yang berupa
unsur bahasa metaforis.
5.4 Teknik Analisis Data
Unsur bahasa metaforis akan dibedah secara detail. Pada tahap awal, akan
dilihat komponen makna dari unsur bahasa tersebut. Setelah itu, unsur-unsur tersebut
dilihat pergeseran maknanya melalui konsep segitiga semantik Ogden-Richards yang
terdiri dari bentuk, acuan, dan simbol. Konsep segitiga ini akan menunjukkan
pergesaran makna yang terjadi. Kemudian, tiap-tiap unsur bahasa yang sudah dibedah
akan digolongkan kedalam 4 jenis metafora menurut Stephen Ullmann yaitu,
metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora dari abstrak ke konkret, dan
metafora sinestesia (Ullmann 214-216). Dari unsur-unsur metaforis yang sudah
diklasifikasikan, akan didapatkan jenis metafora yang dominan dalam teras berita
artikel sepak bola majalah France Football.
5
6. 6. Tinjauan Pustaka
6.1 Semantik dan Makna
Menurut Chaer dalam Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (2009), kata
semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema yang berarti
„tanda‟ atau „lambang‟. Tanda atau lambang sebagai padanan kata sema yang
dimaksud adalah tanda linguistik. Tanda linguistik ini terdiri atas dua bagian, yaitu
komponen yang mengartikan dan komponen yang diartikan atau makna dari
komponen pertama. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang, sedangkan
yang ditandai atau dilambangnya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang
lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk (2).
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk
bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan
hal-hal yang ditandainya. Dengan demikian, kata semantik dapat diartikan sebagai
ilmu tentang makna atau arti. Cakupan semantik meliputi makna atau arti yang
berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (2-3). Sebuah kata atau
leksem mengandung makna atau konsep. Makna atau konsep bersifat umum,
sedangkan sesuatu yang dirujuk atau yang berada di luar bahasa bersifat tertentu. (31-
32). Untuk jenis makna, Chaer mengungkapkan hal yang sama dengan Leech dalam
Pengantar Semantik (2003) yang membagi makna ke dalam tujuh tipe makna, yaitu
makna konseptual, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna reflekstif,
makna kolokatif, dan makna tematik. Namun, Chaer mengelompokkan makna
konotatif, stilistika, afektif, reflektif, dan kolokatif masuk dalam kelompok yang lebih
besar, yaitu makna asosiatif (59).
Leech tidak mendefinisikan semantik secara khusus. Ia langsung berfokus
pada makna yang menurutnya dapat dipelajari sebagai satu fenomena linguistik yang
berada dalam tatarannya sendiri dan bukan di „luar bahasa‟. Kita dapat mengetahui
suatu bahasa dengan melihat hubungan dalam makna antara kalimat satu dengan
lainnya (18). Leech sendiri memilah makna dalam pengertian yang luas ke dalam
6
7. tujuh tipe yang berbeda (19). Pertama-tama, ia menekankan pada makna logis atau
makna konseptual, yakni makna yang telah dibicarakan sebelumnya dalam
hubungannya dengan „kompetensi semantik‟. Makna ini sering disebut makna
denotatif atau kognitif. Enam tipe makna lain antara lain: makna konotatif, makna
stilistik dan afektif, makna refleksi dan kolokatif, makna asosiatif, dan makna
tematik.(19). Kemudian, Leech mendefinisikan makna dalam pengertian luas, yakni
mengaitkannya dengan efek komunikatif dan komunikasi yang berarti mengalihkan
informasi dari sumber (A) kepada sasaran (B). Lebih jauh, Leech berasumsi bahwa
nantinya akan ada sanggahan bila komunikasi hanya dapat terjadi jika kita
mengetahui apa yang ada di pikiran (A) dan dikutip ke dalam pikiran (B). (35).
Secara lebih mendalam, Ullmann dalam Semantics: An Introductions to The
Science of Meaning (1977), melengkapi penjelasan dari Leech dan Chaer melalui
segitiga semantik Ogden-Richards :
(b) Thought or Reference
(a) Symbol (c) Referent
Untuk sudut (a), Ogden dan Richards menggunakan istilah symbol, untuk
sudut (b) digunakan istilah thought atau reference, dan untuk sudut (c) digunakan
istilah referent. Hubungannya adalah symbol melambangkan thought atau reference
itu; sedangkan thought atau reference merujuk pada referent (15). Ullmann
berpendapat bahwa makna merupakan hal yang paling ambigu dan kontroversial
dalam ranah linguistik (14). Ia mengemukakan bahwa model segitiga Ogden-
Richards memberikan cara bagaimana sebuah kata-kata dilafalkan, namun
mengabaikan kondisi dari pengujar. Untuk penerima, sekuen dari komunikasi akan
terlihat seperti model segitiga di atas. Penerima akan mendengarkan, lalu kemudian
melafalkan sebuah kata misalnya „pintu‟. Untuk pengujar, sekuen yang terjadi justru
sebaliknya. Ia hanya memikirkan kata „pintu‟ dan kemudian langsung melafalkannya.
Penjelasan itu menunjukkan hubungan saling berbalas antara kata dan makna. Jika
7
8. salah satu mendengar kata-kata, dia akan memikirkan acuannya, dan jika yang lain
memikirkan acuannya, maka ia kemudian akan melafalkannya. Inilah yang
dinamakan dengan makna kata. (17)
Berdasarkan uraian di atas, ketiga ahli sama-sama mengungkapkan makna
melalui segitiga Ogden-Richards. Namun, Chaer dan Leech tidak menjelaskan
mengenai konsep tersebut. Keduanya mengelompokkan makna ke dalam tujuh tipe
makna. Penjelasan mengenai makna dan segitiga Ogden-Richards dikemukakan
secara lengkap dan mendalam oleh Ulmann.
6.2 Metafora
Aristoteles (384-322 SM) melalui buku Gorys Keraf yang berjudul Diksi dan
Gaya Bahasa (1995) menyatakan bahwa metafora adalah ungkapan kebahasaan untuk
menyatakan suatu nama dengan nama yang lain (6). Lebih lanjut, Keraf
menyebutkan bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat. Contohnya budaya bangsa, buaya darat,
buah hati dan cinderamata (139). Metafora didefinisikan sebagai perbandingan
langsung yang tidak mempergunakan kata seperti, bak, dan bagaikan sehingga pokok
pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadi sebenarnya sama
dengan simile tapi secara berangsur keterangan mengenai persamaan dan pokok
pertama dihilangkan (140).
Keraf memaparkan, metafora tidak hanya menduduki fungsi predikat tetapi
dapat juga menduduki fungsi lain, seperti objek, subjek dan sebagainya. Sementara,
bagi simile, konteks merupakan hal yang sangat penting karena akan membantu
makna dari persamaannya. Dengan demikian, metafora dapat berdiri sendiri sebagai
kata dan maknanya dibatasi oleh sebuah konteks (141).
Apabila Keraf mendefinisikan metafora melalui klasifikasi gaya bahasa, lebih
khusus, Leech menyatakan bahwa metafora termasuk ke dalam salah satu kreativitas
semantik, ke dalam kreativitas ketiga, yakni „fusi atau peleburan konseptual‟ yang
8
9. merupakan pertentangan dari logika. Leech menyebutkan bahwa metafora termasuk
jenis kreativitas ini dan banyak ditemukan dalam syair. Kreativitas semantik sendiri
berasal dari penyembunyian makna konseptual (makna yang logis dan mengandung
arti sebenarnya) dari bahasa itu sendiri (61-62).
Berbeda dengan Leech, Chaer dalam Pengantar Semantik Bahasa Indonesia
(2009), mengklasifikasikan metafora sebagai bagian dari makna idiomatikal. Makna
idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang
“menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur
pembentuknya. Istilah idiom, ungkapan, dan metafora mencakup objek pembicaraan
yang kurang lebih sama, hanya segi pandangnya yang berlainan (75). Idiom dilihat
dari segi makna, yaitu “menyimpangnya” makna idiom itu dari makna leksikal dan
makna gramatikal unsur pembentuknya. Ungkapan dilihat dari segi ekspresi
kebahasaan, yaitu dalam usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan
emosinya dalam bentuk satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan paling
kena. Sedangkan metafora dilihat dari segi digunakannya sesuatu untuk
memperbandingkan yang lain dengan yang lainnya. Dalam buku ini, Chaer
memberikan contoh matahari yang dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja
siang. (75-76).
Berbicara mengenai metafora, Ullmann berpendapat bahwa struktur dasar
metafora sangat sederhana. Pada metafora selalu terdapat dua hal, yaitu sesuatu yang
kita bicarakan dan sesuatu yang kita bandingkan (213). Secara lebih spesifik,
Ullmann membagi metafora ke dalam 4 jenis, yaitu metafora antropomorfis, metafora
binatang, metafora dari abstrak ke konkret, dan metafora sinestesia (214-216).
Penjelasan mengenai metafora dari 3 ahli di atas bervariasi. Hal itu terlihat
dari pendefinisian metafora yang berbeda dari masing-masing ahli. Namun, terdapat
persamaan antara ketiga ahli tersebut yang mendeskripsikan metafora sebagai bentuk
perbandingan antara satu hal dan hal lain.
9
10. 6.3 Teras Berita
Nurudin dalam Jurnalisme masa kini (2009), mengungkapkan bahwa setiap
bentuk wacana tulisan di media massa selalu memiliki format. Format penulisan fakta
dalam pers dapat merupakan berita langsung (straight news), dengan model
penulisan yang disebut piramida terbalik, yakni dengan menempatkan bagian
informasi yang paling penting, disusul kemudian dengan bagian yang kurang penting
atau pendukung (78). Ditambahkan pula, unsur-unsurnya antara lain judul, teras
berita, tubuh dan penutup. Dalam format ini, teras berita menjadi favorit pembaca
untuk mendapatkan informasi mengenai tulisan yang dimuat. Keterbatasan halaman
pada beberapa koran sementara bahan berita yang siap dimuat lebih banyak daripada
ruang yang tersedia turut menjadi alasan pentingnya teras berita.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari E.Rolnicki dalam Pengantar
Dasar Jurnalisme (2008), mengungkapkan bahwa dewasa ini, kesulitan universal
dialami oleh semua media massa. Banyaknya pilihan, kekurangan waktu membuat
media cetak berada dalam persaingan sengit dengan media elektronik dan penyiaran.
Untuk tetap mendapatkan tempat di masyarakat, media cetak harus mengemas isi
beritanya menarik secara visual. Berita harus dimulai dengan sesuatu yang menarik
perhatian pembaca. Dalam kerangka penulisan artikel, sebuah berita utama, yang
dilengkapi dengan foto atau gambar untuk menarik minat, tetapi, kata-kata harus
dipilih dengan cermat. Kumpulan kata-kata ini yang dinamakan dengan teras berita
atau lead. Banyak penulis berita kawakan menganggap teras berita sebagai elemen
terpenting dalam berita (37).
Kemudian, Rolnicki menyinggung tentang penulisan berita olahraga. Dalam
penulisannya, fokus menjadi hal yang fundamental dalam menghasilkan tulisan yang
baik. Terkadang, fokus dalam penulisan datang tidak menentu dari penulis atau juga
dari editor (116). Setelah mendapatkan fokus penulisan, wartawan biasanya harus
siap untuk menyiapkan teras berita. Teras berita adalah awal dari keseluruhan berita
10
11. yang akan disampaikan. Melalui ini, penulis menyampaikan gagasan tentang apa
yang akan ia sampaikan dalam tulisannya (116).
Mendukung kedua pernyataan mengenai teras berita, Santana dalam
Jurnalisme Kontemporer (2005), memaparkan bahwa kesesuaian dengan kebutuhan
redaksi seperti menghitung keingintahuan, minat, dan keinginan aktual masyarakat
berperan besar dalam penulisan artikel. Artikel harus terkait dengan tema
pembicaraan publik. Untuk itu, artikel harus dikemas dan uraiannya perlu diatur (54).
Setelah memilih topik dan menyusun bahan yang telah dikumpulkan, semuanya harus
dikuatkan dan dijadikan teras berita yang berisi dan kuat sehingga pembaca merasa
tertarik dan tidak jenuh terhadap berita yang ditulis.
Santana menambahkan, jika ingin berita yang dimuat dibaca, tulislah kata-
kata awal yang bagus dan amat menarik. Penyajian fakta diurutkan dari hal yang
terpenting sampai yang tidak penting (54). Meski, Rolnicki berpendapat bahwa
piramida terbalik tidak selalu menjadi pilihan karena pada akhirnya, mayoritas berita
memprioritaskan fakta terbaru daripada informasi lain yang kurang baru dan penting
(112).
Dari uraian mengenai teras berita yang dipaparkan oleh ketiga ahli di atas,
terlihat bahwa mereka memiliki pandangan yang sama pada eksistensi dan fungsi
teras berita dalam konstruksi sebuah artikel.
7. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai metafora bukan merupakan hal yang baru. Tercatat
beberapa peneliti membahas salah satu cabang dari semantik ini. Salah satunya
adalah “Metafora dalam Komik” oleh Fanny Fajarianti dari Program Studi Prancis
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan diujikan pada tahun 2008. Fajarianti meneliti
metafora apa saja yang berada dalam komik-komik Prancis. Penelitian ini
menggunakan korpus berupa 12 judul komik dari berbagai jenis seperti aventure
humoristique (petualangan lucu), western, dan humour (humor). Penelitian ini
11
12. difokuskan pada jenis-jenis metafora yang terdapat dalam komik. Fajarianti
menggunakan teori Ullmann untuk melakukan analisis metafora terhadap korpusnya.
Dari analisis terhadap ke-12 komik, ditemukan metafora sebanyak 41 buah, dengan
metafora konkret ke abstrak sebagai jenis metafora yang dominan (40%). Kemudian,
metafora binatang (31%) dan metafora antropomorfis (5%). Sementara, sebanyak 24
% metafora tidak dapat diklasifikasikan.
Kemudian, penelitian metafora lain adalah penelitian yang dilakukan oleh
Primi Rizkika dari Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia dan dujikan pada tahun 2000. Penelitian tersebut membahas
unsur metafora yang terdapat dalam 25 puisi Izumi Shikibu dari 3 buah antologi
kekaisaran : Shuishu, Goshuishu, dan Shinkokinshu. Rizkika menekankan
penelitiannya pada unsur metafora yang banyak menampilkan kemampuan gaya
bahasa, permainan kata dan ketajaman intusinya terhadap alam. Dalam meneliti
korpusnya, Rizkika menggunakan teori metafora dari C. Bally. Bally membagi
metafora ke dalam 3 kelompok di antaranya; metafora puitis, ritual dan linguistik.
Penelitian ini menitikberatkan pada kajian metafora puitis karena hal itu berkaitan
erat dengan korpus yang digunakan.
Kemudian, untuk penelitian metafora mengenai sepak bola, khususnya dengan
korpus artikel majalah sepak bola ditemukan pada skripsi Prisa Rarasati dari Program
Studi Jerman tahun 2006 dengan judul “Metafora dalam Artikel Majalah Sepak Bola
Online “Kicker”. Rarasati meneliti metafora dan ranah asal nama posisi pemain sepak
bola dan tim kesebelasan dalam artikel online Kicker dari aspek semantik dan
sintaksis. Korpus dari penelitian ini adalah 10 artikel sepak bola yang membahas
tentang ulasan pertandingan persahabatan yang diadakan oleh skuat Jerman dalam
rangka persiapan Piala Dunia 2006. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
metafora apa saja yang digunakan untuk mendeskripsikan pemain sepak bola dan tim
kesebelasan serta jenis metafora tersebut dari teori Ingendahl. Penelitian ini juga
bertujuan mengetahui ranah yang digunakan dalam memetaforakan pemain sepak
bola dan tim kesebelasan di dalam data yang diteliti. Dari hasil penelitian, ditemukan
12
13. 15 metafora yang merupakan metafora nomina bebas dan 13 metafora nomina
atributif. Kemudian, didapatkan 25 jenis metafora yang berasal dari ranah perang.
Sementara, penelitian metafora mengenai sepak bola berikutnya adalah
penelitian dengan judul “Metafora seputar Liga Dunhill” yang dilakukan oleh Dwi
Agus Ernita Program Studi Indonesia Fakultas Sastra dan diujikan pada tahun 1997.
Berbeda dengan Rarasati, Ernita menggunakan data siaran langsung sepak bola di
radio sebagai korpus penelitian. Pengambilan korpus ini karena siaran langsung di
radio kerap melontarkan kata biasa secara spontan. Menurut Ernita, hal itu
menimbulkan variasi dari metafora. Ernita mengombinasikan pendapat dari Spradley
dan Lakoff untuk menentukan bentuk dan ranah dari metafora yang terdapat pada
data siaran langsung di radio yang membahas liga Dunhill. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan metafora di bidang sepak bola dan mencari ranah apa saja yang
digunakan dalam bidang olahraga tersebut.
Setelah melihat beberapa penelitian mengenai metafora yang dijelaskan
sebelumnya, penelitian yang khusus meneliti teras berita, pernah dilakukan oleh
Fatwa Rosma dari Fakultas Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Komputer Indonesia dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Isi Teras Berita
Kriminal di Harian Umum Galamedia ditinjau dari fungsinya”. Penelitian ini
memfokuskan pada pembedahan 22 teras berita kriminal dalam Harian Umum
Galamedia yang diambil dari edisi 1 Maret 2010 hingga 31 Maret 2010 sebagai
korpus penelitian. Dalam penelitian ini, Rosma mengupas isi teras berita kriminal di
Harian Umum Galamedia ditinjau dari fungsinya. Dari penelitian tersebut, ditemukan
bahwa pada teras berita di Harian Umum Galamedia selama bulan Maret 2010,
menunjukan kategori atraktif dengan sub kategori menarik minat membaca sebanyak
12 teras berita dengan persentase 54.55 %, dan untuk sub kategori menarik perhatian
sebanyak 10 teras berita dengan persentase 45.45 %. Untuk kategori introduktif
dengan sub kategori menggunakan kalimat jelas dan tegas sebanyak 9 teras berita
dengan persentase 40.91 % dan untuk sub kategori memenuhi unsur 5W+1H
sebanyak 13 teras berita dengan persentase 59.09 %. Kategori korelatif dengan sub
13
14. kategori keterkaitan teras berita dengan bagian perangkai atau kata sambung
sebanyak 5 teras berita dengan persentase 22.72 % dan untuk sub kategori keterkaitan
teras berita dengan isi berita sebanyak 17 teras berita dengan persentase 77.28 %. Dan
untuk kategori kredibilitas dengan sub kategori keahlian wartawan dalam pembuatan
teras berita, sebanyak 18 teras berita dengan persentase 81.82 % dan untuk sub
kategori pengalaman wartawan sebanyak 4 teras berita dengan persentase 18.18 %.
8. Kemaknawian Penelitian
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya,
penelitian mengenai metafora bukan merupakan hal yang baru. Hal itu terlihat dari
beberapa penelitian terdahulu yang dipaparkan di atas. Analisis mengenai metafora
dalam berbagai jenis bidang serta variasi sudut pandang sudah banyak dilakukan.
Penelitian metafora dalam ranah jurnalistik ini diharapkan dapat membuka jalan bagi
penelitian sejenis di masa mendatang. Terlebih, penelitian metafora pada konstruksi
dalam hal ini teras berita belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini
perlu dilakukan.
9. Jadwal Penelitian
Bulan
No Kegiatan Bulan 1 Bulan II Bulan III Bulan IV
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengumpulan Data
2 Analisis Data
3 Penulisan Penelitian
4 Pembacaan Penelitian
5 Revisi
14
15. DAFTAR PUSTAKA
Boyle, Raymond dan Richard Haynes. Sport Journalism. London: Sage
Publication, 2006.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Creswell, John W. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Metode Campuran. (Terj. dari Research Design: Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Wafaid, Ahmad).
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2010.
Ernita, Dwi Agus. Metafora seputar Liga Dunhill. Sastra Indonesia. Fakultas
Sastra. Universitas Indonesia, Skripsi, 1997.
Fajarianti, Fanny. Metafora dalam Komik. Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya. Universitas Indonesia, Skripsi, 2008.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995
Lambert, Maxime. Une Rivalité plus mediatique que sportive.
<<http://www.chronofoot.com/clasico/om-psg-une-rivalite-plus-mediatique-
que-sportive_art21916.html>> 24 November 2011, diunduh pada 19
Desember 2012 pukul 23:55 WIB
Leech, Geoffrey. Semantik. (Terj. dari Semantics, Paina Partana) Jakarta:
Pustaka Pengajar, 2003.
Mishra, Kumar Prasidh. Sports Journalism. New Delhi : Sports Publication,
2010.
Moleong, Lexy J. Metode penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2004.
Nurudin. Jurnalisme masa kini.Jakarta: Rajawali Press, 2009.
15
16. Rarasati, Prisa. Metafora dalam Artikel majalah sepak bola online “Kicker”.
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia, Skripsi,
2006.
Rizkika, Primi. Metafora dalam puisi-puisi Izumi Shikibu.Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia, Skripsi,
2004.
Rolnicki, E. Tom. Pengantar Dasar Jurnalisme (Terj. dari Scholastic
Journalism, Tri Wibowo) Jakarta: Kencana, 2008.
Rosma, Fatwa. Analisis Isi Teras Berita Kriminal di Harian Umum
Galamedia Ditinjau dari Fungsinya. Jakarta: Unikom. 2010
diunduh pada 22 November 2012 pukul 20:00 WIB
Santana, Santana. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
Ullmann, Stephen. Semantics An Introduction to the Science of Meaning.
Great Britain : Oxford Basil Blackwell, 1977.
Yuwono, Untung. 2009. “Dari Keperawanan, Partai Away, ke Scudetto:
Perkembangan Kosakata Bahasa Indonesia Laras Olahraga”
Terakhir Diperbaharui Senin, 16 Maret 2009 02:52 diakses pada
Senin 17 September 2012.
16