SlideShare a Scribd company logo
1 of 30
Download to read offline
Ekaristi sebagai Sakramen Cinta Kasih
Sakramen berasal dari kata ‘mysterion - mysterion’ (Yunani), yang dijabarkan dengan
kata‘mysterium’ dan ‘sacramentum’ (Latin). Kata Latin Sacrare berarti menyucikan, menguduskan
atau mengkhususkan sesuatu atau sesorang bagi bidang yang suci atau kudus. Kata
Sacramentum dipakai untuk menjelaskan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak
kelihatan yang disebut sebagai ‘mysterium‘. Ada pun dalam masyarakat Romawi kuno,
sacramentum juga digunakan menurut dua pengertian yang konkret tetapi religius juga. Pertama,
kata sacramentum menunjuk sumpah prajurit yang digunakan untuk menyatakan kesediaan diri
seseorang untuk mengabdikan diri bagi dewa dan negara. Kedua, kata sacramentum menunjuk pada
uang jaminan atau denda yang ditaruh dalam suatu kuil dewa oleh orang-orang atau pihak-pihak
yang berperkara dalam pengadilan. Pihak yang menang berhak mngambil kembali uangnya,
sementara pihak yang kalah harus merelakan uang jaminan itu untuk persembahan bagi dewa dan
Negara.
Kata “sakramen (sacramentum [Lat.])” ditemukan dalam teks Kitab Suci berbahasa Latin (versi
Africa) untuk menerjemahkan kata “misteri (mysterion [Yun.]) yang terdapat dalam teks asli KS
berbahasa Yunani. Misteri memiliki arti harafiah “yang tersembunyi” (lih. Tobit 12:7), namun santo
Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (1:9), di Kolose (1:26 dst.) dan di Roma (16:25),
memberikan arti yang berbeda: pengungkapan dan realisasi rencana keselamatan Allah dalam
ekonomi keselamatan melalui diri Yesus Kristus. Dalam literatur paulinum, kata ‘misteri’ agaknya
di-sinonim-kan dengan kata ‘pengungkapan/pewahyuan’ (apokalupsis). Secara lebih luas, rasul
Paulus menyatakan bahwa subjek rencana keselamatan Allah adalah Kristus, Gereja, dan totalitas
hidup manusia.1
Dalam perjalanan waktu, sejak abad IV, kata “misteri” lebih akan menunjuk pada
ritus-kultus kristiani.
Dalam Ekaristi adalah sumber dan puncak Hidup kristiani. Pertumbuhan hidup kristiani bergerak ke
arah persatuan yang semakin erat dengan Kristus akan mencapai puncaknya
pada Ekaristi yang adalah Kristus sendiri. Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya,
agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan-Nya dan menjadi satu Tubuh.
Ekaristi merupakan Perjanjian Baru dan Kekal yang menjadi dasar pembentukan Umat pilihan yang
baru, yaitu Gereja. Dengan menerima Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan melalui Dia,
kepada Allah Tritunggal, sebab Ekaristi adalah kenangan kurban Yesus dalam ucapan syukur kepada
Allah Bapa, oleh kuasa Roh Kudus. Dalam Ekaristi, Tuhan tidak hanya hadir, tetapi ‘tinggal’ di dalam
kita sehingga kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi, kehidupan yang memberikan kita
kekuatan untuk mencapai kesempurnaan kasih, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama.
I. KEDUDUKAN EKARISTI DALAM GEREJA SECARA UMUM
Dalam sejarah Gereja Ekaristi sudah dirayakan oleh jemaat sejak Gereja Perdana, sebagaimana
dikisahkan dalam Kisah Para Rasul: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam
persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Ekaristi
disebut dengan istilah “memecahkan roti”. Ekaristi dipahami sebagai pemecahan roti (fractio
panis). Apa yang dilakukan oleh Gereja Perdana melaksanakan amanat Yesus dalam Perjamuan
Malam Terakhir sebagaimana ditulis oleh para pengarang Injil dan oleh rasul Paulus dalam suratnya
kepada jemaat di Korintus: “… perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” (1 Kor 11:24). Ekaristi
adalah warisan paling agung yang diberikan oleh Yesus kepada para murid-Nya, kepada Gereja.
1
H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota 1992.44.
➔ Identitas Gereja Kristus adalah Ekaristi. Maka Gereja-Gereja yang memisahkan diri dari
Gereja Katolik dengan meniadakan Ekaristi sesungguhnya kehilangan hal yang paling hakiki
untuk mengenang dan menghadirkan Yesus sebagaimana dikehendaki-Nya: memakan Tubuh-
Nya dan minum Darah-Nya.
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK kan. 897) dikatakan, “Sakramen yang terluhur ialah Ekaristi
mahakudus, di dalamnya Kristus Tuhan sendiri dihadirkan, dikurbankan dan disantap, dan melaluinya
Gereja selalu hidup dan berkembang. Kurban Ekaristi, kenangan wafat dan kebangkitan Tuhan,
dimana Kurban salib diabadikan sepanjang masa, adalah puncak seluruh ibadat dan kehidupan
kristiani dan sumber yang menandakan serta menghasilkan kesatuan umat Allah dan
menyempurnakan pembangunan tubuh Kristus. Sedangkan sakramen-sakramen lain dan semua karya
kerasulan gerejawi melekat erat dengan Ekaristi mahakudus dan diarahkan kepadanya”.
➔ Ekaristi tanda kehadiran Kristus secara nyata, yakni Kristus yang mengorbankan diri untuk
santapan Gereja dan dari sana Gereja memperoleh hidupnya. Ekaristi adalah Paskah Kristus
yang terus-menerus dirayakan sepanjang masa. Ekaristi menjadi satu-satunya nutrisi hidup
Tubuh Kristus (Gereja).
Dalam Sacrosantum Concilium (SC. 10), yaitu, Konstitusi tentang liturgi suci dikatakan
bahwa Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup kristiani. Dikatakan Puncak sebab usaha-usaha
kerasulan Gereja mempunyai tujuan agar semua orang melalui iman dan baptis menjadi putera-putera
Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam korban dan
menyantap perjamuan Tuhan. Dikatakan Sumber karena liturgi, terutama Ekaristi, mengalirkan
rahmat kepada kita dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan
pemuliaan Allah dalam Kristus. Katekimus Gereja Katolik, no. 1324 dikatakan bahwa “Ekaristi
adalah sumber dan puncak seluruh hidup kristiani (LG 11). Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula
semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan
terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni
Kristus sendiri, Paska kita(PO 5)”.
➔ Seluruh hidup Gereja bersumber dan berpuncak pada Ekaristi. Tetapi bukan berarti apa-apa
harus dirayakan dengan Ekaristi. Misal penggalian dana dengan Ekaristi, karena mendapatkan
kolekte. Atau di mana-mana bisa dirayakan Ekaristi dengan alasan-alasan praktis dan
mengesampingkan dimensi eklesialnya. Dalam hal ini berkaitan dengan persekutuan Umat
Allah atau Gereja dalam level parokial, sehingga persekutuan dalam tingkat paroki sulit
terbangun. Akhirnya semakin banyak umat yang tidak memiliki keterikatan secara eklesial
dengan parokinya; apalagi keterikatan secara batin, semakin tidak ada dan bahkan parahnya
lagi banyak yang tidak kenal romonya sendiri. Ekaristi sungguh-sungguh sakramen cintakasih
untuk membangun dan mneghidupkan persekutuan. Kalau tidak hati-hati bisa jatuh pada
pemahaman Ekaristi yang keliru bahkan merendahkan martabat Ekaristi. Karena sangat
mungkin bahwa Ekaristi kemudian menjadi komersil – hanya untuk mengejar materi, demi
mengumpulkan kolekte.
Ecclesia de Eucharistia, 17 April 2003, mengungkapkan bahwa Gereja hidup dari Ekaristi, sebab
Ekaristi adalah sumber tak tergantikan dari suatu nilai abadi yang dibuat Kristus secara keseluruhan
berpuncak pada misteri Paskah-Nya, yaitu sengsara, wafat, kebangkitan. Dalam perayaan Ekatisti
yang terdiri dari dua bagian utama yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Kurban Syukur, kita menimba dua
sumber dari pribadi ilahi yang sama. → Ekaristi sebagi sumber dan puncak hidup Gereja.
Eucharisticum Mysterium, 25 Mei 1967 menjelaskan tentang dampak perayaan Ekaristi pada
kehidupan sehari-hari umat beriman bahwa apa yang diterima umat dengan iman dan secara
sakramental dalam perayaan Ekatisti, harus memberikan dampak nyata dalam tingkah laku mereka.
Dari sebab itu hendaklah mereka berusaha menempuh seluruh hidup mereka dengan gembira dan
penuh rasa syukur ditopang oleh santapan surgawi, sambil turut serta dalam wafat dan kebangkitan
Tuhan. Demikianlah, setiap orang yang mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, haruslah penuh
gairah ingin berbuat baik, menyenangkan Allah dan hidup pantas sambil membaktikan diri kepada
Gereja, mempraktekkan apa yang diajarkan kepadanya, dan bertumbuh dalam kesalehan. Ia pun akan
bersedia menjadi saksi Kristus di dalam segala hal, justru dalam menghadapi persoalan-persoalan
hidup manusia agar dunia diresapi dengan semangat Kristus. Sebab tidak satu jemaat kristen pun
dapat dibangun, terkecuali kalau berakar dan berporos pada perayaan Ekaristi Mahakudus. → Ekaristi
harus membuat orang menjadi berbuah.
Sacramentum Caritatis, no 1 mengungkapkan bahwa Sakramen cinta kasih, Ekaristi kudus, adalah
karunia pemberian diri Yesus Kristus, yang mengungkapkan kepada kita kasih Allah yang tak
terbatas kepada setiap orang… Sakramen yang mengagumkan ini menyatakan kasih yang lebih besar
itu, yakni kasih yang mendorong Dia untuk memberikan nyawaNya bagi sahabat-sahabatNya (Yoh
15:13). Yesus sungguh mengasih mereka sampai pada kesudahannya (Yoh 13:1). Dengan cara yang
sama, dalam Sakramen Ekaristi, Yesus terus mengasihi kita sampai pada kesudahannya, bahkan
menyerahkan Tubuh dan DarahNya kepada kita.
Sacramentum Caritatis, no. 9 mengungkapkan bahwa Yesus sebagai Anak Domba kurban sejati,
kurban perjanjian baru dan kekal yang datang dari Allah, yang tergenapi dalam misteri Paskah. “
Lewat Sakramen Ekaristi, perutusan yang membuat Yesus datang di tengah kita digenapi dalam
Misteri Paskah. Dari salib Ia menarik semua orang kepada diriNya (Yoh 12:32), tepat sebelum Ia
“menyerahkan RohNya” dan pada salib itu Ia mengucapkan kata-kata, “Sudah selesai” (Yoh 19:30).
Dalam misteri ketaatan Kristus sampai mati, bahkan sampai mati di salib (Flp 2:8), diwujudkanlah
perjanjian yang baru dan kekal. Dalam tubuhNya yang tersalib, kebebasan Allah dan kebebasan insani
kita secara definitif berjumpa dalam perjanjian sah yang tat terputuskan dan yang kekal. Dosa
manusia juga dihapuskan sekali untuk selama-lamanya oleh Putera Allah (Ibr 7:27; 1 Yoh 2:2; 4;10).
Yesus adalah Anak Domba paskah sejati yang dengan rela menyerahkan diri untuk dikurbankan bagi
kita dan dengan demikian mewujudkan perjanjian yang baru dan kekal. Ekaristi mengandung
kebaruan radikal, yang diberikan kepada kita dalam setiap perayaan”
Sacramentum Caritatis no. 14 “Lewat Sakramen Ekaristi, Yesus menunjukkan kepada kita ikatan
yang Ia bangun antara Dia dan kita, antara PribadiNya sendiri dengan Gereja. Sungguh dalam kurban
salib, Kristus melahirkan Gereja sebagai Mempelai dan tubuhNya. Gereja menimba hidupnya dari
Ekaristi. Karena Ekaristi menghadirkna kurban Kritus yang menyelamatkan, maka kita harus mulai
memahami bahwa Ekaristi memiliki pengaruh kasual terhadap asal usul keberadaan Gereja sendiri.
Ekaristi adalah Kristus sendiri yang memberikan diriNya sendiri dan terus menerus membangun kita
sebagai tubuhNya”. → Ekaristi melahirkan persekutuan.
Sacramentum Caritatis no. 15 “Ekaristi adalah dasar keberadaan Gereja dan kegiatan Gereja.
Ekaristi adalah kenangan akan Kristus sebagai ungkapan sakramental tertinggi dari persekutuan
dalam Gereja. Kesatuan persekutuan gerejawi secara konkret dinyatakan dalam komunitas-komunitas
kristiani dan dibarui dalam Perayaan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi setiap anggota kaum beriman
menemukan dirinya dalam Gereja Kristus”.
Presbyterorum Ordinis (PO), 5 dikatakan “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua
pelayanan gerejawi serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan
kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus
sendiri, Paska kita dan Roti hidup, yang karena Daging-Nya yang dihidupkan oleh Roh Kudus dan
menjadi sumber kehidupan mengurniakan kehidupan kepada manusia. Begitulah manusia diundang
dan diantar untuk mempersembahkan diri, jerih-payahnya dan segenap ciptaan bersama dengan-
Nya”.
➔ Hubungan yang erat antara Ekaristi dan sakramen-sakramen lain serta kehidupan kristiani
dapat dipahami secara paling penuh kalau kita merenungkan misteri Gereja sendiri sebagai
Sakramen. Karena dalam Kristus, Gereja sebagi suatu sakramen – tanda dan sarana –
persekutuan dengan Allah dan kesatuan dengan seluruh umat manusia.
II. TERMINOLOGI ‘EKARISTI’ DAN BERBAGAI NAMA EKARISTI
Ekaristi berasal dari kata Yunani ‘eucharistein’ yang berarti ‘mengucap syukur’. Kata ini digunakan
oleh para pengarang injik sinoptik dalam narasi institusi ekaristi dalam konteks perjamuan. Selain itu,
dalam Kitab Suci ditemukan juga beberapa istilah seperti ‘pemecahan roti’ (klasis tou artou - klasis
tou artou [Kis 2:42]), ‘perjamuan Tuhan’ (kuriakon deipnon - kuriakon deipnon [1 Kor 11: 20]),
‘meja perjamuan Tuhan’ (trapeze kuriou – trapeze kuriou [1 Kor 10:21]). Istilah yang pertama
memiliki konteks ritual, sedangkan yang dua lainnya mengacu pada institusi Kristus sendiri.
Terminologi ini memiliki kedekatan juga dengan terminologi ‘eucologia’, yakni berkat anugerah
pujian, pemulian Allah, kenangan terima kasih atas anugerah Allah. Penggunaan kata ‘eucologia’
untuk mengacu pada ekaristi dinyatakan dalam Didaché (akhir abad I), surat-surat Ignatius dari
Antiokhia (50-98/117), juga karya-karya dari Santo Yustinus (100-165), Santo Ireneus (130-202),
dan Tertullianus (160-225). Selain itu, dalam literatur antik, ditemukan juga kata-kata lain yang
mereferensi ekaristi: ‘oblatio’ (prosphora. - prophora [Yun.]), ‘kurban’, ‘sakramen altar’, ‘missa’.
Pada abad IV ekspresi umum yang digunakan adalah ‘Ekaristi’ untuk mengungkapkan perayaan
kurban Tuhan.
Ekaristi berarti mengucap syukur atau terima kasih. Nama ini merupakan terjemahan dari kata Yahudi
rebe ahka - bere akha, yang merujuk pada ucapan syukur di meja (Luk 22:19). Nama ini muncul
dalam tradisi kristiani pertama (bdk. 1 Kor 11:24). Pada awalnya “Ekaristi” menunjuk pada pujian
bangsa Yahudi terutama waktu makan, dan kemudian diterapkan untuk doa syukur ekaristi (doa
syukur agung; bdk, Ignatius dari Antiokhia dan Yustinus), kemudian menunjuk pada seluruh
perayaan, dan akhimya secara khusus menunjuk pada roti dan anggur. Sekarang Ekaristi
dimaksudkan untuk seluruh perayaan.
Perjamuan Tuhan.
Inilah nama yang khas kristiani, Ditemukan pada 1 Kor 11:20 dan merujuk pada kehadiran Tuhan
yang bangkit di antara murid-muridNya, sebagai “pemimpin” perjamuan. Nama ini digunakan oleh
kaum reformis Protestan' (“makan-malam kudus”) dan masuk dalam kalangan katolik dalam Konsili
Vatikan II dalam pembaharuan liturgi. “Perjamuan Tuhan” merujuk pada perjamuan malamyang
diadakan Yesus bersama dengan murid-muridNya pada malam sebelum sengsara-Nya, sekaligus
menunjuk pada antisipasi pernikahan Anak Domba (bdk. Why 19:9) dalam Yerusalem surgawi. Kata
“malam" di sini tidak terlalu berarti, sebab Gereja awali memilih untuk mengadakan Ekaristi pada
subuh pagi hari (Minggu), bahkan sejak abad pertama.
Pemecahan roti
lnilah instilah Hibrani yang dipakai untuk menyebut perkumpulan Ekaristis pada murid (Kis 2:42,46;
20:7,11). Nama ini menunjuk pada ritus khas perjamuan Yahud di mana kepala
keluarga”memecahkan roti” danmengawali perjamuan persaudaraan. Yesus melakukan ini pada
perjamuan malam terakhir. Dari tindakan ini para murid mengenali kembali sesudah kebangkitan
(bdk. Luk 24: 13-35). Dengan nama ini, mereka hendak mengatakan bahwa semua orang yang makan
roti yang dipecahkan – dari Kristus itu – masuk ke dalam persekutuan-Nya dan membentuk di dalam
Kristus satu tubuh (bdk. 1 Kor 10:6-7)
Perhimpunan Ekaristi (synaxis)
Konsili Vatikan II menggunakan istilah Yunani kuno, synaxis untuk Ekaristi (LG 1 1, 28; PO 5, 7)
Nama ini berarti himpunan, kumpulan, pertemuan liturgis, persekutuan, sama dengan ekklesia karena
Ekaristi dirayakan dalam perhimpunan beriman (bdk. 1 Kor 10:16-17). Perhimpunan ekaristi inilah
merupakan perwujudan kelihatan dari Gereja.
Kenangan
Nama ini berasal dari perintah Yesus pada perjamuan malam terakhir “Lakukanlah ini sebagai
kenangan akan Daku”. Kenangan di sini bukan sekedar kenangan psikologis tetapi kenangan menurut
arti Yahudi, yakni menghadirkan kembali secara nyata dan obyrktif, mengaktuaLukan kembali.
Kenangan di sin menyangkut apa yg telah dilakukanNya dalam perjamuan malam terkahir. Kenangan
merujuk pada sengasara, wafat dan kebangkitanNya.
Kurban Kudus
Dengan “kurban kudus” dimaksudkan bahwa Ekaristi menghadirkan korbna tunggal Kristus, Penebus
dan mencangkup pula penyerahan diri Gereja. Sejajar dg istilah ini adl kurban misa kudus, kurban
syukur, persembahan rohani, kurban murni dan kudus. Kurban ini melebihi kurab dlam PL.
Liturgi kudus
Ekaristi sebagai tindakan kudus, sebab seluruh liturgi Gereja berpusat pada perayaan sakramen ini.
Dalam arti yg sama, orang juga menamakannya perayaan misteri kudus. Orang juga menyebut
sakramen mahakudus karena ekaristi adalah Sakramen segala sakramen.
Komuni
Nama ini merujuk pada persekutuan dg Kristus yg dilakukan oleh Sakramen ini. Kristus mengundang
para muridNya untuk bersatu dg Dia dg cara mengambil bagian dalam tubuh dan darahNya, supaya
kita membentuk satu tubuh.
Misa Kudus
Nama ini paling biasa digunakan sejak abad V, tetapi sebenarnya kurang penting dan kurang
menunjukkan inti perayaan. Nama ini berasal dr kata latin missa (misi pengutusan) yg menunjuk pada
pengutusan umat bersiman pada akhir perayaan (ite missa est). Umat diutus utk melaksanakan
kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari
III. TITIK TOLAK
Untuk berbicara tentang Ekaristi, perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya adalah titik tolak
kita. Narasi perjamuan akhir Yesus (tidak hanya mengenai institusi ekaristi), pada dirinya sendiri,
adalah sebuah teologi dan peristiwa liturgis, yang karena diceritakan dan dikenang tidak dapat
diragukan lagi qualitas historisnya (R. Pesch).
Dalam KS, kisah perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya memiliki dua bentuk yang
berbeda. Yohanes lebih ingin menampakkan suatu ‘testimonium’ (surat wasiat – wejangan-
wejangan), sedangkan para pengarang sinoptik dan Paulus ingin menunjukkan aspek liturgis-kultis,
yang memuat institusi ekaristi.
Ketika mencermati narasi institusi ekaristi dalam injil sinoptik dan surat Paulus, maka akan
didapatkan dua versi: Markus (14:22ss) dan Matius (26:26ss) yang mewakili tradisi Yerusalem-
semit/aram, sedangkan Lukas (22:19ss) dan Paulus (1 Kor 11:23ss) yang mewakili tradisi Antiokhia-
hellenis.
Selain perbedaan narasi ini, nampak juga adanya perbedaan dalam menentukan waktu
berlangsungnya Paskah, dan dengan demikian waktu Perjamuan terakhir Yesus. Menurut pengarang
sinoptik, Yesus melakukan perjamuan akhir-Nya dalam konteks perjamuan Paskah, yang terjadi pada
malam hari antara 14-15 Nisàn. Dengan demikian, menurut injil sinoptik, Paskah waktu itu terjadi
pada hari Jumat, hari yang sama saat Yesus disalib dan wafat. Pandangan yang berbeda diberikan
oleh Yohanes terkait hal ini. Menurutnya, perjamuan akhir dilakukan Yesus pada malam hari antara
13-14 Nisàn. Paskah jatuh pada hari Sabtu (15 Nisàn) bertepatan dengan hari Sabtu. Oleh karenanya,
hari itu dikatakan sebagai “hari yang besar” (mega,lh h` h`me,ra) Yoh 19:31). Lambung Yesus ditikam,
menurut Yohanes, bertepatan dengan saat orang Yahudi menyembelih anak domba Paskah, dalam
konteks ini berarti Jumat, hari persiapan (Paraskeuh) “untuk hari yang besar”.
Kendati memiliki perbedaan ‘kronologis’ ada beberapa hal yang nampak sebagai unsur umum.2
Pertama, baik pengarang sinoptik maupun pengarang injil Yohanes menempatkan peristiwa kematian
Yesus pada hari Jumat. Kedua, walaupun Yohanes tidak menyatakan secara eksplisit seperti para
pengarang sinoptik bahwa Perjamuan terakhir Yesus adalah perjamuan Paskah, namun, menurut
Annie Jaubert,3
tidak ada keraguan bahwa perjamuan terakhir Yesus adalah perjamuan Paskah. Hal
ini didasari dari eksistensi kalender Yahudi (kalender Esseni) yang lebih antik untuk menentukan
kapan perjamuan Paskah dilakukan; berbeda dengan penanggalan resmi Yerusalem.
Semua yang disebutkan ini hanya ingin menunjukkan bahwa Perjamuan terakhir Yesus, yang menjadi
fundamen perayaan Ekaristi kita, adalah sungguh mengacu pada perjamuan Paskah Yahudi.4
Bagian
ini tidak akan membicarakan secara detail mengenai pergeseran dari Paskah Yahudi ke Paskah Yesus
Kristus. Cukup dengan menunjukkan akar tradisi Yahudi tersebut, kita sekarang ingin memusatkan
perhatian pada Paskah Yahudi.
3.1. AKAR YAHUDI
Paskah Yahudi berasal dari dua tradisi antik:
1. Tradisi para gembala (Pesah)
Para gembala berkumpul untuk merayakan tahun baru pada tengah malam di musim semi (bulan
Nisàn). Ritusnya: mereka akan menyembelih anak domba jantan dan sulung. Darahnya akan
mereka gunakan untuk menghalau kemalangan dan menjamin kesuburan ternak mereka.
Dagingnya akan mereka santap di dalam kebersamaan keluarga.
2. Tradisi para petani (Massot)
Perayaan ini, agak berbeda dengan tradisi para gembala, tidak memiliki waktu yang tetap karena
tergantung dari waktu panen. Namun, perayaan ini juga merupakan pesta musim semi. Mereka
merayakan pesta roti tak beragi, massot. Dalam perayaan ini, mereka akan mempersembahkan
panenan perdana kepada Yang Ilahi dalam rumah ibadat.
Dua tradisi antik ini lantas dalam perjalanan waktu disatukan (sejak masa sesudah pembuangan) dan
diberikan makna baru sesuai dengan religiositas atau iman orang-orang Israel kepada YHWH.
Perayaan Paskah menjadi perayaan iman dimana dikenangkan peristiwa pembebasan umat Israel dari
perbudakan di Mesir oleh YHWH, sekaligus peristiwa Perjanjian: YHWH sebagai Allah pembebas
dan Israel sebagai umat.
Pada awalnya, Paskah lebih dimaknai sebagai pesta keluarga, dirayakan di tengah-tengah keluarga.
(bdk. Kel 12-13). Seiring waktu, dengan semakin terpusatnya peribadatan umat Israel, perayaan
Paskah dilaksanakan di Bait Allah, di Yerusalem. Perayaan keluarga menjadi perayaan bangsa dan
negara.
Beberapa kebiasaan masih tetap terjaga kendati sudah ada sentralisasi perayaan. Anak domba
disembelih di kuil oleh seorang Imam. Darah anak domba ditampung dan akan digunakan untuk
memerciki altra kurban. Daging anak domba akan dibawa pulang untuk disantap oleh keluarga yang
mempersembahkan kurban.
2
G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, Dehoniane, Bologna 2005 (ristampe),
26-27.
3
ANNIE JAUBERT, “La date de la dernier Cène” in Rev. Hist. Rel. (1954) (dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione
Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, PUU, Roma 1988, 263).
4
Lih. J. JEREMIAS, The Eucharistic Words of Jesus, Trinity Press International, Philadelphia 1990 (eighth impression), 15-84.
Dalam tradisi yudaisme yang kemudian, perayaan bergeser lagi dari perayaan keluarga menjadi
perayaan komunitas, yang terdiri dari 10 orang. Mereka berkumpul dengan kehendak bebas personal
untuk menyantap bersama anak domba paskah. Perayaan inilah yang nampak pada zaman Yesus.
Struktur (seder) perayaan ini adalah sebagai berikut:5
1. Setelah semua undangan duduk, akan dituangkan anggur (masing-masing memiliki
gelas/piala-nya sendiri) dan ada berkat (qiddus) pertama.
2. Setelah semuanya meminum anggur tersebut, ada berkat (qiddus) atas perayaan ini.
3. Usai berkat, dihidangkanlah santapan berupa sayur pahit.
4. Sementara para tamu menyantap sayur pahit, tuan rumah menjelaskan makna perayaan dan
menceritakan kembali sejarah paskah (haggadah pesah, massot, merorim [penderitaan
perbudakan yang ditebus oleh YHWH]).
5. Setelahnya, semua melagukan Hallel.
6. Usai melakukan semua ini, baru dimulailah perjamuan Paskah yang sesungguhnya dimana
tuan rumah/bapak keluarga berdoa mengucap syukur/berkat (birkat hammazon), memecah-
mecah roti tidak beragi, menambahkannya dengan sayuran pahit yang sudah dicelupkan
dalam air asin, dan memberikannya kepada semua yang hadir.
7. Setelah itu, barulah mereka menyantap daging anak domba yang telah dipanggang.
8. Sementara mereka menyantap daging anak domba, dituang kembali anggur sebagai bentuk
berkat dan ungkapan syukur atas hidangan yang telah disantap.
9. Setelah semuanya usai, mereka kembali meminum anggur dan melanjutkan menyerukan
Hallel.
Paskah Yahudi ini tentu saja memiliki isi dan makna yang sangat dalam. J.S. Martins berpendapat
bahwa: pertama, Paskah adalah sebuah misteri yang melibatkan semua bangsa Israel. Dengan
demikian semua harus berpartisipasi dalam perayaan ini; hanya anggota dari bangsa terpilih saja yang
boleh merayakannya karena hanya mereka yang mengalami peristiwa pembebasan oleh YHWH.
Kedua, Paskah adalah sebuah pengenangan (memoria). Yang dikenangkan bukan hanya perayaannya,
tetapi seluruh elemen yang digunakan: roti tak beragi, anak domba, sayur pahit, waktu tengah malam.
Isi dari pengenangan ini adalah hal luar biasa yang dilakukan YHWH untuk bangsa Israel, terutama
pembebasan dari tanah Mesir.
Paskah Yahudi tidak hanya merupakan sebuah bentuk pengenangan namun juga pengenangan yang
membawa aktualisasi apa yang dikenangkan. Inilah inti dari haggadah (narasi) paskah. Pengenangan
ini dirayakan dengan pujian, rasa syukur dan rasa bahagia. Begitu pentingnya Paskah bagi bangsa
Yahudi sehingga mereka memaknainya tidak semata-mata perayaan tahun baru tetapi pemurnian hati,
yakni kondisi yang memungkinkan seseorang untuk dapat menapaki perjalanan abadinya di masa
mendatang. Dengan demikian, Paskah memiliki dimensi masa lalu, sekarang, dan masa mendatang.
3.2.DARI PASKAH YAHUDI KE PASKAH YESUS
Walaupun dirayakan dalam konteks perayaan Paskah Yahudi (menurut sinoptik), beberapa tindakan
dan perkataan Yesus dalam Perjamuan malam terakhir sepertinya hendak memberikan gambaran
pemisahan antara Paskah Yahudi dengan Paskah Yesus. Artinya, Yesus hendak memberikan
interpretasi-Nya terhadap perayaan Paskah Yahudi dengan bertolak pada diri-Nya. Untuk itu, sangat
baik jika kita memusatkan perhatian pada apa yang terjadi pada Perjamuan malam terakhir Yesus.
Satu Piala: Piala bersama
Selama Perjamuan terakhir, nampaknya hanya ada ‘satu Piala’ yang lantas diberikan oleh Yesus
sebagai ‘bapak keluarga’ (paterfamilias) kepada para murid-Nya. Apa yang terjadi di sini nampaknya
asing bagi perayaan Paskah Yahudi yang umum. Dalam Paskah Yahudi, biasanya digunakan lebih
dari satu piala, atau bahkan masing-masing undangan memegang piala-nya sendiri. Kendati ada
5
Bdk. J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 255-256; G. MAZZANTI, I Sacramenti.
Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, 39-41.
keraguan apakah sungguh lantas satu piala menjadi sesuatu yang asing bagi kebiasaan orang Yahudi
dalam merayakan Paskah,6
namun, agaknya penting untuk dicermati apa yang menjadi pendapat
GniLuka, yakni bagaimana pun juga piala bersama telah menjadi tanda yang signifikan dalam
Perjamuan Tuhan post-Paskah.7
Kata-Kata Interpretatif Yesus
Ketika akan menyerahkan roti dan piala anggur kepada para murid-Nya, Yesus menyertakan
tindakan-Nya dengan kata-kata interpretatif: “inilah tubuhku” (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19; )
dan “inilah piala darahku” (Mat 26:28; Mrk 14:24) atau “cawan ini adalah perjanjian baru oleh
darah-Ku” (Luk 22:20) atau “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku”
(1 Kor 11:25). Kata-kata Yesus ini memberikan bobot tersendiri bagi tindakan-Nya menyerahkan roti
dan anggur kepada para murid, sekaligus menunjukkan suatu ‘pemisahan’ dengan ritus Yahudi pada
umumnya.8
Kata-tindakan Yesus menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dimana satu dengan
lainnya saling memberikan makna. Inilah aspek kualitatif yang membedakan Paskah Yesus dengan
Paskah Yahudi.
Kesatuan kata-tindakan Yesus ini lantas memberikan penjelasan mengapa berkat atas roti dan anggur
menjadi satu kesatuan (Mat 26:26 dan Mrk 14:22). Namun, jika melihat teks Luk 22:20 dan 1 Kor
11:25, kita akan menemukan bahwa ada ‘rentang kronologis’ antara kesatuan kata-tindakan Yesus
atas roti dan atas cawan anggur, “sesudah makan”. Mazzanti mencoba menjelaskan perbedaan ini
demikian:9
ekspresi ‘sesudah makan’ tidak ingin menunjukkan suatu perbedaan waktu yang lama,
namun justru ingin menunjukkan suatu kesatuan waktu antara berkat untuk roti dan anggur, yang
semuanya ini dilakukan pada saat “sesudah makan” dengan cara yang sama (“demikian juga
dibuatnya” [Luk 22:20; bdk. 1 Kor 11:25]). Selain itu, ekspresi ‘sesudah makan’ menunjukkan bahwa
apa yang dilakukan Yesus merupakan kelanjutan dari ritus Yahudi yang telah usai. Dengan demikian,
apa yang membedakan Paskah Yesus dengan Paskah Yahudi tidak hanya dapat dilihat dari sisi
kualitatif (makna baru: Perjanjian Baru), tetapi juga kronologis (sesudah).
Anamnesis: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”
Permintaan dari Yesus untuk pengenangan ini hanya dilaporkan oleh teks dari tradisi paolina, dan
tidak terdapat pada teks tradisi petrina. Paulus dan Lukas nampaknya hendak menekankan pentingnya
karakter institusional Perjamuan akhir/Paskah Yesus; kenangan akan Kristus.10
Ada yang meragukan
nilai historis dari perintah pengenangan karena justru tidak tercatat dalam Matius, Markus, dan
Yohanes. Untuk itu, ada yang berpendapat bahwa perintah ini hanyalah semata-mata legenda kultis
yang berakar pada tradisi hellenistik (R. Bultmann). Apa yang dituliskan oleh J.S.Martins baik
diperhatikan:11
Adalah kurang berdasar tesis yang menyebutkan bahwa Paulus lah yang membuat
perintah tersebut. Rasul Paulus tidak memberikan perintah itu seakan-akan miliknya. Dia menyatakan
dengan jelas bahwa itu adalah perintah Yesus sendiri. Dengan suratnya, Paulus tidak
memperkenaLukan hal baru kepada jemaat di Korintus, bahwa seakan-akan mereka tidak tahu
sebelumnya. Ia juga tidak memberikan makna baru terhadap praksis yang telah ada. Yang sangat jelas
adalah bahwa jemaat perdana sangat yakin bahwa mereka merayakan Ekaristi karena itulah yang
dikehendaki oleh Kristus, dengan demikian mereka menunjukkan ketaatan mereka terhadap perintah
Yesus dalam Perjamuan akhir.
6
J. JEREMIAS, The Eucharistic Words of Jesus, 68-70.
7
GniLuka, Gesù di Nazaret, 364 (dikutip dari G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e
Confermazione, 49).
8
G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, 49.
9
G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, 33, 50.
10
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 273.
11
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 275-276.
Perbuatlah (poiei/te). Yesus menandaskan perintah ini: perbuatlah kalian! Untuk itu, Yesus
memerintahkan suatu ‘aksi’ atau ‘tindakan nyata’, bukan sebuah ingatan subjektif-psikologis. Ini
adalah suatu perintah personal Yesus kepada para murid-Nya untuk senantiasa berbuat.
Ini (tou/to). Objek dari perintah Yesus adalah kata ‘ini’. Apa yang ingin dituju dengan kata ‘ini’?
Dengan mencermati teks yang ada, maka kita bisa mengatakan bahwa tentu bukan Paskah Yahudi
yang ingin dikenangkan dalam actus ‘perbuatlah ini’. Sebagai perayaan tahunan, para murid, sebagai
orang Yahudi, akan merayakan Paskah tanpa harus mendapatkan perintah dari Yesus. Untuk itu,
yang diminta oleh Yesus untuk dikenangkan adalah apa yang telah Dia lakukan, yakni memberkati
roti dan anggur, mengucap syukur atasnya, mengambil, memberikan, makan dan minum. Dengan
kata lain, yang ingin dikenangkan adalah ‘pemecahan roti’ (bdk. Luk 24:30) atau perayaan Ekaristi.
Bukan Paskah Yahudi, melainkan Paskah personal Yesus-lah yang dimintakan kepada para murid
untuk dikenangkan.12
Dengan perintah pengenangan ini, Yesus menutup Paskah Yahudi dan
membuka Paskah-Nya sendiri.
Dalam kenangan akan aku( eivj th.n evmh.n avna,mnhsin – eis tēn emēn anamnēsin).13
Kata ‘anamnesis’
tidak ingin mengacu pada pemahaman hellenistik tentang pengenangan akan orang mati. Konteks
biblis agaknya asing dengan pemahaman tersebut. Jeremias14
mencoba memahami teks ini demikian:
Dalam perayaan ekaristi, Gereja meminta Allah Bapa untuk mengingat Putra-Nya, yang adalah
mesias. Pemahaman ini muncul karena perbandingan yang ia lakukan dengan pengenangan Paskah
Yahudi: umat Israel meminta supaya JHWH ingat kepada umat-Nya dan juga kepada mesias yang
akan membawa mereka pada-Nya. Tesis Jeremias tidak mendapatkan banyak dukungan dari para ahli
(mis: J Dupont). Perintah “kalian perbuatlah!” sudah menunjukkan bahwa perintah ini tidak ditujukan
kepada Allah Bapa, tetapi kepada komunitas para murid (= Gereja), yang telah dibentuk-Nya untuk
meneruskan karya keselamatanNya di dunia.15
IV. EKARISTI DALAM SEJARAH
4.1. EKARISTI PADA ZAMAN BAPA-BAPA GEREJA
Dalam periode Bapa-Bapa Gereja, terjadi suatu perubahan dari suatu perayaan atau liturgi ekaristi
yang berciri domestik-privat menuju perayaan yang berciri basilik-publik. Perubahan juga terjadi
dengan penambahan elemen-elemen baru dalam perayaan yang tadinya sangat berciri perjamuan
keluarga, yakni Kyrie, doa persembahan. Selain itu, lahir juga siklus pesta liturgi dan fiksasi atas doa
syukur agung. Dalam situasi demikian, para Bapa Gereja mencoba mengembangkan ajaran tentang
Ekaristi sebagai sakramen dan kurban.
Didaché
Dokumen ini, yang dikenal juga dengan nama “Ajaran Para Rasul” (90-100), merupakan dokumen
post-biblis pertama yang berbicara mengenai Ekaristi. Dokumen ini memberikan kesaksian
bagaimana para jemaat awal diundang untuk merayakan kurban ekaristi (sacrificio eucaristico),
sekaligus mempersiapkan diri untuk dapat dengan layak merayakannya. Pada bab 9 dan 10 kita bisa
mendapatkan gambaran bagaimana Ekaristi dilakukan: “Beginilah kalian harus mengucap syukur
dalam Ekaristi: pertama-tama ucapan syukur atas piala: kami mengucap syukur kepada-Mu, ya Bapa
kami, atas kehidupan suci dari Daud, hamba-Mu, yang telah ternyatakan dalam diri Yesus, hamba-
Mu. Pujian kekal bagi-Mu! Dan atas roti yang akan dipecah-pecah: kami mengucap syukur kepada-
Mu, ya Bapa kami, atas hidup dan juga pengetahuan yang Kau berikan kepada kami melalui Yesus,
hamba-Mu. Pujian kekal bagi-Mu! Sebagaimana roti yang tersebar di bumi dan yang sekarang telah
terkumpul menjadi satu, Gereja-Mu telah dikumpulkan dari seluruh penjuru dunia ke dalam Kerajaan-
Mu. Sebab kemuliaan dan kekuasaan adalah milik-Mu melalui perantaraan Yesus Kristus untuk
12
Bdk. J. Ratzinger, Jesus of Nazareth. Holy Week: from the entrance into Jerusalem to the resurrection, Ignatius, San Fransisco 2011,
138-144.
13
Dengan memperhatikan sintaksis kalimat, kata-kata Yesus ini, eis tēn emēn anamnēsin, dapat diartikan: ‘di dalam kenangan-ku’;
mengingat bahwa ‘emēn’ adalah kata ganti orang-adjektif-posesif (milik-ku) dan bukan kata ganti orang-genetif (sesuatu akan aku).
14
J. JEREMIAS, The Eucharistic Words of Jesus, 249-255.
15
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 278.
selama-lamanya. Namun, tidak seorang pun, yang tidak dibaptis dalam nama Tuhan, boleh makan
dan minum dalam perjamuan ekaristi kita…Setelah dipuaskan, ucapkanlah syukur: Kami bersyukur
kepada-Mu, ya Bapa, atas nama-Mu yang kudus, dimana Engkau telah mempersiapkan dalam hati
kami sebuah tempat yang layak (tabernacolo). Kami bersyukur pula atas pengetahuan, iman dan juga
keabadian yang telah Engkau nyatakan kepada kami melalui perantaraan Yesus, hamba-Mu. Kepada-
Mu pujian keabadian. Engkau, ya Tuhan, raja alam surgawi, Engkau telah menciptakan segalanya
dalam nama-Mu. Engkau memberikan makanan dan minuman kepada manusia, supaya mereka
mengucap syukur kepada-Mu. Namun, Engkau memberikan kepada kami makanan dan minuman
rohani, serta kehidupan kekal melalui perantaraan Yesus, hamba-Mu”.16
Schmaus menyatakan bahwa
ini adalah sebuah gambaran tentang perayaan ekaristi dalam sebuah bingkai perjamuan yakni
perjamuan cinta kasih yang total (agape).17
Memang benar bahwa jika kita cermati, teks ini tidak
menyinggung secara eksplisit tentang wafat Kristus, namun, menurut Schmaus, harus diingat bahwa
dokumen ini adalah sebuah buku pegangan bagi umat beriman yang tidak terlalu memikirkan aspek
teologis dari kata-kata konsakrasi.
Ireneus dari Lyons
Ketika berbicara mengenai ekaristi, Uskup Lyons ini berbicara mengenai elemen duniawi dan elemen
surgawi dari Ekaristi. Untuk itu, ketika telah menerima Sabda Allah, roti dan anggur ini lantas
berubah menjadi ekaristi yang terdiri dari elemen duniawi dan surgawi, yakni roti itu sendiri dan
Tubuh mulia Tuhan.18
Dua elemen ini ingin menunjukkan suatu dinamika ekaristi.
Selain itu, untuk melawan aliran gnostik19
, Ireneus sangat menekankan realisme ekaristi. Artinya,
Ekaristi adalah nutrisi yang mengubah manusia. Ia mengatakan bahwa “daging dan darah kita
mendapatkan nutrisi dari tubuh dan darah Kristus sendiri” (Adv. haer. 5, 2 ,3). Nutrisi yang diperoleh
dengan menyantap tubuh dan darah Kristus membuat manusia lama yang penuh dosa menjadi
manusia baru yang dimuliakan. Realisme ini nampak juga ketika Ireneus berbicara mengenai dimensi
kurban dari Ekaristi, yang menunjuk pada dimensi kosmik dari Ekaristi. Kurban yang dimaksudkan
oleh Uskup Lyons ini adalah ‘persembahan dalam rupa panenan awal’. Artinya, kurban ini merupakan
kurban persembahan yang berasal dari ciptaan.
Origenes
Kata ‘Ekaristi’ dalam pemikiran guru Didaskaleion ini memiliki arti yang cukup kaya. Ia dapat berarti
formula ritual maupun roti yang telah dikonsekrasi. Dalam karyanya Contro Celso (8,33; 8,57),
Origenes berbicara mengenai Ekaristi sebagai ‘ungkapan syukur’ (eucharistías) sekaligus ‘roti’ yang
telah diberkati (eucharistía). Hal lain yang menarik adalah bahwa ‘ungkapan syukur’ ditujukan baik
itu kepada Allah Pencipta (dēmiourgō) maupun Tuhan Allah (pros Theon). Singkat kata, Origenes
telah menyadari elemen essensial dalam Ekaristi, yakni elemen material (roti) dan elemen immaterial
(ungkapan syukur dan doa). Ia sangat sadar akan pentingnya epiklesis konsekrasi dan ungkapan
syukur, yang di dalamnya terdapat kata-kata institusional Yesus sendiri (1 Kor 11:24).
Jika membaca karyanya tersebut, Contro Celso, orang akan berpikir bahwa dimensi kurban tidak
hadir dalam pemahaman Origenes mengenai Ekaristi. Teolog Adamantius ini (sebutan dari Origenes)
memang jarang menunjukkan relasi antara Ekaristi dan persembahan Salib Kristus. Fakta bahwa
16
Dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 294-295.
17
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 295.
18
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 304.
19
Kata Gnostisisme berasal dari bahasa Yunani: gnōsis, yang artinya : Pengetahuan. Dengan demikian, Gnostisisme
adalah suatu paham atau aliran tentang penyelamatan melalui pengetahuan. Gerakan Gnostik muncul pertama kali sebagai
sebuah sekolah pemikiran. Pada akhir abad ke II, Gnostik melepaskan diri dari Gereja Katolik. Perjanjian Baru terutama
surat 1 Yohanes dan surat-surat Pastoral Paulus setidaknya menyinggung tentang ajaran yang serupa dengan ajaran
Gnostik. Penganut Gnostik menggunakan karya-karya Yahudi, Kristiani dan ‘kafir’ untuk disintesiskan, sehingga
terbentuk suatu pokok ajaran. Salah satu hasil karangan tokoh-tokoh Gnostik adalah “Injil Thomas.” Menurut mereka
keselamatan itu dicapai ketika unsur rohani, dalam diri manusia terbebas dari unsur materi yang selalu jahat. Oleh sebab
itu, materi bertentangan dengan Roh, dan alam semesta merupakan suatu wujud yang buruk dari Pencipta. Selain itu,
penganut Gnostik menolak magisterium Gereja, sehingga menafsir Kitab Suci sesuka hati penganutnya.
Origenes pun mengutip pernyataan Paulus, yakni 1 Kor 11:23-26, menunjukkan bahwa ada kesadaran
akan dimensi kurban dari Ekaristi (Crouzel). Kendati demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa
konsep ‘kurban’ dari Origenes ini adalah sama dengan apa yang dipikirkan oleh para Bapa Konsili
Trente mengenai dimensi kurban dari perayaan Ekaristi, karena Origenes agaknya tidak mengenal ide
mengenai ‘pembaharuan ritus dari kurban salib Kristus’ (Gramaglia).
Telah disebutkan bahwa Origenes percaya bahwa dengan Sabda Tuhan dan doa, roti akan menjadi
tubuh kudus yang akan menyucikan mereka yang menyantapnya. Sekali lagi, kita tidak dapat
memahami pernyataan ini dengan kacamata konsili Trente. Kehadiran Kristus dalam roti dan anggur
yang sudah memperoleh Sabda Tuhan dan doa merupakan kehadiran spiritual Kristus. Namun, satu
yang harus dipahami adalah bahwa, menurut Origenes, yang spiritual adalah yang real –bisa
dibandingkan dengan pemahaman platonis mengenai idea. Perubahan substansi dari roti dan anggur
yang telah dikonsekrasi (= transubstansiasi) merupakan sesuatu yang asing bagi logika Origenes.
Konsekrasi, dengan demikian, adalah penerimaan kualitas ilahi bagi sebuah materi; roti dan anggur
yang telah dikonsekrasi tetaplah roti dan anggur, namun kini telah menerima unsur-unsur ilahi
sehingga ia bukanlah lagi sembarang roti dan anggur. Logika yang ia gunakan adalah logika
inkarnatoris: Tubuh Kristus tetaplah tubuh manusia kendati Ia adalah Allah. Untuk itu, Origenes tidak
berbicara mengenai ‘transubstansiasi’, melainkan ‘transsituasi ontologis’ (Balthasar) atau
‘transposisi’ (Gramaglia).
Origenes berbicara juga mengenai daya-guna sakramen. Bagi dia, sakramen memiliki daya-guna bagi
orang yang memiliki disposisi batin yang tepat, artinya percaya. Ia tidak berarti menyangkal daya-
guna menyucikan dari sakramen, hanya saja ia berpandangan bahwa kesucian bukanlah sesuatu yang
otomatis. Kesucian yang diperoleh dengan menerima sakramen terjadi karena adanya relasi antara
rahmat Allah dan iman manusia. Origenes nampaknya telah mengantisipasi pemikiran abad
pertengahan dengan distingsi: Opus operatum dan Opus operantis.
Sama seperti Ireneus dari Lyons, Origenes pun berbicara mengenai ‘Ekaristi duniawi’ (Eucaristia
terrena) dan ‘Ekaristi surgawi’ (Eucaristia celeste). Kekudusan yang diperoleh seseorang yang telah
menyantap tubuh dan darah Kristus di dunia ini (Ekaristi duniawi) menjadi gambaran akan
kekudusannya di surga (Ekaristi surgawi). Origenes melihat bagaimana elemen duniawi merupakan
gambaran dari kehadiran spiritual atau kehadiran transenden. Tujuan manusia bukanlah menyantap
Ekaristi duniawi, melainkan merayakan Ekaristi surgawi.
Agustinus dari Hippo
Sama seperti Origenes, Agustinus pun meng-amin-i bahwa roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah
Kristus karena kuasa kata-kata konsekrasi. Namun, apa yang dimaksudkan oleh Uskup Hippo ini
dengan ‘menjadi’?
Agustinus memahami bahwa Ekaristi adalah ‘sakramen kesatuan Gereja’. Pemahaman ini ia tarik dari
kenyataan bahwa roti berasal dari benih gandum yang tersebar di muka bumi, begitu juga dengan
(air) anggur yang berasal dari banyak buah anggur; kenyataan ini menunjukkan Tubuh Mistik Kristus
yang terdiri dari banyak anggota (Sermo 227). Kesatuan ini dilandasi oleh kehadiran Kristus yang
bangkit. Pandangan yang agak sedikit ‘spiritual’ ini tidak menafikkan bahwa ada realisme ekaristi
dalam pemikiran Agustinus. Ia menyatakan bahwa setelah konsekrasi, dalam Ekaristi, roti sungguh
menjadi Tubuh real Kristus, yang lahir dari santa Perawan Maria (In. Ps. 98, 9).
Agustinus menyatakan bahwa: “Inilah daya-guna dari sabda yang kalian dengarkan. Setelah kata-kata
dari imam, hadirlah Tubuh dan Darah Kristus. Jika kalian menyingkirkan kata-kata tersebut, yang
tinggal hanyalah roti dan anggur; sebaliknya, jika kata-kata tersebut diucapkan sesuatu akan berubah
menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Singkirkanlah kata-kata tersebut, maka yang tinggal hanyalah roti
dan anggur. Ucapkanlah kata-kata tersebut maka hadirlah sakramen” (Sermo 63).20
20
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 322.
Beberapa poin yang dapat disimpulkan dari pandangan para penulis ekklesial ini adalah sebagai
berikut:21
Pertama, perjamuan Ekaristi yang dirayakan setiap hari Minggu, dalam kenangan akan Tuhan yang
bangkit dan dalam kesatuan dengan uskup sebagai pemimpin perayaan, bukanlah perayaan biasa,
melainkan perayaan religious, liturgis, kultis. Perayaan ini merupakan perayaan syukur atas
keselamatan yang ditawarkan oleh Allah kepada manusia.
Kedua, Bapa Gereja sangat menekankan realisme ekaristi. Artinya: mereka menggunakan logika
inkarnatoris; roti dan anggur yang telah diberkati bukan lagi semata-mata roti dan anggur biasa,
melainkan Tubuh dan Darah Kristus. Mereka menegaskan bahwa yang mendapatkan doa berkat
adalah elemen material (roti dan anggur), yang lantas akan menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Ketiga, kendati dimensi kurban tidak secara eksplisit nampak dari refleksi beberapa penulis ekklesial,
namun mereka menyadari bahwa ekaristi adalah sungguh kurban sejati, kurban dari Perjanjian Baru.
Ekaristi adalah kurban sejauh ia adalah pengenangan (memoriale) akan kurban Kristus yang
mencangkup semua peristiwa hidup-Nya: menderita, wafat dan bangkit. Ekaristi sebagai kurban sejati
memiliki aspek komuniter karena umat beriman, dengan imam sebagai pemimpin perayaan,
mempersembahkan kurban ini.
Keempat, Kristus yang hadir dalam rupa roti dan anggur adalah Yesus Kristus, Tuhan yang
dimuliakan; Ia yang disalibkan namun sekaligus ditinggikan dalam kemuliaan.
Kelima, dengan menerima Ekaristi, umat beriman telah disatukan dalam keabadian bersama Kristus.
Ekaristi adalah “farmacum immortalitatis” (obat keabadian).
Keenam, Ekaristi memiliki dimensi kesatuan; kesatuan di antara umat beriman yang menyimboLukan
kesatuan satu tubuh. Gereja adalah tubuh Kristus di dunia.
Ketujuh, untuk dapat memamahi teks-teks sulit dari Bapa-Bapa Gereja, kita harus dapat menghindari
kesalahan metodologis (= anakronisme historis) yang mencoba menemukan, dalam pandangan
penulis ekklesial awal, konsep-konsep teologis seperti yang kita pahami sekarang ini.
4.2. EKARISTI PADA ABAD PERTENGAHAN DAN SKOLASTIK SAMPAI SEBELUM KONSILI TRENTE
Walaupun banyak terdapat pandangan mengenai teologi sakramen ekaristi pada Abad Pertengahan,
tidak dapat disangkal bahwa pemikiran St. Thomas Aquinas sangat mewarnai tidak hanya zamannya
tetapi juga masa-masa setelahnya. Dengan kata lain, refleksi teologis-filosofis St Thomas merupakan
poin utama pada masa Abad Pertengahan akhir. Oleh karenanya, baik jika kita mencoba melihat latar
belakang pemikiran sampai akhirnya pengaruh yang dibawa olehnya dalam sejarah teologi ekaristi.
Abad Pertengahan: Kehadiran Nyata Kristus dalam Perayaan Ekaristi
Refleksi mengenai ekaristi, pada zaman Thomas Aquinas, berpusat pada: kebenaran akan kehadiran
Kristus, cara kehadiran-Nya, daya guna sakramen, dan representasi (repraesentatio) kurban Salib
Kristus. Pesoalan ‘kehadiran nyata’ Kristus (realis praesentia) dalam perayaan ekaristi memang
menjadi isu utama dikarenakan ketidakmampuan untuk memahami aksi simbolik liturgis dan
pemberian simbolik sebagai simbol riil.22
Pada masa ini, telah dikenal adanya ‘representasi figuratif’
(figural representation) dan dua macam kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi –pembedaan yang
dibuat oleh Paschasius Redbertus (786-860)- yakni: kehadiran in veritate dan kehadiran in mysterio.
Dalam paradigma ini, Paschasius memahami bahwa tindakan imam memecah roti dan menuangkan
air anggur dilihat semata-mata sebagai ‘representasi figuratif’ (figural representation) yang
menunjuk pada sengsara dan wafat Kristus di salib. Kehadiran in veritate terjadi dalam Tubuh dan
Darah Kristus, sedangkan kehadiran in mysterio terjadi terkait dengan sengsara-Nya.
21
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 322-325.
22
H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota 1992, 157.
Kehadiran in mysterio merupakan ciri teologi monastik dan menunjuk pada communio antara orang
beriman dan Kristus sendiri dalam misteri sengsara-Nya yang merupakan ungkapan Cinta Allah
kepada manusia sekaligus persembahan diri Yesus kepada Allah. Persatuan dengan Allah dalam
misteri sengsara-Nya inilah yang harus dilihat sebagai paradigma teologi monastik. Dari kerangka
pemikiran ini, Paschasius, seorang Abas biara benediktin ‘Corbie’, dalam karyanya De corpore et
sanguine Domini (Tubuh dan Darah Tuhan), memahami bahwa hosti sebagai ‘tubuh ekaristi’ identik
dengan tubuh historis Kristus yang lahir dari perawan Maria, dan bahwa penderitaan Kristus itu terus
‘diulang’ melalui sebuah ‘sembelihan’ (mactatio) yang nyata.23
Kiranya keinginan untuk menghayati
persatuan dengan penderitaan Kristus membuat Paschasius berpikir bahwa seorang beriman harus
menerima kehadiran Kristus in veritate, yakni tubuh historis Kristus, dalam perayaan ekaristi. Sangat
dimungkinkan bahwa dalam teologi-nya Paschasius memahami bahwa yang spiritual itulah yang
yang real sehingga hosti yang telah dikonsekrasi sungguh menjadi tubuh Kristus yang real, yang
identik dengan tubuh historis-Nya. Pandangan ini ditolak oleh Ratramnus († 868), rahib dari biara
‘Corbie’, dalam karyanya De corpore et sanguine Domini (Tubuh dan Darah Tuhan). Ratramnus
memahami bahwa roti dan anggur tidaklah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam
konsekrasi, melainkan hanya semata-mata menjadi ‘gambaran’ (figura) Tubuh dan Darah Kristus.
Tubuh dan Darah Kristus, beserta daya-daya ilahinya, bersembunyi di balik ‘gambaran’ ini. Dengan
demikian, ketika orang menerima hosti yang telah dikonsekrasi, ia tidak menerima Tubuh Kristus in
veritate, melainkan hanya menerima gambarannya in misterio. Patut diperhatikan bahwa Ratramnus
tentu saja tidak menolak mentah-mentah pemahaman kehadiran nyata Kristus dalam hosti suci. Yang
ia tolak adalah pandangan realisme radikal Paschasius, yakni identifikasi antara hosti suci dan tubuh
historis Kristus.
Perdebatan mengenai ‘realis praesentia’ tidak berhenti di sini. Sekitar abad ke-11, muncul
kontroversi lainnya. Kontroversi ekaristi kali ini dipicu oleh Berengarius dari Tours († 1088).
Dengan berpegang pada pandangan Ratramnus (dan juga Agustinus), Berengarius menolak kehadiran
nyata (in veritate) Kristus dalam perayaan Ekaristi, karena ia berfikir bahwa tubuh Kristus yang telah
dimuliakan tidak dapat ‘dipaksa’ turun dalam perayaan Ekaristi. Kristus akan datang kedua kalinya
pada akhir zaman. Oleh karenanya, dalam perayaan Ekaristi tidak ada perubahan dalam roti dan
anggur. Ia berpandangan bahwa roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi hanyalah ‘gambaran’
(figura) Tubuh dan Darah Kristus, yang ketika orang menerimanya, ia akan mengalami persatuan
spiritual dengan Kristus yang berada di surga. Jadi, dalam roti ekaristi terdapat daya spiritual ilahi
(‘substansi’) yang tersembunyi, yang memampukan persatuan spiritual tersebut. Pandangan
Berengarius ini dianggap sesat dalam 4 sinode antara 1047-1054. Pada tahun 1059, saat Sinode di
Roma, ia diminta untuk menandatangani pernyataan bahwa ia mengakui bahwa setelah konsekrasi,
roti dan anggur sungguh menjadi Tubuh dan Darah Kristus, bukan hanya dalam sakramen tetapi
dalam kebenaran (“non solum sacramento, sed in veritate!”) (DH 690).24
Dokumen pernyataan ini
meminta Berengarius untuk mengakui kehadiran kristus dalam perayaan Ekaristi secara realistik dan
tidak semata-mata simbolik. Berengarius sempat dua kali untuk diminta menandatangani pernyataan
pengakuan akan ajaran gereja yang benar. Pada tahun 1079, dalam sinode Roma juga, ia
menandatangani pernyataan iman tersebut. Dalam pernyataan ini, Berengarius diminta mengakui
bahwa kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi adalah Kristus hadir ‘dalam kodratnya yang nyata
dan dalam realitas substansinya’ (DH 700). Susunan pernyataan iman ini merupakan artikulasi dari
konsep yang diusung oleh Lanfranc dari Canterbury († 1089). Uskup Canterbury ini mengamini
bahwa setelah konsekrasi, substansi roti dan anggur berubah menjadi sungguh Tubuh dan Darah
Kristus. Di sinilah kita menyaksikan lahirnya doktrin ‘Transubstansiasi’25
.
Skolastik: Ekaristi menurut Thomas Aquinas
23
H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 158.
24
H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 158.
25
Terminologi ‘transubstasiasi’ pertama kali diperkenaLukan sekitar 1040-1042 oleh Orlando Bandinelli, yang kemudian menjadi Paus
Aleksander III).
Th. Aquinas menempatkan refleksi teologis tentang kehadiran Kristus dalam konteks tindakan
ekaristis (Eucharistic action); dari ekonomi keselamatan dalam Ekaristi sampai pada perayaan ritual
yang merupakan ekplisitasi seluruh misteri keselamatan Kristus.26
Sakramen Gereja, terutama
Ekaristi, telah ternyatakan secara figural dalam Perjanjian Lama dan akan ternyatakan secara penuh
dalam kemuliaan eskatologis. Dengan demikian, sakramen-sakramen Gerejawi masuk dalam
ekonomi keselamatan Kristus. Kristus lah yang mendirikan sakramen Ekaristi dengan 3 alasan: 1). Ia
ingin selalu menyertai Gereja-Nya dalam rupa sakramental (in sacramentali specie), 2). penting
adanya sakramen pengenangan yang mengungkapkan iman akan Yesus yang sengsara, wafat dan
bangkit, 3). bahwa pada malam terakhir-Nya bersama para murid, Yesus ingin memberikan ‘perintah’
pengenangan yang sungguh dapat menjadi inspirasi akan persahabatan dan persaudaraan.27
Ketiga
alasan pendirian Sakramen Ekaristi ini didasari pada pemikiran Aquinas akan sakramen sebagai
‘tanda’ (sign). Dan, pemahaman akan sakramen sebagai ‘tanda’ ini akan menjadi basis juga dalam
melihat kehadiran Kristus dalam Ekaristi.
Kehadiran Kristus dalam sakramen-sakramen Gerejawi, menurut Aquinas, tidak semata-mata ingin
mengungkap kuasa keselamatan yang ada dalam sakramen, tetapi terlebih ingin menunjuk pada daya-
guna sakramen sebagai ‘persekutuan’ (communion) dan ‘gambaran’ (representation). Aquinas
menandaskan bahwa kehadiran Kristus dalam perayaan sakramen adalah Christus totus, Kristus
dalam Tubuh dan Darah-Nya, dalam jiwa dan keIlahian-Nya. Dalam logika inilah lantas Aquinas
mengatakan bahwa kendati dalam rupa roti dan anggur, kata-kata Kristus yang menyatakan bahwa
roti adalah daging-Nya dan anggur adalah darah-Nya adalah jaminan kebenaran bahwa yang sungguh
hadir adalah Kristus dalam kebenaran dan bukan semata-mata secara figuratif/simbolik. Oleh
karenanya, dengan menerima komuni suci, orang sungguh dipersatukan dengan Kristus sendiri dan
Gereja-Nya dalam kasih.
Th. Aquinas mengartikan kehadiran dalam kebenaran (esse in veritate) sebagai kehadiran secara
substansial (per modum substantiae), tetapi sekaligus memiliki makna kehadiran spiritual; “idest
invisibiliter, modo et virtute spiritus”.28
Untuk menjelaskan kehadiran Kristus ini Aquinas
menggunakan pemikiran Aristotelian mengenai ‘substansi’ dan ‘aksiden’. Dua hal yang berbeda ini
membantu kita untuk, di satu sisi, menangkap penampakan serta qualitasnya, namun, di lain sisi,
memahami dengan akal-budi inti terdalam dari realitas. Identitas sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu
dari luar yang nampak. Substansi menunjukkan inti realitas yang dapat ditangkap oleh akal budi,
dimana semua itu terjadi karena adanya aksiden yang mempersepsi penampakan. Oleh karenanya,
kehadiran Tubuh dan Darah Kristus dalam roti dan anggur ditangkap oleh iman, yang dalam
penampakkan riil-nya berupa roti dan anggur. Aquinas sangat menekankan bahwa kesadaran akan
kehadiran Kristus ini bukanlah suatu imaginasi, melainkan suatu kehadiran dalam intelek. Dalam
konteks sakramentologi, yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan analogi ini adalah
menjelaskan bagaimana sesuatu yang berada dalam tataran riil natural, yang dapat dipahami secara
intellek, bisa dipakai untuk menjelaskan bahwa dalam roti dan anggur sebagai yang nampak riil dapat
menunjuk sesuatu yang lain yang masih berada dalam dirinya, yakni Tubuh dan Darah Kristus.
Kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi, menurut Aquinas, menunjukkan juga kehadiran Kristus
dalam sengsara-Nya. Yang membedakannya dengan pemikiran monastik (termasuk Lanfranc) adalah
bahwa keselamatan yang diperoleh melalui kurban Yesus sendiri di kayu salib tidak didasari pada
logika kehadiran mistik (in mysterio), melainkan pada logika ‘kausalitas effisiens’ (efficacious
causality). Yesus yang mempersembahkan kurban sekaligus yang mengurbankan diri-Nya (essensi
perayaan Ekaristi!), menemukan representasi-nya dalam diri imam.29
Kristus menguduskan
persembahan-Nya dengan kata-kata-Nya sendiri yang diucapkan oleh para imam. Karena Kristus
yang menguduskan persembahan melalui kata-kata-Nya dan karena Ia adalah kurban yang hadir
dalam Ekaristi, maka imam dan kurban adalah satu dalam persembahan ekaristi. Tentu saja, gambaran
26
DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 217.
27
DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 217-218.
28
DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 221, nota 47.
29
DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 227.
ini merupakan gambaran figural dalam logika effisiens. Gambaran figural ini tidak menjadikan
sengsara Kristus menjadi kehadiran substansial, namun gambaran tersebut membuat hadir Kristus
yang sengsara. Dengan kata lain, ketika Kristus hadir secara substansial dalam perayaan Ekaristi,
sengsara-Nya pun hadir sebagai ungkapan nyata dari kehendak dan kasih-Nya dalam sengsara-Nya.
Walaupun memiliki relasi yang sangat erat, menurut Aquinas, sakramen tidak sama dengan kurban
(sacrifice). Demikian pula Ekaristi, ia tidak sekadar sakramen, tetapi juga kurban.
Peran Imam dalam perayaan Ekaristi menjadi kunci untuk dapat memahami bahwa Ekaristi bukan
sekadar sakramen, tetapi kurban. Dalam perayaan Ekaristi, satu-satunya kurban adalah Kristus yang
wafat. Aquinas membedakan antara ‘persembahan’ dan ‘kurban’. Kurban adalah sesuatu yang
dipersembahkan dan tindakan mempersembahkan itu adalah tindakan khas imam. Memang Kristus
adalah kurban ekaristi, namun Ia juga Imam Agung yang mempersembahkan diri-Nya sebagai
kurban. Hanya dalam persekutuan dengan Kristus Gereja dapat merayakan Ekaristi. Untuk itu, ketika
imam, dengan kuasa Kristus, mengkonsekrasi roti dan anggur sehingga menjadi Tubuh dan Darah
Kristus, ia bertindak dalam nama Kristus (in persona Christi), tetapi ia mempersembahkan kurban
atas nama Gereja (in persona ecclesiae). Bertindak in persona Christi tidak lantas menjadikan imam
identik dengan Kristus. Dengan bahasa yang sangat teknis, Aquinas menyebut imam (selain ‘tanda’)
sebagai ‘instrumen sakramental’.
Menuju Konsili Trente
Dengan dasar teologi Aquinas, peran imam menjadi sangat sentral dalam perayaan Ekaristi. Untuk
itu tidak heran jika lantas Ekaristi lebih dilihat sebagai ‘aksi sakramental para imam’ dan ‘devosi
ekaristi para umat’.30
Kedua fenomena ini lantas melahirkan praktik: hanya imam yang
mempersembahkan ekaristi dan menyambut komuni, selain itu, selalu ada kerinduan untuk dapat
menyambut Kristus keseluruhan (Christus totus). Pada masa ini, dogma mengenai kehadiran bersama
(concomintance) berkembang. Siapa yang menerima Tubuh Kristus, menerima Kristus keseluruhan,
yakni Tubuh dan Darah-Nya, ke-Ilahi-an-Nya dan kemanusiaan-Nya.
Ajaran skolastik mengenai peran imam dalam perayaan Ekaristi menjadi landasan teologis untuk
menumpas keraguan akan validitas ekaristi. Dalam konsili Florence, ditandaskan lagi mengenai
ajaran resmi tentang Ekaristi, yakni: materia dan forma, transubstansiasi, dan konkomitan
(concomintance). Selain itu, untuk pertama kalinya ungkapan ‘in persona Christi’ masuk ke dalam
rumusan resmi Gerejawi dalam Decretum pro Armenis (DH 1321).
Setidaknya sejak Aquinas, ajaran mengenai sakramen terpisah dari ajaran tentang kurban Ekaristi.
Dari ajaran skolastik tentang ‘kurban ekaristi’, kita memiliki konsep mengenai ‘memoria’
(pengenangan),‘repraesentatio’ (kehadiran kurban salib Kristus), dan juga ‘applicatio passionis
Christi ad nos’ (sengsara Kristus diperutukkan bagi kita). Tidak dapat dilupakan juga bahwa ajaran
skolastik tetap menjaga pandangan tradisional mengenai hubungan antara Ekaristi dan Gereja; res
sacramenti memiliki dua pengertian: pertama, Yesus Kristus sendiri; kedua, Tubuh Mistik Kristus
(corpus Christi mysticum), yang adalah persekutuan para Kudus atau Gereja.
Kiranya perlu diakui bahwa perayaan Ekaristi pada saat ini memang sangat berciri privat dan klerikal.
Alih-alih memberikan pandangan yang negatif, kita akan melihat bahwa praktik ini menjadi salah
satu momen penting untuk terjadinya sebuah reformasi liturgi.31
4.3. EKARISTI MENURUT PARA REFORMATOR DAN KONSILI TRENTE
Vorgrimler menyebutkan bahwa “para teolog reformator sungguh menyadari bahwa Perjamuan
Terakhir terkait dengan sabda Allah, iman dan pengampunan dosa, yang merupakan jaminan akan
janji ilahi dan merupakan prioritas atas sakramen”. Walaupun begitu, Vorgrimler menambahkan,
30
H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 160.
31
H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 163.
tidak ada kesatuan pemikiran di antara para teolog reformator mengenai teologi Perjamuan
Terakhir.32
Martin Luther meyakini kehadiran nyata (realis praesentia) Kristus dalam perayaan Ekaristi melalui
roti dan anggur. Ia mendasarkan keyakinannya pada kisah Perjamuan Terakhir Yesus bersama para
rasul dan juga pada sabda Yesus mengenai Roti Hidup (Yoh 6:25-59). Perkataan Yesus dalam
perjamuan terakhir, “Inilah tubuh/darah-Ku”, sungguh menjadi jaminan kuat akan “identifikasi”
tersebut. Kendati mengakui kehadiran nyata Kristus, ia menolak paham ‘transubstansiasi’ dan
mengajarkan tentang paham ‘konsubstansiasi’. Artinya, menurut Luther, substansi roti dan anggur
tinggal tetap, tidak berubah, namun ada bersama, berdampingan dengan Tubuh dan Darah Kristus.
Hal ini mungkin terjadi karena Allah memiliki kemampuan untuk hadir dimana-mana di tempat yang
Ia kehendaki. Untuk itu, ia menggunakan konsep ‘omnipresence’ atau ‘ubiquitas’. Selain itu, ia
menginterpretasikan kalimat Yesus “ambillah dan makanlah/minumlah” sebagai momen terbatas
kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi. Kehadiran-Nya hanya nampak dalam perjamuan ekaristi
dan tidak setelahnya. Oleh karenanya, ia menolak devosi Sakramen Maha Kudus. Dalam
pandangannya akan karakter kurban dalam Ekaristi, ia mengatakan bahwa Ekaristi adalah peringatan
akan kurban syukur-pujian. Perayaan Ekaristi, menurut Luther, bukanlah pengenangan (aktualisasi)
kurban salib Kristus.
Tidak seperti Luther, Ulrich Zwingli mengungkapkan bahwa roti dan anggur dalam Ekaristi bukanlah
Tubuh dan Darah Kristus, melainkan semata-mata tanda ingatan (memorial sign) yang dapat
memperkembangkan iman. Ia mengartikan sabda Yesus, “inilah…” sebagai “ini maksudnya
adalah…”. Untuk itu hanya imanlah yang dapat menghadirkan Kristus dalam jiwa manusia. Zwingli
sama sekali menolak karakter kurban dari perayaan Ekaristi karena menurutnya Kristus hanya
mengorbankan diri sekali untuk selamanya. Manusia hanya perlu mengingat pengurbanan diri Yesus
ini dan mengucapkan syukur atasnya.
Yohanes Kalvin lebih ingin bersikap moderat. Ia percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi,
tetapi bukan kehadiran substansial, melainkan kuasa-Nya lah yang hadir (secundum virtutem). Kuasa
Tubuh mulia Kristus di surga mengalir melalui roti dan anggur yang kemudian menjadi santapan
spiritual bagi perkembangan jiwa manusia. Kehadiran Kristus, menurut Kalvin, tidak dapat
‘dipenjara’ dalam elemen duniawi yang dapat berubah. Oleh karenanya, orang yang beriman tidak
menyantap Tubuh Kristus, melainkan menerima kehidupan melalui kuasa Tubuh mulia-Nya.
Di hadapan para teolog reformator ini, Gereja Katholik mencoba mengambil sikap dalam Konsili
Trente (1545-1562). Konsili ini memang tidak memberikan suatu pandangan yang menyatu mengenai
Ekaristi, tetapi uniformitas perumusan pernyataan tetap ada, yakni dengan rumusan-rumusan singkat
atau kanon. Ada tiga hal pokok yang di-doktrin-kan mengenai Ekaristi dalam Konsili Trente:
Kehadiran real (lih. DH 1636-1661), Kurban persembahan (lih. DH 1738-1759). Kedua paham ini
akan dijelaskan kemudian.
4.4. EKARISTI MENURUT KONSILI VATIKAN II: KESATUAN EMPAT KONSEP DASAR EKARISTI
Konsili Vatikan II berbicara mengenai Ekaristi dalam konteks yang berbeda dan dalam beragam cara
sebagai upaya untuk menangkap semua unsur dalam Ekaristi, yang telah disebutkan sebelumnya
dalam sejarah.
Pandangan Ekaristi sebagai kurban persembahan didasari pada hasil Konsili Trente. Kita dapat
menemukan jejak ini dalam dokumen Sacrosanctum Concilium (SC) no. 7: “Ia (Yesus Kristus) hadir
dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan, ‘karena yang sekarang mempersembahkan diri
melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri di kayu salib’,
maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi”. Dalam perbincangan mengenai ‘kelanjutan’ dari
32
H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 164.
kurban salib, konsep ‘pengenangan’ ditonjoLukan: “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia
diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian
Ia mengabadikan Korban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja mempelai-Nya
yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan
cintakasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita
dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (SC 47). Teologi Korban Ekaristi dipertajam dengan
penyertaan umat Kristiani: “Hendaknya mereka (umat beriman) rela diajar oleh Sabda Allah,
disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil
mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam saja melainkan juga
bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri..” (SC 48; bdk LG 28).
Dalam salah satu teks yang berbicara mengenai Yesus-mistik, Ekaristi ditampiLukan dalam konteks
teologi tubuh Kristus (LG 7). Menurut KV II, perbedaan mendasar yang nampak pada imamat umum
semua umat beriman dan imamat jabatan adalah perbedaan peran dalam Ekaristi, walaupun mereka
bertindak bersama-sama; “Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya imam pejabat membentuk dan
memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan Korban Ekaristi atas nama Kristus, dan
mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat. Sedangkan umat beriman berkat
imamat rajawi mereka ikut serta dalam persembahan Ekaristi. Imamat itu mereka laksanakan dalam
menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup
yang suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10).
Dalam wacana tentang uskup, KV II mencoba mengupayakan sesuatu yang baru, yang melampaui
paham pastor-sentris dari perspektif skolastik dengan menggali kembali kekayaan ajaran Bapa-Bapa
Gereja. Pelayan sakramen sekarang lebih dipusatkan pada diri uskup: “jadi dalam diri para uskup,
yang dibantu oleh para imam, hadirlah di tengah umat beriman Tuhan Yesus Kristus, Imam Agung
Tertinggi. Sebab meskipun Ia duduk di sisi kanan Allah Bapa, Ia tidak terpisahkan dari himpunan
para imam agung-Nya. Melainkan terutama melalui pengabdian mereka yang mulia Ia mewartakan
sabda Allah kepada semua bangsa, dan tiada hentinya Ia menerimakan sakramen-sakramen iman
kepada umat beriman” (LG 21, paragraf 1). Pernyataan mengenai uskup, Ekaristi dan persembahan
komunitas mengarah pada pandangan mengenai ekklesiologi ekaristi (Eucharistic ecclesiology):
“Uskup mempunyai kepenuhan sakramen Tahbisan, maka ia menjadi ‘pengurus rahmat
imamat tertinggi’, terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkannya sendiri atau yang
dipersembahkan atas kehendaknya, dan yang tiada hentinya menjadi sumber kehidupan dan
pertumbuhan Gereja. Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat
yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja.
Gereja-Gereja itu di tempatnya masing-masing merupakan Umat baru yang dipanggil oleh
Allah, dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (lih. 1Tes 1:5). Di situ umat beriman
berhimpun karena pewartaan Injil Kristus, dan dirayakan misteri Perjamuan Tuhan, ‘supaya
karena Tubuh dan Darah Tuhan semua saudara perhimpunan dihubungkan erat-erat’. Di setiap
himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup, tampillah lambang cinta kasih dan
‘kesatuan Tubuh mistik itu, syarat mutlak untuk keselamatan’. Di jemaat-jemaat itu, meskipun
sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan-
Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katholik, dan apostolik. Sebab, ‘keikut-sertaan
dalam tubuh dan darah Kristus tidak lain berarti berubah menjadi apa yang kita sambut’.
Adapun semua perayaan Ekaristi yang sah dibimbing oleh Uskup. Ia diserahi tugas
mempersembahkan ibadat agama kristiani kepada Allah yang mahaagung, dan mengaturnya menurut
perintah Tuhan dan hukum Gereja, yang untuk keuskupan masih perlu diperinci menurut pandangan
uskup sendiri (LG 26).
Pada tahun 2007, paus (emeritus) Benedictus XVI mengeluarkan sebuah motu proprio, Summorum
pontificum. Dekrit ini melahirkan kesulitan: pertama, dari sisi liturgis-pastoral, bagaimana kita dapat
menyatukan dua buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE), yakni TPE Pius V dan TPE Paulus VI; kedua,
dari sisi teologis, bagaimana merengkuh dua teologi yang berbeda antara teologi Ekaristi Tridentin
dan teologi Ekaristi KV II. Missale Paus V (1570) menitik-beratkan pada konsep ekaristi sebagai
‘kurban’ dan ‘kehadiran real Kristus’. Sedangkan Missale Paulus VI (1970) memusatkan perhatian
pada Ekaristi sebagai ‘perjamuan’ dan ‘kenangan’. Walaupun memberikan tantangan yang besar bagi
para teolog dan juga para liturgos, dekrit ini memberikan tuntunan praktis untuk perayaan Ekaristi
menurut Missale Pius V. Namun, jauh di atas segalanya, dekrit ini memberikan kesempatan bagi para
teolog untuk dapat menyatukan dua pandangan di atas, karena keduanya adalah merupakan kekayaan
Gereja yang tidak dapat dipinggirkan. Untuk itu, kita akan mencoba mencermati satu per satu paham
Ekaristi yang ada dan selanjutnya mencoba menawarkan suatu pandangan yang dapat menyatukan
keempat paham yang ada.
4.4.1. KEHADIRAN REAL KRISTUS DALAM EKARISTI
Ekaristi adalah simbol nyata dari kehadiran Kristus dan karya keselamatan-Nya kepada umat
manusia. Inilah inti dari ajaran iman kita akan Ekaristi. Kehadiran real Kristus dalam Ekaristi sejalan
dengan pandangan umat Yahudi dalam Perjanjian Lama tentang kehadiran dan penyertaan YHWH
dalam sejarah hidup mereka; kehadiran YHWH dalam ‘tabut perjanjian’ dan kemudian dalam ‘Bait
Allah’. Selain dalam PL, kita juga dapat menarik kesimpulan dari prolog Yohanes, yang menyebutkan
bahwa: “Sabda telah menjadi daging dan tinggal (eskènosen) di antara kita” (Yoh 1:14). Jejak-jejak
pemahaman KS akan kehadiran nyata Kristus yang menyertai umat-Nya tidak serta merta mudah
untuk diterangkan. Teks-teks neotestamentaria yang dipercaya berbicara tentang ‘kehadiran’ Kristus
dalam Ekaristi pun tidak jarang menimbuLukan pertentangan interpretatif. Kita ambil sebagai contoh
teks dari Yoh 6 tentang ‘roti hidup’.
Diskursus Yesus mengenai ‘roti hidup’ dalam injil Yohanes bab VI (ay. 22-71) merupakan salah satu
teks yang banyak menimbuLukan interpretasi. Yang menjadi pokok perdebatan adalah: bagaimana
pernyataan Yesus dapat dipahami? Apakah ia berbicara dalam arti realis atau metaforis-simbolis?
Yesus sendiri agaknya menunjukkan suatu sikap yang kuat bahwa ia sungguh memberikan tubuh-
Nya sebagai roti santapan yang membawa kehidupan:
“Akulah roti hidup yang turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-
lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh
6:51).
“Aku berkata kepada-mu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum
darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum
darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan AKu akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab
daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa
makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti
Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan
Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek
moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya” (Yoh
6:53-58).
Yesus sungguh menekankan pentingnya menyantap tubuh-Nya dan meminum darah-Nya untuk
memperoleh kehidupan. Untuk itu, kiranya pengartian metaforis akan perkataan Yesus ini akan
mengkhianati kehendak-Nya sendiri. Selain itu, penggunaan kata Yunani ‘sarx’ (daging), yang
menemukan padanannya pada kata ibrani ‘basar’ dan kata aram ‘bisra’, lebih ingin menunjuk pada
manusia konkret daripada manusia dalam arti figuratif.
Arti realis dari pemberian diri Yesus tetap ditonjoLukan manakala orang-orang Yahudi
mempertanyakan “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan?”
(Yoh 6:52). Seandainya Yesus meminta sebuah pengartian metaforis, maka Ia akan mengoreksi
pertanyaan orang-orang Yahudi tersebut. Namun, alih-alih mengoreksi, Yesus justru semakin
menekankan pengartian real dari pernyataan-Nya itu: “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan
dan darah-Ku adalah benar-benar minuman” (Yoh 6:55). Dengan demikian, pemahaman metaforis
terhadap kata-kata Yesus tidaklah sesuai dengan apa yang dimaksudkan-Nya.
Kehadiran real Kristus juga menjadi keyakinan iman para Bapa Gereja, baik yang berasal dari tradisi
sebelum Nicea (Ignatius Antiochia, Yustinus, Ireneus, Tertullianus, Clemens dari Aleksandria,
Origenes, Siprianus, dan Efrem) maupun setelahnya (Sirillus dari Aleksandria, Yohanes Krisostomus,
Hilarius dari Poitiers, Isidorus). Mereka meng-amin-i kehadiran Kristus dalam rupa roti dan anggur
yang telah dikonsekrasi. Kendati demikian, harus diakui bahwa mereka belum mencapai kematangan
atau keakuratan konsep dan terminologi mengenai realis praesentia, yang baru akan terjadi pada
masa skolastik.33
Keyakinan akan kehadiran nyata Kristus ini tidak hanya didasari pada pemikiran teologis perorangan,
melainkan telah menjadi refleksi atau pemikiran Gereja. Dengan kata lain, Gereja mencoba
mengambil sikap terhadap misteri iman ini dengan merumuskannya dalam formulasi yang disepakati,
sekaligus menjaganya dari pandangan-pandangan yang dapat memiskinkan misteri iman tersebut.
Oleh karenanya, kita mengenal pernyataan resmi pertama mengenai Ekaristi dalam Konsili Efesus
(431): “Tubuh Tuhan itu menghidupkan dan sungguh daging dari Logos Allah Bapa” (DH 262).
Kendati rumusan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Sirilus dari Aleksandria, para bapa konsili
mengakui dan menerima rumusan ini sebagai rumusan resmi Gereja. Selain itu, kita sudah kemukakan
sebelumnya mengenai kontroversi Berengarius. Pandangannya lantas dikoreksi dalam dokumen
sinode Roma VI (1079), yang mengatakan bahwa kehadiran Kristus dalam Ekaristi merupakan
kehadiran dalam kodrat dan substansi-Nya (DH 700). Konsili Lateran IV (1215) melanjutkan
pandangan ini sekaligus mempergunakan untuk pertama kalinya dalam dokumen resmi Gereja kata
“transubstansiasi” (DH 802). Selain itu, konsili ini menegaskan bahwa tubuh dan darah Kristus
terdapat kurban ekaristi yang dalam rupa roti dan anggur. Kehadiran nyata kristus ditandaskan dengan
penggunaan kata ‘secara nyata’ (veraciter).
Pernyataan resmi Gereja lainnya yang tidak dapat dilupakan adalah yang berasal dari konsili Trente
(1545-1563). Konsili Trente menyatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, setelah kata-kata
konsekrasi dan oleh karenanya, Kristus benar-benar hadir secara nyata, real dan substansial
(veraciter, realiter ac substantialiter) dalam rupa roti dan anggur (DH 1636). Kehadiran Kristus
dalam Ekaristi adalah kehadiran sakramental yang memungkinkan-Nya hadir dalam banyak tempat.
Kehadiran ini sama nyatanya dengan kehadiran atau eksistensi Kristus dalam sejarah dan dalam
kemuliaan-Nya. Pada akhirnya, harus dinyatakan bahwa kehadiran real Kristus dalam Ekaristi adalah
sebuah misteri yang membutuhkan keyakinan iman mendalam.
Setelah konsili Trente, refleksi teologis-dogmatis tridentin sangat mewarnai refleksi Gereja
selanjutnya mengenai kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi. Konsili Vatikan II, dalam dokumen
mengenai Liturgi menyatakan: “…Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam
kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan…maupun
terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi” (SC 7). Dalam terang KV II, paus Paulus VI mengeluarkan
ensiklik Mysterium fidei (1965) yang memberikan suatu pemaparan yang kaya mengenai kehadiran
Kristus dalam Gereja. Menurut Paulus VI, Martins menuliskan, kehadiran Kristus dalam Ekaristi
adalah momen puncak kehadiran Kristus yang bangkit untuk Gereja-Nya yang sedang mengembara
dalam sejarah.34
Hanya dalam perspektif ekklesiologis inilah, Martins menambahkan, kita dapat
menyerap seluruh kekayaan makna dari Ekaristi, dari kehadiran nyata tubuh dan darah Kristus untuk
seluruh umat beriman.
Satu hal yang baik ditanyakan setelah mencermati apa yang telah dituliskan sebelumnya adalah:
bagaimana kita mau memahami kehadiran nyata Kristus? Kita dapat memahaminya dalam beberapa
poin.
33
Untuk pembahasan yang lebih luas mengenai pemikiran masing-masing Bapa Gereja lihat J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione
Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 369-376.
34
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 388.
Kehadiran Kristus seutuhnya (Christus totus). Kehadiran Kristus dalam Ekaristi tentu saja harus
dimaknai sebagai kehadiran seluruh Kristus. Kendati kita berbicara mengenai kehadiran tubuh dan
darah Kristus dalam rupa roti dan anggur, pernyataan ini tidak ingin memiskinkan kehadiran Kristus
dalam kemanusiaan dan ke-ilahi-an-Nya. Kemanusiaan utuh Yesus ditunjukkan dengan perkataan-
Nya sendiri tentang daging (basar) dan darah (dam) yang diberikan untuk kita manusia. Kesatuan
ypostatik Yesus menjelaskan bagaimana lantas keutuhan manusia Yesus terhubung erat dengan
keilahian-Nya.
Kehadiran permanen. Kurban Ekaristi adalah sakramen permanen. Kehadiran permanen Kristus
dalam kurban ekaristi (hosti) telah menjadi keyakinan orang Kristen sejak masa-masa awal
kekristenan. Sirilus dari Aleksandria menepis pandangan yang meragukan kehadiran permanen
Kristus dalam ekaristi lebih dari satu hari dengan mengatakan: “Saya bermaksud mengatakan bahwa
ada beberapa orang yang memandang bahwa jika ada bagian dari kurban ekaristi yang lebih dan
disimpan untuk beberapa hari mendatang, maka ia tidak memiliki lagi khasiat penyuciannya. Adalah
suatu kegilaan mengafirmasi pernyataan ini karena Kristus tidak mengalami keterasingan dan tubuh-
Nya tidaklah berubah. Rahmat-Nya yang menghidupkan tetaplah tinggal dalam Dia dan Ia memiliki
hak dan kuasa untuk mengubah (seseorang)”.35
Dalam pemahaman serupa baik Basilius Agung
maupun Yustinus mengkritik mereka yang menyangsikan kehadiran Kristus sesudah/di luar perayaan
Ekaristi. Penolakan akan kehadiran permanen Kristus di luar perjamuan Ekaristi didasarkan pada
pemahaman bahwa kehadiran Kristus nampak dalam penerimaan elemen ekaristis dalam perjamuan
atau dalam komunitas. Menurut pemahaman ini, unsur ‘koinonia’ menjadi elemen fundamental bagi
kehadiran nyata Kristus. Pemahaman ini tidak dapat diterima karena terlalu ‘melokalisasikan’
kehadiran Kristus dalam perjamuan. Padahal, dengan mengatakan “Ini tubuh-Ku” dan “Ini darah-
Ku”, kehadiran Kristus menjadi nyata dan terus hadir bahkan setelah perayaan Ekaristi. Kehadiran
nyata Kristus bukanlah sekadar terkait dengan kurban dan koinonia, namun menunjuk pada diri
Kristus sendiri, yakni persona dari Sabda yang berinkarnasi.36
Dalam perayaan liturgis, kehadiran
Kristus menjadi begitu nyata, namun kehadiran ini sekaligus menjadi kehadiran yang berlangsung
terus bahkan di luar perayaan tersebut.
Hadir untuk mempersembahkan diri. Kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi tidak hanya
kehadiran tubuh dan darah-Nya, tetapi kehadiran keseluruhan Kristus yang hidup, Allah dan manusia.
Kehadiran Kristus ini tentulah bukan sebuah kehadiran yang dingin dan statis. Kita percaya bahwa
kehadiran Kristus ke dunia memiliki dimensi pemberian diri. Kristus hadir secara sakramental dalam
Ekaristi, tidak semata-mata untuk dapat tinggal dekat dengan kita, tetapi juga untuk memberikan diri-
Nya kepada kita. Ia menjadikan diri-Nya sebagai kurban persembahan bagi umat beriman.
4.4.2. EKARISTI SEBAGAI KURBAN
Kurban Ekaristi
Untuk dapat memahami karakter kurban dari Ekaristi –tidak hanya karakter tetapi juga esensi ekaristi,
baik jika kita lihat bagaimana para Bapa Gereja dan liturgi sendiri mencoba menggali kekayaan ini
dari kitab Perjanjian Lama. Mereka melihat bahwa dalam PL sudah ada gambaran atau persiapan
akan kurban Kristus.
Perjanjian Lama berbicara banyak mengenai kurban. Bahkan, kita dapat mencermati bagaimana
proses pengurbanan menjadi semakin kompleks seiring perjalanan waktu. Pada awalnya, masa
nomaden, persembahan dilakukan dengan cara sederhana dan kurban (binatang atau buah) sederhana;
tanpa tempat khusus dan ritual khusus. Namun, dalam perjalanan waktu, kita mengenal pelaksanaan
kurban menjadi tersentralisasi dalam Bait Allah (zaman Yosia). Selain itu, ritual menjadi lebih
kompleks, terutama masa setelah pembuangan, dimana peran imam Levi dibedakan dengan imam
35
Dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 396.
36
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 402.
pada umumnya yang hanya mempersembahkan kurban. Pada masa ini, kita mengenal kurban bakaran,
kurban silih dan kurban umum/pujian.
Persembahan kurban menjadi ekspresi manusiawi akan pemberian diri kepada Allah. Orang-orang
Israel melakukan praktik ini untuk menyatakan kesalahan dan penyesalannya di hadapan Allah.
Dengan demikian, mereka ingin berdamai kembali dengan Allah. Kurban tidak hanya menunjukkan
dimensi rekonsiliasi, melainkan juga pujian akan kebesaran-Nya, sekaligus permohonan
perlindungan. Intinya, ritual kurban menunjukkan betapa manusia sungguh tergantung pada Allah.
Dalam perjalanan waktu, ritual ini dilihat semata-mata sebagai ungkapan eksternal dan bukan sebagai
kesadaran intim akan relasi antara pemberi kurban dan Allah sendiri. Untuk itu, para nabi mengkritik
keras mentalitas zamannya dan menuntut suatu persembahan interior, yakni hati yang remuk-redam
dan kesediaan untuk mencintai Allah (bdk. Hos 4:1-19; Mal 1:6-10).
Persembahan kurban PL mendapatkan ekspresi tertingginya dalam kurban Yesus Kristus, seperti
yang dinyatakan oleh pengarang kitab Ibrani: “Kurban dan persembahan tidak Engkau kehendaki –
tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku- . Kepada korban bakaran dan korban penghapusan
dosa Engkau tidak berkenan. Lalu Aku berkata: ‘Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada
tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku” (Ibr 10:5-7). Persembahan Kristus
tidak dapat dilihat semata-mata sebagai sebuah ‘aksi’. Kurban telah menjadi ‘identitas’ Kristus
sendiri.37
Hidup Kristus telah mengekspresikan kurban itu sendiri; dari sikap ketaatan ‘Ya’, menuju
seruan “aku datang” (“ecce venio”), dan berakhir pada “selesailah sudah” (“consummatum est”).
Momen fundamental ekspresi pengurbanan Kristus adalah: persembahan di Salib. Inilah dasar
sekaligus puncak bagi ekspresi cinta-Nya kepada umat manusia. Ia mengurbankan diri-Nya bagi
keselamatan seluruh manusia.
Ketika ekspresi puncak pengurbanan Kristus ternyatakan dalam persembahan diri di atas kayu Salib,
bagaimana dengan Ekaristi sendiri? Apakah Ekaristi dapat dianggap sebagai ‘pengenangan’
(=kehadiran kembali) kurban Salib Kristus?
Dalam KS kita memang tidak akan menemukan kata ‘kurban’ yang menunjuk pada ‘Ekaristi’.
Namun, seperti telah kita lihat sebelumnya, dimensi kurban Ekaristi menemukan gambaran awalnya
dalam kurban paskah yang dirayakan setiap tahun oleh umat Yahudi untuk mengenangkan karya
keselamatan Allah atas diri mereka. Ini adalah pusat kenangan dan ibadah umat Yahudi. Perayaan
paskah Yahudi memiliki dimensi kurban yang sangat kuat. Dengan demikian, tidaklah keliru jika para
Bapa Gereja, yang melihat paskah Yahudi sebagai “cikal bakal” perjamuan ekaristi kristiani, melihat
bahwa Ekaristi memiliki dimensi kurban juga.
Karakter kurban Ekaristi menjadi sangat nyata dalam kata-kata institusi Yesus sendiri dalam
perjamuan terakhir-Nya dengan para murid. Ia menggunakan kata “diserahkan” (dedòmenon, datur;
Luk 22:19), “ditumpahkan” (ekxynnòmenon, effunditur; Luk 22:20) dan “untuk” (hupèr, pro). Ketiga
kata ini menunjukkan bahwa Kristus adalah kurban silih. Artinya, dia menjadi kurban yang akan
mendamaikan manusia dengan Allah. Kata-kata kerja yang digunakan memiliki bentuk partisipium-
presen, yang lantas dalam kitab Vulgata diterjemahkan dengan kata kerja future. Perubahan kata kerja
ini dalam terjemahan dapat dimungkinkan karena dalam gramatika bahasa Yunani, bentuk present
dapat mengacu juga pada masa depan.38
Untuk itu, tidaklah cukup berhenti pada pemahaman akan
tindakan Yesus pada momen perjamuan terakhir. Sebagaimana dikatakan oleh Giraudo: “
Pemahaman akan kata-kata konsekrasi sebagai janji Tuhan Yesus, yang dalam malam penantian akan
37
Bdk. J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 461.
38
Bdk. J. Jeremias scrive: “La forma del presente sorprende, ma si spiega in quanto l’ebraico e l’aramaico, diversamente dal greco,
non possiedono forme diverse di participio per i diversi tempi. Il participio è a-temporale; la sua sfera temporale è determinata dal
contesto. In particolare in aramaico il participio viene spesso usato per un avvenimento atteso nel prossimo futuro” (C. GIRAUDO,
“La Preghiera eucaristica nel solco della tradizione: tra recenzione e trasmessione”, in C. GIRAUDO (a cura), Il Messale Romano.
Tradizione, traduzione, adattamento. Atti della XXX Settimana di Studio dell’Associazione Professori di Liturgia, Gazzada 25-30
Agosto 2002, Edizione liturgiche, Roma 2003, 206 [citazione])
sengsara-Nya, dinyatakan secara profetis dalam rupa roti yang dipecah-pecah dan dalam rupa anggur
yang tercurah bagi komunitas kristiani awal dan yang melaluinya untuk Gereja di sepanjang zaman,
menunjukkan dasar bagi teologi ekaristi”.39
Tindakan Yesus pada momen perjamuan terakhir
memiliki dimensi masa depan, yang secara khusus dapat kita katakan sebagai ‘antisipasi’ atas
pengurbanan-Nya di kayu salib.
Paham akan Ekaristi sebagai kurban juga diajarkan oleh para Bapa Gereja kendati masing-masing
dari mereka memiliki penekanan dan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskannya. Seperti sudah
dikatakan sebelumnya, para Bapa Gereja melihat bahwa kurban ekaristi sudah dinyatakan secara
implisit dalam PL dan ternyatakan secara jelas dalam PB terutama dalam momen perjamuan terakhir.
Dimensi kurban dalam Ekaristi bukanlah buah dari suatu refleksi historis dari Bapa Gereja akan
Ekaristi, melainkan kesadaran akan kehendak Yesus sendiri yang meminta supaya persembahan yang
Ia lakukan dapat dikenangkan dan dibaharui terus menerus.40
Para Bapa Gereja tidak hanya berhenti
pada kesadaran akan dimensi kurban dalam Ekaristi, namun mencari juga dasar baginya. Untuk itu,
mereka (Efrem, Hippolitus, Gregorius dari Nissa) mengatakan bahwa Kristus adalah ‘yang
mempersembahkan kurban’ dan sekaligus ‘kurban’ itu sendiri. Selain itu, sebagai yang
mempersembahkan kurban, Kristus adalah Imam. Dia adalah Imam, yang dalam diri para imam,
melalui kehadiran sakramental, mempersembahkan kurban yang kelihatan bagi Gereja (Ambrosius).
Paham ini juga menjadi begitu kuat pada masa abad pertengahan-skolastik, dalam sintesa st. Thomas
Aquinas. Doktor Angelicum ini menyatakan bahwa Kristus sungguh hadir dalam Ekaristi sebagai
kurban yang dipersembahkan. Kurban ini mengacu pada kurban-Nya di kayu salib.
Pada masa setelahnya, yakni zaman modern, untuk menjawab ajaran para reformator, Gereja, melalui
konsili Trente menandaskan karakter kurban dari Ekaristi (DH 1743). Ajaran konsili Trente inilah
yang menjadi dasar refleksi Gereja selanjutnya. Dengan mengikuti pandangan tridentin, Paus Pius
XII, dalam ensikliknya Mediator Dei (1947), sangat menekankan aspek kurban dalam perayaan
Ekaristi; Ekaristi adalah perjamuan kurban, dimana kurban ekaristi sebagaimana kurban salib adalah
Kristus sendiri dalam kemanusiaan-Nya. Pandangan ini senada juga dengan apa yang dinyatakan
dalam dokumen KV II tentang Liturgi (SC): “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan,
Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia
mengabadikan Korban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya
yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan
cintakasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita
dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (SC 47). Dalam kesepahaman dengan KV II, Paus
Paulus VI, dalam ensiklik Mysterium fidei, menggarisbawahi relasi antara kurban Ekaristi dengan
kurban Salib Yesus.
Kodrat kurban Ekaristi
Dengan menggarisbawahi relasi antara kurban Ekaristi dan kurban Salib Kristus, maka kita harus
dapat memperlihatkan bagaimana relasi yang terjadi antara Altar, Salib, dan Perjamuan terakhir.
Relasi ketiga hal ini nampak dalam Perjamuan terakhir Yesus bersama para murid. Kepada para
murid, Yesus mengatakan bahwa Ia menyerahkan roti dan anggur yang adalah Tubuh dan Darah-
Nya; penyerahan yang ditujukan bagi para murid. Selain itu, sudah kita nyatakan sebelumnya bahwa
penyerahan Yesus pada perjamuan terakhir memiliki dimensi imminen, artinya penyerahan yang akan
segera terjadi di atas puncak Kalvari. Kenangan akan perjamuan kurban ini (perjamuan terakhir dan
kurban Salib) dikenangkan dan diwartakan dalam Ekaristi di atas Altar. Di atas Altar-lah pewartaan
wafat dan kebangkitan Kristus terjadi. Walaupun memiliki ikatan yang begitu erat, masing-masing
memiliki perbedaaan. Martins berpendapat demikian: “Kurban salib berciri absolut dan satu kali,
sedangkan kurban altar secara essensial berciri relatif dan mengulang. Kurban salib merupakan
39
C. GIRAUDO, “La Preghiera eucaristica nel solco della tradizione: tra recenzione e trasmessione”, 207.
40
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 461.
kurban kejam (immolazione cruenta) yang harus ditanggung oleh Yesus, Ekaristi adalah kurban yang
tidak kejam yang memberikan nutrisi bagi manusia. Kurban salib adalah sumber penebusan kita,
sedangkan Ekaristi adalah konkretisasi penebusan bagi setiap umat anggota bangsa pilihan Tuhan”.41
Sejauh ini, kita masih berbicara mengenai dimensi kurban Ekaristi. Agaknya semua dapat meyakini
hal ini. Namun, ketika harus berbicara mengenai essensi kurban Ekaristi, para teolog memiliki
pandangan yang berbeda-beda. O. Casel agaknya memberikan suatu pandangan yang cukup
komprehensif.42
Menurut pandangannya, Ekaristi dipahami sebagai kurban bukan karena ia
merupakan persembahan kurban fisik, bukan juga karena pada saat ekaristi terjadi suatu
penghormatan (oblatio) eksternal (De la Taille) atau internal (Lepin), bukan juga karena terjadi dalam
suatu persekutuan (Renz), bukan juga karena terjadi di dalamnya sebuah kurban mistik (Billot).
Ekaristi, menurut Casel, disebut sebagai kurban karena menghadirkan kembali (ri-presenta) kurban
Kristus yang sama, yakni kurban Salib. Oleh karenanya, kurban altar tidak lain adalah kurban salib
yang karena transubstansiasi bisa hadir hic et nunc.
Dari pandangan yang berbeda-beda dari para teolog, kita dapat menarik benang merah bahwa Ekaristi
adalah sebuah persembahan kurban (sacrificio) karena di sana lah terdapat kurban (immolazione)
yang sungguh. Yang dimaksudkan dengan ‘kurban yang sungguh’ tentulah bukan kurban fisik,
melainkan kurban sakramental.
Ekaristi sebagai kurban Kristus dan kurban Gereja
Poin penting yang dapat membantu kita memahami bagaimana Ekaristi dapat menjadi kurban Kristus
sekaligus kurban Gereja adalah bahwa Gereja selalu bersatu dengan Kristus yang adalah Imam dan
kurban. Dengan demikian, Gereja mempersembahkan kurban, tetapi Gereja juga mempersembahkan
dirinya bersama Kristus.
4.4.3. EKARISTI SEBAGAI PERJAMUAN
Komuni dan Kurban
Ekaristi bukanlah semata-mata kurban, namun juga perjamuan. Ekaristi adalah perjamuan kurban.
Altar adalah meja perjamuan dan meja perjamuan adalah Altar. Kita dapat dengan mudah
menemukan karakter perjamuan dari Ekaristi dalam Kitab Suci. Kita ingat bagaimana hal menyantap
kurban menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam ritual Yahudi (bdk. Ul 12:7). Dalam PB, diskursus
Yesus dalam Yoh 6 menunjukkan secara jelas aspek perjamuan dari Ekaristi. Pada bagian pertama,
Yesus berbicara mengenai diri-Nya yang adalah Roti yang turun dari Surga, pada bagian kedua, Ia
menyatakan bahwa Roti itu adalah daging-Nya yang harus disantap supaya memperoleh kehidupan.
Selain itu, karakter perjamuan Ekaristi nampak dalam momen terakhir Yesus bersama para murid-
Nya, yakni perjamuan terakhir dengan kata-kata institusi yang diucapkan-Nya: makanlah dan
minumlah. Dengan demikian, perjamuan turut menyertakan tindakan menyantap Tubuh dan
meminum Darah-Nya. Dalam perjamuan Ekaristi, tidak hanya terjadi perubahan secara substantif roti
dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, melainkan orang diajak untuk menyantap dan
meminumnya.43
Perjamuan kurban tidak akan lengkap tanpa tindakan makan dan minum.
Untuk menekankan aspek perjamuan ini, Paulus berbicara mengenai “mensa domini” (1 Kor 10:21),
“cena domini” (1 Kor 11:20) dan Lukas berbicara mengenai “fractio panis” (Luk 24:35). Keyakinan
ini lantas berlanjut dalam refleksi para Bapa Gereja (Yohanes Krisostomus dan Agustinus). Mereka
tidak hanya melihat Ekaristi sebagai kurban, tetapi juga perjamuan mingguan orang-orang Kristen
yang ingin memuji Allah sambil memecah-mecahkan roti.
41
J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 479.
42
Dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 486-487.
43
Bdk. J.S. MARTINS, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 510.
Kendati demikian, aspek perjamuan tidak selamanya selalu ditekankan dalam refleksi Gereja, bahkan
sempat masuk dalam ranah abu-abu. Contoh yang sangat jelas adalah ketika Gereja bereaksi terhadap
ajaran Luther mengenai Ekaristi. Luther menyangkal aspek kurban dan menyatakan bahwa Ekaristi
tak lebih dari peringatan akan kurban Salib. Untuk menyangkal pandangan ini, Gereja lantas
memberikan porsi besar terhadap ajaran Ekaristi sebagai kurban, dengan konsekuensi bahwa aspek
perjamuan tidak lagi ditonjoLukan dan cenderung tenggelam. Konsili Vatikan II memberikan
kesegaran terhadap pandangan ini, syukur atas kemajuan studi KS dan terutama pembaharuan liturgi.
Sacrosanctum Concilium no. 47 menyiratkan bahwa Ekaristi adalah “mensa domini” dimana Gereja
mengundang orang beriman untuk menyantap dan memperoleh nutrisi darinya; Ekaristi juga adalah
perjamuan paskah dimana “dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita
dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang”.
Dalam liturgi Ekaristi sendiri, aspek perjamuan terlihat dalam rumusan prefasi Ekaristi II: “Dialah
Imam sejati dan kekal, yang menyerahkan diri-Nya sebagai kurban sepanjang masa demi keselamatan
kami. Untuk mengenangkan Dia kami mempersembahkan kurban ini. Dengan menyambut Tubuh
Kristus yang dikurbankan ini, kami dikuatkan; dan dengan minum Darah Kristus yang dicurahkan ini,
kami dimurnikan”.
Dengan mencermati apa yang telah kita nyatakan, akan timbul kesadaran bahwa tidak mungkin
dipisahkan antara kurban dan perjamuan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Bagi komunitas
kristiani awal, kesatuan ini nampak. Oleh karenanya mereka menyebut Ekaristi sebagai “coena
dominica”. Untuk mereka, Ekaristi adalah ‘kurban’ yang terkait erat dengan tindakan ‘menyantap
kurban’. Keterkaitan antara kurban dan perjamuan sebenarnya sudah nampak dalam PL. Kurban yang
dipersembahkan dan disucikan tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri, melainkan terarah pada
perjamuan atau santapan bersama. Tentu saja kita harus berhati-hati untuk menyatakan hal ini, karena
perjamuan umum Yahudi berbeda dengan perjamuan Ekaristi kristiani (bdk. 1 Kor 11:29). Hal
mendasar yang membedakannya adalah bahwa dengan merayakan “cena domini”, orang-orang
Kristen mengenangkan sengsara dan kematian Kristus, yakni kurban salib-Nya.
Sampai saat ini tentu saja kita menekankan kesatuan antara perjamuan dan kurban, seperti yang
memang telah terjadi pada praktik komunitas awal. Dengan demikian belum ada kebiasaan untuk
menyimpan hosti dalam tabernakel. Harus diingat bahwa hosti yang disimpan dalam tabernakel
diperuntukkan bagi orang-orang yang karena sakit tidak dapat menghadiri perayaan Ekaristi atau bagi
orang-orang yang ingin mendapatkan kekuatan spiritual di hadapan tantangan kematian sebagai
martir. Konsekuensi dari praktik ini adalah bahwa orang dapat menerima hosti di luar perayaan
ekaristi. Pada abad pertengahan kita dapat menjumpai adanya praktik yang semakin menjauhkan
penerimaan komuni dari perayaan Ekaristi. Alasan mendasar dari praktik ini kiranya sulit dipastikan.
Mungkin saja, seperti dituliskan Martins, yang menyebabkan mengapa praktik ini dapat terjadi adalah
untuk mempercepat selesainya perayaan ekaristi, karena kerap kali waktu penerimaan komuni
menjadi begitu panjang, terutama pada perayaan-perayaan besar.44
Kendati praktik ini umum
dilakukan, Paus Benediktus XIV (†1758), dalam De SS. Missae sacrificio menentang keras praktik
ini. Sikap yang kurang lebih sama ditampakkan oleh Paus Pius XII (†1958) dalam Mediator dei
(1947). Paus Pius XII ingin mengembalikan kesadaran akan kesatuan antara kurban ekaristi dan
(penerimaan) komuni itu sendiri. Konsili Vatikan II, dalam SC no. 55, menyebutkan: “dianjurkan
dengan sangat partisipasi umat yang lebih sempurna dalam Misa, dengan menerima Tubuh Tuhan
dari Kurban itu juga sesudah imam menyambut Komuni”. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bahwa
umat menerima Kristus tidak hanya secara spiritual melainkan juga secara sakramental dengan
menyantap-Nya dalam perayaan Ekaristi.
Dengan menyatakan kesatuan antara perjamuan dan kurban, komuni dan kurban, kita harus
mengetahui kodrat kesatuan dua hal itu. Sebelum berbicara mengenai kodrat kesatuan itu, kita harus
menyadari adanya perbedaan antara komuni imam dan komuni umat, untuk itu berbeda pula relasinya
44
J.S. MARTINS, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 515.
Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto
Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto
Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto
Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto
Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto
Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto

More Related Content

What's hot

Peringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua Kedatangan
Peringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua KedatanganPeringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua Kedatangan
Peringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua KedatanganJohan Setiawan
 
Godaan wanita muda di akhir zaman
Godaan wanita muda di akhir zamanGodaan wanita muda di akhir zaman
Godaan wanita muda di akhir zamanRintujok Perrines
 
Makna Kenaikan Yesus Kristus
Makna Kenaikan Yesus KristusMakna Kenaikan Yesus Kristus
Makna Kenaikan Yesus KristusJohan Setiawan
 
PERANAN GEREJA DALAM JEMAAT MASA KINI
PERANAN GEREJA DALAM  JEMAAT  MASA KINI PERANAN GEREJA DALAM  JEMAAT  MASA KINI
PERANAN GEREJA DALAM JEMAAT MASA KINI lokobaltenius
 
TFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat Agung
TFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat AgungTFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat Agung
TFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat AgungJohan Setiawan
 
The Inner Circle (Lingkaran Dalam)
The Inner Circle (Lingkaran Dalam)The Inner Circle (Lingkaran Dalam)
The Inner Circle (Lingkaran Dalam)Johan Setiawan
 
Keabadian umat tuhan
Keabadian umat tuhanKeabadian umat tuhan
Keabadian umat tuhanslametwiyono
 
3 jenis orang kristen.
3 jenis orang kristen.3 jenis orang kristen.
3 jenis orang kristen.Tujok Laing
 
Sakramen Perkawinan dalam Gereja
Sakramen Perkawinan dalam GerejaSakramen Perkawinan dalam Gereja
Sakramen Perkawinan dalam GerejaAlfonsus Widhi
 
Antropologi perspektif iman kristen
Antropologi  perspektif iman kristen Antropologi  perspektif iman kristen
Antropologi perspektif iman kristen Daniel Saroengoe
 
Pure Promises (Mazmur 12)
Pure Promises (Mazmur 12)Pure Promises (Mazmur 12)
Pure Promises (Mazmur 12)Johan Setiawan
 
Panggilan Gembala Agung : Ikutlah Aku
Panggilan Gembala Agung : Ikutlah AkuPanggilan Gembala Agung : Ikutlah Aku
Panggilan Gembala Agung : Ikutlah AkuDaniel Saroengoe
 

What's hot (20)

Peringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua Kedatangan
Peringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua KedatanganPeringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua Kedatangan
Peringatan Kenaikan Yesus Kristus: Di Antara Dua Kedatangan
 
Godaan wanita muda di akhir zaman
Godaan wanita muda di akhir zamanGodaan wanita muda di akhir zaman
Godaan wanita muda di akhir zaman
 
Makna Kenaikan Yesus Kristus
Makna Kenaikan Yesus KristusMakna Kenaikan Yesus Kristus
Makna Kenaikan Yesus Kristus
 
Damai sejahtera
Damai sejahteraDamai sejahtera
Damai sejahtera
 
Materi dasar pemuridan
Materi dasar pemuridanMateri dasar pemuridan
Materi dasar pemuridan
 
Dipenuhi ROH Kudus
Dipenuhi ROH KudusDipenuhi ROH Kudus
Dipenuhi ROH Kudus
 
Dogmatika
Dogmatika Dogmatika
Dogmatika
 
PERANAN GEREJA DALAM JEMAAT MASA KINI
PERANAN GEREJA DALAM  JEMAAT  MASA KINI PERANAN GEREJA DALAM  JEMAAT  MASA KINI
PERANAN GEREJA DALAM JEMAAT MASA KINI
 
Hidup oleh iman
Hidup oleh imanHidup oleh iman
Hidup oleh iman
 
TFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat Agung
TFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat AgungTFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat Agung
TFT Kambium - Pola Pelayanan Amanat Agung
 
The Inner Circle (Lingkaran Dalam)
The Inner Circle (Lingkaran Dalam)The Inner Circle (Lingkaran Dalam)
The Inner Circle (Lingkaran Dalam)
 
Keabadian umat tuhan
Keabadian umat tuhanKeabadian umat tuhan
Keabadian umat tuhan
 
Garam & Terang Dunia
Garam & Terang DuniaGaram & Terang Dunia
Garam & Terang Dunia
 
3 jenis orang kristen.
3 jenis orang kristen.3 jenis orang kristen.
3 jenis orang kristen.
 
Ppt 2 pribadi yesus kristus
Ppt 2   pribadi yesus kristusPpt 2   pribadi yesus kristus
Ppt 2 pribadi yesus kristus
 
Sakramen Perkawinan dalam Gereja
Sakramen Perkawinan dalam GerejaSakramen Perkawinan dalam Gereja
Sakramen Perkawinan dalam Gereja
 
Love, dating and; sex
Love, dating and; sexLove, dating and; sex
Love, dating and; sex
 
Antropologi perspektif iman kristen
Antropologi  perspektif iman kristen Antropologi  perspektif iman kristen
Antropologi perspektif iman kristen
 
Pure Promises (Mazmur 12)
Pure Promises (Mazmur 12)Pure Promises (Mazmur 12)
Pure Promises (Mazmur 12)
 
Panggilan Gembala Agung : Ikutlah Aku
Panggilan Gembala Agung : Ikutlah AkuPanggilan Gembala Agung : Ikutlah Aku
Panggilan Gembala Agung : Ikutlah Aku
 

Similar to Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto

PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11
PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11
PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11ssuser328cb5
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikssuser328cb5
 
Sakramen-Sakramen.ppt
Sakramen-Sakramen.pptSakramen-Sakramen.ppt
Sakramen-Sakramen.pptDinarDorotea
 
Bahan sosialisasi bkl 2015
Bahan sosialisasi bkl 2015Bahan sosialisasi bkl 2015
Bahan sosialisasi bkl 2015karangpanas
 
Materi Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptx
Materi Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptxMateri Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptx
Materi Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptxBOWLNChannel
 
338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptx
338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptx338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptx
338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptxThomasAntonWibowo
 
Hati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat Ekaristi
Hati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat EkaristiHati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat Ekaristi
Hati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat EkaristiChatarina Pantja W
 
OSAT Sejarah Gereja - History of Churches
OSAT Sejarah Gereja - History of ChurchesOSAT Sejarah Gereja - History of Churches
OSAT Sejarah Gereja - History of ChurchesPrayPutraHasianroNad
 
Konstitusi tentang liturgi suci
Konstitusi tentang liturgi suciKonstitusi tentang liturgi suci
Konstitusi tentang liturgi suciQLang Project
 
Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)
Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)
Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)Giovanni Promesso
 
Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]
Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]
Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]GiovaniBimbyDwianton
 
Compendium katekismus gereja katolik
Compendium katekismus gereja katolikCompendium katekismus gereja katolik
Compendium katekismus gereja katolikAserie Dungus
 
Gereja dan sakramen
Gereja dan sakramenGereja dan sakramen
Gereja dan sakramenAperius T.
 
Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)
Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)
Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)anandasesilia
 
Kompedium Katekismus Gereja Katolik Indonesia
Kompedium Katekismus Gereja Katolik IndonesiaKompedium Katekismus Gereja Katolik Indonesia
Kompedium Katekismus Gereja Katolik Indonesiasuitbertusmarsanto1
 
Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018
Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018
Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018David Syahputra
 

Similar to Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto (20)

PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11
PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11
PPT MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA KELOMPOK 11
 
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolikMAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
MAKALAH agama.11docx.docx. ppt agama katolik
 
Sakramen-Sakramen.ppt
Sakramen-Sakramen.pptSakramen-Sakramen.ppt
Sakramen-Sakramen.ppt
 
Bahan sosialisasi bkl 2015
Bahan sosialisasi bkl 2015Bahan sosialisasi bkl 2015
Bahan sosialisasi bkl 2015
 
Materi Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptx
Materi Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptxMateri Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptx
Materi Sakramen Untuk Sekolah Sidi1.pptx
 
338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptx
338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptx338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptx
338169482-SAKRAMEN-SAKRAMEN dalam Gereja.pptx
 
Hati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat Ekaristi
Hati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat EkaristiHati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat Ekaristi
Hati Penuh Syukur, Jiwa dan Semangat Ekaristi
 
GEMPAR 12
GEMPAR 12GEMPAR 12
GEMPAR 12
 
OSAT Sejarah Gereja - History of Churches
OSAT Sejarah Gereja - History of ChurchesOSAT Sejarah Gereja - History of Churches
OSAT Sejarah Gereja - History of Churches
 
Konstitusi tentang liturgi suci
Konstitusi tentang liturgi suciKonstitusi tentang liturgi suci
Konstitusi tentang liturgi suci
 
Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)
Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)
Katekismus Gereja Katolik (Kompendium)
 
Roh kudus
Roh kudusRoh kudus
Roh kudus
 
Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]
Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]
Materi Pembelajaran Sakramen Ekaristi [Kelas 8]
 
Compendium katekismus gereja katolik
Compendium katekismus gereja katolikCompendium katekismus gereja katolik
Compendium katekismus gereja katolik
 
Gereja dan sakramen
Gereja dan sakramenGereja dan sakramen
Gereja dan sakramen
 
Pembaptisan bayi
Pembaptisan bayiPembaptisan bayi
Pembaptisan bayi
 
Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)
Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)
Mpk katolik 4c gereja dan agama lain (UAS)
 
Modul agama kristen
Modul agama kristenModul agama kristen
Modul agama kristen
 
Kompedium Katekismus Gereja Katolik Indonesia
Kompedium Katekismus Gereja Katolik IndonesiaKompedium Katekismus Gereja Katolik Indonesia
Kompedium Katekismus Gereja Katolik Indonesia
 
Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018
Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018
Pelajaran sekolah sabat ke-6 triwulan IV 2018
 

Recently uploaded

AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURANAYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURANBudiSetiawan246494
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRobert Siby
 
KISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SD
KISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SDKISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SD
KISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SDAprihatiningrum Hidayati
 
Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdf
Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdfBuku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdf
Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdfsrengseng1c
 
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfDianNovitaMariaBanun1
 
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratIhsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratpuji239858
 
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaSEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaRobert Siby
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Adam Hiola
 
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHWJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHRobert Siby
 
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.KennayaWjaya
 
Pendidikan agama islam syirik modern.pptx
Pendidikan agama islam syirik modern.pptxPendidikan agama islam syirik modern.pptx
Pendidikan agama islam syirik modern.pptxArdianAlaziz
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSRobert Siby
 
BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptx
BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptxBUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptx
BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptxWahyudinHioda
 
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Ustadz Habib
 

Recently uploaded (14)

AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURANAYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
 
KISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SD
KISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SDKISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SD
KISAH NABI MUSA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SD
 
Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdf
Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdfBuku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdf
Buku Panduan Baca Tulis Al-Quran dan Praktik Ibadah.pdf
 
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
 
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratIhsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
 
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaSEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
 
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHWJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
 
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
 
Pendidikan agama islam syirik modern.pptx
Pendidikan agama islam syirik modern.pptxPendidikan agama islam syirik modern.pptx
Pendidikan agama islam syirik modern.pptx
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
 
BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptx
BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptxBUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptx
BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT ORANG ARAB.pptx
 
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
 

Ekaristi sebagai sakramen cinta kasih oleh Romo Winarto

  • 1. Ekaristi sebagai Sakramen Cinta Kasih Sakramen berasal dari kata ‘mysterion - mysterion’ (Yunani), yang dijabarkan dengan kata‘mysterium’ dan ‘sacramentum’ (Latin). Kata Latin Sacrare berarti menyucikan, menguduskan atau mengkhususkan sesuatu atau sesorang bagi bidang yang suci atau kudus. Kata Sacramentum dipakai untuk menjelaskan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut sebagai ‘mysterium‘. Ada pun dalam masyarakat Romawi kuno, sacramentum juga digunakan menurut dua pengertian yang konkret tetapi religius juga. Pertama, kata sacramentum menunjuk sumpah prajurit yang digunakan untuk menyatakan kesediaan diri seseorang untuk mengabdikan diri bagi dewa dan negara. Kedua, kata sacramentum menunjuk pada uang jaminan atau denda yang ditaruh dalam suatu kuil dewa oleh orang-orang atau pihak-pihak yang berperkara dalam pengadilan. Pihak yang menang berhak mngambil kembali uangnya, sementara pihak yang kalah harus merelakan uang jaminan itu untuk persembahan bagi dewa dan Negara. Kata “sakramen (sacramentum [Lat.])” ditemukan dalam teks Kitab Suci berbahasa Latin (versi Africa) untuk menerjemahkan kata “misteri (mysterion [Yun.]) yang terdapat dalam teks asli KS berbahasa Yunani. Misteri memiliki arti harafiah “yang tersembunyi” (lih. Tobit 12:7), namun santo Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (1:9), di Kolose (1:26 dst.) dan di Roma (16:25), memberikan arti yang berbeda: pengungkapan dan realisasi rencana keselamatan Allah dalam ekonomi keselamatan melalui diri Yesus Kristus. Dalam literatur paulinum, kata ‘misteri’ agaknya di-sinonim-kan dengan kata ‘pengungkapan/pewahyuan’ (apokalupsis). Secara lebih luas, rasul Paulus menyatakan bahwa subjek rencana keselamatan Allah adalah Kristus, Gereja, dan totalitas hidup manusia.1 Dalam perjalanan waktu, sejak abad IV, kata “misteri” lebih akan menunjuk pada ritus-kultus kristiani. Dalam Ekaristi adalah sumber dan puncak Hidup kristiani. Pertumbuhan hidup kristiani bergerak ke arah persatuan yang semakin erat dengan Kristus akan mencapai puncaknya pada Ekaristi yang adalah Kristus sendiri. Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan-Nya dan menjadi satu Tubuh. Ekaristi merupakan Perjanjian Baru dan Kekal yang menjadi dasar pembentukan Umat pilihan yang baru, yaitu Gereja. Dengan menerima Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan melalui Dia, kepada Allah Tritunggal, sebab Ekaristi adalah kenangan kurban Yesus dalam ucapan syukur kepada Allah Bapa, oleh kuasa Roh Kudus. Dalam Ekaristi, Tuhan tidak hanya hadir, tetapi ‘tinggal’ di dalam kita sehingga kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi, kehidupan yang memberikan kita kekuatan untuk mencapai kesempurnaan kasih, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. I. KEDUDUKAN EKARISTI DALAM GEREJA SECARA UMUM Dalam sejarah Gereja Ekaristi sudah dirayakan oleh jemaat sejak Gereja Perdana, sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Ekaristi disebut dengan istilah “memecahkan roti”. Ekaristi dipahami sebagai pemecahan roti (fractio panis). Apa yang dilakukan oleh Gereja Perdana melaksanakan amanat Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir sebagaimana ditulis oleh para pengarang Injil dan oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: “… perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” (1 Kor 11:24). Ekaristi adalah warisan paling agung yang diberikan oleh Yesus kepada para murid-Nya, kepada Gereja. 1 H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota 1992.44.
  • 2. ➔ Identitas Gereja Kristus adalah Ekaristi. Maka Gereja-Gereja yang memisahkan diri dari Gereja Katolik dengan meniadakan Ekaristi sesungguhnya kehilangan hal yang paling hakiki untuk mengenang dan menghadirkan Yesus sebagaimana dikehendaki-Nya: memakan Tubuh- Nya dan minum Darah-Nya. Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK kan. 897) dikatakan, “Sakramen yang terluhur ialah Ekaristi mahakudus, di dalamnya Kristus Tuhan sendiri dihadirkan, dikurbankan dan disantap, dan melaluinya Gereja selalu hidup dan berkembang. Kurban Ekaristi, kenangan wafat dan kebangkitan Tuhan, dimana Kurban salib diabadikan sepanjang masa, adalah puncak seluruh ibadat dan kehidupan kristiani dan sumber yang menandakan serta menghasilkan kesatuan umat Allah dan menyempurnakan pembangunan tubuh Kristus. Sedangkan sakramen-sakramen lain dan semua karya kerasulan gerejawi melekat erat dengan Ekaristi mahakudus dan diarahkan kepadanya”. ➔ Ekaristi tanda kehadiran Kristus secara nyata, yakni Kristus yang mengorbankan diri untuk santapan Gereja dan dari sana Gereja memperoleh hidupnya. Ekaristi adalah Paskah Kristus yang terus-menerus dirayakan sepanjang masa. Ekaristi menjadi satu-satunya nutrisi hidup Tubuh Kristus (Gereja). Dalam Sacrosantum Concilium (SC. 10), yaitu, Konstitusi tentang liturgi suci dikatakan bahwa Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup kristiani. Dikatakan Puncak sebab usaha-usaha kerasulan Gereja mempunyai tujuan agar semua orang melalui iman dan baptis menjadi putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam korban dan menyantap perjamuan Tuhan. Dikatakan Sumber karena liturgi, terutama Ekaristi, mengalirkan rahmat kepada kita dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus. Katekimus Gereja Katolik, no. 1324 dikatakan bahwa “Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup kristiani (LG 11). Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita(PO 5)”. ➔ Seluruh hidup Gereja bersumber dan berpuncak pada Ekaristi. Tetapi bukan berarti apa-apa harus dirayakan dengan Ekaristi. Misal penggalian dana dengan Ekaristi, karena mendapatkan kolekte. Atau di mana-mana bisa dirayakan Ekaristi dengan alasan-alasan praktis dan mengesampingkan dimensi eklesialnya. Dalam hal ini berkaitan dengan persekutuan Umat Allah atau Gereja dalam level parokial, sehingga persekutuan dalam tingkat paroki sulit terbangun. Akhirnya semakin banyak umat yang tidak memiliki keterikatan secara eklesial dengan parokinya; apalagi keterikatan secara batin, semakin tidak ada dan bahkan parahnya lagi banyak yang tidak kenal romonya sendiri. Ekaristi sungguh-sungguh sakramen cintakasih untuk membangun dan mneghidupkan persekutuan. Kalau tidak hati-hati bisa jatuh pada pemahaman Ekaristi yang keliru bahkan merendahkan martabat Ekaristi. Karena sangat mungkin bahwa Ekaristi kemudian menjadi komersil – hanya untuk mengejar materi, demi mengumpulkan kolekte. Ecclesia de Eucharistia, 17 April 2003, mengungkapkan bahwa Gereja hidup dari Ekaristi, sebab Ekaristi adalah sumber tak tergantikan dari suatu nilai abadi yang dibuat Kristus secara keseluruhan berpuncak pada misteri Paskah-Nya, yaitu sengsara, wafat, kebangkitan. Dalam perayaan Ekatisti yang terdiri dari dua bagian utama yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Kurban Syukur, kita menimba dua sumber dari pribadi ilahi yang sama. → Ekaristi sebagi sumber dan puncak hidup Gereja.
  • 3. Eucharisticum Mysterium, 25 Mei 1967 menjelaskan tentang dampak perayaan Ekaristi pada kehidupan sehari-hari umat beriman bahwa apa yang diterima umat dengan iman dan secara sakramental dalam perayaan Ekatisti, harus memberikan dampak nyata dalam tingkah laku mereka. Dari sebab itu hendaklah mereka berusaha menempuh seluruh hidup mereka dengan gembira dan penuh rasa syukur ditopang oleh santapan surgawi, sambil turut serta dalam wafat dan kebangkitan Tuhan. Demikianlah, setiap orang yang mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, haruslah penuh gairah ingin berbuat baik, menyenangkan Allah dan hidup pantas sambil membaktikan diri kepada Gereja, mempraktekkan apa yang diajarkan kepadanya, dan bertumbuh dalam kesalehan. Ia pun akan bersedia menjadi saksi Kristus di dalam segala hal, justru dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup manusia agar dunia diresapi dengan semangat Kristus. Sebab tidak satu jemaat kristen pun dapat dibangun, terkecuali kalau berakar dan berporos pada perayaan Ekaristi Mahakudus. → Ekaristi harus membuat orang menjadi berbuah. Sacramentum Caritatis, no 1 mengungkapkan bahwa Sakramen cinta kasih, Ekaristi kudus, adalah karunia pemberian diri Yesus Kristus, yang mengungkapkan kepada kita kasih Allah yang tak terbatas kepada setiap orang… Sakramen yang mengagumkan ini menyatakan kasih yang lebih besar itu, yakni kasih yang mendorong Dia untuk memberikan nyawaNya bagi sahabat-sahabatNya (Yoh 15:13). Yesus sungguh mengasih mereka sampai pada kesudahannya (Yoh 13:1). Dengan cara yang sama, dalam Sakramen Ekaristi, Yesus terus mengasihi kita sampai pada kesudahannya, bahkan menyerahkan Tubuh dan DarahNya kepada kita. Sacramentum Caritatis, no. 9 mengungkapkan bahwa Yesus sebagai Anak Domba kurban sejati, kurban perjanjian baru dan kekal yang datang dari Allah, yang tergenapi dalam misteri Paskah. “ Lewat Sakramen Ekaristi, perutusan yang membuat Yesus datang di tengah kita digenapi dalam Misteri Paskah. Dari salib Ia menarik semua orang kepada diriNya (Yoh 12:32), tepat sebelum Ia “menyerahkan RohNya” dan pada salib itu Ia mengucapkan kata-kata, “Sudah selesai” (Yoh 19:30). Dalam misteri ketaatan Kristus sampai mati, bahkan sampai mati di salib (Flp 2:8), diwujudkanlah perjanjian yang baru dan kekal. Dalam tubuhNya yang tersalib, kebebasan Allah dan kebebasan insani kita secara definitif berjumpa dalam perjanjian sah yang tat terputuskan dan yang kekal. Dosa manusia juga dihapuskan sekali untuk selama-lamanya oleh Putera Allah (Ibr 7:27; 1 Yoh 2:2; 4;10). Yesus adalah Anak Domba paskah sejati yang dengan rela menyerahkan diri untuk dikurbankan bagi kita dan dengan demikian mewujudkan perjanjian yang baru dan kekal. Ekaristi mengandung kebaruan radikal, yang diberikan kepada kita dalam setiap perayaan” Sacramentum Caritatis no. 14 “Lewat Sakramen Ekaristi, Yesus menunjukkan kepada kita ikatan yang Ia bangun antara Dia dan kita, antara PribadiNya sendiri dengan Gereja. Sungguh dalam kurban salib, Kristus melahirkan Gereja sebagai Mempelai dan tubuhNya. Gereja menimba hidupnya dari Ekaristi. Karena Ekaristi menghadirkna kurban Kritus yang menyelamatkan, maka kita harus mulai memahami bahwa Ekaristi memiliki pengaruh kasual terhadap asal usul keberadaan Gereja sendiri. Ekaristi adalah Kristus sendiri yang memberikan diriNya sendiri dan terus menerus membangun kita sebagai tubuhNya”. → Ekaristi melahirkan persekutuan. Sacramentum Caritatis no. 15 “Ekaristi adalah dasar keberadaan Gereja dan kegiatan Gereja. Ekaristi adalah kenangan akan Kristus sebagai ungkapan sakramental tertinggi dari persekutuan dalam Gereja. Kesatuan persekutuan gerejawi secara konkret dinyatakan dalam komunitas-komunitas kristiani dan dibarui dalam Perayaan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi setiap anggota kaum beriman menemukan dirinya dalam Gereja Kristus”. Presbyterorum Ordinis (PO), 5 dikatakan “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejawi serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita dan Roti hidup, yang karena Daging-Nya yang dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengurniakan kehidupan kepada manusia. Begitulah manusia diundang
  • 4. dan diantar untuk mempersembahkan diri, jerih-payahnya dan segenap ciptaan bersama dengan- Nya”. ➔ Hubungan yang erat antara Ekaristi dan sakramen-sakramen lain serta kehidupan kristiani dapat dipahami secara paling penuh kalau kita merenungkan misteri Gereja sendiri sebagai Sakramen. Karena dalam Kristus, Gereja sebagi suatu sakramen – tanda dan sarana – persekutuan dengan Allah dan kesatuan dengan seluruh umat manusia. II. TERMINOLOGI ‘EKARISTI’ DAN BERBAGAI NAMA EKARISTI Ekaristi berasal dari kata Yunani ‘eucharistein’ yang berarti ‘mengucap syukur’. Kata ini digunakan oleh para pengarang injik sinoptik dalam narasi institusi ekaristi dalam konteks perjamuan. Selain itu, dalam Kitab Suci ditemukan juga beberapa istilah seperti ‘pemecahan roti’ (klasis tou artou - klasis tou artou [Kis 2:42]), ‘perjamuan Tuhan’ (kuriakon deipnon - kuriakon deipnon [1 Kor 11: 20]), ‘meja perjamuan Tuhan’ (trapeze kuriou – trapeze kuriou [1 Kor 10:21]). Istilah yang pertama memiliki konteks ritual, sedangkan yang dua lainnya mengacu pada institusi Kristus sendiri. Terminologi ini memiliki kedekatan juga dengan terminologi ‘eucologia’, yakni berkat anugerah pujian, pemulian Allah, kenangan terima kasih atas anugerah Allah. Penggunaan kata ‘eucologia’ untuk mengacu pada ekaristi dinyatakan dalam Didaché (akhir abad I), surat-surat Ignatius dari Antiokhia (50-98/117), juga karya-karya dari Santo Yustinus (100-165), Santo Ireneus (130-202), dan Tertullianus (160-225). Selain itu, dalam literatur antik, ditemukan juga kata-kata lain yang mereferensi ekaristi: ‘oblatio’ (prosphora. - prophora [Yun.]), ‘kurban’, ‘sakramen altar’, ‘missa’. Pada abad IV ekspresi umum yang digunakan adalah ‘Ekaristi’ untuk mengungkapkan perayaan kurban Tuhan. Ekaristi berarti mengucap syukur atau terima kasih. Nama ini merupakan terjemahan dari kata Yahudi rebe ahka - bere akha, yang merujuk pada ucapan syukur di meja (Luk 22:19). Nama ini muncul dalam tradisi kristiani pertama (bdk. 1 Kor 11:24). Pada awalnya “Ekaristi” menunjuk pada pujian bangsa Yahudi terutama waktu makan, dan kemudian diterapkan untuk doa syukur ekaristi (doa syukur agung; bdk, Ignatius dari Antiokhia dan Yustinus), kemudian menunjuk pada seluruh perayaan, dan akhimya secara khusus menunjuk pada roti dan anggur. Sekarang Ekaristi dimaksudkan untuk seluruh perayaan. Perjamuan Tuhan. Inilah nama yang khas kristiani, Ditemukan pada 1 Kor 11:20 dan merujuk pada kehadiran Tuhan yang bangkit di antara murid-muridNya, sebagai “pemimpin” perjamuan. Nama ini digunakan oleh kaum reformis Protestan' (“makan-malam kudus”) dan masuk dalam kalangan katolik dalam Konsili Vatikan II dalam pembaharuan liturgi. “Perjamuan Tuhan” merujuk pada perjamuan malamyang diadakan Yesus bersama dengan murid-muridNya pada malam sebelum sengsara-Nya, sekaligus menunjuk pada antisipasi pernikahan Anak Domba (bdk. Why 19:9) dalam Yerusalem surgawi. Kata “malam" di sini tidak terlalu berarti, sebab Gereja awali memilih untuk mengadakan Ekaristi pada subuh pagi hari (Minggu), bahkan sejak abad pertama. Pemecahan roti lnilah instilah Hibrani yang dipakai untuk menyebut perkumpulan Ekaristis pada murid (Kis 2:42,46; 20:7,11). Nama ini menunjuk pada ritus khas perjamuan Yahud di mana kepala keluarga”memecahkan roti” danmengawali perjamuan persaudaraan. Yesus melakukan ini pada perjamuan malam terakhir. Dari tindakan ini para murid mengenali kembali sesudah kebangkitan (bdk. Luk 24: 13-35). Dengan nama ini, mereka hendak mengatakan bahwa semua orang yang makan roti yang dipecahkan – dari Kristus itu – masuk ke dalam persekutuan-Nya dan membentuk di dalam Kristus satu tubuh (bdk. 1 Kor 10:6-7) Perhimpunan Ekaristi (synaxis)
  • 5. Konsili Vatikan II menggunakan istilah Yunani kuno, synaxis untuk Ekaristi (LG 1 1, 28; PO 5, 7) Nama ini berarti himpunan, kumpulan, pertemuan liturgis, persekutuan, sama dengan ekklesia karena Ekaristi dirayakan dalam perhimpunan beriman (bdk. 1 Kor 10:16-17). Perhimpunan ekaristi inilah merupakan perwujudan kelihatan dari Gereja. Kenangan Nama ini berasal dari perintah Yesus pada perjamuan malam terakhir “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku”. Kenangan di sini bukan sekedar kenangan psikologis tetapi kenangan menurut arti Yahudi, yakni menghadirkan kembali secara nyata dan obyrktif, mengaktuaLukan kembali. Kenangan di sin menyangkut apa yg telah dilakukanNya dalam perjamuan malam terkahir. Kenangan merujuk pada sengasara, wafat dan kebangkitanNya. Kurban Kudus Dengan “kurban kudus” dimaksudkan bahwa Ekaristi menghadirkan korbna tunggal Kristus, Penebus dan mencangkup pula penyerahan diri Gereja. Sejajar dg istilah ini adl kurban misa kudus, kurban syukur, persembahan rohani, kurban murni dan kudus. Kurban ini melebihi kurab dlam PL. Liturgi kudus Ekaristi sebagai tindakan kudus, sebab seluruh liturgi Gereja berpusat pada perayaan sakramen ini. Dalam arti yg sama, orang juga menamakannya perayaan misteri kudus. Orang juga menyebut sakramen mahakudus karena ekaristi adalah Sakramen segala sakramen. Komuni Nama ini merujuk pada persekutuan dg Kristus yg dilakukan oleh Sakramen ini. Kristus mengundang para muridNya untuk bersatu dg Dia dg cara mengambil bagian dalam tubuh dan darahNya, supaya kita membentuk satu tubuh. Misa Kudus Nama ini paling biasa digunakan sejak abad V, tetapi sebenarnya kurang penting dan kurang menunjukkan inti perayaan. Nama ini berasal dr kata latin missa (misi pengutusan) yg menunjuk pada pengutusan umat bersiman pada akhir perayaan (ite missa est). Umat diutus utk melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari III. TITIK TOLAK Untuk berbicara tentang Ekaristi, perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya adalah titik tolak kita. Narasi perjamuan akhir Yesus (tidak hanya mengenai institusi ekaristi), pada dirinya sendiri, adalah sebuah teologi dan peristiwa liturgis, yang karena diceritakan dan dikenang tidak dapat diragukan lagi qualitas historisnya (R. Pesch). Dalam KS, kisah perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya memiliki dua bentuk yang berbeda. Yohanes lebih ingin menampakkan suatu ‘testimonium’ (surat wasiat – wejangan- wejangan), sedangkan para pengarang sinoptik dan Paulus ingin menunjukkan aspek liturgis-kultis, yang memuat institusi ekaristi. Ketika mencermati narasi institusi ekaristi dalam injil sinoptik dan surat Paulus, maka akan didapatkan dua versi: Markus (14:22ss) dan Matius (26:26ss) yang mewakili tradisi Yerusalem- semit/aram, sedangkan Lukas (22:19ss) dan Paulus (1 Kor 11:23ss) yang mewakili tradisi Antiokhia- hellenis. Selain perbedaan narasi ini, nampak juga adanya perbedaan dalam menentukan waktu berlangsungnya Paskah, dan dengan demikian waktu Perjamuan terakhir Yesus. Menurut pengarang sinoptik, Yesus melakukan perjamuan akhir-Nya dalam konteks perjamuan Paskah, yang terjadi pada malam hari antara 14-15 Nisàn. Dengan demikian, menurut injil sinoptik, Paskah waktu itu terjadi
  • 6. pada hari Jumat, hari yang sama saat Yesus disalib dan wafat. Pandangan yang berbeda diberikan oleh Yohanes terkait hal ini. Menurutnya, perjamuan akhir dilakukan Yesus pada malam hari antara 13-14 Nisàn. Paskah jatuh pada hari Sabtu (15 Nisàn) bertepatan dengan hari Sabtu. Oleh karenanya, hari itu dikatakan sebagai “hari yang besar” (mega,lh h` h`me,ra) Yoh 19:31). Lambung Yesus ditikam, menurut Yohanes, bertepatan dengan saat orang Yahudi menyembelih anak domba Paskah, dalam konteks ini berarti Jumat, hari persiapan (Paraskeuh) “untuk hari yang besar”. Kendati memiliki perbedaan ‘kronologis’ ada beberapa hal yang nampak sebagai unsur umum.2 Pertama, baik pengarang sinoptik maupun pengarang injil Yohanes menempatkan peristiwa kematian Yesus pada hari Jumat. Kedua, walaupun Yohanes tidak menyatakan secara eksplisit seperti para pengarang sinoptik bahwa Perjamuan terakhir Yesus adalah perjamuan Paskah, namun, menurut Annie Jaubert,3 tidak ada keraguan bahwa perjamuan terakhir Yesus adalah perjamuan Paskah. Hal ini didasari dari eksistensi kalender Yahudi (kalender Esseni) yang lebih antik untuk menentukan kapan perjamuan Paskah dilakukan; berbeda dengan penanggalan resmi Yerusalem. Semua yang disebutkan ini hanya ingin menunjukkan bahwa Perjamuan terakhir Yesus, yang menjadi fundamen perayaan Ekaristi kita, adalah sungguh mengacu pada perjamuan Paskah Yahudi.4 Bagian ini tidak akan membicarakan secara detail mengenai pergeseran dari Paskah Yahudi ke Paskah Yesus Kristus. Cukup dengan menunjukkan akar tradisi Yahudi tersebut, kita sekarang ingin memusatkan perhatian pada Paskah Yahudi. 3.1. AKAR YAHUDI Paskah Yahudi berasal dari dua tradisi antik: 1. Tradisi para gembala (Pesah) Para gembala berkumpul untuk merayakan tahun baru pada tengah malam di musim semi (bulan Nisàn). Ritusnya: mereka akan menyembelih anak domba jantan dan sulung. Darahnya akan mereka gunakan untuk menghalau kemalangan dan menjamin kesuburan ternak mereka. Dagingnya akan mereka santap di dalam kebersamaan keluarga. 2. Tradisi para petani (Massot) Perayaan ini, agak berbeda dengan tradisi para gembala, tidak memiliki waktu yang tetap karena tergantung dari waktu panen. Namun, perayaan ini juga merupakan pesta musim semi. Mereka merayakan pesta roti tak beragi, massot. Dalam perayaan ini, mereka akan mempersembahkan panenan perdana kepada Yang Ilahi dalam rumah ibadat. Dua tradisi antik ini lantas dalam perjalanan waktu disatukan (sejak masa sesudah pembuangan) dan diberikan makna baru sesuai dengan religiositas atau iman orang-orang Israel kepada YHWH. Perayaan Paskah menjadi perayaan iman dimana dikenangkan peristiwa pembebasan umat Israel dari perbudakan di Mesir oleh YHWH, sekaligus peristiwa Perjanjian: YHWH sebagai Allah pembebas dan Israel sebagai umat. Pada awalnya, Paskah lebih dimaknai sebagai pesta keluarga, dirayakan di tengah-tengah keluarga. (bdk. Kel 12-13). Seiring waktu, dengan semakin terpusatnya peribadatan umat Israel, perayaan Paskah dilaksanakan di Bait Allah, di Yerusalem. Perayaan keluarga menjadi perayaan bangsa dan negara. Beberapa kebiasaan masih tetap terjaga kendati sudah ada sentralisasi perayaan. Anak domba disembelih di kuil oleh seorang Imam. Darah anak domba ditampung dan akan digunakan untuk memerciki altra kurban. Daging anak domba akan dibawa pulang untuk disantap oleh keluarga yang mempersembahkan kurban. 2 G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, Dehoniane, Bologna 2005 (ristampe), 26-27. 3 ANNIE JAUBERT, “La date de la dernier Cène” in Rev. Hist. Rel. (1954) (dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, PUU, Roma 1988, 263). 4 Lih. J. JEREMIAS, The Eucharistic Words of Jesus, Trinity Press International, Philadelphia 1990 (eighth impression), 15-84.
  • 7. Dalam tradisi yudaisme yang kemudian, perayaan bergeser lagi dari perayaan keluarga menjadi perayaan komunitas, yang terdiri dari 10 orang. Mereka berkumpul dengan kehendak bebas personal untuk menyantap bersama anak domba paskah. Perayaan inilah yang nampak pada zaman Yesus. Struktur (seder) perayaan ini adalah sebagai berikut:5 1. Setelah semua undangan duduk, akan dituangkan anggur (masing-masing memiliki gelas/piala-nya sendiri) dan ada berkat (qiddus) pertama. 2. Setelah semuanya meminum anggur tersebut, ada berkat (qiddus) atas perayaan ini. 3. Usai berkat, dihidangkanlah santapan berupa sayur pahit. 4. Sementara para tamu menyantap sayur pahit, tuan rumah menjelaskan makna perayaan dan menceritakan kembali sejarah paskah (haggadah pesah, massot, merorim [penderitaan perbudakan yang ditebus oleh YHWH]). 5. Setelahnya, semua melagukan Hallel. 6. Usai melakukan semua ini, baru dimulailah perjamuan Paskah yang sesungguhnya dimana tuan rumah/bapak keluarga berdoa mengucap syukur/berkat (birkat hammazon), memecah- mecah roti tidak beragi, menambahkannya dengan sayuran pahit yang sudah dicelupkan dalam air asin, dan memberikannya kepada semua yang hadir. 7. Setelah itu, barulah mereka menyantap daging anak domba yang telah dipanggang. 8. Sementara mereka menyantap daging anak domba, dituang kembali anggur sebagai bentuk berkat dan ungkapan syukur atas hidangan yang telah disantap. 9. Setelah semuanya usai, mereka kembali meminum anggur dan melanjutkan menyerukan Hallel. Paskah Yahudi ini tentu saja memiliki isi dan makna yang sangat dalam. J.S. Martins berpendapat bahwa: pertama, Paskah adalah sebuah misteri yang melibatkan semua bangsa Israel. Dengan demikian semua harus berpartisipasi dalam perayaan ini; hanya anggota dari bangsa terpilih saja yang boleh merayakannya karena hanya mereka yang mengalami peristiwa pembebasan oleh YHWH. Kedua, Paskah adalah sebuah pengenangan (memoria). Yang dikenangkan bukan hanya perayaannya, tetapi seluruh elemen yang digunakan: roti tak beragi, anak domba, sayur pahit, waktu tengah malam. Isi dari pengenangan ini adalah hal luar biasa yang dilakukan YHWH untuk bangsa Israel, terutama pembebasan dari tanah Mesir. Paskah Yahudi tidak hanya merupakan sebuah bentuk pengenangan namun juga pengenangan yang membawa aktualisasi apa yang dikenangkan. Inilah inti dari haggadah (narasi) paskah. Pengenangan ini dirayakan dengan pujian, rasa syukur dan rasa bahagia. Begitu pentingnya Paskah bagi bangsa Yahudi sehingga mereka memaknainya tidak semata-mata perayaan tahun baru tetapi pemurnian hati, yakni kondisi yang memungkinkan seseorang untuk dapat menapaki perjalanan abadinya di masa mendatang. Dengan demikian, Paskah memiliki dimensi masa lalu, sekarang, dan masa mendatang. 3.2.DARI PASKAH YAHUDI KE PASKAH YESUS Walaupun dirayakan dalam konteks perayaan Paskah Yahudi (menurut sinoptik), beberapa tindakan dan perkataan Yesus dalam Perjamuan malam terakhir sepertinya hendak memberikan gambaran pemisahan antara Paskah Yahudi dengan Paskah Yesus. Artinya, Yesus hendak memberikan interpretasi-Nya terhadap perayaan Paskah Yahudi dengan bertolak pada diri-Nya. Untuk itu, sangat baik jika kita memusatkan perhatian pada apa yang terjadi pada Perjamuan malam terakhir Yesus. Satu Piala: Piala bersama Selama Perjamuan terakhir, nampaknya hanya ada ‘satu Piala’ yang lantas diberikan oleh Yesus sebagai ‘bapak keluarga’ (paterfamilias) kepada para murid-Nya. Apa yang terjadi di sini nampaknya asing bagi perayaan Paskah Yahudi yang umum. Dalam Paskah Yahudi, biasanya digunakan lebih dari satu piala, atau bahkan masing-masing undangan memegang piala-nya sendiri. Kendati ada 5 Bdk. J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 255-256; G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, 39-41.
  • 8. keraguan apakah sungguh lantas satu piala menjadi sesuatu yang asing bagi kebiasaan orang Yahudi dalam merayakan Paskah,6 namun, agaknya penting untuk dicermati apa yang menjadi pendapat GniLuka, yakni bagaimana pun juga piala bersama telah menjadi tanda yang signifikan dalam Perjamuan Tuhan post-Paskah.7 Kata-Kata Interpretatif Yesus Ketika akan menyerahkan roti dan piala anggur kepada para murid-Nya, Yesus menyertakan tindakan-Nya dengan kata-kata interpretatif: “inilah tubuhku” (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19; ) dan “inilah piala darahku” (Mat 26:28; Mrk 14:24) atau “cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku” (Luk 22:20) atau “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku” (1 Kor 11:25). Kata-kata Yesus ini memberikan bobot tersendiri bagi tindakan-Nya menyerahkan roti dan anggur kepada para murid, sekaligus menunjukkan suatu ‘pemisahan’ dengan ritus Yahudi pada umumnya.8 Kata-tindakan Yesus menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dimana satu dengan lainnya saling memberikan makna. Inilah aspek kualitatif yang membedakan Paskah Yesus dengan Paskah Yahudi. Kesatuan kata-tindakan Yesus ini lantas memberikan penjelasan mengapa berkat atas roti dan anggur menjadi satu kesatuan (Mat 26:26 dan Mrk 14:22). Namun, jika melihat teks Luk 22:20 dan 1 Kor 11:25, kita akan menemukan bahwa ada ‘rentang kronologis’ antara kesatuan kata-tindakan Yesus atas roti dan atas cawan anggur, “sesudah makan”. Mazzanti mencoba menjelaskan perbedaan ini demikian:9 ekspresi ‘sesudah makan’ tidak ingin menunjukkan suatu perbedaan waktu yang lama, namun justru ingin menunjukkan suatu kesatuan waktu antara berkat untuk roti dan anggur, yang semuanya ini dilakukan pada saat “sesudah makan” dengan cara yang sama (“demikian juga dibuatnya” [Luk 22:20; bdk. 1 Kor 11:25]). Selain itu, ekspresi ‘sesudah makan’ menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Yesus merupakan kelanjutan dari ritus Yahudi yang telah usai. Dengan demikian, apa yang membedakan Paskah Yesus dengan Paskah Yahudi tidak hanya dapat dilihat dari sisi kualitatif (makna baru: Perjanjian Baru), tetapi juga kronologis (sesudah). Anamnesis: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” Permintaan dari Yesus untuk pengenangan ini hanya dilaporkan oleh teks dari tradisi paolina, dan tidak terdapat pada teks tradisi petrina. Paulus dan Lukas nampaknya hendak menekankan pentingnya karakter institusional Perjamuan akhir/Paskah Yesus; kenangan akan Kristus.10 Ada yang meragukan nilai historis dari perintah pengenangan karena justru tidak tercatat dalam Matius, Markus, dan Yohanes. Untuk itu, ada yang berpendapat bahwa perintah ini hanyalah semata-mata legenda kultis yang berakar pada tradisi hellenistik (R. Bultmann). Apa yang dituliskan oleh J.S.Martins baik diperhatikan:11 Adalah kurang berdasar tesis yang menyebutkan bahwa Paulus lah yang membuat perintah tersebut. Rasul Paulus tidak memberikan perintah itu seakan-akan miliknya. Dia menyatakan dengan jelas bahwa itu adalah perintah Yesus sendiri. Dengan suratnya, Paulus tidak memperkenaLukan hal baru kepada jemaat di Korintus, bahwa seakan-akan mereka tidak tahu sebelumnya. Ia juga tidak memberikan makna baru terhadap praksis yang telah ada. Yang sangat jelas adalah bahwa jemaat perdana sangat yakin bahwa mereka merayakan Ekaristi karena itulah yang dikehendaki oleh Kristus, dengan demikian mereka menunjukkan ketaatan mereka terhadap perintah Yesus dalam Perjamuan akhir. 6 J. JEREMIAS, The Eucharistic Words of Jesus, 68-70. 7 GniLuka, Gesù di Nazaret, 364 (dikutip dari G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, 49). 8 G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, 49. 9 G. MAZZANTI, I Sacramenti. Simbolo e Teologia, 2. Eucaristia, Battesimo e Confermazione, 33, 50. 10 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 273. 11 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 275-276.
  • 9. Perbuatlah (poiei/te). Yesus menandaskan perintah ini: perbuatlah kalian! Untuk itu, Yesus memerintahkan suatu ‘aksi’ atau ‘tindakan nyata’, bukan sebuah ingatan subjektif-psikologis. Ini adalah suatu perintah personal Yesus kepada para murid-Nya untuk senantiasa berbuat. Ini (tou/to). Objek dari perintah Yesus adalah kata ‘ini’. Apa yang ingin dituju dengan kata ‘ini’? Dengan mencermati teks yang ada, maka kita bisa mengatakan bahwa tentu bukan Paskah Yahudi yang ingin dikenangkan dalam actus ‘perbuatlah ini’. Sebagai perayaan tahunan, para murid, sebagai orang Yahudi, akan merayakan Paskah tanpa harus mendapatkan perintah dari Yesus. Untuk itu, yang diminta oleh Yesus untuk dikenangkan adalah apa yang telah Dia lakukan, yakni memberkati roti dan anggur, mengucap syukur atasnya, mengambil, memberikan, makan dan minum. Dengan kata lain, yang ingin dikenangkan adalah ‘pemecahan roti’ (bdk. Luk 24:30) atau perayaan Ekaristi. Bukan Paskah Yahudi, melainkan Paskah personal Yesus-lah yang dimintakan kepada para murid untuk dikenangkan.12 Dengan perintah pengenangan ini, Yesus menutup Paskah Yahudi dan membuka Paskah-Nya sendiri. Dalam kenangan akan aku( eivj th.n evmh.n avna,mnhsin – eis tēn emēn anamnēsin).13 Kata ‘anamnesis’ tidak ingin mengacu pada pemahaman hellenistik tentang pengenangan akan orang mati. Konteks biblis agaknya asing dengan pemahaman tersebut. Jeremias14 mencoba memahami teks ini demikian: Dalam perayaan ekaristi, Gereja meminta Allah Bapa untuk mengingat Putra-Nya, yang adalah mesias. Pemahaman ini muncul karena perbandingan yang ia lakukan dengan pengenangan Paskah Yahudi: umat Israel meminta supaya JHWH ingat kepada umat-Nya dan juga kepada mesias yang akan membawa mereka pada-Nya. Tesis Jeremias tidak mendapatkan banyak dukungan dari para ahli (mis: J Dupont). Perintah “kalian perbuatlah!” sudah menunjukkan bahwa perintah ini tidak ditujukan kepada Allah Bapa, tetapi kepada komunitas para murid (= Gereja), yang telah dibentuk-Nya untuk meneruskan karya keselamatanNya di dunia.15 IV. EKARISTI DALAM SEJARAH 4.1. EKARISTI PADA ZAMAN BAPA-BAPA GEREJA Dalam periode Bapa-Bapa Gereja, terjadi suatu perubahan dari suatu perayaan atau liturgi ekaristi yang berciri domestik-privat menuju perayaan yang berciri basilik-publik. Perubahan juga terjadi dengan penambahan elemen-elemen baru dalam perayaan yang tadinya sangat berciri perjamuan keluarga, yakni Kyrie, doa persembahan. Selain itu, lahir juga siklus pesta liturgi dan fiksasi atas doa syukur agung. Dalam situasi demikian, para Bapa Gereja mencoba mengembangkan ajaran tentang Ekaristi sebagai sakramen dan kurban. Didaché Dokumen ini, yang dikenal juga dengan nama “Ajaran Para Rasul” (90-100), merupakan dokumen post-biblis pertama yang berbicara mengenai Ekaristi. Dokumen ini memberikan kesaksian bagaimana para jemaat awal diundang untuk merayakan kurban ekaristi (sacrificio eucaristico), sekaligus mempersiapkan diri untuk dapat dengan layak merayakannya. Pada bab 9 dan 10 kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana Ekaristi dilakukan: “Beginilah kalian harus mengucap syukur dalam Ekaristi: pertama-tama ucapan syukur atas piala: kami mengucap syukur kepada-Mu, ya Bapa kami, atas kehidupan suci dari Daud, hamba-Mu, yang telah ternyatakan dalam diri Yesus, hamba- Mu. Pujian kekal bagi-Mu! Dan atas roti yang akan dipecah-pecah: kami mengucap syukur kepada- Mu, ya Bapa kami, atas hidup dan juga pengetahuan yang Kau berikan kepada kami melalui Yesus, hamba-Mu. Pujian kekal bagi-Mu! Sebagaimana roti yang tersebar di bumi dan yang sekarang telah terkumpul menjadi satu, Gereja-Mu telah dikumpulkan dari seluruh penjuru dunia ke dalam Kerajaan- Mu. Sebab kemuliaan dan kekuasaan adalah milik-Mu melalui perantaraan Yesus Kristus untuk 12 Bdk. J. Ratzinger, Jesus of Nazareth. Holy Week: from the entrance into Jerusalem to the resurrection, Ignatius, San Fransisco 2011, 138-144. 13 Dengan memperhatikan sintaksis kalimat, kata-kata Yesus ini, eis tēn emēn anamnēsin, dapat diartikan: ‘di dalam kenangan-ku’; mengingat bahwa ‘emēn’ adalah kata ganti orang-adjektif-posesif (milik-ku) dan bukan kata ganti orang-genetif (sesuatu akan aku). 14 J. JEREMIAS, The Eucharistic Words of Jesus, 249-255. 15 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 278.
  • 10. selama-lamanya. Namun, tidak seorang pun, yang tidak dibaptis dalam nama Tuhan, boleh makan dan minum dalam perjamuan ekaristi kita…Setelah dipuaskan, ucapkanlah syukur: Kami bersyukur kepada-Mu, ya Bapa, atas nama-Mu yang kudus, dimana Engkau telah mempersiapkan dalam hati kami sebuah tempat yang layak (tabernacolo). Kami bersyukur pula atas pengetahuan, iman dan juga keabadian yang telah Engkau nyatakan kepada kami melalui perantaraan Yesus, hamba-Mu. Kepada- Mu pujian keabadian. Engkau, ya Tuhan, raja alam surgawi, Engkau telah menciptakan segalanya dalam nama-Mu. Engkau memberikan makanan dan minuman kepada manusia, supaya mereka mengucap syukur kepada-Mu. Namun, Engkau memberikan kepada kami makanan dan minuman rohani, serta kehidupan kekal melalui perantaraan Yesus, hamba-Mu”.16 Schmaus menyatakan bahwa ini adalah sebuah gambaran tentang perayaan ekaristi dalam sebuah bingkai perjamuan yakni perjamuan cinta kasih yang total (agape).17 Memang benar bahwa jika kita cermati, teks ini tidak menyinggung secara eksplisit tentang wafat Kristus, namun, menurut Schmaus, harus diingat bahwa dokumen ini adalah sebuah buku pegangan bagi umat beriman yang tidak terlalu memikirkan aspek teologis dari kata-kata konsakrasi. Ireneus dari Lyons Ketika berbicara mengenai ekaristi, Uskup Lyons ini berbicara mengenai elemen duniawi dan elemen surgawi dari Ekaristi. Untuk itu, ketika telah menerima Sabda Allah, roti dan anggur ini lantas berubah menjadi ekaristi yang terdiri dari elemen duniawi dan surgawi, yakni roti itu sendiri dan Tubuh mulia Tuhan.18 Dua elemen ini ingin menunjukkan suatu dinamika ekaristi. Selain itu, untuk melawan aliran gnostik19 , Ireneus sangat menekankan realisme ekaristi. Artinya, Ekaristi adalah nutrisi yang mengubah manusia. Ia mengatakan bahwa “daging dan darah kita mendapatkan nutrisi dari tubuh dan darah Kristus sendiri” (Adv. haer. 5, 2 ,3). Nutrisi yang diperoleh dengan menyantap tubuh dan darah Kristus membuat manusia lama yang penuh dosa menjadi manusia baru yang dimuliakan. Realisme ini nampak juga ketika Ireneus berbicara mengenai dimensi kurban dari Ekaristi, yang menunjuk pada dimensi kosmik dari Ekaristi. Kurban yang dimaksudkan oleh Uskup Lyons ini adalah ‘persembahan dalam rupa panenan awal’. Artinya, kurban ini merupakan kurban persembahan yang berasal dari ciptaan. Origenes Kata ‘Ekaristi’ dalam pemikiran guru Didaskaleion ini memiliki arti yang cukup kaya. Ia dapat berarti formula ritual maupun roti yang telah dikonsekrasi. Dalam karyanya Contro Celso (8,33; 8,57), Origenes berbicara mengenai Ekaristi sebagai ‘ungkapan syukur’ (eucharistías) sekaligus ‘roti’ yang telah diberkati (eucharistía). Hal lain yang menarik adalah bahwa ‘ungkapan syukur’ ditujukan baik itu kepada Allah Pencipta (dēmiourgō) maupun Tuhan Allah (pros Theon). Singkat kata, Origenes telah menyadari elemen essensial dalam Ekaristi, yakni elemen material (roti) dan elemen immaterial (ungkapan syukur dan doa). Ia sangat sadar akan pentingnya epiklesis konsekrasi dan ungkapan syukur, yang di dalamnya terdapat kata-kata institusional Yesus sendiri (1 Kor 11:24). Jika membaca karyanya tersebut, Contro Celso, orang akan berpikir bahwa dimensi kurban tidak hadir dalam pemahaman Origenes mengenai Ekaristi. Teolog Adamantius ini (sebutan dari Origenes) memang jarang menunjukkan relasi antara Ekaristi dan persembahan Salib Kristus. Fakta bahwa 16 Dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 294-295. 17 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 295. 18 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 304. 19 Kata Gnostisisme berasal dari bahasa Yunani: gnōsis, yang artinya : Pengetahuan. Dengan demikian, Gnostisisme adalah suatu paham atau aliran tentang penyelamatan melalui pengetahuan. Gerakan Gnostik muncul pertama kali sebagai sebuah sekolah pemikiran. Pada akhir abad ke II, Gnostik melepaskan diri dari Gereja Katolik. Perjanjian Baru terutama surat 1 Yohanes dan surat-surat Pastoral Paulus setidaknya menyinggung tentang ajaran yang serupa dengan ajaran Gnostik. Penganut Gnostik menggunakan karya-karya Yahudi, Kristiani dan ‘kafir’ untuk disintesiskan, sehingga terbentuk suatu pokok ajaran. Salah satu hasil karangan tokoh-tokoh Gnostik adalah “Injil Thomas.” Menurut mereka keselamatan itu dicapai ketika unsur rohani, dalam diri manusia terbebas dari unsur materi yang selalu jahat. Oleh sebab itu, materi bertentangan dengan Roh, dan alam semesta merupakan suatu wujud yang buruk dari Pencipta. Selain itu, penganut Gnostik menolak magisterium Gereja, sehingga menafsir Kitab Suci sesuka hati penganutnya.
  • 11. Origenes pun mengutip pernyataan Paulus, yakni 1 Kor 11:23-26, menunjukkan bahwa ada kesadaran akan dimensi kurban dari Ekaristi (Crouzel). Kendati demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa konsep ‘kurban’ dari Origenes ini adalah sama dengan apa yang dipikirkan oleh para Bapa Konsili Trente mengenai dimensi kurban dari perayaan Ekaristi, karena Origenes agaknya tidak mengenal ide mengenai ‘pembaharuan ritus dari kurban salib Kristus’ (Gramaglia). Telah disebutkan bahwa Origenes percaya bahwa dengan Sabda Tuhan dan doa, roti akan menjadi tubuh kudus yang akan menyucikan mereka yang menyantapnya. Sekali lagi, kita tidak dapat memahami pernyataan ini dengan kacamata konsili Trente. Kehadiran Kristus dalam roti dan anggur yang sudah memperoleh Sabda Tuhan dan doa merupakan kehadiran spiritual Kristus. Namun, satu yang harus dipahami adalah bahwa, menurut Origenes, yang spiritual adalah yang real –bisa dibandingkan dengan pemahaman platonis mengenai idea. Perubahan substansi dari roti dan anggur yang telah dikonsekrasi (= transubstansiasi) merupakan sesuatu yang asing bagi logika Origenes. Konsekrasi, dengan demikian, adalah penerimaan kualitas ilahi bagi sebuah materi; roti dan anggur yang telah dikonsekrasi tetaplah roti dan anggur, namun kini telah menerima unsur-unsur ilahi sehingga ia bukanlah lagi sembarang roti dan anggur. Logika yang ia gunakan adalah logika inkarnatoris: Tubuh Kristus tetaplah tubuh manusia kendati Ia adalah Allah. Untuk itu, Origenes tidak berbicara mengenai ‘transubstansiasi’, melainkan ‘transsituasi ontologis’ (Balthasar) atau ‘transposisi’ (Gramaglia). Origenes berbicara juga mengenai daya-guna sakramen. Bagi dia, sakramen memiliki daya-guna bagi orang yang memiliki disposisi batin yang tepat, artinya percaya. Ia tidak berarti menyangkal daya- guna menyucikan dari sakramen, hanya saja ia berpandangan bahwa kesucian bukanlah sesuatu yang otomatis. Kesucian yang diperoleh dengan menerima sakramen terjadi karena adanya relasi antara rahmat Allah dan iman manusia. Origenes nampaknya telah mengantisipasi pemikiran abad pertengahan dengan distingsi: Opus operatum dan Opus operantis. Sama seperti Ireneus dari Lyons, Origenes pun berbicara mengenai ‘Ekaristi duniawi’ (Eucaristia terrena) dan ‘Ekaristi surgawi’ (Eucaristia celeste). Kekudusan yang diperoleh seseorang yang telah menyantap tubuh dan darah Kristus di dunia ini (Ekaristi duniawi) menjadi gambaran akan kekudusannya di surga (Ekaristi surgawi). Origenes melihat bagaimana elemen duniawi merupakan gambaran dari kehadiran spiritual atau kehadiran transenden. Tujuan manusia bukanlah menyantap Ekaristi duniawi, melainkan merayakan Ekaristi surgawi. Agustinus dari Hippo Sama seperti Origenes, Agustinus pun meng-amin-i bahwa roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus karena kuasa kata-kata konsekrasi. Namun, apa yang dimaksudkan oleh Uskup Hippo ini dengan ‘menjadi’? Agustinus memahami bahwa Ekaristi adalah ‘sakramen kesatuan Gereja’. Pemahaman ini ia tarik dari kenyataan bahwa roti berasal dari benih gandum yang tersebar di muka bumi, begitu juga dengan (air) anggur yang berasal dari banyak buah anggur; kenyataan ini menunjukkan Tubuh Mistik Kristus yang terdiri dari banyak anggota (Sermo 227). Kesatuan ini dilandasi oleh kehadiran Kristus yang bangkit. Pandangan yang agak sedikit ‘spiritual’ ini tidak menafikkan bahwa ada realisme ekaristi dalam pemikiran Agustinus. Ia menyatakan bahwa setelah konsekrasi, dalam Ekaristi, roti sungguh menjadi Tubuh real Kristus, yang lahir dari santa Perawan Maria (In. Ps. 98, 9). Agustinus menyatakan bahwa: “Inilah daya-guna dari sabda yang kalian dengarkan. Setelah kata-kata dari imam, hadirlah Tubuh dan Darah Kristus. Jika kalian menyingkirkan kata-kata tersebut, yang tinggal hanyalah roti dan anggur; sebaliknya, jika kata-kata tersebut diucapkan sesuatu akan berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Singkirkanlah kata-kata tersebut, maka yang tinggal hanyalah roti dan anggur. Ucapkanlah kata-kata tersebut maka hadirlah sakramen” (Sermo 63).20 20 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 322.
  • 12. Beberapa poin yang dapat disimpulkan dari pandangan para penulis ekklesial ini adalah sebagai berikut:21 Pertama, perjamuan Ekaristi yang dirayakan setiap hari Minggu, dalam kenangan akan Tuhan yang bangkit dan dalam kesatuan dengan uskup sebagai pemimpin perayaan, bukanlah perayaan biasa, melainkan perayaan religious, liturgis, kultis. Perayaan ini merupakan perayaan syukur atas keselamatan yang ditawarkan oleh Allah kepada manusia. Kedua, Bapa Gereja sangat menekankan realisme ekaristi. Artinya: mereka menggunakan logika inkarnatoris; roti dan anggur yang telah diberkati bukan lagi semata-mata roti dan anggur biasa, melainkan Tubuh dan Darah Kristus. Mereka menegaskan bahwa yang mendapatkan doa berkat adalah elemen material (roti dan anggur), yang lantas akan menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Ketiga, kendati dimensi kurban tidak secara eksplisit nampak dari refleksi beberapa penulis ekklesial, namun mereka menyadari bahwa ekaristi adalah sungguh kurban sejati, kurban dari Perjanjian Baru. Ekaristi adalah kurban sejauh ia adalah pengenangan (memoriale) akan kurban Kristus yang mencangkup semua peristiwa hidup-Nya: menderita, wafat dan bangkit. Ekaristi sebagai kurban sejati memiliki aspek komuniter karena umat beriman, dengan imam sebagai pemimpin perayaan, mempersembahkan kurban ini. Keempat, Kristus yang hadir dalam rupa roti dan anggur adalah Yesus Kristus, Tuhan yang dimuliakan; Ia yang disalibkan namun sekaligus ditinggikan dalam kemuliaan. Kelima, dengan menerima Ekaristi, umat beriman telah disatukan dalam keabadian bersama Kristus. Ekaristi adalah “farmacum immortalitatis” (obat keabadian). Keenam, Ekaristi memiliki dimensi kesatuan; kesatuan di antara umat beriman yang menyimboLukan kesatuan satu tubuh. Gereja adalah tubuh Kristus di dunia. Ketujuh, untuk dapat memamahi teks-teks sulit dari Bapa-Bapa Gereja, kita harus dapat menghindari kesalahan metodologis (= anakronisme historis) yang mencoba menemukan, dalam pandangan penulis ekklesial awal, konsep-konsep teologis seperti yang kita pahami sekarang ini. 4.2. EKARISTI PADA ABAD PERTENGAHAN DAN SKOLASTIK SAMPAI SEBELUM KONSILI TRENTE Walaupun banyak terdapat pandangan mengenai teologi sakramen ekaristi pada Abad Pertengahan, tidak dapat disangkal bahwa pemikiran St. Thomas Aquinas sangat mewarnai tidak hanya zamannya tetapi juga masa-masa setelahnya. Dengan kata lain, refleksi teologis-filosofis St Thomas merupakan poin utama pada masa Abad Pertengahan akhir. Oleh karenanya, baik jika kita mencoba melihat latar belakang pemikiran sampai akhirnya pengaruh yang dibawa olehnya dalam sejarah teologi ekaristi. Abad Pertengahan: Kehadiran Nyata Kristus dalam Perayaan Ekaristi Refleksi mengenai ekaristi, pada zaman Thomas Aquinas, berpusat pada: kebenaran akan kehadiran Kristus, cara kehadiran-Nya, daya guna sakramen, dan representasi (repraesentatio) kurban Salib Kristus. Pesoalan ‘kehadiran nyata’ Kristus (realis praesentia) dalam perayaan ekaristi memang menjadi isu utama dikarenakan ketidakmampuan untuk memahami aksi simbolik liturgis dan pemberian simbolik sebagai simbol riil.22 Pada masa ini, telah dikenal adanya ‘representasi figuratif’ (figural representation) dan dua macam kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi –pembedaan yang dibuat oleh Paschasius Redbertus (786-860)- yakni: kehadiran in veritate dan kehadiran in mysterio. Dalam paradigma ini, Paschasius memahami bahwa tindakan imam memecah roti dan menuangkan air anggur dilihat semata-mata sebagai ‘representasi figuratif’ (figural representation) yang menunjuk pada sengsara dan wafat Kristus di salib. Kehadiran in veritate terjadi dalam Tubuh dan Darah Kristus, sedangkan kehadiran in mysterio terjadi terkait dengan sengsara-Nya. 21 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 322-325. 22 H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota 1992, 157.
  • 13. Kehadiran in mysterio merupakan ciri teologi monastik dan menunjuk pada communio antara orang beriman dan Kristus sendiri dalam misteri sengsara-Nya yang merupakan ungkapan Cinta Allah kepada manusia sekaligus persembahan diri Yesus kepada Allah. Persatuan dengan Allah dalam misteri sengsara-Nya inilah yang harus dilihat sebagai paradigma teologi monastik. Dari kerangka pemikiran ini, Paschasius, seorang Abas biara benediktin ‘Corbie’, dalam karyanya De corpore et sanguine Domini (Tubuh dan Darah Tuhan), memahami bahwa hosti sebagai ‘tubuh ekaristi’ identik dengan tubuh historis Kristus yang lahir dari perawan Maria, dan bahwa penderitaan Kristus itu terus ‘diulang’ melalui sebuah ‘sembelihan’ (mactatio) yang nyata.23 Kiranya keinginan untuk menghayati persatuan dengan penderitaan Kristus membuat Paschasius berpikir bahwa seorang beriman harus menerima kehadiran Kristus in veritate, yakni tubuh historis Kristus, dalam perayaan ekaristi. Sangat dimungkinkan bahwa dalam teologi-nya Paschasius memahami bahwa yang spiritual itulah yang yang real sehingga hosti yang telah dikonsekrasi sungguh menjadi tubuh Kristus yang real, yang identik dengan tubuh historis-Nya. Pandangan ini ditolak oleh Ratramnus († 868), rahib dari biara ‘Corbie’, dalam karyanya De corpore et sanguine Domini (Tubuh dan Darah Tuhan). Ratramnus memahami bahwa roti dan anggur tidaklah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam konsekrasi, melainkan hanya semata-mata menjadi ‘gambaran’ (figura) Tubuh dan Darah Kristus. Tubuh dan Darah Kristus, beserta daya-daya ilahinya, bersembunyi di balik ‘gambaran’ ini. Dengan demikian, ketika orang menerima hosti yang telah dikonsekrasi, ia tidak menerima Tubuh Kristus in veritate, melainkan hanya menerima gambarannya in misterio. Patut diperhatikan bahwa Ratramnus tentu saja tidak menolak mentah-mentah pemahaman kehadiran nyata Kristus dalam hosti suci. Yang ia tolak adalah pandangan realisme radikal Paschasius, yakni identifikasi antara hosti suci dan tubuh historis Kristus. Perdebatan mengenai ‘realis praesentia’ tidak berhenti di sini. Sekitar abad ke-11, muncul kontroversi lainnya. Kontroversi ekaristi kali ini dipicu oleh Berengarius dari Tours († 1088). Dengan berpegang pada pandangan Ratramnus (dan juga Agustinus), Berengarius menolak kehadiran nyata (in veritate) Kristus dalam perayaan Ekaristi, karena ia berfikir bahwa tubuh Kristus yang telah dimuliakan tidak dapat ‘dipaksa’ turun dalam perayaan Ekaristi. Kristus akan datang kedua kalinya pada akhir zaman. Oleh karenanya, dalam perayaan Ekaristi tidak ada perubahan dalam roti dan anggur. Ia berpandangan bahwa roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi hanyalah ‘gambaran’ (figura) Tubuh dan Darah Kristus, yang ketika orang menerimanya, ia akan mengalami persatuan spiritual dengan Kristus yang berada di surga. Jadi, dalam roti ekaristi terdapat daya spiritual ilahi (‘substansi’) yang tersembunyi, yang memampukan persatuan spiritual tersebut. Pandangan Berengarius ini dianggap sesat dalam 4 sinode antara 1047-1054. Pada tahun 1059, saat Sinode di Roma, ia diminta untuk menandatangani pernyataan bahwa ia mengakui bahwa setelah konsekrasi, roti dan anggur sungguh menjadi Tubuh dan Darah Kristus, bukan hanya dalam sakramen tetapi dalam kebenaran (“non solum sacramento, sed in veritate!”) (DH 690).24 Dokumen pernyataan ini meminta Berengarius untuk mengakui kehadiran kristus dalam perayaan Ekaristi secara realistik dan tidak semata-mata simbolik. Berengarius sempat dua kali untuk diminta menandatangani pernyataan pengakuan akan ajaran gereja yang benar. Pada tahun 1079, dalam sinode Roma juga, ia menandatangani pernyataan iman tersebut. Dalam pernyataan ini, Berengarius diminta mengakui bahwa kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi adalah Kristus hadir ‘dalam kodratnya yang nyata dan dalam realitas substansinya’ (DH 700). Susunan pernyataan iman ini merupakan artikulasi dari konsep yang diusung oleh Lanfranc dari Canterbury († 1089). Uskup Canterbury ini mengamini bahwa setelah konsekrasi, substansi roti dan anggur berubah menjadi sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Di sinilah kita menyaksikan lahirnya doktrin ‘Transubstansiasi’25 . Skolastik: Ekaristi menurut Thomas Aquinas 23 H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 158. 24 H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 158. 25 Terminologi ‘transubstasiasi’ pertama kali diperkenaLukan sekitar 1040-1042 oleh Orlando Bandinelli, yang kemudian menjadi Paus Aleksander III).
  • 14. Th. Aquinas menempatkan refleksi teologis tentang kehadiran Kristus dalam konteks tindakan ekaristis (Eucharistic action); dari ekonomi keselamatan dalam Ekaristi sampai pada perayaan ritual yang merupakan ekplisitasi seluruh misteri keselamatan Kristus.26 Sakramen Gereja, terutama Ekaristi, telah ternyatakan secara figural dalam Perjanjian Lama dan akan ternyatakan secara penuh dalam kemuliaan eskatologis. Dengan demikian, sakramen-sakramen Gerejawi masuk dalam ekonomi keselamatan Kristus. Kristus lah yang mendirikan sakramen Ekaristi dengan 3 alasan: 1). Ia ingin selalu menyertai Gereja-Nya dalam rupa sakramental (in sacramentali specie), 2). penting adanya sakramen pengenangan yang mengungkapkan iman akan Yesus yang sengsara, wafat dan bangkit, 3). bahwa pada malam terakhir-Nya bersama para murid, Yesus ingin memberikan ‘perintah’ pengenangan yang sungguh dapat menjadi inspirasi akan persahabatan dan persaudaraan.27 Ketiga alasan pendirian Sakramen Ekaristi ini didasari pada pemikiran Aquinas akan sakramen sebagai ‘tanda’ (sign). Dan, pemahaman akan sakramen sebagai ‘tanda’ ini akan menjadi basis juga dalam melihat kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Kehadiran Kristus dalam sakramen-sakramen Gerejawi, menurut Aquinas, tidak semata-mata ingin mengungkap kuasa keselamatan yang ada dalam sakramen, tetapi terlebih ingin menunjuk pada daya- guna sakramen sebagai ‘persekutuan’ (communion) dan ‘gambaran’ (representation). Aquinas menandaskan bahwa kehadiran Kristus dalam perayaan sakramen adalah Christus totus, Kristus dalam Tubuh dan Darah-Nya, dalam jiwa dan keIlahian-Nya. Dalam logika inilah lantas Aquinas mengatakan bahwa kendati dalam rupa roti dan anggur, kata-kata Kristus yang menyatakan bahwa roti adalah daging-Nya dan anggur adalah darah-Nya adalah jaminan kebenaran bahwa yang sungguh hadir adalah Kristus dalam kebenaran dan bukan semata-mata secara figuratif/simbolik. Oleh karenanya, dengan menerima komuni suci, orang sungguh dipersatukan dengan Kristus sendiri dan Gereja-Nya dalam kasih. Th. Aquinas mengartikan kehadiran dalam kebenaran (esse in veritate) sebagai kehadiran secara substansial (per modum substantiae), tetapi sekaligus memiliki makna kehadiran spiritual; “idest invisibiliter, modo et virtute spiritus”.28 Untuk menjelaskan kehadiran Kristus ini Aquinas menggunakan pemikiran Aristotelian mengenai ‘substansi’ dan ‘aksiden’. Dua hal yang berbeda ini membantu kita untuk, di satu sisi, menangkap penampakan serta qualitasnya, namun, di lain sisi, memahami dengan akal-budi inti terdalam dari realitas. Identitas sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu dari luar yang nampak. Substansi menunjukkan inti realitas yang dapat ditangkap oleh akal budi, dimana semua itu terjadi karena adanya aksiden yang mempersepsi penampakan. Oleh karenanya, kehadiran Tubuh dan Darah Kristus dalam roti dan anggur ditangkap oleh iman, yang dalam penampakkan riil-nya berupa roti dan anggur. Aquinas sangat menekankan bahwa kesadaran akan kehadiran Kristus ini bukanlah suatu imaginasi, melainkan suatu kehadiran dalam intelek. Dalam konteks sakramentologi, yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan analogi ini adalah menjelaskan bagaimana sesuatu yang berada dalam tataran riil natural, yang dapat dipahami secara intellek, bisa dipakai untuk menjelaskan bahwa dalam roti dan anggur sebagai yang nampak riil dapat menunjuk sesuatu yang lain yang masih berada dalam dirinya, yakni Tubuh dan Darah Kristus. Kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi, menurut Aquinas, menunjukkan juga kehadiran Kristus dalam sengsara-Nya. Yang membedakannya dengan pemikiran monastik (termasuk Lanfranc) adalah bahwa keselamatan yang diperoleh melalui kurban Yesus sendiri di kayu salib tidak didasari pada logika kehadiran mistik (in mysterio), melainkan pada logika ‘kausalitas effisiens’ (efficacious causality). Yesus yang mempersembahkan kurban sekaligus yang mengurbankan diri-Nya (essensi perayaan Ekaristi!), menemukan representasi-nya dalam diri imam.29 Kristus menguduskan persembahan-Nya dengan kata-kata-Nya sendiri yang diucapkan oleh para imam. Karena Kristus yang menguduskan persembahan melalui kata-kata-Nya dan karena Ia adalah kurban yang hadir dalam Ekaristi, maka imam dan kurban adalah satu dalam persembahan ekaristi. Tentu saja, gambaran 26 DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 217. 27 DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 217-218. 28 DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 221, nota 47. 29 DAVID N. POWER, The Eucharistic Mystery: Revitalizing the Tradition, 227.
  • 15. ini merupakan gambaran figural dalam logika effisiens. Gambaran figural ini tidak menjadikan sengsara Kristus menjadi kehadiran substansial, namun gambaran tersebut membuat hadir Kristus yang sengsara. Dengan kata lain, ketika Kristus hadir secara substansial dalam perayaan Ekaristi, sengsara-Nya pun hadir sebagai ungkapan nyata dari kehendak dan kasih-Nya dalam sengsara-Nya. Walaupun memiliki relasi yang sangat erat, menurut Aquinas, sakramen tidak sama dengan kurban (sacrifice). Demikian pula Ekaristi, ia tidak sekadar sakramen, tetapi juga kurban. Peran Imam dalam perayaan Ekaristi menjadi kunci untuk dapat memahami bahwa Ekaristi bukan sekadar sakramen, tetapi kurban. Dalam perayaan Ekaristi, satu-satunya kurban adalah Kristus yang wafat. Aquinas membedakan antara ‘persembahan’ dan ‘kurban’. Kurban adalah sesuatu yang dipersembahkan dan tindakan mempersembahkan itu adalah tindakan khas imam. Memang Kristus adalah kurban ekaristi, namun Ia juga Imam Agung yang mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban. Hanya dalam persekutuan dengan Kristus Gereja dapat merayakan Ekaristi. Untuk itu, ketika imam, dengan kuasa Kristus, mengkonsekrasi roti dan anggur sehingga menjadi Tubuh dan Darah Kristus, ia bertindak dalam nama Kristus (in persona Christi), tetapi ia mempersembahkan kurban atas nama Gereja (in persona ecclesiae). Bertindak in persona Christi tidak lantas menjadikan imam identik dengan Kristus. Dengan bahasa yang sangat teknis, Aquinas menyebut imam (selain ‘tanda’) sebagai ‘instrumen sakramental’. Menuju Konsili Trente Dengan dasar teologi Aquinas, peran imam menjadi sangat sentral dalam perayaan Ekaristi. Untuk itu tidak heran jika lantas Ekaristi lebih dilihat sebagai ‘aksi sakramental para imam’ dan ‘devosi ekaristi para umat’.30 Kedua fenomena ini lantas melahirkan praktik: hanya imam yang mempersembahkan ekaristi dan menyambut komuni, selain itu, selalu ada kerinduan untuk dapat menyambut Kristus keseluruhan (Christus totus). Pada masa ini, dogma mengenai kehadiran bersama (concomintance) berkembang. Siapa yang menerima Tubuh Kristus, menerima Kristus keseluruhan, yakni Tubuh dan Darah-Nya, ke-Ilahi-an-Nya dan kemanusiaan-Nya. Ajaran skolastik mengenai peran imam dalam perayaan Ekaristi menjadi landasan teologis untuk menumpas keraguan akan validitas ekaristi. Dalam konsili Florence, ditandaskan lagi mengenai ajaran resmi tentang Ekaristi, yakni: materia dan forma, transubstansiasi, dan konkomitan (concomintance). Selain itu, untuk pertama kalinya ungkapan ‘in persona Christi’ masuk ke dalam rumusan resmi Gerejawi dalam Decretum pro Armenis (DH 1321). Setidaknya sejak Aquinas, ajaran mengenai sakramen terpisah dari ajaran tentang kurban Ekaristi. Dari ajaran skolastik tentang ‘kurban ekaristi’, kita memiliki konsep mengenai ‘memoria’ (pengenangan),‘repraesentatio’ (kehadiran kurban salib Kristus), dan juga ‘applicatio passionis Christi ad nos’ (sengsara Kristus diperutukkan bagi kita). Tidak dapat dilupakan juga bahwa ajaran skolastik tetap menjaga pandangan tradisional mengenai hubungan antara Ekaristi dan Gereja; res sacramenti memiliki dua pengertian: pertama, Yesus Kristus sendiri; kedua, Tubuh Mistik Kristus (corpus Christi mysticum), yang adalah persekutuan para Kudus atau Gereja. Kiranya perlu diakui bahwa perayaan Ekaristi pada saat ini memang sangat berciri privat dan klerikal. Alih-alih memberikan pandangan yang negatif, kita akan melihat bahwa praktik ini menjadi salah satu momen penting untuk terjadinya sebuah reformasi liturgi.31 4.3. EKARISTI MENURUT PARA REFORMATOR DAN KONSILI TRENTE Vorgrimler menyebutkan bahwa “para teolog reformator sungguh menyadari bahwa Perjamuan Terakhir terkait dengan sabda Allah, iman dan pengampunan dosa, yang merupakan jaminan akan janji ilahi dan merupakan prioritas atas sakramen”. Walaupun begitu, Vorgrimler menambahkan, 30 H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 160. 31 H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 163.
  • 16. tidak ada kesatuan pemikiran di antara para teolog reformator mengenai teologi Perjamuan Terakhir.32 Martin Luther meyakini kehadiran nyata (realis praesentia) Kristus dalam perayaan Ekaristi melalui roti dan anggur. Ia mendasarkan keyakinannya pada kisah Perjamuan Terakhir Yesus bersama para rasul dan juga pada sabda Yesus mengenai Roti Hidup (Yoh 6:25-59). Perkataan Yesus dalam perjamuan terakhir, “Inilah tubuh/darah-Ku”, sungguh menjadi jaminan kuat akan “identifikasi” tersebut. Kendati mengakui kehadiran nyata Kristus, ia menolak paham ‘transubstansiasi’ dan mengajarkan tentang paham ‘konsubstansiasi’. Artinya, menurut Luther, substansi roti dan anggur tinggal tetap, tidak berubah, namun ada bersama, berdampingan dengan Tubuh dan Darah Kristus. Hal ini mungkin terjadi karena Allah memiliki kemampuan untuk hadir dimana-mana di tempat yang Ia kehendaki. Untuk itu, ia menggunakan konsep ‘omnipresence’ atau ‘ubiquitas’. Selain itu, ia menginterpretasikan kalimat Yesus “ambillah dan makanlah/minumlah” sebagai momen terbatas kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi. Kehadiran-Nya hanya nampak dalam perjamuan ekaristi dan tidak setelahnya. Oleh karenanya, ia menolak devosi Sakramen Maha Kudus. Dalam pandangannya akan karakter kurban dalam Ekaristi, ia mengatakan bahwa Ekaristi adalah peringatan akan kurban syukur-pujian. Perayaan Ekaristi, menurut Luther, bukanlah pengenangan (aktualisasi) kurban salib Kristus. Tidak seperti Luther, Ulrich Zwingli mengungkapkan bahwa roti dan anggur dalam Ekaristi bukanlah Tubuh dan Darah Kristus, melainkan semata-mata tanda ingatan (memorial sign) yang dapat memperkembangkan iman. Ia mengartikan sabda Yesus, “inilah…” sebagai “ini maksudnya adalah…”. Untuk itu hanya imanlah yang dapat menghadirkan Kristus dalam jiwa manusia. Zwingli sama sekali menolak karakter kurban dari perayaan Ekaristi karena menurutnya Kristus hanya mengorbankan diri sekali untuk selamanya. Manusia hanya perlu mengingat pengurbanan diri Yesus ini dan mengucapkan syukur atasnya. Yohanes Kalvin lebih ingin bersikap moderat. Ia percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi, tetapi bukan kehadiran substansial, melainkan kuasa-Nya lah yang hadir (secundum virtutem). Kuasa Tubuh mulia Kristus di surga mengalir melalui roti dan anggur yang kemudian menjadi santapan spiritual bagi perkembangan jiwa manusia. Kehadiran Kristus, menurut Kalvin, tidak dapat ‘dipenjara’ dalam elemen duniawi yang dapat berubah. Oleh karenanya, orang yang beriman tidak menyantap Tubuh Kristus, melainkan menerima kehidupan melalui kuasa Tubuh mulia-Nya. Di hadapan para teolog reformator ini, Gereja Katholik mencoba mengambil sikap dalam Konsili Trente (1545-1562). Konsili ini memang tidak memberikan suatu pandangan yang menyatu mengenai Ekaristi, tetapi uniformitas perumusan pernyataan tetap ada, yakni dengan rumusan-rumusan singkat atau kanon. Ada tiga hal pokok yang di-doktrin-kan mengenai Ekaristi dalam Konsili Trente: Kehadiran real (lih. DH 1636-1661), Kurban persembahan (lih. DH 1738-1759). Kedua paham ini akan dijelaskan kemudian. 4.4. EKARISTI MENURUT KONSILI VATIKAN II: KESATUAN EMPAT KONSEP DASAR EKARISTI Konsili Vatikan II berbicara mengenai Ekaristi dalam konteks yang berbeda dan dalam beragam cara sebagai upaya untuk menangkap semua unsur dalam Ekaristi, yang telah disebutkan sebelumnya dalam sejarah. Pandangan Ekaristi sebagai kurban persembahan didasari pada hasil Konsili Trente. Kita dapat menemukan jejak ini dalam dokumen Sacrosanctum Concilium (SC) no. 7: “Ia (Yesus Kristus) hadir dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan, ‘karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri di kayu salib’, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi”. Dalam perbincangan mengenai ‘kelanjutan’ dari 32 H. VORGRIMLER, Sacramental Theology, 164.
  • 17. kurban salib, konsep ‘pengenangan’ ditonjoLukan: “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Korban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (SC 47). Teologi Korban Ekaristi dipertajam dengan penyertaan umat Kristiani: “Hendaknya mereka (umat beriman) rela diajar oleh Sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam saja melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri..” (SC 48; bdk LG 28). Dalam salah satu teks yang berbicara mengenai Yesus-mistik, Ekaristi ditampiLukan dalam konteks teologi tubuh Kristus (LG 7). Menurut KV II, perbedaan mendasar yang nampak pada imamat umum semua umat beriman dan imamat jabatan adalah perbedaan peran dalam Ekaristi, walaupun mereka bertindak bersama-sama; “Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan Korban Ekaristi atas nama Kristus, dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat. Sedangkan umat beriman berkat imamat rajawi mereka ikut serta dalam persembahan Ekaristi. Imamat itu mereka laksanakan dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup yang suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10). Dalam wacana tentang uskup, KV II mencoba mengupayakan sesuatu yang baru, yang melampaui paham pastor-sentris dari perspektif skolastik dengan menggali kembali kekayaan ajaran Bapa-Bapa Gereja. Pelayan sakramen sekarang lebih dipusatkan pada diri uskup: “jadi dalam diri para uskup, yang dibantu oleh para imam, hadirlah di tengah umat beriman Tuhan Yesus Kristus, Imam Agung Tertinggi. Sebab meskipun Ia duduk di sisi kanan Allah Bapa, Ia tidak terpisahkan dari himpunan para imam agung-Nya. Melainkan terutama melalui pengabdian mereka yang mulia Ia mewartakan sabda Allah kepada semua bangsa, dan tiada hentinya Ia menerimakan sakramen-sakramen iman kepada umat beriman” (LG 21, paragraf 1). Pernyataan mengenai uskup, Ekaristi dan persembahan komunitas mengarah pada pandangan mengenai ekklesiologi ekaristi (Eucharistic ecclesiology): “Uskup mempunyai kepenuhan sakramen Tahbisan, maka ia menjadi ‘pengurus rahmat imamat tertinggi’, terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkannya sendiri atau yang dipersembahkan atas kehendaknya, dan yang tiada hentinya menjadi sumber kehidupan dan pertumbuhan Gereja. Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja. Gereja-Gereja itu di tempatnya masing-masing merupakan Umat baru yang dipanggil oleh Allah, dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (lih. 1Tes 1:5). Di situ umat beriman berhimpun karena pewartaan Injil Kristus, dan dirayakan misteri Perjamuan Tuhan, ‘supaya karena Tubuh dan Darah Tuhan semua saudara perhimpunan dihubungkan erat-erat’. Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup, tampillah lambang cinta kasih dan ‘kesatuan Tubuh mistik itu, syarat mutlak untuk keselamatan’. Di jemaat-jemaat itu, meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan- Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katholik, dan apostolik. Sebab, ‘keikut-sertaan dalam tubuh dan darah Kristus tidak lain berarti berubah menjadi apa yang kita sambut’. Adapun semua perayaan Ekaristi yang sah dibimbing oleh Uskup. Ia diserahi tugas mempersembahkan ibadat agama kristiani kepada Allah yang mahaagung, dan mengaturnya menurut perintah Tuhan dan hukum Gereja, yang untuk keuskupan masih perlu diperinci menurut pandangan uskup sendiri (LG 26). Pada tahun 2007, paus (emeritus) Benedictus XVI mengeluarkan sebuah motu proprio, Summorum pontificum. Dekrit ini melahirkan kesulitan: pertama, dari sisi liturgis-pastoral, bagaimana kita dapat menyatukan dua buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE), yakni TPE Pius V dan TPE Paulus VI; kedua, dari sisi teologis, bagaimana merengkuh dua teologi yang berbeda antara teologi Ekaristi Tridentin
  • 18. dan teologi Ekaristi KV II. Missale Paus V (1570) menitik-beratkan pada konsep ekaristi sebagai ‘kurban’ dan ‘kehadiran real Kristus’. Sedangkan Missale Paulus VI (1970) memusatkan perhatian pada Ekaristi sebagai ‘perjamuan’ dan ‘kenangan’. Walaupun memberikan tantangan yang besar bagi para teolog dan juga para liturgos, dekrit ini memberikan tuntunan praktis untuk perayaan Ekaristi menurut Missale Pius V. Namun, jauh di atas segalanya, dekrit ini memberikan kesempatan bagi para teolog untuk dapat menyatukan dua pandangan di atas, karena keduanya adalah merupakan kekayaan Gereja yang tidak dapat dipinggirkan. Untuk itu, kita akan mencoba mencermati satu per satu paham Ekaristi yang ada dan selanjutnya mencoba menawarkan suatu pandangan yang dapat menyatukan keempat paham yang ada. 4.4.1. KEHADIRAN REAL KRISTUS DALAM EKARISTI Ekaristi adalah simbol nyata dari kehadiran Kristus dan karya keselamatan-Nya kepada umat manusia. Inilah inti dari ajaran iman kita akan Ekaristi. Kehadiran real Kristus dalam Ekaristi sejalan dengan pandangan umat Yahudi dalam Perjanjian Lama tentang kehadiran dan penyertaan YHWH dalam sejarah hidup mereka; kehadiran YHWH dalam ‘tabut perjanjian’ dan kemudian dalam ‘Bait Allah’. Selain dalam PL, kita juga dapat menarik kesimpulan dari prolog Yohanes, yang menyebutkan bahwa: “Sabda telah menjadi daging dan tinggal (eskènosen) di antara kita” (Yoh 1:14). Jejak-jejak pemahaman KS akan kehadiran nyata Kristus yang menyertai umat-Nya tidak serta merta mudah untuk diterangkan. Teks-teks neotestamentaria yang dipercaya berbicara tentang ‘kehadiran’ Kristus dalam Ekaristi pun tidak jarang menimbuLukan pertentangan interpretatif. Kita ambil sebagai contoh teks dari Yoh 6 tentang ‘roti hidup’. Diskursus Yesus mengenai ‘roti hidup’ dalam injil Yohanes bab VI (ay. 22-71) merupakan salah satu teks yang banyak menimbuLukan interpretasi. Yang menjadi pokok perdebatan adalah: bagaimana pernyataan Yesus dapat dipahami? Apakah ia berbicara dalam arti realis atau metaforis-simbolis? Yesus sendiri agaknya menunjukkan suatu sikap yang kuat bahwa ia sungguh memberikan tubuh- Nya sebagai roti santapan yang membawa kehidupan: “Akulah roti hidup yang turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama- lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6:51). “Aku berkata kepada-mu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan AKu akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya” (Yoh 6:53-58). Yesus sungguh menekankan pentingnya menyantap tubuh-Nya dan meminum darah-Nya untuk memperoleh kehidupan. Untuk itu, kiranya pengartian metaforis akan perkataan Yesus ini akan mengkhianati kehendak-Nya sendiri. Selain itu, penggunaan kata Yunani ‘sarx’ (daging), yang menemukan padanannya pada kata ibrani ‘basar’ dan kata aram ‘bisra’, lebih ingin menunjuk pada manusia konkret daripada manusia dalam arti figuratif. Arti realis dari pemberian diri Yesus tetap ditonjoLukan manakala orang-orang Yahudi mempertanyakan “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan?” (Yoh 6:52). Seandainya Yesus meminta sebuah pengartian metaforis, maka Ia akan mengoreksi pertanyaan orang-orang Yahudi tersebut. Namun, alih-alih mengoreksi, Yesus justru semakin menekankan pengartian real dari pernyataan-Nya itu: “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman” (Yoh 6:55). Dengan demikian, pemahaman metaforis terhadap kata-kata Yesus tidaklah sesuai dengan apa yang dimaksudkan-Nya.
  • 19. Kehadiran real Kristus juga menjadi keyakinan iman para Bapa Gereja, baik yang berasal dari tradisi sebelum Nicea (Ignatius Antiochia, Yustinus, Ireneus, Tertullianus, Clemens dari Aleksandria, Origenes, Siprianus, dan Efrem) maupun setelahnya (Sirillus dari Aleksandria, Yohanes Krisostomus, Hilarius dari Poitiers, Isidorus). Mereka meng-amin-i kehadiran Kristus dalam rupa roti dan anggur yang telah dikonsekrasi. Kendati demikian, harus diakui bahwa mereka belum mencapai kematangan atau keakuratan konsep dan terminologi mengenai realis praesentia, yang baru akan terjadi pada masa skolastik.33 Keyakinan akan kehadiran nyata Kristus ini tidak hanya didasari pada pemikiran teologis perorangan, melainkan telah menjadi refleksi atau pemikiran Gereja. Dengan kata lain, Gereja mencoba mengambil sikap terhadap misteri iman ini dengan merumuskannya dalam formulasi yang disepakati, sekaligus menjaganya dari pandangan-pandangan yang dapat memiskinkan misteri iman tersebut. Oleh karenanya, kita mengenal pernyataan resmi pertama mengenai Ekaristi dalam Konsili Efesus (431): “Tubuh Tuhan itu menghidupkan dan sungguh daging dari Logos Allah Bapa” (DH 262). Kendati rumusan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Sirilus dari Aleksandria, para bapa konsili mengakui dan menerima rumusan ini sebagai rumusan resmi Gereja. Selain itu, kita sudah kemukakan sebelumnya mengenai kontroversi Berengarius. Pandangannya lantas dikoreksi dalam dokumen sinode Roma VI (1079), yang mengatakan bahwa kehadiran Kristus dalam Ekaristi merupakan kehadiran dalam kodrat dan substansi-Nya (DH 700). Konsili Lateran IV (1215) melanjutkan pandangan ini sekaligus mempergunakan untuk pertama kalinya dalam dokumen resmi Gereja kata “transubstansiasi” (DH 802). Selain itu, konsili ini menegaskan bahwa tubuh dan darah Kristus terdapat kurban ekaristi yang dalam rupa roti dan anggur. Kehadiran nyata kristus ditandaskan dengan penggunaan kata ‘secara nyata’ (veraciter). Pernyataan resmi Gereja lainnya yang tidak dapat dilupakan adalah yang berasal dari konsili Trente (1545-1563). Konsili Trente menyatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, setelah kata-kata konsekrasi dan oleh karenanya, Kristus benar-benar hadir secara nyata, real dan substansial (veraciter, realiter ac substantialiter) dalam rupa roti dan anggur (DH 1636). Kehadiran Kristus dalam Ekaristi adalah kehadiran sakramental yang memungkinkan-Nya hadir dalam banyak tempat. Kehadiran ini sama nyatanya dengan kehadiran atau eksistensi Kristus dalam sejarah dan dalam kemuliaan-Nya. Pada akhirnya, harus dinyatakan bahwa kehadiran real Kristus dalam Ekaristi adalah sebuah misteri yang membutuhkan keyakinan iman mendalam. Setelah konsili Trente, refleksi teologis-dogmatis tridentin sangat mewarnai refleksi Gereja selanjutnya mengenai kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi. Konsili Vatikan II, dalam dokumen mengenai Liturgi menyatakan: “…Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan…maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi” (SC 7). Dalam terang KV II, paus Paulus VI mengeluarkan ensiklik Mysterium fidei (1965) yang memberikan suatu pemaparan yang kaya mengenai kehadiran Kristus dalam Gereja. Menurut Paulus VI, Martins menuliskan, kehadiran Kristus dalam Ekaristi adalah momen puncak kehadiran Kristus yang bangkit untuk Gereja-Nya yang sedang mengembara dalam sejarah.34 Hanya dalam perspektif ekklesiologis inilah, Martins menambahkan, kita dapat menyerap seluruh kekayaan makna dari Ekaristi, dari kehadiran nyata tubuh dan darah Kristus untuk seluruh umat beriman. Satu hal yang baik ditanyakan setelah mencermati apa yang telah dituliskan sebelumnya adalah: bagaimana kita mau memahami kehadiran nyata Kristus? Kita dapat memahaminya dalam beberapa poin. 33 Untuk pembahasan yang lebih luas mengenai pemikiran masing-masing Bapa Gereja lihat J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 369-376. 34 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 388.
  • 20. Kehadiran Kristus seutuhnya (Christus totus). Kehadiran Kristus dalam Ekaristi tentu saja harus dimaknai sebagai kehadiran seluruh Kristus. Kendati kita berbicara mengenai kehadiran tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur, pernyataan ini tidak ingin memiskinkan kehadiran Kristus dalam kemanusiaan dan ke-ilahi-an-Nya. Kemanusiaan utuh Yesus ditunjukkan dengan perkataan- Nya sendiri tentang daging (basar) dan darah (dam) yang diberikan untuk kita manusia. Kesatuan ypostatik Yesus menjelaskan bagaimana lantas keutuhan manusia Yesus terhubung erat dengan keilahian-Nya. Kehadiran permanen. Kurban Ekaristi adalah sakramen permanen. Kehadiran permanen Kristus dalam kurban ekaristi (hosti) telah menjadi keyakinan orang Kristen sejak masa-masa awal kekristenan. Sirilus dari Aleksandria menepis pandangan yang meragukan kehadiran permanen Kristus dalam ekaristi lebih dari satu hari dengan mengatakan: “Saya bermaksud mengatakan bahwa ada beberapa orang yang memandang bahwa jika ada bagian dari kurban ekaristi yang lebih dan disimpan untuk beberapa hari mendatang, maka ia tidak memiliki lagi khasiat penyuciannya. Adalah suatu kegilaan mengafirmasi pernyataan ini karena Kristus tidak mengalami keterasingan dan tubuh- Nya tidaklah berubah. Rahmat-Nya yang menghidupkan tetaplah tinggal dalam Dia dan Ia memiliki hak dan kuasa untuk mengubah (seseorang)”.35 Dalam pemahaman serupa baik Basilius Agung maupun Yustinus mengkritik mereka yang menyangsikan kehadiran Kristus sesudah/di luar perayaan Ekaristi. Penolakan akan kehadiran permanen Kristus di luar perjamuan Ekaristi didasarkan pada pemahaman bahwa kehadiran Kristus nampak dalam penerimaan elemen ekaristis dalam perjamuan atau dalam komunitas. Menurut pemahaman ini, unsur ‘koinonia’ menjadi elemen fundamental bagi kehadiran nyata Kristus. Pemahaman ini tidak dapat diterima karena terlalu ‘melokalisasikan’ kehadiran Kristus dalam perjamuan. Padahal, dengan mengatakan “Ini tubuh-Ku” dan “Ini darah- Ku”, kehadiran Kristus menjadi nyata dan terus hadir bahkan setelah perayaan Ekaristi. Kehadiran nyata Kristus bukanlah sekadar terkait dengan kurban dan koinonia, namun menunjuk pada diri Kristus sendiri, yakni persona dari Sabda yang berinkarnasi.36 Dalam perayaan liturgis, kehadiran Kristus menjadi begitu nyata, namun kehadiran ini sekaligus menjadi kehadiran yang berlangsung terus bahkan di luar perayaan tersebut. Hadir untuk mempersembahkan diri. Kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi tidak hanya kehadiran tubuh dan darah-Nya, tetapi kehadiran keseluruhan Kristus yang hidup, Allah dan manusia. Kehadiran Kristus ini tentulah bukan sebuah kehadiran yang dingin dan statis. Kita percaya bahwa kehadiran Kristus ke dunia memiliki dimensi pemberian diri. Kristus hadir secara sakramental dalam Ekaristi, tidak semata-mata untuk dapat tinggal dekat dengan kita, tetapi juga untuk memberikan diri- Nya kepada kita. Ia menjadikan diri-Nya sebagai kurban persembahan bagi umat beriman. 4.4.2. EKARISTI SEBAGAI KURBAN Kurban Ekaristi Untuk dapat memahami karakter kurban dari Ekaristi –tidak hanya karakter tetapi juga esensi ekaristi, baik jika kita lihat bagaimana para Bapa Gereja dan liturgi sendiri mencoba menggali kekayaan ini dari kitab Perjanjian Lama. Mereka melihat bahwa dalam PL sudah ada gambaran atau persiapan akan kurban Kristus. Perjanjian Lama berbicara banyak mengenai kurban. Bahkan, kita dapat mencermati bagaimana proses pengurbanan menjadi semakin kompleks seiring perjalanan waktu. Pada awalnya, masa nomaden, persembahan dilakukan dengan cara sederhana dan kurban (binatang atau buah) sederhana; tanpa tempat khusus dan ritual khusus. Namun, dalam perjalanan waktu, kita mengenal pelaksanaan kurban menjadi tersentralisasi dalam Bait Allah (zaman Yosia). Selain itu, ritual menjadi lebih kompleks, terutama masa setelah pembuangan, dimana peran imam Levi dibedakan dengan imam 35 Dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 396. 36 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 402.
  • 21. pada umumnya yang hanya mempersembahkan kurban. Pada masa ini, kita mengenal kurban bakaran, kurban silih dan kurban umum/pujian. Persembahan kurban menjadi ekspresi manusiawi akan pemberian diri kepada Allah. Orang-orang Israel melakukan praktik ini untuk menyatakan kesalahan dan penyesalannya di hadapan Allah. Dengan demikian, mereka ingin berdamai kembali dengan Allah. Kurban tidak hanya menunjukkan dimensi rekonsiliasi, melainkan juga pujian akan kebesaran-Nya, sekaligus permohonan perlindungan. Intinya, ritual kurban menunjukkan betapa manusia sungguh tergantung pada Allah. Dalam perjalanan waktu, ritual ini dilihat semata-mata sebagai ungkapan eksternal dan bukan sebagai kesadaran intim akan relasi antara pemberi kurban dan Allah sendiri. Untuk itu, para nabi mengkritik keras mentalitas zamannya dan menuntut suatu persembahan interior, yakni hati yang remuk-redam dan kesediaan untuk mencintai Allah (bdk. Hos 4:1-19; Mal 1:6-10). Persembahan kurban PL mendapatkan ekspresi tertingginya dalam kurban Yesus Kristus, seperti yang dinyatakan oleh pengarang kitab Ibrani: “Kurban dan persembahan tidak Engkau kehendaki – tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku- . Kepada korban bakaran dan korban penghapusan dosa Engkau tidak berkenan. Lalu Aku berkata: ‘Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku” (Ibr 10:5-7). Persembahan Kristus tidak dapat dilihat semata-mata sebagai sebuah ‘aksi’. Kurban telah menjadi ‘identitas’ Kristus sendiri.37 Hidup Kristus telah mengekspresikan kurban itu sendiri; dari sikap ketaatan ‘Ya’, menuju seruan “aku datang” (“ecce venio”), dan berakhir pada “selesailah sudah” (“consummatum est”). Momen fundamental ekspresi pengurbanan Kristus adalah: persembahan di Salib. Inilah dasar sekaligus puncak bagi ekspresi cinta-Nya kepada umat manusia. Ia mengurbankan diri-Nya bagi keselamatan seluruh manusia. Ketika ekspresi puncak pengurbanan Kristus ternyatakan dalam persembahan diri di atas kayu Salib, bagaimana dengan Ekaristi sendiri? Apakah Ekaristi dapat dianggap sebagai ‘pengenangan’ (=kehadiran kembali) kurban Salib Kristus? Dalam KS kita memang tidak akan menemukan kata ‘kurban’ yang menunjuk pada ‘Ekaristi’. Namun, seperti telah kita lihat sebelumnya, dimensi kurban Ekaristi menemukan gambaran awalnya dalam kurban paskah yang dirayakan setiap tahun oleh umat Yahudi untuk mengenangkan karya keselamatan Allah atas diri mereka. Ini adalah pusat kenangan dan ibadah umat Yahudi. Perayaan paskah Yahudi memiliki dimensi kurban yang sangat kuat. Dengan demikian, tidaklah keliru jika para Bapa Gereja, yang melihat paskah Yahudi sebagai “cikal bakal” perjamuan ekaristi kristiani, melihat bahwa Ekaristi memiliki dimensi kurban juga. Karakter kurban Ekaristi menjadi sangat nyata dalam kata-kata institusi Yesus sendiri dalam perjamuan terakhir-Nya dengan para murid. Ia menggunakan kata “diserahkan” (dedòmenon, datur; Luk 22:19), “ditumpahkan” (ekxynnòmenon, effunditur; Luk 22:20) dan “untuk” (hupèr, pro). Ketiga kata ini menunjukkan bahwa Kristus adalah kurban silih. Artinya, dia menjadi kurban yang akan mendamaikan manusia dengan Allah. Kata-kata kerja yang digunakan memiliki bentuk partisipium- presen, yang lantas dalam kitab Vulgata diterjemahkan dengan kata kerja future. Perubahan kata kerja ini dalam terjemahan dapat dimungkinkan karena dalam gramatika bahasa Yunani, bentuk present dapat mengacu juga pada masa depan.38 Untuk itu, tidaklah cukup berhenti pada pemahaman akan tindakan Yesus pada momen perjamuan terakhir. Sebagaimana dikatakan oleh Giraudo: “ Pemahaman akan kata-kata konsekrasi sebagai janji Tuhan Yesus, yang dalam malam penantian akan 37 Bdk. J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 461. 38 Bdk. J. Jeremias scrive: “La forma del presente sorprende, ma si spiega in quanto l’ebraico e l’aramaico, diversamente dal greco, non possiedono forme diverse di participio per i diversi tempi. Il participio è a-temporale; la sua sfera temporale è determinata dal contesto. In particolare in aramaico il participio viene spesso usato per un avvenimento atteso nel prossimo futuro” (C. GIRAUDO, “La Preghiera eucaristica nel solco della tradizione: tra recenzione e trasmessione”, in C. GIRAUDO (a cura), Il Messale Romano. Tradizione, traduzione, adattamento. Atti della XXX Settimana di Studio dell’Associazione Professori di Liturgia, Gazzada 25-30 Agosto 2002, Edizione liturgiche, Roma 2003, 206 [citazione])
  • 22. sengsara-Nya, dinyatakan secara profetis dalam rupa roti yang dipecah-pecah dan dalam rupa anggur yang tercurah bagi komunitas kristiani awal dan yang melaluinya untuk Gereja di sepanjang zaman, menunjukkan dasar bagi teologi ekaristi”.39 Tindakan Yesus pada momen perjamuan terakhir memiliki dimensi masa depan, yang secara khusus dapat kita katakan sebagai ‘antisipasi’ atas pengurbanan-Nya di kayu salib. Paham akan Ekaristi sebagai kurban juga diajarkan oleh para Bapa Gereja kendati masing-masing dari mereka memiliki penekanan dan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskannya. Seperti sudah dikatakan sebelumnya, para Bapa Gereja melihat bahwa kurban ekaristi sudah dinyatakan secara implisit dalam PL dan ternyatakan secara jelas dalam PB terutama dalam momen perjamuan terakhir. Dimensi kurban dalam Ekaristi bukanlah buah dari suatu refleksi historis dari Bapa Gereja akan Ekaristi, melainkan kesadaran akan kehendak Yesus sendiri yang meminta supaya persembahan yang Ia lakukan dapat dikenangkan dan dibaharui terus menerus.40 Para Bapa Gereja tidak hanya berhenti pada kesadaran akan dimensi kurban dalam Ekaristi, namun mencari juga dasar baginya. Untuk itu, mereka (Efrem, Hippolitus, Gregorius dari Nissa) mengatakan bahwa Kristus adalah ‘yang mempersembahkan kurban’ dan sekaligus ‘kurban’ itu sendiri. Selain itu, sebagai yang mempersembahkan kurban, Kristus adalah Imam. Dia adalah Imam, yang dalam diri para imam, melalui kehadiran sakramental, mempersembahkan kurban yang kelihatan bagi Gereja (Ambrosius). Paham ini juga menjadi begitu kuat pada masa abad pertengahan-skolastik, dalam sintesa st. Thomas Aquinas. Doktor Angelicum ini menyatakan bahwa Kristus sungguh hadir dalam Ekaristi sebagai kurban yang dipersembahkan. Kurban ini mengacu pada kurban-Nya di kayu salib. Pada masa setelahnya, yakni zaman modern, untuk menjawab ajaran para reformator, Gereja, melalui konsili Trente menandaskan karakter kurban dari Ekaristi (DH 1743). Ajaran konsili Trente inilah yang menjadi dasar refleksi Gereja selanjutnya. Dengan mengikuti pandangan tridentin, Paus Pius XII, dalam ensikliknya Mediator Dei (1947), sangat menekankan aspek kurban dalam perayaan Ekaristi; Ekaristi adalah perjamuan kurban, dimana kurban ekaristi sebagaimana kurban salib adalah Kristus sendiri dalam kemanusiaan-Nya. Pandangan ini senada juga dengan apa yang dinyatakan dalam dokumen KV II tentang Liturgi (SC): “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Korban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (SC 47). Dalam kesepahaman dengan KV II, Paus Paulus VI, dalam ensiklik Mysterium fidei, menggarisbawahi relasi antara kurban Ekaristi dengan kurban Salib Yesus. Kodrat kurban Ekaristi Dengan menggarisbawahi relasi antara kurban Ekaristi dan kurban Salib Kristus, maka kita harus dapat memperlihatkan bagaimana relasi yang terjadi antara Altar, Salib, dan Perjamuan terakhir. Relasi ketiga hal ini nampak dalam Perjamuan terakhir Yesus bersama para murid. Kepada para murid, Yesus mengatakan bahwa Ia menyerahkan roti dan anggur yang adalah Tubuh dan Darah- Nya; penyerahan yang ditujukan bagi para murid. Selain itu, sudah kita nyatakan sebelumnya bahwa penyerahan Yesus pada perjamuan terakhir memiliki dimensi imminen, artinya penyerahan yang akan segera terjadi di atas puncak Kalvari. Kenangan akan perjamuan kurban ini (perjamuan terakhir dan kurban Salib) dikenangkan dan diwartakan dalam Ekaristi di atas Altar. Di atas Altar-lah pewartaan wafat dan kebangkitan Kristus terjadi. Walaupun memiliki ikatan yang begitu erat, masing-masing memiliki perbedaaan. Martins berpendapat demikian: “Kurban salib berciri absolut dan satu kali, sedangkan kurban altar secara essensial berciri relatif dan mengulang. Kurban salib merupakan 39 C. GIRAUDO, “La Preghiera eucaristica nel solco della tradizione: tra recenzione e trasmessione”, 207. 40 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 461.
  • 23. kurban kejam (immolazione cruenta) yang harus ditanggung oleh Yesus, Ekaristi adalah kurban yang tidak kejam yang memberikan nutrisi bagi manusia. Kurban salib adalah sumber penebusan kita, sedangkan Ekaristi adalah konkretisasi penebusan bagi setiap umat anggota bangsa pilihan Tuhan”.41 Sejauh ini, kita masih berbicara mengenai dimensi kurban Ekaristi. Agaknya semua dapat meyakini hal ini. Namun, ketika harus berbicara mengenai essensi kurban Ekaristi, para teolog memiliki pandangan yang berbeda-beda. O. Casel agaknya memberikan suatu pandangan yang cukup komprehensif.42 Menurut pandangannya, Ekaristi dipahami sebagai kurban bukan karena ia merupakan persembahan kurban fisik, bukan juga karena pada saat ekaristi terjadi suatu penghormatan (oblatio) eksternal (De la Taille) atau internal (Lepin), bukan juga karena terjadi dalam suatu persekutuan (Renz), bukan juga karena terjadi di dalamnya sebuah kurban mistik (Billot). Ekaristi, menurut Casel, disebut sebagai kurban karena menghadirkan kembali (ri-presenta) kurban Kristus yang sama, yakni kurban Salib. Oleh karenanya, kurban altar tidak lain adalah kurban salib yang karena transubstansiasi bisa hadir hic et nunc. Dari pandangan yang berbeda-beda dari para teolog, kita dapat menarik benang merah bahwa Ekaristi adalah sebuah persembahan kurban (sacrificio) karena di sana lah terdapat kurban (immolazione) yang sungguh. Yang dimaksudkan dengan ‘kurban yang sungguh’ tentulah bukan kurban fisik, melainkan kurban sakramental. Ekaristi sebagai kurban Kristus dan kurban Gereja Poin penting yang dapat membantu kita memahami bagaimana Ekaristi dapat menjadi kurban Kristus sekaligus kurban Gereja adalah bahwa Gereja selalu bersatu dengan Kristus yang adalah Imam dan kurban. Dengan demikian, Gereja mempersembahkan kurban, tetapi Gereja juga mempersembahkan dirinya bersama Kristus. 4.4.3. EKARISTI SEBAGAI PERJAMUAN Komuni dan Kurban Ekaristi bukanlah semata-mata kurban, namun juga perjamuan. Ekaristi adalah perjamuan kurban. Altar adalah meja perjamuan dan meja perjamuan adalah Altar. Kita dapat dengan mudah menemukan karakter perjamuan dari Ekaristi dalam Kitab Suci. Kita ingat bagaimana hal menyantap kurban menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam ritual Yahudi (bdk. Ul 12:7). Dalam PB, diskursus Yesus dalam Yoh 6 menunjukkan secara jelas aspek perjamuan dari Ekaristi. Pada bagian pertama, Yesus berbicara mengenai diri-Nya yang adalah Roti yang turun dari Surga, pada bagian kedua, Ia menyatakan bahwa Roti itu adalah daging-Nya yang harus disantap supaya memperoleh kehidupan. Selain itu, karakter perjamuan Ekaristi nampak dalam momen terakhir Yesus bersama para murid- Nya, yakni perjamuan terakhir dengan kata-kata institusi yang diucapkan-Nya: makanlah dan minumlah. Dengan demikian, perjamuan turut menyertakan tindakan menyantap Tubuh dan meminum Darah-Nya. Dalam perjamuan Ekaristi, tidak hanya terjadi perubahan secara substantif roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, melainkan orang diajak untuk menyantap dan meminumnya.43 Perjamuan kurban tidak akan lengkap tanpa tindakan makan dan minum. Untuk menekankan aspek perjamuan ini, Paulus berbicara mengenai “mensa domini” (1 Kor 10:21), “cena domini” (1 Kor 11:20) dan Lukas berbicara mengenai “fractio panis” (Luk 24:35). Keyakinan ini lantas berlanjut dalam refleksi para Bapa Gereja (Yohanes Krisostomus dan Agustinus). Mereka tidak hanya melihat Ekaristi sebagai kurban, tetapi juga perjamuan mingguan orang-orang Kristen yang ingin memuji Allah sambil memecah-mecahkan roti. 41 J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 479. 42 Dikutip dari J.S. MARTIN, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 486-487. 43 Bdk. J.S. MARTINS, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 510.
  • 24. Kendati demikian, aspek perjamuan tidak selamanya selalu ditekankan dalam refleksi Gereja, bahkan sempat masuk dalam ranah abu-abu. Contoh yang sangat jelas adalah ketika Gereja bereaksi terhadap ajaran Luther mengenai Ekaristi. Luther menyangkal aspek kurban dan menyatakan bahwa Ekaristi tak lebih dari peringatan akan kurban Salib. Untuk menyangkal pandangan ini, Gereja lantas memberikan porsi besar terhadap ajaran Ekaristi sebagai kurban, dengan konsekuensi bahwa aspek perjamuan tidak lagi ditonjoLukan dan cenderung tenggelam. Konsili Vatikan II memberikan kesegaran terhadap pandangan ini, syukur atas kemajuan studi KS dan terutama pembaharuan liturgi. Sacrosanctum Concilium no. 47 menyiratkan bahwa Ekaristi adalah “mensa domini” dimana Gereja mengundang orang beriman untuk menyantap dan memperoleh nutrisi darinya; Ekaristi juga adalah perjamuan paskah dimana “dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang”. Dalam liturgi Ekaristi sendiri, aspek perjamuan terlihat dalam rumusan prefasi Ekaristi II: “Dialah Imam sejati dan kekal, yang menyerahkan diri-Nya sebagai kurban sepanjang masa demi keselamatan kami. Untuk mengenangkan Dia kami mempersembahkan kurban ini. Dengan menyambut Tubuh Kristus yang dikurbankan ini, kami dikuatkan; dan dengan minum Darah Kristus yang dicurahkan ini, kami dimurnikan”. Dengan mencermati apa yang telah kita nyatakan, akan timbul kesadaran bahwa tidak mungkin dipisahkan antara kurban dan perjamuan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Bagi komunitas kristiani awal, kesatuan ini nampak. Oleh karenanya mereka menyebut Ekaristi sebagai “coena dominica”. Untuk mereka, Ekaristi adalah ‘kurban’ yang terkait erat dengan tindakan ‘menyantap kurban’. Keterkaitan antara kurban dan perjamuan sebenarnya sudah nampak dalam PL. Kurban yang dipersembahkan dan disucikan tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri, melainkan terarah pada perjamuan atau santapan bersama. Tentu saja kita harus berhati-hati untuk menyatakan hal ini, karena perjamuan umum Yahudi berbeda dengan perjamuan Ekaristi kristiani (bdk. 1 Kor 11:29). Hal mendasar yang membedakannya adalah bahwa dengan merayakan “cena domini”, orang-orang Kristen mengenangkan sengsara dan kematian Kristus, yakni kurban salib-Nya. Sampai saat ini tentu saja kita menekankan kesatuan antara perjamuan dan kurban, seperti yang memang telah terjadi pada praktik komunitas awal. Dengan demikian belum ada kebiasaan untuk menyimpan hosti dalam tabernakel. Harus diingat bahwa hosti yang disimpan dalam tabernakel diperuntukkan bagi orang-orang yang karena sakit tidak dapat menghadiri perayaan Ekaristi atau bagi orang-orang yang ingin mendapatkan kekuatan spiritual di hadapan tantangan kematian sebagai martir. Konsekuensi dari praktik ini adalah bahwa orang dapat menerima hosti di luar perayaan ekaristi. Pada abad pertengahan kita dapat menjumpai adanya praktik yang semakin menjauhkan penerimaan komuni dari perayaan Ekaristi. Alasan mendasar dari praktik ini kiranya sulit dipastikan. Mungkin saja, seperti dituliskan Martins, yang menyebabkan mengapa praktik ini dapat terjadi adalah untuk mempercepat selesainya perayaan ekaristi, karena kerap kali waktu penerimaan komuni menjadi begitu panjang, terutama pada perayaan-perayaan besar.44 Kendati praktik ini umum dilakukan, Paus Benediktus XIV (†1758), dalam De SS. Missae sacrificio menentang keras praktik ini. Sikap yang kurang lebih sama ditampakkan oleh Paus Pius XII (†1958) dalam Mediator dei (1947). Paus Pius XII ingin mengembalikan kesadaran akan kesatuan antara kurban ekaristi dan (penerimaan) komuni itu sendiri. Konsili Vatikan II, dalam SC no. 55, menyebutkan: “dianjurkan dengan sangat partisipasi umat yang lebih sempurna dalam Misa, dengan menerima Tubuh Tuhan dari Kurban itu juga sesudah imam menyambut Komuni”. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bahwa umat menerima Kristus tidak hanya secara spiritual melainkan juga secara sakramental dengan menyantap-Nya dalam perayaan Ekaristi. Dengan menyatakan kesatuan antara perjamuan dan kurban, komuni dan kurban, kita harus mengetahui kodrat kesatuan dua hal itu. Sebelum berbicara mengenai kodrat kesatuan itu, kita harus menyadari adanya perbedaan antara komuni imam dan komuni umat, untuk itu berbeda pula relasinya 44 J.S. MARTINS, I Sacramenti dell’Iniziazione Cristiana. Battesimo, Cresima ed Eucarestia, 515.