Dokumen tersebut membahas tentang penurunan populasi ikan tagih di Sungai Citarum dan Waduk Cirata. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan populasi ikan antara lain perubahan ekosistem, sedimentasi, pencemaran, dan penangkapan berlebihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi populasi dan karakteristik biologi ikan tagih di Waduk Cirata melalui pengukuran morfometrik dan pengamatan gonad untuk mendukung
Biological Aspect of Ikan Baung / Tagih (Hemibagrus nemurus Val. 1840) In Cirata Reservoir
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sungai Citarum memiliki panjang sekitar 225 km, merupakan sungai terbesar
dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat. Sungai ini berhulu di lereng Gunung Wayang
Kabupaten Bandung yang kemudian mengalir melintasi beberapa kota dan kabupaten
seperti Bandung, Cianjur, Purwakarta, dan bermuara di Muara Gembong, Kabupaten
Karawang (Hardjasaputra, 2007). Luas daerah aliran sungai Citarum yang mencapai
kira-kira 7.400 km2
meliputi Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta dan
Kabupaten Bandung. Debit air Sungai Citarum sebesar 5,7 milyar m3
/tahun
dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Di sepanjang DAS
Citarum dibangun 3 buah waduk besar yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan
Waduk Ir. H. Juanda, yang terakhir lebih dikenal dengan Waduk Jatiluhur (Anonim,
2004). Ketiga waduk tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan termasuk
perikanan yang membuat Jawa Barat menjadi salah satu lumbung ikan air tawar
nasional.
Sebagai salah satu perairan umum yang cukup besar, Sungai Citarum
merupakan habitat cukup banyak jenis ikan asli. Menurut Jubaedah (2006), terdapat
23 jenis ikan asli Sungai Citarum, sedangkan menurut Pemerintah Kabupaten
Bandung dalam situs http://www.pemkab.go.id disebutkan terdapat 26 jenis ikan asli
(Lampiran 1). Banyaknya jenis ikan tersebut, dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
1
2. dengan melakukan penangkapan ikan. Hardjamulia (1987) melaporkan bahwa telah
sejak lama hampal (Hampala macrolepidota), tawes (Puntius gonionotus), tagih
(Macrones nemurus), lalawak (Barbonymus gonionotus), jambal (Pangasius sp.) dan
nila (Oreochromis niloticus) mendominasi dan memiliki kontribusi penting terhadap
produksi penangkapan ikan di Sungai Citarum. Ditambahkan oleh Hardjasaputra
(2007), penangkapan ikan di Sungai Citarum telah dilakukan oleh masyarakat
Tarumanegara pada abad 4–7 M dan bahkan diduga sejak zaman prasejarah.
Ditambahkan oleh Marmulla (2001), rata-rata produksi perikanan di sungai besar dan
berarus tenang di daerah tropik mencapai 30–100 kg/ha/thn, sedangkan di
danau/waduk 10–200 kg/ha/thn.
Namun sekarang ini berdasarkan laporan nelayan setempat, hasil tangkapan
ikan asli mengalami penurunan dan bahkan sangat jarang mendapatkan ikan asli jenis
tertentu. Diperkuat oleh Sinaga (2002) dalam Jubaedah (2006) yang menyatakan
bahwa di Waduk Cirata, banyak jenis ikan asli yang sulit ditemukan seperti arengan
(Labeo chrysophekadion), lempuk (Chrytopterus lempok), balidra (Nototerus chilata)
dan julung-julung (Dermogenys pusillus).
Pemerintah Kabupaten Bandung dalam http://bandungkab.go.id menyatakan
bahwa pada tahun 1980 di Sungai Citarum terdapat 26 jenis ikan asli namun sekarang
tinggal 16 jenis. Jubaedah (2006) menambahkan, hasil penelitian di Waduk Juanda
pada tahun 1986 diketahui bahwa dari semula terdapat 23 jenis ikan asli Sungai
Citarum hanya tinggal 16 jenis yang sebagian telah sulit dijumpai. Pada tahun 1987 –
1997, jumlahnya merosot hanya 6 jenis, sedangkan pada tahun 2000 tinggal 4 jenis
ikan asli.
2
3. Menurut beberapa para ahli, faktor yang langsung dan tidak langsung
menyebabkan penurunan populasi ikan asli antara lain: perubahan dan pembatasan
ekosistem (Hoggarth et al., 1999) (Marmulla, 2001), (Rahmawaty, 2002), (Jubaedah,
2006), penebangan hutan (Sawitri et al., 2006), sedimentasi (Anonim, 2002), (Erlania
et al., 2007), (Sawitri et al., 2006), (Sutono, et al., 2002), tipe waduk (Rahmawaty,
2002), (Jubaedah, 2006), budidaya keramba jaring apung (Mukhtar, 2008), (Sunarto,
2003), (Anonim, 2004), pencemaran (Fuiman et al., 2002) (Marmulla, 2001),
(Murtiati, 2004), (Mukhtar, 2008), (Hartoto et al., 1996), (Erlangga, 2007), ikan
introduksi (Anonim, 2008), (Anonim, 2009), (Ihyamuis, 2009), (Anonim, 2009),
(Karim, 2008) (gambar 1).
Selain faktor tersebut di atas, penurunan jenis dan populasi ikan di waduk
semakin dipercepat dengan meningkatnya upaya penangkapan (Rahmawaty, 2002),
(Jubaedah, 2006). Upaya penangkapan akan semakin meningkat bilamana usaha
budidaya belum berkembang sedangkan permintaannya semakin tinggi (Nugroho et
al., 2009).
Salah satu jenis ikan yang tinggi permintaannya adalah ikan tagih
(Hemibagrus nemurus Val. 1840) atau juga dikenal dengan nama ikan baung di
beberapa daerah. Menurut Muchlisin et al. (2004) dan Tantikitti et al. (2001),
meningkatnya permintaan ikan tagih tersebut karena dagingnya lembut, putih, gurih
dan tebal tanpa duri halus dan bergizi tinggi namun rendah kandungan lemaknya,
serta kandungan omega-3 (EPA dan DHA) yang cukup tinggi (Mesomya et al.,
2002), (Froese, 2009), (Tang, 2003 dalam Baras et al., 2007). Sedangkan masyarakat
yang menggemari ikan tagih tidak saja terbatas di daerah Jawa Barat (Samsudin,
3
4. 2007), Sumatera dan Kalimantan (Tang, 2003 dalam Baras et al., 2007), Jambi dan
Riau (Sukendi, 2000 dalam Samsudin, 2007), tetapi juga masyarakat Eropa (Widjaja,
2009).
Figure 1. Diagram tekanan lingkungan terhadap ikan asli Sungai Citarum
Namun upaya pemenuhan kebutuhan tersebut berdampak terjadinya
penurunan hasil tangkapan dimana hingga akhir tahun 1990-an pasokan untuk
memenuhi permintaan pasar lokal maupun ekspor yang meningkat tajam, sepenuhnya
tergantung dari hasil tangkapan alam (Amri et al., 2008). Selanjutnya dijelaskan
bahwa eksploitasi yang terus menerus menyebabkan penurunan populasi yang
diperburuk dengan belum dikuasainya teknologi budidaya dan pencemaran
lingkungan yang akhirnya mengarah pada kepunahan spesies. Beberapa laporan
menyatakan bahwa ikan tagih telah mulai berkurang dan terancam punah di berbagai
Ikan
Asli
Ikan
Asli
Perubahan
dan
pembatasan
Ekosistem
Sedimentasi
Penebangan
Hutan
Limbah
KJA
Limbah
Masyarakat
Limbah
Industri
Introduksi
ikan
Penangkapan
Pencemaran
Eutrofikasi
Up welling Tipe Waduk
4
5. daerah seperti di Asia Tenggara (Mijkerjee et al., 2002), (Arockiaraj et al., 2004a, b
dalam Sulistyo, 2008), Sumatra Tengah (Riau, Bengkulu, Jambi), Sumatra Selatan
dan Kalimantan. (Tang, 2003 dalam Baras et al., 2007), Danau Toba (Arie, 2008),
Waduk Cirata (Jubaedah, 2006). Hal ini sesuai dengan informasi dari nelayan di
Waduk Cirata bahwa hasil tangkapan ikan tagih mengalami penurunan baik kualitas
maupun kuantitas.
Menurut Amri et al. (2008), jika suatu spesies ikan terancam oleh
pemanfaatan yang kontraproduktif, maka usaha budidaya merupakan salah satu upaya
pelestarian dan pemenuhan kebutuhan. Namun pembudidayaan ikan tagih
menghadapi beberapa kendala seperti kualitas maupun kuantitas produksi benih
masih kurang memuaskan (Nugroho et al., 2009), sulit mendapatkan induk matang
gonad, rendahnya daya tetas telur dan kurangnya informasi biologi dan reproduksi
(Uriah, 2006), (Sulistyo, 2008), hasil pembenihannya tidak optimal karena sifat
kanibalisme yang tinggi sejak larva (Baras et al., 2007), pemijahan alami masih sulit,
mudah stres dan sensitif terhadap perubahan kualitas air (Muclisin et al., 2004),
(Djajadireja, 1977).
1.2 Perumusan Masalah
Melihat permasalahan di atas dan mengingat pernyataan Rahmawati (2002);
perairan waduk yang terbentuk mungkin hanya cocok sebagai daerah pertumbuhan
untuk beberapa ikan asli sungai, tetapi tidak sebagai daerah pemijahan sehingga ikan
tersebut hanya dapat tumbuh namun tidak dapat berkembangbiak, maka timbul
pertanyaan: Apa yang sedang terjadi terhadap populasi ikan tagih di Waduk Cirata
5
6. sekarang ini? Apakah mampu beradaptasi dan berkembangbiak? Bagaimana
karakteristik biologinya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting
dan merupakan dasar dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan konservasi untuk
mencegah kepunahan ikan endemik.
Pengelolaan perikanan sendiri menurut Mallawa (2006) berdasarkan
Guideline No. 4 Code of Conduct of Responsible Fisheries adalah suatu proses
terintregrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya (dengan enforcement
jika diperlukan), dalam upaya menjamin kelangsungan produktifitas serta pencapaian
tujuan pengelolaan. Analisis potensi SDA dilakukan melalui pendekatan aspek
ekologi dan biologi (Jubaedah, 2006). Sedangkan data-data yang diperlukan antara
lain tingkat kematangan gonad ikan untuk mengetahui musim-musim ikan memijah
(Badrudin et al., 2004), estimasi yang akurat tentang umur atau tingkat kedewasaan
ikan betina (Hannah et al., 2009), informasi biologi dan industri (Hideaki, 2009,
Marmolla, 2001). Menurut Clark (1991) dalam Hannah et al. (2009) data tingkat
kedewasaan merupakan petunjuk utama perkiraan populasi dari sistem penangkapan
berkelanjutan Sedangkan rata-rata panjang tubuh merupakan informasi penting untuk
mengetahui kemungkinan terjadi eksploitasi berlebihan (Reynolds et al., 2005 dalam
Hannah et al., 2009).
Sesuai pendapat Mallawa (2006) dan mencontoh pengelolaan perikanan di
China yang menggunakan data hasil tangkapan per spesies atau area sebagai salah
satu indikator untuk memahami kondisi perikanan, memperkirakan status sumberdaya
perikanan dan menentukan formula kebijakan strategis serta revisi undang-undang
6
7. perikanan (Zhijie et al., 2008), maka penulis berniat melakukan studi tentang aspek
biologi ikan tagih di Waduk Cirata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas
sebagai langkah awal pengelolaan perikanan di Waduk Cirata.
1.3 Tujuan Penelitian
Memperhatikan kondisi ikan tagih secara umum di berbagai perairan dan
kondisi ekologi daerah aliran sungai Citarum seperti yang disebutkan di atas, timbul
pertanyaan mengenai kondisi populasi ikan tagih yang hidup di perairan Waduk
Cirata, apakah dapat beradaptasi dan berkembang biak? Bagaimana pola
pertumbuhannya? Bagaimana tipe pemijahannya?
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas,
dilakukan penelitian mengenai karakteristik biologi ikan tagih dengan melakukan
pengukuran morfometrik dan pengamatan sekunder ikan tagih. Untuk mendukung
hasil pengamatan sekunder dilakukan pengamatan primer terhadap ovarium dan telur
ikan tagih.
Dari hasil analisis morfometrik dan pengamatan tersebut diharapkan dapat
memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai kondisi populasi dan informasi
biologis ikan tagih di Waduk Cirata.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pihak terkait dalam
melakukan pengelolaan perairan Waduk Cirata dan konservasi ikan tagih. Selain itu
dapat dijadikan bahan informasi dan pembanding untuk penelitian berikutnya.
7
8. 1.5 Kerangka Pemikiran
Sejak lama, ikan tagih merupakan ikan konsumsi ekonomi penting yang
memiliki berbagai kelebihan. Produksinya masih mengandalkan tangkapan alam
sehingga sekarang ini menurut nelayan setempat, hasil tangkapannya cenderung
menurun secara kualitas dan kuantitas. Dari informasi tersebut, penelitian dilakukan
untuk mengetahui kondisi populasi ikan tagih melalui pengamatan biologi, morfologi
dan morfometrik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi dan biologinya
diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi pengelolaan
perairan Waduk Cirata dan konservasi ikan tagih.
8
9. Figure 2. Diagram alur kerangka pemikiran
Manfaat
Masukan dalam pengelolaan perikanan di Waduk Cirata
dan konservasi ikan tagih
Manfaat
Masukan dalam pengelolaan perikanan di Waduk Cirata
dan konservasi ikan tagih
Bagaimana kondisi populasinya di Waduk Cirata?
Bagaimana karakteristik biologinya?
Bagaimana kondisi populasinya di Waduk Cirata?
Bagaimana karakteristik biologinya?
Permasalahan
Hasil Tangkapan Menurun
Permasalahan
Hasil Tangkapan Menurun
Penelitian
Studi Tentang Aspek Biologi Ikan Tagih
Penelitian
Studi Tentang Aspek Biologi Ikan Tagih
Faktor Positif:
Kandungan gizi tinggi
Disukai masyarakat
Faktor Positif:
Kandungan gizi tinggi
Disukai masyarakat
Faktor Negatif:
Hasil tangkapan alam
Tekanan lingkungan
Kurangnya pengetahuan dan informasi
biologi
Faktor Negatif:
Hasil tangkapan alam
Tekanan lingkungan
Kurangnya pengetahuan dan informasi
biologi
Ikan TagihIkan Tagih
9
10. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Tagih
2.1.1 Klasifikasi dan Taksonomi
Di Indonesia terdapat 9 famili lele-lelean yang terdiri dari 142 spesies ikan.
Tujuh famili merupakan kelompok ikan yang hidup di air tawar, diantaranya famili
Bagridae. Salah satu marga dalam famili Bagridae adalah Hemibagrus (Anonim,
2009). Menurut Ferraris (2007) yang menyusun daftar anggota marga Hemibagrus,
jumlah keseluruhannya ada 33 spesies. Ditambahkan oleh Nugroho et al. (2009), 24
spesies diantaranya terdapat di Asia Tenggara.
Salah satu spesies marga Hemibagrus yang ada di Indonesia adalah ikan
tagih. Ikan tagih awalnya dimasukkan dalam marga Mystus (ikan-ikan keting atau
lundu) yang sebelumnya dikenal sebagai Macrones. Namun kemudian dipisahkan
menjadi marga tersendiri karena ada anggota marganya yang dapat tumbuh menjadi
besar seperti H. wyckiodes dari Indocina tengah yang diketahui sebagai jenis tagih
terbesar yang dapat mencapai bobot 80 kg (Anonim, 2009). Hee dan Dodson (1999)
menambahkan bahwa ada marga Hemibagrus yang panjang standarnya lebih dari 800
mm.
Ikan tagih atau baung memiliki banyak nama disetiap daerah di Indonesia
seperti ikan duru, baong, bawon (Jakarta), tagih, senggal atau singgah (Sunda), tageh
(Jawa), niken, siken, tiken, tiken bato (Kalimantan Tengah) dan lain-lain. Sedangkan
10
11. dibanyak literatur internasional sering disebut green asia catfish, asian redtail
catfish, asian catfish, atau river catfish (Froese, 2009), tropical bagrid catfish (Wijaja
et al., 2009).
Sedangkan taksonomi ikan tagih menurut Anonim (2009), adalah sebagai
berikut:
Class : Actinopterygii
Subclass : Neopterygii
Infraclass : Telestoi
Superdorder : Ostariophysi
Order : Siluriformes
Family : Bagridae (Bleeker, 1858)
Genus : Hemibagrus (Bleeker, 1862)
Species : Hemibagrus nemurus (Valenciennes, 1840 dalam
Cuvier dan Valenciennes, 1840)
Ikan tagih masih sekerabat dengan lele (bangsa Siluriformes) sehingga
kemudian diberi nama Hemibagrus. Kata hemi berasal dari bahasa Latin yang berarti
“setengah” atau “separuh”, sedangkan bagrus berasal dari pelafalan Muzarab bagre
atas perkataan pagros (bahasa Yunani), yakni nama sejenis ikan laut (Anonim, 2009).
Banyaknya spesies dan kemiripan morfologi anggota marga Hemibagrus
menyebabkan terjadi perdebatan dikalangan para ahli tentang identifikasi tiap spesies
termasuk sinonim ikan tagih. Menurut Weber dan de Beaufort (1913) dalam Ng dan
Ng (1995) sinonim H. nemurus (Val. 1840) adalah Bagrus sieboldii Bleeker, 1846
11
12. dan Bagrus hoevenii Bleeker, 1846. Sedang Robert (1989) dalam Ng dan Ng (1995),
menyatakan sinonimnya adalah Macrones pahangensis Herre, 1940 dan Macrones
johorensis Heree 1940. Pendapat lain menyatkan, sinonimnya adalah Macrones
nemurus (Val. 1840), Mystus nemurus (Val. 1840) atau Bagrus nemurus (Val. 1840)
(Froese, 2009). Menurut Anonim (2009), sinonim dari H. nemurus adalah Bagrus
nemurus (Val. 1840), Macropterobagrus (Nichols, 1925), Brachymystus (Fowler,
1937).
Figure 3. Ikan tagih yang tertangkap di perairan Vietnam (Sumber:
http://www.vietnamangling.com.vn...p%3D4228)
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, beberapa ahli mencoba mencari
jawaban dengan melakukan penelitian lebih mendalam tentang ikan tagih. Dodson et
al. (1995) dalam Ng dan Ng (1995) melakukan uji mtDNA dan melaporkan bahwa
H. nemurus hampir dapat dipastikan merupakan spesies persilangan sehingga terjadi
banyak kemiripan morfologi antara spesies.
Pada penelitian lainnya, Ng dan Ng (1995) melakukan pengamatan
morfologis beberapa spesies marga Hemibagrus yang hidup di Jawa, Kalimantan,
12
13. Malaysia, Brunei dan Sumatera. Hasilnya penelitiannya dicocokan dengan beberapa
pendapat peneliti lain sehingga menghasilkan pembagian anggota marga Hemibagrus
menjadi 4 grup dan mengidentifikasi nama sinonim yang valid (tabel 1).
Table 1. Pembagian Grup Marga Hemibagrus Menurut Ng dan Ng
GRUP CIRI-CIRI SPESIES
1 Sirip punggung lunak agak panjang
saat tegak hingga mencapai sirip
lemak pertama, pada bagian tengah
sumbu tubuh terdapat garis berwarna
gelap, memiliki 43–45 ruas tulang
belakang.
Hemibagrus nemurus Val.1840*,
H. hoevenii Blkr. 1846*, B.
sieboldii Blkr. 1846, Macrones
kajan Popta, 1904, M. bo Popta,
1904, Mystus pahangensis Herre,
1940
2 Memiliki 43–46 ruas tulang
belakang, ada atau mungkin tidak
ada garis berwarna hitam pada
bagian tengah sumbu tubuh, panjang
sirip punggung lunak saat tegak
mencapai/menutupi sedikitnya 1-3
sirip adipose, proporsi tubuh lebih
pendek dari kelompok 1.
Macrones bleekeri Volz, 1903,
M. howong Popta, 1904, M.
Fortis Popta, 1904, M. fortis var.
capitulum Popta, 1906, M.
baramensis Regan, 1906**,
Mystus johorensis Herre, 1904
3 Tubuh marmorated dan memiliki
garis hitam pada tengah sumbu
tubuh, panjang sirip punggung lunak
saat tegak melebihi setidaknya 1–3
sirip adipose anterior.
(Jumlah spesies tidak diketahui:
penelitian berdasarkan koleksi
spesies ZRC Singapura yang
berasal dari Kalimantan Selatan
dan Timur)
4 Bertubuh panjang dengan 47–50
ruas tulang belakang, tidak memiliki
garis warna di tengah sumbu tubuh,
sirip punggung pendek atau hanya
mencapai bagian depan sirip
adipose.
Bagrus planiceps Val. 1840, B.
anisurus Val. 1840, B. flavus
Blkr. 1846, Macrones bongan
Popta 1904 dan H. gracilis
(spesies baru)
Sumber: Ng dan Ng (1995)
* Valid species berdasarkan Robert (1989); Kottelat dan Lim (1995)
** Valid species berdasarkan Robert (1989)
Namun kerancuan tidak hanya terjadi pada penggunaan nama ilmiahnya,
menurut Anonim (2009), nama baung juga digunakan untuk menyebut jenis-jenis
13
14. ikan yang berbentuk serupa dalam suku Bagridae namun bukan marga Hemibagrus,
misalnya baung burai (Pseudomystus stenomus), baung duri (Leiocassis
poecilopterus), baung layar (Bagrichthys hypseloterus), baung lebang (Pseudoystus
fuscus), dan baung tikus (Bagroides melapterus).
Dalam penelitian ini, untuk menghindari kerancuan tersebut, akan digunakan nama
lokalnya yaitu ikan tagih untuk menyebut ikan baung putih (Hemibagrus nemurus,
Val. 1840).
2.1.2 Morfologi
Menurut Hee dan Dodson (1999), ikan tagih memiliki kepala yang pipih agak
mendatar (depress) dengan bagian tulang tengkorak yang kasar tidak tertutup kulit
pada bagian atas kepala. Ditambahkan oleh Froese (2009) dan Tang (2003),
kepalanya agak rata dan berbentuk kerucut, bentuk tubuhnya mirip dengan lele,
panjang, licin, tidak bersisik dan letak mulutnya sub terminal. Menurut Amri et al.
(2009), perbedaan dengan lele, perut ikan tagih lebih ramping gilig memanjang dan
sungut rahang atasnya sangat panjang mencapai sirip dubur. Mirip dengan lundu dan
patin, tagih memiliki 3 duri yang berbisa (patil) pada sepasang sirip dada dan sebuah
lagi di awal sirip punggung (Anonim, 2009). Proporsi ukuran panjang tubuhnya 5 kali
tinggi atau 3–3,5 kali panjang kepala (Amri et al., 2008).
Tagih memiliki 3 pasang sungut di sekitar mulut dan sepasang di lubang
pernafasan (Tang, 2003). Sungut di bagian rahang atas panjang yang hampir
mencapai ekor. Ikan tagih memiliki sirip lemak di belakang sirip punggung. Sirip
ekor berbentuk cagak dengan ujung ekor bagian atas memanjang menyerupai sungut.
14
15. Bagian atas kepala dan badan berwarna coklat kehitam-hitaman sampai pertengahan
dan memutih ke arah bagian bawah (Amri et al., 2009). Sedangkan menurut
Mesomya et al. (2002), semua ukuran ikan tagih memiliki garis hitam tipis pada
bagian punggung dan titik hitam pada sirip lemak terakhir. Menurut Ng dan Ng
(1995) H. nemurus memiliki sirip punggung lunak yang panjang dan hampir
mencapai sirip lemak (adipose fin), warna tubuh gelap dengan garis yang lebih terang
dan memiliki 43–45 ruas tulang belakang.
Figure 4. Ikan tagih (Hemibagrus nemurus Val. 1840) (Sumber: Froese, 2009)
Ditambahkan oleh Froese (2009), sirip punggung dalam keadaan menguncup
tidak mencapai sirip lemak, jumlah sirip punggung keras 2 dan 7 sirip punggung
lunak, 10-13 sirip anal lunak dengan 9 cabang. Torres (2009) menambahkan, tinggi
sirip lemak 1,0–1,5 kali jarak antara sirip punggung terakhir dengan pangkal sirip
lemak, bagian tepi sirip ekor atas berwarna agak gelap, ujung sirip ekor berbentuk
seperti benang. Selanjutnya ditambahkan sirip dada depan halus, tubuh berwarna
coklat dengan kilauan warna hijau, warna sirip abu-abu dengan semburat violet. Duri
15
16. sirip dada bergerigi pada bagian dalam. Pangkal sirip lemak lebih pendek dari pada
sirip punggung namun hampir sama dengan sirip anal.
Menurut Anonim (2000), keluarga lele-lelean termasuk tagih, memiliki alat
pernapasan tambahan yaitu aborescen yang berupa kulit tipis menyerupai spon
sehingga dapat hidup pada air dengan kandungan oksigen rendah. Ditambahkan oleh
Amri et al. (2008), ikan tagih mampu mengambil oksigen dari udara bebas.
Figure 5. Panjang maksimalnya dapat mencapai 66 cm (Sumber: http://www.planetcatfish.com)
Panjang maksimalnya dapat mencapai 60 cm walaupun yang sering
tertangkap berukuran 25–35 cm (Mesomya et al., 2002). Menurut Froese (2009),
panjang standar ikan tagih maksimal 65,0 cm. Ditambahkan oleh Anonim (2009),
ikan tagih dapat hidup hingga umur 12 tahun dengan panjang maksimal 66 cm.
2.1.3 Sifat Biologis
Ikan tagih suka bergerombol di dasar perairan dan bersembunyi dalam liang
di tepi sungai. Sebagain ahli menyatakan ikan nokturnal ini omnivora namun ada juga
yang menyebutnya ikan karnivora karena lebih dominan memangsa daging seperti
16
17. ikan kecil, udang-udangan, remis, insekta, dan moluska (Tang, 2003). Menurut
Froese (2009), benih ikan tagih memangsa serangga, larva serangga air, udang, ikan
dan remis kecil. Ditambahkan oleh Hardjamulia (1995), ikan tagih dalam rantai
makanan di Waduk Cirata termasuk jenis ikan predator. Mengenai kebiasaan makan,
Arie (2008) menyatakan ikan tagih merupakan bottom feeder. Ikan tagih cenderung
makan di dasar perairan (demersal) dan bersifat kanibal saat benih (Tang dan Affandi,
2000). Ikan tagih memiliki piseivorous secara fisio sejak masih larva. Selain itu larva
memiliki pertumbuhan mulut dan gigi yang cepat dengan bukaan mulut yang besar
serta laju pengosongan lambung yang cepat yang menyebabkan timbulnya
kanibalisme (Baras et al., 2007). Selanjutnya Froese (2009) menyatakan, ikan tagih
termasuk benthopelagic dan potamodromous. Spesies ini memiliki sifat fototaksis
negatif kecuali pada saat berukuran benih (Tang dan Affandi, 2000).
Menurut Baras et al. (2007), perkembangan morfologis H. nemurus sangat
mirip dengan catfish afrika, Clarias gariepinus dan Heterobranchus longifilis
sehingga hal ini sangat plesiomorphic. Selanjutnya dijelaskan, semua sifatnya
berkembang secara progresif dan tidak menunjukan adanya transisi metamorfosis
antara tahapannya.
2.1.4 Reproduksi
Menurut Amri et al. (2009), Arie (2008), dan Tang (2003), untuk
membedakan ikan tagih jantan dan betina dapat dilihat dari ciri morfologinya. Ikan
jantan memiliki papilla yang terletak di bagian belakang lubah genital (gambar 6).
Sedangkan ikan betina tidak memiliki papilla.
17
18. Ikan yang memiliki daya lenting rendah 4,5–14 tahun (Froese, 2009) ini,
memiliki masa kematangan gonad jantan dan betina berbeda. Namun umumnya, ikan
tagih mulai menjadi induk setelah berumur 10–12 bulan (Anonim, 2008). Menurut
Tang (2003), ikan tagih jantan dan betina berkembang gonadnya ketika mencapai
berat 90 gram atau panjang lebih dari 200 mm. Amri et al. (2008) menambahkan,
ukuran tagih terkecil yang matang telur adalah 32 cm. Beberapa penelitian
pematangan gonad skala laboratorium menggunakan ikan tagih yang berbobot 450 –
1.000 g/ekor dengan hasil 62% ikan matang gonad (Muflikah et al., 2005), sedangkan
Adi (2000) menggunakan 7 ekor ikan tagih berbobot 500–1.000 g/ekor yang
keseluruhannya berhasil ovulasi.
Figure 6. Perbedaan bentuk kelamin ikan tagih jantan dan betina (Sumber Anonim, 2000)
Ikan tagih di Waduk Juanda dengan TKG IV ditemukan dalam bulan Oktober
– Maret sehingga anaknya baru didapatkan pada bulan Januari – Maret dengan
ukuran panjang total 3,5–9,5 cm dan bobot 0,33–6,46 gram (Tang, 2003). Dilaporkan
oleh Hardjamulia (1995), ikan tagih di Sungai Citarum dapat memijah sepanjang
18
19. tahun tanpa mengenal musim. Hal ini sesuai dengan pendapat Nikolsky dalam
Effendie (1979) yang menyatakan bahwa ikan yang hidup di daerah tropis pada
umumnya dapat memijah sepanjang tahun dengan tipe pemijahan parsial. Amri et al.
(2008) mengatakan, ikan tagih di alam hanya memijah 1 kali yaitu di awal musim
hujan. Sedangkan ikan tagih yang hidup di Sungai Mekong Laos memijah pada bulan
Mei – Juli (Froese, 2009). Ditambahkan oleh Tang (2003) bahwa di Danau Sipin dan
Kenali, ikan tagih betina dengan tingkat kematangan gonad IV/Matang didapatkan
pada bulan Oktober – Maret, sedangkan ikan tagih jantan dengan TKG IV hanya
terdapat pada bulan Oktober – Desember. Dalam laporan Alawi et al. (1990)
dinyatakan, ikan tagih di sungai Kampar (Riau) memijah pada bulan Oktober –
Desember dimana umumnya sedang musim hujan. Hal ini terjadi karena sebagian
besar ikan di perairan umum memijah pada awal atau sepanjang musim hujan.
Selanjutnya dijelaskan, hal itu dikarenakan ikan yang akan memijah umumnya
mencari kawasan yang aman dan banyak makanan. Kawasan seperti ini didapatkan
pada kawasan rerumputan yang digenangi air pada saat musim hujan. (Tang, 2003).
Froese (2009) menambahkan, ikan tagih memiliki kebiasaan beruaya ke daerah banjir
yang banyak terdapat tumbuhan untuk memijah. Di Kamboja, ikan tagih yang
kembali ke sungai setelah memijah terlihat dalam jumlah yang besar pada bulan
Nopember dan Desember. Dinyatakan oleh Amri et al. (2008), di Kalimantan
Tengah, karena kesukaannya mengikuti aliran banjir, penduduk kerap memancing
atau menjala ikan tagih di sekitar rumah ketika sungai meluap.
Induk tagih dengan berat 735–1.589 gram mengandung telur sebanyak
34.701–87.118 butir (Muflikah dan Gaffar, 1992 dalam Amri et al., 2008).
19
20. Sedangkan menurut Alawi et al. (1992) dalam Aftalacha (2002), induk betina yang
berukuran 250–634 gram dapat menghasilkan telur antara 50.000–150.000 butir
tetapi fekunditasnya antara 1.395–160.000 butir dengan rata-rata 60.000 butir setiap
kilogramnya.
Telur ikan tagih berwarna coklat dengan diameter 1,35–1,63 mm dan bobot
1,24–1,46 mg, bersifat demersal dan adhesif jika kontak dengan air. Telur akan
menetas setelah 28 jam pada suhu 24ºC–28ºC (Hardjamulia, 1995), (Amri et al.,
2008). Dilaporkan oleh Tang dan Affandi (2000), larva ikan tagih yang baru menetas
berukuran 5,79–20 mm dengan bobot 1,12–1,25 mg dan bukaan mulut 0,43 mm.
Selanjutnya dijelaskan bahwa larva dan benih tagih akan memangsa Artemia salina,
Moina sp., Daphnia sp., dan Tubifex sp.. Benih berumur 1–20 mencari makan
sepanjang hari namun lebih aktif pada siang hari. Menjelang umur 25 hari akan lebih
aktif pada malam hari seperti ikan tagih dewasa dengan tingkat konsumsi sebesar
24% (Tang dan Affandi, 2000). Ditambahkan oleh Tang (2003), larva akan menjadi
benih berukuran 1–2 cm dalam waktu 1 bulan, untuk mencapai ukuran 3–5 cm
dibutuhkan waktu 2 bulan dan ukuran 10–12 cm dibutuhkan waktu selama 5 bulan.
Berdasarkan laporan Madsuly (1977) dalam Tang (2003), ikan tagih yang dipelihara
di kolam dalam waktu 4–6 bulan dapat mencapai ukuran 90 gram.
2.1.5 Habitat dan Distribusi
Ikan tagih adalah ikan tawar yang dapat hidup dari muara hingga bagian hulu
sungai bahkan dilaporkan ada yang hidup di daerah pasang surut yang sedikit payau
Tang (2003) dan Froese (2009). Menyukai perairan yang berair tenang dengan dasar
20
21. perairan yang lunak (Tang, 2003). Amri et al. (2008) menambahkan, ikan tagih juga
ditemukan di sungai yang berarus deras dan daerah pasang surut di muara sungai
yang berair payau. Oleh karena itu secara umum, tagih dinyatakan sebagai ikan yang
hidup di perairan umum seperti sungai, rawa, situ, danau, dan waduk (Anonim,
2009).
Menurut Froese (2009), ikan tagih hidup di daerah tropis antara koordinat 19º
Lintang Utara hingga 06º Lintang Selatan, dengan kisaran suhu optimal 22ºC–25ºC,
pH 7,0–8,2 dan dH 10-25. Sedangkan menurut Tang dan Affandi (2000), kisaran
suhu optimalnya antara 27ºC–33ºC, dan kandungan amonia maksimum 0,877 ppm.
Ditambahkan oleh Arie (2008), ikan tagih dapat hidup hingga ketinggian 1.000 meter
di atas permukaan laut, menyukai perairan yang tenang dengan kisaran suhu 24ºC–
29ºC, pH 6,5–8, kandungan oksigen minimal 4 ppm dan air tidak terlalu keruh.
Ditambahkan oleh Amri et al. (2009), ikan tagih tidak menyukai air yang terlalu
jernih dan terlalu berlumpur namun tahan terhadap pH yang rendah (masam).
Menurut Ng dan Ng (1995), marga Hemibagrus diketahui tersebar luas dari
sebelah timur Lembah Sungai Gangga – Brahmaputra dan di selatan aliran Sungai
Yangtze hingga ke Asia Tenggara. Namun ragam jenis yang tertinggi berkembang di
wilayah Paparan Sunda. Ditambahkan dalam http://www.catalogueoflife.com,
penyebarannya meliputi Cina, Kamboja, Thailand, Indonesia, Singapura, Brunei,
Vietnam, Laos dan Malaysia. Disampaikan oleh Mo (1991) dalam Ng dan Ng (1995),
bahwa spesies Bagrus nemurus (Val. 1840) tersebar di Asia Tenggara, Indo-China
dan Cina Selatan. Ditambahkan oleh Sriyusanti (2002) dalam Arie (2008) bahwa
selain di Hindia Timur ikan tagih juga banyak ditemukan di Afrika. Hal ini senada
21
22. dengan laporan Anonim (2009), penyebarannya dari Afrika hingga ke Asia yang
mencakup Jepang hingga ke Kalimantan.
Di Indonesia, spesies ikan tagih tersebar di berbagai pulau seperti Jawa,
Kalimantan dan Sumatera (Robert, 1989 dalam Samsudin et al., 2007). Sedangkan
Arie (2008) melaporkan bahwa ikan tagih ditemukan hidup di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi. Ditambahkan oleh Nugroho et al. (2009), ikan tagih tersebar diseluruh
perairan Jawa. Penelitiannya menggunakan sampel ikan tagih yang berasal dari
Waduk Jatiluhur, Cirata (Jawa Barat), Wadaslintang dan Wonogiri (Jawa Tengah).
Menurut Jubaedah (1996) dan Hardjamulia (1995), di wilayah Jawa Barat ikan tagih
hidup di Sungai Citarum dan waduk yang ada di alirannya. Ditambahkan oleh
Anonim (2008), selain di Sungai Citarum ikan tagih banyak ditemukan di Sungai
Cidurian dan Jasinga yang airnya dangkal (45 cm) dengan kecerahan 100%.
Penyebaran tagih yang sangat luas membawa Dodson et al. (1995) untuk
melakukan penelitian phylogenesis, morfologi dan morfometrik ikan tagih yang hidup
di wilayah Paparan Sunda yaitu Malaysia, Kalimantan, Sumatera, Jawa dan spesies
dari wilayah lain yaitu Thailand. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa diduga
sebelum zaman es mencair sungai-sungai besar di wilayah tersebut saling
berhubungan. Kemudian dari hasil uji genetik menunjukan adanya perbedaan
karakteristik gugus mtDNA yang mendasari pembagian 4 grup besar (gabungan dari
8 kelompok kecil). Spesies ikan tagih yang hidup di Waduk Cirata (mewakili Jawa)
merupakan 1 kelompok kecil yang berbeda dengan kelompok lainnya. Selanjutnya
dilaporkan, bahwa berdasarkan penelitian morfologi dapat dibagi 3 grup wilayah
yaitu grup Sunda, Sarawak dan Indo-China. Spesies yang hidup di Sumatera,
22
23. Kalimantan Barat dan Jawa Barat termasuk kedalam grup Sunda. Secara
morfometrik, grup Sarawak sama dengan grup lainnya. Perbedaannya hanya
berdasarkan warna tubuh dan usia matang gonad (tabel 2)
Table 2. Pembagian Grup Ikan Tagih Berdasarkan Ciri Morfologi Menurut Dodson
GRUP NAMA
GRUP
CIRI SPESIES WILAYAH
I Indo-
China
Umumnya memiliki sirip
lemak yang relatif besar dan
sirip punggung kecil
Semananjung Malaysia
sebelah timur, Thailand
II Sunda Tubuh menipis, ekor
berwarna hitam
Kalimantan Barat, Sumatera,
Jawa Barat, Semanjung
Malaysia sebelah selatan
III Sarawak Warna tubuh lebih
kekuningan, lebih cepat
mencapai kematangan
gonad
-
Sumber: Dodson et al. (1995)
Perbedaan genetika ikan tagih tidak saja terjadi pada populasi ikan yang
secara geografis terpisah cukup jauh. Pada populasi ikan tagih di Jawa yang termasuk
dalam grup Sunda menurut Dodson, terdapat perbedaan genetika yang sangat jelas
seperti dilaporkan oleh Nugroho et al. (2009) yang melakukan penelitian terhadap
ikan tagih yang hidup di Waduk Cirata, Jatiluhur, Wadaslintang dan Wonogiri.
Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa ada perbedaan genetika yang nyata antara
spesies yang hidup di Waduk Wonogiri dan ketiga waduk lainnya. Ditambahkan juga
bahwa spesies Cirata memiliki perbedaan genetis yang tertinggi dan merupakan
sumber genetika potensial untuk dikembangkan.
23
24. 2.1.6 Jenis Ikan Tagih
Berdasarkan daftar spesies marga Hemibagrus yang disusun Ferraris (2007)
tercatat spesies H. nemurus (Val. 1840) dan H. planiceps (Val. 1840) yang hidup di
Jawa. Selanjutnya dilaporkan bahwa H. planiceps atau yang kerap disebut ikan baung
kuning penyebarannya terbatas hanya di Pulau Jawa.
Sedangkan menurut Casal dan Marie (2009), selain di Jawa ikan ini juga ditemukan
di Sumatra dan Sungai Mekong. Kottelat et al. (1993) dalam Casal (2007)
menambahkan, baung kuning juga ditemukan di Kalimantan.
Figure 7. Ikan baung kuning (Hemibagrus planiceps Val. 1840) (Sumber: http://ca.wikipedia.org)
Panjang maksimal ikan baung kuning hanya 33,5 cm (TL) (Casal, 2007).
Menurut Ng dan Ng (1995), H. planiceps bertubuh panjang dengan 47–50 ruas tulang
24
25. belakang, tidak memiliki garis warna di tengah sumbu tubuh, sirip punggung pendek
atau hanya mencapai bagian depan sirip lemak.
Figure 8. Ikan baung putih atau ikan tagih (Hemibagrus nemurus Val. 1840) (Sumber:
Froese, 2009)
2.2 Variabel Pengamatan
Menurut Hendiyana (2008), secara umum tubuh ikan dapat dibedakan
menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan, dan ekor. Pengambilan data morfometrik dapat
dengan melakukan pengukuran bagian-bagian tubuh ikan tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Kotellat et al. (2003) dalam Wahyuningsih et al.
(2006), variabel-variabel yang digunakan untuk pengukuran ikan antara lain:
a. Panjang standar/standart length (SL) diukur mulai dari bagian
terdepan moncong/bibir hingga pertengahan pangkal sirip ekor.
b. Panjang kepala/head length (HL) diukur mulai dari bagian terdepan
moncong/bibir hingga bagian terbelakang operculum atau membran
operculum.
25
26. c. Panjang batang ekor/length of caudal peduncle (LCP) diukur mulai
dari jari terakhir sirip dubur hingga pertengahan pangkal batang ekor.
d. Panjang moncong/snout length (SN) diukur mulai dari bagian terdepan
moncong/bibir hingga pertengahan garis vertikal yang menghubungkan
bagian anterior mata.
e. Tinggi sirip punggung/depth dorsal (DD)/dorsal length (DL) diukur
mulai dari pangkal hingga ujung pada jari-jari pertama sirip punggung.
f. Diameter mata/eye diamater (ED) diukur mulai dari bagian anterior
hingga posterior bola mata, diukur mengikuti garis horisontal.
g. Panjang pangkal sirip punggung/dorsal fin base length (DBL) diukur
muali dari pangkal hingga ujung pada jari-jari pertama sirip punggung.
h. Tinggi batang ekor/depth caudal peduncle (DCP) diukur mulai dari
bagian dorsal hingga ventral pangkal ekor.
i. Tinggi badan/body depth (BD) diukur secara vertikal mulai dari
pangkal jari-jari pertama sirip punggung hingga pangkal jari-jari pertama sirip
perut.
j. Panjang sirip dada/pectoral fin length (PL) diukur mulai dari pangkal
hingga ujung jari-jari sirip dada.
k. Panjang sirip perut/ventral fin length (VL) diukur mulai dari pangkal
hingga ujung sirip perut.
Ditambahkan oleh Ng dan Ng (1995), selain variabel di atas, tinggi ikan pada
bagian anus (HA) diukur dari pangkal sirip lemak sampai dengan pangkal sirip anus.
26
27. Figure 9. Variabel morfometrik ikan tagih (Sumber: Dodson et al,.(1995)
Effendi (1979) dalam Pradikta (2009) menyatakan, dalam praktik ukuran
panjang yang digunakan adalah panjang total kecuali rincian anatomi dari ekor ikan
yang bersangkutan tidak memungkinkan untuk menggunakan panjang total, seperti
ikan yang memiliki sirip ekor keras sehingga sulit untuk disatukan kedua belahannya.
Oleh sebab itu ukuran yang digunakan adalah panjang cagak (fork length) (Sparee
dan Venema, 1998).
27
28. Figure 10. Pengukuran panjang tubuh ikan (Sumber: Sparee dan Venema, 1998)
Dijelaskan oleh Anonim (2000), berdasarkan SNI pengukuran tubuh ikan
digunakan mistar atau jangka sorong dan dinyatakan dalam satuan centimeter. Bobot
badan diukur dengan menimbang ikan per individu menggunakan timbangan yang
dinyatakan dalam gram (g).
2.3 Model Analisis
Penelitian adalah merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2007). Selanjutnya dikatakan, data
penelitian terdiri dari 2 jenis yaitu data kualitatif (berbentuk gambar atau kalimat) dan
kuantitatif (berbentuk angka). Dijelaskan oleh Fuiman et al. (2002), pengamatan
morfologi dan morfometrik merupakan salah satu metode dalam mendapatkan data
dalam penelitian. Ditambahkan oleh Walpole (1995), pada penelitian ilmiah atau
penyelidikan terencana, dapat digunakan metode statistik untuk penyajian dan
penafsiran kejadian yang bersifat peluang yang terjadi. Selanjutnya dijelaskan,
metode statistik adalah prosedur-prosedur yang digunakan dalam pengumpulan,
penyajian, analis, dan penafsiran data.
Metode statistik dapat dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu statistika
deskriptif dan inferensia statistik. Statistika deskriptif adalah metode-metode yang
berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan
informasi yang berguna. Sedangkan inferensia statistik mencakup semua metode
yang berhubungan dengan analisis sebagian data untuk kemudian sampai pada
28
29. peramalan atau penarikan kesimpulan mengenai keseluruhan gugus data induknya
(Walpole, 1995). Ditambahkan oleh Sujarweni (2008), statitik deskriptif berusaha
untuk menggambarkan berbagai karakteristik data yang berasal dari suatu sampel
dalam bentuk angka maupun gambar/diagram. Sedangkan statistik inferensial atau
induktif berusaha membuat berbagai inferensi terhadap sekumpulan data yang berasal
dari suatu sampel. Statistik inferensial dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu statistik
parametrik dan non parametrik. Uji t atau t test merupakan salah satu contoh statistik
parametrik untuk menguji perbedaan antar sampel (Sugiyono, 2007).
Menurut Walpole (2002), sampel atau contoh adalah suatu himpunan bagian
dari populasi. Sujarweni (2008) menambahkan, sampel merupakan bagian atau
sejumlah cuplikan tertentu yang dapat diambil dari suatu populasi dan diteliti secara
rinci atau dapat dikatakan sampel adalah miniatur dari populasi. Sedangkan populasi
sendiri adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2007). Populasi merajuk pada sekumpulan
orang atau objek yang memiliki kesamaan dalam satu atau beberapa hal dan
membentuk masalah pokok dalam suatu riset khusus (Sujarweni, 2008). Disimpulkan
oleh Adiningsih (2001), populasi adalah kelompok induk besar, sedangkan
subkelompok dari anggota populasi disebut sampel.
Hasil dari pengamatan atau pengukuran sampel tersebut disebut data statistik.
Data statistik terdiri dari 2 tipe yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kualitatif terdiri dari data nominal dan ordinal. Sedangkan data kuantitatif berupa
29
30. angka sehingga berbagai operasi matematika dapat dilakukan. Data kuantitatif terdiri
dari data interval dan data rasio (Sujarweni, 2008).
Pengolahan data statistik dapat dilakukan secara manual ataupun
komputerisasi dengan berbagai software seperti SPSS, Minitabs, Amos, Fisat dan
lain-lain (Sujarweni, 2008).
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan digunakan sebagai bahan
berbagai model analisis untuk mengetahui karakteristik biologi ikan tagih, antara lain:
2.2.1 Hubungan Panjang dan Berat
Menurut Kulbicki et al. (1993) dalam Zakaria (2000), hubungan panjang
berat ikan adalah aplikasi yang banyak digunakan dalam riset perikanan yang
diperlukan untuk menggambarkan hasil pendataan. Selanjutnya dikatakan bahwa
estimasi rata-rata berat ikan akan menghasilkan data panjang kelas, konversi
persamaan pertumbuhan panjang dan persamaan pertumbuhan berat yang
memberikan gambaran perkiraan berat berdasarkan umur yang dapat digunakan untuk
model analisis hasil per rekruitmen dan perbandingan morfologi populasi spesies atau
antara spesies (Caillouet, 1993 dalam Zakaria, 2000). Hal dikarenakan, di perairan
tropis, penentuan umur sulit dilakukan sehingga digunakan kelas ukuran ikan
berdasarkan panjang.
Selanjutnya dalam Hendiyana (2008) disebutkan untuk menganalisis data
panjang berat ikan diperlukan pola statistik yaitu analisis regresi berdasarkan
hubungan linier antara dua peubah yaitu panjang dan beratnya. Hasil analisis ini dapat
memberikan pernyataan secara sistematis antara hubungan panjang dengan berat ikan
30
31. sehingga dapat dikonversikan dari panjang ke berat atau sebaliknya, mengukur variasi
dan berat harapan untuk panjang tertentu dari satu individu ikan atau kelompok
individu, sebagai petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, perkembangan gonad dan
lain-lain. Ditambahkan oleh Zakaria (2000), hubungan panjang berat juga dapat
digunakan untuk memonitor nilai “a” yang berhubungan dengan faktor kondisi ikan
seperti jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, periode pemijahan, isi lambung dan
lain-lain. Oleh karena itu, data dari panjang berat dapat dijadikan dasar untuk
melakukan pengelolaan populasi ikan di alam (Hendiyana, 2008), (Zakaria, 2000).
Dalam melakukan penghitungan hubungan panjang dan berat, menurut Hile
(1936) dalam Effendie (1997), dan King (1997) dalam Said (2007), pertumbuhan
ikan disertai dengan perubahan bentuk tubuh, panjang, dan beratnya sehingga
dinyatakan dengan rumus:
Dimana:
W = berat (gram)
L = panjang (cm)
a dan b = konstanta
Selanjutnya dijelaskan oleh Rousenffel dan Everhart (1953), dan Lagle (1961)
dalam Effendi (1979) bahwa cara yang digunakan untuk menghitung panjang dan
berat ikan adalah dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu
logaritma dari tiap-tiap panjang dan berat ikan sehingga menghasilkan persamaan:
31
W = aLb
log W = log a + b log L
32. Yaitu persamaan linier atau persamaan garis lurus. Harga b ialah harga
pangkat yang harus cocok antara panjang ikan dengan berat ikan (Kartika, 2009).
Ditambahkan oleh Ricker (1975) dalam Effendi (1979) dan Fuiman et al. (2002),
berdasarkan nilai slope (b) didapat kriteria nilai pertumbuhan sebagai berikut:
1. Bila b < 3 maka pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertambahan berat,
disebut pertumbuhan allometrik negatif.
2. Bila b = 3 maka pertambahan panjang dan berat seimbang, disebut
pertumbuhan yang isometrik.
3. Bila b > 3 maka pertumbuhan panjang tidak secepat pertambahan berat yang
disebut pertumbuhan yang allometrik positif.
2.2.2 Hubungan Panjang dan Panjang
Perubahan panjang juga berhubungan dengan perubahan panjang bagian
tubuh lainnya seperti panjang standar dengan panjang total, panjang cagak dengan
panjang kepala dan sebaliknya. Untuk menghitung hubungan panjang dengan panjang
juga menggunakan regresi linier (Kartika, 2009). Selanjutnya dijelaskan, untuk
menentukan variabel x dan y dilihat dari ukuran panjangnya yaitu variabel x lebih
panjang dibandingkan dengan variabel y. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan
uji Anova sehingga diperoleh nilai P yang dibandingkan dengan nilai alpa yaitu 0.05.
Jika nilai P lebih kecil dari nilai alpa maka perbedaannya signifikan dan sebaliknya.
32
33. 2.2.3 Kesiapan Memijah
Gonad adalah organ yang membuat gamet, sel yang haploid. Gonad jantan
disebut testes sedangkan untuk betina disebut ovari (Anonim, 2009). Ditambahkan
dalam Anonim (2000), gonad adalah bagian dari organ reproduksi ikan yang
menghasilkan telur pada ikan betina dan sperma pada ikan jantan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa matang gonad pada ikan adalah kondisi ikan yang sudah siap untuk
dikawinkan (dipijahkan).
Figure 11. Perbedaan gonad TKG I (atas) dan IV (bawah) (Sumber: Tang, 2003)
Kematangan gonad ikan pada umumnya adalah tahapan pada saat
perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah (Utiah, 2006). Ditambahkan
oleh Tang dan Affandi (2000), bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat
33
34. ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan
berlangsung sampai selesai. Pada umumnya pertambahan berat gonad pada ikan
betina sebesar 10%–25% dari berat tubuh dan 5%–10% pada ikan jantan. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad (TKG), telur
yang ada di dalam gonad akan semakin besar. Sehingga bertambahnya diameter telur
akan menyebabkan perut ikan akan terlihat semakin besar. Oleh karena itu, menurut
Efendi (2007), Setyobudiandi (2007), dan Wahyuningsih et al. (2006), pengamatan
tingkat kematangan gonad dapat dilakukan berdasarkan histologi dan morfologi.
Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad secara morfologi
adalah bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad yang
dapat dilihat dengan mata telanjang. Sependapat dengan hal itu, Anonim (2000)
menambahkan bahwa cara menentukan kematangan gonad keluarga lele-lelean juga
dapat dengan melihat ciri-ciri morfologi. Ditambahkan oleh Yudha (2009), ciri
seksual sekunder ikan adalah ciri yang terlihat dari luar tubuh ikan seperti warna
tubuh, bentuk dan warna alat kelamin, sedangkan ciri seksual primer adalah
alat/organ yang berhubungan langsung dengan proses produksi seperti testes dan
salurannya pada ikan jantan, ovarium dan salurannya pada ikan betina.
Dalam Anonim (2000), Arie (2008), dan Anonim (2008) disebutkan ciri
morfologi ikan jantan yang matang gonad adalah urogenitalnya memerah dan
meruncing serta panjangnya sudah melampaui pangkal sirip ekor. Sedang untuk
melihat tingkat kematangan gonad ikan betina adalah dengan meraba perut yang
membesar dan terasa lunak serta bila diurut perlahan ke arah anus, telurnya akan
keluar.
34
35. Figure 12. Ovarium induk betina matang gonad (Sumber: froese, 2006)
Secara garis besar, perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi 2 tahap,
yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya
adalah pematangan gamet. Tahap pertama berlangsung mulai dari ikan menetas
hingga dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi masih tetap berjalan
normal (Lagler et al., 1977 dalam Sinjal, 2007). Semakin tinggi tingkat
perkembangan gonad, telur yang terkandung di dalamnya semakin membesar sebagai
hasil akumulasi kuning telur, hidrasi, dan pembentukan butir-butir minyak yang
berjalan secara bertahap (Sinjal, 2007). Induk yang pantas dipijahkan adalah induk
yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitellogenesis) dan masuk
ke fase dorman. Pada fase dorman ini sel telur tidak mengalami perubahan bentuk
selama beberapa saat. (Woynarovich dan Horvath, 1980 dalam Sinjal, 2007).
Hannah et al. (2009), Effendie (1997), Tang dan Affandi (2000), Rifianto et
al. (2000) menyatakan, tahap kematangan gonad telah diamati oleh banyak peneliti
yang mendasari pembagian tingkat kematangan gonad, 2 diantaranya adalah
modifikasi Kesteven dan Nikolsky.
35
36. Table 3. Pembagian Tingkat Kematangan Gonad Modifikasi Kesteven
TINGKAT/KONDISI MORFOLOGI
I Dara Ovarium sangat kecil, terletak dekat di bawah tulang
punggung, tidak berwarna sampai abu-abu
II Dara
berkembang
Ovarium jernih sampai abu-abu dan kemerahan,
panjangnya setengah atau lebih sedikit dari panjang
rongga bawah, butiran telur dapat dilihat dengan kaca
pembesar
III Perkembangan I Ovarium bentuknya bulat telur, berwarna kemerah-
merahan, mengisi kira-kira setengah ruangan rongga
perut bawah, dan butir-butir telur dapat dilihat dengan
mata biasa
IV Perkembangan II Ovarium berwarna oranye kemerah-merahan, mengisi
kira-kira dua pertiga bagian ruang rongga perut bawah,
dan butiran telur jelas dapat dibedakan dengan jelas
V Bunting Ovarium mengisi penuh rongga perut bawah, telur
berbentuk bulat dan jernih
VI Mijah Telur mudah keluar bila perut sedikit ditekan,
kebanyakan telur jernih dan hanya beberapa butir saja
yang berbentuk bulat telur di dalam ovarium.
VII Mijah/salin Ovarium belum kosong sama sekali dan tidak ada telur
yang berbentuk bulat telur
VIII Salin Ovarium sudah kosong dan berwarna kemerahan
IX Pulih salin Ovarium berwarna jernih sampai abu-abu
Sumber: Effendie (1997)
Kesteven membagi TKG menjadi 9 tahap dimana tahap induk siap memijah
terjadi pada tingkat VI (tabel 3). Nikolsky membagi TKG menjadi 7 tingkat dengan
kesiapan reproduksi pada tingkat V seperti yang dapat dilihat pada tabel 4. Sedangkan
dalam Rifianto et al. (2000) disebutkan bahwa tingkat kematangan gonad ikan lele
(Clarias batrachus Linn) betina terbagi menjadi 4, dimana pemijahan akan terjadi
pada TKG IV (masak) dengan panjang gonad 30–50 mm (tabel 5).
36
37. Table 4. Pembagian tingkat kematangan gonad modifikasi Nikolsky
TINGKAT/KONDISI MORFOLOGI
I Tidak masak Individu masih belum berhasrat mengadakan
reproduksi. Ukuran gonad kecil.
II Masa istirahat Produk seksual belum berkembang. Gonad
kecil. Telur tidak dapat dibedakan oleh mata telanjang.
III Hampir masak Telur dapat dibedakan oleh mata telanjang. Testes berubah
dari transparan menjadi warna ros.
IV Masak Produk seksual masak. Produk seksual mencapai berat
maksimum, tetapi produk tersebut belum keluar bila perut
diberi sedikit tekanan.
V Reproduksi Bila perut diberi sedikit tekanan, produk seksual akan
keluar dari lubang pelepasan. Berat gonad dengan cepat
menurun sejak permulaan berpijah sampai pemijahan
selesai.
VI Salin Produk seksual telah dikeluarkan. Lubang genital
berwarna kemerahan. Gonad mengempis. Ovarium berisi
beberapa telur sisa. Testes juga berisi sperma sisa.
VII Masa istirahat Produk seksual telah dikeluarkan. Warna kemerah-
merahan pada lubang genital telah pulih. Gonad kecil dan
telur belum kelihatan oleh mata.
Sumber: Bagenal dan Braum (1968) dalam Effendie (1997)
Table 5. Tingkat kematangan gonad ikan lele (Clarias batrachus Linn) betina
TKG/KONDISI GAMBARAN PANJANG
GONAD
I Belum
Matang
Gonad kecil dan memanjang, warna
bening. Butir-butir telur belum terbentuk
(walaupun sudah terbentuk berwarna
transparan)
10 – 15 mm
II Sedang
Matang
Gonad semakin besar dan berwarna kuning.
Butir-butir telur sudah mulai terlihat tanpa
alat bantu, kuning telur sudah mulai terlihat
15 – 20 mm
III Matang Gonad lebih besar, warna kuning agak
kecoklatan, butir-butir telur mengisi
setengah lebih rongga perut dan mulai
mendesak alat pencernaan ke sebelah
dorsal
20 – 30 mm
IV Masak Gonad besar berwarna kuning kecoklatan
dan mengisi 2/3 rongga perut sehingga
30 – 50 mm
37
38. teraba pada bagian ventral ikan
Sumber: Rifianto et al. (2000)
Menurut Fuiman et al. (2002), pertumbuhan ikan umumnya akan melambat
setelah mencapai kedewasaan seksual dan kurva pertumbuhan menjadi asimtot jika
menggunakan ukuran panjang dan berat. Hal ini dikarenakan karena ketika mencapai
kedewasaan seksual, energi digunakan untuk memproduksi gamet dan tidak hanya
digunakan untuk pertumbuhan somatik. Rerata pertumbuhan juga tergantung pada
pengukuran yang digunakan, panjang atau berat. Pada ikan muda, pertumbuhan
panjang akan lebih lambat daripada pertumbuhan berat. Pertumbuhan tubuh tidak
hanya berfungsi sebagai indikator umur dan kedewasaan seksual tetapi juga
menunjukan keturunan, sifat fisik induk, riwayat pertumbuhan dan peluang untuk
hidup.
2.2.4 Kondisi Populasi
Kondisi populasi yang ingin diketahui adalah tentang beberapa parameter
pertumbuhan ikan tagih seperti distribusi frekuensi, panjang maksimum, koefisen
pertumbuhan, waktu awal pertumbuhan, umur, struktur dan keadaan populasi.
Menurut Sparee dan Venema (1998), terdapat 2 model untuk menganalisis
status populasi ikan yaitu model holostik dan analitis. Model holostik digunakan pada
situasi tertentu misalnya keterbatasan data. Konsepnya beranggapan bahwa sebuah
stock adalah sebuah biomasa yang homogen. Dua jenis metode yang kerap digunakan
untuk mengumpulkan data dalam model holostik adalah swept area method dan
surplus production models. Sedangkan model analitis adalah model umur tersusun
38
39. yang menggunakan data komposisi umur ikan hasil tangkapan. Konsep dasar dari
model umur tersusun adalah adanya kelompok (cohort) ikan yang dapat diartikan
sebagai sebuah grup ikan yang berumur sama yang terdapat pada stok yang sama
(Fuiman et al., 2002). Komposisi umur dapat diperoleh dari data berat dan panjang
ikan seperti dinyatakan oleh Organsastra et al. (2006) dan Anonim (1998).
Selanjutnya dijelaskan, kelas ukuran merupakan cerminan kelompok umur (cohort)
yang menggambarkan struktur populasi. Adanya sebuah kelas panjang umur
menunjukan keberhasilan reproduksi pada periode tersebut. Ketiadaan sebuah kelas
panjang umur dapat berarti tidak adanya reproduksi atau terjadinya kematian pada
ikan muda karena berbagai sebab (Fuiman et al., 2002).
Untuk mendapatkan data umur tersusun dilakukan perhitungan ditribusi
frekuensi menggunakan beberapa program komputer. Analisis selanjutnya seperti
pertumbuhan dan populasi dapat dianalisis dengan program FAO-ICLARM Stock
Assessment Tools (FISAT) (Gayanilo et al., 2005). Selanjutnya dijelaskan, selain itu
FISAT juga dapat digunakan untuk menganalisis distribusi frekuensi hubungan
panjang berat, hubungan panjang umur dan lain-lain.
Selanjutnya, menurut Fuiman et al. (2002), untuk mengetahui parameter
pertumbuhan dapat digunakan persamaan von Bertalanffy:
Lt = L∞[1-e-K(t-to)
]
Dimana:
Lt = Panjang pada waktu t
L∞ = Panjang asimtot
K = Koefisien pertumbuhan
39
40. to = Waktu awal pertumbuhan
Selain dengan menggunakan komposisi umur, menurut Tang dan Affandi
(2000), untuk menentukan kedewasaan ikan betina dapat dengan memperhatikan
gambaran ovari baik dengan memperhatikan ciri-ciri morfologi maupun histologi
(Tabel 6).
Table 6. Gambaran gonad ikan bentulu (Barbichys laevis) betina
TKG/KONDISI MORFOLOGI HISTOLOGI
TKG I. Ikan
Muda
Gonad seperti sepasang
benang kasar yang
memanjang pada sisi lateral
dalam rongga perut, berwarna
kuning kecoklatan dengan
permukaan licin
Gonad belum matang, dengan
diameter sel telur 7,7–30 µ,
didominasi oogonium dan sedikit
oosit. Inti sel lebih besar, sitoplasma
lebih banyak dan berwarna ungu
TKG II. Masa
Perkembangan
Gonad berukuran lebih besar
dan berwarna keabu-abuan,
butiran telur belum terlihat
dengan mata telanjang
Ukuran sel telur bertambah besar
berdiameter 8,7–10,5 µ, didominir
oleh oosit. Sebagian kecil sel telur
telah membentuk vesikel kuning telur.
Mempunyai nukleus yang banyak
TKG III.
Dewasa
Gonad mengisi hampir
separuh rongga perut. Butiran
telur sudah dapat dilihat oleh
mata satu persatu, namun
masih terlalu kecil. Warna
gonad kuning keabu-abuan
Sel telur terus berkembang
membentuk ootid. Diameter telur
berkisar 10,0–785,0 µ. Sitoplasma
lebih sedikit dari tingkat II dan
warnanya sudah lebih terang. Globul
kuning telur dan butiran minyak
sudah terbentuk. Inti sel dikelilingi
oleh banyak nukleolus
TKG IV.
Matang
Gonad mengisi sebagian
besar rongga perut, berwarna
kuning keabu-abuan. Butiran
telur sudah dapat dilihat
secara jelas dengan mata
telanjang. Ukuran relatif lebih
besar dari TKG III
Gonad berkembang menjadi ovum.
Diameter telur berkisar 10,0–1174,0
µ. Sel telur berwarna merah jambu.
Menandakan telur matang. Jumlah
kuning telur dan butirannya semakin
besar
TKG V. Mijah
Salin
Warna gonad hampir sama
dengan TKG IV, gonad lebih
pendek dan kecil dari TKG
sebelumnya
Jumlah ovum sudah sedikit,
didominasi oleh oosit dan ootid.
Diameter telur berkisar 10,0–117,0 µ
Sumber: Yani (1994) dalam Tang dan Affandi (2000)
40
41. Dengan mengetahui gambaran ovarium ikan yang teah mencapai TKG III
(dewasa) pada kelas tertentu maka akan diketahui jumlah ikan sampel yang belum
dewasa dan telah dewasa sehingga dapat digunakan untuk menentukan status stok
ikan. Analisis yang digunakan berdasarkan Sparee dan Venema (1995) yang
menyatakan bahwa asumsi dasar dalam model analitis untuk menentukan status stok
ikan adalah:
- Jika ikan dewasa yang tertangkap sangat sedikit maka telah terjadi penangkapan
berlebih (overfished).
- Jika ikan dewasa yang tertangkap sangat banyak maka dapat diartikan stok dalam
keadaan berlebih (underfished).
2.2.5 Tipe Reproduksi
Penelitian untuk mengetahui tipe reproduksi ikan dapat dilakukan dengan
mengetahui perbedaan ukuran telur (Tang dan Affandi, 2000). Ditambahkan, ukuran
telur dapat dinyatakan dalam diameter tunggal, diameter terpanjang, panjang, dan
lebar telur selain volume, bobot basah dan kering.
Berdasarkan telur yang dikeluarkan, Effendi (2002) menyatakan bahwa masa
pemijahan untuk setiap spesies ikan berbeda-beda yang dapat dibagi menjadi 2 jenis
yaitu:
- Multi Spawning/Total Spawning (Isochronal): Pemijahan ikan yang
berlangsung secara bersamaan dalam waktu yang singkat.
41
42. - Partial Spawning (Heterochronal): Pemijahan ikan yang
berlangsung sebagian demi sebagian, biasanya dapat berlangsung selama
beberapa hari.
Selanjutnya Yudha (2009) membagi tipe pemijahan ikan berdasarkan strategi
reproduksinya yaitu:
- Synchronous Reproduction: Proses pemijahan ikan dalam reproduksi
dilakukan dengan cara semua telur dipijahkan dan induk ikan akan mati.
Contohnya adalah ikan salmon
- Synchronous Spawning: Kelompok ikan yang masih dapat memijah berkali-
kali tetapi pemijahannya ini masih bergantung pada musim pemijahan, misalnya
ikan patin, dan bawal.
- Aynchronous Spawning: Kelompok ikan yang masih dapat memijah berkali-
kali dan tidak bergantung pada musim pemijahan karena proses perkembangan
oositnya selalu ada, contohnya ikan nila.
Sedangkan Wallace dan Salman dalam Tang dan Affandi (2000) membagi
tipe reproduksi ikan berdasarkan perkembangan ovari yang dapat dibagi menjadi 3
tipe yaitu:
- Ovari sinkron/serempak: Perkembangan ovari sinkron, berkembang bersama,
keluar bersama dan sesudah itu mati. Hal ini ditemukan pada sidat katadromus.
- Ovari sinkron sebagian: Ovari memiliki lebih dari 2 kelompok oosit yang
berbeda tahapan perkembangan, umumnya memijah satu kali setahun dengan
musim pemijahan yang relatif pendek. Misalnya pada ikan trout pelangi.
42
43. - Ovari tidak sinkron/Ansycronous (Metachrom): Ovari memiliki oosit pada
semua tingkat perkembangan. Tipe ini ditemukan pada semua spesies ikan mas
yang memijah dalam waktu dan musim yang panjang.
Dalam menganalisis perbedaan nyata antara sampel telur digunakan metode
statistika inferensial paramatrik. Uji yang dapat digunakan adalah independent
sample t-test (Uji t untuk dua sampel bebas), paired sample t-test (Uji t untuk dua
sampel yang berpasangan), one sampel t-test (uji t untuk satu sampel) (Sujarweni,
2008). Selanjutnya dijelaskan, sebelum melakukan uji perbedaan harus dilakukan uji
normalitas dan data harus berdistribusi normal.
Uji t untuk dua sampel bebas pada prinsipnya akan membandingkan rata-rata
dari dua grup yang tidak berhubungan satu dengan lainnya, tujuannya untuk
mengetahui apakah keduanya memiliki rata-rata yang sama. Uji t untuk dua sampel
berpasangan digunakan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan rata-rata dua
sampel bebas. Dua sampel yang dimaksud adalah sampel yang sama namun
mempunyai 2 data. Sedangkan uji t satu sampel digunakan untuk menguji apakah
nilai tertentu (yang diberikan sebagai pembanding) berbeda secara nyata atau tidak
dengan rata-rata sebuah sampel (Sujarweni, 2008).
Sugiyono (2007) menyatakan bahwa, dapat digunakan statistik nonparametris
dengan teknik test binomial, chi kuadrat (1 sampel) atau run test jika datanya
berbentuk nominal atau ordinal sedangkan jika berbentuk interval atau ratio
digunakan statistik parametris (t-test 1 sample).
Uji t bertujuan untuk mengetahui parameter estimasi secara parsial dengan
tingkat kepercayaan tertentu dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
43
44. variabel independent (variabel yang mempengaruhi). Uji signifikan ini merupakan
langkah yang dilakukan untuk menentukan keputusan menerima atau menolah Ho
(hipotesis null/hipotesis yang salah) berdasarkan nilai uji yang diperoleh dari data.
Menurut Gujarati (1984) dalam Wulandari (2006), prosedur pengujian ini adalah:
- Membuat Ho dan Hi (hipotesa alternatif)
- Menghitung t dengan rumus:
t = ß1 – ß1*
Se (ß1)
- Mencari nilai kritis t dari tabel t dengan df dan α yang tertentu
- Keputusan untuk menerima atau menolak Ho didasarkan pada t.hitung dan
t.tabel (nilai kritis). Apabila:
t.hitung > t.tabel, maka Ho ditolak dan Hi diterima
t.hitung < t.tabel, maka Ho diterima dan Hi ditolak
Pengujian secara parsial Uji t dapat dilakukan secara manual dengan rumus di
atas atau menggunakan beberapa program komputer seperti Minitab atau SPSS. SPSS
singkatan dari Statistical Package for Social Science yaitu paket program aplikasi
komputer bidang statistik yang diperuntukkan bagi ilmu sosial, tetapi SPSS juga
digunakan dalam bidang lain yang menggunakan statistika (Sutanta, 2005).
2.3 Jenis Alat Tangkap
Di Sumatra, jenis alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap ikan
tagih adalah seser, jala, pukat (gill net), pancing, bubu dan bagan (Amri et al., (2008).
Sedangkan di Waduk Cirata, jenis alat tangkap yang digunakan antara lain:
44
45. 2.3.1 Jaring Insang
Dalam klasifikasi alat tangkap utama FAO, jaring insang (gill net) dimasukan
dalam kelompok gill nets and entangling nets (Anonim, 2000). Jaring insang adalah
jaring yang berbentuk empat persegi panjang dan diperlengkapi dengan pemberat-
pemberat pada tali ris bawahnya dan pelampung-pelampung pada tali ris atasnya.
(Anung, 2001). Selanjutnya dijelaskan bahwa ikan yang tertangkap tersangkut pada
mata jaring atau tergulung. Ditambahkan oleh Sadhori (1985), jaring insang
merupakan salah satu bentuk perangkap atau penjerat, karena pemasangan alat
bertujuan agar ditabrak oleh ikan. Oleh karena itu warna jaring harus disesuaikan
dengan warna perairan seperti monofilament yang transparan. Selanjutnya dikatakan
bahwa konstruksi jaring insang terdiri dari tali ris atas dan bawah, pelampung,
pemberat, badan jaring, dan jangkar.
Menurut Anung (2001), berdasarkan pengoperasiannya jaring insang dapat
dibagi menjadi:
a. Jaring insang hanyut (drift gill net); jaring insang yang
pemasangannya dibiarkan terhanyut dengan salah satu ujungnya diikatkan
pada perahu atau keduanya ujungnya diberi pelampung tanda.
b. Jaring insang lingkar (encircling gill net); jaring insang yang
dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan.
c. Jaring klitik (shrimp gill net); jaring insang yang dipasang di dasar
perairan, menetap dalam jangka waktu tertentu, umumnya 3–5 jam.
45
46. d. Jaring insang tetap (set gill net); jaring insang yang dipasang menetap
untuk sementara waktu menggunakan jangkar, pada waktu-waktu tertentu
jaring akan diangkat untuk mengambil hasil tangkapannya.
2.3.2 Rawai
Rawai (long line) adalah alat tangkap yang terdiri dari sederetan tali-tali
utama, dan pada tali-tali utama itu terdapat beberapa tali cabang yang pendek dan
lebih kecil diameternya pada jarak tertentu. Pada ujung tali cabang tersebut diikatkan
pancing yang diberi umpan (Anung, 2001). Dalam klasifikasi alat tangkap menurut
FAO, rawai atau mini long line termasuk dalam hook and lines (Anonim, 2000).
Ditambahkan oleh Kartika (2009), komponen utama rawai terdiri dari tali utama, tali
cabang, pelampung, dan jangkar. Tali cabang terdiri dari pancing, kili-kili dan wire.
Menurut Anung (2001), berdasarkan pengoperasiannya terdapat 2 jenis rawai
yaitu: rawai hanyut (drift long line) yang pemasangannya dibiarkan hanyut terbawa
arus, dan rawai tetap (set long line) yang dioperasikan menggunakan pemberat agar
tidak terbawa arus. Sedangkan berdasarkan letak pemasangannya di perairan terdapat
3 jenis rawai yaitu rawai permukaan (surface long line), rawai pertengahan
(midwater long line), dan rawai dasar (bottom long line) (Sadhori, 1985).
2.3.3 Jala Tebar
Jala tebar atau spread net termasuk dalam klasifikasi alat tangkap yang
dijatuhkan (falling gears) (Anonim, 2000). Menurut Tadjuddah et al. (2009), jala
merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya dilakukan dengan ditebarkan atau
46
47. dijatuhkan untuk mengurung ikan dengan atau tanpa kapal. Desain dan kontruksi alat
yang digunakan disesuaikan dengan target ikan yang akan ditangkap.
2.3.4 Pancing
Menurut klasifikasi alat tangkap FAO, pancing tangan atau handline termasuk
dalam kelompok hook and line. Pancing merupakan alat tangkap yang terdiri dari
joran, tali, pemberat dan mata kail. Terkadang digunakan pelampung sebagai
penanda. Mata kail yang diikatkan pada salah satu ujung tali diberi umpan agar ikan
tertarik memakannya dan terkait.
47
48. BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di perairan Waduk Cirata selama 3 periode dari bulan
Nopember 2009 hingga Januari 2010. Pengambilan data hasil tangkapan dilakukan
selama 3 hari setiap bulan sehingga diperoleh data hasil tangkapan selama 9 hari
dalam 3 bulan. Kemudian seluruh ikan tagih hasil tangkapan hari tersebut diukur,
ditimbang, diamati dan dicatat hasilnya. Untuk mendapatkan data, penulis mengikuti
pengumpul (bandar/tengkulak) ikan tagih yang berkeliling menggunakan perahu
mendatangi tempat berkumpul nelayan di perairan Waduk Cirata.
3.2 Jenis Penelitian
48
49. Jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik survei dan bersifat
konfirmatif yaitu mencari ketegasan/kepastian mengenai kondisi populasi dan
pemahaman karakteristik biologi ikan tagih di Waduk Cirata.
3.3 Variabel Penelitian
Teknik pengukuran morfometrik sesuai dengan Kotellat et al. (2003) dalam
Wahyuningsih et al. (2006), Sparee dan Venema (1998), Ng dan Ng (1995), Effendi
(2000), dan Anonim (2008) yang terdiri dari beberapa parameter yaitu:
- Panjang cagak/fork length (FL); diukur dari bagian terdepan moncong/bibir ikan
hingga percabangan sirip ekor.
- Panjang kepala/head length (HL); diukur mulai dari bagian terdepan
moncong/bibir hingga bagian terbelakang operculum atau membran operculum.
- Tinggi badan/body depth (BD); diukur secara vertikal mulai dari pangkal jari-jari
pertama sirip punggung hingga pangkal jari-jari pertama sirip perut.
- Tinggi ikan bagian anus (HA); diukur dari pangkal sirip lemak sampai dengan
pangkal sirip anus.
- Berat ikan; penimbangan ikan secara utuh dalam kondisi basah.
Sedangkan metode pengukuran parameter morfometrik mengikuti ketentuan
Anonim (2000), dan Sparee dan Vanema (1995) yaitu panjang diukur dengan satuan
centimeter hingga 0,5 dan berat dengan satuan gram (g). Pengukuran berat ikan di
lapangan menggunakan timbangan mekanik merk ATS-NT range 0–50 kg, sedangkan
penimbangan bobot ovarium dilakukan di laboratorium menggunakan timbangan
digital merk Kern type PCS-2002 range 2000 x 0,001 gr. Pengamatan telur dan
49
50. ovarium menggunakan mikroskop CCTV/Camera merk Boeco tipe BM-120 skala
pembesaran 4x-100x. Sedangkan untuk mengukur telur digunakan program
AxioVision real. 46 dengan mikroskop merk Zeiss Primo Star skala pembesaran 4x–
100x yang dilengkapi kamera digital merk Canon Power Shot A640 dengan lensa tele
52 mm Soligor Adapter Tube P95 M37/52 x 0,75.
Variabel lainnya yang akan diteliti adalah jenis kelamin, umur (kedewasan),
hubungan panjang dan berat, hubungan panjang cagak dan panjang kepala, dan
kesiapan memijah dengan pengamatan makroskopis terhadap morfologi sekunder.
Penentuan jenis kelamin ikan tagih sesuai dengan ciri-ciri yang dikemukakan oleh
Amri et al. (2009), Arie (2008), dan Tang (2003) yaitu kelamin ikan jantan memiliki
papilla yang menonjol terletak di belakang lubang genital, sedangkan ikan betina
berbentuk bulat dan tidak memiliki papilla.
Analisis panjang dan berat dilakukan dengan melakukan perhitungan panjang
cagak dan berat basah ikan sesuai Hile, Rousenffel dan Everhart, dan Lagle dengan
mempergunakan program FISAT II dan Microsoft Excel. Sedangkan hubungan
panjang dan panjang dilakukan dengan melakukan perhitungan Anova terhadap
panjang cagak dan panjang kepala sesuai Kartika (2009).
Penentuan umur (kedewasaan) dilakukan dengan mengolah data panjang ikan
sesuai Sparee dan Venema (1995) dan Organsastra et al. (2006). Dalam menentukan
kesiapan memijah dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ciri-ciri
morfologi sekunder sesuai ciri-ciri modifikasi Kesteven dan acuan lainnya. Selain itu
sebagai data pendukung dilakukan pengamatan morfologi terhadap gambaran
ovarium menggunakan acuan dari Yani (1994) dalam Tang dan Affandi (2000). Dari
50
51. data komposisi umur akan dianalisis untuk mengetahui gambaran struktur populasi
dan menentukan status stok.
Sedangkan untuk menentukan tipe pemijahan dilakukan pengamatan secara
mikroskopis dengan melakukan pengumpulan data ukuran telur yang dilakukan
berdasarkan diameter terpanjang sesuai Tang dan Affandi (2000). Data tersebut
kemudian akan diolah menggunakan program SPSS.
Pengukuran morfometrik dan pengamatan morfologi dilakukan di lapangan.
Sedangkan pengamatan ovarium dan telur untuk mendapatkan data pendukung dan
diameter telur dilakukan di laboratorium Departemen Perikanan Budidaya PPPPTK
Pertanian Cianjur. Ikan sampel dibawa dalam keadaan hidup dan langsung dilakukan
pengamatan di laboratorium.
Data sekunder yang dikumpulkan antara lain jenis alat tangkap, profil Waduk
Cirata dan Sungai Citarum, produktifitas perikanan Kabupaten Cianjur, karakteristik
biologi ikan, dan lain-lain diperoleh dari instansi terkait, studi literatur, dan internet.
Sedangkan sebagai data pendukung, dilakukan pembedahan ikan untuk melihat
contoh gonad dan pengamatan ovarium.
3.4 Kerangka Konseptual
Sampel ikan tagih berasal dari hasil tangkapan nelayan pada Bulan Nopember
2009 hingga Januari 2010 di Waduk Cirata. Pengambilan data sampel dilakukan
dengan selang waktu 1 bulan masing-masing selama 3 hari. Untuk mendapatkan
sampel yang dapat mewakili populasi, penulis mengikuti pengumpul (tengkulak) ikan
51
52. yang aktif mendatangi nelayan dan pengumpul kecil yang ada hampir di seluruh
perairan Waduk Cirata wilayah Kabupaten Cianjur.
Pengukuran dan pengamatan morfologi sekunder dan morfometrik dilakukan
di lapangan, sedangkan untuk pengamatan morfologi primer dilakukan di
laboratorium. Namun sebelumnya, dilakukan kajian literatur dan wawancara untuk
mendapatkan informasi awal, teori dasar dan data sekunder penelitian.
Pengamatan ciri morfologi sekunder dilakukan untuk menentukan kesiapan
memijah dan TKG. Untuk lebih memastikan dan mendukung hasil pengamatan
sekunder dilakukan pengamatan morfologi primer terhadap 4 ekor sampel.
Kemudian dilakukan analisis data panjang cagak dan berat ikan yang diolah
dengan FISAT II dan Microsoft Excel untuk mengetahui karakteristik biologi seperti
panjang asimtot (L∞), koefisen pertumbuhan (K), pola pertumbuhan (b), waktu awal
pertumbuhan (to), periode pemijahan, dan frekuensi panjang terbesar. Kemudian data
tersebut diolah dengan persamaan VBGF dalam MS. Excel untuk mendapatkan
model pertumbuhan alami ikan tagih. Sedangkan untuk menganalisis hubungan
panjang cagak dan panjang kepala digunakan program Microsoft Excel untuk
mendapatkan nilai P. Untuk mengetahui panjang kelas dan periode pemijahan
dilakukan analisis distribusi frekuensi menggunakan FISSAT II dan Microsoft Excel.
Setelah itu, hasil analisis statistik digabungkan dengan hasil pengamatan morfologi
untuk mengetahui kondisi populasi ikan baung di Waduk Cirata.
Sedangkan untuk mengetahui tipe reproduksi dilakukan dengan uji T, Anova
dan Tukey terhadap data diameter telur menggunakan program SPSS 15.0.
52
53. Pengamatan terhadap foto telur juga dilakukan untuk mengetahui tentang kematangan
telur dan perkembangan oositnya.
Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk membuat kesimpulan
penelitian sehingga dapat menjelaskan permasalahan yang dihadapi. Dengan
mengetahui pokok permasalahan maka dapat diajukan saran untuk menentukan
langkah-langkah yang diperlukan.
Figure 13. Diagram alur kerangka konseptual
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Ikan BaungIkan Baung
Ciri
Sekunder
Ciri
Sekunder
Tingkat
kedewasaan
Tingkat
kedewasaan
Kondisi
Populasi
Kondisi
Populasi
Data SekunderData Sekunder
Karakteristik Bologi
Kelas panjang, periode pemijahan, pola
pertumbuhan, panjang maksimal, panjang terbesar
Karakteristik Bologi
Kelas panjang, periode pemijahan, pola
pertumbuhan, panjang maksimal, panjang terbesar
Ciri
Primer
Ciri
Primer
Pengamatan
Morfologi
Pengamatan
Morfologi
Pengukuran
Morfometrik
Pengukuran
Morfometrik
Studi Pustaka dan
Wawancara
Teori dasar, referensi, informasi
perikanan/wilayah, peta dll
Studi Pustaka dan
Wawancara
Teori dasar, referensi, informasi
perikanan/wilayah, peta dll
Hubungan panjang
berat, dan panjang
panjang
Hubungan panjang
berat, dan panjang
panjang
Distribusi
frekuensi
Distribusi
frekuensi
Panjang cagak,
berat utuh
Panjang cagak,
berat utuh
Tipe
pemijahan
Tipe
pemijahan
53
Tipe dan
Kesiapan
memijah
Tipe dan
Kesiapan
memijah
54. Data penelitian yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis yaitu data primer dan
sekunder. Data primer didapat dengan melakukan pengukuran morfometrik dan
pengamatan morfologi terhadap sampel ikan tagih sebanyak 111 ekor yang berasal
dari hasil tangkapan di Waduk Cirata. Untuk mendapatkannya, penulis mengikuti
pengumpul ikan yang aktif berkeliling membeli ikan dari nelayan dan pengumpul lain
di Waduk Cirata.
Variabel morfometerik yang diukur adalah panjang cagak, panjang kepala,
tinggi badan, tinggi badan bagian anus dan bobot ikan utuh. Sedangkan pengamatan
morfologi diutamakan berdasarkan ciri sekunder sesuai acuan pustaka kecuali untuk
penentuan tipe pemijahan dilakukan pengamatan dan pengukuran diameter sampel
telur sebanyak 120 butir secara mikroskopis. Sebagai data pelengkap berupa data
sekunder yang diperoleh dari studi literatur dan wawancara dengan pihak-pihak yang
terkait dalam penelitian ini.
3.6 Teknik Penyajian Data
Data statistik rata-rata, nilai maksimum, nilai minimum, kelas panjang, dan
lain-lain akan disajikan dalam bentuk tabel. Data jenis ikan yang tertangkap, alat
tangkap dan lain-lain akan disajikan dalam bentuk daftar. Ciri-ciri morfologi ikan
akan disajikan dalam bentuk foto atau gambar. Sedangkan dalam bentuk grafik akan
disajikan data regresi hubungan antar variabel penelitian, distribusi frekuensi, dan
lain-lain.
3.7 Teknik Analisis Data
54
55. Hasil pengolahan data yang didapat kemudian dianalisis menggunakan
berbagai acuan pustaka sehingga menghasilkan informasi mengenai parameter yang
diteliti.
Dasar penentuan kesiapan memijah adalah pengamatan TKG menggunakan
acuan gabungan dari modifikasi Kesteven, Anonim (2008), Amri et al. (2008), Arie
(2008), dan Anonim (2000). Penentuan kematangan gonad ikan betina difokuskan
pada fase reproduksi (TKG VI/Mijah) menurut Kesteven (tabel 7) yang digabungkan
dengan pendapat Anonim (2009), Arie (2008), Amri et al. (2008), dan Anonim
(2000). Data TKG tersebut akan digunakan untuk menentukan kesiapan ikan dalam
melakukan reproduksi, jika sesuai dengan acuan di atas maka keputusannya: ikan siap
memijah, jika tidak sesuai maka ikan dianggap tidak siap memijah.
Table 7. Dasar Pengamatan TKG
SUMBER
SIAP MIJAH
BETINA JANTAN
Kesteven TKG VI/Mijah: Telur
mudah keluar bila perut
sedikit ditekan, telur jernih
dan hanya beberapa butir
saja yang berbentuk bulat
telur di dalam ovarium.
Anonim (2009), Arie
(2008), Amri et al.
(2008), dan Anonim
(2000)
Perutnya membesar dan
terasa lunak jika diraba,
lubang genital membengkak,
berwarna kemerahan dan bila
diurut perlahan ke anus
telurnya akan keluar
Warna tubuh agak cerah,
perut terasa tipis jika
diraba, urogenital
membengkak, berwarna
kemerahan dan
panjangnya melampaui
pangkal sirip ekor
Diolah dari berbagai sumber
55
56. Sedangkan untuk mengetahui struktur dan status populasi dilakukan
penentuan umur dan kedewasaan ikan dengan melakukan perhitungan model analitis
menggunakan data panjang dan berat ikan. Kemudian untuk memperkuat hasil
perhitungan dilakukan pengamatan makroskopis dan mikroskopis ovarium ikan tagih
sehingga diketahui kondisi (kedewasaan) ikan dengan acuan Yani (1994) dan
Rifianto et al. (2000).
Dengan asumsi dari Fuiman et al. (2002) tentang kedewasaan ikan, ditentukan
ikan tagih dewasa yang sesuai dengan ciri-ciri TKG III (tabel 8). Kemudian kelas
tersebut digunakan sebagai pembatas tingkat kedewasaan. Ikan-ikan yang memiliki
panjang sama atau lebih dianggap ikan dewasa. Sedangkan ikan-ikan yang berada di
bawah kelas panjangnya akan dianggap belum dewasa.
Table 8. Gambaran Gonad Ikan Dewasa Menurut Yani
TKG KONDISI MORFOLOGI
III Dewasa Gonad mengisi hampir separuh rongga perut.
Butiran telur sudah dapat dilihat oleh mata satu
persatu, namun masih terlalu kecil. Warna gonad
kuning keabu-abuan
Sumber: Yani (1994) dalam Tang dan Affandi (2000)
Selanjutnya dalam menentukan tipe pemijahan ikan tagih digunakan acuan
Effendi (2002) yang menyatakan bahwa masa pemijahan ikan terbagi menjadi 2 yaitu
Multi Spawning/Total Spawning (Isochronal) dan Partial Spawning (Heterochronal).
Untuk mengetahuinya dilakukan dengan melakukan pengolahan data diameter telur
dengan program SPSS. Hasilnya dianalisis dengan asumsi jika Ho = multi spawning,
jika Hi = partial spawning (sebagian).
56
57. 3.8 Teknik Pengolahan Data
Dari data morfometrik dan morfologi yang terkumpul kemudian ditabulasikan
dan diolah sesuai dengan parameter-parameter penelitian yang diteliti, yaitu:
3.8.1 Hubungan Panjang dan Berat
Perubahan panjang dan berat ikan erat kaitannya dengan perubahan bentuk
tubuh ikan yang sering terjadi bersamaan dengan pertumbuhannya. Sehingga sangat
jelas terlihat bahwa pertumbuhan tubuh ikan sangat erat hubungannya dengan
pertambahan panjang dan berat ikan.
Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh yang mengikuti bentuk
rumus umum yaitu:
Dimana:
W = berat (gram)
L = panjang (cm)
a dan b = konstanta
Rumus tersebut jika ditransformasikan ke dalam logaritma maka akan didapat
persamaan:
57
W = a L b
log W = log a + b log L
58. Kriteria nilai pertumbuhan ikan berdasarkan harga b dari persamaan di atas
dapat menghasilkan berbagai kriteria yaitu: b < 3, b = 3 atau b > 3.
Pada penelitian ini, dalam mengolah data untuk menganalisis hubungan panjang dan
berat akan digunakan program FISAT II atau MS. Excel. Sedangkan untuk
mendapatkan nilai P dilakuan uji ANOVA.
3.8.2 Hubungan Panjang dan Panjang
Adapun untuk menentukan hubungan antara panjang cagak dengan panjang
kepala ikan tagih akan menggunakan formula yang sama dengan tersebut di atas,
Pembagian kedua variabel tersebut adalah variabel tak bebas pada panjang panjang
kepala ikan tagih sedangkan variabel bebasnya adalah pada panjang cagak (Fork
Length) ikan tagih yang ada di Waduk Cirata.
3.8.3 Kesiapan Memijah
Penentuan kesiapan memijah ikan tagih dilakukan dengan menentukan TKG
berdasarkan ciri morfologi sekunder sesuai dengan modifikasi Kesteven, Anonim
(2008), Amri et al. (2008), Arie (2008), dan Anonim (2000). Pengamatan terhadap
ukuran perut, warna tubuh ikan dan alat kelamin serta penekanan terhadap perut
dilakukan di lapangan bersamaan dengan pengukuran morfometrik.
3.8.4 Kondisi Populasi
Dalam menentukan kondisi populasi ikan tagih di Waduk Cirata, akan
digunakan model analitis yang membutuhkan data komposisi umur ikan tagih.
58
59. Komposisi umur dapat diperoleh dari data berat dan panjang sampel ikan tagih yang
tertangkap sesuai Sparee dan Venema (1998), Anonim (1998), dan Organsastra et al.
(2006). Dengan bantuan program aplikasi MS. Excel dan FISAT II data tersebut
diolah sehingga menghasilkan tabel dan histogram. Berdasarkan kurva yang
terbentuk maka dapat dianalisis distribusi frekuensi ikan tagih yang meliputi sebaran
normal atau tidak normal. Selain itu juga untuk mengetahui nilai persentase dari
ukuran terbesar hingga terkecil sehingga dapat diketahui ukuran ikan yang paling
banyak tertangkap. Kemudian melalui data panjang ikan sampel dilakukan estimasi
kelompok umur populasi per bulan menggunakan metode NORMSEP untuk
mengetahui struktur populasi. Sedangkan untuk mengetahui parameter pertumbuhan
pada model von Bertalanffy seperti panjang asimtot (L∞), koefisien pertumbuhan
(K), dan waktu awal pertumbuhan (to) digunakan data distribusi panjang ikan tagih
yang diolah dengan program FISAT II dengan ELEFAN I. Paremeter tersebut (K, to,
dan L∞) kemudian dimasukkan kedalam persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy
Growth Function (VBGF) untuk mendapatkan nilai pertumbuhan alami ikan tagih di
Waduk Cirata.
Sebagai data pendukung untuk memperkuat hasil model analitis akan
dilakukan pengamatan morfologi ovarium secara visual dan mikroskopis sesuai
dengan Tang dan Affandi (2000). Pengamatan tersebut menggunakan acuan dari Yani
(1994).
Dari pengamatan TKG dan komposisi umur dapat diketahui kedewasaan ikan
dan struktur populasi untuk menjawab pertanyaan apakah ikan tagih dapat
beradaptasi dan berkembangbiak di Waduk Cirata.
59
60. 3.8.5 Tipe Pemijahan
Untuk mengetahui tipe pemijahan tagih dilakukan pengamatan dan
pengukuran diameter telur. Dipilih satu ekor ikan tagih yang berdasarkan ciri
morfologis dalam kondisi TKG V atau VI. Sampel dibawa ke laboratorium untuk
dibedah dan diambil ovariumnya. Ovarium ikan tagih tersebut dibagi menjadi 4
bagian kemudian dari masing-masing bagian diambil sampel beberapa butir telur
secara acak untuk diukur diameternya. Data pengukuran yang didapat diolah dengan
SPSS untuk mengetahui perbedaan telur pada masing-masing bagian. Hasil pengujian
dianalisis dengan Ho = multi spawner dan H1 = partial spawner.
60
61. BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat
yang memiliki wilayah memanjang dari bagian tengah Jawa Barat hingga ke selatan
mencapai pantai selatan Jawa. Kabupaten yang beribukota Cianjur ini menurut
Anonim (2009), secara administratif terbagi menjadi 32 kecamatan 342 desa dan 6
kelurahan dengan batas wilayah:
Sebelah Utara : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
Sebelah Timur: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut
Sebelah Barat : Kabupaten Sukabumi
Dalam melakukan pengelolaan wilayah, pemerintah daerah membagi
Kabupaten Cianjur menjadi 3 wilayah yaitu utara, tengah dan selatan. Secara
61
62. geografis, Kabupaten Cianjur merupakan wilayah yang cukup strategis. Ibukota
Kabupaten Cianjur dilintasi jalan nasional (Jakarta-Bogor-Bandung, Jakarta-Bogor-
Sukabumi-Bandung) serta jalur kereta api (Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur-
Bandung). Selain merupakan wilayah penghubung, Kabupaten Cianjur memiliki
kesempatan besar mengembangkan sektor ekonomi untuk menyangga kebutuhan di
wilayah sekitar yang berpenduduk cukup padat.
Figure 14. Peta wilayah Kabupaten Cianjur (Sumber:
http://cianjurkab.go.id/Content_Nomor_Menu_24_3.html)
62
Waduk Cirata
63. Sebagian besar wilayah berupa pegunungan, kecuali di bagian selatan berupa
dataran rendah yang sempit. Luas wilayahnya 350. 148 km2
dengan jumlah penduduk
pada tahun 2007 sebanyak 2.138.465 jiwa. Kepadatan penduduk pada tahun 2005
sekitar 548,95 jiwa per km2
dengan konsentrasi penduduk yang tidak merata, 63,90%
berada di wilayah utara, 19,19% di bagian tengah dan sisanya 17,12% di selatan. Laju
Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,96% (2005) dengan lapangan pekerjaan
utama disektor pertanian sebanyak 52% yang menyumbang PDRB sekitar 43%, dan
perdagangan 23% yang menyumbang 25%.
Kabupaten yang memiliki filosofi ngaos-mamaos dan maenpo ini merupakan
salah satu daerah swasembada padi dengan produksi 625.000 ton/tahun (surplus 40%)
meskipun 27,76% wilayahnya merupakan pertanian lahan kering dan hanya 16,59%
lahan basah. Hasil pertanian lainnya adalah tanaman sayur dan hias yang sebagian
besar dipasarkan ke Jabotabek. Kabupeten Cianjur memiliki areal perkebunan yang
cukup besar yaitu 16,49% dari seluruh wilayah. Areal perkebunan tersebut yang
dikelola oleh beberapa pihak yaitu Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 10.709
hektar, Perkebunan Besar Swasta (PBS) sekitar 20.174 hektar dan Perkebunan Rakyat
(PR) seluas 37.167 hektar. Hasil perkebunan utama berupa teh dengan produksi 1.400
– 2.000 kg/hektar.
Dalam bidang perikanan, usaha pertambakan dan penangkapan ikan laut lebih
terkonsentrasi di wilayah Cianjur Selatan yaitu di daerah Cidaun dan Agrabinta.
Sedangkan budidaya air tawar seperti ikan hias, mina padi, kolam air deras serta
karamba jaring apung (KJA) banyak terdapat di Cianjur Utara dan Tengah.
63
64. Pemerintah daerah menyadari besarnya potensi perikanan tersebut sehingga
memasukan sektor perikanan (agromarine) kedalam salah satu dari lima unggulan
bisnis yang merupakan fokus pembangunan sehingga diharapkan tercapainya visi
mewujudkan Kabupaten Cianjur lebih cerdas, sehat, sejahtera dan berakhlaqul
karimah.
Salah satu potensi alam yang cukup mendukung keberhasilan pengembangan
perikanan dan pertanian adalah banyaknya sungai besar dan kecil yang mengalir
sehingga kemudian dibangun Waduk Cirata pada tahun 1988. Sejak menjadi
genangan yang relatif permanen maka Waduk Cirata merupakan badan air besar yang
mempunyai karakteristik ekosistem perairan umum yang memiliki berbagai potensi
sosial-ekonomi seperti sumber pengairan sawah, sumber air bersih industri, sumber
air minum (MCK), tempat budidaya ikan, rekreasi dan sarana perhubungan (Garno,
2002). Dengan keberadaan Waduk Cirata, selain mampu mengairi pesawahan seluas
3.400 hektar, juga berkembang usaha budidaya ikan dan penangkapan ikan yang
sangat pesat. Tahun 2008, budidaya ikan di KJA melibatkan 3.696 RTP. Pada tahun
2008, hasil produksi budidaya KJA di Waduk Cirata menyumbang 54.750 ton dari
total produksi perikanan di Kabupaten Cianjur yang mencapai 69.051 ton.
64
65. Figure 15. Budidaya ikan di KJA Waduk Cirata
4.2 Penangkapan Ikan
DAS Citarum memiliki 6 sub DAS utama, 2 diantaranya adalah DAS
Cikundul dan DAS Cilaku yang berhulu di Gunung Gede Pangrango dan bermuara di
Waduk Cirata. Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang dibangun dengan
tujuan utama sebagai pembangkit tenaga listrik. Terletak pada ketinggian 221 m dari
permukaan laut, Waduk Cirata mempunyai luas 6.200 ha dengan luas tangkapan air
603.200 ha, kedalaman rata-rata 34,9 m dan volume 2.165 x 106
m3
. Berdasarkan
pengukuran foto citra tahun 2002 dari http://earth.google.com jarak terpanjang areal
Waduk Cirata yang tergenang air mencapai 15,61 km dengan lebar 12,01 km.
65
66. Skala 1:330.000
Figure 16. Peta Waduk Cirata
Dalam bidang penangkapan ikan, pada tahun 2007 di Waduk Cirata tercatat
terdapat 2.094 unit alat tangkap. Sedangkan jumlah kapal penangkap ikan perairan
umum pada tahun 2008 di Kabupaten Cianjur pada tahun 2008 terdapat 1.052 unit
perahu papan kecil. Berbagai alat tangkap yang digunakan berupa rawai (mini
longline), jala (spread net/cover net), bagan (lift net), bubu (trap), pancing tangan
(hand line), dan jaring insang (gill net). Hasil tangkapan ikan nelayan per upaya pada
tahun 2008 berkisar antara 3,7 – 8,7 kg/orang/hari. Nilai tersebut lebih besar dari
penangkapan di Waduk Jatiluhur yang hanya 3,6 – 7,5 kg/orang/hari (Anonim, 2008).
Berdasarkan data Dinas Perikanan Jawa Barat jumlah produksi perikanan tangkap
terbanyak menggunakan pancing tangan yaitu 94,94 ton.
66
67. Namun penangkapan ikan dengan pancing tangan umumnya hanya bersifat
rekreasi yang dilakukan oleh masyarakat umum. Sedangkan penangkapan ikan yang
dilakukan secara komersial oleh nelayan umumnya menggunakan jaring insang atau
yang sering disebut jaring dinding oleh nelayan setempat.
Konstruksi jaring dinding relatif sederhana yaitu terdiri dari pelampung yang
terbuat dari potongan stryfoam atau botol air mineral. Jaring terbuat dari nilon dengan
beragam ukuran mata dari 3,5-11 inchi, tergantung jenis ikan yang akan ditangkap
dan daerah penangkapannya. Sedangkan pemberatnya berupa lingkaran kawat besi
atau timah. Sebagai pemberat atau jangkar digunakan batu yang diikatkan pada ujung
jaring dinding. Jaring dinding tidak menggunakan pelampung tanda karena dapat
mengganggu lalulintas perahu atau kapal (bargas) yang hilir mudik.
Pada umumnya, nelayan di Waduk Cirata tidak terfokus menangkap ikan jenis
tertentu sebagai hasil utama penangkapan. Semua jenis ikan yang didapat merupakan
dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan kecuali ikan sapu-sapu (Pterygolichthys
sp.) Jenis ikan hasil tangkapan baik ikan asli maupun introduksi dapat dilihat pada
lampiran 8.
67
68. Figure 17. Beberapa kegiatan penangkapan ikan di Waduk Cirata
Figure 18. Ikan tagih hasil tangkapan di Waduk Cirata yang dijadikan sampel
Figure 19. Jaring dinding yang dipenuhi keong mas
68
69. Figure 20. Lapak pemancingan di dekat rumpun vegetasi
Figure 21. Tanaman gatget yang mampu bertahan di daerah pasang surut
Figure 22. Pengontrolan jaring dinding
69
70. Figure 23. Lingkaran merah menunjukan luka
bekas jeratan mata jaring dinding
Figure 24. Ikan yang terjerat (terpuntal)
jaring dinding
Figure 25. Hasil tangkapan yang telah membusuk
70
71. Figure 26. Bagian perut ikan tagih yang terkoyak patilnya sendiri
Hasil tangkapan tersebut dijual setiap pagi hari kepada pengumpul. Umumnya
pengumpul telah memiliki nelayan tetap dengan jumlah bervariasi. Ada pengumpul
yang hanya menunggu di darat atau di KJA, ada juga yang aktif mendatangi para
nelayan di tengah Waduk Cirata. Selain itu, ada pengumpul yang membeli semua
jenis ikan hasil tangkapan, namun ada juga yang hanya membeli jenis ikan tertentu
seperti ikan tagih. Harga beli ditingkat pengumpul bervariasi antara Rp. 7.000 – Rp.
14.000 per kg. Namun harga beli pengumpul sembarang ikan biasanya lebih murah
dibandingkan pengumpul ikan jenis tertentu. Hal ini menyebabkan nelayan kerap
memisahkan ikan jenis tertentu untuk dijual kepada pengumpulnya.
Oleh para pengumpul, hasil tangkapan para nelayan yang kerap disebut ”ikan
jaring” tersebut umumnya dijual ke beberapa pasar di Cianjur hingga ke Jonggol.
Kecuali ikan tertentu seperti ikan tagih yang dipasarkan juga hingga ke Palembang
(Sumatera Selatan) dan Padang (Sumatera Barat).
71
72. Ikan tagih tertangkap dengan semua jenis alat tangkap yang tersebut di atas
kecuali bagan (lift net). Namun jenis alat tangkap yang cukup efektif menangkap ikan
tagih adalah pancing tangan, rawai dasar dan jaring dinding. Namun nelayan setempat
hanya mengoperasikan rawai dasar pada musim hujan karena pada musim kemarau
hasil tangkapan sangat sedikit. Alasan lainnya karena hasil tangkapan rawai dasar
kurang bervariasi.
Menurut nelayan setempat, setiap nelayan jaring dinding umumnya
mengoperasikan 5-15 unit dengan ukuran mata jaring beragam 3,5–11 inchi dengan
lebar jaring 1,5–7 meter. Jaring dinding dipasang dengan metode menetap pada
perairan. Jaring dinding dipasang di kedalaman minimal 1,5 meter. Jika dipasang di
perairan yang terlalu dangkal, selain kurang efektif seringkali jaring ditempeli keong
mas (apple snail) famili Ampullariidae, yang memberatkan penarikan, merusak jaring
dan memakan hasil tangkapan. Jika hasil tangkapan dirasa kurang, nelayan akan
memindahkan jaring dinding ke lokasi lain. Umumnya, penentuan daerah
penangkapan berdasarkan pengalaman dan informasi dari nelayan lain.
Untuk menangkap jenis ikan pemakan dasar seperti mas, patin, gerang dan
tagih, jaring dipasang di kedalaman 1,5–5 m. Sedangkan untuk menangkap ikan
bandeng dan bawal air tawar, penangkapan dilakukan di perairan yang lebih dalam.
Ikan mola dan nila, cenderung tertangkap di dekat (di antara) KJA. Selain itu, lokasi
lapak pemancingan dan daerah penangkapan ikan cenderung berada di areal yang
terdapat rumpun vegetasi darat di pinggir waduk. Vegetasi yang mampu bertahan di
daerah pasang surut adalah tanaman gatget (Sunda) sejenis tumbuhan putri malu
(Mimosa pudica).
72
73. Pengontrolan jaring dinding dilakukan 1–3 kali perhari dengan menggunakan
sampan atau perahu kayu yang biasanya dilakukan oleh 1 orang. Ikan hasil tangkapan
jaring dinding umumnya mudah dikenali dengan tanda jeratan pada bagian tubuhnya
(gambar 24). Ikan terjerat dan terpuntal sehingga tidak dapat melepaskan diri.
Lamanya pengontrolan seringkali menyebabkan ikan mati yang menurun kualitasnya
(gambar 25). Hal itu juga yang diduga menyebabkan ikan tagih yang tertangkap
dengan jaring dinding seringkali dalam keadaan terluka terutama pada bagian sisi
perut karena terkoyak sirip dada yang mengeras (patil) (gambar 25). Setelah selesai
pengontrolan jaring, ikan hasil tangkapan disimpan dalam wadah pemberokan atau
langsung dijual kepada pengumpul.
Hasil tangkapan ikan tagih di Waduk Cirata hingga sekarang ini belum terdata
dengan baik. Para pengumpul yang melakukan usaha yang bersifat pribadi umumnya
tidak memiliki data hasil tangkapan.
4.3 Hasil Penelitian
Berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik morfologi dan
pengumpulan data morfometrik sampel ikan tagih (H. nemurus) yang tertangkap di
Waduk Cirata pada bulan Nopember 2009 hingga Januari 2010, maka dilakukan
pengolahan dan anilisis data sebagaimana berikut ini.
4.3.1 Hubungan Panjang dan Berat
Berdasarkan pengamatan dan pengukuran 111 sampel ikan tagih diperoleh
beberapa parameter data morfometrik. Dalam mengolah data untuk mendapatkan
73
74. hubungan antara panjang dan berat ikan tagih di Waduk Cirata digunakan MS. Excel,
di mana berat sebagai variabel tak bebas dan panjang sebagai variabel bebas
mempunyai hubungan yang sangat kuat (98.48%) dengan arah hubungan yang positif
artinya setiap terjadi penambahan panjang ikan tagih, maka akan bertambah pula
beratnya dan sebaliknya jika terjadi penurunan pada panjangnya akan terjadi
penurunan pula pada berat total ikan tagih di Waduk Cirata tersebut (gambar 27).
Hubungan panjang dan berat ikan tagih diperoleh dengan persamaan W =
0.1046L2.4412
dengan nilai koefisien determinasi (R2
) sama dengan 0.9698 artinya
bahwa variabel berat ikan tagih di Waduk Cirata dapat dijelaskan oleh variabel
panjangnya sebesar 96.98%, sedangkan sisanya 3.02% dijelaskan oleh variabel lain di
luar model regresinya.
y = 0.1046x2 .4 4 1 2
R2
= 0.9698
-
500.0
1,000.0
1,500.0
2,000.0
2,500.0
3,000.0
3,500.0
- 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0
Panjang (cm)
Berat(gr)
Sumber : Data primer (diolah dengan MS. Excel)
Figure 27. Kurva hubungan panjang dan berat ikan tagih di Waduk Cirata
74
75. Berdasarkan hasil uji ANOVA, maka diperoleh P-value sangat signifikan
pada taraf nyata 0,05 (P-value < 0,05), sehingga kesimpulan b = 3 ditolak.
Keputusannya adalah bahwa pola pertumbuhan ikan tagih di Waduk Cirata adalah
bersifat alometrik negatif (b < 3) artinya pertambahan panjangnya lebih cepat
daripada pertambahan beratnya.
4.3.2 Hubungan panjang cagak dan panjang kepala
Adapun hubungan antara panjang cagak (Fork Length) dengan panjang kepala
ikan tagih diperoleh dengan persamaan: Panjang kepala ikan tagih = 0.773 Panjang
cagak0,7314
atau apabila persamaan tersebut dilinierkan menjadi: Log panjang kepala
ikan tagih = 2,888 x 10-1
+ 0,7314 log panjang cagak ikan tagih. Sedangkan nilai
koefisien determinasi (R2
) dari hubungan panjang cagak dengan panjang kepala sama
dengan 0.9308 artinya bahwa variabel panjang kepala ikan tagih di Waduk Cirata
dapat dijelaskan oleh variabel panjang cagaknya sebesar 93.08%, sedangkan sisanya
6.92% dijelaskan oleh variabel lain di luar model regresinya.
y = 0,773x0,7314
R2
= 0,9308
-
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
18,0
- 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0
Panjang Kepala
PanjangCagak(FL)
75
76. Sumber : Data primer (diolah dengan MS. Excel)
Figure 28. Kurva hubungan panjang cagak dan panjang kepala ikan tagih
4.3.3 Kesiapan Memijah
Dari 111 ekor sampel ikan tagih diketahui komposisi jenis kelaminnya terdiri
dari 66 ekor ikan betina dan 45 ekor jantan. Berdasarkan pengamatan sekunder tidak
diperoleh ikan tagih jantan maupun betina yang memenuhi ciri-ciri morfologi TKG
VI/Mijah modifikasi Kesteven dan acuan lainnya. Namun didapati 4 ekor (3,6%) ikan
tagih betina yang memiliki ciri-ciri morfologi sesuai dengan TKG V/Bunting yaitu
perut membesar dan genital berwarna merah, telur terlihat oleh mata telanjang namun
masih sulit dipisahkan, dan produk seksual tidak keluar jika ditekan (lihat tabel 4).
Satu ekor ikan didapat pada bulan Nopember dengan panjang 50 cm dan berat
1.400 gram yang merupakan panjang dan berat maksimum sampel TKG V,
sedangkan 3 ekor ikan didapat pada bulan Januari, salah satunya dengan berat
minimum TKG V yaitu 950 gram.
Table 9. Data morfometrik ikan tagih dengan TKG V/Dewasa
Bulan Berat
(gr)
Panjang (cm) Tinggi (cm)
Cagak Kepala Badan Badan
(anus)
Nopember 2009 1.400 50,0 12,5 10,5 7,5
Januari 2010 1.000 40,0 12,0 11,0 7,0
950 39,0 11,0 9,5 6,5
1.200 45,5 12,5 11,5 7,5
Sumber : Data primer
Untuk lebih memastikan hasil penentuan TKG ikan tagih betina, dilakukan
pembedahan untuk mengamati ovariumnya. Pemilihan sampel dilakukan berdasarkan
76
77. ciri morfologis sekunder yang paling mendekati matang gonad (sampel A dan B) dan
ikan dari kelas panjang yang lebih kecil sebagai pembanding (sampel C dan D).
Pengamatan terhadap sampel A dan B (gambar 31 dan 32) menunjukan
ovarium telah membesar mengisi sebagian rongga perut sehingga perut terlihat
membesar. Ovarium bewarna kuning. Pembuluh darah disekitar ovarium membesar
dan sangat jelas terlihat. Butiran telur mudah terlihat dengan mata telanjang namun
masih sulit dipisahkan satu persatu. Pengamatan dengan pembesaran 4x menunjukan
kuning telur telah terlihat, telur telah berbentuk bulat berwarna kuning agak
kecoklatan namun masih ada beberapa bagian telur terlihat jernih.
Figure 29. Bagian kepala ikan tagih
77
78. Figure 30. Pengamatan ciri seksual sekunder dan penekanan perut
- Berat ikan : 1.400 gr
- Panjang ikan : 50 cm
- Berat ovarium : - gr
- Panjang ovarium : 15
cm
78
79. Ikan sampel A Ciri sekunder
Ovarium dalam rongga perut Pengukuran ovarium
Ovarium Telur dengan pembesaran 4x
Figure 31. Sampel A
79
80. - Berat ikan : 964 gr
- Panjang ikan : 39 cm
- Berat ovarium : 50,2 gr
- Panjang ovarium : 12 cm
Ciri seksual sekunder Urogenital
Posisi ovarium dalam rongga perut Ovarium
Telur dengan pembesaran 4x
Figure 32. Sampel B
80
81. - Berat ikan : 291,9gr
- Panjang ikan : 26 cm
- Berat ovarium : 1,04 gr
- Panjang ovarium : 5,8 cm
Sampel C Ciri seksual
Posisi ovarium dalam
Rongga perut
Pengukuran ovarium
Tampilan ovarium pembesaran 4x
Figure 33. Sampel C
- Berat ikan : 280 gr - Berat ovarium : 1,02 gr
81
82. - Panjang ikan : 26 cm - Panjang ovarium : 4,5 cm
Pembedahan Posisi ovarium dalam
rongga perut
Penimbangan ovarium Pengukuran ovarium
Tampilan ovarium pembesaran 4x
Figure 34. Sampel D
82
83. Kemudian ciri-ciri tersebut dianalisis berdasarkan Rifianto et al. (2000),
Kesteven dan Yani (1994). Hasilnya ditentukan bahwa sampel A dan B dalam kondisi
TKG V/Bunting modifikasi Kesteven, TKG III/Dewasa menurut acuan Yani (1994)
dan TKG III/Matang menurut acuan Rifianto et al. (2000). Hasil pengamatan ciri
morfologi primer terhadap ovarium ini mendukung hasil pengamatan morfologi
sekunder.
Pengamatan terhadap sampel C dan D (gambar 33 dan 34) menunjukan bahwa
ovari masih kecil, berwarna putih keruh dan belum memenuhi rongga perut. Butiran
telur belum terlihat dengan mata telanjang. Pengamatan lanjutan dengan mikroskop
pembesaran 4x menunjukan bahwa ovarium masih terlihat jernih dan beberapa butir
telur mulai terbentuk namun masih berwarna jernih. Dalam modifikasi Kesteven, ciri-
ciri tersebut sesuai dengan TKG II/Dara Berkembang. Sedang menurut acuan Yani
(1994) dan Rifianto et al. (2000), sampel C dan D sesuai dengan TKG II/Masa
Perkembangan dan TKG I/Belum Matang.
4.3.4 Kondisi Populasi
Dalam interval waktu 3 bulan diperoleh jumlah sampel ikan tagih sebanyak
111 ekor. Langkah awal adalah melakukan tabulasi distribusi frekuensi dari panjang
ikan tagih yang dihasilkan tersebut dengan membuat jumlah kelas dengan interval
yang sesuai dengan formula K = 1 + 3.3 log n.
Dari perhitungan tersebut diperoleh sebanyak delapan kelas dengan interval
sebesar 5.16 terhitung mulai dari panjang minimum 21 cm dan maksimum 61 cm
(tabel 10). Distribusi frekuensi panjang ikan tagih tersebut digunakan untuk
83