SlideShare a Scribd company logo
1 of 149
1
DAFTAR ISI
TERIMA KASIH
Sarlito Wirawan Sarwono 4
GRUP WA
Yuswohady 7
ASAP TEBAL DAN PENCITRAAN?
Mohamad Sobary 10
KEBAKARAN HUTAN GAMBUT & GLOBAL WARMING
Nyoto Santoso 14
KEARIFAN PEMIMPIN DAN RAKYAT
Jazuli Juwaini 17
INVESTASI ANAK VS KEMISKINAN
Ali Khomsan 20
KAMPOENG BNI DI PULAU BURU
Rhenald Kasali 23
PAK RADEN DAN KISAH MULTIKULTURALISTIK
Nanang Martono 26
DARI PENJARA KE PENJARA
Komaruddin Hidayat 29
GODAAN POLITIK-EKONOMI HIDAYATULLAH
Wibowo Hadiwardoyo 31
PATRIOTISME DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
Karolin Margret Natasa 34
ARTEFAK
Sarlito Wirawan Sarwono 38
THE POWER OF HELPING
Yuswohady 41
SPIRIT HARI PAHLAWAN
A Helmy Faishal Zaini 44
PAHLAWAN DAN KEBENARAN
Anna Luthfie 47
BELA NEGARA ATAU MEMBERDAYAKAN PEMUDA?
2
Sandiaga S Uno 50
MAKAM PAHLAWAN
Mohamad Sobary 53
MENEMBUS BATAS
Komaruddin Hidayat 56
TIKUS SEKARANG TAK TAKUT KUCING
Moh Mahfud MD 58
HOROR TAKOKAK 1948: SEJARAH YANG TERLUPAKAN
Hendi Jo 60
PAHLAWAN KEMANUSIAAN
Muhbib Abdul Wahab 64
MEMBONGKAR IDEOLOGI KEPAHLAWANAN
Benny Susetyo 68
HANACARAKA
Sarlito Wirawan Sarwono 71
MEMOTRET KONDISI KESEHATAN INDONESIA
Zaenal Abidin 74
KEBERAGAMAN KOSMOPOLIT DI MUHAMMADIYAH
Ahmad Najib Burhani 77
MENJEMPUT KEADILAN
Mohamad Sobary 80
PUASMU KAPAN, PEMIMPIN?
Rhenald Kasali 83
JEMBATAN
Komaruddin Hidayat 86
JURNALISME POSITIF & KEARIFAN LOKAL
Fajar Kurniawan 88
PERAN PSIKOLOGI DALAM PEMBERSIHAN PASCA-G30S
Reza Indragiri Amriel 91
HMI PENJAGA BUDAYA INDONESIA
Arief Rosyid Hasan 94
KEPRET
Sarlito Wirawan Sarwono 97
3
WAJAH HANTU BIROKRASI KITA
Mohamad Sobary 100
GURU HONORER MENANTI JOKOWI
Hendri Zainuddin 104
GURU PEMBANGUN PERADABAN
Muhbib Abdul Wahab 107
MENGELOLA GURU REPUBLIK INDONESIA
Jejen Musfah 111
MEMBANGUN RISET PERGURUAN TINGGI
Ali Khomsan 114
DAUN PINTU MELAYANG
Asmadji AS Muchtar 117
LAMPU KUNING HMI
Arif Afandi 119
DUNIA YANG TERKOYAK
Komaruddin Hidayat 122
KEPAKARAN DAN MEDIA
Sarlito Wirawan Sarwono 124
MELURUSKAN ARAH PERUNDINGAN IKLIM
Chalid Muhammad 127
ETIKA BISNIS DALAM PUSARAN POLITIK
Dedi Purwana ES 131
AUSCHWITZ DAN TEMBOK RATAPAN
Komaruddin Hidayat 134
PARA BEGAL DALAM BIROKRASI
Mohamad Sobary 137
BAYI TANPA HIV
FX Wikan Indrarto 140
PENYAKIT KUTUKAN TUHAN
Sarlito Wirawan Sarwono 143
FACEBOOK, FREEPORT
Yuswohady 145
ETIKA KELUHURAN BUDI PEMIMPIN
Mohamad Sobary 147
4
Terima Kasih
01-11-2015
Waktu saya SMP (pada 1950-an), Bu Mul, guru bahasa Indonesia saya, mengajarkan untuk
berkata ”terima kasih” kepada seseorang yang sudah membantu kita atau berbuat kebaikan
kepada diri kita; dan orang itu seharusnya menjawab ”terima kasih kembali” atau cukup
”kembali” saja.
Bu Mul berpesan agar jangan sekali-sekali mengatakan ”terima kasih, ya” karena ungkapan
itu tidak sopan. Kata ”ya” di belakang setiap kata dianggap ditujukan kepada pihak yang
lebih rendah atau untuk merendahkan. Misalnya, kepada anak kecil kita mengatakan, ”Jangan
duduk di sini, ya,” tetapi kepada orang dewasa, apalagi yang patut dihormati, kita akan
mengatakan, ”Mohon untuk tidak duduk di sini.”
Tapi, hari ini, generasi sekarang biasa saja mengucapkan ”terima kasih, ya” atau kalau mau
lebih sopan, ”ya”-nya dipanjangkan ”terima kasih, yaaaa”, dan jawabannya ”iyaaaa”, makin
panjang ”iya”-nya makin bagus.
Masih di zaman saya SMP. Bu Narti, guru bahasa Inggris saya, mengajarkan bahwa dalam
bahasa Inggris ungkapan rasa terima kasih dinyatakan dalam kata-kata ”thank you” dan
jawabannya ”you’re welcome” atau ”welcome” saja. Sekarang orang Inggris atau Amerika
masih mengucapkan ”thank you”, tetapi jawabannya macam-macam, bisa ”OK”, ”all right”,
”any time”, ”yup” atau yang lainnya.
Jelas, bahasa berubah seiring perubahan zaman sepanjang masa. Yang dulu dianggap kurang
sopan, sekarang dianggap biasa-biasa saja. Jadi ada perubahan dalam rasa berbahasa. Saya
sebagai orang dulu sering merasa risi mendengar orang berkata ”terima kasih, ya” dan
mendengar jawabannya ”yaaa”. Tapi apa daya saya seorang melawan gelombang perubahan
yang begitu dahsyat.
Namun yang lebih menggalaukan adalah perubahan makna yang sangat signifikan dari kata-
kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Makna kata-kata tersebut bisa
menyimpang 180 derajat dan makin tersebar luas karena digunakan tanpa kontrol melalui
media massa (terutama TV).
Contoh kata ”armada” yang aslinya biasa dipakai di kalangan angkatan laut dan artinya
adalah sekumpulan atau sejumlah kapal perang yang beroperasi di bawah satu komando. Satu
armada bisa terdiri atas, misalnya, 10 kapal perang. Jadi kalau ada 10 armada, seluruhnya ada
100 kapal perang. Tetapi sekarang armada dikenakan juga pada bus Transjakarta dan
perusahaan taksi atau moda transportasi lain dengan makna yang sudah berubah sama sekali.
5
Kalau misalnya dikatakan ”pemerintah telah menyiapkan 10 armada truk TNI untuk
mengangkut para pengungsi ke tempat yang lebih aman”, yang dimaksud adalah hanya 10
truk, bukan 100 truk, karena arti “armada” di sini adalah unit (satuan) truk, bukan kumpulan
dari satuan seperti dimaksudkan dalam ”Komando Armada Indonesia Kawasan Timur” dari
TNI AL. Alangkah berbedanya antara 10 dan 100.
Contoh lain, orang sekarang sering menggunakan istilah ”tolak ukur” yang maksudnya adalah
standar ukuran tertentu. Padahal arti yang sebenarnya dari kata ”tolak” adalah mendorong
(misalnya beramai-ramai menolak mobil mogok) atau menyangkal, tidak membenarkan,
tidak mau menerima (misalnya, beramai-ramai menolak RUU Anti-KPK), jadi tidak tepatlah
kalau kita menggunakan kata ”tolak” kalau yang dimaksud adalah standar. Istilah yang tepat
adalah ”tolok ukur”.
Pernah melihat petugas PU (Pekerjaan Umum) mengukur jarak antara dua titik di jalanan?
Seorang petugas mengintai dari balik alat seperti kamera, sedangkan seorang lagi memegangi
tonggak yang bertuliskan angka-angka. Petugas pertama mengarahkan ”kamera”-nya ke
tonggak untuk mengukur jarak antara ”kamera” dan tonggak.
Tonggak inilah yang dinamakan “tolok”. Nantinya tolok ukur itu akan ditanam di sepanjang
jalan (misalnya: jalan tol) dengan jarak tertentu dan digunakan oleh pengemudi untuk
menentukan posisinya berapa jauh lagi dia dari kota tujuan. Inilah yang dinamakan ”tolok
ukur”.
***
Pada tahun 1972-1973, saya kuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia (Inggris). Setiap
hari Sabtu, untuk membuang waktu, saya suka mengunjungi suami-istri Indonesia, Om Tom
dan Tante Siu (keduanya sudah almarhum), yang sudah bermukim di Edinburgh entah berapa
lama.
Om Tom adalah seorang dokter ahli radiologi, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas
Edinburgh, tetapi beliau minta pensiun dini dan lebih suka membantu istrinya, Tante Siu,
berdagang batu akik (orang Inggris ternyata gemar batu akik juga). Kata Om Tan, lebih
senang jualan batu akik di toko istrinya karena kerjanya santai, tetapi duitnya lebih banyak,
daripada kerja di rumah sakit.
Om Tan dan Tante Siu memang lancar berbahasa Indonesia, tetapi mereka mengaku sulit
sekali membaca koran karena terlalu banyak singkatan dan kata-kata baru, yang tidak bisa
dicari keterangannya di kamus. Istilah-istilah seperti “ABRI”, “Korpri”, “Pramuka”,
“Persit” (Persatuan Istri Tentara), dan masih banyak lagi, belum pernah didengar atau
dibacanya ketika mereka masih di Indonesia.
Padahal bahasa adalah alat komunikasi. Dasarnya adalah kesepakatan bersama tentang arti
6
suatu simbol (bisa bunyi, bisa huruf). Buat orang Jawa kata ”gedang” berarti pisang dan
”atos” berarti keras, sedangkan buat orang Sunda ”gedang” adalah pepaya dan ”atos” berarti
sudah. Bagaimana dengan kata-kata ”boil”, ”woles”, ”ciyus”, ”OTW”, ”BTW”, ”asber”,
atau ”GTH”? Saya jamin 90% dari pembaca, tidak peduli berasal dari etnik mana, tidak
mengerti arti kata-kata itu.
Bagaimana orang akan berkomunikasi jika tidak saling mengerti makna kata-kata yang
digunakan? Di era netizen sekarang ini, ”terima kasih” akan ditulis ”tks” atau ”mks”
(makasih) atau ”thx” (thanks) saja. Tidak ada basa-basi lagi, tidak perlu kesantunan lagi.
Kalau guru-guru SMP saya, Bu Mul dan Bu Narti, masih hidup sekarang, beliau-beliau pasti
kebingungan melihat tata-krama orang sekarang. Sungguh dahsyat pengaruh teknologi
terhadap perilaku dan budaya manusia. Terima kasih, yaaaa.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
7
Grup WA
01-11-2015
Hidup saya praktis sudah tertawan oleh grup WA (WhatsApp). Bagaimana tidak, waktu
subuh saat ayam berkokok, lima notifikasi WA sudah kedip-kedip minta dihampiri.
Pagi saat di kantor di sela-sela meeting, tangan selalu menggerayangi HP sibuk pencet sana-
sini untuk melayani obrolan teman grup. Siang dan sore hari saat ketemu klien tetap saja
tangan sesekali curi-curi geser-geser layar sentuh HP untuk melihat update celotehan teman-
teman grup.
Malam apalagi... its WA time, saatnya berbagi cerita dengan seluruh teman grup hingga
tengah malam bahkan menjelang pagi. Aktivitas keseharian tetap berjalan lancar, walaupun
”WA time” terus hadir di sela-sela aktivitas tersebut. Saat ngobrol dengan seluruh anggota
keluarga di ruang tamu, jari-jemari tetap bergerilya memenceti HP.
Saat meeting dengan klien, pada waktu meeting lagi seru-serunya tentu tidak, namun begitu
suasana mulai cair (biasanya menjelang berakhir) maka kembali tangan gerayangan ke layar
sentuh HP. Praktis semua aktivitas bisa diselingi WA time. Itu sebabnya saya memprediksi
manusia bakal menjadi ”the most multi-tasking creature”.
***
Saya punya 13 grup WA, hampir semuanya aktif. Ada grup WA teman-teman reuni SMA.
Ada grup WA teman-teman aktivis mahasiswa. Ada grup WA teman-teman komunitas dan
pehobi sama. Ada grup WA untuk komunikasi tim kerja klien. ”Pak Siwo, agar komunikasi
antar team member lancar, kita bikin grup WA ya,” begitu ujar klien saya. Tak ketinggalan
grup WA anggota keluarga besar. Pokoknya dikit-dikit dibikin grup WA-nya biar seru.
Dengan 13 grup sesungguhnya saya masih normal-normal saja. Banyak teman saya yang
koleksi grup WA-nya jauh lebih fantastis. Ada yang di atas 20 bahkan di atas 30. Konon
banyaknya koleksi grup WA yang kita miliki memberikan prestise tersendiri. Ya karena
makin banyak koleksi, maka ia dianggap lebih gaul, lebih banyak teman, lebih luas
koneksinya, lebih socially-connected.
Apa saja grup WA yang kita ikuti juga bisa menjadi indikator siapa kita. Makanya saya
sering mendengar celotehan teman-teman yang pamer, ”Eh saya satu grup WA dengan artis
A dan selebriti B lho.”
8
Masuknya saya ke grup-grup WA hampir semuanya bukan atas kemauan saya. Awalnya
seorang teman yang sudah punya nomor HP saya bilang, ”Mas Siwo nomornya aku masukin
di grup WA bla bla bla ya?” Karena teman, tak kuasa saya menolak. Begitu masuk, maka
serta-merta saya merasa bak selebritis. Semua anggota grup menyapa dengan renyah.
Beragam sapaan ramah pun menghujam: ”Selamat datang Mas Siwo”; ”Senang sekali Mas
Siwo hadir di grup ini”, atau ”Ditunggu inspirasi-inspirasinya.”
Awalnya beban juga masuk grup, karena mesti siap-sedia melayani ocehan-ocehan teman
grup. Namun sekali respons oke, dua kali respons enak, tiga kali respons nikmat, ujung-
ujungnya nggak bisa berhenti... bahkan ketagihan. Dengan koleksi grup WA yang cukup
banyak, maka kini rasanya tiada menit tanpa menunggu notifikasi grup WA. Ketika notifikasi
tak kunjung datang, bumi serasa berputar begitu lambat, hari serasa sunyi-sepi.
***
Barangkali Anda penasaran, apa saja yang diomongkan di grup-grup WA tersebut, sehingga
demikian menyita waktu. Obrolannya macam-macam. Untuk grup reuni SMA pasti nggak
jauh-jauh dari urusan kangen-kangenan. Untuk grup komunitas dan hobi, pasti mengenai
minat dan passion kita. Atau untuk grup klien, tentu urusan pekerjaan. Tapi di luar itu semua,
anggota grup paling demen ngobrolin apa-apa yang sedang menjadi trending topic.
Sekarang misalnya, paling seru ngobrolin masalah asap. Saya paling suka mengamati
anggota-anggota grup WA yang mendadak menjadi pahlawan. Saya sebut pahlawan, karena
sosok ini biasanya bertingkah layaknya pahlawan: menyuarakan fakta-fakta, melakukan
analisis layaknya ia seorang pakar jempolan, lalu mengemukakan solusi-solusi cespleng yang
umumnya dicomot dari mana-mana.
Sosok ini bisanya paling suka menghujat berbagai pihak yang bisa disalahkan. Dalam kasus
asap misalnya, ia menyalahkan presiden, menteri lingkungan hidup, atau anggota DPR.
Berbekal kambing hitam tersebut ia kemudian menyerukan sebuah gerakan dan aksi. Sudah
bisa diduga, gerakan dan aksi itu hanyalah isapan jempol belaka. Karena begitu minggu
depan muncul trendic topic lain, serta-merta aksi itu menguap, ia beralih ke topik baru yang
sedang happening. Sebenarnya ia lebih pas disebut cheer leader ketimbang seorang
pahlawan.
Barangkali ada yang bergumam, apa saya nggak rugi menghambur-hamburkan waktu begitu
banyak untuk suatu hal yang sekilas tak ada gunanya: ngobrol ke sana kemari. Bagi
kebanyakan orang mungkin ya, tapi tidak bagi saya. Bagi marketer, obrolan di grup-grup WA
adalah sumber insight yang tak ada tandingannya. Dari situ bisa lahir produk-produk maupun
bisnis-bisnis hebat.
Singkatnya, di balik obrolan di grup-grup WA, terselip bongkahan-bongkahan emas. Kalau
Anda seorang marketer sejati, Anda harus jeli mengulik bongkahan-bongkahan emas
tersebut.
9
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
@yuswohady
10
Asap Tebal dan Pencitraan?
3 November 2015
”Bumi sudah tua?”
Ya, mungkin bumi sudah tua. Dalam ketuaannya mungkin daya tahannya menjadi lemah.
Gangguan sedikit mudah membuatnya tidak stabil. Lalu timbul guncangan demi guncangan.
Dan, tiap kali bumi terguncang, kita, yang menumpang hidup di bagian kulitnya, selalu
berhadapan dengan risiko. Tiap guncangan membawa bencana.
Kita menerima warisan ketuaan ini hampir tanpa sikap yang jelas. Kita tak pernah
merisaukan ketuaan bumi, Ibu Pertiwi, ibu kita, dengan kehati-hatian. Perubahan iklim
global, yang mungkin membuat bumi yang sudah tua menjadi lebih tua, tak pernah kita
gubris.
Mungkinkah ini menjadi bukti bahwa manusia tak mampu mengelola bumi yang hanya satu
ini? Mungkinkah ini meneguhkan kecemburuan pada khalifah bakal diciptakan bahwa di
bumi itu kelak khalifah tersebut, yaitu manusia, hanya akan menumpahkan darah seperti
disebut di dalam kitab?
Ini pertanyaan ruwet. Mungkin kita ini ibaratnya seperti seorang anak yang tak lagi mampu,
atau peduli, menunjukkan sikap hormat kepada ibu kita sendiri yang telah menjadi tua.
Di bumi terlalu banyak tangan. Juga, terlalu banyak kemauan. Dan, berbagai jenis
keserakahan. Ada tangan yang bersedia mengatur dengan baik, tetapi tak kurang-kurangnya
tangan yang siap membuat kerusakan.
Kita tak peduli pesan dalam kitab: ”Janganlah membuat kerusakan di bumi”. Kita
memangkas gunung tinggi, yang menjilat mega-mega, seolah ketinggiannya menyentuh
langit, hingga habis tandas. Kemudian kita gali dalam-dalam, hingga di bumi ketujuh, dan
keguncangan alam terjadi. Tapi, kita tetap membisu-tulikan diri bahwa bumi rusak bukan
karena ulah kita.
***
Jika ada yang masih ingat akan kemungkinan bahaya itu, dan menyampaikan peringatan agar
kita mengendalikan sedikit nafsu menghancurkan itu, tangan serakah itu tak peduli. Malah
jawabnya begitu angkuh: haruskah kita kembali ke zaman batu, yang dingin dan beku, untuk
membiarkan kekayaan alam tetap terpendam? Bukankah kita mengolah alam, menggali
tambang, memotong pohon-pohon di hutan, untuk kesejahteraan kita?
11
Ketika ditanyakan kepadanya, siapa yang dimaksud ”kita” di sini, niscaya dia tak pernah tahu
apa jawabnya. Kita itu maksudnya para penambang, para pemilik hak pengusahaan hutan,
yang datang dari negeri-negeri kaya, maju, dan bermodal. Mereka merampok gunung-gunung
kita dan hutan-hutan kita, dan kita hanya kebagian deritanya.
Kita tidak membuat bumi ini lestari. Kita memangkas gunung dan menggali bumi sampai
sedalam-dalamnya tanpa mengingat bahwa kita sedang menghancurkan bumi. Kita membabat
semua hutan, setandas-tandasnya, hingga hutan-hutan kita menjadi gundul. Kayu-kayu habis.
Hanya padang rumput, padang ilalang, dan semak-semak yang tersisa.
Pada musim kemarau, padang rumput, padang ilalang, dan semak-semak itu kering
kerontang. Ibaratnya gesekan ranting dengan ranting yang menimbulkan api mudah
membikin kebakaran yang melahap segalanya dalam waktu pendek. Apalagi ada tangan-
tangan jahil yang sengaja membakarnya. Di suatu tempat rumput, ilalang, dan semak-semak
kering itu dibakar. Lalu, di tempat lain dibakar lagi. Betapa mudahnya membuat kehancuran
di muka bumi.
Di dalam tradisi sastra pedalangan, digambarkan terjadi suatu ”goro-goro”, yang ditandai
”tanah retak-retak, debu tertiup angin//kemarau panjang tanpa setetes pun air, hujan angin
dan badai di musim yang salah//air laut bergejolak bagaikan siap menelan daratan/akibat
besarnya pengaruh ”goro-goro” tanah longsor, gunung tabrakan dengan sesama gunung.”
Dalam keguncangan mahadahsyat itu, seperti apa manusia? Tak tergambarkan. Dewa-dewa
pun kalang kabut. Rajanya para raja dewa segera mengambil ”cupu manik Astagina”, berisi
air kehidupan. Diteteskan pada bumi yang terkena ”goro-goro” itu dan seketika keguncangan
terkendali. Bumi menjadi aman kembali.
Kebakaran yang menelan hutan-hutan itu pun menimbulkan keprihatinan, bukan di hati
rajanya raja dewa, tetapi hatinya Presiden Jokowi. Presiden segera turun ke daerah-daerah
untuk melihat sendiri kerusakan itu secara langsung.
Ada orang daerah yang membawanya ke tempat-tempat kebakaran, di mana ada para petugas
yang sedang sibuk memadamkannya. Di sana digambarkan bahwa pemerintah daerah sangat
bertanggung jawab terhadap bencana agar tak menjadi semakin besar. Orang-orangnya
ditugaskan untuk menanganinya di lokasi kejadian. Presiden Jokowi bergembira. Dia
menunjukkan sikap senang bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab. Oh, betapa gembira
hati sang Presiden.
Komentar bermunculan. Ada yang menyebut sang Presiden turun ke lapangan sekadar untuk
membuat suatu pencitraan supaya nama baiknya terjaga, supaya citranya sebagai presiden
terpelihara. Kritik, atau lebih tepat caci maki itu, merebak. Pencitraan ditempelkan di dada
Presiden Jokowi. Tapi, kelihatannya sang Presiden tak begitu risau. Seperti yang dulu-dulu,
dalam hatinya pasti berkata: ”rapopo”. Para pengejek makin berani.
12
Tapi, bagaimana sebuah pencitraan dibuat untuk menjaga nama baik dan demi keuntungan
politiknya kalau ternyata sang Presiden sebenarnya tak terlalu percaya pada pemerintah
daerah yang terbukti cuma omong kosong?
***
Perlu dicatat, Presiden tidak membawa gitar, tidak bernyanyi ria di tengah bencana yang
menerkam negerinya. Dia datang dengan persiapan serius. Dan, suasana serbapanas dan
berasap tebal yang bergulung-gulung ke langit itu tak menarik hatinya untuk membuat puisi
atau lagu. Tak usah dibuat puisi, ini sudah menjadi sebuah puisi. Tak perlu dibuat lagu, ini
sudah jelas sebuah lagu penuh derita bagi rakyatnya. Puisi alam jauh lebih jujur, lebih liris,
lebih menyentuh dibanding puisi yang dibuatbuat. Lagu yang tercipta oleh alam semesta,
siapa bisa menandingi keindahannya?
Dia tahu, Presiden tak diharapkan menulis puisi, apalagi kalau puisinya jelek sekali. Di antara
jutaan rakyatnya, tidak ada yang mengharap sang Presiden membuat sebuah lagu karena
tugas utamanya menyaksikan sendiri, ”on the spot”, dengan ketulusan, tanpa gaya, tanpa
dibuat-buat. Dia juga tidak ingat akan apa gunanya citra dan pencitraan.
Dia melihat kembali lokasi yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah tadi pada kesempatan
lain. Di sana, ternyata, hanya ada kebakaran hutan yang sedang mengamuk, dengan asap
hitam tebal yang bergulung-gulung menjilat langit. Dan, para petugas pemadam yang
ditugaskan oleh pemerintah daerah itu lenyap. Tidak ada yang peduli bahwa hutan terbakar
habis.
Petugas tersebut hanya manusia buatan. Mereka sedang ber-”acting” atas arahan sutradara
yaitu pemerintah daerah setempat. Mereka ber-”acting” di depan pimpinan tertinggi.
Merekalah, yaitu orang-orang di dalam pemerintahan daerah tersebut, yang sedang bermain
citra dan membuat pencitraan.
Dan, Presiden yang dituduh sedang melakukan pencitraan itu?
Kata penyanyi beken Ebiet G Ade: ”tanyakan pada rumput yang bergoyang”.
Kata Presiden Jokowi? ”rapopo”.
Asap hitam tebal bergulung-gulung di langit. Dirgantara gelap gulita. Matahari tertutup,
hilang panasnya. Bulan tertutup, hilang cantiknya. Apalagi bintang-bintang (sinetron). Tapi di
sana, Presiden Jokowi melihat lokasi untuk merumus kebijakan. Melihat lokasi kebakaran,
dengan asap hitam tebal yang bergulung-gulung itu tidak ada hubungannya dengan
pencitraan. Tapi, kau dituduh begitu, ”yo rapo-po”.
13
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Badan Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,
Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: dandanggula@hotmail.com
14
Kebakaran Hutan Gambut & Global Warming
Koran SINDO
4 November 2015
Wapres Jusuf Kalla di Jakarta menyatakan, pemerintah tengah membahas upaya restorasi
gambut yang terbakar secara masif dalam beberapa bulan terakhir ini (27/10/15). Restorasi
ini diprediksi akan menelan biaya puluhan triliun rupiah. Apa boleh buat. Kebakaran hutan
gambut yang telah berlangsung hampir tiga bulan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua ini
telah menimbulkan dampak yang luar biasa. Ratusan orang tewas dan jutaan orang terserang
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat asap kebakaran tersebut.
Kebakaran hutan sepanjang 2015 ini, menurut Menko Polhukam Luhut Panjaitan, sebagai
kebakaran paling besar yang pernah terjadi di Indonesia. Menurut Luhut, salah satu
penyebabnya justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. ”Inilah kesalahan kebijakan
yang kita buat, bukan maksud menyalahkan pemerintahan yang lalu, dengan membagi-
bagikan tanah gambut,” katanya dalam pidato pembukaan Rakor Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) di Hotel Aryaduta, Jalan Prapatan, Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu
(21/10/2015).
Ia menjelaskan, tanah gambut memiliki kedalaman 5-6 meter. Jika lahan tersebut terbakar,
lalu dipadamkan di bagian permukaan, maka api di bagian bawah masih belum padam. Hal
itulah yang menyebabkan pemadaman sulit dilakukan. Upaya pemadaman yang tidak tuntas
itu lantas menimbulkan asap dan mengepung udara di sekitar kawasan kebakaran. Ditambah
angin yang bertiup kencang, dampak asap semakin meluas, dirasakan hingga ke negara-
negara tetangga.
Apa yang dikatakan Pak JK dan Pak Luhut benar. Kabut asap yang menerjang beberapa
wilayah di Sumatera dan Kalimantan sebagian besar kalau tak bisa dikatakan seluruhnya
berasal dari kebakaran lahan gambut. Ratusan bahkan ribuan titik api menebar ”teror” di
berbagai kawasan lahan gambut di kedua pulau tersebut.
Terornya tak hanya berupa asap beracun yang bisa menimbulkan ISPA dan pneumonia yang
menimbulkan kematian manusia, tapi juga gelapnya udara yang bisa menimbulkan
kecelakaan kendaraan bermotor dan pesawat terbang serta terlepasnya karbon dioksida dalam
jumlah yang amat besar ke atmosfer sehingga meningkatkan suhu bumi.
***
Gambut terbentuk dari material organik seperti dedaunan, cabang, batang, dan akar tumbuh-
tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, keasaman tinggi,
15
dan sedikit oksigen di suatu areal dalam jangka waktu yang lama, ratusan sampai ribuan
tahun. Lahan gambut secara global menyimpan setidaknya 550 gigaton karbon, setara dengan
seluruh biomas terestrial lainnya (hutan, rerumputan, perdu, dan lainnya) dan dua kali lipat
dari seluruh karbon yang tersimpan di hutan secara global. Lahan gambut di wilayah sub
(kutub), memiliki simpanan karbon rata-rata 3,5 kali lipat, di wilayah boreal (tundra) 7 kali
lipat, dan di wilayah tropis bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat dari jumlah karbon yang
tersimpan di atas permukaan tanah mineral.
Dengan demikian, peran gambut terkait isu pemanasan global adalah sangat penting, karena
kerusakan lahan gambut menyebabkan fungsinya sebagai penyimpan karbon menjadi
terganggu. Itulah sebabnya, sejumlah pakar lingkungan menganggap lahan gambut sebagai
”pendingin netto” iklim bumi (CKPP, 2008). Masalahnya, lahan gambut sangat ”labil”. Jika
terganggu (karena land clearing, drainase, dibakar, dll.), lahan gambut fungsinya berubah
total. Dari semula sebagai penyerap karbon (carbon sink), berubah menjadi pelepas karbon
(carbon emitter). Ketika berfungsi sebagai pelepas karbon, lahan gambut menjadi kontributor
besar dalam kenaikan suhu bumi (global warming).
Luas lahan gambut di Asia Tenggara sekitar 27 juta hektare atau sekitar 12% dari luas
keseluruhan kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki sekitar 20,6 juta hektare, Malaysia
2 juta hektare, dan Papua Nugini sekitar 2,6 juta hektare. Ketebalan gambut di Indonesia
diperkirakan rata-rata 3-5 meter di Indonesia bagian barat, sementara di Indonesia bagian
timur mencapai 1-2 meter. Di Malaysia dan Brunei, ketebalan rata-rata 3 meter, sedangkan di
Papua Nugini sekitar 1,5 meter.
Lahan gambut Asia Tenggara memiliki kepentingan khusus untuk kelangsungan hidup
berbagai jenis satwa, seperti orangutan, harimau sumatera, badak sumatera, serta jenis-jenis
lain yang sudah terancam punah secara global, seperti mentok rimba dan buaya senyulong
yang memiliki populasi kecil dan terbatas pada ekosistem hutan rawa gambut. Di samping
itu, habitat air hitam (gambut) tropis memiliki keanekaragaman hayati ikan dan satwa akuatik
lain yang memiliki tingkat keunikan tinggi. Sebagai contoh, di Danau Sentarum, Kalimantan
Barat, diketahui ada 25 jenis ikan baru (bagi ilmu pengetahuan).
Sementara itu, di Selangor Utara ditemukan sekitar 100 jenis ikan, di mana 50% di antaranya
hanya ditemukan di ekosistem air hitam. Di tempat yang sama juga ditemukan setidaknya
173 jenis burung, di mana 145 jenis di antaranya merupakan jenis-jenis endemik.
Hutan rawa gambut juga merupakan tempat hidup penting bagi berbagai jenis tumbuhan.
Penelitian menunjukkan tidak kurang dari 800 jenis tumbuhan telah teridentifikasi di hutan
rawa gambut Malaysia barat, sedangkan di Sumatera tidak kurang dari 300 jenis tumbuhan
telah teridentifikasi di hutan rawa gambutnya. Beberapa di antaranya memiliki nilai ekonomi
tinggi, seperti ramin (Gonystylus Bancanus), jelutung (Dyera lowii), meranti (Shorea spp),
dan geronggang (Cratoxylun glaucum). Di Taman Nasional Berbak, Jambi, yang merupakan
salah satu habitat hutan rawa gambut alami yang masih tersisa, juga ditemukan tidak kurang
dari 260 jenis tumbuhan. (CKPP, 2008).
16
***
Gambaran di atas sekadar menunjukkan betapa pentingnya lahan gambut dalam menyangga
ekosistem bumi. Lahan gambut yang selama ini terabaikan karena dianggap tak punya nilai,
juga berperan besar dalam menyangga emisi karbon. Karena itu, merusak lahan gambut (baik
yang berupa hutan maupun lahan), sama artinya dengan merusak ekosistem bumi yang amat
besar pengaruhnya pada perubahan iklim global.
Saat ini hampir 90% hutan rawa gambut di Asia Tenggara berada dalam ancaman drainase,
konversi, dan pembalakan. Antara tahun 1985 dan 2005, lahan gambut dibalaki hingga rata-
rata 1,3% per tahun; dengan catatan tertinggi di Kalimantan Timur (2,8%) dan terendah di
Papua (0,5%). Sejauh ini diperkirakan 45% areal hutan gambut di Asia Tenggara telah rusak
akibat pembangunan perkebunan, drainase, deforestasi, dan pembalakan. Sebanyak 45%
lainnya juga rusak akibat kegiatan pembalakan selektif dan drainase.
Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan survei Wahyunto (2005), luas lahan gambut di
Indonesia sekitar 20,6 juta hektare atau 10,8% luas daratan Indonesia. Sebagian besar lahan
gambut terdapat di Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Sayangnya, lahan gambut tersebut kini
sedang ”dirusak” secara besar-besaran untuk perkebunan, persawahan, dan lain-lain. Dengan
demikian, alih-alih lahan gambut menjadi pendingin neto iklim bumi, yang terjadi adalah
kebalikannya: menjadi pemanas iklim bumi.
Bila saat ini kita menyaksikan gumpalan asap dari lahan dan hutan gambut yang terbakar di
Sumatera dan Kalimantan yang menyengsarakan rakyat, percayalah kesengsaraan rakyat akan
bertambah lagi di masa depan karena besarnya emisi karbon yang keluar dari lahan gambut
yang terbakar tersebut.
Tercatat, di Asia Tenggara lebih dari 2.000 juta ton karbon dioksida diemisikan per tahun
akibat kerusakan lahan gambut, 90% di antaranya dari lahan gambut Indonesia. Dengan
banyaknya lahan gambut yang rusak (terbakar, konversi, drainase, dan lain-lain), komitmen
Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sampai 26% tahun 2020 (seperti dijanjikan SBY)
sulit tercapai. Bagaimana strategi Jokowi untuk merealisasikan komitmen Indonesia tersebut.
Pemerintah sudah tahu siapa saja para pembakar hutan gambut tersebut, juga sudah tahu siapa
yang merusak ekosistem gambut tersebut. Sekarang tinggal keberanian pemerintah untuk
menindaknya secara tegas. Indonesia perlu membuktikan bahwa komitmen mengurangi emisi
karbon 20% tahun 2020 tetap konsisten!
NYOTO SANTOSO
Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB
17
Kearifan Pemimpin dan Rakyat
Koran SINDO
5 November 2015
Hari-hari ini polemik tentang hate speech atau ujaran kebencian menyeruak dalam ruang
publik. Polemik dipicu oleh surat edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Kapolri bernomor
SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech. Pokok isi SE
mengatur bahwa setiap orang yang melakukan ujaran kebencian dapat diproses/ditindak
secara hukum.
Pro-kontra penerbitan SE tersebut tak dapat dihindari. Pihak yang kontra menilai SE
merupakan upaya rezim untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi di
ruang publik. Umumnya pihak yang kontra mengaitkan dengan upaya pemerintah untuk
melindungi kekuasaan dan meredakan kritik publik yang kian kuat atas pelbagai
permasalahan yang mendera bangsa dan tak kunjungi tertangani secara efektif.
Sebaliknya, pihak yang pro menilai SE tersebut merupakan upaya penegak hukum dan
pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan ruang publik untuk menebar kebencian (fitnah,
kata-kata kotor, serapah, dan sebagainya) yang dapat memicu lahirnya tindak kekerasan,
konflik komunal, dan ihwal yang mengoyak rasa kebangsaan. SE berlaku untuk siapa saja
warga negara yang merasa dirugikan dan utamanya diberlakukan di daerah-daerah rawan
konflik.
Penulis termasuk yang memberi catatan lahirnya SE ini agar jangan sampai menjadi alat
(disalahgunakan) untuk memasung demokrasi dan kebebasan rakyat untuk berpendapat.
Betapa pun dalam kacamata positif tentu kita tidak setuju dan tidak membenarkan setiap
ujaran kebencian.
Jangan sampai lahirnya SE ini memunculkan kesan bahwa pemerintah sedang mencari cara
untuk membungkam kritisisme rakyat seperti kesan kuat yang pernah muncul dulu saat
pemerintah berencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.
Jika itu yang terjadi, ada yang perlu diingatkan kembali tentang hakikat kepemimpinan
karena pemimpin adalah tempatnya berkeluh kesah, menuntut, mengkritik, bahkan
ketaksukaan yang harus dijawab dengan kinerja dan pelayanan. Apalagi, dalam kondisi
ekonomi yang sulit saat ini, berkelindan dengan kebijakan pemerintah yang dipersepsi justru
menambah beban masyarakat sehingga kritisisme publik adalah hal yang lumrah.
Kearifan Pemimpin
18
Pemimpin dalam kepolitikan yang demokratis hanyalah bermakna primus interpares (satu
yang terpilih di antara seluruh rakyat). Pemimpin hanyalah orang yang kebetulan
mendapatkan suara terbanyak dibandingkan kompetitor dalam sebuah kontestasi pemilihan.
Pemimpin di sini tentu bukan hanya Presiden-Wapres, tapi juga pejabat publik lainnya
termasuk kepala daerah, DPR, DPD, DPRD, dan sebagainya.
Mengingat ia dipilih rakyat dan tidak semua rakyat memilihnya, tentu tidak dapat dihindari
ada kelompok kritis, kelompok oposisi, bahkan kelompok yang tidak suka (haters). Pun, bagi
para pendukung (supporters) ia tetap harus menunggu (wait and see) realisasi janji-janji
semasa kampanye dan profesionalitasnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
bangsa. Supporters pun bisa saja berbalik menjadi haters--atau sekurang-kurangnya kecewa--
pada pemimpin pilihannya akibat kebijakannya yang dinilai tidak benar dan merugikan
rakyat.
Kegagalan dalam menangkap esensi kepemimpinan ini acapkali menjerumuskan pemimpin
dalam sifat hipokrit dalam segenap kebijakannya. Bukan merespons positif segala bentuk
kritisisme publik--termasuk yang terekspresi dalam bentuk kekecewaan, bahkan kemarahan--
tapi justru berusaha membungkamnya atau menakut-nakuti rakyatnya. Akibatnya terjadi
relasi yang tidak kondusif dalam perspektif demokratisasi antara pemimpin dan rakyatnya.
Seorang pemimpin dan pejabat publik seyogianya mengedepankan kearifan dalam memimpin
karena esensi kepemimpinan adalah keteladanan dan pelayanan. Ia tak akan mudah
tersinggung, apalagi mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif bagi rakyat yang
dipimpinnya. Bahwa ia mengampu kewenangan untuk mengatur dan mengurus hal itu harus
diarahkan semata-mata untuk kepentingan nasional, bukan kepentingan kekuasaan.
Di sinilah, SE Penanganan Ujaran Kebencian itu harus diletakkan. Ia semata-mata
dimaksudkan untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik dan kondusif, mendorong
karakter bangsa yang positif, serta dalam menjaga nasionalisme Indonesia yang makin
produktif. Ia harus mampu menumbuhkan kesadaran kewargaan (citizenship) yang
bertanggung jawab, yang tidak hanya didorong melalui pendekatan represif (hukum), tapi
jauh lebih efektif melalui pendekatan preventif dan persuasif (melalui edukasi dan lainnya).
Untuk itu, keteladanan pertama-tama harus ditunjukkan oleh para elite dan pemimpin melalui
kata dan kebijakannya. Jangan sampai pemimpin justru mengeluarkan kebijakan yang
memicu ”kebencian” di kalangan rakyat.
Kearifan Rakyat
Sebaliknya, rakyat juga harus memiliki kearifan sebagai sebuah bangsa. Jangan mudah
mengumbar ujaran kebencian, kata-kata kasar, kotor, umpatan di ruang publik karena kita
adalah (cermin) apa yang kita katakan dan lakukan. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa
tumbuh menjadi hebat jika pikiran, ucapan, dan perilaku kita dijejali dengan ihwal negatif
dan kebencian.
19
Betapa pun kita berbeda pandangan, kita tidak suka, bahkan kita kecewa terhadap siapa pun
terlebih kepada elite dan pemimpin, sampaikan itu dengan baik dan elegan, dengan
mengemukakan data dan fakta yang sahih sehingga dapat membuka mata dan mencerdaskan
publik.
Di sisi lain, kita juga harus mengapresiasi dan mendukung kebijakan pemerintah/pemimpin
yang positif bagi kesejahteraan rakyat. Lebih dari itu, kita harus aktif mendorong dan
mempromosikan kebijakan negara yang makin berkualitas dan pro-rakyat.
Kita butuh kelompok kritis dan masyarakat penagih janji yang tumbuh mempersamai
demokrasi karena dari sana akan lahir relasi pemerintah dan rakyat yang makin akuntabel.
Para pemimpin harus menangkap esensi ini sehingga semakin arif dalam merespons dinamika
masyarakat dan tidak gegabah dalam menjalankan kebijakan yang setback demokrasi. Tentu
kita semua berharap itu tidak terjadi.
JAZULI JUWAINI
Ketua Fraksi PKS DPR RI
20
Investasi Anak vs Kemiskinan
Koran SINDO
5 November 2015
Investasi orang tua terhadap anak adalah segala usaha, aktivitas, atau alokasi sumber daya
keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan
menjadi individu yang produktif dan sejahtera saat dewasa. Investasi dalam perkembangan
anak sejak usia dini merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi anak untuk berkembang
secara optimal sesuai potensinya. Selain itu, investasi dalam perkembangan anak usia dini
juga berkaitan dengan nilai sosial dan moral, serta ada sumbangan ekonomi kelak bila anak
dewasa.
Investasi bagi pengembangan anak sejak usia dini diyakini memberikan manfaat besar bagi
suatu bangsa, termasuk dalam pengurangan angka kemiskinan. Melalui layanan pendidikan
anak usia dini (PAUD), akan dihasilkan generasi yang berkualitas sehingga warisan
kemiskinan dari keluarga miskin dapat diputuskan.
Promosi pengurangan tingkat kemiskinan dan pembangunan yang berfokus pada anak
mencuat dalam konferensi internasional keempat yang bertema “Perkembangan Anak dan
Pengurangan Kemiskinan” yang digelar ARNEC (Asia-Pacific Regional Network Early
Childhood) di Beijing 21 Oktober 2015.
***
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak
sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD akan melahirkan bangsa yang
cerdas secara komplet, bukan sekadar cerdas intelektual.
PAUD harus menjadi titik sentral strategi pembangunan SDM yang sangat fundamental.
Anak usia dini sedang berada dalam periode golden age, pertumbuhan dan perkembangannya
sangat cepat, tetapi sekaligus dalam posisi rawan karena ancaman malnutrisi. Keberhasilan
anak pada masa mendatang dicerminkan oleh upaya-upaya pendidikan yang diberikan orang
tua dan lingkungannya pada masa usia dini.
Saat ini kompetensi sebagian besar guru PAUD masih belum memadai. Banyak di antara
mereka tidak berasal dari latar belakang pendidikan PAUD dan belum memperoleh pelatihan
yang berkaitan dengan konsep dan ilmu praktis tentang PAUD. Hanya sekitar 16% guru
PAUD bergelar sarjana.
21
Pada 2016 jumlah anak usia 0-6 tahun diperkirakan 35,6 juta jiwa. Kebutuhan PAUD
diperkirakan mencapai 550.000 dan kini jumlah PAUD baru mencapai sekitar 170.000.
Kesenjangan ini harus diatasi baik oleh pemerintah ataupun usaha swadaya masyarakat agar
anak-anak usia balita dapat memperoleh stimulasi untuk mendukung tumbuh-kembangnya.
Pada 2015 ini PT Nestle Indonesia sedang melakukan kegiatan pelatihan (training) guru
PAUD di 17-18 kota. Kegiatan yang bertajuk “Gerakan Senam Tanggap” mengupas materi
tentang pentingnya gizi dan stimulasi bagi siswa PAUD. Ini wujud konkret peran swasta
dalam membantu PAUD menyiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
Di dalam training ini guru-guru PAUD dibekali dengan modul materi gizi dan stimulasi,
poster, dan latihan senam tanggap yang kemudian disosialisasikan kepada siswa PAUD dan
orang tuanya. Kegiatan senam dipilih agar anak-anak bisa menyukai aktivitas fisik sehingga
ancaman obesitas dapat ditekan.
Saat ini sudah banyak anak usia dini mulai dikenalkan dengan gadget oleh orang tuanya.
Mungkin gadget bisa mengasah aspek kognitif anak, namun aspek lainnya terabaikan seperti
aspek motorik atau sosial. Anak hanya sibuk dengan gadget-nya dan kurang bersosialisasi
dan aktivitas fisik juga akan semakin jarang dilakukan.
Indonesia begitu lama mengabaikan PAUD, perhatian baru diberikan pasca-deklarasi Dakkar
pada 2000. Pemerintah melalui Depdiknas kemudian meresponsnya pada 2002. Dalam
usianya yang kini baru menginjak 13 tahun sesungguhnya PAUD di Indonesia sudah relatif
berkembang pesat dalam hal jumlah.
Pendidikan anak usia dini akan mengembangkan kecerdasan anak, karakter positif yang
menonjol, didukung oleh kesehatan dan gizi yang optimal akan meningkatkan kemampuan
seorang anak untuk menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Ini akan mendukung
terbentuknya angkatan kerja yang berkualitas, bukan angkatan kerja minim keterampilan
seperti yang kini dipunyai para TKI yang bekerja di negeri jiran.
Melalui PAUD pendidikan karakter dapat ditekankan. Kejujuran, kedisiplinan, etos kerja
keras, mau mengakui kelebihan orang lain, legawa menerima kekalahan adalah dagangan
langka di republik ini. Bila tidak sejak dini anak-anak kita diperkenalkan dengan karakter
positif, bangsa ini akan terus berkubang dengan karakter negatif (ketidakjujuran, hanya
pandai mengkritik, malas antre, enggan mengakui kesalahan, dan lainnya).
PAUD hanyalah satu mata rantai untuk mewujudkan SDM yang bermutu. Telah disadari
bahwa kualitas SDM yang rendah, meski suatu negara kaya akan sumber daya alam, akan
menyebabkan perjalanan bangsa terus tergerus persoalan kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan.
Kemiskinan secara konvensional diartikan sebagai kondisi terbatasnya daya beli sehingga
akses terhadap sandang, papan, dan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam makna yang lebih
22
luas, kemiskinan juga merujuk pada keterbatasan untuk berinteraksi secara sosial dengan
lingkungannya.
Deklarasi Copenhagen yang dirumuskan dalam UNs World Summit on Social Development
menjelaskan fenomena kemiskinan sebagai deprivasi kebutuhan dasar manusia yang tidak
hanya menyangkut sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses terhadap pendidikan,
fasilitas kesehatan, air bersih, dan informasi.
Ada dua jenis kemiskinan. Pertama, kemiskinan absolut yaitu apabila seseorang atau
sekelompok masyarakat hidup di bawah nilai batas kemiskinan tertentu. Garis kemiskinan
absolut berlaku lintas negara. Artinya, seseorang di mana pun dia tinggal, untuk
mempertahankan kehidupannya dia memerlukan sejumlah kebutuhan dasar yang sama.
Kemiskinan absolut seringkali digunakan sebagai pembanding kemajuan bangsa-bangsa di
dunia, dan juga dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan program pengentasan
kemiskinan.
Kedua, adalah kemiskinan relatif. Kemiskinan jenis ini hanya membandingkan posisi
kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat dengan masyarakat lain di
lingkungannya. Misalnya, pegawai negeri secara relatif lebih makmur kehidupannya daripada
para petani.
Kemiskinan merupakan resultant proses ekonomi, politik, dan sosial yang saling berinteraksi.
Kelangkaan lapangan kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mengunci
masyarakat dalam kemiskinan material. Sebab itu, menyediakan kesempatan kerja, melalui
pertumbuhan ekonomi makro dan mikro, akan menjadi salah satu exit strategy mengatasi
kemiskinan.
Dunia yang kurang adil telah menyebabkan kemiskinan semakin sulit teratasi. Kemiskinan
menjadi persoalan dunia, bukan hanya persoalan bangsa Indonesia. Dari 6 miliar penduduk
bumi, 2,8 miliar di antaranya hanya berpenghasilan kurang dari 2 dolar sehari. Sekitar 1,2
miliar hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dolar per hari. Kalau di negara kaya, hanya 1
dari 100 balita yang tidak dapat melangsungkan hidupnya. Di negara miskin, 20 anak dari
100 balita mati sebelum menginjak usia lima tahun. Mewujudkan pendidikan anak sejak usia
dini hingga mereka mampu mandiri kelak harus menjadi kebutuhan karena melalui
pendidikanlah mata rantai kemiskinan akan dapat diputuskan.
ALI KHOMSAN
Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi IPB
23
Kampoeng BNI di Pulau Buru
05-11-2015
Saya ajak Anda menengok ke sebuah pulau di belahan timur Indonesia. Namanya Pulau
Buru. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama pulau ini? Mungkin ada
beberapa.
Pertama, pulau yang dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde Baru, yang
hidup bersama-sama dengan para transmigran asal Jawa. Kedua, mungkin Pramoedya Ananta
Toer, salah seorang tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru. Selama di sana, Pram,
begitu panggilannya, menulis beberapa novel semifiksi. Di antaranya Gadis Pantai, Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram terkenal karena pemikirannya yang kritis dan
korektif terhadap Orde Baru.
Sampai saat ini, kalau berkunjung ke sana, saya masih bertemu rekan-rekan Pram yang sudah
tak memiliki sanak keluarga di Pulau Jawa dan memilih tinggal di sana. Sambil ngopi di sore
hari, kadang mereka bercerita tentang hari-hari panjang dalam tahanan dan bagaimana
mereka menyelamatkan manuskrip karya Pram. Namun sesungguhnya yang membuat karya-
karyanya menjadi terkenal adalah kekhawatiran berlebihan dari Orde Baru sehingga melalui
Kejaksaan Agung, pemerintahan Soeharto melarang peredaran karya-karya Pram.
Masyarakat negeri kita itu unik. Jika ada sesuatu yang dilarang, ia malah dicari-cari. Begitu
pula dengan karya-karya Pram. Kini, setelah semua karya Pram bebas beredar di toko-toko
buku dan pemikirannya menginspirasi banyak orang, ternyata tak terjadi gejolak di
masyarakat kita. Juga biasa saja responsnya.
Tumbuh di Atas Emas
Baiklah kita kembali ke Pulau Buru. Ketiga, pulau ini terkenal dengan pohon kayu putihnya.
Itu sebabnya minyak kayu putih buatan Pulau Buru sangat disukai. Harum dan hangatnya
tahan lama.
Keempat, ini yang menjadi kepedulian saya, hadirnya emas yang bukan hanya memicu
kerusakan lingkungan di sana, tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial besar-
besaran. Di Pulau Buru, emas semula hanya ditemukan di kawasan Gunung Botak. Tapi,
belakangan, emas juga ditemukan di empat kawasan lain. Hadirnya emas membuat para
petani dan anak-anaknya meninggalkan sawah dan ladang mereka.
Emas yang dikelola penambang liar diolah dengan menggunakan air raksa dan merkuri.
Penggunaan dua bahan kimia itu membuat sungai-sungai dan pantai tercemar. Di Teluk
24
Kayeli di Kabupaten Buru, banyak ikan yang mati akibat tercemar oleh air raksa dan merkuri.
Masyarakat luar mendengar kabar ini. Mereka pun enggan membeli ikan dari nelayan-
nelayan di Pulau Buru. Nelayan di sana pun merana.
Emas memanjakan mimpi masyarakat adat yang ingin kaya mendadak. Anak-anak remaja
meninggalkan bangku sekolah untuk berburu emas. Mereka yang beruntung menemukan
emas segera membangun rumah-rumah baru di atas lahan sawah yang terus menyusut akibat
ditinggalkan petani dan anak-anaknya. Mereka membeli sepeda motor dan berbagai barang
elektronik lainnya. Adapun yang lainnya mati terkubur timbunan lubang-lubang tambang.
Bersamaan dengan itu, tak jarang terjadi konflik. Perang antarsuku nyaris pecah. Sementara
penyakit seksual menular pun marak karena para cukong perlu menjaga stamina buruh-buruh
bawaannya yang didatangkan dari jauh. Itulah potret perubahan sosial di Pulau Buru.
Pohon kayu putih yang tumbuh di atas emas itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Bahkan
tanahnya digerus karena dicurigai ada emas di bawahnya. Padahal, pohon kayu putih tumbuh
alami, pemberian Tuhan yang tak perlu dibibitkan. Perubahan itu hingga kini masih terus
bergulir dan saya tidak tahu sampai di mana ujungnya. Tapi, sejujurnya, saya merasa sangat
tidak nyaman dengan perubahan yang berakibat buruk dan terus terjadi akibat adanya
pembiaran. Lalu, mesti bagaimana?
Kampoeng BNI
Melalui Rumah Perubahan, sudah sejak beberapa tahun lalu kami mulai terlibat dalam
sejumlah aktivitas pemberdayaan masyarakat di Pulau Buru. Beruntung saya mendapatkan
dukungan dari Bank BNI Tbk. Bersama-sama kami mengembangkan Kampoeng BNI
(KBNI) di Pulau Buru.
Saya paparkan apa saja yang sudah dan akan kami kerjakan di sana. Bank BNI, melalui
kegiatan corporate social responsibility (CSR)-nya, mendonasikan lebih dari seratus ekor
sapi untuk menambah sapi-sapi yang sudah kami pelihara bersama masyarakat. Anda tahu,
kegiatan CSR semacam ini kalau landasannya hanya charity, hasilnya akan langsung
menguap. Hilang tanpa bekas. Untungnya Bank BNI tidak begitu. Konsepnya adalah
pengembangan komunitas grass root.
Untuk mengelola sapi-sapi bantuan Bank BNI tersebut, kami pun menerapkan sistem gaduh.
Apa itu? Sederhana saja. Sapi-sapi itu kami titipkan kepada keluarga-keluarga yang ada di
sana untuk dipelihara. Ketika berkembang biak, anak pertama dari sapi tersebut menjadi jatah
mereka. Ketika sapi tersebut melahirkan lagi, anak keduanya kami jadikan modal bergulir,
dipinjamkan lagi ke keluarga yang belum memperoleh bagian. Begitu seterusnya.
Sistem gaduh sapi ini tidak berdiri sendiri. Kami juga mengajari masyarakat di sana untuk
memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber bahan baku biogas. Biogas itu dijadikan sumber
energi yang dipakai untuk penerangan dan bahkan memasak. Saat ini kami sedang
25
membangun instalasi penyulingan minyak kayu putih kedua dengan menggunakan biogas
sebagai bahan bakarnya. Kelak, kalau ingin menyuling minyak kayu putih, mereka tak perlu
menebangi pohon hanya untuk mendapatkan kayunya. Jadi, akan jauh lebih efisien, karena
tak perlu mengeluarkan biaya untuk bahan bakar.
Itulah, antara lain, yang kami lakukan di Pulau Buru melalui konsep Kampoeng BNI. Di luar
itu, Anda akan dengan mudah menemukan kampoeng-kampoeng lain yang dikembangkan
BNI di berbagai daerah di Indonesia. Di Subang, misalnya, ada KBNI Peternakan Sapi. Di
Ciamis ada KBNI jagung manis. Di Rembang ada KBNI Batik Lasem Rembang, lalu KBNI
Ikan Nila di Ponorogo, dan seterusnya. Daftarnya sangat panjang.
Saya punya catatan soal ini. Kalau melihat konsepnya, KBNI setidak-tidaknya memiliki dua
kata kunci. Pertama, KBNI adalah program pemberdayaan masyarakat melalui penyaluran
kredit atau bantuan lainnya dengan sistem kluster. Melalui sistem ini, setiap kluster kelak
diharapkan memiliki berbagai macam produk unggulan yang menjadi ciri khas suatu
daerah. Pulau Buru, misalnya, akan memiliki minyak kayu putih sebagai produk
unggulannya.
Kata kunci kedua dibangun atas prinsip community enterprise. Apa itu? Apa bedanya dengan
social enterprise? Social enterprise adalah wirausaha sosial, tetapi didirikan dan dimiliki oleh
individu. Sementara community enterprise adalah lembaga wirausaha yang didirikan dan
dimiliki oleh komunitas. Lembaga ini bertujuan menyelesaikan sendiri permasalahan yang
mereka hadapi. Kalau mau disederhanakan, konsep community enterprise ini agak mirip
dengan koperasi.
Dengan konsep kluster dan komunitas, tak mengherankan kalau kita menemukan KBNI ada
di mana-mana, sebagaimana sudah saya sebutkan sebagian di atas. Dan saya berharap daftar
KBNI akan terus bertambah panjang dan menyebar di mana-mana. Kita perlu menjaga terus
”roh” BUMN sebagai agen pembangunan dan saya senang Menteri BUMN kita tak
melupakan peran ini, apalagi itu di Indonesia timur yang telah banyak memberi tanpa pernah
meminta.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
26
Pak Raden dan Kisah Multikulturalistik
Koran SINDO
6 November 2015
Jumat, 30 Oktober, tepat seminggu yang lalu, Indonesia kembali kehilangan seniman
“dongeng” paling berpengaruh dalam perkembangan seni, terutama di kalangan anak-anak
era 80-an. Pak Raden alias Suyadi adalah seniman senior sekaligus pencipta kisah boneka
kayu “Si Unyil”, sebuah film seri televisi Indonesia produksi PPFN. Kisah cerita si boneka
kayu ini adalah legenda bagi semua anggota generasi 80-an sampai awal 90-an.
Legenda Unyil
Sedikit bercerita, kisah Si Unyil yang diciptakan Pak Raden, alumnus Seni Rupa ITB ini,
diilhami dari pertunjukan wayang atau boneka kayu anak-anak di Prancis. Karakter boneka
anak tersebut dinamai Guignol. Ia tokoh boneka yang diciptakan pada 1808 oleh Laurent
Mourguet, seorang marionnettiste (dalang perempuan). Sampai saat ini Guignol masih
digunakan sebagai hiburan anak-anak melalui pertunjukan di teater Guignol. Ia juga menjadi
ikon atau maskot Kota Lyon, Prancis. Antusiasme anak-anak Lyon untuk menikmati hiburan
Guignol ini masih sangat tinggi sampai sekarang.
Setelah beberapa kali menyaksikan pertunjukan Guignol, memang cukup berbeda dengan
legenda Si Unyil. Pentas Guignol adalah murni sebagai ajang hiburan anak-anak Kota Lyon
dan sekitarnya, tempat pusat teater Guignol berada. Dari segi ide cerita, hampir tidak ada
muatan edukasi di dalamnya. Cerita Guignol sebatas cerita-cerita ringan anak-anak. Berbeda
dengan kisah Si Unyil.
Dalam beberapa cerita, kisah Unyil memang memiliki muatan ideologis dan muatan politis
tertentu. Ketika saat itu, Orde Baru masih berjaya, ia pun menggunakan media film anak-
anak untuk mempertahankan eksistensinya. Melalui Unyil, pemerintah juga turut
menyosialisasikan banyak program atau kebijakannya seperti Keluarga Berencana, ajakan
melakukan ronda malam, sekolah, dan lainnya. Ini tidak berbeda dengan kisah Guignol pada
masa awal kemunculannya. Guignol juga menjadi instrumen politik pemerintah Prancis di
kala itu.
Kisah Unyil sangat menghegemoni jagat hiburan anak-anak di eranya, ketika stasiun televisi
swasta belum bertaburan seperti sekarang. Sosialisasi kebijakan pemerintah melalui media
anak-anak ini pun kemudian menjadi sangat masif. Terbukti, kisah Si Unyil sangat
melegenda sampai sekarang meski ia tayang terakhir kali awal era 90-an di TVRI.
27
Ketika stasiun RCTI dan TPI mencoba menayangkan kembali kisah ini, respons anak-anak
pun tidak sebagus ketika ditayangkan di TVRI. Ini karena jagat hiburan anak-anak telah
berubah mulai era 90-an. Hiburan anak-anak telah digantikan film-film kartun impor:
Doraemen, He-man, Sailormoon, Shinchan, Naruto, dan yang lain. Nyaris, mulai era ini,
anak-anak kehilangan banyak hiburan bernuansa “Indonesia” yang penuh muatan pendidikan
nilai.
Multikultural
Kisah Unyil bukan sekadar “kisah ideologis” dan “politis”. Legenda ini juga mengisahkan
kehidupan sosial yang harmonis meski dihiasi banyak perbedaan. Ada tokoh Unyil, Ucrit,
Usro, dan Meilani (keturunan Tionghoa) sebagai tokoh utama, Bu Bariah si tukang gado-
gado, ada Pak Raden (tokoh dari golongan ningrat), Pak Ableh dan Pak Ogah si penjaga pos
ronda (sebagai tokoh kelas bawah), ada Pak Kades dan Hansip yang menggambarkan
karakter aparat pemerintah.
Keragaman karakter sosial ini menunjukkan bagaimana kisah Si Unyil ingin mengajarkan
kepada anak-anak di era itu untuk menghargai perbedaan. Perbedaan kelas sosial adalah hal
yang paling tampak dalam film ini, serta perbedaan suku bangsa, sampai bagaimana Unyil
menjalin hubungan pertemanan dengan orang Tionghoa (Meilani). Ini terobosan besar yang
dibuat Pak Raden ketika isu rasial (Tionghoa) menjadi isu sensitif di masa Orde Baru. Kerja
sama yang baik ditunjukkan dalam film ini melalui ajakan kerja bakti, ronda malam atau
siskamling yang menjadi “ikon” Orde Baru.
Saat ini kita merindukan film-film sekelas Unyil yang mampu menghiasi dunia anak-anak era
2000-an dan sesudahnya. Saat ini media televisi lebih banyak mengumbar film-film impor
yang sarat dengan adegan kekerasan dan beberapa bagian bahkan disensor. Keberadaan
“bagian yang disensor” ini sebenarnya menunjukkan bahwa film-film impor tersebut tidak
layak tayang di Indonesia. Ini belum termasuk sinetron anak-anak, tapi bercampur dengan
gaya hidup orang dewasa yang tidak layak konsumsi.
Saat ini ada kisah “Ipin dan Upin” yang berhasil menarik minat anak-anak di Indonesia untuk
menontonnya. Secara umum semua substansi film ini hampir sama dengan Si Unyil, berlatar
cerita kehidupan anak-anak: kehidupan di sekolah, rumah, bahkan aktivitas mereka ketika
tidak bersekolah. Sayang, film ini berbahasa Melayu (Malaysia). Sementara film kartun
bertema sama berbahasa Indonesia justru kurang menarik minat anak-anak.
Kejayaan dan keindahan masa anak-anak seolah telah usai ketika media televisi sudah tidak
lagi menunjukkan keramahannya pada dunia anak. Tontonan untuk mereka telah bercampur
dengan tontonan orang dewasa. Anak-anak pun lebih familier dengan lagu-lagu dewasa
daripada lagu anak-anak.
Era 80-an adalah era emas anak-anak Indonesia. Pada masa itu kita telah dihibur oleh hasil
karya Pak Raden yang tayang setiap Minggu pagi dalam bentuk karya film boneka. Sangat
28
disayangkan, masa-masa terakhir kehidupan Pak Raden cukup memprihatinkan untuk
seorang seniman besar yang diakui dunia dengan karya besarnya yang bisa dinikmati lebih
dari satu dekade. Setelah lama tidak muncul di pemberitaan media, tokoh Pak Raden kembali
mencuat, namun dengan berita “Pak Raden Meninggal Dunia”. Kita pantas berterima kasih
pada Pak Raden. Selamat jalan Pak Raden.
NANANG MARTONO
Dosen Sosiologi Pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; Kandidat PhD
Sosiologi Pendidikan, Universite de Lyon 2, Prancis
29
Dari Penjara ke Penjara
06-11-2015
Penjara itu membatasi dan merampas seseorang untuk bergerak secara leluasa dan bebas. Jika
yang dimaksudkan gerak adalah gerak fisik, yang namanya penjara tentu saja berupa
bangunan fisik dengan tembok tebal dan tinggi, disertai kawat berduri.
Tidak cukup itu saja, melainkan ada penjaganya lengkap dengan senjata mengawasi selama
24 jam. Bahkan banyak penjara yang dibangun di wilayah yang lokasinya sulit dijangkau
karena terletak di pulau terpencil agar pengamanannya lebih mudah andaikan ada tahanan
yang berusaha melarikan diri. Sebut saja Penjara Nusakambangan.
Tapi di sana juga ada penjara non-fisik yang menghalangi seseorang bergerak bebas, baik
secara fisik maupun intelektual. Ketika salah memilih sekolah dan lingkungan pergaulan, bisa
jadi seorang remaja tanpa sadar sudah melangkah terseret ke penjara sosial. Masih beruntung
kalau dia mampu mengubahnya menjadi tempat menempa diri agar tumbuh kuat, lalu suatu
saat keluar dari penjara yang mengungkungnya. Tapi, jika tidak, dirinya terkurung sehingga
sulit tumbuh mengembangkan potensinya untuk mewujudkan cita-citanya yang tinggi.
Sebagian besar umurnya tak ubahnya bagaikan penjara.
Begitu pun mereka yang pindah-pindah partai politik, jangan-jangan hanya pindah dari
penjara ke penjara ketika suasana dan budaya politik yang dimasuki malah menjerat tak bisa
melangkah dan berkiprah untuk membangun bangsa. Niat dan tujuan didirikannya parpol itu
untuk mengemban tugas sangat mulia, yaitu melakukan pendidikan politik untuk rakyat,
terutama konstituennya, dan memberikan pikiran serta kader terbaiknya untuk memperkuat
kinerja pemerintahan. Tapi ketika para kadernya malah terlibat korupsi yang kemudian
menjadi penghuni penjara, sementara partainya hanya ribut melulu dari kongres ke kongres,
jika kondisi ini berkelanjutan, bukankah akan menjadikan keberadaan parpol kehilangan
justifikasi moralnya?
Dulu, di berbagai kelompok masyarakat, menjadi pegawai negeri merupakan posisi yang
sangat didambakan. Jika seseorang kuliah di perguruan tinggi, tujuan akhir setelah jadi
sarjana adalah melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) agar nantinya memperoleh gaji
pensiunan sekalipun tidak lagi bekerja.
Padahal, jumlah kursi PNS sangat terbatas, gaji pun tidak berlebihan. Alhamdulillah, nasib
PNS sekarang semakin baik. Kesejahteraan meningkat. Namun sangat disayangkan, korupsi
di kalangan PNS masih juga besar karena terjebak gaya hidup yang melampaui batas
kemampuannya. Lagi-lagi, kadang kita terpenjara oleh angan-angan, cita-cita, dan gaya hidup
yang sering kali tidak lagi sesuai dengan kenyataan dan kemampuan.
30
Statement ini tidak berarti saya anti-PNS, melainkan ingin memberikan peringatan, kalau
ingin kaya-raya janganlah menjadi PNS. Jadilah pengusaha, tapi pengusaha yang pintar dan
benar.
Fanatisme dan kesetiaan eksklusif terhadap asal etnis juga bisa memenjarakan seseorang,
menutupi dan menghalangi untuk berbaur memperluas wawasan dan pergaulan lintas budaya
dan agama. Kita tahu, dunia semakin plural. Bagi masyarakat Indonesia yang sejak awal mula
sudah majemuk, mestinya tidak lagi kaget berjumpa dan bekerja sama dengan komunitas
yang berbeda budaya dan agama. Mestinya justru menjadi model dan percontohan ideal bagi
dunia bagaimana menjaga taman sari keragaman budaya dan agama. Cukup
menggembirakan, sekarang ini eksklusivisme etnis semakin mencair.
Mobilitas dan partisipasi masif anak-anak bangsa dalam pendidikan semakin memperluas
jalan bagi terciptanya integrasi nasional yang kokoh. Lembaga universitas menjadi tempat
bertemunya putra-putri terbaik bangsa. Mereka berbicara dengan bahasa yang sama, tumbuh
berkembang dalam budaya akademis yang sama, yang pada urutannya perkenalan dan
perkawinan silang budaya juga semakin berkembang. Ini terlihat dengan semakin banyaknya
pasangan suami-isteri lintas etnis yang pada urutan selanjutnya melahirkan generasi hibrida,
generasi yang kian mengindonesia. Dengan perkembangan ini, identitas etnis bukan jadi
rumah sempit bagaikan penjara, tetapi menjadi kamar-kamar yang nyaman dihuni, bagian
dari rumah besar Indonesia.
Rasulullah Muhammad pernah bersabda, dunia itu bagaikan penjara bagi orang beriman,
tetapi tak ubahnya surga bagi orang kafir. Artinya, banyak batasan, hambatan, dan larangan
bagi orang beriman agar tidak ditabrak dan dilanggar. Di sana banyak rambu-rambu yang
mesti dipahami dan ditaati demi kebaikan dan keselamatan hidupnya. Larangan untuk
kebaikan dan keselamatan bukan belenggu yang menyengsarakan.
Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman, dunia ini panggung kebebasan, tetapi ujungnya
bisa membawa mereka pada kerugian dan kesengsaraan. Jika tidak di dunia, kesengsaraan itu
akan dirasakan di akhirat kelak.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
31
Godaan Politik Ekonomi Hidayatullah
Koran SINDO
7 November 2015
Hidayatullah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IV mulai Sabtu (7/11) di
Balikpapan, Kalimantan Timur. Tantangan ekonomi dan politik menghadang pengurus baru.
Akankah ormas ini mengubah haluan?
Hidayatullah tumbuh setapak demi setapak sejak 1972 dari sebuah kampung hasil membuka
hutan di pantai timur Balikpapan hingga menjelma menjadi kekuatan yang merata di berbagai
daerah saat ini. Diresmikan sebagai ormas pada 2000, tentu skalanya belum dapat
dibandingkan dengan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama yang jauh lebih senior. Namun,
organisasi ini telah menemukan bentuk dalam pergerakannya sehingga dapat diyakini, pelan
tapi pasti, akan mencapai tujuannya.
Di antara pola pengembangan yang dapat diidentifikasi adalah melalui pengiriman
pendakwah (dai) ke suatu daerah target, selanjutnya pendakwah itu mengembangkan diri
bersama potensi lokal dengan mendirikan sekolah atau pesantren dan unit-unit sosial atau
bisnis yang memungkinkan. Unit sekolah yang didirikan Hidayatullah menggunakan brand
Sekolah Integral dan menerapkan subsidi silang bagi siswa-siswi yang tidak mampu. Di
perkotaan digunakan dua pola, full day school (sekolah sampai sore) dan boarding school
(berasrama) untuk jenjang sekolah menengah.
Sedangkan unit bisnis di antaranya berupa miniswalayan, perkebunan, atau penjualan ritel
lainnya. Pola ini telah dilakukan di hampir 300 kabupaten dan atas dukungan masyarakat
setempat, belum satu daerah pun yang gagal dibangun, dengan pencapaian sesuai kadar
masing-masing.
Untuk memenuhi tuntutan sumber daya manusia (SDM) di daerah, Hidayatullah
mengembangkan sekolah tinggi pada bidang-bidang ilmu agama, kependidikan, dan
ekonomi. Sebagian besar mahasiswanya mendapatkan beasiswa ikatan dinas dan setelah lulus
langsung ditugaskan, baik sebagai dai, guru, maupun pengembang bisnis. Khusus untuk
penugasan di daerah baru, mereka dibekali produk-produk ritel yang dapat dijual sambil
berdakwah.
Dengan dukungan jaringan di daerah, Hidayatullah lebih mudah mengembangkan lembaga-
lembaga layanan publik seperti Baitul Maal Hidayatullah (BMH), SAR Hidayatullah, dan
Islamic Medical Service (IMS). Hampir di setiap lokasi bencana di Indonesia, minimal salah
satu dari tiga lembaga ini hadir memberikan bantuan. Dalam setiap Idul Qurban, lebih 1.000
ekor kambing atau sapi terdistribusikan dan pada setiap Ramadan lebih dari Rp20 miliar dana
32
zakat disalurkan, dengan kecenderungan untuk naik setiap tahun. BMH juga telah masuk
empat besar Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) dari sisi kemampuan penghimpunan
dana tahunan, dan telah memperoleh ISO 9001.
Sedangkan majalah Suara Hidayatullah hingga saat ini salah satu media Islam terbesar di
Indonesia dari sisi oplah dan perolehan iklan.
Organisasi ”Holding” dan Tarikan Politik
Hidayatullah merupakan salah satu contoh organisasi yang dibentuk dari bawah, berkembang
secara swadaya bersama lingkungan, dan akhirnya mencapai skala nasional.
Dalam sebuah audiensi dengan DPP Hidayatullah, Wakil Presiden Jusuf Kalla
menganalogikan organisasi semacam Hidayatullah sebagai holding organization. Tipe
holding ini ditunjukkan dengan bermacam-macamnya lini disasar, pertumbuhannya
cenderung hati-hati, dan mengutamakan kuatnya kendali dari pusat. Bagi organisasi holding,
munas atau kongres biasanya jauh dari hiruk-pikuk, pergantian pengurus berlangsung secara
damai. Hal ini berbeda dengan tipe franchise, di mana pertumbuhan bisa melesat pesat karena
didukung pelaku yang sudah jadi, namun pengendalian terhadap cabang lemah. Risiko
lainnya, pergantian pengurus bisa berlangsung menegangkan dan sikap daerah sering berbeda
dengan pusat.
Dengan tipe pengendalian pusat yang kuat, harus diakui, Hidayatullah masuk kategori ”seksi”
bagi kalangan politik. Godaan-godaan politik praktis pun berdatangan. Namun,
sepengetahuan penulis, hingga 17 tahun masa Reformasi, dan khususnya selama dua kali
munas terakhir, Hidayatullah belum tergoyahkan untuk tetap netral politik. Hidayatullah juga
menerapkan aturan tidak boleh rangkap jabatan di parpol bagi pengurus-pengurusnya dari
pusat hingga daerah.
Dari sisi manajemen pencapaian tujuan, sikap itu memang lebih masuk akal. Hidayatullah
sedang dalam masa pertumbuhan, tujuan yang hendak dicapai untuk berperan serta dalam
membangun peradaban masih jauh. Bila terburu-buru masuk ke ranah politik praktis, risiko
perpecahan segera menghadang. Kalaupun tidak sampai parah, perbedaan sikap politik akan
mengganggu soliditas, sesuatu yang saat ini masih harus dihindari.
Namun, dari sisi percepatan pertumbuhan, sikap netral dapat dianggap kurang strategis.
Organisasi memerlukan dukungan politis bahkan anggaran dari negara. Swadaya masyarakat
bagus dari sisi independensi, tetapi pertumbuhan kebutuhan sering tak terkejar dengan cara
biasa. Apalagi, setelah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan,
tantangan kompetisi langsung tidak hanya dari domestik, namun juga dari organisasi-
organisasi di ASEAN. Bagi Hidayatullah, kompetisi bisa terjadi di bidang sosial, pendidikan,
dakwah, maupun bisnis karena semua unit (amal usaha) itu harus tumbuh dan leading di
lingkungannya.
33
Maka itu, pengurus Hidayatullah hasil Munas IV dapat mengembangkan beberapa pilihan.
Pertama, tetap netral, namun bukan dalam arti anti-politik. Ada yang mengartikan netral
dengan golput, tidak mau ikut serta dalam proses politik, bahkan memusuhi demokrasi karena
dianggap produk Barat. Dengan iklim demokrasi terbuka saat ini, memusuhi demokrasi dapat
dipandang merugikan, khususnya merugikan bagi kekuatan politik yang benar-benar ingin
melakukan perbaikan. Mereka bisa gagal memperbaiki kerusakan yang sudah meluas bila
dukungan dari rakyat kurang gara-gara orang-orang baik malah anti-politik. Dengan netral
jenis ini, Hidayatullah menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan politik, bukan
menjauhinya.
Kedua, membedakan sikap politik pusat dan daerah. Keduanya tidak harus sama, disesuaikan
dengan situasi daerah masing-masing. Namun, organisasi perlu memberikan guidance yang
jelas beserta risiko-risiko bagi mereka sehingga tetap terarah. Misalnya, sikap itu tidak dapat
diambil tanpa surat persetujuan dari pusat sehingga tidak ada sikap liar yang berdampak
perpecahan.
Ketiga, membedakan sikap politik organisasi dengan anggota. Dalam hal ini ada kerumitan-
kerumitan yang harus dijabarkan, apalagi bila ditambah varian perbedaan sikap pusat dan
daerah.
Keempat, melanjutkan sikap sebelumnya yaitu berhubungan politik sesuai konteks dan
kebutuhan, sampai saat yang dianggap tepat. Bila ini yang dipilih, fokus organisasi diarahkan
pada penguatan amal-amal usaha sesuai bidangnya, dengan perhatian lebih besar pada bidang
ekonomi.
Dengan aset-aset yang dimiliki di seluruh Indonesia dan hubungan yang baik dengan Timur
Tengah, Hidayatullah sebenarnya dapat bersiap menghadapi tantangan persaingan bebas. Bila
bisnisnya lancar dan membesar, Hidayatullah dapat lebih santai dalam menghadapi godaan
politik. Selamat bermunas!
WIBOWO HADIWARDOYO
Ketua DPP Partai Perindo; Mantan Sekjen DPP Hidayatullah
34
Patriotisme di Tengah Arus Globalisasi
Koran SINDO
7 November 2015
Dalam dua pekan ini kita memperingati dua peristiwa heroik bernilai sejarah tinggi yaitu
Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan. Pada 28 Oktober lalu kita memperingati Hari Sumpah
Pemuda di mana kita mengenang Ikrar Kaum Muda pada 28 Oktober 1928. Ikrar berisi Tri-
Sumpah itu menggelorakan semangat nasionalisme kaum muda sekaligus memperteguh tekad
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Peristiwa 28 Oktober telah mengantar Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air yang menggelora pada 28 Oktober 1928 mengalami
ujian hebat ketika bangsa kita berjuang hidup mati mempertahankan kemerdekaan.
Puncaknya terjadi pada 10 November 1945, di mana terjadi pertempuran hebat di Kota
Pahlawan, Surabaya.
Nasionalisme dan patriotisme terasa semakin relevan dan strategis di tengah kondisi
keterpurukan dan proses pelapukan yang terus berlangsung di berbagai segi kehidupan
masyarakat bangsa ini. Sistem nilai (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan
gotong-royong) yang melandasi eksistensi kita sebagai negara bangsa mengendur akibat
tergerus nilai-nilai individualisme, pragmatisme transaksional, konsumerisme, hedonisme,
dan seterusnya.
Perekonomian nasional yang kian dikuasai dan ditentukan pihak asing mulai dari
ketergantungan utang luar negeri, investasi asing di sektor-sektor ekonomi strategis,
membanjirnya barang-barang impor semakin menyadarkan kita betapa nasionalisme
(ekonomi) adalah sebuah keniscayaan. Kebijakan proteksionisme menjadi sah ketika
kepentingan ekonomi rakyat banyak menjadi taruhan.
Penguatan Nasionalisme
Dalam tatanan dunia yang mengglobal dewasa ini di mana batas antarnegara menjadi kabur,
tinggi-rendahnya nasionalisme suatu bangsa sangat ditentukan tinggi-rendahnya peradaban
dan prestasi yang dimiliki negara bangsa tersebut. Karena itu, ketika kebangkitan
nasionalisme tidak bisa meningkatkan taraf hidup berperadaban, nasionalisme dapat meredup
dan luruh dengan sendirinya. Kemiskinan kultural dan struktural yang permanen membuat
karakter bangsa ini makin terpuruk. Akibatnya, bangsa ini kehilangan jati diri yang
membuatnya makin sulit membangkitkan kembali semangat nasionalismenya.
35
Pada zaman Perang Kemerdekaan, para pahlawan yang gugur di medan tempur tentu berdiri
di barisan terdepan. Tetapi, pada era Reformasi ini, banyak yang pantas mendapat gelar
pahlawan dan mereka datang dari berbagai profesi, termasuk petani, nelayan, inovator,
akademisi, peneliti, karyawan yang melayani kepentingan umum dan lain-lain.
Semangat nasionalisme harus terus dirawat dan diperkokoh untuk memperkuat tekad dan
semangat serta energi bangsa dalam persaingan global sekaligus menaikkan harkat dan
martabat bangsa dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain secara terhormat dan
bermartabat.
Dalam era modern, wujud nasionalisme bukan lagi dengan mengangkat senjata. Ada banyak
cara untuk merawat dan memperkokoh semangat nasionalisme. Pertama, membangun
peradaban unggul dan prestasi tinggi berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan tatanan kehidupan internasional. Hasil penemuan dan karya-karya terbaik putra-putri
Indonesia bisa menggugah dan mempertebal rasa nasionalisme.
Bidang yang paling mudah menggugah rasa kebangsaan bisa kita disaksikan di bidang
olahraga. Secara reguler, atlet-atlet terbaik setiap negara bertarung atas negara bangsa untuk
merebut kampiun dunia. Selain prestasi membanggakan, olahraga juga mampu menghipnotis
karena memakai atribut negara bangsa, mulai dari kostum, bendera negara, lagu kebangsaan,
dan simbol-simbol kebanggaan Indonesia lainnya.
Kedua, nasionalisme Indonesia juga terawat jika kita mampu merawat kekayaan wisata alam
dan warisan budaya yang tersebar di antero Nusantara. Semua kekayaan warisan budaya dan
alam merupakan ikon negara bangsa kita yang membanggakan. Namun, semua itu menuntut
komitmen negara untuk melestarikan dan mempromosikan itu agar memberi kebanggaan
yang mempersatukan bangsa sekaligus mendatangkan keuntungan secara ekonomis.
Jika tidak, roh dan pilar negara bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan warisan sejarah
para pendiri bangsa (founding fathers) akan terancam. Empat pilar yang merupakan alasan
keberdirian dan keberadaan sebuah negara bangsa bernama Indonesia menjadi tidak bernilai
tatkala ”isinya” mengalami dekadensi akibat berbagai distorsi dari dalam maupun dari luar.
Ketiga, kemandirian untuk mengatur sendiri ”rumah tangga besar” NKRI di semua segi
kehidupan. Kita harus ”merdeka” menentukan visi, misi, dan arah pembangunan serta
melakukan apa yang terbaik bagi seluruh rakyat NKRI, tanpa didikte negara-negara maju dan
lembaga-lembaga donor internasional.
Sejak Orde Baru sampai era Reformasi kini, tidak ada program konkret yang sistemik untuk
memberdayakan rakyat atau menciptakan kreativitas bangsa. Bangsa kita terus bergantung
pada negara lain. Implikasinya, kita menjadi bangsa yang hidupnya selalu konsumtif atau
tidak produktif. Seharusnya bangsa yang kuat adalah bangsa yang produktif, bukan
konsumtif.
36
Saat ini penguasaan asing terhadap perekonomian kita terjadi di berbagai sektor misalnya
sektor pertambangan, industri pengolahan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan
sektor perdagangan. Akibatnya, meskipun negara kita sudah puluhan tahun merdeka, kita
masih dijajah pihak asing. Perekonomian kita didominasi pihak asing yang ikut melunturkan
kebanggaan dan rasa nasionalisme kita.
Mengenai arti penting nasionalisme ini, Presiden Soekarno pernah menegaskan: ”Jikalau kita
menghendaki negara kita ini kuat, oleh karena kita memerlukan negara ini sebagai suatu alat
perjuangan untuk merealisasikan satu masyarakat adil dan makmur; kita harus dasarkan
negara ini antara lain di atas paham kebangsaan.”
Membenahi Sistem
Di situlah arti penting Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal
pemerintahannya bersama Wapres Jusuf Kalla. Rasa kebangsaan (nasionalisme) dan cinta
tanah air (patriotisme). Dengan semangat itu, kita pasti mampu mengatasi berbagai tantangan
yang dihadapi negara bangsa saat ini, baik dari dalam maupun dari luar.
Revolusi Mental adalah buah dari proses pembelajaran terus-menerus dalam sebuah sistem
politik, sistem hukum, sistem ekonomi negara bangsa, termasuk sistem pendidikan dan
birokrasi, serta sistem sosial-budaya masyarakat. Dengan demikian, Revolusi Mental
seharusnya dimaknai sebagai pembenahan sistem yang akan membentuk mentalitas manusia
(Indonesia). Mengubah mentalitas tanpa dukungan sistem yang kuat hanya membuang-buang
energi, waktu, dan tentu saja uang.
Dalam kaitan itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah pembenahan sistem secara
terus-menerus yaitu sistem politik yang demokratis, sistem hukum yang adil dan transparan,
serta sistem sosial ekonomi yang menyejahterakan seluruh rakyat.
Dalam membangun sistem, acuan filosofis ideologisnya adalah Pancasila, sedangkan
patokan-patokan dasarnya ialah Konstitusi UUD 1945. Konkretnya, tugas lembaga legislatif
ialah memastikan bahwa seluruh regulasi mulai dari undang-undang hingga peraturan
pelaksanaan di tingkat daerah dan desa harus mencerminkan nilai-nilai fundamental dalam
ideologi Pancasila dan konstitusi.
Tugas eksekutif, dari pusat hingga desa, ialah memastikan bahwa sistem yang sudah
dibangun itu berjalan baik dan efektif. Kita tentu mengapresiasi pejabat negara yang lugas
dan konsisten berpikir dan bekerja sesuai sistem. Kita juga berbangga menyaksikan beberapa
menteri, gubernur, wali kota, hingga kepala desa yang berani bekerja out of the box
(melangkahi sistem) demi kebaikan umum.
Sedangkan yudikatif memastikan bahwa seluruh kebijakan yang diambil eksekutif dan mesin
birokrasi berjalan sesuai sistem yang sudah dibangun. Penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan yang menyalahi sistem harus ditindak tegas, adil, dan tanpa pandang bulu. Faktor
37
kepercayaanlah yang menjadi alasan mengapa KPK hingga hari ini mendapat dukungan
publik dan menolak setiap upaya pelemahan terhadap lembaga ini.
Jika tiga lembaga kekuasaan negara--legislatif, eksekutif, dan yudikatif--bekerja maksimal
sesuai fungsi dan tanggung jawabnya, niscaya empat tugas sekaligus tujuan negara yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 akan tercapai yaitu melindungi seluruh tumpah darah
(wilayah dan rakyat) NKRI, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan
umum, dan ikut serta menjaga ketertiban dunia.
Itulah sesungguhnya substansi Revolusi Mental. Mental tidak korup, mental tidak konsumtif,
mental tidak menempuh jalan pintas seperti lebih suka impor, dan mental main hakim sendiri.
Semua mental negatif itu bisa dihilangkan hanya jika sistem berjalan. Sebaliknya, sistem
yang baik dan berjalan efektif akan melahirkan mentalitas positif seperti mental kerja keras,
produktif, menghargai proses, dan menghormati perbedaan.
KAROLIN MARGRET NATASA
Anggota Komisi IX DPR RI
38
Artefak
08-11-2015
Di zaman dahulu kala, orang mengira bahwa benda-benda tertentu seperti matahari, gunung,
pohon besar atau batu besar punya roh.
Manusia memohon kepada roh untuk keselamatan mereka, meminta panen yang banyak,
meminta hujan, atau meminta kesembuhan buat yang sakit. Mereka pun bersembah (maka
disebut ”sembahyang”) kepada yang dipercaya sebagai berkuasa itu. Dalam bersembah itu,
manusia menciptakan alat-alat tertentu, misalnya untuk menempatkan sesajian, yang di dalam
ilmu antropologi disebut ”artefak”.
Menurut antropolog Kuncaraningrat, artefak adalah salah satu dari tiga aspek kebudayaan.
Dua aspek yang lain adalah keyakinan dan perilaku. Jadi kata Kuncaraningrat, orang punya
keyakinan tertentu sehingga mereka berperilaku dan salah satu perilaku itu adalah membuat
alat yang disebut artefak itu. Jadi artefak adalah perwujudan dari keyakinan.
Misalnya piring-piring porselen Cina dengan pola bunga-bunga biru yang di toko barang
antik harganya sangat mahal adalah artefak dari kepercayaan orang-orang di lingkungan
keluarga kaisar Cina zaman kuno tentang tata cara makan para bangsawan pada waktu itu.
Demikian juga kapak genggam yang terbuat dari batu adalah artefak manusia-manusia zaman
batu dan tempat-tempat peribadatan adalah artefak agama-agama.
Tapi artefak bukan benda-benda kuno saja. HP yang Anda pegang itu pun artefak, yaitu alat
yang dibuat dan digunakan orang untuk berkomunikasi suara (telepon), tulisan (SMS, WA,
dll.), gambar, film, dan lain-lain. Kalau HP kita rusak atau tidak berfungsi lagi, otomatis kita
buang dan kita beli yang baru. HP bekas yang sudah ketinggalan zaman, tukang loak pun
tidak mau membeli, karena itu bagusnya dimuseumkan.
Kalau ada museum HP, artefak yang dipamerkan bukan yang berumur ratusan atau ribuan
tahun seperti museum Pharaoh di Mesir, tetapi hanya berbagai HP yang berumur sekitar dua
puluh tahunan saja. Teknologi berkembang sangat cepat sehingga artefak berganti dengan
sangat cepat juga.
***
Dulu orang percaya bahwa untuk menimbulkan perilaku yang baik perlu dikembangkan atau
ditanamkan keyakinan, mentalitas, ideologi, jiwa atau roh yang baik. Maka berkembanglah
agama, pendidikan, etika, hukum, norma, dan sebagainya yang maksudnya untuk
mengembangkan jiwa yang baik, yang menghasilkan pemikiran dan perilaku yang baik.
39
Sebagai contoh, marilah kita cermati gejala yang satu ini. Salah satu di antara norma atau
etika yang baik adalah berperilaku santun dan untuk itu orang yang lebih tua dan lebih
dihormati harus memberi contoh kepada yang lebih muda; kalau tidak, anak muda akan
berperilaku salah atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka ada pepatah yang berbunyi
”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maksudnya kalau anutannya sudah memberi
contoh yang jelek, pengikutnya akan berperilaku lebih jelek lagi.
Dalam pepatah itu, kencing berdiri dianggap perilaku jelek karena yang baik adalah kencing
itu sambil jongkok, sementara itu kencing sambil berlari adalah hal yang paling jelek. Tapi
sekarang yang masih kencing jongkok hanya kaum perempuan saja. Kalaupun ada
perubahan, kaum perempuan sekarang kencing sambil duduk, sesuai dengan perkembangan
toilet duduk zaman sekarang.
Bagaimana dengan kaum lelaki? Yang baik sekarang adalah kencing sambil berdiri karena
hampir semua toilet laki-laki di mana pun di dunia ini menyiapkan peturasan (tempat
kencing) laki-laki yang berdiri. Mungkin hanya sopir-sopir yang pipis sembarangan di
pinggir jalan (sambil berdiri) yang masih dianggap tidak sopan walaupun penyebabnya
adalah jalanan macet, padahal sudah kebelet betul.
Karena itu, pepatah ”guru kencing berdiri” sudah tidak relevan lagi akibat adanya
teknologi. Nyatanya, ketika semua laki-laki (termasuk guru yang laki-laki) sudah kencing
berdiri, belum pernah terdengar adanya murid-murid yang kencing sambil lari-larian. Artinya
perubahan artefak bisa juga memengaruhi timbulnya keyakinan atau kepercayaan baru.
Perubahan tidak harus dimulai dari kepercayaan, keyakinan atau proses kognitif lainnya,
melainkan bisa juga diawali dengan perubahan artefak. Dengan perkataan lain, siapkan
artefaknya dulu, maka perilaku akan mengikuti dengan sendirinya dan melalui proses
internalisasi, perilaku itu akan mengubah keyakinan, kepercayaan, norma atau bahkan jiwa
seseorang.
Contohnya HP (atau gadget) Anda sendiri. Anda selalu membawa-bawa dia ke mana pun
Anda pergi, sementara istri ditinggal saja di rumah. Kalau HP ketinggalan, meskipun sudah
jauh dari rumah, Anda memutar balik untuk mengambil HP Anda. Kepercayaan tentang HP
sebagai peranti sentral komunikasi dalam kehidupan Anda sehari-hari yang seperti itu belum
ada di era 1980-an. Dahsyat sekali perubahan mental yang terjadi.
Tapi tidak semua pengadaan artefak bisa mengubah perilaku, apalagi keyakinan. Kebiasaan
membuang sampah, misalnya, tidak otomatis berubah ketika disiapkan tempat-tempat
sampah (artefak) di mana-mana. Masih banyak yang berpikir, ”Kalau aku buang sampah ke
tempat sampah, terus apa tugas tukang sampah?”
Untuk perilaku yang model beginian diperlukan reinforcement terhadap perilaku. Perilaku
yang salah dihukum. Perilaku yang benar didorong. Inilah yang dilakukan Pemerintah
Singapura untuk mendidik masyarakat untuk menjaga kebersihan kota. Orang yang
40
membuang sampah sembarangan (tertangkap oleh kamera CCTV) langsung dihukum berat
sehingga ada efek jera yang lama-kelamaan diinternalisasi menjadi nilai kebersihan di dalam
jiwa orang yang bersangkutan.
Kesimpulannya, di zaman sekarang, untuk mengubah suatu masyarakat menjadi lebih
berbudaya, tidak harus dimulai dari pembangunan mentalnya dulu (seperti P4 di zaman
Presiden Suharto) atau pembinaan agamanya dulu (seperti yang dipercaya orang sekarang,
sehingga muncul guru-guru agama yang tarifnya jutaan rupiah sekali tausiah), tetapi bisa
dimulai dari penciptaan dan sosialisasi artefak atau reinforcement.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
41
The Power of Helping
08-11-2015
Satu hal yang selalu menggelisahkan saya adalah jika saya diminta bantuan oleh teman (siapa
pun) untuk mengajar, menjadi pembicara, menjadi juri, menulis, memberi testimoni buku,
mentoring bisnis, membimbing skripsi mahasiswa, dan berbagai bentuk bantuan lain, namun
saya tidak bisa karena berbagai hal.
Saya gelisah karena pertama, tentu si teman akan kecewa. Kedua, saya kehilangan peluang
silaturahmi yang luar biasa. Ya, karena ketika saya bisa memenuhi permintaan itu maka
kekayaan saya bertambah, yaitu teman dan silaturahmi. Inilah kekayaan yang luar biasa. Tak
ada tandingannya, bahkan oleh uang setriliun sekalipun. Memberi bantuan kepada teman
adalah memupuk kedalaman silaturahmi. Kalau permintaan itu tak bisa saya penuhi, dengan
sendirinya saya kehilangan peluang untuk memperdalam silaturahmi.
Saya percaya 1.000% bahwa: semakin banyak kita membantu teman, maka semakin berlipat-
lipat bantuan yang diberikan si teman kepada kita. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak
bulan ini, mungkin tidak tahun ini, bahkan mungkin tidak sepuluh tahun lagi. Tapi pasti
bantuan berlipat-lipat itu akan datang. Mungkin bukan uang, mungkin bukan proyek,
mungkin hanya tenaga dan pikiran, mungkin cuma support, bahkan mungkin sekedar doa.
Ingat, doa ikhlas seorang teman adalah berkah dan kekayaan yang luar biasa.
Oleh karena itu, saya meyakini kekayaan kita tak hanya berbanding lurus dengan bantuan
yang kita berikan ke teman. Lebih hebat lagi ia mengikuti deret ukur. ”The more helps you
give, the even more helps you get”. So menjadi kayalah dengan memberi sebanyak mungkin
bantuan ke teman. Syaratnya satu, ini bukanlah transaksional. Bukan memberikan bantuan ke
teman untuk mendapatkan bantuan balik. Semuanya dilakukan dengan ikhlas,
unconditional. Semakin enggak ikhlas, maka semakin tak kunjung terwujud bantuan
berlimpah itu.
Seperti filosofi pendulum yang dibilang Pak David Marsudi pendiri DCost. Kata Pak David,
tugas kita hanyalah melempar pendulum alias memberi bantuan ke teman, titik. Apakah
pendulum itu balik lagi ke kita (artinya kita dibantu balik oleh si teman) atau tidak, itu bukan
urusan kita, tapi urusan Yang Di Atas.
Kalau Anda seorang salesman, sukses Anda ditentukan oleh seberapa banyak kontak yang
ada di ponsel Anda. Tak hanya sebatas itu tentu, dari kontak sebanyak itu berapa yang
menjawab ketika Anda telepon dan berapa yang sudi memberi bantuan (membeli produk
Anda, memberi support, memberi advis, memberi referal calon pelanggan, mau bekerja sama
dengan Anda, dsb-dsb.). Nah, mau-tidak mereka membuka telepon atau menjawab SMS
42
Anda, mau-tidak mereka memberi bantuan ditentukan oleh seberapa banyak Anda menanam
”benih” bantuan kepada mereka.
Kalau kepada teman-teman bisnis itu Anda terus-menerus memperdalam silaturahmi dengan
banyak memberi bantuan, dan bantuan tersebut sarat dengan ketulusan dan keikhlasan semata
demi kesuksesan si teman, maka pasti bantuan balik itu akan datang dengan sendirinya.
Mereka akan membeli produk Anda, men-support Anda, membantu kesuksesan Anda.
Prinsip dalam salesmanship itu berlaku secara universal dalam bisnis, karier, dan kehidupan.
Kesuksesan kita dalam bisnis, karir, dan kehidupan ditentukan oleh seberapa banyak bantuan
yang telah kita berikan kepada teman-teman kita. Makanya, setiap akhir tahun saya
melakukan refleksi dengan cara yang unik. Menjelang pergantian tahun tepat pukul 12
malam, saya memelototi seluruh kontak yang ada di ponsel saya. Setiap membuka satu
kontak saya merenung, dan kemudian menghitung, seberapa banyak benih bantuan yang telah
saya tanam bagi si teman tersebut.
Bagi Keith Ferrazzi (baca bukunya yang mencerahkan: Never Eat Alone, 2014) sukses di
dalam bisnis, karier, dan kehidupan ditentukan oleh kemampuan kita dalam membangun
sebuah komunitas pertemanan di mana kita peduli dan siap membantu mereka; dan
sebaliknya, mereka peduli dan siap membantu kita.
Sukses kata Keith ditentukan oleh seberapa banyak kita mengumpulkan teman, dan
bagaimana kita membangun jejaring (networking) dengan mereka. Apa itu networking? Ini
dia definisi networking menurut Keith: ”Networking is about finding ways to make other
people (friends) more successful. It was about working hard to give more than you get .” Jadi
networking itu bukan sekadar kita banyak hadir di acara-acara penting bersama mitra bisnis,
ngobrol ke sana-kemari, ketawa haha-hihi. Atau banyak hadir di LinkedIn dan Twitter
menyapa satu-satu teman dan prospek pelanggan. Tapi melakukan tindakan konkret
membantu teman bisnis agar mereka mencapai sukses. We become the enabler of their
success.
Membantu adalah tindakan terus-menerus dan inkremental, bukan pekerjaan short-term atau
on-off, bukan pula baru kita berikan setelah orang lain memberi. Teman kita mempercayai,
komit, dan siap selalu membantu kita hanya jika kita terus-menerus membantu mereka,
sedikit-sedikit, pelan-pelan, dalam jangka waktu yang lama dengan ketulusan dan keikhlasan.
Inilah resep Ilahi kesuksesan kita.
Dalam setiap bisnis, karier, dan hidup yang saya jalani, saya mencoba untuk menerapkan
prinsip-prinsip the power of helping di atas karena 1.000% saya mempercayai
keampuhannya. Namun berjalan beberapa tahun saya jadi malu, karena masih banyak
bolong-bolong dan compang-camping saya melaksanakannya.
Namun saya masih bisa menghibur diri: inilah manusia, kalau saya bisa sempurna
melaksanakannya, pastilah saya sudah menjadi malaikat. Hehehe ...
43
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com
@yuswohady
44
Spirit Hari Pahlawan
Koran SINDO
10 November 2015
Beberapa waktu lalu saya terlibat diskusi serius dengan sejarawan Nahdlatul Ulama Ki Ng
Agus Sunyoto. Diskusi hangat yang kami selenggarakan secara informal itu berawal dari
pernyataan Mas Agus (sapaan karib Agus Sunyoto) soal masifnya usaha untuk menutup-
nutupi fakta sejarah tentang meletusnya perang di Surabaya pada 26-29 Oktober 1945.
Ia dengan sangat meyakinkan mengatakan pada saya bahwa banyak fakta dan dokumen yang
mendukung ihwal meletusnya pertempuran selama kurang lebih empat hari itu. Ia melakukan
riset sejarah yang cukup intensif dengan melibatkan data faktual sekaligus dokumentasi ihwal
renik-renik berlangsungnya peperangan itu.
Dia menjelaskan bahwa sesungguhnya proklamasi kemerdekaan RI itu baru berarti di mata
dunia pasca meletusnya peperangan Surabaya itu. Perlawanan rakyat itulah yang kemudian
hari dipandang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dunia internasional bahwa
sesungguhnya ”Indonesia” itu ada.
Yang menarik dari apa yang diungkapkan Mas Agus adalah sebuah fakta bahwa meletusnya
peperangan 26-29 Oktober di Surabaya itu adalah fakta yang tidak berdiri sendiri. Ia bertaut
dan berkelindan dengan sebuah sebab. Meminjam adagium lawas, di mana ada asap tentu di
sanalah terdapat api. Sebab paling rasional dari meletusnya semangat perlawanan terhadap
penjajahan itu adalah fatwa dari Rais Akbar PBNU kala itu yakni KH Hasyim Asyari yang
kemudian hari dikenal dengan Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad adalah asupan energi yang menjadi bahan bakar utama semangat perlawanan
yang dikobarkan arek-arek Suroboyo. Tentu saja fatwa itu dibumbui dengan kondisi
psikologis masyarakat Surabaya dan sebagian tapal kuda di sepanjang Pulau Jawa yang
ekstrover, terbuka, dan egaliter.
Budaya pesisir adalah budaya keterbukaan, demikian kata Nur Syam (2007). Dengan
keterbukaan itu, sangat mungkin kerap terjadi gesekan antara satu dan yang lainnya. Keadaan
yang demikian membuat budaya tawuran sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Bisa kita bayangkan, betapa manusia-manusia yang terbiasa dengan budaya terbuka tersebut,
yang biasa berkelahi, memiliki beban psikologis dengan memendam rasa kecewa akibat
diperlakukan sebagai rakyat nomor dua, diperlakukan tidak adil dan dijajah, tiba-tiba
mendapat angin segar bernama fatwa yang merupakan legitimasi agama. Adonan antara
45
kebudayaan terbuka dengan ”stempel” agama berupa fatwa membela Tanah Air atau Resolusi
Jihad itulah yang membuat pertempuran Surabaya meletus dengan begitu dahsyatnya.
Seruan Resolusi Jihad ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menggerakkan umat
Islam. Pesantren-pesantren dan kantor-kantor NU di tingkat cabang dan ranting dengan cepat
menjadi markas laskar Hizbullah yang menghimpun pemuda-pemuda santri yang ingin
berjuang penuh semangat meski harus berhadapan dengan kenyataan keterbatasan
persenjataan.
Penting untuk dicatat bahwa seruan Resolusi Jihad adalah bahan baku utama atas meletusnya
peristiwa 10 November yang terkenal kemudian sebagai Hari Pahlawan itu. Soetomo (Bung
Tomo) yang merupakan pemimpin laskar BPRI faktanya memiliki hubungan dekat dengan
kalangan umat Islam, termasuk dengan Wahid Hasyim.
Soetomo juga kerap bertandang ke Tebuireng untuk sowan dan meminta restu ke KH Hasyim
Asyari. Seruan dan pekikan ”Allahu Akbar” di awal dan akhir orasinya adalah bukti nyata
bahwa ia sangat karib dengan kalangan ulama dan santri.
Konseptor Cinta Tanah Air
Dalam diktum pertimbangan Resolusi Jihad disebutkan ”Bahwa untuk mempertahankan
Negara Republik Indonesia menurut agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi
tiap-tiap orang Islam”. Diktum pertimbangan ini adalah bukti nyata bahwa betapa ulama-
ulama NU kala itu sudah sangat menjiwai konsep hubbul wathon minal iman, cinta Tanah Air
adalah bagian dari keimanan.
Konsep cinta Tanah Air ini bukan hal yang sepele. Di tangan ulama-ulama NU, yang terbiasa
dan karib dengan tradisi Balaghah, mulai dari konsep sampai penggunaan istilah dilakukan
dengan teliti dan seksama. Istilah “Tanah Air” dipilih, meminjam analisis Said Aqil Siroj
(2007), sebab karakter manusia Indonesia adalah karakter tanah dan air. Tanah dan air adalah
dua unsur yang jika disatukan ia akan menjelma kekuatan dan kepaduan yang sekaligus
mengandung unsur keindahan. Contoh mudahnya adalah kerajinan gerabah. Adonan tanah
dan air menjadi sedemikian indah. Di sanalah watak serta karakter manusia Indonesia.
Manusia yang secara naluriah diciptakan untuk cenderung bersatu-padu.
Berbeda dengan misalnya konsep yang ditawarkan Arab Saudi. Watak penduduknya
sebagaimana watak pasir. Hal ini tidak jauh dari karakter geografis daerahnya yang
didominasi oleh sebagian besar padang pasir. Karakter pasir adalah semakin ia digenggam
atau disatukan semakin pula ia bercerai-berai dan berantakan. Semakin kita merekatkan
genggaman telapak tangan yang berisi pasir, semakin pula ia akan bercerai berai tak keruan.
Faktanya hari ini bisa kita lihat sejarah ”Barat Daya” (Timur Tengah dalam pandangan
orang-orang Barat), termasuk Arab Saudi adalah sejarah perceraian dan pertikaian.
46
Ketepatan memilih konsep dan istilah itu menjadi bagian sangat diperhatikan oleh ulama-
ulama NU kala itu. Termasuk tatkala menggelorakan semangat perlawanan terhadap
penjajah.
Redefinisi Makna
Lepas dari akar sejarah Hari Pahlawan yang dipantik oleh Resolusi Jihad tersebut, saya
teringat pada sosok YB Mangunwijaya (1997). Romo Mangun pernah mengatakan bahwa
makna pahlawan harus kita perbarui sepanjang waktu. Pahlawan bukan saja mereka yang
baku hantam berjuang melawan penjajah. Namun, lebih dari itu, pahlawan adalah siapa saja
yang hari ini masih memiliki kecintaan pada negeri ini serta berkomitmen untuk mengisi
pembangunan dengan perbuatan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, tanpa
memedulikan sekecil apa pun perbuatan itu.
Alakullihal, menjadi pahlawan bukan selalu soal peperangan. Menjadi pahlawan adalah
kemauan untuk berbuat dan untuk selalu melakukan usaha-usaha perubahan untuk kehidupan
yang lebih baik di masa yang akan datang. Selamat Hari Pahlawan!
A HELMY FAISHAL ZAINI
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
47
Pahlawan dan Kebenaran
Koran SINDO
10 November 2015
Makna pahlawan dan kepahlawanan selama ini nyaris didominasi oleh memori publik tentang
semangat perjuangan dengan sosok atau potret pejuang yang kuat, gagah, dan berani.
Padahal, pahlawan juga memiliki makna yang tidak kalah utama yaitu soal semangat
membela dan memperjuangkan kebenaran. Pemahaman yang terakhir ini seakan terlupakan
alias tidak menjadi mainstream.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal ini tertuang dengan jelas bahwa pahlawan juga
dimaknai sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam
membela kebenaran. Lalu, yang menjadi pertanyaan di era politik menuju demokrasi yang
semakin terbuka saat ini, apakah kebenaran sudah diperjuangkan dan menjadi panglima? Itu
yang masih menjadi tanda tanya bagi semua kalangan ketika berhadapan dengan panggung
politik yang kompetitif, penuh intrik yang jauh dari sehat.
Di sisi lain, kebenaran menjadi harga mati dan rumus baku bagi politik meskipun publik
acapkali melihat bahwa wajah politik kita penuh tipu muslihat dan tidak argumentatif. Semua
berujung pada tercapainya keputusan dan kekuasaan politik. Politik seakan membuat sesuatu
yang sederhana menjadi sebegitu kompleks. Ini dinamika. Praktis, kebenaran semestinya
menjadi instrumen penting dalam politik. Sayangnya, panggung politik kita saat ini lebih
banyak menampilkan kekuasaan an sich.
Bicara soal panggung politik, penulis teringat ungkapan sastrawan Inggris, William
Shakespeare, ”The World is a stage and all the men and women merely players”. Ungkapan
inilah yang kemudian dikuatkan oleh sosiolog Erving Goffman tentang teori dramaturgi
politik dalam bukunya The Presentation of Self In Everyday Life. Goffman memandang
interaksi sosial layaknya pertunjukkan teater dan manusia adalah aktor utamanya. Manusia
akan mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya bisa dinikmati penonton.
Drama Politik
Apa yang diungkap Goffman adalah potret panggung politik di negeri ini. Memperjuangkan
suara rakyat, menegakkan hukum, dan memberantas korupsi menjadi barisan jargon politik
yang populer di mata publik. Sayangnya, jargon ini perlahan menjadi sekadar jargon tanpa
dan jauh dari kritik. Revisi UU KPK misalnya selalu dipandang sebagai aksi pro terhadap
koruptor. Hakim yang membebaskan terdakwa korupsi misalnya dianggap pro-koruptor.
Politisi yang berupaya mengkritik KPK dipandang tidak berpihak pada pemberantasan
48
korupsi. Padahal, boleh jadi sikap mereka berlandaskan kebenaran. Tak ayal, kebenaran telah
absen dari relasi sosial dan politik kita.
Belum berhenti di situ, kebenaran kemudian juga mengalami reduksi karena kata ini seakan
tidak layak lahir dari orang-orang yang sudah terstigma buruk di mata publik. Kebenaran
sudah dibuat berpihak pada kekuasaan, padahal kebenaran memiliki nilai-nilai universal.
Satu-satunya sasaran tembak yang selama ini diposisikan sebagai lawan kebenaran adalah
elite politisi. Tone negatif yang selama ini melekat, atau dilekatkan, pada politisi dan tentu
saja partai politik seakan menjauhkan potensi kebenaran pada diri mereka baca: politisi.
Ujungnya yang terjadi adalah tergerusnya kepercayaan (trust) dari publik pada politisi.
Kemudian yang terjadi adalah semangat delegitimasi partai politik. Apalagi, fenomena politik
baru dengan naiknya Joko Widodo sebagai presiden dalam kontestasi politik 2014, dengan
gerakan relawan yang masif, seakan-akan membenturkan eksistensi partai politik dengan
masyarakat.
Semangat Pahlawan
Kini sudah saatnya kita mulai merajut kembali kebenaran yang selama ini ”tersingkirkan”
oleh nafsu kekuasaan, hukum yang berat sebelah, dan kepentingan politik jangka pendek.
Seperti semangat kepahlawanan yang disinggung di awal tulisan bahwa bagi siapa pun yang
memiliki semangat membela dan memperjuangkan kebenaran, dialah pahlawan. Bagi siapa
saja yang berani mempertaruhkan harkat dan martabatnya untuk menegakkan kebenaran, dia
adalah pahlawan.
Tentu semangat ini bukan sesuatu yang baru. Pertempuran 10 November 1945 silam adalah
perjuangan menegakkan kebenaran. Kebenaran itu adalah kemerdekaan Indonesia yang sudah
diproklamasikan, tidak bisa diganggu gugat lagi oleh datangnya sekutu ke negeri ini.
Penjajahan adalah bentuk perlawanan dari nilai-nilai kebenaran.
Mengapa Resolusi Jihad yang terjadi sebelum pertempuran 10 November? Semua tak lepas
dari landasan kebenaran. Kebenaran jugalah yang melandasi para kiai dan santri bertekad
melawan penjajah yang berniat menguasai kembali Tanah Air melalui Resolusi Jihad tersebut
pada 22 Oktober 1945.
Dalam mitologi Barat, pahlawan adalah seseorang yang diberikan karunia atau kekuatan
mahadahsyat serta keberanian yang luar biasa untuk membela kebenaran dan membela yang
lemah. Ini pula yang bisa kita lihat dari sosok-sosok seperti Soekarno, Hatta, dan generasi
pejuang kemerdekaan lainnya. Jika disatukan dan dicari benang merah mengapa mereka
berjuang, tak lain adalah karena memperjuangkan kebenaran.
Maka itu, tidak salah kiranya jika di momentum Hari Pahlawan tahun ini kita coba menggali
bersama untuk merumuskan tekad kepahlawanan kita untuk membangun kebersamaan demi
mempertahankan dan membela sebuah kebenaran. Memperjuangkan aspirasi rakyat,
49
menegakkan hukum tanpa pandang bulu, melawan liberalisasi, dan membuka akses ekonomi
seluas-luasnya demi kesejahteraan rakyat adalah nilai-nilai kebenaran saat ini yang harus
diperjuangkan.
Kita berharap muncul banyak pahlawan masa kini di dalam segala lini kehidupan. Kebenaran
harus menjadi landasan kuat bagi bangsa ini guna mewujudkan Indonesia yang berdaulat
secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial dan budaya. Tentu,
semua harus bernafaskan kebenaran dan tentu saja keadilan bagi seluruh tumpah darah
Indonesia. Selamat Hari Pahlawan!
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita
Grup WA Berbagi Cerita

More Related Content

Viewers also liked

(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014ekho109
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015ekho109
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4SMDP-UNH
 
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)ekho109
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2SMDP-UNH
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3SMDP-UNH
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1SMDP-UNH
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016ekho109
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3SMDP-UNH
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015ekho109
 

Viewers also liked (10)

(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 Mei 2014-3 Juni 2014
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 oktober 2015-4 desember 2015
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4SMDP A Financial Refresher MODULE 4
SMDP A Financial Refresher MODULE 4
 
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (sumber: peradilan.co)
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
SMDP Microfinance Refresher MODULE 2
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3SMDP A Financial Refresher MODULE 3
SMDP A Financial Refresher MODULE 3
 
SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1SMDP A Financial Refresher MODULE 1
SMDP A Financial Refresher MODULE 1
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
 
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
SMDP Microfinance Refresher MODULE 3
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015
 

Similar to Grup WA Berbagi Cerita

Buletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 SuralagaBuletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 SuralagaEmzet Juwitour
 
1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarang1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarangBayu Prasetyo
 
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiLentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiAnanta Bangun
 
Sukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloeSukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloeMuhayat Akbar
 
ejaan_bahasa_indonesia.pptx
ejaan_bahasa_indonesia.pptxejaan_bahasa_indonesia.pptx
ejaan_bahasa_indonesia.pptxErnRandanan
 
Bahan Ajar There is & There are VIII.pptx
Bahan Ajar There is & There are VIII.pptxBahan Ajar There is & There are VIII.pptx
Bahan Ajar There is & There are VIII.pptxMochamadSulaeman
 
Perubahan makna kata
Perubahan makna kataPerubahan makna kata
Perubahan makna kataAbu Ja'far
 
pdf_20230311_124100_0000.pdf
pdf_20230311_124100_0000.pdfpdf_20230311_124100_0000.pdf
pdf_20230311_124100_0000.pdf06DurrotunNafisah
 

Similar to Grup WA Berbagi Cerita (16)

Buletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 SuralagaBuletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
 
1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarang1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarang
 
Greeting
GreetingGreeting
Greeting
 
Bunkei 1 ( perkenalan)
Bunkei 1 ( perkenalan)Bunkei 1 ( perkenalan)
Bunkei 1 ( perkenalan)
 
Kerlap kerlip no 115
Kerlap kerlip  no  115 Kerlap kerlip  no  115
Kerlap kerlip no 115
 
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiLentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
 
Sukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloeSukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloe
 
My Biography
My BiographyMy Biography
My Biography
 
CV Haditha
CV HadithaCV Haditha
CV Haditha
 
ejaan_bahasa_indonesia.pptx
ejaan_bahasa_indonesia.pptxejaan_bahasa_indonesia.pptx
ejaan_bahasa_indonesia.pptx
 
Bahan Ajar There is & There are VIII.pptx
Bahan Ajar There is & There are VIII.pptxBahan Ajar There is & There are VIII.pptx
Bahan Ajar There is & There are VIII.pptx
 
Bus bis bas
Bus bis basBus bis bas
Bus bis bas
 
Makalah kebudayaan sulawesi tenggara
Makalah kebudayaan sulawesi tenggaraMakalah kebudayaan sulawesi tenggara
Makalah kebudayaan sulawesi tenggara
 
Perubahan makna kata
Perubahan makna kataPerubahan makna kata
Perubahan makna kata
 
pdf_20230311_124100_0000.pdf
pdf_20230311_124100_0000.pdfpdf_20230311_124100_0000.pdf
pdf_20230311_124100_0000.pdf
 
Materi Tembang Macapat
Materi Tembang MacapatMateri Tembang Macapat
Materi Tembang Macapat
 

Recently uploaded

MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxSlasiWidasmara1
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfNurulHikmah50658
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)MustahalMustahal
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxsdn3jatiblora
 

Recently uploaded (20)

MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
 

Grup WA Berbagi Cerita

  • 1. 1 DAFTAR ISI TERIMA KASIH Sarlito Wirawan Sarwono 4 GRUP WA Yuswohady 7 ASAP TEBAL DAN PENCITRAAN? Mohamad Sobary 10 KEBAKARAN HUTAN GAMBUT & GLOBAL WARMING Nyoto Santoso 14 KEARIFAN PEMIMPIN DAN RAKYAT Jazuli Juwaini 17 INVESTASI ANAK VS KEMISKINAN Ali Khomsan 20 KAMPOENG BNI DI PULAU BURU Rhenald Kasali 23 PAK RADEN DAN KISAH MULTIKULTURALISTIK Nanang Martono 26 DARI PENJARA KE PENJARA Komaruddin Hidayat 29 GODAAN POLITIK-EKONOMI HIDAYATULLAH Wibowo Hadiwardoyo 31 PATRIOTISME DI TENGAH ARUS GLOBALISASI Karolin Margret Natasa 34 ARTEFAK Sarlito Wirawan Sarwono 38 THE POWER OF HELPING Yuswohady 41 SPIRIT HARI PAHLAWAN A Helmy Faishal Zaini 44 PAHLAWAN DAN KEBENARAN Anna Luthfie 47 BELA NEGARA ATAU MEMBERDAYAKAN PEMUDA?
  • 2. 2 Sandiaga S Uno 50 MAKAM PAHLAWAN Mohamad Sobary 53 MENEMBUS BATAS Komaruddin Hidayat 56 TIKUS SEKARANG TAK TAKUT KUCING Moh Mahfud MD 58 HOROR TAKOKAK 1948: SEJARAH YANG TERLUPAKAN Hendi Jo 60 PAHLAWAN KEMANUSIAAN Muhbib Abdul Wahab 64 MEMBONGKAR IDEOLOGI KEPAHLAWANAN Benny Susetyo 68 HANACARAKA Sarlito Wirawan Sarwono 71 MEMOTRET KONDISI KESEHATAN INDONESIA Zaenal Abidin 74 KEBERAGAMAN KOSMOPOLIT DI MUHAMMADIYAH Ahmad Najib Burhani 77 MENJEMPUT KEADILAN Mohamad Sobary 80 PUASMU KAPAN, PEMIMPIN? Rhenald Kasali 83 JEMBATAN Komaruddin Hidayat 86 JURNALISME POSITIF & KEARIFAN LOKAL Fajar Kurniawan 88 PERAN PSIKOLOGI DALAM PEMBERSIHAN PASCA-G30S Reza Indragiri Amriel 91 HMI PENJAGA BUDAYA INDONESIA Arief Rosyid Hasan 94 KEPRET Sarlito Wirawan Sarwono 97
  • 3. 3 WAJAH HANTU BIROKRASI KITA Mohamad Sobary 100 GURU HONORER MENANTI JOKOWI Hendri Zainuddin 104 GURU PEMBANGUN PERADABAN Muhbib Abdul Wahab 107 MENGELOLA GURU REPUBLIK INDONESIA Jejen Musfah 111 MEMBANGUN RISET PERGURUAN TINGGI Ali Khomsan 114 DAUN PINTU MELAYANG Asmadji AS Muchtar 117 LAMPU KUNING HMI Arif Afandi 119 DUNIA YANG TERKOYAK Komaruddin Hidayat 122 KEPAKARAN DAN MEDIA Sarlito Wirawan Sarwono 124 MELURUSKAN ARAH PERUNDINGAN IKLIM Chalid Muhammad 127 ETIKA BISNIS DALAM PUSARAN POLITIK Dedi Purwana ES 131 AUSCHWITZ DAN TEMBOK RATAPAN Komaruddin Hidayat 134 PARA BEGAL DALAM BIROKRASI Mohamad Sobary 137 BAYI TANPA HIV FX Wikan Indrarto 140 PENYAKIT KUTUKAN TUHAN Sarlito Wirawan Sarwono 143 FACEBOOK, FREEPORT Yuswohady 145 ETIKA KELUHURAN BUDI PEMIMPIN Mohamad Sobary 147
  • 4. 4 Terima Kasih 01-11-2015 Waktu saya SMP (pada 1950-an), Bu Mul, guru bahasa Indonesia saya, mengajarkan untuk berkata ”terima kasih” kepada seseorang yang sudah membantu kita atau berbuat kebaikan kepada diri kita; dan orang itu seharusnya menjawab ”terima kasih kembali” atau cukup ”kembali” saja. Bu Mul berpesan agar jangan sekali-sekali mengatakan ”terima kasih, ya” karena ungkapan itu tidak sopan. Kata ”ya” di belakang setiap kata dianggap ditujukan kepada pihak yang lebih rendah atau untuk merendahkan. Misalnya, kepada anak kecil kita mengatakan, ”Jangan duduk di sini, ya,” tetapi kepada orang dewasa, apalagi yang patut dihormati, kita akan mengatakan, ”Mohon untuk tidak duduk di sini.” Tapi, hari ini, generasi sekarang biasa saja mengucapkan ”terima kasih, ya” atau kalau mau lebih sopan, ”ya”-nya dipanjangkan ”terima kasih, yaaaa”, dan jawabannya ”iyaaaa”, makin panjang ”iya”-nya makin bagus. Masih di zaman saya SMP. Bu Narti, guru bahasa Inggris saya, mengajarkan bahwa dalam bahasa Inggris ungkapan rasa terima kasih dinyatakan dalam kata-kata ”thank you” dan jawabannya ”you’re welcome” atau ”welcome” saja. Sekarang orang Inggris atau Amerika masih mengucapkan ”thank you”, tetapi jawabannya macam-macam, bisa ”OK”, ”all right”, ”any time”, ”yup” atau yang lainnya. Jelas, bahasa berubah seiring perubahan zaman sepanjang masa. Yang dulu dianggap kurang sopan, sekarang dianggap biasa-biasa saja. Jadi ada perubahan dalam rasa berbahasa. Saya sebagai orang dulu sering merasa risi mendengar orang berkata ”terima kasih, ya” dan mendengar jawabannya ”yaaa”. Tapi apa daya saya seorang melawan gelombang perubahan yang begitu dahsyat. Namun yang lebih menggalaukan adalah perubahan makna yang sangat signifikan dari kata- kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Makna kata-kata tersebut bisa menyimpang 180 derajat dan makin tersebar luas karena digunakan tanpa kontrol melalui media massa (terutama TV). Contoh kata ”armada” yang aslinya biasa dipakai di kalangan angkatan laut dan artinya adalah sekumpulan atau sejumlah kapal perang yang beroperasi di bawah satu komando. Satu armada bisa terdiri atas, misalnya, 10 kapal perang. Jadi kalau ada 10 armada, seluruhnya ada 100 kapal perang. Tetapi sekarang armada dikenakan juga pada bus Transjakarta dan perusahaan taksi atau moda transportasi lain dengan makna yang sudah berubah sama sekali.
  • 5. 5 Kalau misalnya dikatakan ”pemerintah telah menyiapkan 10 armada truk TNI untuk mengangkut para pengungsi ke tempat yang lebih aman”, yang dimaksud adalah hanya 10 truk, bukan 100 truk, karena arti “armada” di sini adalah unit (satuan) truk, bukan kumpulan dari satuan seperti dimaksudkan dalam ”Komando Armada Indonesia Kawasan Timur” dari TNI AL. Alangkah berbedanya antara 10 dan 100. Contoh lain, orang sekarang sering menggunakan istilah ”tolak ukur” yang maksudnya adalah standar ukuran tertentu. Padahal arti yang sebenarnya dari kata ”tolak” adalah mendorong (misalnya beramai-ramai menolak mobil mogok) atau menyangkal, tidak membenarkan, tidak mau menerima (misalnya, beramai-ramai menolak RUU Anti-KPK), jadi tidak tepatlah kalau kita menggunakan kata ”tolak” kalau yang dimaksud adalah standar. Istilah yang tepat adalah ”tolok ukur”. Pernah melihat petugas PU (Pekerjaan Umum) mengukur jarak antara dua titik di jalanan? Seorang petugas mengintai dari balik alat seperti kamera, sedangkan seorang lagi memegangi tonggak yang bertuliskan angka-angka. Petugas pertama mengarahkan ”kamera”-nya ke tonggak untuk mengukur jarak antara ”kamera” dan tonggak. Tonggak inilah yang dinamakan “tolok”. Nantinya tolok ukur itu akan ditanam di sepanjang jalan (misalnya: jalan tol) dengan jarak tertentu dan digunakan oleh pengemudi untuk menentukan posisinya berapa jauh lagi dia dari kota tujuan. Inilah yang dinamakan ”tolok ukur”. *** Pada tahun 1972-1973, saya kuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia (Inggris). Setiap hari Sabtu, untuk membuang waktu, saya suka mengunjungi suami-istri Indonesia, Om Tom dan Tante Siu (keduanya sudah almarhum), yang sudah bermukim di Edinburgh entah berapa lama. Om Tom adalah seorang dokter ahli radiologi, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Edinburgh, tetapi beliau minta pensiun dini dan lebih suka membantu istrinya, Tante Siu, berdagang batu akik (orang Inggris ternyata gemar batu akik juga). Kata Om Tan, lebih senang jualan batu akik di toko istrinya karena kerjanya santai, tetapi duitnya lebih banyak, daripada kerja di rumah sakit. Om Tan dan Tante Siu memang lancar berbahasa Indonesia, tetapi mereka mengaku sulit sekali membaca koran karena terlalu banyak singkatan dan kata-kata baru, yang tidak bisa dicari keterangannya di kamus. Istilah-istilah seperti “ABRI”, “Korpri”, “Pramuka”, “Persit” (Persatuan Istri Tentara), dan masih banyak lagi, belum pernah didengar atau dibacanya ketika mereka masih di Indonesia. Padahal bahasa adalah alat komunikasi. Dasarnya adalah kesepakatan bersama tentang arti
  • 6. 6 suatu simbol (bisa bunyi, bisa huruf). Buat orang Jawa kata ”gedang” berarti pisang dan ”atos” berarti keras, sedangkan buat orang Sunda ”gedang” adalah pepaya dan ”atos” berarti sudah. Bagaimana dengan kata-kata ”boil”, ”woles”, ”ciyus”, ”OTW”, ”BTW”, ”asber”, atau ”GTH”? Saya jamin 90% dari pembaca, tidak peduli berasal dari etnik mana, tidak mengerti arti kata-kata itu. Bagaimana orang akan berkomunikasi jika tidak saling mengerti makna kata-kata yang digunakan? Di era netizen sekarang ini, ”terima kasih” akan ditulis ”tks” atau ”mks” (makasih) atau ”thx” (thanks) saja. Tidak ada basa-basi lagi, tidak perlu kesantunan lagi. Kalau guru-guru SMP saya, Bu Mul dan Bu Narti, masih hidup sekarang, beliau-beliau pasti kebingungan melihat tata-krama orang sekarang. Sungguh dahsyat pengaruh teknologi terhadap perilaku dan budaya manusia. Terima kasih, yaaaa. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 7. 7 Grup WA 01-11-2015 Hidup saya praktis sudah tertawan oleh grup WA (WhatsApp). Bagaimana tidak, waktu subuh saat ayam berkokok, lima notifikasi WA sudah kedip-kedip minta dihampiri. Pagi saat di kantor di sela-sela meeting, tangan selalu menggerayangi HP sibuk pencet sana- sini untuk melayani obrolan teman grup. Siang dan sore hari saat ketemu klien tetap saja tangan sesekali curi-curi geser-geser layar sentuh HP untuk melihat update celotehan teman- teman grup. Malam apalagi... its WA time, saatnya berbagi cerita dengan seluruh teman grup hingga tengah malam bahkan menjelang pagi. Aktivitas keseharian tetap berjalan lancar, walaupun ”WA time” terus hadir di sela-sela aktivitas tersebut. Saat ngobrol dengan seluruh anggota keluarga di ruang tamu, jari-jemari tetap bergerilya memenceti HP. Saat meeting dengan klien, pada waktu meeting lagi seru-serunya tentu tidak, namun begitu suasana mulai cair (biasanya menjelang berakhir) maka kembali tangan gerayangan ke layar sentuh HP. Praktis semua aktivitas bisa diselingi WA time. Itu sebabnya saya memprediksi manusia bakal menjadi ”the most multi-tasking creature”. *** Saya punya 13 grup WA, hampir semuanya aktif. Ada grup WA teman-teman reuni SMA. Ada grup WA teman-teman aktivis mahasiswa. Ada grup WA teman-teman komunitas dan pehobi sama. Ada grup WA untuk komunikasi tim kerja klien. ”Pak Siwo, agar komunikasi antar team member lancar, kita bikin grup WA ya,” begitu ujar klien saya. Tak ketinggalan grup WA anggota keluarga besar. Pokoknya dikit-dikit dibikin grup WA-nya biar seru. Dengan 13 grup sesungguhnya saya masih normal-normal saja. Banyak teman saya yang koleksi grup WA-nya jauh lebih fantastis. Ada yang di atas 20 bahkan di atas 30. Konon banyaknya koleksi grup WA yang kita miliki memberikan prestise tersendiri. Ya karena makin banyak koleksi, maka ia dianggap lebih gaul, lebih banyak teman, lebih luas koneksinya, lebih socially-connected. Apa saja grup WA yang kita ikuti juga bisa menjadi indikator siapa kita. Makanya saya sering mendengar celotehan teman-teman yang pamer, ”Eh saya satu grup WA dengan artis A dan selebriti B lho.”
  • 8. 8 Masuknya saya ke grup-grup WA hampir semuanya bukan atas kemauan saya. Awalnya seorang teman yang sudah punya nomor HP saya bilang, ”Mas Siwo nomornya aku masukin di grup WA bla bla bla ya?” Karena teman, tak kuasa saya menolak. Begitu masuk, maka serta-merta saya merasa bak selebritis. Semua anggota grup menyapa dengan renyah. Beragam sapaan ramah pun menghujam: ”Selamat datang Mas Siwo”; ”Senang sekali Mas Siwo hadir di grup ini”, atau ”Ditunggu inspirasi-inspirasinya.” Awalnya beban juga masuk grup, karena mesti siap-sedia melayani ocehan-ocehan teman grup. Namun sekali respons oke, dua kali respons enak, tiga kali respons nikmat, ujung- ujungnya nggak bisa berhenti... bahkan ketagihan. Dengan koleksi grup WA yang cukup banyak, maka kini rasanya tiada menit tanpa menunggu notifikasi grup WA. Ketika notifikasi tak kunjung datang, bumi serasa berputar begitu lambat, hari serasa sunyi-sepi. *** Barangkali Anda penasaran, apa saja yang diomongkan di grup-grup WA tersebut, sehingga demikian menyita waktu. Obrolannya macam-macam. Untuk grup reuni SMA pasti nggak jauh-jauh dari urusan kangen-kangenan. Untuk grup komunitas dan hobi, pasti mengenai minat dan passion kita. Atau untuk grup klien, tentu urusan pekerjaan. Tapi di luar itu semua, anggota grup paling demen ngobrolin apa-apa yang sedang menjadi trending topic. Sekarang misalnya, paling seru ngobrolin masalah asap. Saya paling suka mengamati anggota-anggota grup WA yang mendadak menjadi pahlawan. Saya sebut pahlawan, karena sosok ini biasanya bertingkah layaknya pahlawan: menyuarakan fakta-fakta, melakukan analisis layaknya ia seorang pakar jempolan, lalu mengemukakan solusi-solusi cespleng yang umumnya dicomot dari mana-mana. Sosok ini bisanya paling suka menghujat berbagai pihak yang bisa disalahkan. Dalam kasus asap misalnya, ia menyalahkan presiden, menteri lingkungan hidup, atau anggota DPR. Berbekal kambing hitam tersebut ia kemudian menyerukan sebuah gerakan dan aksi. Sudah bisa diduga, gerakan dan aksi itu hanyalah isapan jempol belaka. Karena begitu minggu depan muncul trendic topic lain, serta-merta aksi itu menguap, ia beralih ke topik baru yang sedang happening. Sebenarnya ia lebih pas disebut cheer leader ketimbang seorang pahlawan. Barangkali ada yang bergumam, apa saya nggak rugi menghambur-hamburkan waktu begitu banyak untuk suatu hal yang sekilas tak ada gunanya: ngobrol ke sana kemari. Bagi kebanyakan orang mungkin ya, tapi tidak bagi saya. Bagi marketer, obrolan di grup-grup WA adalah sumber insight yang tak ada tandingannya. Dari situ bisa lahir produk-produk maupun bisnis-bisnis hebat. Singkatnya, di balik obrolan di grup-grup WA, terselip bongkahan-bongkahan emas. Kalau Anda seorang marketer sejati, Anda harus jeli mengulik bongkahan-bongkahan emas tersebut.
  • 9. 9 YUSWOHADY Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
  • 10. 10 Asap Tebal dan Pencitraan? 3 November 2015 ”Bumi sudah tua?” Ya, mungkin bumi sudah tua. Dalam ketuaannya mungkin daya tahannya menjadi lemah. Gangguan sedikit mudah membuatnya tidak stabil. Lalu timbul guncangan demi guncangan. Dan, tiap kali bumi terguncang, kita, yang menumpang hidup di bagian kulitnya, selalu berhadapan dengan risiko. Tiap guncangan membawa bencana. Kita menerima warisan ketuaan ini hampir tanpa sikap yang jelas. Kita tak pernah merisaukan ketuaan bumi, Ibu Pertiwi, ibu kita, dengan kehati-hatian. Perubahan iklim global, yang mungkin membuat bumi yang sudah tua menjadi lebih tua, tak pernah kita gubris. Mungkinkah ini menjadi bukti bahwa manusia tak mampu mengelola bumi yang hanya satu ini? Mungkinkah ini meneguhkan kecemburuan pada khalifah bakal diciptakan bahwa di bumi itu kelak khalifah tersebut, yaitu manusia, hanya akan menumpahkan darah seperti disebut di dalam kitab? Ini pertanyaan ruwet. Mungkin kita ini ibaratnya seperti seorang anak yang tak lagi mampu, atau peduli, menunjukkan sikap hormat kepada ibu kita sendiri yang telah menjadi tua. Di bumi terlalu banyak tangan. Juga, terlalu banyak kemauan. Dan, berbagai jenis keserakahan. Ada tangan yang bersedia mengatur dengan baik, tetapi tak kurang-kurangnya tangan yang siap membuat kerusakan. Kita tak peduli pesan dalam kitab: ”Janganlah membuat kerusakan di bumi”. Kita memangkas gunung tinggi, yang menjilat mega-mega, seolah ketinggiannya menyentuh langit, hingga habis tandas. Kemudian kita gali dalam-dalam, hingga di bumi ketujuh, dan keguncangan alam terjadi. Tapi, kita tetap membisu-tulikan diri bahwa bumi rusak bukan karena ulah kita. *** Jika ada yang masih ingat akan kemungkinan bahaya itu, dan menyampaikan peringatan agar kita mengendalikan sedikit nafsu menghancurkan itu, tangan serakah itu tak peduli. Malah jawabnya begitu angkuh: haruskah kita kembali ke zaman batu, yang dingin dan beku, untuk membiarkan kekayaan alam tetap terpendam? Bukankah kita mengolah alam, menggali tambang, memotong pohon-pohon di hutan, untuk kesejahteraan kita?
  • 11. 11 Ketika ditanyakan kepadanya, siapa yang dimaksud ”kita” di sini, niscaya dia tak pernah tahu apa jawabnya. Kita itu maksudnya para penambang, para pemilik hak pengusahaan hutan, yang datang dari negeri-negeri kaya, maju, dan bermodal. Mereka merampok gunung-gunung kita dan hutan-hutan kita, dan kita hanya kebagian deritanya. Kita tidak membuat bumi ini lestari. Kita memangkas gunung dan menggali bumi sampai sedalam-dalamnya tanpa mengingat bahwa kita sedang menghancurkan bumi. Kita membabat semua hutan, setandas-tandasnya, hingga hutan-hutan kita menjadi gundul. Kayu-kayu habis. Hanya padang rumput, padang ilalang, dan semak-semak yang tersisa. Pada musim kemarau, padang rumput, padang ilalang, dan semak-semak itu kering kerontang. Ibaratnya gesekan ranting dengan ranting yang menimbulkan api mudah membikin kebakaran yang melahap segalanya dalam waktu pendek. Apalagi ada tangan- tangan jahil yang sengaja membakarnya. Di suatu tempat rumput, ilalang, dan semak-semak kering itu dibakar. Lalu, di tempat lain dibakar lagi. Betapa mudahnya membuat kehancuran di muka bumi. Di dalam tradisi sastra pedalangan, digambarkan terjadi suatu ”goro-goro”, yang ditandai ”tanah retak-retak, debu tertiup angin//kemarau panjang tanpa setetes pun air, hujan angin dan badai di musim yang salah//air laut bergejolak bagaikan siap menelan daratan/akibat besarnya pengaruh ”goro-goro” tanah longsor, gunung tabrakan dengan sesama gunung.” Dalam keguncangan mahadahsyat itu, seperti apa manusia? Tak tergambarkan. Dewa-dewa pun kalang kabut. Rajanya para raja dewa segera mengambil ”cupu manik Astagina”, berisi air kehidupan. Diteteskan pada bumi yang terkena ”goro-goro” itu dan seketika keguncangan terkendali. Bumi menjadi aman kembali. Kebakaran yang menelan hutan-hutan itu pun menimbulkan keprihatinan, bukan di hati rajanya raja dewa, tetapi hatinya Presiden Jokowi. Presiden segera turun ke daerah-daerah untuk melihat sendiri kerusakan itu secara langsung. Ada orang daerah yang membawanya ke tempat-tempat kebakaran, di mana ada para petugas yang sedang sibuk memadamkannya. Di sana digambarkan bahwa pemerintah daerah sangat bertanggung jawab terhadap bencana agar tak menjadi semakin besar. Orang-orangnya ditugaskan untuk menanganinya di lokasi kejadian. Presiden Jokowi bergembira. Dia menunjukkan sikap senang bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab. Oh, betapa gembira hati sang Presiden. Komentar bermunculan. Ada yang menyebut sang Presiden turun ke lapangan sekadar untuk membuat suatu pencitraan supaya nama baiknya terjaga, supaya citranya sebagai presiden terpelihara. Kritik, atau lebih tepat caci maki itu, merebak. Pencitraan ditempelkan di dada Presiden Jokowi. Tapi, kelihatannya sang Presiden tak begitu risau. Seperti yang dulu-dulu, dalam hatinya pasti berkata: ”rapopo”. Para pengejek makin berani.
  • 12. 12 Tapi, bagaimana sebuah pencitraan dibuat untuk menjaga nama baik dan demi keuntungan politiknya kalau ternyata sang Presiden sebenarnya tak terlalu percaya pada pemerintah daerah yang terbukti cuma omong kosong? *** Perlu dicatat, Presiden tidak membawa gitar, tidak bernyanyi ria di tengah bencana yang menerkam negerinya. Dia datang dengan persiapan serius. Dan, suasana serbapanas dan berasap tebal yang bergulung-gulung ke langit itu tak menarik hatinya untuk membuat puisi atau lagu. Tak usah dibuat puisi, ini sudah menjadi sebuah puisi. Tak perlu dibuat lagu, ini sudah jelas sebuah lagu penuh derita bagi rakyatnya. Puisi alam jauh lebih jujur, lebih liris, lebih menyentuh dibanding puisi yang dibuatbuat. Lagu yang tercipta oleh alam semesta, siapa bisa menandingi keindahannya? Dia tahu, Presiden tak diharapkan menulis puisi, apalagi kalau puisinya jelek sekali. Di antara jutaan rakyatnya, tidak ada yang mengharap sang Presiden membuat sebuah lagu karena tugas utamanya menyaksikan sendiri, ”on the spot”, dengan ketulusan, tanpa gaya, tanpa dibuat-buat. Dia juga tidak ingat akan apa gunanya citra dan pencitraan. Dia melihat kembali lokasi yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah tadi pada kesempatan lain. Di sana, ternyata, hanya ada kebakaran hutan yang sedang mengamuk, dengan asap hitam tebal yang bergulung-gulung menjilat langit. Dan, para petugas pemadam yang ditugaskan oleh pemerintah daerah itu lenyap. Tidak ada yang peduli bahwa hutan terbakar habis. Petugas tersebut hanya manusia buatan. Mereka sedang ber-”acting” atas arahan sutradara yaitu pemerintah daerah setempat. Mereka ber-”acting” di depan pimpinan tertinggi. Merekalah, yaitu orang-orang di dalam pemerintahan daerah tersebut, yang sedang bermain citra dan membuat pencitraan. Dan, Presiden yang dituduh sedang melakukan pencitraan itu? Kata penyanyi beken Ebiet G Ade: ”tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Kata Presiden Jokowi? ”rapopo”. Asap hitam tebal bergulung-gulung di langit. Dirgantara gelap gulita. Matahari tertutup, hilang panasnya. Bulan tertutup, hilang cantiknya. Apalagi bintang-bintang (sinetron). Tapi di sana, Presiden Jokowi melihat lokasi untuk merumus kebijakan. Melihat lokasi kebakaran, dengan asap hitam tebal yang bergulung-gulung itu tidak ada hubungannya dengan pencitraan. Tapi, kau dituduh begitu, ”yo rapo-po”.
  • 13. 13 MOHAMAD SOBARY Esais; Anggota Badan Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 14. 14 Kebakaran Hutan Gambut & Global Warming Koran SINDO 4 November 2015 Wapres Jusuf Kalla di Jakarta menyatakan, pemerintah tengah membahas upaya restorasi gambut yang terbakar secara masif dalam beberapa bulan terakhir ini (27/10/15). Restorasi ini diprediksi akan menelan biaya puluhan triliun rupiah. Apa boleh buat. Kebakaran hutan gambut yang telah berlangsung hampir tiga bulan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua ini telah menimbulkan dampak yang luar biasa. Ratusan orang tewas dan jutaan orang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat asap kebakaran tersebut. Kebakaran hutan sepanjang 2015 ini, menurut Menko Polhukam Luhut Panjaitan, sebagai kebakaran paling besar yang pernah terjadi di Indonesia. Menurut Luhut, salah satu penyebabnya justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. ”Inilah kesalahan kebijakan yang kita buat, bukan maksud menyalahkan pemerintahan yang lalu, dengan membagi- bagikan tanah gambut,” katanya dalam pidato pembukaan Rakor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Hotel Aryaduta, Jalan Prapatan, Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2015). Ia menjelaskan, tanah gambut memiliki kedalaman 5-6 meter. Jika lahan tersebut terbakar, lalu dipadamkan di bagian permukaan, maka api di bagian bawah masih belum padam. Hal itulah yang menyebabkan pemadaman sulit dilakukan. Upaya pemadaman yang tidak tuntas itu lantas menimbulkan asap dan mengepung udara di sekitar kawasan kebakaran. Ditambah angin yang bertiup kencang, dampak asap semakin meluas, dirasakan hingga ke negara- negara tetangga. Apa yang dikatakan Pak JK dan Pak Luhut benar. Kabut asap yang menerjang beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan sebagian besar kalau tak bisa dikatakan seluruhnya berasal dari kebakaran lahan gambut. Ratusan bahkan ribuan titik api menebar ”teror” di berbagai kawasan lahan gambut di kedua pulau tersebut. Terornya tak hanya berupa asap beracun yang bisa menimbulkan ISPA dan pneumonia yang menimbulkan kematian manusia, tapi juga gelapnya udara yang bisa menimbulkan kecelakaan kendaraan bermotor dan pesawat terbang serta terlepasnya karbon dioksida dalam jumlah yang amat besar ke atmosfer sehingga meningkatkan suhu bumi. *** Gambut terbentuk dari material organik seperti dedaunan, cabang, batang, dan akar tumbuh- tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, keasaman tinggi,
  • 15. 15 dan sedikit oksigen di suatu areal dalam jangka waktu yang lama, ratusan sampai ribuan tahun. Lahan gambut secara global menyimpan setidaknya 550 gigaton karbon, setara dengan seluruh biomas terestrial lainnya (hutan, rerumputan, perdu, dan lainnya) dan dua kali lipat dari seluruh karbon yang tersimpan di hutan secara global. Lahan gambut di wilayah sub (kutub), memiliki simpanan karbon rata-rata 3,5 kali lipat, di wilayah boreal (tundra) 7 kali lipat, dan di wilayah tropis bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat dari jumlah karbon yang tersimpan di atas permukaan tanah mineral. Dengan demikian, peran gambut terkait isu pemanasan global adalah sangat penting, karena kerusakan lahan gambut menyebabkan fungsinya sebagai penyimpan karbon menjadi terganggu. Itulah sebabnya, sejumlah pakar lingkungan menganggap lahan gambut sebagai ”pendingin netto” iklim bumi (CKPP, 2008). Masalahnya, lahan gambut sangat ”labil”. Jika terganggu (karena land clearing, drainase, dibakar, dll.), lahan gambut fungsinya berubah total. Dari semula sebagai penyerap karbon (carbon sink), berubah menjadi pelepas karbon (carbon emitter). Ketika berfungsi sebagai pelepas karbon, lahan gambut menjadi kontributor besar dalam kenaikan suhu bumi (global warming). Luas lahan gambut di Asia Tenggara sekitar 27 juta hektare atau sekitar 12% dari luas keseluruhan kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki sekitar 20,6 juta hektare, Malaysia 2 juta hektare, dan Papua Nugini sekitar 2,6 juta hektare. Ketebalan gambut di Indonesia diperkirakan rata-rata 3-5 meter di Indonesia bagian barat, sementara di Indonesia bagian timur mencapai 1-2 meter. Di Malaysia dan Brunei, ketebalan rata-rata 3 meter, sedangkan di Papua Nugini sekitar 1,5 meter. Lahan gambut Asia Tenggara memiliki kepentingan khusus untuk kelangsungan hidup berbagai jenis satwa, seperti orangutan, harimau sumatera, badak sumatera, serta jenis-jenis lain yang sudah terancam punah secara global, seperti mentok rimba dan buaya senyulong yang memiliki populasi kecil dan terbatas pada ekosistem hutan rawa gambut. Di samping itu, habitat air hitam (gambut) tropis memiliki keanekaragaman hayati ikan dan satwa akuatik lain yang memiliki tingkat keunikan tinggi. Sebagai contoh, di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, diketahui ada 25 jenis ikan baru (bagi ilmu pengetahuan). Sementara itu, di Selangor Utara ditemukan sekitar 100 jenis ikan, di mana 50% di antaranya hanya ditemukan di ekosistem air hitam. Di tempat yang sama juga ditemukan setidaknya 173 jenis burung, di mana 145 jenis di antaranya merupakan jenis-jenis endemik. Hutan rawa gambut juga merupakan tempat hidup penting bagi berbagai jenis tumbuhan. Penelitian menunjukkan tidak kurang dari 800 jenis tumbuhan telah teridentifikasi di hutan rawa gambut Malaysia barat, sedangkan di Sumatera tidak kurang dari 300 jenis tumbuhan telah teridentifikasi di hutan rawa gambutnya. Beberapa di antaranya memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti ramin (Gonystylus Bancanus), jelutung (Dyera lowii), meranti (Shorea spp), dan geronggang (Cratoxylun glaucum). Di Taman Nasional Berbak, Jambi, yang merupakan salah satu habitat hutan rawa gambut alami yang masih tersisa, juga ditemukan tidak kurang dari 260 jenis tumbuhan. (CKPP, 2008).
  • 16. 16 *** Gambaran di atas sekadar menunjukkan betapa pentingnya lahan gambut dalam menyangga ekosistem bumi. Lahan gambut yang selama ini terabaikan karena dianggap tak punya nilai, juga berperan besar dalam menyangga emisi karbon. Karena itu, merusak lahan gambut (baik yang berupa hutan maupun lahan), sama artinya dengan merusak ekosistem bumi yang amat besar pengaruhnya pada perubahan iklim global. Saat ini hampir 90% hutan rawa gambut di Asia Tenggara berada dalam ancaman drainase, konversi, dan pembalakan. Antara tahun 1985 dan 2005, lahan gambut dibalaki hingga rata- rata 1,3% per tahun; dengan catatan tertinggi di Kalimantan Timur (2,8%) dan terendah di Papua (0,5%). Sejauh ini diperkirakan 45% areal hutan gambut di Asia Tenggara telah rusak akibat pembangunan perkebunan, drainase, deforestasi, dan pembalakan. Sebanyak 45% lainnya juga rusak akibat kegiatan pembalakan selektif dan drainase. Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan survei Wahyunto (2005), luas lahan gambut di Indonesia sekitar 20,6 juta hektare atau 10,8% luas daratan Indonesia. Sebagian besar lahan gambut terdapat di Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Sayangnya, lahan gambut tersebut kini sedang ”dirusak” secara besar-besaran untuk perkebunan, persawahan, dan lain-lain. Dengan demikian, alih-alih lahan gambut menjadi pendingin neto iklim bumi, yang terjadi adalah kebalikannya: menjadi pemanas iklim bumi. Bila saat ini kita menyaksikan gumpalan asap dari lahan dan hutan gambut yang terbakar di Sumatera dan Kalimantan yang menyengsarakan rakyat, percayalah kesengsaraan rakyat akan bertambah lagi di masa depan karena besarnya emisi karbon yang keluar dari lahan gambut yang terbakar tersebut. Tercatat, di Asia Tenggara lebih dari 2.000 juta ton karbon dioksida diemisikan per tahun akibat kerusakan lahan gambut, 90% di antaranya dari lahan gambut Indonesia. Dengan banyaknya lahan gambut yang rusak (terbakar, konversi, drainase, dan lain-lain), komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sampai 26% tahun 2020 (seperti dijanjikan SBY) sulit tercapai. Bagaimana strategi Jokowi untuk merealisasikan komitmen Indonesia tersebut. Pemerintah sudah tahu siapa saja para pembakar hutan gambut tersebut, juga sudah tahu siapa yang merusak ekosistem gambut tersebut. Sekarang tinggal keberanian pemerintah untuk menindaknya secara tegas. Indonesia perlu membuktikan bahwa komitmen mengurangi emisi karbon 20% tahun 2020 tetap konsisten! NYOTO SANTOSO Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB
  • 17. 17 Kearifan Pemimpin dan Rakyat Koran SINDO 5 November 2015 Hari-hari ini polemik tentang hate speech atau ujaran kebencian menyeruak dalam ruang publik. Polemik dipicu oleh surat edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Kapolri bernomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech. Pokok isi SE mengatur bahwa setiap orang yang melakukan ujaran kebencian dapat diproses/ditindak secara hukum. Pro-kontra penerbitan SE tersebut tak dapat dihindari. Pihak yang kontra menilai SE merupakan upaya rezim untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik. Umumnya pihak yang kontra mengaitkan dengan upaya pemerintah untuk melindungi kekuasaan dan meredakan kritik publik yang kian kuat atas pelbagai permasalahan yang mendera bangsa dan tak kunjungi tertangani secara efektif. Sebaliknya, pihak yang pro menilai SE tersebut merupakan upaya penegak hukum dan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan ruang publik untuk menebar kebencian (fitnah, kata-kata kotor, serapah, dan sebagainya) yang dapat memicu lahirnya tindak kekerasan, konflik komunal, dan ihwal yang mengoyak rasa kebangsaan. SE berlaku untuk siapa saja warga negara yang merasa dirugikan dan utamanya diberlakukan di daerah-daerah rawan konflik. Penulis termasuk yang memberi catatan lahirnya SE ini agar jangan sampai menjadi alat (disalahgunakan) untuk memasung demokrasi dan kebebasan rakyat untuk berpendapat. Betapa pun dalam kacamata positif tentu kita tidak setuju dan tidak membenarkan setiap ujaran kebencian. Jangan sampai lahirnya SE ini memunculkan kesan bahwa pemerintah sedang mencari cara untuk membungkam kritisisme rakyat seperti kesan kuat yang pernah muncul dulu saat pemerintah berencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Jika itu yang terjadi, ada yang perlu diingatkan kembali tentang hakikat kepemimpinan karena pemimpin adalah tempatnya berkeluh kesah, menuntut, mengkritik, bahkan ketaksukaan yang harus dijawab dengan kinerja dan pelayanan. Apalagi, dalam kondisi ekonomi yang sulit saat ini, berkelindan dengan kebijakan pemerintah yang dipersepsi justru menambah beban masyarakat sehingga kritisisme publik adalah hal yang lumrah. Kearifan Pemimpin
  • 18. 18 Pemimpin dalam kepolitikan yang demokratis hanyalah bermakna primus interpares (satu yang terpilih di antara seluruh rakyat). Pemimpin hanyalah orang yang kebetulan mendapatkan suara terbanyak dibandingkan kompetitor dalam sebuah kontestasi pemilihan. Pemimpin di sini tentu bukan hanya Presiden-Wapres, tapi juga pejabat publik lainnya termasuk kepala daerah, DPR, DPD, DPRD, dan sebagainya. Mengingat ia dipilih rakyat dan tidak semua rakyat memilihnya, tentu tidak dapat dihindari ada kelompok kritis, kelompok oposisi, bahkan kelompok yang tidak suka (haters). Pun, bagi para pendukung (supporters) ia tetap harus menunggu (wait and see) realisasi janji-janji semasa kampanye dan profesionalitasnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Supporters pun bisa saja berbalik menjadi haters--atau sekurang-kurangnya kecewa-- pada pemimpin pilihannya akibat kebijakannya yang dinilai tidak benar dan merugikan rakyat. Kegagalan dalam menangkap esensi kepemimpinan ini acapkali menjerumuskan pemimpin dalam sifat hipokrit dalam segenap kebijakannya. Bukan merespons positif segala bentuk kritisisme publik--termasuk yang terekspresi dalam bentuk kekecewaan, bahkan kemarahan-- tapi justru berusaha membungkamnya atau menakut-nakuti rakyatnya. Akibatnya terjadi relasi yang tidak kondusif dalam perspektif demokratisasi antara pemimpin dan rakyatnya. Seorang pemimpin dan pejabat publik seyogianya mengedepankan kearifan dalam memimpin karena esensi kepemimpinan adalah keteladanan dan pelayanan. Ia tak akan mudah tersinggung, apalagi mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif bagi rakyat yang dipimpinnya. Bahwa ia mengampu kewenangan untuk mengatur dan mengurus hal itu harus diarahkan semata-mata untuk kepentingan nasional, bukan kepentingan kekuasaan. Di sinilah, SE Penanganan Ujaran Kebencian itu harus diletakkan. Ia semata-mata dimaksudkan untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik dan kondusif, mendorong karakter bangsa yang positif, serta dalam menjaga nasionalisme Indonesia yang makin produktif. Ia harus mampu menumbuhkan kesadaran kewargaan (citizenship) yang bertanggung jawab, yang tidak hanya didorong melalui pendekatan represif (hukum), tapi jauh lebih efektif melalui pendekatan preventif dan persuasif (melalui edukasi dan lainnya). Untuk itu, keteladanan pertama-tama harus ditunjukkan oleh para elite dan pemimpin melalui kata dan kebijakannya. Jangan sampai pemimpin justru mengeluarkan kebijakan yang memicu ”kebencian” di kalangan rakyat. Kearifan Rakyat Sebaliknya, rakyat juga harus memiliki kearifan sebagai sebuah bangsa. Jangan mudah mengumbar ujaran kebencian, kata-kata kasar, kotor, umpatan di ruang publik karena kita adalah (cermin) apa yang kita katakan dan lakukan. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa tumbuh menjadi hebat jika pikiran, ucapan, dan perilaku kita dijejali dengan ihwal negatif dan kebencian.
  • 19. 19 Betapa pun kita berbeda pandangan, kita tidak suka, bahkan kita kecewa terhadap siapa pun terlebih kepada elite dan pemimpin, sampaikan itu dengan baik dan elegan, dengan mengemukakan data dan fakta yang sahih sehingga dapat membuka mata dan mencerdaskan publik. Di sisi lain, kita juga harus mengapresiasi dan mendukung kebijakan pemerintah/pemimpin yang positif bagi kesejahteraan rakyat. Lebih dari itu, kita harus aktif mendorong dan mempromosikan kebijakan negara yang makin berkualitas dan pro-rakyat. Kita butuh kelompok kritis dan masyarakat penagih janji yang tumbuh mempersamai demokrasi karena dari sana akan lahir relasi pemerintah dan rakyat yang makin akuntabel. Para pemimpin harus menangkap esensi ini sehingga semakin arif dalam merespons dinamika masyarakat dan tidak gegabah dalam menjalankan kebijakan yang setback demokrasi. Tentu kita semua berharap itu tidak terjadi. JAZULI JUWAINI Ketua Fraksi PKS DPR RI
  • 20. 20 Investasi Anak vs Kemiskinan Koran SINDO 5 November 2015 Investasi orang tua terhadap anak adalah segala usaha, aktivitas, atau alokasi sumber daya keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan menjadi individu yang produktif dan sejahtera saat dewasa. Investasi dalam perkembangan anak sejak usia dini merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi anak untuk berkembang secara optimal sesuai potensinya. Selain itu, investasi dalam perkembangan anak usia dini juga berkaitan dengan nilai sosial dan moral, serta ada sumbangan ekonomi kelak bila anak dewasa. Investasi bagi pengembangan anak sejak usia dini diyakini memberikan manfaat besar bagi suatu bangsa, termasuk dalam pengurangan angka kemiskinan. Melalui layanan pendidikan anak usia dini (PAUD), akan dihasilkan generasi yang berkualitas sehingga warisan kemiskinan dari keluarga miskin dapat diputuskan. Promosi pengurangan tingkat kemiskinan dan pembangunan yang berfokus pada anak mencuat dalam konferensi internasional keempat yang bertema “Perkembangan Anak dan Pengurangan Kemiskinan” yang digelar ARNEC (Asia-Pacific Regional Network Early Childhood) di Beijing 21 Oktober 2015. *** Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD akan melahirkan bangsa yang cerdas secara komplet, bukan sekadar cerdas intelektual. PAUD harus menjadi titik sentral strategi pembangunan SDM yang sangat fundamental. Anak usia dini sedang berada dalam periode golden age, pertumbuhan dan perkembangannya sangat cepat, tetapi sekaligus dalam posisi rawan karena ancaman malnutrisi. Keberhasilan anak pada masa mendatang dicerminkan oleh upaya-upaya pendidikan yang diberikan orang tua dan lingkungannya pada masa usia dini. Saat ini kompetensi sebagian besar guru PAUD masih belum memadai. Banyak di antara mereka tidak berasal dari latar belakang pendidikan PAUD dan belum memperoleh pelatihan yang berkaitan dengan konsep dan ilmu praktis tentang PAUD. Hanya sekitar 16% guru PAUD bergelar sarjana.
  • 21. 21 Pada 2016 jumlah anak usia 0-6 tahun diperkirakan 35,6 juta jiwa. Kebutuhan PAUD diperkirakan mencapai 550.000 dan kini jumlah PAUD baru mencapai sekitar 170.000. Kesenjangan ini harus diatasi baik oleh pemerintah ataupun usaha swadaya masyarakat agar anak-anak usia balita dapat memperoleh stimulasi untuk mendukung tumbuh-kembangnya. Pada 2015 ini PT Nestle Indonesia sedang melakukan kegiatan pelatihan (training) guru PAUD di 17-18 kota. Kegiatan yang bertajuk “Gerakan Senam Tanggap” mengupas materi tentang pentingnya gizi dan stimulasi bagi siswa PAUD. Ini wujud konkret peran swasta dalam membantu PAUD menyiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Di dalam training ini guru-guru PAUD dibekali dengan modul materi gizi dan stimulasi, poster, dan latihan senam tanggap yang kemudian disosialisasikan kepada siswa PAUD dan orang tuanya. Kegiatan senam dipilih agar anak-anak bisa menyukai aktivitas fisik sehingga ancaman obesitas dapat ditekan. Saat ini sudah banyak anak usia dini mulai dikenalkan dengan gadget oleh orang tuanya. Mungkin gadget bisa mengasah aspek kognitif anak, namun aspek lainnya terabaikan seperti aspek motorik atau sosial. Anak hanya sibuk dengan gadget-nya dan kurang bersosialisasi dan aktivitas fisik juga akan semakin jarang dilakukan. Indonesia begitu lama mengabaikan PAUD, perhatian baru diberikan pasca-deklarasi Dakkar pada 2000. Pemerintah melalui Depdiknas kemudian meresponsnya pada 2002. Dalam usianya yang kini baru menginjak 13 tahun sesungguhnya PAUD di Indonesia sudah relatif berkembang pesat dalam hal jumlah. Pendidikan anak usia dini akan mengembangkan kecerdasan anak, karakter positif yang menonjol, didukung oleh kesehatan dan gizi yang optimal akan meningkatkan kemampuan seorang anak untuk menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Ini akan mendukung terbentuknya angkatan kerja yang berkualitas, bukan angkatan kerja minim keterampilan seperti yang kini dipunyai para TKI yang bekerja di negeri jiran. Melalui PAUD pendidikan karakter dapat ditekankan. Kejujuran, kedisiplinan, etos kerja keras, mau mengakui kelebihan orang lain, legawa menerima kekalahan adalah dagangan langka di republik ini. Bila tidak sejak dini anak-anak kita diperkenalkan dengan karakter positif, bangsa ini akan terus berkubang dengan karakter negatif (ketidakjujuran, hanya pandai mengkritik, malas antre, enggan mengakui kesalahan, dan lainnya). PAUD hanyalah satu mata rantai untuk mewujudkan SDM yang bermutu. Telah disadari bahwa kualitas SDM yang rendah, meski suatu negara kaya akan sumber daya alam, akan menyebabkan perjalanan bangsa terus tergerus persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Kemiskinan secara konvensional diartikan sebagai kondisi terbatasnya daya beli sehingga akses terhadap sandang, papan, dan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam makna yang lebih
  • 22. 22 luas, kemiskinan juga merujuk pada keterbatasan untuk berinteraksi secara sosial dengan lingkungannya. Deklarasi Copenhagen yang dirumuskan dalam UNs World Summit on Social Development menjelaskan fenomena kemiskinan sebagai deprivasi kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya menyangkut sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan, air bersih, dan informasi. Ada dua jenis kemiskinan. Pertama, kemiskinan absolut yaitu apabila seseorang atau sekelompok masyarakat hidup di bawah nilai batas kemiskinan tertentu. Garis kemiskinan absolut berlaku lintas negara. Artinya, seseorang di mana pun dia tinggal, untuk mempertahankan kehidupannya dia memerlukan sejumlah kebutuhan dasar yang sama. Kemiskinan absolut seringkali digunakan sebagai pembanding kemajuan bangsa-bangsa di dunia, dan juga dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan program pengentasan kemiskinan. Kedua, adalah kemiskinan relatif. Kemiskinan jenis ini hanya membandingkan posisi kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat dengan masyarakat lain di lingkungannya. Misalnya, pegawai negeri secara relatif lebih makmur kehidupannya daripada para petani. Kemiskinan merupakan resultant proses ekonomi, politik, dan sosial yang saling berinteraksi. Kelangkaan lapangan kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mengunci masyarakat dalam kemiskinan material. Sebab itu, menyediakan kesempatan kerja, melalui pertumbuhan ekonomi makro dan mikro, akan menjadi salah satu exit strategy mengatasi kemiskinan. Dunia yang kurang adil telah menyebabkan kemiskinan semakin sulit teratasi. Kemiskinan menjadi persoalan dunia, bukan hanya persoalan bangsa Indonesia. Dari 6 miliar penduduk bumi, 2,8 miliar di antaranya hanya berpenghasilan kurang dari 2 dolar sehari. Sekitar 1,2 miliar hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dolar per hari. Kalau di negara kaya, hanya 1 dari 100 balita yang tidak dapat melangsungkan hidupnya. Di negara miskin, 20 anak dari 100 balita mati sebelum menginjak usia lima tahun. Mewujudkan pendidikan anak sejak usia dini hingga mereka mampu mandiri kelak harus menjadi kebutuhan karena melalui pendidikanlah mata rantai kemiskinan akan dapat diputuskan. ALI KHOMSAN Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi IPB
  • 23. 23 Kampoeng BNI di Pulau Buru 05-11-2015 Saya ajak Anda menengok ke sebuah pulau di belahan timur Indonesia. Namanya Pulau Buru. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama pulau ini? Mungkin ada beberapa. Pertama, pulau yang dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde Baru, yang hidup bersama-sama dengan para transmigran asal Jawa. Kedua, mungkin Pramoedya Ananta Toer, salah seorang tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru. Selama di sana, Pram, begitu panggilannya, menulis beberapa novel semifiksi. Di antaranya Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram terkenal karena pemikirannya yang kritis dan korektif terhadap Orde Baru. Sampai saat ini, kalau berkunjung ke sana, saya masih bertemu rekan-rekan Pram yang sudah tak memiliki sanak keluarga di Pulau Jawa dan memilih tinggal di sana. Sambil ngopi di sore hari, kadang mereka bercerita tentang hari-hari panjang dalam tahanan dan bagaimana mereka menyelamatkan manuskrip karya Pram. Namun sesungguhnya yang membuat karya- karyanya menjadi terkenal adalah kekhawatiran berlebihan dari Orde Baru sehingga melalui Kejaksaan Agung, pemerintahan Soeharto melarang peredaran karya-karya Pram. Masyarakat negeri kita itu unik. Jika ada sesuatu yang dilarang, ia malah dicari-cari. Begitu pula dengan karya-karya Pram. Kini, setelah semua karya Pram bebas beredar di toko-toko buku dan pemikirannya menginspirasi banyak orang, ternyata tak terjadi gejolak di masyarakat kita. Juga biasa saja responsnya. Tumbuh di Atas Emas Baiklah kita kembali ke Pulau Buru. Ketiga, pulau ini terkenal dengan pohon kayu putihnya. Itu sebabnya minyak kayu putih buatan Pulau Buru sangat disukai. Harum dan hangatnya tahan lama. Keempat, ini yang menjadi kepedulian saya, hadirnya emas yang bukan hanya memicu kerusakan lingkungan di sana, tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial besar- besaran. Di Pulau Buru, emas semula hanya ditemukan di kawasan Gunung Botak. Tapi, belakangan, emas juga ditemukan di empat kawasan lain. Hadirnya emas membuat para petani dan anak-anaknya meninggalkan sawah dan ladang mereka. Emas yang dikelola penambang liar diolah dengan menggunakan air raksa dan merkuri. Penggunaan dua bahan kimia itu membuat sungai-sungai dan pantai tercemar. Di Teluk
  • 24. 24 Kayeli di Kabupaten Buru, banyak ikan yang mati akibat tercemar oleh air raksa dan merkuri. Masyarakat luar mendengar kabar ini. Mereka pun enggan membeli ikan dari nelayan- nelayan di Pulau Buru. Nelayan di sana pun merana. Emas memanjakan mimpi masyarakat adat yang ingin kaya mendadak. Anak-anak remaja meninggalkan bangku sekolah untuk berburu emas. Mereka yang beruntung menemukan emas segera membangun rumah-rumah baru di atas lahan sawah yang terus menyusut akibat ditinggalkan petani dan anak-anaknya. Mereka membeli sepeda motor dan berbagai barang elektronik lainnya. Adapun yang lainnya mati terkubur timbunan lubang-lubang tambang. Bersamaan dengan itu, tak jarang terjadi konflik. Perang antarsuku nyaris pecah. Sementara penyakit seksual menular pun marak karena para cukong perlu menjaga stamina buruh-buruh bawaannya yang didatangkan dari jauh. Itulah potret perubahan sosial di Pulau Buru. Pohon kayu putih yang tumbuh di atas emas itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Bahkan tanahnya digerus karena dicurigai ada emas di bawahnya. Padahal, pohon kayu putih tumbuh alami, pemberian Tuhan yang tak perlu dibibitkan. Perubahan itu hingga kini masih terus bergulir dan saya tidak tahu sampai di mana ujungnya. Tapi, sejujurnya, saya merasa sangat tidak nyaman dengan perubahan yang berakibat buruk dan terus terjadi akibat adanya pembiaran. Lalu, mesti bagaimana? Kampoeng BNI Melalui Rumah Perubahan, sudah sejak beberapa tahun lalu kami mulai terlibat dalam sejumlah aktivitas pemberdayaan masyarakat di Pulau Buru. Beruntung saya mendapatkan dukungan dari Bank BNI Tbk. Bersama-sama kami mengembangkan Kampoeng BNI (KBNI) di Pulau Buru. Saya paparkan apa saja yang sudah dan akan kami kerjakan di sana. Bank BNI, melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR)-nya, mendonasikan lebih dari seratus ekor sapi untuk menambah sapi-sapi yang sudah kami pelihara bersama masyarakat. Anda tahu, kegiatan CSR semacam ini kalau landasannya hanya charity, hasilnya akan langsung menguap. Hilang tanpa bekas. Untungnya Bank BNI tidak begitu. Konsepnya adalah pengembangan komunitas grass root. Untuk mengelola sapi-sapi bantuan Bank BNI tersebut, kami pun menerapkan sistem gaduh. Apa itu? Sederhana saja. Sapi-sapi itu kami titipkan kepada keluarga-keluarga yang ada di sana untuk dipelihara. Ketika berkembang biak, anak pertama dari sapi tersebut menjadi jatah mereka. Ketika sapi tersebut melahirkan lagi, anak keduanya kami jadikan modal bergulir, dipinjamkan lagi ke keluarga yang belum memperoleh bagian. Begitu seterusnya. Sistem gaduh sapi ini tidak berdiri sendiri. Kami juga mengajari masyarakat di sana untuk memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber bahan baku biogas. Biogas itu dijadikan sumber energi yang dipakai untuk penerangan dan bahkan memasak. Saat ini kami sedang
  • 25. 25 membangun instalasi penyulingan minyak kayu putih kedua dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakarnya. Kelak, kalau ingin menyuling minyak kayu putih, mereka tak perlu menebangi pohon hanya untuk mendapatkan kayunya. Jadi, akan jauh lebih efisien, karena tak perlu mengeluarkan biaya untuk bahan bakar. Itulah, antara lain, yang kami lakukan di Pulau Buru melalui konsep Kampoeng BNI. Di luar itu, Anda akan dengan mudah menemukan kampoeng-kampoeng lain yang dikembangkan BNI di berbagai daerah di Indonesia. Di Subang, misalnya, ada KBNI Peternakan Sapi. Di Ciamis ada KBNI jagung manis. Di Rembang ada KBNI Batik Lasem Rembang, lalu KBNI Ikan Nila di Ponorogo, dan seterusnya. Daftarnya sangat panjang. Saya punya catatan soal ini. Kalau melihat konsepnya, KBNI setidak-tidaknya memiliki dua kata kunci. Pertama, KBNI adalah program pemberdayaan masyarakat melalui penyaluran kredit atau bantuan lainnya dengan sistem kluster. Melalui sistem ini, setiap kluster kelak diharapkan memiliki berbagai macam produk unggulan yang menjadi ciri khas suatu daerah. Pulau Buru, misalnya, akan memiliki minyak kayu putih sebagai produk unggulannya. Kata kunci kedua dibangun atas prinsip community enterprise. Apa itu? Apa bedanya dengan social enterprise? Social enterprise adalah wirausaha sosial, tetapi didirikan dan dimiliki oleh individu. Sementara community enterprise adalah lembaga wirausaha yang didirikan dan dimiliki oleh komunitas. Lembaga ini bertujuan menyelesaikan sendiri permasalahan yang mereka hadapi. Kalau mau disederhanakan, konsep community enterprise ini agak mirip dengan koperasi. Dengan konsep kluster dan komunitas, tak mengherankan kalau kita menemukan KBNI ada di mana-mana, sebagaimana sudah saya sebutkan sebagian di atas. Dan saya berharap daftar KBNI akan terus bertambah panjang dan menyebar di mana-mana. Kita perlu menjaga terus ”roh” BUMN sebagai agen pembangunan dan saya senang Menteri BUMN kita tak melupakan peran ini, apalagi itu di Indonesia timur yang telah banyak memberi tanpa pernah meminta. RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 26. 26 Pak Raden dan Kisah Multikulturalistik Koran SINDO 6 November 2015 Jumat, 30 Oktober, tepat seminggu yang lalu, Indonesia kembali kehilangan seniman “dongeng” paling berpengaruh dalam perkembangan seni, terutama di kalangan anak-anak era 80-an. Pak Raden alias Suyadi adalah seniman senior sekaligus pencipta kisah boneka kayu “Si Unyil”, sebuah film seri televisi Indonesia produksi PPFN. Kisah cerita si boneka kayu ini adalah legenda bagi semua anggota generasi 80-an sampai awal 90-an. Legenda Unyil Sedikit bercerita, kisah Si Unyil yang diciptakan Pak Raden, alumnus Seni Rupa ITB ini, diilhami dari pertunjukan wayang atau boneka kayu anak-anak di Prancis. Karakter boneka anak tersebut dinamai Guignol. Ia tokoh boneka yang diciptakan pada 1808 oleh Laurent Mourguet, seorang marionnettiste (dalang perempuan). Sampai saat ini Guignol masih digunakan sebagai hiburan anak-anak melalui pertunjukan di teater Guignol. Ia juga menjadi ikon atau maskot Kota Lyon, Prancis. Antusiasme anak-anak Lyon untuk menikmati hiburan Guignol ini masih sangat tinggi sampai sekarang. Setelah beberapa kali menyaksikan pertunjukan Guignol, memang cukup berbeda dengan legenda Si Unyil. Pentas Guignol adalah murni sebagai ajang hiburan anak-anak Kota Lyon dan sekitarnya, tempat pusat teater Guignol berada. Dari segi ide cerita, hampir tidak ada muatan edukasi di dalamnya. Cerita Guignol sebatas cerita-cerita ringan anak-anak. Berbeda dengan kisah Si Unyil. Dalam beberapa cerita, kisah Unyil memang memiliki muatan ideologis dan muatan politis tertentu. Ketika saat itu, Orde Baru masih berjaya, ia pun menggunakan media film anak- anak untuk mempertahankan eksistensinya. Melalui Unyil, pemerintah juga turut menyosialisasikan banyak program atau kebijakannya seperti Keluarga Berencana, ajakan melakukan ronda malam, sekolah, dan lainnya. Ini tidak berbeda dengan kisah Guignol pada masa awal kemunculannya. Guignol juga menjadi instrumen politik pemerintah Prancis di kala itu. Kisah Unyil sangat menghegemoni jagat hiburan anak-anak di eranya, ketika stasiun televisi swasta belum bertaburan seperti sekarang. Sosialisasi kebijakan pemerintah melalui media anak-anak ini pun kemudian menjadi sangat masif. Terbukti, kisah Si Unyil sangat melegenda sampai sekarang meski ia tayang terakhir kali awal era 90-an di TVRI.
  • 27. 27 Ketika stasiun RCTI dan TPI mencoba menayangkan kembali kisah ini, respons anak-anak pun tidak sebagus ketika ditayangkan di TVRI. Ini karena jagat hiburan anak-anak telah berubah mulai era 90-an. Hiburan anak-anak telah digantikan film-film kartun impor: Doraemen, He-man, Sailormoon, Shinchan, Naruto, dan yang lain. Nyaris, mulai era ini, anak-anak kehilangan banyak hiburan bernuansa “Indonesia” yang penuh muatan pendidikan nilai. Multikultural Kisah Unyil bukan sekadar “kisah ideologis” dan “politis”. Legenda ini juga mengisahkan kehidupan sosial yang harmonis meski dihiasi banyak perbedaan. Ada tokoh Unyil, Ucrit, Usro, dan Meilani (keturunan Tionghoa) sebagai tokoh utama, Bu Bariah si tukang gado- gado, ada Pak Raden (tokoh dari golongan ningrat), Pak Ableh dan Pak Ogah si penjaga pos ronda (sebagai tokoh kelas bawah), ada Pak Kades dan Hansip yang menggambarkan karakter aparat pemerintah. Keragaman karakter sosial ini menunjukkan bagaimana kisah Si Unyil ingin mengajarkan kepada anak-anak di era itu untuk menghargai perbedaan. Perbedaan kelas sosial adalah hal yang paling tampak dalam film ini, serta perbedaan suku bangsa, sampai bagaimana Unyil menjalin hubungan pertemanan dengan orang Tionghoa (Meilani). Ini terobosan besar yang dibuat Pak Raden ketika isu rasial (Tionghoa) menjadi isu sensitif di masa Orde Baru. Kerja sama yang baik ditunjukkan dalam film ini melalui ajakan kerja bakti, ronda malam atau siskamling yang menjadi “ikon” Orde Baru. Saat ini kita merindukan film-film sekelas Unyil yang mampu menghiasi dunia anak-anak era 2000-an dan sesudahnya. Saat ini media televisi lebih banyak mengumbar film-film impor yang sarat dengan adegan kekerasan dan beberapa bagian bahkan disensor. Keberadaan “bagian yang disensor” ini sebenarnya menunjukkan bahwa film-film impor tersebut tidak layak tayang di Indonesia. Ini belum termasuk sinetron anak-anak, tapi bercampur dengan gaya hidup orang dewasa yang tidak layak konsumsi. Saat ini ada kisah “Ipin dan Upin” yang berhasil menarik minat anak-anak di Indonesia untuk menontonnya. Secara umum semua substansi film ini hampir sama dengan Si Unyil, berlatar cerita kehidupan anak-anak: kehidupan di sekolah, rumah, bahkan aktivitas mereka ketika tidak bersekolah. Sayang, film ini berbahasa Melayu (Malaysia). Sementara film kartun bertema sama berbahasa Indonesia justru kurang menarik minat anak-anak. Kejayaan dan keindahan masa anak-anak seolah telah usai ketika media televisi sudah tidak lagi menunjukkan keramahannya pada dunia anak. Tontonan untuk mereka telah bercampur dengan tontonan orang dewasa. Anak-anak pun lebih familier dengan lagu-lagu dewasa daripada lagu anak-anak. Era 80-an adalah era emas anak-anak Indonesia. Pada masa itu kita telah dihibur oleh hasil karya Pak Raden yang tayang setiap Minggu pagi dalam bentuk karya film boneka. Sangat
  • 28. 28 disayangkan, masa-masa terakhir kehidupan Pak Raden cukup memprihatinkan untuk seorang seniman besar yang diakui dunia dengan karya besarnya yang bisa dinikmati lebih dari satu dekade. Setelah lama tidak muncul di pemberitaan media, tokoh Pak Raden kembali mencuat, namun dengan berita “Pak Raden Meninggal Dunia”. Kita pantas berterima kasih pada Pak Raden. Selamat jalan Pak Raden. NANANG MARTONO Dosen Sosiologi Pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan, Universite de Lyon 2, Prancis
  • 29. 29 Dari Penjara ke Penjara 06-11-2015 Penjara itu membatasi dan merampas seseorang untuk bergerak secara leluasa dan bebas. Jika yang dimaksudkan gerak adalah gerak fisik, yang namanya penjara tentu saja berupa bangunan fisik dengan tembok tebal dan tinggi, disertai kawat berduri. Tidak cukup itu saja, melainkan ada penjaganya lengkap dengan senjata mengawasi selama 24 jam. Bahkan banyak penjara yang dibangun di wilayah yang lokasinya sulit dijangkau karena terletak di pulau terpencil agar pengamanannya lebih mudah andaikan ada tahanan yang berusaha melarikan diri. Sebut saja Penjara Nusakambangan. Tapi di sana juga ada penjara non-fisik yang menghalangi seseorang bergerak bebas, baik secara fisik maupun intelektual. Ketika salah memilih sekolah dan lingkungan pergaulan, bisa jadi seorang remaja tanpa sadar sudah melangkah terseret ke penjara sosial. Masih beruntung kalau dia mampu mengubahnya menjadi tempat menempa diri agar tumbuh kuat, lalu suatu saat keluar dari penjara yang mengungkungnya. Tapi, jika tidak, dirinya terkurung sehingga sulit tumbuh mengembangkan potensinya untuk mewujudkan cita-citanya yang tinggi. Sebagian besar umurnya tak ubahnya bagaikan penjara. Begitu pun mereka yang pindah-pindah partai politik, jangan-jangan hanya pindah dari penjara ke penjara ketika suasana dan budaya politik yang dimasuki malah menjerat tak bisa melangkah dan berkiprah untuk membangun bangsa. Niat dan tujuan didirikannya parpol itu untuk mengemban tugas sangat mulia, yaitu melakukan pendidikan politik untuk rakyat, terutama konstituennya, dan memberikan pikiran serta kader terbaiknya untuk memperkuat kinerja pemerintahan. Tapi ketika para kadernya malah terlibat korupsi yang kemudian menjadi penghuni penjara, sementara partainya hanya ribut melulu dari kongres ke kongres, jika kondisi ini berkelanjutan, bukankah akan menjadikan keberadaan parpol kehilangan justifikasi moralnya? Dulu, di berbagai kelompok masyarakat, menjadi pegawai negeri merupakan posisi yang sangat didambakan. Jika seseorang kuliah di perguruan tinggi, tujuan akhir setelah jadi sarjana adalah melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) agar nantinya memperoleh gaji pensiunan sekalipun tidak lagi bekerja. Padahal, jumlah kursi PNS sangat terbatas, gaji pun tidak berlebihan. Alhamdulillah, nasib PNS sekarang semakin baik. Kesejahteraan meningkat. Namun sangat disayangkan, korupsi di kalangan PNS masih juga besar karena terjebak gaya hidup yang melampaui batas kemampuannya. Lagi-lagi, kadang kita terpenjara oleh angan-angan, cita-cita, dan gaya hidup yang sering kali tidak lagi sesuai dengan kenyataan dan kemampuan.
  • 30. 30 Statement ini tidak berarti saya anti-PNS, melainkan ingin memberikan peringatan, kalau ingin kaya-raya janganlah menjadi PNS. Jadilah pengusaha, tapi pengusaha yang pintar dan benar. Fanatisme dan kesetiaan eksklusif terhadap asal etnis juga bisa memenjarakan seseorang, menutupi dan menghalangi untuk berbaur memperluas wawasan dan pergaulan lintas budaya dan agama. Kita tahu, dunia semakin plural. Bagi masyarakat Indonesia yang sejak awal mula sudah majemuk, mestinya tidak lagi kaget berjumpa dan bekerja sama dengan komunitas yang berbeda budaya dan agama. Mestinya justru menjadi model dan percontohan ideal bagi dunia bagaimana menjaga taman sari keragaman budaya dan agama. Cukup menggembirakan, sekarang ini eksklusivisme etnis semakin mencair. Mobilitas dan partisipasi masif anak-anak bangsa dalam pendidikan semakin memperluas jalan bagi terciptanya integrasi nasional yang kokoh. Lembaga universitas menjadi tempat bertemunya putra-putri terbaik bangsa. Mereka berbicara dengan bahasa yang sama, tumbuh berkembang dalam budaya akademis yang sama, yang pada urutannya perkenalan dan perkawinan silang budaya juga semakin berkembang. Ini terlihat dengan semakin banyaknya pasangan suami-isteri lintas etnis yang pada urutan selanjutnya melahirkan generasi hibrida, generasi yang kian mengindonesia. Dengan perkembangan ini, identitas etnis bukan jadi rumah sempit bagaikan penjara, tetapi menjadi kamar-kamar yang nyaman dihuni, bagian dari rumah besar Indonesia. Rasulullah Muhammad pernah bersabda, dunia itu bagaikan penjara bagi orang beriman, tetapi tak ubahnya surga bagi orang kafir. Artinya, banyak batasan, hambatan, dan larangan bagi orang beriman agar tidak ditabrak dan dilanggar. Di sana banyak rambu-rambu yang mesti dipahami dan ditaati demi kebaikan dan keselamatan hidupnya. Larangan untuk kebaikan dan keselamatan bukan belenggu yang menyengsarakan. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman, dunia ini panggung kebebasan, tetapi ujungnya bisa membawa mereka pada kerugian dan kesengsaraan. Jika tidak di dunia, kesengsaraan itu akan dirasakan di akhirat kelak. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 31. 31 Godaan Politik Ekonomi Hidayatullah Koran SINDO 7 November 2015 Hidayatullah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IV mulai Sabtu (7/11) di Balikpapan, Kalimantan Timur. Tantangan ekonomi dan politik menghadang pengurus baru. Akankah ormas ini mengubah haluan? Hidayatullah tumbuh setapak demi setapak sejak 1972 dari sebuah kampung hasil membuka hutan di pantai timur Balikpapan hingga menjelma menjadi kekuatan yang merata di berbagai daerah saat ini. Diresmikan sebagai ormas pada 2000, tentu skalanya belum dapat dibandingkan dengan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama yang jauh lebih senior. Namun, organisasi ini telah menemukan bentuk dalam pergerakannya sehingga dapat diyakini, pelan tapi pasti, akan mencapai tujuannya. Di antara pola pengembangan yang dapat diidentifikasi adalah melalui pengiriman pendakwah (dai) ke suatu daerah target, selanjutnya pendakwah itu mengembangkan diri bersama potensi lokal dengan mendirikan sekolah atau pesantren dan unit-unit sosial atau bisnis yang memungkinkan. Unit sekolah yang didirikan Hidayatullah menggunakan brand Sekolah Integral dan menerapkan subsidi silang bagi siswa-siswi yang tidak mampu. Di perkotaan digunakan dua pola, full day school (sekolah sampai sore) dan boarding school (berasrama) untuk jenjang sekolah menengah. Sedangkan unit bisnis di antaranya berupa miniswalayan, perkebunan, atau penjualan ritel lainnya. Pola ini telah dilakukan di hampir 300 kabupaten dan atas dukungan masyarakat setempat, belum satu daerah pun yang gagal dibangun, dengan pencapaian sesuai kadar masing-masing. Untuk memenuhi tuntutan sumber daya manusia (SDM) di daerah, Hidayatullah mengembangkan sekolah tinggi pada bidang-bidang ilmu agama, kependidikan, dan ekonomi. Sebagian besar mahasiswanya mendapatkan beasiswa ikatan dinas dan setelah lulus langsung ditugaskan, baik sebagai dai, guru, maupun pengembang bisnis. Khusus untuk penugasan di daerah baru, mereka dibekali produk-produk ritel yang dapat dijual sambil berdakwah. Dengan dukungan jaringan di daerah, Hidayatullah lebih mudah mengembangkan lembaga- lembaga layanan publik seperti Baitul Maal Hidayatullah (BMH), SAR Hidayatullah, dan Islamic Medical Service (IMS). Hampir di setiap lokasi bencana di Indonesia, minimal salah satu dari tiga lembaga ini hadir memberikan bantuan. Dalam setiap Idul Qurban, lebih 1.000 ekor kambing atau sapi terdistribusikan dan pada setiap Ramadan lebih dari Rp20 miliar dana
  • 32. 32 zakat disalurkan, dengan kecenderungan untuk naik setiap tahun. BMH juga telah masuk empat besar Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) dari sisi kemampuan penghimpunan dana tahunan, dan telah memperoleh ISO 9001. Sedangkan majalah Suara Hidayatullah hingga saat ini salah satu media Islam terbesar di Indonesia dari sisi oplah dan perolehan iklan. Organisasi ”Holding” dan Tarikan Politik Hidayatullah merupakan salah satu contoh organisasi yang dibentuk dari bawah, berkembang secara swadaya bersama lingkungan, dan akhirnya mencapai skala nasional. Dalam sebuah audiensi dengan DPP Hidayatullah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menganalogikan organisasi semacam Hidayatullah sebagai holding organization. Tipe holding ini ditunjukkan dengan bermacam-macamnya lini disasar, pertumbuhannya cenderung hati-hati, dan mengutamakan kuatnya kendali dari pusat. Bagi organisasi holding, munas atau kongres biasanya jauh dari hiruk-pikuk, pergantian pengurus berlangsung secara damai. Hal ini berbeda dengan tipe franchise, di mana pertumbuhan bisa melesat pesat karena didukung pelaku yang sudah jadi, namun pengendalian terhadap cabang lemah. Risiko lainnya, pergantian pengurus bisa berlangsung menegangkan dan sikap daerah sering berbeda dengan pusat. Dengan tipe pengendalian pusat yang kuat, harus diakui, Hidayatullah masuk kategori ”seksi” bagi kalangan politik. Godaan-godaan politik praktis pun berdatangan. Namun, sepengetahuan penulis, hingga 17 tahun masa Reformasi, dan khususnya selama dua kali munas terakhir, Hidayatullah belum tergoyahkan untuk tetap netral politik. Hidayatullah juga menerapkan aturan tidak boleh rangkap jabatan di parpol bagi pengurus-pengurusnya dari pusat hingga daerah. Dari sisi manajemen pencapaian tujuan, sikap itu memang lebih masuk akal. Hidayatullah sedang dalam masa pertumbuhan, tujuan yang hendak dicapai untuk berperan serta dalam membangun peradaban masih jauh. Bila terburu-buru masuk ke ranah politik praktis, risiko perpecahan segera menghadang. Kalaupun tidak sampai parah, perbedaan sikap politik akan mengganggu soliditas, sesuatu yang saat ini masih harus dihindari. Namun, dari sisi percepatan pertumbuhan, sikap netral dapat dianggap kurang strategis. Organisasi memerlukan dukungan politis bahkan anggaran dari negara. Swadaya masyarakat bagus dari sisi independensi, tetapi pertumbuhan kebutuhan sering tak terkejar dengan cara biasa. Apalagi, setelah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan, tantangan kompetisi langsung tidak hanya dari domestik, namun juga dari organisasi- organisasi di ASEAN. Bagi Hidayatullah, kompetisi bisa terjadi di bidang sosial, pendidikan, dakwah, maupun bisnis karena semua unit (amal usaha) itu harus tumbuh dan leading di lingkungannya.
  • 33. 33 Maka itu, pengurus Hidayatullah hasil Munas IV dapat mengembangkan beberapa pilihan. Pertama, tetap netral, namun bukan dalam arti anti-politik. Ada yang mengartikan netral dengan golput, tidak mau ikut serta dalam proses politik, bahkan memusuhi demokrasi karena dianggap produk Barat. Dengan iklim demokrasi terbuka saat ini, memusuhi demokrasi dapat dipandang merugikan, khususnya merugikan bagi kekuatan politik yang benar-benar ingin melakukan perbaikan. Mereka bisa gagal memperbaiki kerusakan yang sudah meluas bila dukungan dari rakyat kurang gara-gara orang-orang baik malah anti-politik. Dengan netral jenis ini, Hidayatullah menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan politik, bukan menjauhinya. Kedua, membedakan sikap politik pusat dan daerah. Keduanya tidak harus sama, disesuaikan dengan situasi daerah masing-masing. Namun, organisasi perlu memberikan guidance yang jelas beserta risiko-risiko bagi mereka sehingga tetap terarah. Misalnya, sikap itu tidak dapat diambil tanpa surat persetujuan dari pusat sehingga tidak ada sikap liar yang berdampak perpecahan. Ketiga, membedakan sikap politik organisasi dengan anggota. Dalam hal ini ada kerumitan- kerumitan yang harus dijabarkan, apalagi bila ditambah varian perbedaan sikap pusat dan daerah. Keempat, melanjutkan sikap sebelumnya yaitu berhubungan politik sesuai konteks dan kebutuhan, sampai saat yang dianggap tepat. Bila ini yang dipilih, fokus organisasi diarahkan pada penguatan amal-amal usaha sesuai bidangnya, dengan perhatian lebih besar pada bidang ekonomi. Dengan aset-aset yang dimiliki di seluruh Indonesia dan hubungan yang baik dengan Timur Tengah, Hidayatullah sebenarnya dapat bersiap menghadapi tantangan persaingan bebas. Bila bisnisnya lancar dan membesar, Hidayatullah dapat lebih santai dalam menghadapi godaan politik. Selamat bermunas! WIBOWO HADIWARDOYO Ketua DPP Partai Perindo; Mantan Sekjen DPP Hidayatullah
  • 34. 34 Patriotisme di Tengah Arus Globalisasi Koran SINDO 7 November 2015 Dalam dua pekan ini kita memperingati dua peristiwa heroik bernilai sejarah tinggi yaitu Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan. Pada 28 Oktober lalu kita memperingati Hari Sumpah Pemuda di mana kita mengenang Ikrar Kaum Muda pada 28 Oktober 1928. Ikrar berisi Tri- Sumpah itu menggelorakan semangat nasionalisme kaum muda sekaligus memperteguh tekad merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Peristiwa 28 Oktober telah mengantar Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air yang menggelora pada 28 Oktober 1928 mengalami ujian hebat ketika bangsa kita berjuang hidup mati mempertahankan kemerdekaan. Puncaknya terjadi pada 10 November 1945, di mana terjadi pertempuran hebat di Kota Pahlawan, Surabaya. Nasionalisme dan patriotisme terasa semakin relevan dan strategis di tengah kondisi keterpurukan dan proses pelapukan yang terus berlangsung di berbagai segi kehidupan masyarakat bangsa ini. Sistem nilai (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan gotong-royong) yang melandasi eksistensi kita sebagai negara bangsa mengendur akibat tergerus nilai-nilai individualisme, pragmatisme transaksional, konsumerisme, hedonisme, dan seterusnya. Perekonomian nasional yang kian dikuasai dan ditentukan pihak asing mulai dari ketergantungan utang luar negeri, investasi asing di sektor-sektor ekonomi strategis, membanjirnya barang-barang impor semakin menyadarkan kita betapa nasionalisme (ekonomi) adalah sebuah keniscayaan. Kebijakan proteksionisme menjadi sah ketika kepentingan ekonomi rakyat banyak menjadi taruhan. Penguatan Nasionalisme Dalam tatanan dunia yang mengglobal dewasa ini di mana batas antarnegara menjadi kabur, tinggi-rendahnya nasionalisme suatu bangsa sangat ditentukan tinggi-rendahnya peradaban dan prestasi yang dimiliki negara bangsa tersebut. Karena itu, ketika kebangkitan nasionalisme tidak bisa meningkatkan taraf hidup berperadaban, nasionalisme dapat meredup dan luruh dengan sendirinya. Kemiskinan kultural dan struktural yang permanen membuat karakter bangsa ini makin terpuruk. Akibatnya, bangsa ini kehilangan jati diri yang membuatnya makin sulit membangkitkan kembali semangat nasionalismenya.
  • 35. 35 Pada zaman Perang Kemerdekaan, para pahlawan yang gugur di medan tempur tentu berdiri di barisan terdepan. Tetapi, pada era Reformasi ini, banyak yang pantas mendapat gelar pahlawan dan mereka datang dari berbagai profesi, termasuk petani, nelayan, inovator, akademisi, peneliti, karyawan yang melayani kepentingan umum dan lain-lain. Semangat nasionalisme harus terus dirawat dan diperkokoh untuk memperkuat tekad dan semangat serta energi bangsa dalam persaingan global sekaligus menaikkan harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain secara terhormat dan bermartabat. Dalam era modern, wujud nasionalisme bukan lagi dengan mengangkat senjata. Ada banyak cara untuk merawat dan memperkokoh semangat nasionalisme. Pertama, membangun peradaban unggul dan prestasi tinggi berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tatanan kehidupan internasional. Hasil penemuan dan karya-karya terbaik putra-putri Indonesia bisa menggugah dan mempertebal rasa nasionalisme. Bidang yang paling mudah menggugah rasa kebangsaan bisa kita disaksikan di bidang olahraga. Secara reguler, atlet-atlet terbaik setiap negara bertarung atas negara bangsa untuk merebut kampiun dunia. Selain prestasi membanggakan, olahraga juga mampu menghipnotis karena memakai atribut negara bangsa, mulai dari kostum, bendera negara, lagu kebangsaan, dan simbol-simbol kebanggaan Indonesia lainnya. Kedua, nasionalisme Indonesia juga terawat jika kita mampu merawat kekayaan wisata alam dan warisan budaya yang tersebar di antero Nusantara. Semua kekayaan warisan budaya dan alam merupakan ikon negara bangsa kita yang membanggakan. Namun, semua itu menuntut komitmen negara untuk melestarikan dan mempromosikan itu agar memberi kebanggaan yang mempersatukan bangsa sekaligus mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Jika tidak, roh dan pilar negara bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan warisan sejarah para pendiri bangsa (founding fathers) akan terancam. Empat pilar yang merupakan alasan keberdirian dan keberadaan sebuah negara bangsa bernama Indonesia menjadi tidak bernilai tatkala ”isinya” mengalami dekadensi akibat berbagai distorsi dari dalam maupun dari luar. Ketiga, kemandirian untuk mengatur sendiri ”rumah tangga besar” NKRI di semua segi kehidupan. Kita harus ”merdeka” menentukan visi, misi, dan arah pembangunan serta melakukan apa yang terbaik bagi seluruh rakyat NKRI, tanpa didikte negara-negara maju dan lembaga-lembaga donor internasional. Sejak Orde Baru sampai era Reformasi kini, tidak ada program konkret yang sistemik untuk memberdayakan rakyat atau menciptakan kreativitas bangsa. Bangsa kita terus bergantung pada negara lain. Implikasinya, kita menjadi bangsa yang hidupnya selalu konsumtif atau tidak produktif. Seharusnya bangsa yang kuat adalah bangsa yang produktif, bukan konsumtif.
  • 36. 36 Saat ini penguasaan asing terhadap perekonomian kita terjadi di berbagai sektor misalnya sektor pertambangan, industri pengolahan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan sektor perdagangan. Akibatnya, meskipun negara kita sudah puluhan tahun merdeka, kita masih dijajah pihak asing. Perekonomian kita didominasi pihak asing yang ikut melunturkan kebanggaan dan rasa nasionalisme kita. Mengenai arti penting nasionalisme ini, Presiden Soekarno pernah menegaskan: ”Jikalau kita menghendaki negara kita ini kuat, oleh karena kita memerlukan negara ini sebagai suatu alat perjuangan untuk merealisasikan satu masyarakat adil dan makmur; kita harus dasarkan negara ini antara lain di atas paham kebangsaan.” Membenahi Sistem Di situlah arti penting Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya bersama Wapres Jusuf Kalla. Rasa kebangsaan (nasionalisme) dan cinta tanah air (patriotisme). Dengan semangat itu, kita pasti mampu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi negara bangsa saat ini, baik dari dalam maupun dari luar. Revolusi Mental adalah buah dari proses pembelajaran terus-menerus dalam sebuah sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi negara bangsa, termasuk sistem pendidikan dan birokrasi, serta sistem sosial-budaya masyarakat. Dengan demikian, Revolusi Mental seharusnya dimaknai sebagai pembenahan sistem yang akan membentuk mentalitas manusia (Indonesia). Mengubah mentalitas tanpa dukungan sistem yang kuat hanya membuang-buang energi, waktu, dan tentu saja uang. Dalam kaitan itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah pembenahan sistem secara terus-menerus yaitu sistem politik yang demokratis, sistem hukum yang adil dan transparan, serta sistem sosial ekonomi yang menyejahterakan seluruh rakyat. Dalam membangun sistem, acuan filosofis ideologisnya adalah Pancasila, sedangkan patokan-patokan dasarnya ialah Konstitusi UUD 1945. Konkretnya, tugas lembaga legislatif ialah memastikan bahwa seluruh regulasi mulai dari undang-undang hingga peraturan pelaksanaan di tingkat daerah dan desa harus mencerminkan nilai-nilai fundamental dalam ideologi Pancasila dan konstitusi. Tugas eksekutif, dari pusat hingga desa, ialah memastikan bahwa sistem yang sudah dibangun itu berjalan baik dan efektif. Kita tentu mengapresiasi pejabat negara yang lugas dan konsisten berpikir dan bekerja sesuai sistem. Kita juga berbangga menyaksikan beberapa menteri, gubernur, wali kota, hingga kepala desa yang berani bekerja out of the box (melangkahi sistem) demi kebaikan umum. Sedangkan yudikatif memastikan bahwa seluruh kebijakan yang diambil eksekutif dan mesin birokrasi berjalan sesuai sistem yang sudah dibangun. Penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyalahi sistem harus ditindak tegas, adil, dan tanpa pandang bulu. Faktor
  • 37. 37 kepercayaanlah yang menjadi alasan mengapa KPK hingga hari ini mendapat dukungan publik dan menolak setiap upaya pelemahan terhadap lembaga ini. Jika tiga lembaga kekuasaan negara--legislatif, eksekutif, dan yudikatif--bekerja maksimal sesuai fungsi dan tanggung jawabnya, niscaya empat tugas sekaligus tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 akan tercapai yaitu melindungi seluruh tumpah darah (wilayah dan rakyat) NKRI, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta menjaga ketertiban dunia. Itulah sesungguhnya substansi Revolusi Mental. Mental tidak korup, mental tidak konsumtif, mental tidak menempuh jalan pintas seperti lebih suka impor, dan mental main hakim sendiri. Semua mental negatif itu bisa dihilangkan hanya jika sistem berjalan. Sebaliknya, sistem yang baik dan berjalan efektif akan melahirkan mentalitas positif seperti mental kerja keras, produktif, menghargai proses, dan menghormati perbedaan. KAROLIN MARGRET NATASA Anggota Komisi IX DPR RI
  • 38. 38 Artefak 08-11-2015 Di zaman dahulu kala, orang mengira bahwa benda-benda tertentu seperti matahari, gunung, pohon besar atau batu besar punya roh. Manusia memohon kepada roh untuk keselamatan mereka, meminta panen yang banyak, meminta hujan, atau meminta kesembuhan buat yang sakit. Mereka pun bersembah (maka disebut ”sembahyang”) kepada yang dipercaya sebagai berkuasa itu. Dalam bersembah itu, manusia menciptakan alat-alat tertentu, misalnya untuk menempatkan sesajian, yang di dalam ilmu antropologi disebut ”artefak”. Menurut antropolog Kuncaraningrat, artefak adalah salah satu dari tiga aspek kebudayaan. Dua aspek yang lain adalah keyakinan dan perilaku. Jadi kata Kuncaraningrat, orang punya keyakinan tertentu sehingga mereka berperilaku dan salah satu perilaku itu adalah membuat alat yang disebut artefak itu. Jadi artefak adalah perwujudan dari keyakinan. Misalnya piring-piring porselen Cina dengan pola bunga-bunga biru yang di toko barang antik harganya sangat mahal adalah artefak dari kepercayaan orang-orang di lingkungan keluarga kaisar Cina zaman kuno tentang tata cara makan para bangsawan pada waktu itu. Demikian juga kapak genggam yang terbuat dari batu adalah artefak manusia-manusia zaman batu dan tempat-tempat peribadatan adalah artefak agama-agama. Tapi artefak bukan benda-benda kuno saja. HP yang Anda pegang itu pun artefak, yaitu alat yang dibuat dan digunakan orang untuk berkomunikasi suara (telepon), tulisan (SMS, WA, dll.), gambar, film, dan lain-lain. Kalau HP kita rusak atau tidak berfungsi lagi, otomatis kita buang dan kita beli yang baru. HP bekas yang sudah ketinggalan zaman, tukang loak pun tidak mau membeli, karena itu bagusnya dimuseumkan. Kalau ada museum HP, artefak yang dipamerkan bukan yang berumur ratusan atau ribuan tahun seperti museum Pharaoh di Mesir, tetapi hanya berbagai HP yang berumur sekitar dua puluh tahunan saja. Teknologi berkembang sangat cepat sehingga artefak berganti dengan sangat cepat juga. *** Dulu orang percaya bahwa untuk menimbulkan perilaku yang baik perlu dikembangkan atau ditanamkan keyakinan, mentalitas, ideologi, jiwa atau roh yang baik. Maka berkembanglah agama, pendidikan, etika, hukum, norma, dan sebagainya yang maksudnya untuk mengembangkan jiwa yang baik, yang menghasilkan pemikiran dan perilaku yang baik.
  • 39. 39 Sebagai contoh, marilah kita cermati gejala yang satu ini. Salah satu di antara norma atau etika yang baik adalah berperilaku santun dan untuk itu orang yang lebih tua dan lebih dihormati harus memberi contoh kepada yang lebih muda; kalau tidak, anak muda akan berperilaku salah atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka ada pepatah yang berbunyi ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maksudnya kalau anutannya sudah memberi contoh yang jelek, pengikutnya akan berperilaku lebih jelek lagi. Dalam pepatah itu, kencing berdiri dianggap perilaku jelek karena yang baik adalah kencing itu sambil jongkok, sementara itu kencing sambil berlari adalah hal yang paling jelek. Tapi sekarang yang masih kencing jongkok hanya kaum perempuan saja. Kalaupun ada perubahan, kaum perempuan sekarang kencing sambil duduk, sesuai dengan perkembangan toilet duduk zaman sekarang. Bagaimana dengan kaum lelaki? Yang baik sekarang adalah kencing sambil berdiri karena hampir semua toilet laki-laki di mana pun di dunia ini menyiapkan peturasan (tempat kencing) laki-laki yang berdiri. Mungkin hanya sopir-sopir yang pipis sembarangan di pinggir jalan (sambil berdiri) yang masih dianggap tidak sopan walaupun penyebabnya adalah jalanan macet, padahal sudah kebelet betul. Karena itu, pepatah ”guru kencing berdiri” sudah tidak relevan lagi akibat adanya teknologi. Nyatanya, ketika semua laki-laki (termasuk guru yang laki-laki) sudah kencing berdiri, belum pernah terdengar adanya murid-murid yang kencing sambil lari-larian. Artinya perubahan artefak bisa juga memengaruhi timbulnya keyakinan atau kepercayaan baru. Perubahan tidak harus dimulai dari kepercayaan, keyakinan atau proses kognitif lainnya, melainkan bisa juga diawali dengan perubahan artefak. Dengan perkataan lain, siapkan artefaknya dulu, maka perilaku akan mengikuti dengan sendirinya dan melalui proses internalisasi, perilaku itu akan mengubah keyakinan, kepercayaan, norma atau bahkan jiwa seseorang. Contohnya HP (atau gadget) Anda sendiri. Anda selalu membawa-bawa dia ke mana pun Anda pergi, sementara istri ditinggal saja di rumah. Kalau HP ketinggalan, meskipun sudah jauh dari rumah, Anda memutar balik untuk mengambil HP Anda. Kepercayaan tentang HP sebagai peranti sentral komunikasi dalam kehidupan Anda sehari-hari yang seperti itu belum ada di era 1980-an. Dahsyat sekali perubahan mental yang terjadi. Tapi tidak semua pengadaan artefak bisa mengubah perilaku, apalagi keyakinan. Kebiasaan membuang sampah, misalnya, tidak otomatis berubah ketika disiapkan tempat-tempat sampah (artefak) di mana-mana. Masih banyak yang berpikir, ”Kalau aku buang sampah ke tempat sampah, terus apa tugas tukang sampah?” Untuk perilaku yang model beginian diperlukan reinforcement terhadap perilaku. Perilaku yang salah dihukum. Perilaku yang benar didorong. Inilah yang dilakukan Pemerintah Singapura untuk mendidik masyarakat untuk menjaga kebersihan kota. Orang yang
  • 40. 40 membuang sampah sembarangan (tertangkap oleh kamera CCTV) langsung dihukum berat sehingga ada efek jera yang lama-kelamaan diinternalisasi menjadi nilai kebersihan di dalam jiwa orang yang bersangkutan. Kesimpulannya, di zaman sekarang, untuk mengubah suatu masyarakat menjadi lebih berbudaya, tidak harus dimulai dari pembangunan mentalnya dulu (seperti P4 di zaman Presiden Suharto) atau pembinaan agamanya dulu (seperti yang dipercaya orang sekarang, sehingga muncul guru-guru agama yang tarifnya jutaan rupiah sekali tausiah), tetapi bisa dimulai dari penciptaan dan sosialisasi artefak atau reinforcement. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 41. 41 The Power of Helping 08-11-2015 Satu hal yang selalu menggelisahkan saya adalah jika saya diminta bantuan oleh teman (siapa pun) untuk mengajar, menjadi pembicara, menjadi juri, menulis, memberi testimoni buku, mentoring bisnis, membimbing skripsi mahasiswa, dan berbagai bentuk bantuan lain, namun saya tidak bisa karena berbagai hal. Saya gelisah karena pertama, tentu si teman akan kecewa. Kedua, saya kehilangan peluang silaturahmi yang luar biasa. Ya, karena ketika saya bisa memenuhi permintaan itu maka kekayaan saya bertambah, yaitu teman dan silaturahmi. Inilah kekayaan yang luar biasa. Tak ada tandingannya, bahkan oleh uang setriliun sekalipun. Memberi bantuan kepada teman adalah memupuk kedalaman silaturahmi. Kalau permintaan itu tak bisa saya penuhi, dengan sendirinya saya kehilangan peluang untuk memperdalam silaturahmi. Saya percaya 1.000% bahwa: semakin banyak kita membantu teman, maka semakin berlipat- lipat bantuan yang diberikan si teman kepada kita. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak bulan ini, mungkin tidak tahun ini, bahkan mungkin tidak sepuluh tahun lagi. Tapi pasti bantuan berlipat-lipat itu akan datang. Mungkin bukan uang, mungkin bukan proyek, mungkin hanya tenaga dan pikiran, mungkin cuma support, bahkan mungkin sekedar doa. Ingat, doa ikhlas seorang teman adalah berkah dan kekayaan yang luar biasa. Oleh karena itu, saya meyakini kekayaan kita tak hanya berbanding lurus dengan bantuan yang kita berikan ke teman. Lebih hebat lagi ia mengikuti deret ukur. ”The more helps you give, the even more helps you get”. So menjadi kayalah dengan memberi sebanyak mungkin bantuan ke teman. Syaratnya satu, ini bukanlah transaksional. Bukan memberikan bantuan ke teman untuk mendapatkan bantuan balik. Semuanya dilakukan dengan ikhlas, unconditional. Semakin enggak ikhlas, maka semakin tak kunjung terwujud bantuan berlimpah itu. Seperti filosofi pendulum yang dibilang Pak David Marsudi pendiri DCost. Kata Pak David, tugas kita hanyalah melempar pendulum alias memberi bantuan ke teman, titik. Apakah pendulum itu balik lagi ke kita (artinya kita dibantu balik oleh si teman) atau tidak, itu bukan urusan kita, tapi urusan Yang Di Atas. Kalau Anda seorang salesman, sukses Anda ditentukan oleh seberapa banyak kontak yang ada di ponsel Anda. Tak hanya sebatas itu tentu, dari kontak sebanyak itu berapa yang menjawab ketika Anda telepon dan berapa yang sudi memberi bantuan (membeli produk Anda, memberi support, memberi advis, memberi referal calon pelanggan, mau bekerja sama dengan Anda, dsb-dsb.). Nah, mau-tidak mereka membuka telepon atau menjawab SMS
  • 42. 42 Anda, mau-tidak mereka memberi bantuan ditentukan oleh seberapa banyak Anda menanam ”benih” bantuan kepada mereka. Kalau kepada teman-teman bisnis itu Anda terus-menerus memperdalam silaturahmi dengan banyak memberi bantuan, dan bantuan tersebut sarat dengan ketulusan dan keikhlasan semata demi kesuksesan si teman, maka pasti bantuan balik itu akan datang dengan sendirinya. Mereka akan membeli produk Anda, men-support Anda, membantu kesuksesan Anda. Prinsip dalam salesmanship itu berlaku secara universal dalam bisnis, karier, dan kehidupan. Kesuksesan kita dalam bisnis, karir, dan kehidupan ditentukan oleh seberapa banyak bantuan yang telah kita berikan kepada teman-teman kita. Makanya, setiap akhir tahun saya melakukan refleksi dengan cara yang unik. Menjelang pergantian tahun tepat pukul 12 malam, saya memelototi seluruh kontak yang ada di ponsel saya. Setiap membuka satu kontak saya merenung, dan kemudian menghitung, seberapa banyak benih bantuan yang telah saya tanam bagi si teman tersebut. Bagi Keith Ferrazzi (baca bukunya yang mencerahkan: Never Eat Alone, 2014) sukses di dalam bisnis, karier, dan kehidupan ditentukan oleh kemampuan kita dalam membangun sebuah komunitas pertemanan di mana kita peduli dan siap membantu mereka; dan sebaliknya, mereka peduli dan siap membantu kita. Sukses kata Keith ditentukan oleh seberapa banyak kita mengumpulkan teman, dan bagaimana kita membangun jejaring (networking) dengan mereka. Apa itu networking? Ini dia definisi networking menurut Keith: ”Networking is about finding ways to make other people (friends) more successful. It was about working hard to give more than you get .” Jadi networking itu bukan sekadar kita banyak hadir di acara-acara penting bersama mitra bisnis, ngobrol ke sana-kemari, ketawa haha-hihi. Atau banyak hadir di LinkedIn dan Twitter menyapa satu-satu teman dan prospek pelanggan. Tapi melakukan tindakan konkret membantu teman bisnis agar mereka mencapai sukses. We become the enabler of their success. Membantu adalah tindakan terus-menerus dan inkremental, bukan pekerjaan short-term atau on-off, bukan pula baru kita berikan setelah orang lain memberi. Teman kita mempercayai, komit, dan siap selalu membantu kita hanya jika kita terus-menerus membantu mereka, sedikit-sedikit, pelan-pelan, dalam jangka waktu yang lama dengan ketulusan dan keikhlasan. Inilah resep Ilahi kesuksesan kita. Dalam setiap bisnis, karier, dan hidup yang saya jalani, saya mencoba untuk menerapkan prinsip-prinsip the power of helping di atas karena 1.000% saya mempercayai keampuhannya. Namun berjalan beberapa tahun saya jadi malu, karena masih banyak bolong-bolong dan compang-camping saya melaksanakannya. Namun saya masih bisa menghibur diri: inilah manusia, kalau saya bisa sempurna melaksanakannya, pastilah saya sudah menjadi malaikat. Hehehe ...
  • 43. 43 YUSWOHADY Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
  • 44. 44 Spirit Hari Pahlawan Koran SINDO 10 November 2015 Beberapa waktu lalu saya terlibat diskusi serius dengan sejarawan Nahdlatul Ulama Ki Ng Agus Sunyoto. Diskusi hangat yang kami selenggarakan secara informal itu berawal dari pernyataan Mas Agus (sapaan karib Agus Sunyoto) soal masifnya usaha untuk menutup- nutupi fakta sejarah tentang meletusnya perang di Surabaya pada 26-29 Oktober 1945. Ia dengan sangat meyakinkan mengatakan pada saya bahwa banyak fakta dan dokumen yang mendukung ihwal meletusnya pertempuran selama kurang lebih empat hari itu. Ia melakukan riset sejarah yang cukup intensif dengan melibatkan data faktual sekaligus dokumentasi ihwal renik-renik berlangsungnya peperangan itu. Dia menjelaskan bahwa sesungguhnya proklamasi kemerdekaan RI itu baru berarti di mata dunia pasca meletusnya peperangan Surabaya itu. Perlawanan rakyat itulah yang kemudian hari dipandang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dunia internasional bahwa sesungguhnya ”Indonesia” itu ada. Yang menarik dari apa yang diungkapkan Mas Agus adalah sebuah fakta bahwa meletusnya peperangan 26-29 Oktober di Surabaya itu adalah fakta yang tidak berdiri sendiri. Ia bertaut dan berkelindan dengan sebuah sebab. Meminjam adagium lawas, di mana ada asap tentu di sanalah terdapat api. Sebab paling rasional dari meletusnya semangat perlawanan terhadap penjajahan itu adalah fatwa dari Rais Akbar PBNU kala itu yakni KH Hasyim Asyari yang kemudian hari dikenal dengan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad adalah asupan energi yang menjadi bahan bakar utama semangat perlawanan yang dikobarkan arek-arek Suroboyo. Tentu saja fatwa itu dibumbui dengan kondisi psikologis masyarakat Surabaya dan sebagian tapal kuda di sepanjang Pulau Jawa yang ekstrover, terbuka, dan egaliter. Budaya pesisir adalah budaya keterbukaan, demikian kata Nur Syam (2007). Dengan keterbukaan itu, sangat mungkin kerap terjadi gesekan antara satu dan yang lainnya. Keadaan yang demikian membuat budaya tawuran sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Bisa kita bayangkan, betapa manusia-manusia yang terbiasa dengan budaya terbuka tersebut, yang biasa berkelahi, memiliki beban psikologis dengan memendam rasa kecewa akibat diperlakukan sebagai rakyat nomor dua, diperlakukan tidak adil dan dijajah, tiba-tiba mendapat angin segar bernama fatwa yang merupakan legitimasi agama. Adonan antara
  • 45. 45 kebudayaan terbuka dengan ”stempel” agama berupa fatwa membela Tanah Air atau Resolusi Jihad itulah yang membuat pertempuran Surabaya meletus dengan begitu dahsyatnya. Seruan Resolusi Jihad ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menggerakkan umat Islam. Pesantren-pesantren dan kantor-kantor NU di tingkat cabang dan ranting dengan cepat menjadi markas laskar Hizbullah yang menghimpun pemuda-pemuda santri yang ingin berjuang penuh semangat meski harus berhadapan dengan kenyataan keterbatasan persenjataan. Penting untuk dicatat bahwa seruan Resolusi Jihad adalah bahan baku utama atas meletusnya peristiwa 10 November yang terkenal kemudian sebagai Hari Pahlawan itu. Soetomo (Bung Tomo) yang merupakan pemimpin laskar BPRI faktanya memiliki hubungan dekat dengan kalangan umat Islam, termasuk dengan Wahid Hasyim. Soetomo juga kerap bertandang ke Tebuireng untuk sowan dan meminta restu ke KH Hasyim Asyari. Seruan dan pekikan ”Allahu Akbar” di awal dan akhir orasinya adalah bukti nyata bahwa ia sangat karib dengan kalangan ulama dan santri. Konseptor Cinta Tanah Air Dalam diktum pertimbangan Resolusi Jihad disebutkan ”Bahwa untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia menurut agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam”. Diktum pertimbangan ini adalah bukti nyata bahwa betapa ulama- ulama NU kala itu sudah sangat menjiwai konsep hubbul wathon minal iman, cinta Tanah Air adalah bagian dari keimanan. Konsep cinta Tanah Air ini bukan hal yang sepele. Di tangan ulama-ulama NU, yang terbiasa dan karib dengan tradisi Balaghah, mulai dari konsep sampai penggunaan istilah dilakukan dengan teliti dan seksama. Istilah “Tanah Air” dipilih, meminjam analisis Said Aqil Siroj (2007), sebab karakter manusia Indonesia adalah karakter tanah dan air. Tanah dan air adalah dua unsur yang jika disatukan ia akan menjelma kekuatan dan kepaduan yang sekaligus mengandung unsur keindahan. Contoh mudahnya adalah kerajinan gerabah. Adonan tanah dan air menjadi sedemikian indah. Di sanalah watak serta karakter manusia Indonesia. Manusia yang secara naluriah diciptakan untuk cenderung bersatu-padu. Berbeda dengan misalnya konsep yang ditawarkan Arab Saudi. Watak penduduknya sebagaimana watak pasir. Hal ini tidak jauh dari karakter geografis daerahnya yang didominasi oleh sebagian besar padang pasir. Karakter pasir adalah semakin ia digenggam atau disatukan semakin pula ia bercerai-berai dan berantakan. Semakin kita merekatkan genggaman telapak tangan yang berisi pasir, semakin pula ia akan bercerai berai tak keruan. Faktanya hari ini bisa kita lihat sejarah ”Barat Daya” (Timur Tengah dalam pandangan orang-orang Barat), termasuk Arab Saudi adalah sejarah perceraian dan pertikaian.
  • 46. 46 Ketepatan memilih konsep dan istilah itu menjadi bagian sangat diperhatikan oleh ulama- ulama NU kala itu. Termasuk tatkala menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Redefinisi Makna Lepas dari akar sejarah Hari Pahlawan yang dipantik oleh Resolusi Jihad tersebut, saya teringat pada sosok YB Mangunwijaya (1997). Romo Mangun pernah mengatakan bahwa makna pahlawan harus kita perbarui sepanjang waktu. Pahlawan bukan saja mereka yang baku hantam berjuang melawan penjajah. Namun, lebih dari itu, pahlawan adalah siapa saja yang hari ini masih memiliki kecintaan pada negeri ini serta berkomitmen untuk mengisi pembangunan dengan perbuatan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, tanpa memedulikan sekecil apa pun perbuatan itu. Alakullihal, menjadi pahlawan bukan selalu soal peperangan. Menjadi pahlawan adalah kemauan untuk berbuat dan untuk selalu melakukan usaha-usaha perubahan untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Selamat Hari Pahlawan! A HELMY FAISHAL ZAINI Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
  • 47. 47 Pahlawan dan Kebenaran Koran SINDO 10 November 2015 Makna pahlawan dan kepahlawanan selama ini nyaris didominasi oleh memori publik tentang semangat perjuangan dengan sosok atau potret pejuang yang kuat, gagah, dan berani. Padahal, pahlawan juga memiliki makna yang tidak kalah utama yaitu soal semangat membela dan memperjuangkan kebenaran. Pemahaman yang terakhir ini seakan terlupakan alias tidak menjadi mainstream. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal ini tertuang dengan jelas bahwa pahlawan juga dimaknai sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Lalu, yang menjadi pertanyaan di era politik menuju demokrasi yang semakin terbuka saat ini, apakah kebenaran sudah diperjuangkan dan menjadi panglima? Itu yang masih menjadi tanda tanya bagi semua kalangan ketika berhadapan dengan panggung politik yang kompetitif, penuh intrik yang jauh dari sehat. Di sisi lain, kebenaran menjadi harga mati dan rumus baku bagi politik meskipun publik acapkali melihat bahwa wajah politik kita penuh tipu muslihat dan tidak argumentatif. Semua berujung pada tercapainya keputusan dan kekuasaan politik. Politik seakan membuat sesuatu yang sederhana menjadi sebegitu kompleks. Ini dinamika. Praktis, kebenaran semestinya menjadi instrumen penting dalam politik. Sayangnya, panggung politik kita saat ini lebih banyak menampilkan kekuasaan an sich. Bicara soal panggung politik, penulis teringat ungkapan sastrawan Inggris, William Shakespeare, ”The World is a stage and all the men and women merely players”. Ungkapan inilah yang kemudian dikuatkan oleh sosiolog Erving Goffman tentang teori dramaturgi politik dalam bukunya The Presentation of Self In Everyday Life. Goffman memandang interaksi sosial layaknya pertunjukkan teater dan manusia adalah aktor utamanya. Manusia akan mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya bisa dinikmati penonton. Drama Politik Apa yang diungkap Goffman adalah potret panggung politik di negeri ini. Memperjuangkan suara rakyat, menegakkan hukum, dan memberantas korupsi menjadi barisan jargon politik yang populer di mata publik. Sayangnya, jargon ini perlahan menjadi sekadar jargon tanpa dan jauh dari kritik. Revisi UU KPK misalnya selalu dipandang sebagai aksi pro terhadap koruptor. Hakim yang membebaskan terdakwa korupsi misalnya dianggap pro-koruptor. Politisi yang berupaya mengkritik KPK dipandang tidak berpihak pada pemberantasan
  • 48. 48 korupsi. Padahal, boleh jadi sikap mereka berlandaskan kebenaran. Tak ayal, kebenaran telah absen dari relasi sosial dan politik kita. Belum berhenti di situ, kebenaran kemudian juga mengalami reduksi karena kata ini seakan tidak layak lahir dari orang-orang yang sudah terstigma buruk di mata publik. Kebenaran sudah dibuat berpihak pada kekuasaan, padahal kebenaran memiliki nilai-nilai universal. Satu-satunya sasaran tembak yang selama ini diposisikan sebagai lawan kebenaran adalah elite politisi. Tone negatif yang selama ini melekat, atau dilekatkan, pada politisi dan tentu saja partai politik seakan menjauhkan potensi kebenaran pada diri mereka baca: politisi. Ujungnya yang terjadi adalah tergerusnya kepercayaan (trust) dari publik pada politisi. Kemudian yang terjadi adalah semangat delegitimasi partai politik. Apalagi, fenomena politik baru dengan naiknya Joko Widodo sebagai presiden dalam kontestasi politik 2014, dengan gerakan relawan yang masif, seakan-akan membenturkan eksistensi partai politik dengan masyarakat. Semangat Pahlawan Kini sudah saatnya kita mulai merajut kembali kebenaran yang selama ini ”tersingkirkan” oleh nafsu kekuasaan, hukum yang berat sebelah, dan kepentingan politik jangka pendek. Seperti semangat kepahlawanan yang disinggung di awal tulisan bahwa bagi siapa pun yang memiliki semangat membela dan memperjuangkan kebenaran, dialah pahlawan. Bagi siapa saja yang berani mempertaruhkan harkat dan martabatnya untuk menegakkan kebenaran, dia adalah pahlawan. Tentu semangat ini bukan sesuatu yang baru. Pertempuran 10 November 1945 silam adalah perjuangan menegakkan kebenaran. Kebenaran itu adalah kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan, tidak bisa diganggu gugat lagi oleh datangnya sekutu ke negeri ini. Penjajahan adalah bentuk perlawanan dari nilai-nilai kebenaran. Mengapa Resolusi Jihad yang terjadi sebelum pertempuran 10 November? Semua tak lepas dari landasan kebenaran. Kebenaran jugalah yang melandasi para kiai dan santri bertekad melawan penjajah yang berniat menguasai kembali Tanah Air melalui Resolusi Jihad tersebut pada 22 Oktober 1945. Dalam mitologi Barat, pahlawan adalah seseorang yang diberikan karunia atau kekuatan mahadahsyat serta keberanian yang luar biasa untuk membela kebenaran dan membela yang lemah. Ini pula yang bisa kita lihat dari sosok-sosok seperti Soekarno, Hatta, dan generasi pejuang kemerdekaan lainnya. Jika disatukan dan dicari benang merah mengapa mereka berjuang, tak lain adalah karena memperjuangkan kebenaran. Maka itu, tidak salah kiranya jika di momentum Hari Pahlawan tahun ini kita coba menggali bersama untuk merumuskan tekad kepahlawanan kita untuk membangun kebersamaan demi mempertahankan dan membela sebuah kebenaran. Memperjuangkan aspirasi rakyat,
  • 49. 49 menegakkan hukum tanpa pandang bulu, melawan liberalisasi, dan membuka akses ekonomi seluas-luasnya demi kesejahteraan rakyat adalah nilai-nilai kebenaran saat ini yang harus diperjuangkan. Kita berharap muncul banyak pahlawan masa kini di dalam segala lini kehidupan. Kebenaran harus menjadi landasan kuat bagi bangsa ini guna mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial dan budaya. Tentu, semua harus bernafaskan kebenaran dan tentu saja keadilan bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Selamat Hari Pahlawan! ANNA LUTHFIE Ketua DPP Partai Perindo