SlideShare a Scribd company logo
1 of 35
Caraka
Senin, 12 Mei 2014
Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan dewa-dewa Yunani Kuno kepada manusia,
konon berjalan hanya di malam hari. Ia, sang caraka, menempuh jalur dan tikungan yang
sulit.
Kearifan acap datang dalam perumpamaan; Hermes adalah salah satunya. Sebuah pesan,
apalagi dari yang mahajauh, tak pernah transparan. Mungkin itu sebabnya dengan latar yang
gelap dan tak lurus oknum mithologi yang misterius ini tampil dalam pelbagai awatara.
Hanya ada satu identitasnya yang agak tetap: ia seorang putra Zeus, raja kahyangan itu; ia
lincah dalam pelbagai hal yang berhubungan dengan kata-kata.
Nama Hermes terkait dengan ermeneus, sang penafsir. Setidaknya itu yang disebut dalam
rekaman percakapan Sokrates dengan Kratylos di abad ke-4 sebelum Masehi. Sokrates,
sebagaimana dikutip Plato, menjelaskan bahwa sang penafsir dianggap juga sang pembawa
pesan—tapi juga sang "pencuri", "pendusta", dan "tukang menawar".
Dan semua awatara itu, kata Sokrates, ada urusannya dengan bahasa. Hermes adalah si cerdik
dalam hal cerita dan percakapan.
"Cerdik". "Pencuri". "Pendusta". "Tukang menawar". Dengan imaji-imaji Hermes yang
hanya berjalan di malam hari itu agaknya kita diharapkan mafhum bila sebuah pesan tak
pernah terjamin akan transparan dan seutuhnya lurus. Bila pesan adalah ibarat utusan dari
satu pihak ke pihak lain, bentrokan bukan hal yang luar biasa.
Ada sebuah dongeng tentang asal-usul huruf Jawa yang mengisyaratkan itu. "Ha-na-ca-ra-
ka…" adalah kisah tentang dua orang utusan Raja Ajisaka yang sama-sama setia, tapi
akhirnya bersengketa. Yang satu diberi pesan baginda agar menjaga keris pusakanya selama
ia mengembara ke tempat lain. Yang lain diberi pesan untuk mengambilnya kembali. Ajisaka
yakin pesan itu punya makna yang sama: perintah yang menegaskan miliknya, titah yang
harus ditaati. Tapi sang Raja keliru. Makna itu tak bisa lagi lurus ketika menempuh proses
interpretasi. Kedua utusannya saling membunuh. Ajisaka ingin mencegah hal yang sama
terjadi; ia bermaksud menstabilkan makna dengan mencatatnya dalam huruf hitam di atas
putih.
Tapi stabilitas itu tak tercapai. Hanya mereka yang yakin bahwa manusia bisa mengandalkan
rasionalitasnya yang percaya bahwa makna (karena dijaga huruf dan kata yang definitif) tak
akan cair, mengalir, berubah.
Mereka salah duga. Makna lahir dalam percakapan, dan percakapan tak pernah beku.
Di sini saya akan kembali ke Sokrates. Ia, yang mengaitkan nama Hermes dengan bahasa dan
juga segala sifat yang tak lurus, juga orang yang memusuhi karya manusia yang hidup dalam
bahasa: puisi. Dalam Politeia, ia ingin para penyair dibuang dari negeri yang ideal.
Di satu pihak ia mengakui, puisi bisa dilihat sebagai penyalur sabda dewa-dewa ke dalam
bahasa manusia; tapi di sisi lain ia menganggap puisi menyesatkan. Puisi adalah suara
irasional, dan hanya intelek (nous) yang mampu menangkap kebenaran.
Tapi jika Sokrates benar mengenai Hermes, ia salah menduga bahwa kebenaran hanya
tersingkap secara demikian—dan bahwa puisi mendistorsikan komunikasi. Bahasa bukan cul-
de-sac, bukan sebuah tabung yang terbuka di pangkal dan tertutup di ujungnya. Bahasa
adalah sebuah proses tanpa ujung, tanpa tutup—dan sesungguhnya ke dalamnya selalu hadir
apa yang diam.
Berabad-abad kemudian sejak Plato dan Sokrates, setelah sejarah mengajarkan banyak
kekecewaan dan harapan dalam komunikasi manusia, kita bisa berbicara tentang bahasa
justru dengan berpegang pada puisi: ketika ke dalam diri kita sebuah sajak Rendra bisa
mengungkapkan secercah makna, kita mengalaminya seperti ketika kita bertemu dengan
sebuah karya Rusli atau S. Teddy. Sebuah keseluruhan makna terjadi tanpa karya itu
mengekspresikannya seluruhnya, dengan garis, warna, kata. "Tiap patah kata," kata Gadamer,
"sebagai sebuah kejadian di suatu saat, membawa serta apa yang tak dikatakan." Ke dalam
apa yang tak dikatakan itu kata menjawab dan juga menyeru.
Seperti dalam Stanza Rendra ini:
Ada burung dua, jantan dan betina
Hinggap di dahan
Ada daun, tidak jantan tidak betina
Gugur dari dahan
Ada angin dan kapuk randu, dua-dua sudah tua
Pergi ke selatan
Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
Mengendap dalam nyanyiku
Goenawan Mohamad
Yang Mulia
Sabtu, 10 Mei 2014
Putu Setia
Yang mengesankan dari kesaksian Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor Jakarta,
Jumat lalu, adalah cara dia menyapa hakim dan jaksa. Boediono, sebagaimana layaknya para
terdakwa dan saksi dalam persidangan yang lain, menyebut "Yang Mulia". Berbeda dengan
mantan wakil presiden Jusuf Kalla, yang cukup menyapa hakim dan jaksa dengan "Bapak"
atau "Pak". Apakah Jusuf Kalla terpengaruh lagu dangdut: "Bapak hakim dan bapak jaksa,
tolonglah...."
Bagaimana seharusnya menyapa para hakim dalam persidangan? Saya pernah berbincang-
bincang dengan seorang pakar hukum (dan teman itu, alhamdulillah, pernah menjadi Menteri
Hukum dan HAM). Dia menyebutkan, hakim dalam sidang harus disapa "Yang Mulia".
Dengan pakaian kebesaran itu, hakim adalah "wakil Tuhan". Keputusan hakim selalu
membawa-bawa nama Tuhan. Semua orang harus hormat kepada hakim. Kalau di luar sidang
mau disapa "Mas", "Bapak", "Bung", "Kakak", terserah. Diajak bercanda juga bisa.
Artinya, kita menghormati simbol. Saya pernah ikut mengecam seorang teman ketika ia
ditangkap karena membakar gambar Presiden Yudhoyono yang persis sebagai simbol kepala
negara. Sepanjang presiden itu masih sah, adalah penghinaan membakar fotonya. Sebaliknya,
saya pernah membela sebuah kelompok yang dituduh menginjak-injak bendera Merah Putih,
padahal yang diinjak itu kain merah dan kain putih yang membentang semrawut. Itu bukan
bendera, karena bendera kebangsaan adalah simbol yang jelas perbandingan ukuran panjang
dan lebar maupun porsi merah dan putihnya. Kalau semua warna merah dan putih yang
bersanding dianggap "bendera", tim nasional PSSI tak boleh bercelana putih dan berbaju
merah, karena "bendera" itu kadang dijatuhkan dan dilecehkan.
Dulu, sewaktu saya kecil, masyarakat sangat menghormati simbol. Polisi yang berpakaian
seragam pun dianggap simbol negara. Saat itu ada polisi di desa yang bertengkar dan
lawannya meminta, kalau mau tanding, buka dulu baju seragam. Alasannya, berkelahi
melawan polisi berseragam berarti melawan aparat negara, berarti memusuhi negara.
Kalau polisi berseragam saja dihormati, apalagi presiden. Bukankah menyapa Presiden
Sukarno tak boleh sembarangan? Di kelas II SMP, ketika akan ikut menyambut kedatangan
presiden, saya dimarahi guru karena menulis dalam poster "Selamat Datang Bapak Presiden
Soekarno". Harus ada kata PJM di depan kata "bapak". Apa itu PJM? Paduka Jang Mulia.
Foto resmi presiden ketika itu tertulis "PJM Soekarno, Presiden RI".
Siapa yang tahu sejarahnya kenapa anggota DPR disapa "Yang Terhormat"? Karena mereka
mewakili rakyat. Kalau mereka tak diberi predikat "terhormat", seluruh rakyat jadinya tidak
terhormat. Sampai sekarang pun sebutan itu muncul dalam forum resmi, meski kita tahu
sudah sekian banyak anggota DPR yang ditahan karena korupsi.
Presiden dan wakil presiden, walau tak lagi dengan sapaan Paduka Yang Mulia, tetaplah
simbol negara. Ke mana-mana dikawal secara kenegaraan. Jangankan masih menjabat, baru
jadi calon presiden saja dikawal. Coba lihat sebentar lagi, Jokowi pasti dikawal, suka atau tak
suka. Berlebihan jika ada yang mengecam Boediono karena dikawal pasukan resmi ketika
menjadi saksi di Pengadilan Tipikor. Yang dikawal bukan Boediono sebagai orang Yogya,
melainkan simbol kenegaraan. Dan jika dalam sidang Boediono menyebut hakim dengan
"Yang Mulia", itu bukan merendahkan jabatan wakil presiden, melainkan karena hakim
simbol pengadil di dunia ini, "mewakili" Pengadil Maha Tinggi. Mari kita hormati simbol-
simbol kenegaraan, untuk menghormati negara kita.
Politik Simbol
Senin, 12 Mei 2014
Ali Rif'an, Peneliti Pol-Tracking Institute
Simbol memang tidak bisa mengubah bangsa secara langsung, karena tidak memiliki energi
konkret. Akan tetapi, simbol memiliki kekuatan abstrak, semacam informasi yang bisa
menggerakkan, yang jika digunakan dengan baik bisa mengubah suatu bangsa.
Dalam sejarah negara-negara di dunia, para pemimpin besar selalu memproduksi simbol
sebagai modalitas untuk menggerakkan masyarakat. Mahatma Gandhi, misalnya, lekat
dengan simbol anti-kekerasan, Sukarno punya simbol anti-imperialisme, Nelson Mandela
sebagai simbol anti-rasisme, Khomeini sebagai simbol revolusi Islam, serta Bung Hatta
sebagai simbol koperasi Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana dengan simbol yang dimiliki oleh para capres mendatang? Tentu
ada banyak simbol yang telah diproduksi, khususnya capres dari PDI Perjuangan, Joko
Widodo (Jokowi), dan capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Jokowi, misalnya, dikenal dengan simbol "pro-wong cilik", sementara Prabowo "pemimpin
kuat". Itu terlihat dari gaya komunikasi Jokowi serta gestur dalam kesehariannya yang
sederhana, sementara Prabowo Subianto terkesan berkelas. Saat berkampanye, Jokowi sering
blusukan dan berjalan kaki, sementara Prabowo Subianto menunggang kuda dan memakai
helikopter, seperti saat memimpin kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK),
23 Maret lalu.
Simbol-simbol yang dibangun oleh kedua capres di atas agaknya tidak sembarangan, alias
memiliki dasar filosofis dan historis. Sebab, simbol sejatinya adalah rangkuman gagasan dan
arah perjuangan. Dengan simbol "pro-wong cilik", orientasi mendasar kepemimpinan Jokowi
adalah bagaimana ngopeni (mengurus) rakyat, menyapa, dan memberdayakan mereka, serta
mengangkat harkat dan martabat rakyat kecil.
Masyarakat, yang selama ini tak memiliki akses dengan presiden, di pemerintahan Jokowi,
barangkali akan mendapatkan kemudahan. Mungkin Jokowi akan seperti mendiang Gus Dur
yang mengubah "Istana Kepresidenan" menjadi "Istana Rakyat". Sedangkan dengan simbol
"pemimpin kuat", Prabowo Subianto ingin membawa bangsa ini menjadi "macan Asia".
Orientasi mendasar Prabowo dalam kepemimpinannya ke depan barangkali adalah
bagaimana membuat bangsa ini disegani oleh negara-negara lain.
Prabowo tipe pemimpin yang kuat dari sisi gagasan dan narasi, sementara Jokowi tipe
pemimpin yang bekerja dari hati dan tanpa basa-basi. Gaya bahasa Jokowi sangat alami dan
merakyat, sementara gaya bahasa Prabowo lantang dan seperti bangsawan.
Tapi menariknya, meski antara Jokowi dan Prabowo terlihat kontras, keduanya merupakan
antitesis dari gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gaya blusukan
Jokowi, misalnya, antitesis dari kepemimpinan SBY yang terkesan penuh citra. Sedangkan
gaya lantang Prabowo menjadi antitesis kepemimpinan SBY yang terkesan "lembek". Itulah
kenapa kedua tokoh ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, khususnya sambutan
terhadap Jokowi dengan elektabilitas tak tertandingi.
Pertanyaannya, antara gaya Jokowi dan Prabowo, mana yang lebih cocok memimpin roda
pemerintahan mendatang? Setiap dari kita pasti punya jawabannya. Yang jelas, masyarakat
kita adalah masyarakat majemuk, tentu selera capres sangat berbeda-beda. Adanya simbol
dalam politik sangat berguna untuk memberikan disparitas antara satu kandidat dan kandidat
lainnya. Selain itu, simbol berguna untuk menarik simpati pemilih. Simbol ibarat merek,
semakin bagus akan diminati pembeli. Tentu saja antara merek dan kualitas barang harus
sepadan. Karena, ketika simbol tidak dibarengi kualitas, yang terjadi adalah kekuatan horor.
Julia Kristeva dalam Power of Horror mengatakan horor adalah kekuatan sistematis yang
secara berkelanjutan mengembangkan cara untuk menjadikan pihak lain sebagai obyek
kebencian (Piliang, 2005: 125).
Tentu kita tidak ingin horor politik-seperti saling serang dan menikam-terjadi dalam pilpres.
Masa kampanye pilpes nanti jangan sampai diisi oleh kampanye hitam, baik saling sindir
melalui puisi maupun melalui ungkapan-ungkapan berbau rasis yang bisa memprovokasi
masyarakat. Perang simbol sangat diperlukan, tapi perang otot jangan. Sebab, jika politik
sudah menggunakan otot, simbol positif dapat berubah menjadi simbol negatif. Seperti Qarun
yang terkenal dengan simbol kerakusan manusia, Qabil sebagai simbol kekerasan manusia,
Hitler sebagai simbol genosida,Usamah bin Ladin-yang oleh George W. Bush dikatakan
sebagai simbol terorisme global-dan lain-lain.
Akhir kata, kita tak ingin di antara salah satu capres kita nanti ada yang mendapatkan
(kutukan) simbol negatif. Publik ingin pilpres mendatang berjalan pada jalurnya. Hindari
kampanye hitam, apalagi politik otot.
Jahiliah Rasisme
Senin, 12 Mei 2014
Azis Anwar Fachrudin, Santri di Jaringan GusDurian, Yogyakarta
Rasisme mulai mewarnai kampanye pilpres, terutama di jejaring sosial. Rasisme itu tidak
hanya menyoal agama, tapi juga latar belakang keluarga (nasab). Yang memprihatinkan,
sebagian dari kampanye rasis itu muncul dari mereka yang menisbahkan diri pada
(organisasi) Islam.
Kepada mereka yang demikian, mari menengok kembali beberapa fragmen dalam sejarah
Nabi (sirah nabawiyah).
Pertama, risalah Islam lahir sebagai, antara lain, antitesis era pra-Islam yang disebut
"Jahiliah". Di antara ciri-ciri Jahiliah: fanatisme tribal ('ashabiyyah qabaliyyah). Gengsi suku,
nasab, dan saudara-sedarah di atas segala. Di antara ungkapan yang menjadi peribahasa
waktu itu: unshur akhaka zhaliman aw mazhluman (tolong saudaramu, baik ia yang berbuat
zalim maupun dizalimi). Kebenaran, dalam dunia Jahiliah, bukan didasarkan pada keadilan
dan moralitas, melainkan suku: "Benar atau salah, yang benar dan aku bela tetaplah anggota
sukuku!" (Dalam konteks saat ini, "suku", dalam taraf tertentu, bisa dianalogikan dengan
afiliasi politik)
Sejarah mencatat, terdapat sengketa cukup lama antara, misalnya, suku Quraisy versus suku
Khuza'ah (di Mekah) dan suku Aus versus suku Khazraj (di Madinah). Sengketa itu pelan-
pelan dikikis setelah Islam mereka terima. Islam mendasarkan persaudaraan (ukhuwah) pada
iman, bahkan lebih luas lagi dalam level "negara" pada kontrak sosial Piagam Madinah, yang
mengikat setara kepada segenap warga Madinah (muslim, Yahudi, dan sedikit penganut
kepercayaan lain) untuk saling membela jika musuh dari luar menyerang.
Dalam Islam, kemuliaan tak lagi diukur dengan nasab, melainkan dengan ketakwaan dan
moral. Sebagian orang yang masuk Islam mula-mula justru para budak, seperti Bilal dan
Shuhaib. Narasi bangsawan musyrik Mekah lalu menyebut diri mereka kaum elite (mala')
yang tak pantas mengikuti jalan para budak muslim yang-mereka sebut-kaum pandir
(sufaha') itu.
Begitulah "pandangan dunia" Jahiliah. Maka, ketika ada muslim yang masih berpandangan
bahwa seseorang benar semata karena ia dari ras A, dan seseorang salah semata karena ia dari
ras B, hakikatnya muslim itu kembali ke alam Jahiliah.
Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya hijrah ke Madinah, status mereka ialah para
imigran (Muhajirin). Tapi kemudian Nabi menjadi pemimpin politik, "mengatasi" mereka
yang pribumi.
Sejarah mencatat, perbedaan status ini sering dimanfaatkan oleh kaum munafik di Madinah,
pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul. Sebagaimana direkam Al-Quran, narasi yang
dikampanyekan kaum munafik itu: mestinya orang-orang pribumi-mulia (al-a'azz) tidak
dikuasi oleh para imigran-hina (al-adzall). Kampanye itu ingin memecah-belah Madinah
yang sebelumnya sudah bersatu (Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan Nabi) dan sedang
mempertahankan eksistensi politiknya.
Politik rasis-diskriminatif dengan narasi imigran-pribumi itu ialah manuver kaum munafik
Madinah. Mestinya orang-orang Islam tak hendak mengulanginya, termasuk dalam
kampanye menjelang pilpres kali ini.
Ketiga, satu dari tiga sikap Jahiliah yang dilarang Nabi, dan ini direkam dalam beberapa
riwayat hadis sahih, ialah mencela nasab (at-tha'nu fil-ansab). Saya berharap para tokoh
organisasi Islam yang berpengaruh di negeri ini masih menyadari sabda Nabi itu.
Bahasa Politik
Senin, 12 Mei 2014
Bagja Hidayat, @hidayatbagdja
Dalam buku When Cultures Collide, Richard D. Lewis menganalisis 65 bahasa dari cara
bertutur pemakainya dalam diplomasi dan negosiasi. Untuk bahasa Indonesia, ahli
komunikasi dari Inggris yang fasih berbicara dalam sebelas bahasa itu menyimpulkan bahwa
kita cenderung eufimistik dan ambigu. Jika berbicara, kalimat orang Indonesia tak langsung
pada makna dan maksud sebenarnya.
Tentu saja Richard Lewis menganalisis pemakaian dan tuturan bahasa Indonesia modern.
Edisi ketiga buku ini terbit akhir tahun lalu dan mendapat penghargaan Klub Buku Eksekutif
di Amerika Serikat. Ia mengamati bahasa Indonesia yang sudah terpengaruh oleh bahasa
Jawa atau Sunda, bahasa-ibu penutur terbesarnya. Kecuali bagi orang Riau, bahasa Indonesia
adalah bahasa asing.
Bagi orang Jawa atau Sunda, bahasa adalah séloka, kata tak mesti diucapkan sesuai dengan
makna sebenarnya. Konon, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak punya padanan istilah
untuk penis dan vagina, sebagai cara kita bersopan santun. Dan eufimisme pada era Orde
Baru menjadi alat politik yang efektif untuk memanipulasi keadaan. Tentara yang menangkap
dan menginterogasi seseorang disebut "mengamankan", kenaikan harga diumumkan sebagai
"penyesuaian".
Politik bahasa lebih dari tiga dekade itu berpengaruh ke dalam bahasa politik kita hari-hari
ini. Sampai sebulan sebelum pemilihan legislatif, kita tak tahu dan terus menebak-nebak
apakah Joko Widodo akan dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dan
sampai hari ini kita tak tahu apakah Jokowi punya keinginan dan niat yang tulus menjadi
seorang presiden. Dalam pernyataan publiknya, Gubernur Jakarta ini selalu mengelak,
"Copras, capres, copras, capres, ora urus!"
Dalam mandat yang diberikan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun Jokowi
disebut sebagai "petugas partai". Artinya, ia hanya menjalankan titah pihak lain, seorang
yang sejak awal tak punya niat menggapai kedudukan itu. Padahal, dari banyak liputan
media, kita tahu di belakang dia ada sebuah tim siber yang menyiapkan pencalonannya sejak
ia menjabat Wali Kota Solo. Mungkin itu semacam strategi politik, strategi politik di
Indonesia.
Sebab, orang yang sejak awal berterus-terang ingin menjadi presiden segera dicemooh
sebagai gila kekuasaan. Popularitas politikus semacam ini akan selalu rendah. Pada Jokowi,
sejak ia ikut bertarung dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012, popularitasnya sebagai
calon presiden selalu di atas 40 persen. Di sini, ambisi politik adalah sebuah aib. Dan kita
punya kata peyoratif untuk mencemooh pejabat publik yang bekerja sungguh-sungguh:
pencitraan.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dihujat ketika ia menangis dalam acara televisi Mata
Najwa dan apa yang dilakukannya membereskan ibu kota Jawa Timur itu dicurigai sebagai
upaya mendapat simpati publik untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Di zaman ketika
kenyinyiran disebarkan dengan mudah dan cepat ini, dan kebebalan dipertontonkan 24 jam,
kita terbiasa tak mudah percaya.
Dengan cara berkomunikasi kita seperti itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mendua
dan penuh sopan santun yang sering kali menipu. Sebagai bahasa yang lahir karena politik,
bukan alat politik sejak mula, pemakaian bahasa Indonesia ditentukan oleh elite yang
bermain peran di dalamnya.
Merekrut Presiden
Selasa, 13 Mei 2014
Flo. K. Sapto W, Praktisi pemasaran
Pemimpin tertinggi di sebuah institusi umumnya membawa atmosfer tersendiri. Misalnya,
petinggi sebuah perusahaan sayuran dan makanan segar sangat mengutamakan suasana
kekeluargaan. Sapaan ramah dan kebiasaan selalu datang lebih pagi dan pulang paling akhir
menjadi stimulus positif. Adapun pemimpin di grup perusahaan lain sangat menekankan
produktivitas. Output karyawan dihitung layaknya sebuah mesin. Sementara itu, ada juga
pemimpin korporasi yang gemar sekali mengumbar caci-maki dan umpatan.
Pemilik tidak pernah terlepas dari perbandingan kinerja para middle manager-nya dengan
para penghuni kebun binatang. Anjing ekspatriat peliharaan pemilik perusahaan sering kali
dipuji lebih cerdas daripada jajaran struktural perusahaan. Meeting reguler di sebuah
perusahan minuman juga dikenal sebagai arena akrobat. Pemimpin tertingginya sangat gemar
melempar segala jenis alat kantor. Setiap kali ada ketidakbecusan kinerja, akan ada lemparan
pena, penghapus, spidol, bahkan hand phone. Konon, dua situasi terakhir-yaitu umpatan dan
lemparan-dipercaya cukup efektif meningkatkan optimalisasi kinerja. Namun, bagi para
sebagian eksekutif muda, situasi itu ditanggapi dengan santai. Gaji puluhan juta cukup
sebanding dengan risiko itu. Bagi studi menajemen sendiri, tipe karakter atau perilaku
manakah yang sebaiknya dimiliki oleh para pemimpin atau pemilik perusahaan?
Menurut Gary Yukl dalam Leadership in Organizations (2010), pola kepemimpinan yang
efektif adalah kombinasi antara task oriented behaviors, relations oriented behaviors, dan
change oriented behaviors. Ketiganya secara sederhana dijabarkan sebagai gabungan dari
perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada operasionalisasi pekerjaan, pendekatan
relasional, dan ketanggapan terhadap perubahan. Apakah pendekatan perilaku ini berlaku
juga dalam penetapan karakter calon presiden?
Tanpa bermaksud menyederhanakan faktor ideologi, dikotomi pemimpin perusahaan atau
kepala negara, serta kompetensi lainnya, pada prinsipnya, secara manajerial, pemilihan
presiden identik dengan upaya perekrutan pada umumnya. Tujuan perekrutan sendiri, seperti
yang dijelaskan oleh William P. Anthony, et al., dalam Human Resource Management
(2006), adalah mendapatkan kandidat yang mampu mematuhi prosedur dan kebijakan
perusahaan. Pada saat yang sama, kandidat juga dituntut untuk mengembangkan
kreativitasnya. Dalam prakteknya, terobosan-terobosan inovatif sering kali bisa didapatkan
dari kandidat yang memiliki pengalaman organisasi sosial kemasyarakatan yang beragam.
Hal ini akan berbeda dengan kandidat yang relatif hanya berkutat dalam komunitas yang
seragam-misalnya organisasi intra sekolah.
Berdasarkan rekam jejak, kecenderungan perilaku kandidat juga bisa didapatkan.
Kecenderungan ini umumnya akan terlihat pada kondisi spesifik (marah, sedih, terpojok, dan
lainnya). Di sinilah kandidat akan menunjukkan karakter aslinya, apakah ia cenderung
berperilaku panik, murka, emosional, atau tetap bijaksana dan tegas. Satu hal yang telah
dijadikan catatan-terutama oleh publik sebagai pemilik saham negeri ini-karakter tegas tentu
tidak sama dengan kejam.
Miskin, Rentan, dan Timpang
Selasa, 13 Mei 2014
Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik
Rezim berkuasa saat ini kembali menorehkan capaian gemilang dalam hal pembangunan
ekonomi. Hal ini tecermin dari laporan terbaru Bank Dunia yang menyebutkan bahwa
Indonesia termasuk dalam 10 besar ekonomi dunia.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam purchasing power parity atau paritas daya
beli pada 2011 dilaporkan mencapai US$ 2.058 miliar. Dengan PDB sebesar ini, Indonesia
berada pada urutan ke-10 dari 199 negara, dan berkontribusi sebesar 2,3 persen terhadap PDB
dunia.
Capaian ini tentu membanggakan. Namun, di balik kebanggaan itu, ada kecenderungan
bahwa kemajuan ekonomi yang telah dicapai selama ini, yang tergambar melalui angka-
angka PDB dan pertumbuhan ekonomi, hanya menguntungkan kelompak menengah-kaya,
dan kian meninggalkan kelompok miskin. Dengan kata lain, yang kaya semakin kaya, dan
yang miskin tetap-bahkan bertambah-miskin.
Data-data statistik telah memberi konfirmasi mengenai hal ini. Hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Sesunas), misalnya, menunjukkan bahwa saat pengeluaran kelompok terkaya
tumbuh menjulang sepanjang 2013, pengeluaran kelompok termiskin justru tumbuh negatif.
Jadi, tidak mengherankan bila kemajuan yang terjadi masih menyisakan sekitar 28 juta
penduduk miskin. Ekonomi memang tumbuh mengesankan selama dasawarsa terakhir.
Namun, faktanya, pertumbuhan ini hanya mampu menghela sekitar 8 juta orang keluar dari
kemiskinan.
Secara faktual, meski PDB per kapita telah mencapai US$ 8.539 per tahun pada 2011, sekitar
43 persen penduduk Indonesia masih hidup dengan pengeluaran di bawah US$ 2 per hari atau
US$ 730 per tahun. Artinya, nyaris 103 juta penduduk Indonesia masih berkategori miskin
menurut standar Bank Dunia.
Jumlah penduduk hampir miskin (near poor) juga masih sangat tinggi. Pada 2011, jumlah
penduduk dengan pengeluaran per bulan kurang dari
Rp 350 ribu atau satu setengah kali garis kemiskinan mencapai 40 persen dari jumlah total
penduduk. Angka ini menunjukkan 66 juta penduduk Indonesia sangat rentan (vulnerable)
terperosok ke jurang kemiskinan bila terjadi gejolak ekonomi
Tidak membikin heran bila rasio Gini telah mencapai 0,41 poin. Angka ini memberi
konfirmasi bahwa pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar dinikmati
oleh kelas menengah dan kaya. Hasil Susenas juga memperlihatkan, pada 2013, sekitar 49
persen pendapatan yang tercipta dalam perekonomian dinikmati oleh 20 persen penduduk
terkaya. Sebaliknya, 40 persen penduduk termiskin hanya kebagian sekitar 17 persen dari
angka pendapatan total.
Itu pun dengan catatan, gambaran distribusi pendapatan yang terpotret melalui data Susenas
sebetulnya cenderung kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Pasalnya, rasio Gini
galibnya dihitung dengan menggunakan data pendapatan, bukan data pengeluaran yang
dikumpulkan melalui Susenas, yang cenderung underestimate.
Sejumlah persoalan yang diulas tersebut merupakan buah dari pertumbuhan ekonomi yang
kurang berkualitas. Selama ini, pertumbuhan lebih ditopang oleh sektor jasa (non-tradable)
sehingga kurang melibatkan penduduk miskin. Karena itu, persoalan kemiskinan, kerentanan,
dan ketimpangan pendapatan yang semakin jomplang harus menjadi fokus perhatian
pemerintah mendatang. Tak bisa ditawar lagi, pertumbuhan ekonomi mesti berkualitas.
Demi Indonesia 2045
Selasa, 13 Mei 2014
Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
Tahun 2045, tahun di mana kita akan merayakan seabad Indonesia merdeka, tinggal 31 tahun
lagi. Apakah kita akan menjadi negara maju dalam tempo 31 tahun? Kalau kecepatan
pembangunan bisa seperti Korea Selatan selama 1970–2000, kita bisa mencapainya.
Dewasa ini, upah minimum di Korea Selatan adalah US$ 4,63 per jam, berbanding dengan
upah minimum di Indonesia sekitar US$ 0,52 per jam. Artinya, produktivitas tenaga kerja di
Korea Selatan minimum 8,9 kali lebih besar daripada produktivitas tenaga kerja kita. Jadi,
kalau kita ingin pada 2045 mencapai posisi Korea Selatan dewasa ini, untuk gambaran kasar,
paling tidak kita harus mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja kita 8,9 kali dari
posisi sekarang. Mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara mudah. Mengapa?
Mari kita lihat gambaran kekuatan makro-ekonomi kita dalam konteks global, sebagaimana
dicerminkan dalam neraca pembayaran (barang, jasa, dan modal) Indonesia. Kita
menyaksikan bahwa neraca jasa ini selalu defisit, kecuali untuk tenaga kerja Indonesia (TKI)
dan turisme. Persoalan jasa ini merupakan simbol kelemahan sumber daya manusia dan
institusi kita, yang masih belum mampu mengangkatnya menjadi sektor riil yang strategis.
Lemahnya sektor jasa ini tentu berkaitan dengan lemahnya nilai devisa dari perdagangan,
mengingat yang diperdagangkan di pasar dunia sebagian besar adalah bahan mentah atau
produk hasil tenaga kerja murah. Jadi, data pada tabel neraca pembayaran menunjukkan,
walaupun kita banyak memiliki utang luar negeri, produk Indonesia yang dijual ke pasar
dunia tergolong produk murah.
Kita perlu membangun strategi baru. Belajar dari perkembangan faktor K-pengubah siklus
dunia, sebagaimana digambarkan oleh George Modelski, mau-tidak mau, Indonesia harus
bisa memanfaatkan perkembangan terakhir faktor K20, yaitu teknologi komputer, Internet
(IT), dan bioteknologi.
Rancang bangun besar ekonomi Indonesia dewasa ini masih berdasarkan K13 model
perkebunan yang dikembangkan pada 1640 dan struktur ekonomi dualistik masih berlaku.
Model ini sudah perlu diganti karena fenomena inilah yang berlaku bagi Indonesia sekarang.
Model penggantinya adalah industri berdasarkan inovasi.
Landasan teorinya bukanlah teori keunggulan komparatif (comparative advantage),
melainkan teori kreatif seperti yang disampaikan Schumpeter. Cara yang paling mudah
adalah dengan meniru apa yang telah sukses di negara lain dan berhasil menjadi negara maju.
Meniru tidak sama dengan menyalin atau menyontek, melainkan melakukan inovasi yang
disesuaikan dengan situasi-kondisi yang kita hadapi untuk 31 tahun mendatang.
Dari semua kasus yang sukses, baik di Barat maupun di Timur, ternyata terdapat kesamaan
bersama (common denominator), yaitu lahirnya kepercayaan seluruh masyarakat bahwa
kondisi sosial masyarakat bisa diperbaiki dengan diterimanya kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan sebagai faktor utama perubahan.
Kesadaran tersebut melahirkan komitmen antarkelompok penguasa, pengusaha, ilmuwan,
teknolog, industri, dan masyarakat pada umumnya untuk melakukan perubahan-perubahan
nyata dalam memperbaiki harkat dan derajat kehidupan.
Dapat dilihat bahwa yang paling sulit dalam perbuatan meniru ini adalah melahirkan
kesadaran dan membangun komitmen tersebut. Ilustrasi yang paling gamblang adalah
bagaimana Jepang selama 10 tahun terakhir ini memilih kebijakan suku bunga bank sangat
rendah, nol atau negatif. Di sinilah tampak bahwa nasionalisme bisa tidak bertentangan
dengan kapitalisme. Artinya, demi murahnya modal untuk digunakan pihak yang
memerlukannya, pemilik modal rela tidak menerima pendapatan dari bunga. Inilah model
patriotisme kaum kaya Jepang demi negaranya.
Dengan mengambil ilustrasi ini, tidak ada cara lain bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan
produktivitas ekonominya lebih dari 10 kali lipat atau lebih dari produktivitas sekarang, demi
Indonesia 2045 yang lebih baik, kecuali dengan lahirnya para pemimpin, pengusaha kaya
(konglomerat), ilmuwan, dan semua lapisan masyarakat Indonesia yang berkomitmen
bersama demi Indonesia 2045 dan periode seterusnya yang lebih baik.
Hasil Pemilu 2014 merupakan jawaban konkret yang akan memberi gambaran apakah
Indonesia akan mengarah ke sana atau tidak.
Tragedi Mei dan Keadilan bagi Korban
Rabu, 14 Mei 2014
Mimin Dwi Hartono, Staf Komnas HAM, pendapat pribadi
Tragedi Mei, yaitu peristiwa kerusuhan massal pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa
kota besar lainnya, telah terjadi enam belas tahun lalu. Tapi negara masih mengabaikan hak-
hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan proses hukum seusai
penyelidikan Komnas HAM.
Sebelum penyelidikan Komnas HAM berdasarkan mandat Pasal 18 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, pada 23 Juli 1998 dibentuk Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) yang merampungkan laporannya pada 23 Oktober 1998.
TGPF menemukan fakta bahwa kerusuhan tersebut diduga mengakibatkan lebih dari seribu
orang meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang terbakar atau dibakar, ratusan orang
luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap
puluhan perempuan yang sebagian besar dari etnis tertentu, serta ribuan bangunan dibakar.
Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, tapi sebagian besar tidak
ditindaklanjuti oleh pemerintah, misalnya terkait dengan rehabilitasi dan kompensasi bagi
para korban ataupun pengadilan militer untuk petinggi ABRI yang diduga terlibat dan/atau
membiarkan tragedi tersebut.
Salah satu rekomendasi TGPF yang ditindaklanjuti adalah Komnas HAM membentuk Tim
Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM yang berat atas Tragedi Mei.
Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang
cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan
HAM.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM disampaikan ke
Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut pada 9 September 2003.
Selain itu, Komnas HAM mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat agar mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU tentang Pengadilan HAM, untuk peristiwa yang
terjadi sebelum 2000, pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus melalui rekomendasi
DPR.
Pada 2008, Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan belum bisa ditindaklanjuti
karena pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. Merespons hal tersebut, Komnas HAM
berpendapat bahwa penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan tanpa menunggu
pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Proses hukum atas Tragedi Mei yang mengambang dan berlarut-larut telah merugikan banyak
pihak, terutama hak para korban atas keadilan dan asas persamaan di depan hukum yang
menjadi inti negara hukum.
Hak korban atas keadilan dan kepastian hukum telah diabaikan oleh negara selama bertahun-
tahun. Mereka tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Mei yang telah
merampas hak-hak asasinya, termasuk yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup.
Pihak yang diduga adalah para pelaku menghadapi tuduhan yang belum berdasar pada
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berkembangnya opini publik yang
menyalahkan pihak tertentu tidak bisa dielakkan karena pembiaran oleh negara selama
belasan tahun.
Sedangkan masyarakat umum tidak mendapatkan hak atas informasi atas sebuah kebenaran
karena tidak ada ketegasan dari negara untuk mengadili siapa yang bersalah atau bertanggung
jawab dalam Tragedi Mei. Kepastian atas proses hukum Tragedi Mei sangat penting bagi
masyarakat agar mengetahui fakta yang sebenarnya dan tidak menjadi beban bangsa yang
berlarut.
Pemerintah ataupun presiden yang sedang berkuasa selalu akan dibayangi oleh tekanan dari
dalam dan luar negeri karena dinilai tidak mau (unwilling) dan/atau tidak mampu (unable)
menuntaskan Tragedi Mei. Dalam setiap sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau forum-
forum internasional, ketidakjelasan status hukum Tragedi Mei akan selalu dipersoalkan,
sehingga menggerus kredibilitas negara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih mempunyai sisa waktu dalam masa
pemerintahannya untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dalam menuntaskan
proses hukum atas Tragedi Mei. Namun tampaknya hal itu sulit diharapkan karena selama
hampir 10 tahun memerintah tidak ada langkah konkret untuk menindaklanjuti kasus Tragedi
Mei dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Keengganan pemerintah ini lebih merupakan alasan politis daripada persoalan substansi
penyelidikan. Untuk itu, tidak bisa ditangani hanya melalui pendekatan hukum an sich, tapi
juga melalui pendekatan politik.
Momentum pemilihan presiden pada 9 Juli menjadi sangat strategis dan penting untuk
memastikan bahwa presiden terpilih mempunyai komitmen politik dan hak asasi manusia
yang kuat.
Publik berharap presiden mendatang berani membuka kebenaran dan menuntaskan proses
hukum atas Tragedi Mei. Perlu ditegaskan bahwa penundaan atas proses hukum dalam
Tragedi Mei yang berlarut-larut adalah bentuk dari pengabaian hak atas keadilan yang
melekat pada korban.
Mata Hitam
Rabu, 14 Mei 2014
Anton Kurnia, Penulis esai dan cerpen
Ochi chornye, atau Mata Hitam, bisa jadi lagu cinta dari Rusia yang paling terkenal di dunia.
Aslinya lirik lagu ini ditulis penyair Ukrainia bernamaYevhen Hrebinka dalam bahasa
Ukrainia. Ia lalu menerjemahkan puisi melankolis itu ke bahasa Rusia dan dipublikasikan
dalam Literaturnaya gazeta pada 17 Januari 1843. Setahun kemudian puisi ini digubah
menjadi komposisi lagu oleh Florian Hermann dan dipopulerkan oleh Feodor Chaliapin.
Lagu ini lalu diadaptasi menjadi berbagai versi, antara lain sebagai Black Eyes dalam bahasa
Inggris dan Les yeux noirs dalam versi Prancis. Lagu ini pun pernah menjadi nomor jazz
standar pada masanya yang dibawakan oleh para master semacam Louis Armstrong dan
Django Reinhardt dalam berbagai pentas.
Di Indonesia, kita mengenal lagu ini sebagai lagu cinta berlirik bahasa Sunda, Panon
Hideung (artinya Mata Hitam). Komposisi nadanya bisa dibilang sama dengan Ochi chornye,
hanya berbeda lirik dan bergeser maknanya walau tetap berkisah tentang jatuh cinta yang
sendu terhadap seorang gadis bermata hitam. Siapakah penggubahnya?
Panon Hideung dianggit oleh maestro musik nasional yang pada 11 Mei ini kita peringati 100
tahun kelahirannya: Ismail Marzuki (1914-1958). Konon, lagu ini diadaptasi Ismail yang asli
Betawi dari versi Rusia pada 1936 sebagai persembahan bagi seorang "euis Bandung" yang
memikat hatinya. Gadis yang beruntung itu adalah Eulis Zuraidah, penyanyi keroncong dan
dirigen orkestra asal Kota Kembang yang kemudian dinikahi Ismail pada 1940.
Hingga kini lagu Panon Hideung amat populer di Bandung dan sekitarnya, serta kerap
dinyanyikan dalam beragam kesempatan. Bahkan, bagi sebagian orang yang tak tahu
sejarahnya, lagu itu dianggap lagu asli Sunda yang menasional. Panon Hideung tak jarang
dibawakan dalam pentas internasional dengan iringan musik tradisonal semacam angklung
sebagai "lagu daerah" Jawa Barat.
Di Rusia, Ochi chornye amat populer. Banyak orang hafal di luar kepala nada dan liriknya.
Dalam film dokumenter Gerimis Kenangan karya sutradara Seno Joko Suyono yang meraih
Piala Citra pada FFI 2006, ada adegan ketika kru film mewawancarai secara acak sejumlah
warga Moskow yang tengah berada di jalanan dan meminta mereka menyanyikan lagu ini.
Ternyata sebagian besar bisa menyanyikannya. Dan seperti banyak orang di sini, mereka pun
tak tahu riwayat intertekstualitas budaya antara Ochi chornye dan Panon Hideung yang
menghubungkan sejarah kedekatan rakyat Rusia dengan Indonesia pada masa lalu.
Alih-alih tampak sebagai seorang musikus penjiplak, Panon Hideung justru membuat Ismail
tampil sebagai duta budaya yang efektif. Ismail yang pada 2004 dinobatkan sebagai pahlawan
nasional membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal yang mampu melintasi sekat-
sekat negara, bangsa, bahasa, bahkan ruang dan waktu. Lagi pula, ia tak pernah mendaku
bahwa lagu ini karya orisinalnya.
Ismail Marzuki adalah salah satu komponis terbesar kita dengan karya-karya yang terus
dikenang dan dimaknai kembali hingga kini oleh generasi setelahnya, seperti Rayuan Pulau
Kelapa, Sepasang Mata Bola, dan Sabda Alam. Sejarah dan waktulah yang mencatat dan
mengabadikan pencapaiannya yang gemilang.
Ekalaya
Rabu, 14 Mei 2014
Purnawan Andra, Peminat kajian sosial budaya masyarakat
Dalam cerita Mahabharata, Ekalaya adalah seorang kesatria yang ingin menimba ilmu panah
kepada Mahaguru Drona. Tapi Drona tahu Ekalaya mempunyai bakat yang jauh melebihi
Arjuna, murid kesayangannya. Maka ia mengajukan syarat mau menerima Ekalaya sebagai
murid asal menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona. Kita tahu, tanpa kelengkapan jari-
jari tangan, seorang kesatria tak akan mampu memanah dengan baik. Namun Ekalaya tetap
memberikan jempolnya kepada Drona sebagai ketaatan murid kepada gurunya.
Ekalaya adalah potret keinginan kuat seseorang untuk memperoleh pendidikan. Tapi
harapannya berhadapan dengan Drona (baca: institusi pendidikan) yang tak menerima dan
mengelolanya dengan baik, bahkan mengebiri kemampuannya, karena alasan dan logika yang
tak masuk akal: suka atau tidak suka.
Fitrah sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan adalah organisasi belajar. Pendidikan
memperlakukan individu sebagai pribadi dalam sistem yang dibangun sebagai dasar
bertindak dalam praksis harian, sehingga kultur edukatif benar-benar hadir dan menjiwai
seluruh proses pendidikan (Soedjatmoko, 2009). Artinya, sekolah menciptakan iklim harian
dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam
perolehan nilai, dengan mengajarkan "etos", konsep nilai berupa ketekunan, konsistensi, serta
keseriusan siswa.
Namun Romo Mangun menyebut bahwa institusi-institusi pendidikan formal saat ini telah
mendidik siswanya menjadi robot dengan suasana penuh siksaan dan tekanan. Dari kebijakan
ujian nasional (UN) saja, kita lihat wajah pendidikan kita. UN selalu hadir dalam suasana
menegangkan, mengancam, dan menakutkan, bukan dipahami sebagai proses wajar untuk
menuju tingkatan yang lebih tinggi.
Untuk menghadapi UN, sekolah perlu mengadakan doa dan zikir bersama disertai isak tangis
penuh haru yang diakhiri ikrar kejujuran. UN dikesankan menjadi pertaruhan hidup siswa:
lulus berarti fase hidup selanjutnya terbentang di masa depan, sedangkan tidak lulus UN
berarti kesalahan, kegagalan, menghadapi malu atas semacam "dosa".
Dunia pendidikan dikelola dengan visi pendidikan dan spiritualitas yang dangkal, lebih suka
mencari jalan pintas. Arti pendidikan yang sebenarnya direduksi. Proses menjadi tidak
penting karena hasil lebih utama, entah bagaimana cara mendapatkannya. Maka wajar jika
setiap menjelang UN selalu ada fenomena jual-beli jawaban, bocoran soal, hingga siswa yang
bunuh diri karena gagal lulus.
Siswa seharusnya mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang
menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Sebagai sebuah lembaga ilmiah, sekolah harus
mampu menciptakan iklim yang kondusif dan menjadi tempat bagi seluruh civitas academica
untuk mengembangkan segenap potensi keilmuan, memupuk kreativitas, dan melakukan
kegiatan-kegiatan inovatif guna meraih capaian intelektual dan kepribadian yang optimal.
Pendidikan berkualitas bukan sekadar masalah teknis didaktik-metodik, tapi juga hal-hal
yang ideologis, strategis-paradigmatis. Jangan sampai negara bersikap seperti Drona terhadap
Ekalaya, dengan tidak memfasilitasi hak tumbuh-kembang siswa yang menjadi fitrah
pendidikan.
Golkar untuk Jokowi?
Jum'at, 16 Mei 2014
M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Pada Selasa, 13 Mei 2014, calon presiden PDIP, Joko Widodo (Jokowi), bertemu dengan
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Pasar Gembrong, Jakarta. Aburizal memberi
sinyal positif bahwa partainya akan merapat ke poros pilpres PDIP. Tetapi, pada hari
berikutnya, Aburizal bertemu dengan Presiden Yudhoyono sebagai king maker Partai
Demokrat, di Istana. Aburizal juga menerima kedatangan Prabowo Subianto (Gerindra) dan
juga Wiranto (Hanura). Berikutnya, Aburizal menemui Megawati. Pertemuan-pertemuan
politik itu semakin membuat publik susah menerka ke mana arah koalisi Golkar.
Sementara itu, poros pilpres PDIP sudah semakin pasti. Koalisi PDIP, Partai NasDem, dan
PKB telah diresmikan. Realitas inilah yang membuat Jokowi sebagai capres kian terpastikan,
karena boarding pass pilpres sudah dipegang. Karena itu, apakah Golkar jadi masuk atau
tidak ke poros Jokowi, tidak begitu berpengaruh. Tetapi, apakah PDIP sesungguhnya
membutuhkan Golkar dan sebaliknya?
Saya berpendapat, kendatipun pihak-pihak tertentu PDIP menginginkan koalisi ramping,
secara empiris PDIP tetap harus merangkul Golkar, kalau ingin membangun pemerintahan
presidensial yang kuat. PDIP tidak cukup sekadar mengandalkan retorika pro-rakyat. Secara
empiris, kekuatan presidensial akan optimal manakala dukungan parlemennya sangat kuat.
Dalam konteks inilah, Golkar sebagai kekuatan politik yang cukup signifikan di parlemen
tidak boleh serta merta diabaikan.
Jadi, bagaimanapun, PDIP tetap membutuhkan Golkar, justru untuk menjamin stabilitas
pemerintahan presidensial. Adapun di tengah terombang-ambingnya Golkar dalam proses
pencarian mitra koalisi, saya berpendapat seharusnya skala prioritasnya ke PDIP ketimbang
yang lain. Mengapa demikian? PDIP punya capres yang paling potensial elektabilitasnya dari
yang lain. Dengan kecepatan merapat ke PDIP, Golkar bisa memainkan peran dalam
merancang dan menentukan langkah politik selanjutnya.
Tetapi, rupanya Golkar tidak bisa lincah, justru karena Aburizal diberati status resmi yang
disandangnya sebagai capres Golkar. Status itu belum dicabut melalui Rapat Pimpinan
Nasional (Rapimnas), ketika Aburizal berikhtiar menjalin komunikasi politik dengan yang
lain. Komunikasi menjadi keharusan, mengingat persyaratan dukungan elektoral Golkar tidak
cukup baginya untuk mengajukan capres-cawapres sendiri.
Realitas demikian menghempaskan Aburizal dari impiannya memegang boarding pass
pilpres. Kartu politik Aburizal pun tidak leluasa dimainkan, karena lemahnya kemampuan
dalam meyakinkan yang lain. Dengan kata lain, Aburizal tidak bisa menjadi magnet politik
yang kuat dalam menginisiasi poros pilpres. Sebaliknya pihaknya lebih banyak ditentukan
oleh yang lain.
Dari ranah internal, gagasan politik yang lebih realistis hadir dari Dewan Pertimbangan yang
mengajukan tiga nama tokoh Golkar yang boleh diambil partai lain sebagai cawapres.
Mereka adalah Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Luhut Panjaitan.
Dari sisi tersebut, Golkar perlu dihitung kekuatannya secara formal dan informal. Bagi PDIP
yang sudah punya boarding pass pilpres, pertimbangan dukungan formal Golkar, mungkin
bisa diabaikan. Tetapi kekuatan informalnya perlu dicermati, terutama dari sisi kekuatan
tokoh dan daya magnet politiknya. Aburizal bisa menurunkan statusnya menjadi bakal
cawapres, tapi kalaulah demikian ia segera masuk ke barisan tokoh Golkar yang akan dinilai
pihak lain. Misalnya, apakah Aburizal lebih tepat mendampingi Jokowi dibandingkan dengan
Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan atau yang lain?
Dalam konteks ini, saya berpendapat cawapres Jokowi hendaknya politikus yang andal dalam
mengelola potensi konflik dan menggalang dukungan parlemen. Kalau tidak, potensi
instabilitas politik demikian tinggi dalam konstelasi parlemen multipartai dewasa ini.
Kuncinya tetap pada keandalan para elitenya menggalang konsensus dan mengelola konflik.
Golkar punya stok ke arah ciri-ciri demikian. Lagi pula, fleksibilitas Golkar membuat koalisi
lebih terjamin.
PDIP dan Golkar sesungguhnya punya pengalaman sejarah Koalisi Kebangsaan pada pilpres
2004. Di bawah Akbar Tandjung, Golkar tetap konsisten kendati koalisi berada di luar
pemerintahan. Namun, fenomena yang mengemuka kemudian, Golkar formal, yang pro-
koalisi kebangsaan, secara faktual segera tenggelam oleh kekuatan informal Jusuf Kalla yang
merebut kendali Golkar pada Musyawarah Nasional (Munas) 2004. Meski demikian,
pengalaman koalisi kebangsaan tetap menegaskan adanya persambungan frekuensi politik
Golkar-PDIP.
Dari sisi ini, hendaknya pendukung Jokowi bisa memahami bahwa, dalam politik, sesuatu
yang sangat ideal tidak serta-merta mudah diwujudkan. Rasionalitas politik tetap harus
mengemuka. Kerja sama politik terbuka, bahkan dengan partai yang kurang disukai
sekalipun, sesungguhnya merupakan hal yang lazim. Maka Golkar pun bukan sesuatu yang
harus dipandang negatif bagi Jokowi.*
Revolusi Metal
Jum'at, 16 Mei 2014
Iwel Sastra, Komedian @iwel_mc
Istilah revolusi metal yang saya tulis terinspirasi ketika melihat laki-laki berdandanan metal
ala Kirk Hammett, gitaris grup band Metallica. Rambut gondrong, jenggotan, pakai kaus
warna hitam plus celana ketat, tapi ikut larut di antara penonton yang sedang menikmati
penampilan JKT48, girl band yang beranggotakan puluhan remaja putri cantik dan manis.
Sebelumnya, kita juga pernah mendengar istilah "wajah Rambo hati Rinto". Maksudnya,
berwajah jantan seperti Rambo yang diperankan oleh Sylvester Stallone, tapi hatinya cengeng
seperti lagu-lagu yang diciptakan oleh Rinto Harahap.
Istilah revolusi metal ini kemudian saya gunakan untuk menunjuk pada fenomena bahwa
segala sesuatu tidak bisa lagi dinilai dari luar. Dulu, orang yang bertato dicitrakan sebagai
preman atau penjahat, sekarang ini tato menjadi bagian dari fashion yang tren bagi sebagian
orang, termasuk perempuan. Dulu, laki-laki yang bertubuh kekar dengan wajah maskulin
dianggap sebagai lelaki sejati. Tapi sekarang, kita tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan
sebelum mendengar dia berbicara atau melihat bahasa tubuhnya. Bisa-bisa nanti kecewa,
cyin....
Penampilan luar adalah kemasan yang bisa diciptakan seseorang dalam rangka pencitraan.
Sebagai contoh, pada pemilu legislatif yang lalu, rakyat hanya disodori foto-foto para caleg
tanpa mengenal lebih jauh siapa mereka sesungguhnya. Ada foto caleg yang dipasang di
papan reklame, ada yang di pohon, dan ada yang di tiang listrik. Caleg yang fotonya dipasang
di tiang listrik ini disebut caleg nyentrik, alias "nyender di tiang listrik".
Mengenal caleg hanya dengan melihat tampak luar tanpa mengenal lebih dalam
memunculkan kekecewaan di kemudian hari. Ini bisa dilihat setelah caleg terpilih ditetapkan
melalui pleno KPU, kemudian ramai berita mengenai anak buronan BLBI yang lolos ke
Senayan. Jika pemilih membaca berita ini setelah yang bersangkutan terpilih, tentu sudah
tidak ada artinya. Ibaratnya seorang perempuan dinikahi seorang pria, beberapa hari setelah
pernikahannya baru tahu bahwa pria yang dinikahinya masih memiliki istri yang sah. Ini
bukan lagi sekadar nasi yang telah jadi bubur, bahkan angpau pun telah jadi bubur.
Dari daerah, dikabarkan tukang tambal ban, tukang bakso, hingga tukang ojek berhasil
terpilih menjadi anggota DPRD. Tidak ada salahnya, memang. Karena, menurut undang-
undang, siapa pun berhak mencalonkan diri selama memenuhi syarat. Kalau dipaksakan,
profesi apa pun tetap bisa relevan menjadi anggota legislatif. Misalnya anggota legislatif
yang memiliki latar belakang tukang ojek, bisa duduk di komisi yang mengurusi transportasi.
Sedangkan yang memiliki latar belakang tukang bakso bisa duduk di komisi yang mengurusi
pangan. Begitu seterusnya, semua pasti bisa dihubung-hubungkan. Meskipun secara kualitas
tetap menimbulkan kekhawatiran.
"Tak kenal maka tak sayang" bukanlah pepatah yang ditujukan hanya kepada kaum jomblo.
Pepatah ini ditujukan kepada siapa saja untuk mengenal seseorang lebih jauh bahkan untuk
mengenal calon pemimpin mereka. Orang barat sering bilang, "Don't judge the book by it's
cover." Jangan menilai buku hanya dari sampul depannya. Sampul depannya jelek belum
tentu isinya bagus, he-he-he. Makna dari ungkapan yang saya plesetkan ini adalah kita jangan
terlalu cepat menyimpulkan apa yang terlihat tanpa mengenal lebih dalam. *
Terlambat
Jum'at, 16 Mei 2014
Wahyu Dhyatmika, wahyu.dhyatmika@gmail.com
Mengapa orang Indonesia cenderung tak bisa tepat waktu? Mengapa kita kerap menganggap
remeh keharusan untuk hadir pada suatu acara persis pada jam yang tertera dalam undangan
sang tuan rumah? Kecuali untuk urusan yang teramat penting dan terkait dengan orang yang
amat kita hargai-atau takuti-biasanya kita datang terlambat. Lima menit, sepuluh menit,
bahkan sampai setengah jam.
Saya pernah mengundang seseorang untuk membicarakan sebuah proyek kerja sama yang
teramat penting untuk lembaga kami. Saya harus menunggu sekitar 20 menit, sebelum batang
hidungnya muncul dengan permintaan maaf panjang-lebar. Hujan deras, banjir, lalu macet:
serangkaian alasan yang sudah amat biasa kita dengar sebagai biang kerok keterlambatan.
Tapi, anehnya, saya memaafkan dia. Begitu saja, dengan ringan, dengan penuh pemakluman,
maaf saya berikan.
Setelah itu, saya jadi berpikir. Mengapa kekesalan saya menguap dengan begitu cepat?
Mengapa saya tidak murka sampai ke ubun-ubun karena dia tak berusaha lebih keras-tak
berangkat lebih cepat, misalnya-untuk tepat waktu memenuhi undangan saya?
Jawaban untuk pertanyaan retorika itu menyambar cepat di dalam kepala saya: karena saya
juga tak bisa memastikan saya akan selalu datang tepat waktu. Sesederhana itu. Bila saya
berada di posisinya, belum tentu saya tidak terlambat. Karena itulah, saya memaafkan
keterlambatannya karena saya yakin saya juga berpotensi terlambat bila harus datang ke
kantornya.
Kalau begitu, ini seperti lingkaran setan. Sebuah keterlambatan jadi dimaklumi karena semua
orang sadar mereka pun berpeluang tidak tepat waktu. Akhirnya, lambat-laun, keterlambatan
diterima sebagai budaya, sebagai bagian dari kebiasaan kita.
Perhatikan surat undangan untuk acara apa pun di negeri ini: panitia pasti mencantumkan jam
dimulainya acara lebih awal 30 menit sampai 1 jam. Soalnya, panitia yakin hadirin pasti
datang terlambat sehingga acara pasti tertunda, setidaknya 30 menit. Akibatnya, mereka yang
hadir persis pada jam yang diminta jadi kecele. Sementara mereka yang terlambat malah
beruntung.
Kecenderungan ini amat mengganggu. Mengapa kita bisa menenggang rasa untuk jam karet?
Mengapa kita permisif soal keterlambatan? Dalam rangka mencari jawaban, saya melakukan
studi perbandingan dengan bertanya pada seorang kawan dari Jerman, sebuah negeri yang
warganya dikenal disiplin dan amat tepat waktu. "Mengapa orang Jerman jarang terlambat?
Apa rahasianya?" saya bertanya.
Jawabannya membuat saya tertohok. Dia bilang, orang Jerman menganggap terlambat adalah
sebuah tindakan yang amat kasar dan tidak sopan. Jika Anda datang terlambat memenuhi
sebuah janji, mau tak mau, Anda membuat seseorang atau beberapa orang menunggu. "Apa
hubungannya menunggu dan sopan santun?" saya mengejar.
Menurut kawan saya: orang yang dipaksa menunggu hanya bisa berpangku tangan, tidak bisa
berbuat apa-apa. Dia tidak bisa mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia kerjakan jika dia
punya waktu. Dia tidak bisa menemui klien lain, atau pergi ke toko untuk membeli buku
pesanan anaknya. Pendeknya, dia kehilangan sepotong waktu gara-gara menunggu Anda.
"Dengan datang terlambat, Anda merampok sepotong waktu dari kehidupannya."
Saya terenyak. Ketika terlambat disamakan dengan sebuah pencurian, mendadak dia jadi
punya makna baru. Tepat waktu bukan hanya soal disiplin semata, tapi juga soal menghargai
orang lain. Kalau kita mengakui keberadaan orang lain dan mengapresiasinya sepenuh hati,
maka datang terlambat sama saja dengan membuang relasi itu ke tempat sampah.
Dengan perspektif macam itu, mereka yang terlambat memang melakukan perbuatan tak
sopan, yang tak bisa diampuni begitu mudah. Tak ada lagi maaf bagimu. *
Statistik Buku
Jum'at, 16 Mei 2014
Agus M. Irkham, Pegiat Literasi
Kita perlu memiliki statistik perbukuan Indonesia sepanjang 2013. Berapa jumlah judul buku
baru yang diterbitkan? Berapa jumlah total buku yang beredar? Berapa total volume industri
penerbit buku? Berapa jumlah buku pelajaran SD, SMP, dan SMA yang diperlukan secara
nasional? Berapa jumlah penerbit dan toko buku? Berapa besar angka Book Production
Consumption (BPC) kita? BPC menjadi alat ukur untuk mengetahui seberapa besar
persentase pengeluaran suatu masyarakat (bangsa) yang digunakan untuk membeli buku.
Melalui BPC, kita jadi tahu harga buku yang berlaku di suatu negara lebih mahal atau
sebaliknya dibanding harga buku di negara lain.
Jawaban atas berderet pertanyaan tersebut, sejauh pengamatan saya, tidak ada. Baik jawaban
kira-kira, apalagi jawaban pasti. Sebuah paradoks tersendiri. Saat kita menyusuri toko buku,
deretan rak buku banyak memajang buku berisi tentang metodologi penelitian ataupun
publikasi hasil penelitian. Tapi belum ada penelitian khusus tentang statistik perbukuan kita
paling mutakhir yang merupakan input untuk memotret perkembangan dunia industri
perbukuan di Tanah Air. Padahal industri perbukuan ini menjadi rahim bagi sosialisasi ilmu,
pengetahuan, dan hasil penelitian. Produk industri perbukuan justru hampir-hampir tidak
pernah diteliti. Ada semacam pengabaian akademik dalam gerak langkah bertumbuhnya
industri perbukuan kita.
Penelitian yang paling sederhana pun tidak pernah kita lakukan. Misalnya, melihat
kecenderungan atau tren buku tiap tahun, penelitian tentang minat baca yang kita lakukan
sendiri, bukannya merujuk pada penelitian lembaga asing yang kemudian kita kutip sekadar
untuk semakin menegaskan bahwa minat baca masyarakat kita menempati nomor sepatu.
Perayaan Hari Buku Nasional setiap 17 Mei pun tidak mampu kita jadikan momentum untuk
melahirkan gagasan melakukan riset yang mendalam tentang perkembangan industri
perbukuan kita. Padahal, riset tersebut dapat menjadi rujukan, input, dan peta jalan bagi
seluruh stakeholder perbukuan di Indonesia. Baik dari penulis, penerjemah, editor, penerbit,
agen, distributor, penyedia kertas, toko buku, maupun pemerintah.
Riset industri perbukuan yang terakhir saya baca dilakukan Teddy Surianto pada 1995
berjudul "Potret Distribusi Buku di Indonesia" yang terhimpun dalam buku kumpulan esai
berjudul Buku dalam Indonesia Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1999, yang disunting Alfons
Taryadi).
Dalam riset itu tergambar dengan jelas kondisi industri perbukuan di Indonesia. Deretan
pertanyaan pada awal tulisan ini terjawab semua. Tak terkecuali angka PBC kita yang terjun
bebas ke angka 0,144 persen. Artinya, kita harus membayar 10 kali lipat lebih mahal
ketimbang masyarakat konsumen buku di negara maju. Setelah Teddy Surianto, belum ada
lagi riset mendalam mengenai wajah industri perbukuan kita hingga hampir dua dekade
sekarang ini. Ketiadaan riset itu juga barangkali yang menyebabkan RUU Perbukuan
Nasional yang drafnya sudah ada sejak Juli 2006 hingga kini belum kunjung disahkan
menjadi undang-undang. Layaknya hendak membuat peraturan terhadap sesuatu yang kita
sendiri tidak tahu makhluk seperti apa yang akan kita atur itu. Jadilah kita bak saat berjalan
menyalakan lilin guna menerangi langkah, mata masih terbebat kain tebal. *
Pemimpin Profetik
Jum'at, 16 Mei 2014
Husein Ja'far Al Hadar, Peminat Masalah Agama
Pemimpin adalah wakil Allah (khalifatullah) di bumi atau suatu negara. Jika disadari dalam
kerangka itu, kepemimpinan tak akan dipahami, dihayati, dan dijalankan sebagai yang
profan-imanen, melainkan sakral-transenden. Pemimpin adalah gelar profetik, sehingga tak
ada bedanya antara pemimpin negara dan imam salat atau khatib Jumat.
Sebab, pada dasarnya, kepemimpinan adalah sebuah tugas suci, meski itu dilakoni di negeri
sekuler sekalipun. Apalagi pemimpin Indonesia, negeri berdasarkan Pancasila yang sangat
religius ini. Sebagaimana seorang imam atau khatib, ia bukan hanya mengemban amanat
rakyat atau umat, tapi juga amanat Tuhan. Karena itu, ia harus pribadi yang paling memiliki
sifat-sifat ketuhanan: adil, bijaksana, rahman (pengasih), rahim (penyayang), dan sebagainya.
Inilah (seharusnya) visi-misi dasar seorang pemimpin (politik).
Visi-misi profetik itulah yang kerap absen dalam kontestasi kepemimpinan (politik) di negeri
ini. Maka, penulis kerap menemui sebagian kita yang sering merasa tak pantas dan saling
dorong saat diminta menjadi imam salat atau khatib Jumat, tapi begitu bernafsu dan saling
berebut menjadi pemimpin negara. Bahkan, memperebutkannya dengan menghalalkan segala
cara. Maka, nilai profetik kepemimpinan pun menjadi sirna. Kepemimpinan hanya dipahami
sebagai jabatan, rakyat sebatas komoditas, dan koalisi dijalankan dalam kerangka "dagang
sapi". Padahal, sebagaimana kata Sayidina Ali bin Abu Thalib dalam salah satu wasiatnya
sebagai khalifah pada Malik Asytar, pola pandang seorang pemimpin pada rakyatnya harus
berbasis subyek-subyek, bukan subyek-obyek.
Jadi, pemimpin akan benar-benar merasakan perasaan, keluhan, dan harapan rakyatnya.
Dengan begitu, para pemimpin menyadari, tidak bisa tidak, mereka harus merangkul rakyat
dalam kepemimpinannya sebagai urusan bersama (res publica). Mereka juga selalu
menyadari bahwa kekuasaan sejati selamanya milik rakyat.
Maka, dalam konteks kepemimpinan yang profetik, sebagaimana menjadi isi doa Emha
Ainun Nadjib (2012), para bakal calon pemimpin justru harus berharap bisa menjadi
"pemimpin boneka". Namun, tentu bukan "boneka manusia", tapi "boneka Allah". Dengan
begitu, pemimpin kita benar-benar seorang khalifatullah di Indonesia.
Akhirnya, seperti didendangkan Iwan Fals, pemimpin memang sepatutnya "manusia setengah
dewa". Seorang manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan atau para dewa. Namun, seperti
dikemukakan Sayyid Fadlullah (ulama Libanon), visi-misi pemimpin profetik itu bukan
berarti untuk membentuk "negara agama" (daulah diniyah) atau mau menyesatkan agama,
keyakinan, atau mazhab lain atas nama kemurnian. Tapi, untuk membentuk "negara
kemanusiaan" (daulah insaniyah). Sebab, ketika nilai-nilai kemanusiaan tegak (keadilan,
perdamaian, kesejahteraan, toleransi, dll), di sanalah visi agama dan nilai-nilai ketuhanan
bersemi.
Menang Sebelum Bertarung?
Jum'at, 16 Mei 2014
Agung Baskoro, Analis Politik Poltracking
Tak lama setelah hasil rekapitulasi pemilu legislatif (pileg) ditetapkan KPU (9 Mei) dan tak
ingin mengulang kesalahan pada Pemilu 1999, PDIP terus bergerilya memastikan mitra
koalisi. Terakhir, 13 Mei lalu, Poros Joko Widodo (Jokowi) kembali memperoleh dukungan
tambahan dari Golkar, setelah sebelumnya NasDem dan PKB sepakat untuk bersama.
Bila digabung secara keseluruhan, poros ini akan mendapatkan raihan suara sebesar 49,46
persen, sebuah angka solid yang cukup untuk memajukan paket pasangan capres-cawapres
ataupun mengimbangi peta dukungan eksekutif di parlemen nanti. Bila melihat peta
persaingan sementara ini, Poros Jokowi hanya bisa diimbangi oleh Poros Prabowo Subianto
yang telah memperoleh mitra koalisi melalui PPP dan PAN. Dan bila diakumulasikan, total
suara yang berhasil dikumpulkan oleh ketiganya berjumlah 25,93 persen. Di sisi yang lain,
Partai Demokrat, PKS, dan Hanura belum memutuskan ke mana arah dukungan akan
diberikan atau malah bersepakat untuk memunculkan poros baru yang gagal diinisiasi oleh
ARB.
Dalam konteks ini, sebenarnya, secara matematis, pemenang pemilu presiden (pilpres) 9 Juli
nanti sudah bisa ditebak. Namun politik bukan sekadar hitungan di atas kertas, karena banyak
faktor turut mempengaruhi. Bila ditelusuri, pilpres adalah kontestasi figur, walaupun dalam
pileg yang lalu kondisi ini sudah terjadi dan menjelaskan bagaimana terdongkraknya suara
PDIP, Gerindra, dan PKB dengan kehadiran Jokowi, Prabowo, Rhoma Irama, Jusuf Kalla,
Mahfud Md., serta sederet nama-nama besar lainnya. Fakta ini diperkuat pula oleh temuan
Poltracking, sepanjang Oktober 2013, Desember 2013, dan Maret 2014, yang menjelaskan
bahwa kedekatan pemilih dengan partai (party ID) hanya 17-25 persen.
Pekerjaan rumah bagi Poros Jokowi ataupun Poros Baru--bila terbentuk nantinya--
menyisakan siapa figur yang layak menjadi cawapres. Sebab, pada saat yang bersamaan,
Poros Prabowo telah memastikan Hatta Rajasa sebagai cawapres yang diusung. Figur
cawapres memiliki posisi sentral pada pilpres kali ini karena menentukan siapa pemenang
dan bagaimana pemerintahan bergulir efektif di masa mendatang.
Bila merujuk pada survei profesor dari Poltracking akhir Maret 2014, syarat cawapres ideal
(baca: basis elektabilitas dan kualitas) akan mudah dipenuhi oleh poros mana pun. Sebab,
nama-nama ini berasal dari proses seleksi sosok kuat di internal partai, publik, dan telah diuji
melalui 330 profesor di seluruh Indonesia, yang merepresentasikan orang-orang dengan
predikat puncak dalam dunia akademik. Basis penilaian yang dilakukan oleh para profesor ini
mencakup tujuh dimensi kepemimpinan, meliputi integritas, visi dan gagasan, leadership dan
keberanian mengambil keputusan, kompetensi dan kapabilitas, pengalaman dan prestasi
kepemimpinan, kemampuan memimpin pemerintahan dan negara, serta kemampuan
memimpin koalisi partai politik di pemerintahan.
Hasilnya, di luar skema Jokowi, Prabowo, ARB, Wiranto, Surya Paloh, Hatta Rajasa, dan
Megawati (yang memang sudah direstui oleh partai masing-masing ataupun sudah
memberikan tiketnya kepada kandidat lain) dan masuk pula dalam survei ini, maka berturut-
turut terdapat nama Jusuf Kalla, Mahfud Md., Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Yusril Ihza
Mahendra, Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Akbar Tandjung pada peringkat
15 besar.
Ada ungkapan menarik dari Pierre Salinger, juru bicara Presiden AS John F. Kennedy,
tentang pedoman, bagaimana seharusnya seorang wakil presiden bersikap. "Dia harus rela
berjalan satu langkah di belakang, bersedia berbicara dengan nada lebih rendah, dan sama
sekali tak boleh bermimpi merebut jabatan presiden." (Pour, 2001). Memilih cawapres
menjadi pekerjaan tidak mudah, di tengah persaingan mitra koalisi dan tingginya rivalitas
calon yang ingin menunjukkan eksistensi. Sampai pada tahapan ini, menemukan dwitunggal
seperti halnya Soekarno-Hatta dan SBY-JK bukan hanya dominasi elite partai semata, karena
ini menyangkut nasib lima tahun Indonesia Raya. Maka sudah semestinya
mempertimbangkan harapan rakyat menjadi utama.
Pertarungan pilpres kali ini kembali akhirnya ditentukan oleh ke mana arah SBY bergerak,
karena raihan suara Demokrat cukup signifikan untuk membentuk poros baru bersama partai
sisa, yakni PKS dan Hanura. Sekaligus dapat memberi dinamika (sintesis) di tengah
pertarungan gagasan Revolusi Mental Jokowi dan Nasionalisme Ekonomi Prabowo.
Bila hal ini terealisasi, publik setidaknya dapat lebih leluasa memilih menu terbaik sampai
lima tahun yang akan datang. Sebab, hal ini sebenarnya memang terintegrasi melalui proses
konvensi calon presiden Demokrat yang telah berlangsung sejak setahun lalu. Pilihan SBY
untuk membentuk poros baru lebih strategis karena, secara internal ataupun eksternal,
Demokrat dapat kembali solid dan publik sejenak dapat mengalihkan perhatiannya ke capres
Demokrat dari Nazaruddin Effect ataupun berbagai kasus hukum yang kini membelit banyak
kader partai berlambang mirip logo Mercy ini.

More Related Content

Featured

How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
ThinkNow
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Kurio // The Social Media Age(ncy)
 

Featured (20)

2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot
 
Everything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTEverything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPT
 
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsProduct Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
 
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
 
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfAI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
 
Skeleton Culture Code
Skeleton Culture CodeSkeleton Culture Code
Skeleton Culture Code
 
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
 
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
 
How to have difficult conversations
How to have difficult conversations How to have difficult conversations
How to have difficult conversations
 
Introduction to Data Science
Introduction to Data ScienceIntroduction to Data Science
Introduction to Data Science
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best Practices
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project management
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
 

Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014

  • 1. Caraka Senin, 12 Mei 2014 Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan dewa-dewa Yunani Kuno kepada manusia, konon berjalan hanya di malam hari. Ia, sang caraka, menempuh jalur dan tikungan yang sulit. Kearifan acap datang dalam perumpamaan; Hermes adalah salah satunya. Sebuah pesan, apalagi dari yang mahajauh, tak pernah transparan. Mungkin itu sebabnya dengan latar yang gelap dan tak lurus oknum mithologi yang misterius ini tampil dalam pelbagai awatara. Hanya ada satu identitasnya yang agak tetap: ia seorang putra Zeus, raja kahyangan itu; ia lincah dalam pelbagai hal yang berhubungan dengan kata-kata. Nama Hermes terkait dengan ermeneus, sang penafsir. Setidaknya itu yang disebut dalam rekaman percakapan Sokrates dengan Kratylos di abad ke-4 sebelum Masehi. Sokrates, sebagaimana dikutip Plato, menjelaskan bahwa sang penafsir dianggap juga sang pembawa pesan—tapi juga sang "pencuri", "pendusta", dan "tukang menawar". Dan semua awatara itu, kata Sokrates, ada urusannya dengan bahasa. Hermes adalah si cerdik dalam hal cerita dan percakapan. "Cerdik". "Pencuri". "Pendusta". "Tukang menawar". Dengan imaji-imaji Hermes yang hanya berjalan di malam hari itu agaknya kita diharapkan mafhum bila sebuah pesan tak pernah terjamin akan transparan dan seutuhnya lurus. Bila pesan adalah ibarat utusan dari satu pihak ke pihak lain, bentrokan bukan hal yang luar biasa. Ada sebuah dongeng tentang asal-usul huruf Jawa yang mengisyaratkan itu. "Ha-na-ca-ra- ka…" adalah kisah tentang dua orang utusan Raja Ajisaka yang sama-sama setia, tapi akhirnya bersengketa. Yang satu diberi pesan baginda agar menjaga keris pusakanya selama ia mengembara ke tempat lain. Yang lain diberi pesan untuk mengambilnya kembali. Ajisaka yakin pesan itu punya makna yang sama: perintah yang menegaskan miliknya, titah yang harus ditaati. Tapi sang Raja keliru. Makna itu tak bisa lagi lurus ketika menempuh proses interpretasi. Kedua utusannya saling membunuh. Ajisaka ingin mencegah hal yang sama terjadi; ia bermaksud menstabilkan makna dengan mencatatnya dalam huruf hitam di atas putih. Tapi stabilitas itu tak tercapai. Hanya mereka yang yakin bahwa manusia bisa mengandalkan rasionalitasnya yang percaya bahwa makna (karena dijaga huruf dan kata yang definitif) tak akan cair, mengalir, berubah.
  • 2. Mereka salah duga. Makna lahir dalam percakapan, dan percakapan tak pernah beku. Di sini saya akan kembali ke Sokrates. Ia, yang mengaitkan nama Hermes dengan bahasa dan juga segala sifat yang tak lurus, juga orang yang memusuhi karya manusia yang hidup dalam bahasa: puisi. Dalam Politeia, ia ingin para penyair dibuang dari negeri yang ideal. Di satu pihak ia mengakui, puisi bisa dilihat sebagai penyalur sabda dewa-dewa ke dalam bahasa manusia; tapi di sisi lain ia menganggap puisi menyesatkan. Puisi adalah suara irasional, dan hanya intelek (nous) yang mampu menangkap kebenaran. Tapi jika Sokrates benar mengenai Hermes, ia salah menduga bahwa kebenaran hanya tersingkap secara demikian—dan bahwa puisi mendistorsikan komunikasi. Bahasa bukan cul- de-sac, bukan sebuah tabung yang terbuka di pangkal dan tertutup di ujungnya. Bahasa adalah sebuah proses tanpa ujung, tanpa tutup—dan sesungguhnya ke dalamnya selalu hadir apa yang diam. Berabad-abad kemudian sejak Plato dan Sokrates, setelah sejarah mengajarkan banyak kekecewaan dan harapan dalam komunikasi manusia, kita bisa berbicara tentang bahasa justru dengan berpegang pada puisi: ketika ke dalam diri kita sebuah sajak Rendra bisa mengungkapkan secercah makna, kita mengalaminya seperti ketika kita bertemu dengan sebuah karya Rusli atau S. Teddy. Sebuah keseluruhan makna terjadi tanpa karya itu mengekspresikannya seluruhnya, dengan garis, warna, kata. "Tiap patah kata," kata Gadamer, "sebagai sebuah kejadian di suatu saat, membawa serta apa yang tak dikatakan." Ke dalam apa yang tak dikatakan itu kata menjawab dan juga menyeru. Seperti dalam Stanza Rendra ini: Ada burung dua, jantan dan betina Hinggap di dahan Ada daun, tidak jantan tidak betina Gugur dari dahan Ada angin dan kapuk randu, dua-dua sudah tua Pergi ke selatan Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu Mengendap dalam nyanyiku Goenawan Mohamad
  • 3. Yang Mulia Sabtu, 10 Mei 2014 Putu Setia Yang mengesankan dari kesaksian Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat lalu, adalah cara dia menyapa hakim dan jaksa. Boediono, sebagaimana layaknya para terdakwa dan saksi dalam persidangan yang lain, menyebut "Yang Mulia". Berbeda dengan mantan wakil presiden Jusuf Kalla, yang cukup menyapa hakim dan jaksa dengan "Bapak" atau "Pak". Apakah Jusuf Kalla terpengaruh lagu dangdut: "Bapak hakim dan bapak jaksa, tolonglah...." Bagaimana seharusnya menyapa para hakim dalam persidangan? Saya pernah berbincang- bincang dengan seorang pakar hukum (dan teman itu, alhamdulillah, pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM). Dia menyebutkan, hakim dalam sidang harus disapa "Yang Mulia". Dengan pakaian kebesaran itu, hakim adalah "wakil Tuhan". Keputusan hakim selalu membawa-bawa nama Tuhan. Semua orang harus hormat kepada hakim. Kalau di luar sidang mau disapa "Mas", "Bapak", "Bung", "Kakak", terserah. Diajak bercanda juga bisa. Artinya, kita menghormati simbol. Saya pernah ikut mengecam seorang teman ketika ia ditangkap karena membakar gambar Presiden Yudhoyono yang persis sebagai simbol kepala negara. Sepanjang presiden itu masih sah, adalah penghinaan membakar fotonya. Sebaliknya, saya pernah membela sebuah kelompok yang dituduh menginjak-injak bendera Merah Putih, padahal yang diinjak itu kain merah dan kain putih yang membentang semrawut. Itu bukan bendera, karena bendera kebangsaan adalah simbol yang jelas perbandingan ukuran panjang dan lebar maupun porsi merah dan putihnya. Kalau semua warna merah dan putih yang bersanding dianggap "bendera", tim nasional PSSI tak boleh bercelana putih dan berbaju merah, karena "bendera" itu kadang dijatuhkan dan dilecehkan. Dulu, sewaktu saya kecil, masyarakat sangat menghormati simbol. Polisi yang berpakaian seragam pun dianggap simbol negara. Saat itu ada polisi di desa yang bertengkar dan lawannya meminta, kalau mau tanding, buka dulu baju seragam. Alasannya, berkelahi melawan polisi berseragam berarti melawan aparat negara, berarti memusuhi negara. Kalau polisi berseragam saja dihormati, apalagi presiden. Bukankah menyapa Presiden Sukarno tak boleh sembarangan? Di kelas II SMP, ketika akan ikut menyambut kedatangan presiden, saya dimarahi guru karena menulis dalam poster "Selamat Datang Bapak Presiden Soekarno". Harus ada kata PJM di depan kata "bapak". Apa itu PJM? Paduka Jang Mulia. Foto resmi presiden ketika itu tertulis "PJM Soekarno, Presiden RI".
  • 4. Siapa yang tahu sejarahnya kenapa anggota DPR disapa "Yang Terhormat"? Karena mereka mewakili rakyat. Kalau mereka tak diberi predikat "terhormat", seluruh rakyat jadinya tidak terhormat. Sampai sekarang pun sebutan itu muncul dalam forum resmi, meski kita tahu sudah sekian banyak anggota DPR yang ditahan karena korupsi. Presiden dan wakil presiden, walau tak lagi dengan sapaan Paduka Yang Mulia, tetaplah simbol negara. Ke mana-mana dikawal secara kenegaraan. Jangankan masih menjabat, baru jadi calon presiden saja dikawal. Coba lihat sebentar lagi, Jokowi pasti dikawal, suka atau tak suka. Berlebihan jika ada yang mengecam Boediono karena dikawal pasukan resmi ketika menjadi saksi di Pengadilan Tipikor. Yang dikawal bukan Boediono sebagai orang Yogya, melainkan simbol kenegaraan. Dan jika dalam sidang Boediono menyebut hakim dengan "Yang Mulia", itu bukan merendahkan jabatan wakil presiden, melainkan karena hakim simbol pengadil di dunia ini, "mewakili" Pengadil Maha Tinggi. Mari kita hormati simbol- simbol kenegaraan, untuk menghormati negara kita.
  • 5. Politik Simbol Senin, 12 Mei 2014 Ali Rif'an, Peneliti Pol-Tracking Institute Simbol memang tidak bisa mengubah bangsa secara langsung, karena tidak memiliki energi konkret. Akan tetapi, simbol memiliki kekuatan abstrak, semacam informasi yang bisa menggerakkan, yang jika digunakan dengan baik bisa mengubah suatu bangsa. Dalam sejarah negara-negara di dunia, para pemimpin besar selalu memproduksi simbol sebagai modalitas untuk menggerakkan masyarakat. Mahatma Gandhi, misalnya, lekat dengan simbol anti-kekerasan, Sukarno punya simbol anti-imperialisme, Nelson Mandela sebagai simbol anti-rasisme, Khomeini sebagai simbol revolusi Islam, serta Bung Hatta sebagai simbol koperasi Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana dengan simbol yang dimiliki oleh para capres mendatang? Tentu ada banyak simbol yang telah diproduksi, khususnya capres dari PDI Perjuangan, Joko Widodo (Jokowi), dan capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Jokowi, misalnya, dikenal dengan simbol "pro-wong cilik", sementara Prabowo "pemimpin kuat". Itu terlihat dari gaya komunikasi Jokowi serta gestur dalam kesehariannya yang sederhana, sementara Prabowo Subianto terkesan berkelas. Saat berkampanye, Jokowi sering blusukan dan berjalan kaki, sementara Prabowo Subianto menunggang kuda dan memakai helikopter, seperti saat memimpin kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), 23 Maret lalu. Simbol-simbol yang dibangun oleh kedua capres di atas agaknya tidak sembarangan, alias memiliki dasar filosofis dan historis. Sebab, simbol sejatinya adalah rangkuman gagasan dan arah perjuangan. Dengan simbol "pro-wong cilik", orientasi mendasar kepemimpinan Jokowi adalah bagaimana ngopeni (mengurus) rakyat, menyapa, dan memberdayakan mereka, serta mengangkat harkat dan martabat rakyat kecil. Masyarakat, yang selama ini tak memiliki akses dengan presiden, di pemerintahan Jokowi, barangkali akan mendapatkan kemudahan. Mungkin Jokowi akan seperti mendiang Gus Dur yang mengubah "Istana Kepresidenan" menjadi "Istana Rakyat". Sedangkan dengan simbol "pemimpin kuat", Prabowo Subianto ingin membawa bangsa ini menjadi "macan Asia". Orientasi mendasar Prabowo dalam kepemimpinannya ke depan barangkali adalah bagaimana membuat bangsa ini disegani oleh negara-negara lain.
  • 6. Prabowo tipe pemimpin yang kuat dari sisi gagasan dan narasi, sementara Jokowi tipe pemimpin yang bekerja dari hati dan tanpa basa-basi. Gaya bahasa Jokowi sangat alami dan merakyat, sementara gaya bahasa Prabowo lantang dan seperti bangsawan. Tapi menariknya, meski antara Jokowi dan Prabowo terlihat kontras, keduanya merupakan antitesis dari gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gaya blusukan Jokowi, misalnya, antitesis dari kepemimpinan SBY yang terkesan penuh citra. Sedangkan gaya lantang Prabowo menjadi antitesis kepemimpinan SBY yang terkesan "lembek". Itulah kenapa kedua tokoh ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, khususnya sambutan terhadap Jokowi dengan elektabilitas tak tertandingi. Pertanyaannya, antara gaya Jokowi dan Prabowo, mana yang lebih cocok memimpin roda pemerintahan mendatang? Setiap dari kita pasti punya jawabannya. Yang jelas, masyarakat kita adalah masyarakat majemuk, tentu selera capres sangat berbeda-beda. Adanya simbol dalam politik sangat berguna untuk memberikan disparitas antara satu kandidat dan kandidat lainnya. Selain itu, simbol berguna untuk menarik simpati pemilih. Simbol ibarat merek, semakin bagus akan diminati pembeli. Tentu saja antara merek dan kualitas barang harus sepadan. Karena, ketika simbol tidak dibarengi kualitas, yang terjadi adalah kekuatan horor. Julia Kristeva dalam Power of Horror mengatakan horor adalah kekuatan sistematis yang secara berkelanjutan mengembangkan cara untuk menjadikan pihak lain sebagai obyek kebencian (Piliang, 2005: 125). Tentu kita tidak ingin horor politik-seperti saling serang dan menikam-terjadi dalam pilpres. Masa kampanye pilpes nanti jangan sampai diisi oleh kampanye hitam, baik saling sindir melalui puisi maupun melalui ungkapan-ungkapan berbau rasis yang bisa memprovokasi masyarakat. Perang simbol sangat diperlukan, tapi perang otot jangan. Sebab, jika politik sudah menggunakan otot, simbol positif dapat berubah menjadi simbol negatif. Seperti Qarun yang terkenal dengan simbol kerakusan manusia, Qabil sebagai simbol kekerasan manusia, Hitler sebagai simbol genosida,Usamah bin Ladin-yang oleh George W. Bush dikatakan sebagai simbol terorisme global-dan lain-lain. Akhir kata, kita tak ingin di antara salah satu capres kita nanti ada yang mendapatkan (kutukan) simbol negatif. Publik ingin pilpres mendatang berjalan pada jalurnya. Hindari kampanye hitam, apalagi politik otot.
  • 7. Jahiliah Rasisme Senin, 12 Mei 2014 Azis Anwar Fachrudin, Santri di Jaringan GusDurian, Yogyakarta Rasisme mulai mewarnai kampanye pilpres, terutama di jejaring sosial. Rasisme itu tidak hanya menyoal agama, tapi juga latar belakang keluarga (nasab). Yang memprihatinkan, sebagian dari kampanye rasis itu muncul dari mereka yang menisbahkan diri pada (organisasi) Islam. Kepada mereka yang demikian, mari menengok kembali beberapa fragmen dalam sejarah Nabi (sirah nabawiyah). Pertama, risalah Islam lahir sebagai, antara lain, antitesis era pra-Islam yang disebut "Jahiliah". Di antara ciri-ciri Jahiliah: fanatisme tribal ('ashabiyyah qabaliyyah). Gengsi suku, nasab, dan saudara-sedarah di atas segala. Di antara ungkapan yang menjadi peribahasa waktu itu: unshur akhaka zhaliman aw mazhluman (tolong saudaramu, baik ia yang berbuat zalim maupun dizalimi). Kebenaran, dalam dunia Jahiliah, bukan didasarkan pada keadilan dan moralitas, melainkan suku: "Benar atau salah, yang benar dan aku bela tetaplah anggota sukuku!" (Dalam konteks saat ini, "suku", dalam taraf tertentu, bisa dianalogikan dengan afiliasi politik) Sejarah mencatat, terdapat sengketa cukup lama antara, misalnya, suku Quraisy versus suku Khuza'ah (di Mekah) dan suku Aus versus suku Khazraj (di Madinah). Sengketa itu pelan- pelan dikikis setelah Islam mereka terima. Islam mendasarkan persaudaraan (ukhuwah) pada iman, bahkan lebih luas lagi dalam level "negara" pada kontrak sosial Piagam Madinah, yang mengikat setara kepada segenap warga Madinah (muslim, Yahudi, dan sedikit penganut kepercayaan lain) untuk saling membela jika musuh dari luar menyerang. Dalam Islam, kemuliaan tak lagi diukur dengan nasab, melainkan dengan ketakwaan dan moral. Sebagian orang yang masuk Islam mula-mula justru para budak, seperti Bilal dan Shuhaib. Narasi bangsawan musyrik Mekah lalu menyebut diri mereka kaum elite (mala') yang tak pantas mengikuti jalan para budak muslim yang-mereka sebut-kaum pandir (sufaha') itu. Begitulah "pandangan dunia" Jahiliah. Maka, ketika ada muslim yang masih berpandangan bahwa seseorang benar semata karena ia dari ras A, dan seseorang salah semata karena ia dari ras B, hakikatnya muslim itu kembali ke alam Jahiliah.
  • 8. Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya hijrah ke Madinah, status mereka ialah para imigran (Muhajirin). Tapi kemudian Nabi menjadi pemimpin politik, "mengatasi" mereka yang pribumi. Sejarah mencatat, perbedaan status ini sering dimanfaatkan oleh kaum munafik di Madinah, pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul. Sebagaimana direkam Al-Quran, narasi yang dikampanyekan kaum munafik itu: mestinya orang-orang pribumi-mulia (al-a'azz) tidak dikuasi oleh para imigran-hina (al-adzall). Kampanye itu ingin memecah-belah Madinah yang sebelumnya sudah bersatu (Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan Nabi) dan sedang mempertahankan eksistensi politiknya. Politik rasis-diskriminatif dengan narasi imigran-pribumi itu ialah manuver kaum munafik Madinah. Mestinya orang-orang Islam tak hendak mengulanginya, termasuk dalam kampanye menjelang pilpres kali ini. Ketiga, satu dari tiga sikap Jahiliah yang dilarang Nabi, dan ini direkam dalam beberapa riwayat hadis sahih, ialah mencela nasab (at-tha'nu fil-ansab). Saya berharap para tokoh organisasi Islam yang berpengaruh di negeri ini masih menyadari sabda Nabi itu.
  • 9. Bahasa Politik Senin, 12 Mei 2014 Bagja Hidayat, @hidayatbagdja Dalam buku When Cultures Collide, Richard D. Lewis menganalisis 65 bahasa dari cara bertutur pemakainya dalam diplomasi dan negosiasi. Untuk bahasa Indonesia, ahli komunikasi dari Inggris yang fasih berbicara dalam sebelas bahasa itu menyimpulkan bahwa kita cenderung eufimistik dan ambigu. Jika berbicara, kalimat orang Indonesia tak langsung pada makna dan maksud sebenarnya. Tentu saja Richard Lewis menganalisis pemakaian dan tuturan bahasa Indonesia modern. Edisi ketiga buku ini terbit akhir tahun lalu dan mendapat penghargaan Klub Buku Eksekutif di Amerika Serikat. Ia mengamati bahasa Indonesia yang sudah terpengaruh oleh bahasa Jawa atau Sunda, bahasa-ibu penutur terbesarnya. Kecuali bagi orang Riau, bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Bagi orang Jawa atau Sunda, bahasa adalah séloka, kata tak mesti diucapkan sesuai dengan makna sebenarnya. Konon, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak punya padanan istilah untuk penis dan vagina, sebagai cara kita bersopan santun. Dan eufimisme pada era Orde Baru menjadi alat politik yang efektif untuk memanipulasi keadaan. Tentara yang menangkap dan menginterogasi seseorang disebut "mengamankan", kenaikan harga diumumkan sebagai "penyesuaian". Politik bahasa lebih dari tiga dekade itu berpengaruh ke dalam bahasa politik kita hari-hari ini. Sampai sebulan sebelum pemilihan legislatif, kita tak tahu dan terus menebak-nebak apakah Joko Widodo akan dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dan sampai hari ini kita tak tahu apakah Jokowi punya keinginan dan niat yang tulus menjadi seorang presiden. Dalam pernyataan publiknya, Gubernur Jakarta ini selalu mengelak, "Copras, capres, copras, capres, ora urus!" Dalam mandat yang diberikan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun Jokowi disebut sebagai "petugas partai". Artinya, ia hanya menjalankan titah pihak lain, seorang yang sejak awal tak punya niat menggapai kedudukan itu. Padahal, dari banyak liputan media, kita tahu di belakang dia ada sebuah tim siber yang menyiapkan pencalonannya sejak ia menjabat Wali Kota Solo. Mungkin itu semacam strategi politik, strategi politik di Indonesia. Sebab, orang yang sejak awal berterus-terang ingin menjadi presiden segera dicemooh
  • 10. sebagai gila kekuasaan. Popularitas politikus semacam ini akan selalu rendah. Pada Jokowi, sejak ia ikut bertarung dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012, popularitasnya sebagai calon presiden selalu di atas 40 persen. Di sini, ambisi politik adalah sebuah aib. Dan kita punya kata peyoratif untuk mencemooh pejabat publik yang bekerja sungguh-sungguh: pencitraan. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dihujat ketika ia menangis dalam acara televisi Mata Najwa dan apa yang dilakukannya membereskan ibu kota Jawa Timur itu dicurigai sebagai upaya mendapat simpati publik untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Di zaman ketika kenyinyiran disebarkan dengan mudah dan cepat ini, dan kebebalan dipertontonkan 24 jam, kita terbiasa tak mudah percaya. Dengan cara berkomunikasi kita seperti itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mendua dan penuh sopan santun yang sering kali menipu. Sebagai bahasa yang lahir karena politik, bukan alat politik sejak mula, pemakaian bahasa Indonesia ditentukan oleh elite yang bermain peran di dalamnya.
  • 11. Merekrut Presiden Selasa, 13 Mei 2014 Flo. K. Sapto W, Praktisi pemasaran Pemimpin tertinggi di sebuah institusi umumnya membawa atmosfer tersendiri. Misalnya, petinggi sebuah perusahaan sayuran dan makanan segar sangat mengutamakan suasana kekeluargaan. Sapaan ramah dan kebiasaan selalu datang lebih pagi dan pulang paling akhir menjadi stimulus positif. Adapun pemimpin di grup perusahaan lain sangat menekankan produktivitas. Output karyawan dihitung layaknya sebuah mesin. Sementara itu, ada juga pemimpin korporasi yang gemar sekali mengumbar caci-maki dan umpatan. Pemilik tidak pernah terlepas dari perbandingan kinerja para middle manager-nya dengan para penghuni kebun binatang. Anjing ekspatriat peliharaan pemilik perusahaan sering kali dipuji lebih cerdas daripada jajaran struktural perusahaan. Meeting reguler di sebuah perusahan minuman juga dikenal sebagai arena akrobat. Pemimpin tertingginya sangat gemar melempar segala jenis alat kantor. Setiap kali ada ketidakbecusan kinerja, akan ada lemparan pena, penghapus, spidol, bahkan hand phone. Konon, dua situasi terakhir-yaitu umpatan dan lemparan-dipercaya cukup efektif meningkatkan optimalisasi kinerja. Namun, bagi para sebagian eksekutif muda, situasi itu ditanggapi dengan santai. Gaji puluhan juta cukup sebanding dengan risiko itu. Bagi studi menajemen sendiri, tipe karakter atau perilaku manakah yang sebaiknya dimiliki oleh para pemimpin atau pemilik perusahaan? Menurut Gary Yukl dalam Leadership in Organizations (2010), pola kepemimpinan yang efektif adalah kombinasi antara task oriented behaviors, relations oriented behaviors, dan change oriented behaviors. Ketiganya secara sederhana dijabarkan sebagai gabungan dari perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada operasionalisasi pekerjaan, pendekatan relasional, dan ketanggapan terhadap perubahan. Apakah pendekatan perilaku ini berlaku juga dalam penetapan karakter calon presiden? Tanpa bermaksud menyederhanakan faktor ideologi, dikotomi pemimpin perusahaan atau kepala negara, serta kompetensi lainnya, pada prinsipnya, secara manajerial, pemilihan presiden identik dengan upaya perekrutan pada umumnya. Tujuan perekrutan sendiri, seperti yang dijelaskan oleh William P. Anthony, et al., dalam Human Resource Management (2006), adalah mendapatkan kandidat yang mampu mematuhi prosedur dan kebijakan perusahaan. Pada saat yang sama, kandidat juga dituntut untuk mengembangkan kreativitasnya. Dalam prakteknya, terobosan-terobosan inovatif sering kali bisa didapatkan dari kandidat yang memiliki pengalaman organisasi sosial kemasyarakatan yang beragam. Hal ini akan berbeda dengan kandidat yang relatif hanya berkutat dalam komunitas yang
  • 12. seragam-misalnya organisasi intra sekolah. Berdasarkan rekam jejak, kecenderungan perilaku kandidat juga bisa didapatkan. Kecenderungan ini umumnya akan terlihat pada kondisi spesifik (marah, sedih, terpojok, dan lainnya). Di sinilah kandidat akan menunjukkan karakter aslinya, apakah ia cenderung berperilaku panik, murka, emosional, atau tetap bijaksana dan tegas. Satu hal yang telah dijadikan catatan-terutama oleh publik sebagai pemilik saham negeri ini-karakter tegas tentu tidak sama dengan kejam.
  • 13. Miskin, Rentan, dan Timpang Selasa, 13 Mei 2014 Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik Rezim berkuasa saat ini kembali menorehkan capaian gemilang dalam hal pembangunan ekonomi. Hal ini tecermin dari laporan terbaru Bank Dunia yang menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 besar ekonomi dunia. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam purchasing power parity atau paritas daya beli pada 2011 dilaporkan mencapai US$ 2.058 miliar. Dengan PDB sebesar ini, Indonesia berada pada urutan ke-10 dari 199 negara, dan berkontribusi sebesar 2,3 persen terhadap PDB dunia. Capaian ini tentu membanggakan. Namun, di balik kebanggaan itu, ada kecenderungan bahwa kemajuan ekonomi yang telah dicapai selama ini, yang tergambar melalui angka- angka PDB dan pertumbuhan ekonomi, hanya menguntungkan kelompak menengah-kaya, dan kian meninggalkan kelompok miskin. Dengan kata lain, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin tetap-bahkan bertambah-miskin. Data-data statistik telah memberi konfirmasi mengenai hal ini. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sesunas), misalnya, menunjukkan bahwa saat pengeluaran kelompok terkaya tumbuh menjulang sepanjang 2013, pengeluaran kelompok termiskin justru tumbuh negatif. Jadi, tidak mengherankan bila kemajuan yang terjadi masih menyisakan sekitar 28 juta penduduk miskin. Ekonomi memang tumbuh mengesankan selama dasawarsa terakhir. Namun, faktanya, pertumbuhan ini hanya mampu menghela sekitar 8 juta orang keluar dari kemiskinan. Secara faktual, meski PDB per kapita telah mencapai US$ 8.539 per tahun pada 2011, sekitar 43 persen penduduk Indonesia masih hidup dengan pengeluaran di bawah US$ 2 per hari atau US$ 730 per tahun. Artinya, nyaris 103 juta penduduk Indonesia masih berkategori miskin menurut standar Bank Dunia. Jumlah penduduk hampir miskin (near poor) juga masih sangat tinggi. Pada 2011, jumlah penduduk dengan pengeluaran per bulan kurang dari Rp 350 ribu atau satu setengah kali garis kemiskinan mencapai 40 persen dari jumlah total penduduk. Angka ini menunjukkan 66 juta penduduk Indonesia sangat rentan (vulnerable)
  • 14. terperosok ke jurang kemiskinan bila terjadi gejolak ekonomi Tidak membikin heran bila rasio Gini telah mencapai 0,41 poin. Angka ini memberi konfirmasi bahwa pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar dinikmati oleh kelas menengah dan kaya. Hasil Susenas juga memperlihatkan, pada 2013, sekitar 49 persen pendapatan yang tercipta dalam perekonomian dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya. Sebaliknya, 40 persen penduduk termiskin hanya kebagian sekitar 17 persen dari angka pendapatan total. Itu pun dengan catatan, gambaran distribusi pendapatan yang terpotret melalui data Susenas sebetulnya cenderung kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Pasalnya, rasio Gini galibnya dihitung dengan menggunakan data pendapatan, bukan data pengeluaran yang dikumpulkan melalui Susenas, yang cenderung underestimate. Sejumlah persoalan yang diulas tersebut merupakan buah dari pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas. Selama ini, pertumbuhan lebih ditopang oleh sektor jasa (non-tradable) sehingga kurang melibatkan penduduk miskin. Karena itu, persoalan kemiskinan, kerentanan, dan ketimpangan pendapatan yang semakin jomplang harus menjadi fokus perhatian pemerintah mendatang. Tak bisa ditawar lagi, pertumbuhan ekonomi mesti berkualitas.
  • 15. Demi Indonesia 2045 Selasa, 13 Mei 2014 Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam Tahun 2045, tahun di mana kita akan merayakan seabad Indonesia merdeka, tinggal 31 tahun lagi. Apakah kita akan menjadi negara maju dalam tempo 31 tahun? Kalau kecepatan pembangunan bisa seperti Korea Selatan selama 1970–2000, kita bisa mencapainya. Dewasa ini, upah minimum di Korea Selatan adalah US$ 4,63 per jam, berbanding dengan upah minimum di Indonesia sekitar US$ 0,52 per jam. Artinya, produktivitas tenaga kerja di Korea Selatan minimum 8,9 kali lebih besar daripada produktivitas tenaga kerja kita. Jadi, kalau kita ingin pada 2045 mencapai posisi Korea Selatan dewasa ini, untuk gambaran kasar, paling tidak kita harus mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja kita 8,9 kali dari posisi sekarang. Mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara mudah. Mengapa? Mari kita lihat gambaran kekuatan makro-ekonomi kita dalam konteks global, sebagaimana dicerminkan dalam neraca pembayaran (barang, jasa, dan modal) Indonesia. Kita menyaksikan bahwa neraca jasa ini selalu defisit, kecuali untuk tenaga kerja Indonesia (TKI) dan turisme. Persoalan jasa ini merupakan simbol kelemahan sumber daya manusia dan institusi kita, yang masih belum mampu mengangkatnya menjadi sektor riil yang strategis. Lemahnya sektor jasa ini tentu berkaitan dengan lemahnya nilai devisa dari perdagangan, mengingat yang diperdagangkan di pasar dunia sebagian besar adalah bahan mentah atau produk hasil tenaga kerja murah. Jadi, data pada tabel neraca pembayaran menunjukkan, walaupun kita banyak memiliki utang luar negeri, produk Indonesia yang dijual ke pasar dunia tergolong produk murah. Kita perlu membangun strategi baru. Belajar dari perkembangan faktor K-pengubah siklus dunia, sebagaimana digambarkan oleh George Modelski, mau-tidak mau, Indonesia harus bisa memanfaatkan perkembangan terakhir faktor K20, yaitu teknologi komputer, Internet (IT), dan bioteknologi. Rancang bangun besar ekonomi Indonesia dewasa ini masih berdasarkan K13 model perkebunan yang dikembangkan pada 1640 dan struktur ekonomi dualistik masih berlaku. Model ini sudah perlu diganti karena fenomena inilah yang berlaku bagi Indonesia sekarang. Model penggantinya adalah industri berdasarkan inovasi. Landasan teorinya bukanlah teori keunggulan komparatif (comparative advantage),
  • 16. melainkan teori kreatif seperti yang disampaikan Schumpeter. Cara yang paling mudah adalah dengan meniru apa yang telah sukses di negara lain dan berhasil menjadi negara maju. Meniru tidak sama dengan menyalin atau menyontek, melainkan melakukan inovasi yang disesuaikan dengan situasi-kondisi yang kita hadapi untuk 31 tahun mendatang. Dari semua kasus yang sukses, baik di Barat maupun di Timur, ternyata terdapat kesamaan bersama (common denominator), yaitu lahirnya kepercayaan seluruh masyarakat bahwa kondisi sosial masyarakat bisa diperbaiki dengan diterimanya kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sebagai faktor utama perubahan. Kesadaran tersebut melahirkan komitmen antarkelompok penguasa, pengusaha, ilmuwan, teknolog, industri, dan masyarakat pada umumnya untuk melakukan perubahan-perubahan nyata dalam memperbaiki harkat dan derajat kehidupan. Dapat dilihat bahwa yang paling sulit dalam perbuatan meniru ini adalah melahirkan kesadaran dan membangun komitmen tersebut. Ilustrasi yang paling gamblang adalah bagaimana Jepang selama 10 tahun terakhir ini memilih kebijakan suku bunga bank sangat rendah, nol atau negatif. Di sinilah tampak bahwa nasionalisme bisa tidak bertentangan dengan kapitalisme. Artinya, demi murahnya modal untuk digunakan pihak yang memerlukannya, pemilik modal rela tidak menerima pendapatan dari bunga. Inilah model patriotisme kaum kaya Jepang demi negaranya. Dengan mengambil ilustrasi ini, tidak ada cara lain bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas ekonominya lebih dari 10 kali lipat atau lebih dari produktivitas sekarang, demi Indonesia 2045 yang lebih baik, kecuali dengan lahirnya para pemimpin, pengusaha kaya (konglomerat), ilmuwan, dan semua lapisan masyarakat Indonesia yang berkomitmen bersama demi Indonesia 2045 dan periode seterusnya yang lebih baik. Hasil Pemilu 2014 merupakan jawaban konkret yang akan memberi gambaran apakah Indonesia akan mengarah ke sana atau tidak.
  • 17. Tragedi Mei dan Keadilan bagi Korban Rabu, 14 Mei 2014 Mimin Dwi Hartono, Staf Komnas HAM, pendapat pribadi Tragedi Mei, yaitu peristiwa kerusuhan massal pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, telah terjadi enam belas tahun lalu. Tapi negara masih mengabaikan hak- hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan proses hukum seusai penyelidikan Komnas HAM. Sebelum penyelidikan Komnas HAM berdasarkan mandat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, pada 23 Juli 1998 dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang merampungkan laporannya pada 23 Oktober 1998. TGPF menemukan fakta bahwa kerusuhan tersebut diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang terbakar atau dibakar, ratusan orang luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang sebagian besar dari etnis tertentu, serta ribuan bangunan dibakar. Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, tapi sebagian besar tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah, misalnya terkait dengan rehabilitasi dan kompensasi bagi para korban ataupun pengadilan militer untuk petinggi ABRI yang diduga terlibat dan/atau membiarkan tragedi tersebut. Salah satu rekomendasi TGPF yang ditindaklanjuti adalah Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM yang berat atas Tragedi Mei. Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan catatan Komnas HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM disampaikan ke Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut pada 9 September 2003. Selain itu, Komnas HAM mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat agar mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU tentang Pengadilan HAM, untuk peristiwa yang terjadi sebelum 2000, pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus melalui rekomendasi
  • 18. DPR. Pada 2008, Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan belum bisa ditindaklanjuti karena pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk. Merespons hal tersebut, Komnas HAM berpendapat bahwa penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan tanpa menunggu pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Proses hukum atas Tragedi Mei yang mengambang dan berlarut-larut telah merugikan banyak pihak, terutama hak para korban atas keadilan dan asas persamaan di depan hukum yang menjadi inti negara hukum. Hak korban atas keadilan dan kepastian hukum telah diabaikan oleh negara selama bertahun- tahun. Mereka tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas Tragedi Mei yang telah merampas hak-hak asasinya, termasuk yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup. Pihak yang diduga adalah para pelaku menghadapi tuduhan yang belum berdasar pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berkembangnya opini publik yang menyalahkan pihak tertentu tidak bisa dielakkan karena pembiaran oleh negara selama belasan tahun. Sedangkan masyarakat umum tidak mendapatkan hak atas informasi atas sebuah kebenaran karena tidak ada ketegasan dari negara untuk mengadili siapa yang bersalah atau bertanggung jawab dalam Tragedi Mei. Kepastian atas proses hukum Tragedi Mei sangat penting bagi masyarakat agar mengetahui fakta yang sebenarnya dan tidak menjadi beban bangsa yang berlarut. Pemerintah ataupun presiden yang sedang berkuasa selalu akan dibayangi oleh tekanan dari dalam dan luar negeri karena dinilai tidak mau (unwilling) dan/atau tidak mampu (unable) menuntaskan Tragedi Mei. Dalam setiap sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau forum- forum internasional, ketidakjelasan status hukum Tragedi Mei akan selalu dipersoalkan, sehingga menggerus kredibilitas negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih mempunyai sisa waktu dalam masa pemerintahannya untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dalam menuntaskan proses hukum atas Tragedi Mei. Namun tampaknya hal itu sulit diharapkan karena selama hampir 10 tahun memerintah tidak ada langkah konkret untuk menindaklanjuti kasus Tragedi Mei dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Keengganan pemerintah ini lebih merupakan alasan politis daripada persoalan substansi penyelidikan. Untuk itu, tidak bisa ditangani hanya melalui pendekatan hukum an sich, tapi juga melalui pendekatan politik. Momentum pemilihan presiden pada 9 Juli menjadi sangat strategis dan penting untuk memastikan bahwa presiden terpilih mempunyai komitmen politik dan hak asasi manusia
  • 19. yang kuat. Publik berharap presiden mendatang berani membuka kebenaran dan menuntaskan proses hukum atas Tragedi Mei. Perlu ditegaskan bahwa penundaan atas proses hukum dalam Tragedi Mei yang berlarut-larut adalah bentuk dari pengabaian hak atas keadilan yang melekat pada korban.
  • 20. Mata Hitam Rabu, 14 Mei 2014 Anton Kurnia, Penulis esai dan cerpen Ochi chornye, atau Mata Hitam, bisa jadi lagu cinta dari Rusia yang paling terkenal di dunia. Aslinya lirik lagu ini ditulis penyair Ukrainia bernamaYevhen Hrebinka dalam bahasa Ukrainia. Ia lalu menerjemahkan puisi melankolis itu ke bahasa Rusia dan dipublikasikan dalam Literaturnaya gazeta pada 17 Januari 1843. Setahun kemudian puisi ini digubah menjadi komposisi lagu oleh Florian Hermann dan dipopulerkan oleh Feodor Chaliapin. Lagu ini lalu diadaptasi menjadi berbagai versi, antara lain sebagai Black Eyes dalam bahasa Inggris dan Les yeux noirs dalam versi Prancis. Lagu ini pun pernah menjadi nomor jazz standar pada masanya yang dibawakan oleh para master semacam Louis Armstrong dan Django Reinhardt dalam berbagai pentas. Di Indonesia, kita mengenal lagu ini sebagai lagu cinta berlirik bahasa Sunda, Panon Hideung (artinya Mata Hitam). Komposisi nadanya bisa dibilang sama dengan Ochi chornye, hanya berbeda lirik dan bergeser maknanya walau tetap berkisah tentang jatuh cinta yang sendu terhadap seorang gadis bermata hitam. Siapakah penggubahnya? Panon Hideung dianggit oleh maestro musik nasional yang pada 11 Mei ini kita peringati 100 tahun kelahirannya: Ismail Marzuki (1914-1958). Konon, lagu ini diadaptasi Ismail yang asli Betawi dari versi Rusia pada 1936 sebagai persembahan bagi seorang "euis Bandung" yang memikat hatinya. Gadis yang beruntung itu adalah Eulis Zuraidah, penyanyi keroncong dan dirigen orkestra asal Kota Kembang yang kemudian dinikahi Ismail pada 1940. Hingga kini lagu Panon Hideung amat populer di Bandung dan sekitarnya, serta kerap dinyanyikan dalam beragam kesempatan. Bahkan, bagi sebagian orang yang tak tahu sejarahnya, lagu itu dianggap lagu asli Sunda yang menasional. Panon Hideung tak jarang dibawakan dalam pentas internasional dengan iringan musik tradisonal semacam angklung sebagai "lagu daerah" Jawa Barat. Di Rusia, Ochi chornye amat populer. Banyak orang hafal di luar kepala nada dan liriknya. Dalam film dokumenter Gerimis Kenangan karya sutradara Seno Joko Suyono yang meraih Piala Citra pada FFI 2006, ada adegan ketika kru film mewawancarai secara acak sejumlah warga Moskow yang tengah berada di jalanan dan meminta mereka menyanyikan lagu ini. Ternyata sebagian besar bisa menyanyikannya. Dan seperti banyak orang di sini, mereka pun tak tahu riwayat intertekstualitas budaya antara Ochi chornye dan Panon Hideung yang
  • 21. menghubungkan sejarah kedekatan rakyat Rusia dengan Indonesia pada masa lalu. Alih-alih tampak sebagai seorang musikus penjiplak, Panon Hideung justru membuat Ismail tampil sebagai duta budaya yang efektif. Ismail yang pada 2004 dinobatkan sebagai pahlawan nasional membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal yang mampu melintasi sekat- sekat negara, bangsa, bahasa, bahkan ruang dan waktu. Lagi pula, ia tak pernah mendaku bahwa lagu ini karya orisinalnya. Ismail Marzuki adalah salah satu komponis terbesar kita dengan karya-karya yang terus dikenang dan dimaknai kembali hingga kini oleh generasi setelahnya, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, dan Sabda Alam. Sejarah dan waktulah yang mencatat dan mengabadikan pencapaiannya yang gemilang.
  • 22. Ekalaya Rabu, 14 Mei 2014 Purnawan Andra, Peminat kajian sosial budaya masyarakat Dalam cerita Mahabharata, Ekalaya adalah seorang kesatria yang ingin menimba ilmu panah kepada Mahaguru Drona. Tapi Drona tahu Ekalaya mempunyai bakat yang jauh melebihi Arjuna, murid kesayangannya. Maka ia mengajukan syarat mau menerima Ekalaya sebagai murid asal menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona. Kita tahu, tanpa kelengkapan jari- jari tangan, seorang kesatria tak akan mampu memanah dengan baik. Namun Ekalaya tetap memberikan jempolnya kepada Drona sebagai ketaatan murid kepada gurunya. Ekalaya adalah potret keinginan kuat seseorang untuk memperoleh pendidikan. Tapi harapannya berhadapan dengan Drona (baca: institusi pendidikan) yang tak menerima dan mengelolanya dengan baik, bahkan mengebiri kemampuannya, karena alasan dan logika yang tak masuk akal: suka atau tidak suka. Fitrah sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan adalah organisasi belajar. Pendidikan memperlakukan individu sebagai pribadi dalam sistem yang dibangun sebagai dasar bertindak dalam praksis harian, sehingga kultur edukatif benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan (Soedjatmoko, 2009). Artinya, sekolah menciptakan iklim harian dan kultur sekolah yang mendukung siswa gemar belajar tanpa dipaksa atau diancam perolehan nilai, dengan mengajarkan "etos", konsep nilai berupa ketekunan, konsistensi, serta keseriusan siswa. Namun Romo Mangun menyebut bahwa institusi-institusi pendidikan formal saat ini telah mendidik siswanya menjadi robot dengan suasana penuh siksaan dan tekanan. Dari kebijakan ujian nasional (UN) saja, kita lihat wajah pendidikan kita. UN selalu hadir dalam suasana menegangkan, mengancam, dan menakutkan, bukan dipahami sebagai proses wajar untuk menuju tingkatan yang lebih tinggi. Untuk menghadapi UN, sekolah perlu mengadakan doa dan zikir bersama disertai isak tangis penuh haru yang diakhiri ikrar kejujuran. UN dikesankan menjadi pertaruhan hidup siswa: lulus berarti fase hidup selanjutnya terbentang di masa depan, sedangkan tidak lulus UN berarti kesalahan, kegagalan, menghadapi malu atas semacam "dosa". Dunia pendidikan dikelola dengan visi pendidikan dan spiritualitas yang dangkal, lebih suka mencari jalan pintas. Arti pendidikan yang sebenarnya direduksi. Proses menjadi tidak penting karena hasil lebih utama, entah bagaimana cara mendapatkannya. Maka wajar jika
  • 23. setiap menjelang UN selalu ada fenomena jual-beli jawaban, bocoran soal, hingga siswa yang bunuh diri karena gagal lulus. Siswa seharusnya mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Sebagai sebuah lembaga ilmiah, sekolah harus mampu menciptakan iklim yang kondusif dan menjadi tempat bagi seluruh civitas academica untuk mengembangkan segenap potensi keilmuan, memupuk kreativitas, dan melakukan kegiatan-kegiatan inovatif guna meraih capaian intelektual dan kepribadian yang optimal. Pendidikan berkualitas bukan sekadar masalah teknis didaktik-metodik, tapi juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis. Jangan sampai negara bersikap seperti Drona terhadap Ekalaya, dengan tidak memfasilitasi hak tumbuh-kembang siswa yang menjadi fitrah pendidikan.
  • 24. Golkar untuk Jokowi? Jum'at, 16 Mei 2014 M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta Pada Selasa, 13 Mei 2014, calon presiden PDIP, Joko Widodo (Jokowi), bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Pasar Gembrong, Jakarta. Aburizal memberi sinyal positif bahwa partainya akan merapat ke poros pilpres PDIP. Tetapi, pada hari berikutnya, Aburizal bertemu dengan Presiden Yudhoyono sebagai king maker Partai Demokrat, di Istana. Aburizal juga menerima kedatangan Prabowo Subianto (Gerindra) dan juga Wiranto (Hanura). Berikutnya, Aburizal menemui Megawati. Pertemuan-pertemuan politik itu semakin membuat publik susah menerka ke mana arah koalisi Golkar. Sementara itu, poros pilpres PDIP sudah semakin pasti. Koalisi PDIP, Partai NasDem, dan PKB telah diresmikan. Realitas inilah yang membuat Jokowi sebagai capres kian terpastikan, karena boarding pass pilpres sudah dipegang. Karena itu, apakah Golkar jadi masuk atau tidak ke poros Jokowi, tidak begitu berpengaruh. Tetapi, apakah PDIP sesungguhnya membutuhkan Golkar dan sebaliknya? Saya berpendapat, kendatipun pihak-pihak tertentu PDIP menginginkan koalisi ramping, secara empiris PDIP tetap harus merangkul Golkar, kalau ingin membangun pemerintahan presidensial yang kuat. PDIP tidak cukup sekadar mengandalkan retorika pro-rakyat. Secara empiris, kekuatan presidensial akan optimal manakala dukungan parlemennya sangat kuat. Dalam konteks inilah, Golkar sebagai kekuatan politik yang cukup signifikan di parlemen tidak boleh serta merta diabaikan. Jadi, bagaimanapun, PDIP tetap membutuhkan Golkar, justru untuk menjamin stabilitas pemerintahan presidensial. Adapun di tengah terombang-ambingnya Golkar dalam proses pencarian mitra koalisi, saya berpendapat seharusnya skala prioritasnya ke PDIP ketimbang yang lain. Mengapa demikian? PDIP punya capres yang paling potensial elektabilitasnya dari yang lain. Dengan kecepatan merapat ke PDIP, Golkar bisa memainkan peran dalam merancang dan menentukan langkah politik selanjutnya. Tetapi, rupanya Golkar tidak bisa lincah, justru karena Aburizal diberati status resmi yang disandangnya sebagai capres Golkar. Status itu belum dicabut melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), ketika Aburizal berikhtiar menjalin komunikasi politik dengan yang lain. Komunikasi menjadi keharusan, mengingat persyaratan dukungan elektoral Golkar tidak cukup baginya untuk mengajukan capres-cawapres sendiri.
  • 25. Realitas demikian menghempaskan Aburizal dari impiannya memegang boarding pass pilpres. Kartu politik Aburizal pun tidak leluasa dimainkan, karena lemahnya kemampuan dalam meyakinkan yang lain. Dengan kata lain, Aburizal tidak bisa menjadi magnet politik yang kuat dalam menginisiasi poros pilpres. Sebaliknya pihaknya lebih banyak ditentukan oleh yang lain. Dari ranah internal, gagasan politik yang lebih realistis hadir dari Dewan Pertimbangan yang mengajukan tiga nama tokoh Golkar yang boleh diambil partai lain sebagai cawapres. Mereka adalah Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Luhut Panjaitan. Dari sisi tersebut, Golkar perlu dihitung kekuatannya secara formal dan informal. Bagi PDIP yang sudah punya boarding pass pilpres, pertimbangan dukungan formal Golkar, mungkin bisa diabaikan. Tetapi kekuatan informalnya perlu dicermati, terutama dari sisi kekuatan tokoh dan daya magnet politiknya. Aburizal bisa menurunkan statusnya menjadi bakal cawapres, tapi kalaulah demikian ia segera masuk ke barisan tokoh Golkar yang akan dinilai pihak lain. Misalnya, apakah Aburizal lebih tepat mendampingi Jokowi dibandingkan dengan Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan atau yang lain? Dalam konteks ini, saya berpendapat cawapres Jokowi hendaknya politikus yang andal dalam mengelola potensi konflik dan menggalang dukungan parlemen. Kalau tidak, potensi instabilitas politik demikian tinggi dalam konstelasi parlemen multipartai dewasa ini. Kuncinya tetap pada keandalan para elitenya menggalang konsensus dan mengelola konflik. Golkar punya stok ke arah ciri-ciri demikian. Lagi pula, fleksibilitas Golkar membuat koalisi lebih terjamin. PDIP dan Golkar sesungguhnya punya pengalaman sejarah Koalisi Kebangsaan pada pilpres 2004. Di bawah Akbar Tandjung, Golkar tetap konsisten kendati koalisi berada di luar pemerintahan. Namun, fenomena yang mengemuka kemudian, Golkar formal, yang pro- koalisi kebangsaan, secara faktual segera tenggelam oleh kekuatan informal Jusuf Kalla yang merebut kendali Golkar pada Musyawarah Nasional (Munas) 2004. Meski demikian, pengalaman koalisi kebangsaan tetap menegaskan adanya persambungan frekuensi politik Golkar-PDIP. Dari sisi ini, hendaknya pendukung Jokowi bisa memahami bahwa, dalam politik, sesuatu yang sangat ideal tidak serta-merta mudah diwujudkan. Rasionalitas politik tetap harus mengemuka. Kerja sama politik terbuka, bahkan dengan partai yang kurang disukai sekalipun, sesungguhnya merupakan hal yang lazim. Maka Golkar pun bukan sesuatu yang harus dipandang negatif bagi Jokowi.*
  • 26. Revolusi Metal Jum'at, 16 Mei 2014 Iwel Sastra, Komedian @iwel_mc Istilah revolusi metal yang saya tulis terinspirasi ketika melihat laki-laki berdandanan metal ala Kirk Hammett, gitaris grup band Metallica. Rambut gondrong, jenggotan, pakai kaus warna hitam plus celana ketat, tapi ikut larut di antara penonton yang sedang menikmati penampilan JKT48, girl band yang beranggotakan puluhan remaja putri cantik dan manis. Sebelumnya, kita juga pernah mendengar istilah "wajah Rambo hati Rinto". Maksudnya, berwajah jantan seperti Rambo yang diperankan oleh Sylvester Stallone, tapi hatinya cengeng seperti lagu-lagu yang diciptakan oleh Rinto Harahap. Istilah revolusi metal ini kemudian saya gunakan untuk menunjuk pada fenomena bahwa segala sesuatu tidak bisa lagi dinilai dari luar. Dulu, orang yang bertato dicitrakan sebagai preman atau penjahat, sekarang ini tato menjadi bagian dari fashion yang tren bagi sebagian orang, termasuk perempuan. Dulu, laki-laki yang bertubuh kekar dengan wajah maskulin dianggap sebagai lelaki sejati. Tapi sekarang, kita tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan sebelum mendengar dia berbicara atau melihat bahasa tubuhnya. Bisa-bisa nanti kecewa, cyin.... Penampilan luar adalah kemasan yang bisa diciptakan seseorang dalam rangka pencitraan. Sebagai contoh, pada pemilu legislatif yang lalu, rakyat hanya disodori foto-foto para caleg tanpa mengenal lebih jauh siapa mereka sesungguhnya. Ada foto caleg yang dipasang di papan reklame, ada yang di pohon, dan ada yang di tiang listrik. Caleg yang fotonya dipasang di tiang listrik ini disebut caleg nyentrik, alias "nyender di tiang listrik". Mengenal caleg hanya dengan melihat tampak luar tanpa mengenal lebih dalam memunculkan kekecewaan di kemudian hari. Ini bisa dilihat setelah caleg terpilih ditetapkan melalui pleno KPU, kemudian ramai berita mengenai anak buronan BLBI yang lolos ke Senayan. Jika pemilih membaca berita ini setelah yang bersangkutan terpilih, tentu sudah tidak ada artinya. Ibaratnya seorang perempuan dinikahi seorang pria, beberapa hari setelah pernikahannya baru tahu bahwa pria yang dinikahinya masih memiliki istri yang sah. Ini bukan lagi sekadar nasi yang telah jadi bubur, bahkan angpau pun telah jadi bubur. Dari daerah, dikabarkan tukang tambal ban, tukang bakso, hingga tukang ojek berhasil terpilih menjadi anggota DPRD. Tidak ada salahnya, memang. Karena, menurut undang- undang, siapa pun berhak mencalonkan diri selama memenuhi syarat. Kalau dipaksakan, profesi apa pun tetap bisa relevan menjadi anggota legislatif. Misalnya anggota legislatif
  • 27. yang memiliki latar belakang tukang ojek, bisa duduk di komisi yang mengurusi transportasi. Sedangkan yang memiliki latar belakang tukang bakso bisa duduk di komisi yang mengurusi pangan. Begitu seterusnya, semua pasti bisa dihubung-hubungkan. Meskipun secara kualitas tetap menimbulkan kekhawatiran. "Tak kenal maka tak sayang" bukanlah pepatah yang ditujukan hanya kepada kaum jomblo. Pepatah ini ditujukan kepada siapa saja untuk mengenal seseorang lebih jauh bahkan untuk mengenal calon pemimpin mereka. Orang barat sering bilang, "Don't judge the book by it's cover." Jangan menilai buku hanya dari sampul depannya. Sampul depannya jelek belum tentu isinya bagus, he-he-he. Makna dari ungkapan yang saya plesetkan ini adalah kita jangan terlalu cepat menyimpulkan apa yang terlihat tanpa mengenal lebih dalam. *
  • 28. Terlambat Jum'at, 16 Mei 2014 Wahyu Dhyatmika, wahyu.dhyatmika@gmail.com Mengapa orang Indonesia cenderung tak bisa tepat waktu? Mengapa kita kerap menganggap remeh keharusan untuk hadir pada suatu acara persis pada jam yang tertera dalam undangan sang tuan rumah? Kecuali untuk urusan yang teramat penting dan terkait dengan orang yang amat kita hargai-atau takuti-biasanya kita datang terlambat. Lima menit, sepuluh menit, bahkan sampai setengah jam. Saya pernah mengundang seseorang untuk membicarakan sebuah proyek kerja sama yang teramat penting untuk lembaga kami. Saya harus menunggu sekitar 20 menit, sebelum batang hidungnya muncul dengan permintaan maaf panjang-lebar. Hujan deras, banjir, lalu macet: serangkaian alasan yang sudah amat biasa kita dengar sebagai biang kerok keterlambatan. Tapi, anehnya, saya memaafkan dia. Begitu saja, dengan ringan, dengan penuh pemakluman, maaf saya berikan. Setelah itu, saya jadi berpikir. Mengapa kekesalan saya menguap dengan begitu cepat? Mengapa saya tidak murka sampai ke ubun-ubun karena dia tak berusaha lebih keras-tak berangkat lebih cepat, misalnya-untuk tepat waktu memenuhi undangan saya? Jawaban untuk pertanyaan retorika itu menyambar cepat di dalam kepala saya: karena saya juga tak bisa memastikan saya akan selalu datang tepat waktu. Sesederhana itu. Bila saya berada di posisinya, belum tentu saya tidak terlambat. Karena itulah, saya memaafkan keterlambatannya karena saya yakin saya juga berpotensi terlambat bila harus datang ke kantornya. Kalau begitu, ini seperti lingkaran setan. Sebuah keterlambatan jadi dimaklumi karena semua orang sadar mereka pun berpeluang tidak tepat waktu. Akhirnya, lambat-laun, keterlambatan diterima sebagai budaya, sebagai bagian dari kebiasaan kita. Perhatikan surat undangan untuk acara apa pun di negeri ini: panitia pasti mencantumkan jam dimulainya acara lebih awal 30 menit sampai 1 jam. Soalnya, panitia yakin hadirin pasti datang terlambat sehingga acara pasti tertunda, setidaknya 30 menit. Akibatnya, mereka yang hadir persis pada jam yang diminta jadi kecele. Sementara mereka yang terlambat malah beruntung. Kecenderungan ini amat mengganggu. Mengapa kita bisa menenggang rasa untuk jam karet?
  • 29. Mengapa kita permisif soal keterlambatan? Dalam rangka mencari jawaban, saya melakukan studi perbandingan dengan bertanya pada seorang kawan dari Jerman, sebuah negeri yang warganya dikenal disiplin dan amat tepat waktu. "Mengapa orang Jerman jarang terlambat? Apa rahasianya?" saya bertanya. Jawabannya membuat saya tertohok. Dia bilang, orang Jerman menganggap terlambat adalah sebuah tindakan yang amat kasar dan tidak sopan. Jika Anda datang terlambat memenuhi sebuah janji, mau tak mau, Anda membuat seseorang atau beberapa orang menunggu. "Apa hubungannya menunggu dan sopan santun?" saya mengejar. Menurut kawan saya: orang yang dipaksa menunggu hanya bisa berpangku tangan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia kerjakan jika dia punya waktu. Dia tidak bisa menemui klien lain, atau pergi ke toko untuk membeli buku pesanan anaknya. Pendeknya, dia kehilangan sepotong waktu gara-gara menunggu Anda. "Dengan datang terlambat, Anda merampok sepotong waktu dari kehidupannya." Saya terenyak. Ketika terlambat disamakan dengan sebuah pencurian, mendadak dia jadi punya makna baru. Tepat waktu bukan hanya soal disiplin semata, tapi juga soal menghargai orang lain. Kalau kita mengakui keberadaan orang lain dan mengapresiasinya sepenuh hati, maka datang terlambat sama saja dengan membuang relasi itu ke tempat sampah. Dengan perspektif macam itu, mereka yang terlambat memang melakukan perbuatan tak sopan, yang tak bisa diampuni begitu mudah. Tak ada lagi maaf bagimu. *
  • 30. Statistik Buku Jum'at, 16 Mei 2014 Agus M. Irkham, Pegiat Literasi Kita perlu memiliki statistik perbukuan Indonesia sepanjang 2013. Berapa jumlah judul buku baru yang diterbitkan? Berapa jumlah total buku yang beredar? Berapa total volume industri penerbit buku? Berapa jumlah buku pelajaran SD, SMP, dan SMA yang diperlukan secara nasional? Berapa jumlah penerbit dan toko buku? Berapa besar angka Book Production Consumption (BPC) kita? BPC menjadi alat ukur untuk mengetahui seberapa besar persentase pengeluaran suatu masyarakat (bangsa) yang digunakan untuk membeli buku. Melalui BPC, kita jadi tahu harga buku yang berlaku di suatu negara lebih mahal atau sebaliknya dibanding harga buku di negara lain. Jawaban atas berderet pertanyaan tersebut, sejauh pengamatan saya, tidak ada. Baik jawaban kira-kira, apalagi jawaban pasti. Sebuah paradoks tersendiri. Saat kita menyusuri toko buku, deretan rak buku banyak memajang buku berisi tentang metodologi penelitian ataupun publikasi hasil penelitian. Tapi belum ada penelitian khusus tentang statistik perbukuan kita paling mutakhir yang merupakan input untuk memotret perkembangan dunia industri perbukuan di Tanah Air. Padahal industri perbukuan ini menjadi rahim bagi sosialisasi ilmu, pengetahuan, dan hasil penelitian. Produk industri perbukuan justru hampir-hampir tidak pernah diteliti. Ada semacam pengabaian akademik dalam gerak langkah bertumbuhnya industri perbukuan kita. Penelitian yang paling sederhana pun tidak pernah kita lakukan. Misalnya, melihat kecenderungan atau tren buku tiap tahun, penelitian tentang minat baca yang kita lakukan sendiri, bukannya merujuk pada penelitian lembaga asing yang kemudian kita kutip sekadar untuk semakin menegaskan bahwa minat baca masyarakat kita menempati nomor sepatu. Perayaan Hari Buku Nasional setiap 17 Mei pun tidak mampu kita jadikan momentum untuk melahirkan gagasan melakukan riset yang mendalam tentang perkembangan industri perbukuan kita. Padahal, riset tersebut dapat menjadi rujukan, input, dan peta jalan bagi seluruh stakeholder perbukuan di Indonesia. Baik dari penulis, penerjemah, editor, penerbit, agen, distributor, penyedia kertas, toko buku, maupun pemerintah. Riset industri perbukuan yang terakhir saya baca dilakukan Teddy Surianto pada 1995 berjudul "Potret Distribusi Buku di Indonesia" yang terhimpun dalam buku kumpulan esai berjudul Buku dalam Indonesia Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1999, yang disunting Alfons Taryadi).
  • 31. Dalam riset itu tergambar dengan jelas kondisi industri perbukuan di Indonesia. Deretan pertanyaan pada awal tulisan ini terjawab semua. Tak terkecuali angka PBC kita yang terjun bebas ke angka 0,144 persen. Artinya, kita harus membayar 10 kali lipat lebih mahal ketimbang masyarakat konsumen buku di negara maju. Setelah Teddy Surianto, belum ada lagi riset mendalam mengenai wajah industri perbukuan kita hingga hampir dua dekade sekarang ini. Ketiadaan riset itu juga barangkali yang menyebabkan RUU Perbukuan Nasional yang drafnya sudah ada sejak Juli 2006 hingga kini belum kunjung disahkan menjadi undang-undang. Layaknya hendak membuat peraturan terhadap sesuatu yang kita sendiri tidak tahu makhluk seperti apa yang akan kita atur itu. Jadilah kita bak saat berjalan menyalakan lilin guna menerangi langkah, mata masih terbebat kain tebal. *
  • 32. Pemimpin Profetik Jum'at, 16 Mei 2014 Husein Ja'far Al Hadar, Peminat Masalah Agama Pemimpin adalah wakil Allah (khalifatullah) di bumi atau suatu negara. Jika disadari dalam kerangka itu, kepemimpinan tak akan dipahami, dihayati, dan dijalankan sebagai yang profan-imanen, melainkan sakral-transenden. Pemimpin adalah gelar profetik, sehingga tak ada bedanya antara pemimpin negara dan imam salat atau khatib Jumat. Sebab, pada dasarnya, kepemimpinan adalah sebuah tugas suci, meski itu dilakoni di negeri sekuler sekalipun. Apalagi pemimpin Indonesia, negeri berdasarkan Pancasila yang sangat religius ini. Sebagaimana seorang imam atau khatib, ia bukan hanya mengemban amanat rakyat atau umat, tapi juga amanat Tuhan. Karena itu, ia harus pribadi yang paling memiliki sifat-sifat ketuhanan: adil, bijaksana, rahman (pengasih), rahim (penyayang), dan sebagainya. Inilah (seharusnya) visi-misi dasar seorang pemimpin (politik). Visi-misi profetik itulah yang kerap absen dalam kontestasi kepemimpinan (politik) di negeri ini. Maka, penulis kerap menemui sebagian kita yang sering merasa tak pantas dan saling dorong saat diminta menjadi imam salat atau khatib Jumat, tapi begitu bernafsu dan saling berebut menjadi pemimpin negara. Bahkan, memperebutkannya dengan menghalalkan segala cara. Maka, nilai profetik kepemimpinan pun menjadi sirna. Kepemimpinan hanya dipahami sebagai jabatan, rakyat sebatas komoditas, dan koalisi dijalankan dalam kerangka "dagang sapi". Padahal, sebagaimana kata Sayidina Ali bin Abu Thalib dalam salah satu wasiatnya sebagai khalifah pada Malik Asytar, pola pandang seorang pemimpin pada rakyatnya harus berbasis subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Jadi, pemimpin akan benar-benar merasakan perasaan, keluhan, dan harapan rakyatnya. Dengan begitu, para pemimpin menyadari, tidak bisa tidak, mereka harus merangkul rakyat dalam kepemimpinannya sebagai urusan bersama (res publica). Mereka juga selalu menyadari bahwa kekuasaan sejati selamanya milik rakyat. Maka, dalam konteks kepemimpinan yang profetik, sebagaimana menjadi isi doa Emha Ainun Nadjib (2012), para bakal calon pemimpin justru harus berharap bisa menjadi "pemimpin boneka". Namun, tentu bukan "boneka manusia", tapi "boneka Allah". Dengan begitu, pemimpin kita benar-benar seorang khalifatullah di Indonesia. Akhirnya, seperti didendangkan Iwan Fals, pemimpin memang sepatutnya "manusia setengah dewa". Seorang manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan atau para dewa. Namun, seperti
  • 33. dikemukakan Sayyid Fadlullah (ulama Libanon), visi-misi pemimpin profetik itu bukan berarti untuk membentuk "negara agama" (daulah diniyah) atau mau menyesatkan agama, keyakinan, atau mazhab lain atas nama kemurnian. Tapi, untuk membentuk "negara kemanusiaan" (daulah insaniyah). Sebab, ketika nilai-nilai kemanusiaan tegak (keadilan, perdamaian, kesejahteraan, toleransi, dll), di sanalah visi agama dan nilai-nilai ketuhanan bersemi.
  • 34. Menang Sebelum Bertarung? Jum'at, 16 Mei 2014 Agung Baskoro, Analis Politik Poltracking Tak lama setelah hasil rekapitulasi pemilu legislatif (pileg) ditetapkan KPU (9 Mei) dan tak ingin mengulang kesalahan pada Pemilu 1999, PDIP terus bergerilya memastikan mitra koalisi. Terakhir, 13 Mei lalu, Poros Joko Widodo (Jokowi) kembali memperoleh dukungan tambahan dari Golkar, setelah sebelumnya NasDem dan PKB sepakat untuk bersama. Bila digabung secara keseluruhan, poros ini akan mendapatkan raihan suara sebesar 49,46 persen, sebuah angka solid yang cukup untuk memajukan paket pasangan capres-cawapres ataupun mengimbangi peta dukungan eksekutif di parlemen nanti. Bila melihat peta persaingan sementara ini, Poros Jokowi hanya bisa diimbangi oleh Poros Prabowo Subianto yang telah memperoleh mitra koalisi melalui PPP dan PAN. Dan bila diakumulasikan, total suara yang berhasil dikumpulkan oleh ketiganya berjumlah 25,93 persen. Di sisi yang lain, Partai Demokrat, PKS, dan Hanura belum memutuskan ke mana arah dukungan akan diberikan atau malah bersepakat untuk memunculkan poros baru yang gagal diinisiasi oleh ARB. Dalam konteks ini, sebenarnya, secara matematis, pemenang pemilu presiden (pilpres) 9 Juli nanti sudah bisa ditebak. Namun politik bukan sekadar hitungan di atas kertas, karena banyak faktor turut mempengaruhi. Bila ditelusuri, pilpres adalah kontestasi figur, walaupun dalam pileg yang lalu kondisi ini sudah terjadi dan menjelaskan bagaimana terdongkraknya suara PDIP, Gerindra, dan PKB dengan kehadiran Jokowi, Prabowo, Rhoma Irama, Jusuf Kalla, Mahfud Md., serta sederet nama-nama besar lainnya. Fakta ini diperkuat pula oleh temuan Poltracking, sepanjang Oktober 2013, Desember 2013, dan Maret 2014, yang menjelaskan bahwa kedekatan pemilih dengan partai (party ID) hanya 17-25 persen. Pekerjaan rumah bagi Poros Jokowi ataupun Poros Baru--bila terbentuk nantinya-- menyisakan siapa figur yang layak menjadi cawapres. Sebab, pada saat yang bersamaan, Poros Prabowo telah memastikan Hatta Rajasa sebagai cawapres yang diusung. Figur cawapres memiliki posisi sentral pada pilpres kali ini karena menentukan siapa pemenang dan bagaimana pemerintahan bergulir efektif di masa mendatang. Bila merujuk pada survei profesor dari Poltracking akhir Maret 2014, syarat cawapres ideal (baca: basis elektabilitas dan kualitas) akan mudah dipenuhi oleh poros mana pun. Sebab, nama-nama ini berasal dari proses seleksi sosok kuat di internal partai, publik, dan telah diuji melalui 330 profesor di seluruh Indonesia, yang merepresentasikan orang-orang dengan
  • 35. predikat puncak dalam dunia akademik. Basis penilaian yang dilakukan oleh para profesor ini mencakup tujuh dimensi kepemimpinan, meliputi integritas, visi dan gagasan, leadership dan keberanian mengambil keputusan, kompetensi dan kapabilitas, pengalaman dan prestasi kepemimpinan, kemampuan memimpin pemerintahan dan negara, serta kemampuan memimpin koalisi partai politik di pemerintahan. Hasilnya, di luar skema Jokowi, Prabowo, ARB, Wiranto, Surya Paloh, Hatta Rajasa, dan Megawati (yang memang sudah direstui oleh partai masing-masing ataupun sudah memberikan tiketnya kepada kandidat lain) dan masuk pula dalam survei ini, maka berturut- turut terdapat nama Jusuf Kalla, Mahfud Md., Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Yusril Ihza Mahendra, Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Akbar Tandjung pada peringkat 15 besar. Ada ungkapan menarik dari Pierre Salinger, juru bicara Presiden AS John F. Kennedy, tentang pedoman, bagaimana seharusnya seorang wakil presiden bersikap. "Dia harus rela berjalan satu langkah di belakang, bersedia berbicara dengan nada lebih rendah, dan sama sekali tak boleh bermimpi merebut jabatan presiden." (Pour, 2001). Memilih cawapres menjadi pekerjaan tidak mudah, di tengah persaingan mitra koalisi dan tingginya rivalitas calon yang ingin menunjukkan eksistensi. Sampai pada tahapan ini, menemukan dwitunggal seperti halnya Soekarno-Hatta dan SBY-JK bukan hanya dominasi elite partai semata, karena ini menyangkut nasib lima tahun Indonesia Raya. Maka sudah semestinya mempertimbangkan harapan rakyat menjadi utama. Pertarungan pilpres kali ini kembali akhirnya ditentukan oleh ke mana arah SBY bergerak, karena raihan suara Demokrat cukup signifikan untuk membentuk poros baru bersama partai sisa, yakni PKS dan Hanura. Sekaligus dapat memberi dinamika (sintesis) di tengah pertarungan gagasan Revolusi Mental Jokowi dan Nasionalisme Ekonomi Prabowo. Bila hal ini terealisasi, publik setidaknya dapat lebih leluasa memilih menu terbaik sampai lima tahun yang akan datang. Sebab, hal ini sebenarnya memang terintegrasi melalui proses konvensi calon presiden Demokrat yang telah berlangsung sejak setahun lalu. Pilihan SBY untuk membentuk poros baru lebih strategis karena, secara internal ataupun eksternal, Demokrat dapat kembali solid dan publik sejenak dapat mengalihkan perhatiannya ke capres Demokrat dari Nazaruddin Effect ataupun berbagai kasus hukum yang kini membelit banyak kader partai berlambang mirip logo Mercy ini.