arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasuarvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
Wajah (sides sudyarto ds)
1. Republika
Minggu, 01 Juli 2007
Wajah
Cerpen: Sides Sudyarto DS
Durma mempunyai kesadaran yang luar biasa atas kesadarannya sendiri. Ia tahu bagaimana
menghadapi orang bodoh, pintar, orang culas, orang jujur, orang miskin atau kaya. Ia bisa
jadi orang gila dan gagu, ketika harus naik oplet karena tidak mampu membayar.
Ketika muda ia merantau ke Yogya. Di sana ia membeli buku loakan. Pada halaman awal
buku stensilan itu terbaca kalimat: filsafat tidak menanak nasi. Dan kini, dalam hidupnya di
perantauan ia mencatat sendiri: ijasah tidak menanak nasi. Ia jadi penarik becak saat baru
masuk Jakarta. Posisinya meningkat, saat ia jadi penjual koran.
Lompatan jauh ke depan, yang paling spektakuler, terjadi ketika ia dari tukang koran
menjadi wartawan surat kabar paling berpengaruh di Jakarta. Tidak banyak orang tahu
proses metamorfosis dahsyat itu. Ia menutup ketat masa lalunya itu. Puncak karirnya, ia
menjadi penasihat seorang politikus muda yang sedang naik daun. Ketika kemudian tokoh
flamboyan itu menghalalkan semua cara, ia pilih mundur. Antiklimaks terjadi, ia jadi
penganggur, hidup lontang-lantung.
Berbeda dengan mereka semua, Durma memilih warna lain. Ia memberikan beban berat
kepada mukanya sendiri. Kepada wajahnya. Ia selalu siap menjadikan wajahnya sebagai
alat penyamaran, alat berpura-pura, atau sebagai topeng perasaan dan pikirannya. Doktrin
hidup pribadinya sekarang ialah: selama aku mampu merendahkan diri, siap dihina orang,
aku masih bisa mendapatkan sedikit uang untuk hidup!
Wajahnya selalu menengadah, siap dimaki, dihina, disiksa, dianiaya, ditampar atau bahkan
juga diludahi. Karena wajah baginya adalah satu penampang dan simbol kehormatan, maka
Durma siap menelan risiko menjadi manusia yang tidak terhormat.
"Mengapa kau memilih bunglon sebagai mahagurumu?" tanya Paron. "Karena saya tidak
punya mahaguru dari universitas. Toh ada bedanya. Bunglon berubah warna kulit untuk
menyelamatkan dirinya, tanpa sadar. Ketika saya mengubah taktik saya, itu saya lakukan
dengan sadar," jawab Durma.
"Apa kau tidak mampu mencari mahaguru yang lebih bermutu?
" ejek Paron.
"Ada, bahkan jauh lebih bermutu."
"Siapa?"
"Kemiskinanku. Penderitaan hidupku adalah guruku yang nomor satu."
"Coba, kasih contoh untukku salah satu bentuk penderitaanmu!"
"Saya pernah disuruh menagih utang oleh seseorang, kepada seseorang. Karena aku
menagih di pinggir jalan, orang itu marah dan ia meludahi wajahku."
"Lalu, selanjutnya?"
"Selanjutnya aku menarik garis lurus kesimpulanku. Ternyata dengan bersedia diludahi di
wajahku, aku dapat uang. Artinya aku bisa bertahan hidup!"
"Apa tidak ada bisnis lain? Pekerjaan apa yang kau lakukan itu?"
"Aku bisnis muka. Bisnis wajah! Bisnis lain juga banyak kulakukan. Aku mengurus SIM,
STNK, BPKB, calo tanah, calo onderdil mobil."
2. "Dan hasilnya membuat kau bahagia?"
"Walah! Walah! Mas Paron, untuk saya kebahagiaan itu tidak pernah ada!."
Sudah tiga tahun terakhir ini Durma bekerja sebagai sopir pribadi Bu Jonoamijoyo. Ia akrab
dipanggil Bu Ami, dikenal sebagai perempuan yang paling galak, kasar, tetapi baik hati. Ia
suka memberi uang kepada siapa saja. Tentang Bu Ami orang-orang mengatakan: Ia
menghidupi orang dengan uangnya, sekaligus membunuh orang dengan kata-katanya.
Semula Durma tidak percaya semua omongan orang itu. Setelah ia bekerja cukup lama
barulah ia tahu apa yang sebenarnya.
Sebenarnya, Bu Ami perempuan yang cantik paras muknya, pikir Durma. selalu.
Rambutnya yang hanya sebahu panjangnya, bergelombang alami. Memang sudah mulai
memutih, tetapi menambah indah parasnya. Wajahnya selalu bersih, tanpa mengenakan
bedak. Bibir pun merah asli tanpa gincu. Di zaman anggaran kecantikan mengalahkan
anggaran pertahanan, ia sama sekali tidak berdandan.
Sayangnya, badannya terlalu besar karena gemuknya. Hebatnya, meskipun gemuk dengan
bokong yang terlalu besar, ia selalu bergerak cekatan dan tidak ada segannya naik turun
tangga dalam rumahnya yang berlantai tiga. "Durma, sebulan ini kau bekerja baik sekali.
Kau tidak mangkir sehari pun. Kau pantas menerima bonus satu juta rupiah! Ingat, jangan
sampai dicuri binimu di rumah. Perempuan kebanyakan hanya bisa mencuri uang
suaminya. Rata-rata mereka tidak lebih dari komodo-komodo penghisap darah daging
suaminya. Perempuan, juga istrimu, pastilah komodo yang pura-pura setia sebagai modal
utamanya," ujar Bu Ami.
Sering kali, Bu Ami dimaki-maki orang di depan rumahnya, karena ia sendiri
menghamburkan makian yang luar biasa kotornya. Dua musuh utama Bu Ami adalah
pemulung dan peminta sumbangan yang terus tumbuh bagai cendawan di musim hujan.
"Hai maling jahat! Rapikan kembali sampah-sampah itu. Kamu makan dari sampah, tetapi
tak tahu aturan. Sampah kau obrak-abrik, berantakan. Baunya ke mana-mana. Jika tidak
kau rapikan lagi, makan semua sampah busuk itu biar kenyang perutmu!" maki Bu Ami
menghardik pemulung. Suatu hari, datang seorang pemuda gondrong membawa daftar
sumbangan. Jumlah sumbangan sudah ditentukan.
"Sumbangan itu suka rela. Jangan maksa begini! Aku tak mau dipaksa. Kalau maksa,
namanya rampok! Garong! Kau pikir cari uang mudah?" ujar Bu Ami bergetar. Penarik
sumbangan marah luar biasa. Ia menghunus goloknya, lalu mengejar perempuan gembrot
yang menghinanya. Durma terpaksa tampil sebagai pahlawan.
Akhir-akhir ini Bu Amijoyo sakita-sakitan. Keluhannya, seringkali, kakinya merasa pegal-pegal
dan ngilu, terutama pada bagian-bagian prsendiannya. Dia bilang itu penyakit asam
urat. Maka secara periodik ia pun harus ke dokter dan apotek untuk beli obat.
Langganannya: Voltaren, silorit. Hingga bosan ia membayar dokter dan membeli obat,
tidak juga sembuh. Rasa sakit, nyeri dan ngilu memang lenyap setelah makan obat. Tetapi
begitu obat habis, kambuh lagi rasa sakitnya yang sangat menyiksa.
"Durma, sudah seminggu kau tidak bekerja, lantaran aku sakit. Kau makan gaji buta!
Sekarang aku sakit, kau tidak peduli. Sekarang kau mau berbuat apa?"
"Apa yang bisa saya lakukan, Ibu?"
"Kau punya otak atau tidak? Mestinya kau berpikir, bagaimana aku cepat sehat. Molor saja
kerjamu itu!"
"Saya sudah antar Ibu ke dokter. Saya sudah ke apotek beli obat," jawab Durma.
"E, apa matamu buta? Sudah berapa juta uang dihamburkan untuk beli obat? Dokter mahal,
obat mahal. Tidak menyembuhkan! Penipu! Coba cari obat lain, Durma!"
3. Durma pergi mencari obat tradisional. Di jalan, ia jumpa Mas Paron lagi. "Kau masih
bekerja pada Bu Gendut itu?" tanya Mas Paron.
"Masih, Mas. Orangnya baik sekali!"
"Baik sekali katamu? Sopir lain hanya tahan tiga hari! Kau sudah tiga tahun!" "Dia itu
orang yang sangat kaya harta, tetapi sangat miskin bahasa. Ia banyak memberi uang kepada
orang. Bukan hanya kepada saya saja, Mas!"
"Kau mau ke mana sekarang?"
"Majikan saya sakit asam urat. Sudah lama. Dokter dan obat tidak menyembuhkan, Mas.
Kalau kumat, ia nangis jejeritan."
"Dia orang baik, katamu. Harus kita tolong. Nah cari obat tradisional, ini merknya. Adanya
di warung jamu Pasar Lama. Harganya hanya seribu perak sebungkus," ujar Mas Paron.
Durma pulang dengan sepuluh bungkus jamu.
"Luar biasa. Seperti orang main sulap saja. Sayang langsung sembuh!" ujar Bu Amijoyo
kepada Durma. Ia sangat kagum, sebab minum jamu sore, pagi harinya ia langsung bisa
jalan normal lagi. Hari itu juga Bu Amijoyo minta diantar ke supermarket, untuk membeli
keperluan sehari-hari.
Beberapa waktu kemudian terjadi peristiwa yang paling mengejutkan dalam hidup Durma.
Bu Amijoyo menyerahkan surat rumah, surat mobil kepadanya. "Ini mesti saya apakan,
Ibu?"
"Pegang saja, simpan. Barang-barang itu semua akan jadi milikmu."
"Saya tidak berhak menerima warisan dari Ibu. Maafkan saya, Ibu!"
"Diam, Durma. Aku tak punya anak, tak ada sanak saudara. Aku akan ke notaris. Itu semua
untukmu." ujar Bu Ami. "Tidak lama lagi saya masuk panti jompo. Di sana orang-orang tua
yang tidak mau terlantar seperti aku, bakal dirawat dengan baik."
Beberapa bulan kemudian Bu Amijoyo menuju panti jompo, diantarkan Durma dengan
mobil mewahnya. Di sana ia menunjukkan nomor kamarnya, tempat untuk menerima
jengukan dan sebagainya.
"Saya yakin, Ibu masih punya kerabat dekat," ujar Durma memberanikan diri. "Jangan
membuat aku berpikir mundur! Aku hanya ingin hidup bebas. Kebebasan adalah segalanya
dalam hidupku!" ujar Bu Ami. Durma terdiam saja.
"Baiklah kalau kau mau pulang. Tengok aku sehari sekali. Jika tidak, seminggu sekali atau
sebulan sekali. Jangan lupa, kau akan mengatur pembayaran panti sebulan sekali. Terima
kasih, Durma," ujar Bu Ami sambil tegak berdiri.
Durma mohon diri, untuk dengan berat hati meninggalkan majikannya. Bu Amijoyo
memeluknya beberapa lama. Setekah renggang rangkulannya, Bu Ami menyeka air
matanya. Begitu juga dengan Durma. Ia tak tahan membendung tangisnya yang tanpa
suara. Perempuan tambun berwajah cantik dan bersih itu terus menatap langkah-langkah
Durma, hingga tak tampak lagi dari pandangannya.***