Tiga poin utama dari dokumen tersebut adalah:
1. Sebagian besar kelompok telur hama ACB ditemukan pada daun-daun tengah tanaman dan jumlahnya meningkat ke arah tengah lahan.
2. Pola sebaran kelompok telur ACB adalah berkelompok dan cenderung mengikuti distribusi Poisson.
3. Terdapat kecenderungan peningkatan peletakan kelompok telur ACB ke tengah lahan, tanaman tengah, dan
3. PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERUBAHAN LINGKUNGAN
Penolakan terhadap
tanaman:
𝑠2 < 𝑥
Preferensi jelas
pada titik tertentu:
𝑠2 > 𝑥
Acak dalam memilih
tanaman:
𝑠2 = 𝑥
INDEKS DISPERSI
SERAGAM MENGELOMPOKACAK ATAU RANDOM
4. Ukuran acak: Independen-tipe distribusi Ukuran kelompok
DIKONFIRMASI OLEH
BINOMIAL
NEGATIF
INDEKS
MORISITA
VARIANS :
MEAN
ID =
s2
x
n − 1 k =
x2
s2 − x
Iδ = n
xi xi − 1
N N − 1
5.
6. Kelompok Telur
Waktu Penyampelan
52 HST 55 HST 58 HST
Total 528 570 632
Kepadatan per tanaman 2,51 2,71 3,01
Kepadatan per daun 0,20 0,22 0,25
% Oviposisi di tanaman 70,48% 72,38% 73,81%
% Oviposisi di daun 89,74% 89,74% 89,74%
Jumlah tanaman diamati 210 ─ ─
Jumlah daun diamati 13 ─ ─
7. Area Kebun
Jumlah
Kelompok
Telur
Kepadatan
(Σ kelompok
telur/tanaman)
Z-Test Two Sample for Means
Nilai Z-Hitung Nilai Z-Critical
Pinggir 381 2,72 -1,672tn 1,645
Tengah 251 3,59 1,672tn 1,645
Total 632 3,0 - -
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada Uji-Z dua sisi (α = 0,05). Jumlah kelompok telur pada
area pinggir kebun adalah kumulatif dari 2 petak sampel pinggir kebun.
8. Terjadi peningkatan
kepadatan
kelompok telur
Pinggir-dalam lahan
dengan kepadatan
tertinggi
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
1.400
1.600
PINGGIR DALAM TENGAH KEBUN PINGGIR LUAR
52 HST
55 HST
58 HST
9. PINGGIR ANTARA TENGAH
52 HST 40.7% 45.6% 13.7%
55 HST 40.0% 46.1% 13.9%
58 HST 36.6% 46.4% 16.9%
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
%KelompokTelur
52 HST
55 HST
58 HST
Penurunan
oviposisi pada
strata pinggir diikuti
dengan
peningkatan pada
strata tengah
Semakin ke
tengah,
peningkatan
semakin tinggi
10. Penurunan oviposisi
pada daun bawah dan
atas diikuti dengan
peningkatan oviposisi
pada daun tengah
Peningkatan oviposisi
lebih sering terjadi di
daun-daun tengah
0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0%
DAUN BAWAH
DAUN TENGAH
DAUN ATAS
DAUN BAWAH DAUN TENGAH DAUN ATAS
58 HST 36.2% 54.7% 9.0%
55 HST 40.0% 52.1% 7.9%
52 HST 41.9% 49.8% 8.3%
58 HST
55 HST
52 HST
12. Bagian
Kebun
ID
Pola
sebaran
Nilai-k
Pola
Sebaran
Indeks
Morisita
Pola
Sebaran
Nilai χ2 (α =0,05)
db
hitung Sig.
Pinggir 1.384 Kelompok 0.575 Kelompok 2.830 Kelompok 223.61* P<0.05 92
Tengah 1.710 Kelompok 0.417 Kelompok 3.571 Kelompok 202.47* P<0.05 59
Kebun 1.558 Kelompok 0.397 Kelompok 3.598 Kelompok 433,87* P<0.05 154
Keterangan: ID = Index of Dispersion (𝑠2
𝑥
) ; Nilai-k = nilai distribusi binomial negatif atau ICF (Index of
Cluster Frequency); Nilai 𝜒2 = Nilai Distribusi Chi-Square (db; α =0,05). Tanda * = berbeda
nyata, tn = tidak berbeda nyata dengan nilai 𝜒2 tabel (db;α =0,05).
13. Jenis
Sebaran
Waktu
(HST)
ID
Pola
sebaran
Nilai-k
Pola
Sebaran
Indeks
Morisita
Pola
Sebaran
Nilai χ2
(α =0,05)
db
hitung Sig.
Vertikal
52 13.51 Kelompok 3.25 Kelompok 1.31 Kelompok 162.13* P<0.05 12
55 14.60 Kelompok 3.22 Kelompok 1.31 Kelompok 175.24* P<0.05 12
58 15.53 Kelompok 3.35 Kelompok 1.30 Kelompok 186.38* P<0.05 12
Horisontal
52 3.68 Kelompok 0.94 Kelompok 2.07 Kelompok 363.35* P<0.05 147
55 3.85 Kelompok 0.95 Kelompok 2.05 Kelompok 424.67* P<0.05 151
58 3.89 Kelompok 1.04 Kelompok 1.96 Kelompok 433.87* P<0.05 154
x
14. • Kelompok telur ACB ditemukan pada 73,81%
dari tanaman dan 89,74% dari daun yang
diamati
• Sebagian besar kelompok telur diletakkan pada
daun-daun tengah, yaitu daun ke-5 sampai daun
ke-9 sekitar 54,7%.
15. • Ada kecenderungan peningkatan peletakkan
kelompok telur ACB ke tengah lahan, tanaman
tengah dan pada daun-daun tengah.
• Pola sebaran: mengelompok dan terdapat
kecenderungan mengikuti distribusi Poison
16.
17. TERIMA KASIH
• Pendahuluan
• Pola Sebaran Hama
• Indeks Dispersi
• Hasil dan Pembahasan
• Hasil Umum
• Distribusi dalam Strata Lahan
• Distribusi dalam Strata Tanaman
• Distribusi dalam Level Daun
• Pola Distribusi dalam Lahan
• Pola Distribusi Vertikal dan Horisontal
• Kesimpulan
Editor's Notes
Penggerek Jagung Asia (Asian Corn Borer, selanjutnya disingkat ACB), Ostrinia furnacalis Guenée, dikenal sebagai serangga hama penting pada tanaman jagung di wilayah Asia.
Kerusakan tanaman jagung oleh hama ini dapat mencapai 98% (Abdullah & Rauf, 2011) dengan kehilangan hasil sekitar 18–30% (Nonci et al., 1996) di Indonesian dan 20-80% di Filipina (Ceballo & Rejesus, 1983).
Akibatnya, pengendalian kimia mungkin menjadi pilihan dalam taktik pengelolaan hama. Sebelum keputusan pengelolaan hama diambil, pemahaman tentang distribusi ACB dan pola sebarannya, penting dalam menjelaskan biologi dan ekologi serangga tersebut dan dalam pengembangan strategi manajemen hama yang efektif serta penentuan ukuran sampel optimal sebelum keputusan sampling diambil.
Selain itu, informasi tentang perilaku penyebaran hama ini, juga diperlukan dalam pengembangan model yang dapat digunakan untuk meramalkan potensi evolusi resistensi hama ini terhadap tanaman jagung transgenik (Qureshi, et.al, 2005).
Dispersi spasial merupakan salah satu karakteristik ekologis yang paling penting dari suatu spesies dan bermanfaat untuk kepentingan praktis dan teoritis (Southwood & Henderson (2000).
Pola sebaran hama dapat dikategorikan menjadi seragam, random, atau bergerombol/mengelompok dan sebagian besar disebabkan oleh perilaku serangga yang berhubungan dengan perubahan lingkungan (Nasution, 2003).
Pada populasi yang terdistribusi seragam, terdapat semacam penolakan individu terhadap individu lain. Populasi seperti ini dicirikan dengan selisih yang kecil antara unit-unit contoh dengan rata-ratanya, dengan kata lain varian lebih kecil dibanding meannya.
Pada populasi random, keberadaan satu individu serangga tidak mempengaruhi keberadaan individu yang lainnya, baik individu itu menyingkir sehingga terbentuk pola seragam atau tertarik sehingga terbentuk pola bergerombol. Pola ini dicirikan dengan varian yang sama dengan rata-ratanya.
Populasi yang bergerombol atau mengelompok tertarik pada titik-titik tertentu. Sebagian besar unit contoh hanya berisi nol atau sedikit serangga, sedangkan beberapa unit contoh berisi banyak atau varian lebih besar dari rata-ratanya.
Tanaman jagung yang digunakan untuk menilai distribusi massa telur ACB adalah adalah jenis pioneer, sebanyak 3 petak/blok (70 tanaman/blok), umur 52 – 58 HST (pada akhir fase vegetatif dan awal fase generatif), jarak tanam 80 cm × 20 cm, dan beririgasi.
Jumlah daun tanaman yang teramati bervariasi, berkisar dari 7 hingga 16 daun, sebagian besar berdaun 13 dengan rata-rata sekitar 12,90 ± 1,58.
Tinggi tanaman jagung umumnya normal sesuai varietas, data numerik tidak terukur.
Data awal jumlah massa telur ACB, diukur pada 52 HST, yaitu 528 massa telur atau dengan kepadatan 2,51 massa telur/tanaman: dihitung termasuk bekas massa telur, telur rusak/terparasit dan telur yang baru diletakkan. Jumlah akhir massa telur (pada 58 HST), yaitu mencapai 632 massa telur atau dengan kepadatan 3,01 massa telur/tanaman (Tabel 1).
Sorensen et al. (1993) selama penelitiannya tentang distribusi massa telur generasi kedua penggerek jagung Eropa menemukan rata-rata 0,028 massa telur per tanaman (645 massa telur per 23400 tanaman, terdapat perbedaan nyata dalam laju oviposisi antar waktu dan lahan.
Tabel 2 menggambarkan bahwa pola distribusi mengelompok massa telur pada kebun jagung pada 52 – 58 HST.
Sesuai nilai-k dan nilai indeks Morisita, derajat pengelompokkan pada bagian tengah kebun lebih tinggi daripada yang di bagian pinggir.
Pola sebaran yang sama dilaporkan oleh Lee (1988) dan menyebutkan bahwa distribusi massa telur yang berkelompok sepertinya disebabkan karena perbedaan ketertarikan terhadap tanaman.
Despins & Roberts (1986) dalam penelitiannya tentang oviposisi penggerek jagung Eropa di Virginia Barat melaporkan bahwa pola distribusi massa telur dalam-lahan cenderung menuju distribusi acak sesuai rasio varians/mean, metode Taylor dan koefisien dispersi Green.
Perbedaan pola distribusi ini, menurut Lee (1988) selain karena perbedaan dalam ketertarikan terhadap tanaman, juga terkait dengan perbedaan iklim dan vegetasi alami antar wilayah.
Shelton et al. (1986) dan menunjukkan bahwa distribusi massa telur penggerek jagung Eropa pada lahan jagung manis pada dasarnya acak.
Sorensen et.al (1993) juga melaporkan massa telur yang tampak terdistribusi secara random dalam lahan jagung tetapi dengan tingkat insidensi yang rendah, dan relatif seragam diantara area sampling dalam lahan individual.
Tabel 2 menggambarkan bahwa pola distribusi mengelompok massa telur pada kebun jagung pada 52 – 58 HST.
Sesuai nilai-k dan nilai indeks Morisita, derajat pengelompokkan pada bagian tengah kebun lebih tinggi daripada yang di bagian pinggir.
Pola sebaran yang sama dilaporkan oleh Lee (1988) dan menyebutkan bahwa distribusi massa telur yang berkelompok sepertinya disebabkan karena perbedaan ketertarikan terhadap tanaman.
Despins & Roberts (1986) dalam penelitiannya tentang oviposisi penggerek jagung Eropa di Virginia Barat melaporkan bahwa pola distribusi massa telur dalam-lahan cenderung menuju distribusi acak sesuai rasio varians/mean, metode Taylor dan koefisien dispersi Green.
Perbedaan pola distribusi ini, menurut Lee (1988) selain karena perbedaan dalam ketertarikan terhadap tanaman, juga terkait dengan perbedaan iklim dan vegetasi alami antar wilayah.
Shelton et al. (1986) dan menunjukkan bahwa distribusi massa telur penggerek jagung Eropa pada lahan jagung manis pada dasarnya acak.
Sorensen et.al (1993) juga melaporkan massa telur yang tampak terdistribusi secara random dalam lahan jagung tetapi dengan tingkat insidensi yang rendah, dan relatif seragam diantara area sampling dalam lahan individual.
Tabel 2 menggambarkan bahwa pola distribusi mengelompok massa telur pada kebun jagung pada 52 – 58 HST.
Sesuai nilai-k dan nilai indeks Morisita, derajat pengelompokkan pada bagian tengah kebun lebih tinggi daripada yang di bagian pinggir.
Pola sebaran yang sama dilaporkan oleh Lee (1988) dan menyebutkan bahwa distribusi massa telur yang berkelompok sepertinya disebabkan karena perbedaan ketertarikan terhadap tanaman.
Despins & Roberts (1986) dalam penelitiannya tentang oviposisi penggerek jagung Eropa di Virginia Barat melaporkan bahwa pola distribusi massa telur dalam-lahan cenderung menuju distribusi acak sesuai rasio varians/mean, metode Taylor dan koefisien dispersi Green.
Perbedaan pola distribusi ini, menurut Lee (1988) selain karena perbedaan dalam ketertarikan terhadap tanaman, juga terkait dengan perbedaan iklim dan vegetasi alami antar wilayah.
Shelton et al. (1986) dan menunjukkan bahwa distribusi massa telur penggerek jagung Eropa pada lahan jagung manis pada dasarnya acak.
Sorensen et.al (1993) juga melaporkan massa telur yang tampak terdistribusi secara random dalam lahan jagung tetapi dengan tingkat insidensi yang rendah, dan relatif seragam diantara area sampling dalam lahan individual.