Dokumen tersebut membahas tentang sistem kekebalan tubuh dan penyakit SLE. Sistem kekebalan tubuh terdiri dari sel darah putih, organ lymphoid seperti sumsum tulang, thymus, kelenjar getah bening, limfonodi, tonsil dan limpa yang bekerja sama melawan patogen. SLE adalah penyakit autoimun di mana tubuh memproduksi antibodi terhadap jaringannya sendiri yang dapat merusak organ. Faktor genetik dan lingkungan berperan
1. 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem kekebalan tubuh ( Imunitas ) adalah suatu organ komplek yang
memproduksi sel-sel yang khusus yang dibedakan dengan sistem peredaran darah
dari sel darah merah, tetapi bekerja sama dalam melawan infeksi penyakit
ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh. Semua sel imun mempunyai
bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi dalam sistem imun dan
diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe adalah kelenjar yang
dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan titik pertemuan
dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda asing yang masuk
kedalam tubuh. Mikroorganisme yang menyerang tubuh kita dapat berupa bakteri,
virus, jamur ataupun bahan kimia.Respon tubuh terhadap imun pada dasarnya
berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika salah satu atau kedua proses ini
terganggu maka akan terjadi gangguan patologis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi sistem imun?
2. Apa definisi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
3. Bagaimana etiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
4. Bagaimana patofisiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
5. Apa manifestasi klinis dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
6. Apa klasifikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan
Steven Johnson Syndrome?
2. 2
8. Bagaimana evaluasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
10. Bagaimana komplikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
11. Bagaimana asuhan keperawatan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan
Steven Johnson Syndrome?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa sebagai calon perawat yang professional diharapkan mengerti
dan memahami penyakit imunologi SLE, Reaksi Hipersensitivitas dan
Steven Johnson Syndrome serta mampu memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan gangguan sistem imunologis dengan tepat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui anatomi, definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan
keperawatan yang tepat untuk gangguan sistem imunologis.
3. 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Imun
Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibody, dan fungsi
pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan
imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan
jaringan.
Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap
infeksi dari makromolekul asing atau serangan organism, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap
protein tubuh molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas dan melawan
sel yang teraberasi menjadi tumor
Letak sistem imun
4. 4
Fungsi sistem imun
1. Sumsum
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum
tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih,
(termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan
tubuh juga terdapat di tempat lain.
2. Thymus
Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit
yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit
dapat berrespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon
thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan aktivitas T
limfosit.
a. Limfosit T sitotoksik
Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T
sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai
sel dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila telah aktif sel T
sitotoksik menghancurkan sel abnormal.
b. Limfosit T helper
Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika
distimulasi oleh antigen presenting sel seperti makrofag, T helper melepas
faktor yang menstimulasi proliferasi sel B limfosit.
c. Limfosit B
Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang
diperantarai antibody/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen spesifik
limfosit B akan berubah menjadi sel memori dan sel plasma yang
memproduksi antibody.
d. Sel plasma
Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit
lain, memiliki reticulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak,
aktif memproduksi antibody.
5. 5
3. Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perlanan
limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan,
dan para-aorta daerah.
4. Nodus limfatikus
Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus
limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang
berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe
bergerak melalui sinus, sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat
germinal merupakan produksi limfosit.
5. Tonsil
Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan
nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan
tonsil pharyngeal.
6. Limpa/spleen
Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah, merusak
eritrosit dan sebagi penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe
jaringan yaitu pulpa merah dan pulpa putih.
a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit.
b. Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag.
Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi
limfosit.
6. 6
2.2 SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
2.2.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi
autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit,
nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE, dan
estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase
luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar
oleh kehamilan (Elizabeth, 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen
(suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody
terhadap organ tubuhnya sendiri, yang dapat merusak organ tersebut dan
fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,
ginjal, paru-paru serta jantung (Glade, 1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan
yang bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan erythema
dengan pola berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka. Darah mengandung
antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks
antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan
radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan
rematik, SLE juga merupakan penyakit autoimun, teteapii jauh lebih jarang
terjadi dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya tidak diketahui,
penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan
sediaan enzim (papain 200 mg+bromelain 110 mg+pankreatin 100
mg+vitamin E 10 mg) 2 dd 1 kapsul (Tan&Kirana, 2007).
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi, ginjal, selaput
serosa permukaan, dan dinding pembuluh darah yang belum jelas
7. 7
penyebabnya. Peradangan kronis ini mengenai perempuan muda dan anak-
anak. 90% penderita penyekit SLE adalah perempuan.
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik, seperti
siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menentukan
terapi yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.
2.2.2 Etiologi
Antibody anti Ro dan anti La dapat menyebabkan sindrom lupus
neonates dengan melinttasi plasenta. Sindrom ini dapat bermanifestasi
sebagai lesi kulit atau blok jantung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antaral ain haptolip MHC
terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan
pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu yaitu Crq, Cir, Cis, C3,
C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T, immunoglobulin,
dan sitokin (Albar, 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mampunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulas di
tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000). Makanan sepertiwijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam
aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
8. 8
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi
virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang yang akan memicu terjadinya
SLE (Herfindal et al., 2000).
2.2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu
atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap
sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi
autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon
seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
9. 9
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen
yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi
DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam
keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas
autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama
disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik,
ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah
terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah
autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
2.2.4 Epidemiologi
Keadaan ini susah didiagnosis. Lupus terjadi kira-kira 1 dari 700
wanita berumur 15-64 tahun. Pada wanita kulit hitam, lupus terjadi pada 1
dari 254 wanita. Lupus lebih sering menyerang wanita daripada pria,
10. 10
khususnya wanita berusia 20 dan 40 tahun. Tidak ada obat untuk lupus.
Pengobatan bersifat individual dan biasanya berupa minum steroid. Ada
baiknya tidak hamil ketika anda mengalami serangan lupus. Wanita
penderita lupus berisiko tinggi mengalami keguguran. Juga risiko lahir
mati, yang memerlukan perawatan ekstra selama kehamilan.
Bayi-bayi yang lahir dari lupus dapat terkena ruam. Mereka juga
mengalami blok jantung dan defek jantung. Bayi-bayi ini mungkin lahir
premature atau mengalami keterlambatan pertumbuhan intrauterine.
2.2.5 Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala: gambaran klinik SLE sangat bervariasi antara satu
pasien dengan pasien SLE lainnya. Gejala terjadi dimulai dengan
timbulnya demam akibat adanya satu infeksi. Gejalanya hilang-hilang
timbul selama berbulan-bulan dan bertaun-tahun yang diselingi demam dan
badan lemah.
Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang
epilepsy, dan gangguan kejaiwaan ssering merupakan keluhan awal.
1. Gejala pada persendian
Mulai dari keluhna nyeri pad abanyak persendian yang hilang-
hilang timbul sampai keluhan nyeri sendi yang akut,
merupakan keluhan awal pada 90% penderita SLE. Dalam
keadaan SLE berlangsung lama, terjadi erosi sendi tulang
telapak kaki. Namun demikian, kebayakan SLE yang
menyerang banyak sendi, tidak memperlihatkan kerusakan
sendi.
2. Gejala pada kulit
Yang khas disebut gambaran kemerahan kulit pipi berbentuk
kupu-kupu yang disebut butterfly erithema. Lesi kulit
11. 11
berbentuk makulo papul pad kulit muka samapi ke leherdan
bahu lesi kulit ini jarang yang melepuh atau menjadi borok.
Tetapi lesi pada rahang atas pada pertemuan bagian lunak dan
bagian keras, pada daerah pipi bagian dalam dan bagian depan
rongga hidung, bisa terjadi.
Rambut rontok pada bebrapa daerah kulit kepala (generalize
focal alopecia) terjadi pada fase aktif SLE. Timbul bintik-
bintik merah pendarahan (purpura) karena sel pebeku darah
turun (trombositopeni). Penderita mengeluh silau pada sinar
yang terang (photophobi). Bebrapa penderita SLE
memperlihatlan gejala pleuritis yang hilang timbul (recurrent)
yaitu peradangan dinding dada dan selaput paru hingga
penderita mengeluhkan sakit dada, tetapi tidak ada efusi cairan
pada rongga paru.
Pada keadaan lebih berat, bisa terjadi perdarahan paru dan
mengancam kehidupan (fatal). Peradangan selaput
pembungkus jantung (pericarditis) sering terjadi pada penderita
SLE. Peradangan pembuluh darah jantung (coronary arteri
vasculitis) atauotot jantung megalami fibrosis (fibrosing
myocarditis). Timbul pembengkakan elenjar limfe di seluruh
tubuh terutamapadapenderita anak-anak dan dewasa muda
(umur 20 tahunan). Pembesaran limfe terjadi pada 10%
penderita SLE.
3. Gejala gangguan saraf pusat
Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke, kejang
epilepsy, psikosis, gangguan organic pada otak
4. Gangguan ginjal
Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang progresif
dan mematikan. Gejala yang serign ditemukan pada
pemeriksaan laboratorium air seni, terdapat protein
12. 12
(proteinuria). Secara patologi terdapat kelainan pada injal,
peradangan glomerulus jinak, sampai yang peradangan
membrane yang luas (diffuse membrane prliferatif
glomerulopritis).
Sindroma menghancurkan darha sendiri pada stadium akut
SLE (Acute lupus homo pagosotik syndrome). Pada keadaan
ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel histosit. Untuk
mengatasi kelainan ini, biasanya penderita berespons baik
terhadap pemberian obat kortkosteroid.
2.2.6.Klasifikasi SLE
Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the
American Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria
Committee tahun 1982 merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE.
Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di antara
11 kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu interval
observasi:
1. Ruam di bagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Arthritis
6. Setositis (pleuritis, perikarditis)
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia,
trombositopenia)
13. 13
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat
kriteria diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease (penyakit
ginjal), ANA Serositis, Haematological disorders, Photosensitivitas, Oral
ulcers (ulkus di mulut), Immunological disorder, Neurological disorder,
Malar rash, Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.
2.2.7 Pemeriksaan penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang
menunjukkan berbagai manifestasi, paling sering berupa arthritis. Dapat
juga timbul manifestasi di kulit, ginjal, dan neurologis. Penyakit ini ditandai
dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakkan atas
dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya
beberapa autoantibodi; yang paling sering digunakan adalah antinukelar
antibody (ANA, tetapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang
tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antidouble
standed DNA antibody (anti DNA), pengukurannya bermanfaat untuk
menilai ruam pada lupu. Anti-Ro, anti-La dan antibody antifosfolipid
penting untuk diukur karena meningkatkna risiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Periode
aktivitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosis. Keterlibatan ginjal sering
kali disalahartikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan
titer antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen membantu
mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan
peningkatan risiko keguguran.
14. 14
Temuan pada pemeriksaan laboratorium
1. Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA), positif
dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
2. Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk menentukan
SLE
3. Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin antibody)
berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis pada pembuluh
arteri atau pembuluh vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal
dalam kandungan, dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita SLE atau
Lupus meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibody antinuklir
(ANA), anti-AND, SLE, CRP, analisa urine, komplemen 3 dan 4. Pada
pemeriksaan diagnostic yang dilakukan adalah biopsy ginjal.
2.2.8 Evaluasi diagnostic
Diagnosis dibuat berdasarkan pada riwayat komplet dan analisis
pemeriksaan darah; tidak ada satu pemeriksaan laboratorium yang
menguatkan SLE.
2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronis:
1. Mencegah penurunan progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan
kecacatan, dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan
2. Gunakan obat-obat antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid
15. 15
3. Gunakan kortikosteroid topical untuk manifestasi kutan akut
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan
dosis oral tinggi tradisional
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal, dan sistemik ringan dengan
obat-obat antimalaria
6. Preparat imunosupresif (percobaab) diberikan untuk bentuk SLE yang
serius
2.2.10 Komplikasi
1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di
dalam sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal
ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan
ginjal.
2. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang
paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda
spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic
dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa
terjadi
3. Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlha trombosit berkurang
dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
16. 16
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis
maupun mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
dari keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya).
Akibatnya dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak
napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah
persendia pada jari tangan, tangan, pergelangantangan dan lutut.
Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan
penyebab dari nyeri di daerah tersebut
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika
terkena sinar matahari.
2.2.11 Asuhan Keperawatan
Kasus:
Seorang perempuan bernama Ny. Y usia 35 tahun datang ke UGD dengan
keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan
leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut
bertambah lebar, demam, nyeri, dan terasa kaku seluruh persendian
terutama pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik
diperoleh ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi
pada daerah leher, malaise. Klien mengatakan terdapat bberapa sariawan
pada mukosa mulut. Klien ketika bertemu dengan orang lain selalu
17. 17
menunduk dan menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80
mmHg, RR 20x/menit, nadi 90x/menit, suhu 38,5 , Hb 11gr/dl, WBC
15.000/mm3
.
a. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama : Ny. Y
Usia : 35 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : menikah
2) Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan,
saat beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa demam. Pipi
dan leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah.
3) Riwayat penyakit sekarang
Klien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan
kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil
namun setelah satu minggu lebarnya bertambah besar, demam, nyeri
dan terasa kaku seluruh persendian utamanya pada pagi hari dan
berkurang nafsu makan karena ada sariawan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
5) Riwayat penyakit keluarga
18. 18
Tidak ada
6) Pemeriksaan fisik
a) TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
S : 38,5
N : 90x/menit
b) Pemeriksaan fisik per sistem
B1 (Breath)
RR 20x/menit, napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
B2 (Blood)
TD 110/80 mmHg
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku
serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
dan berlanjut nekrosis.
B3 (Brain)
Gangguan psikologis
B4 (Bladder)
Tidak ada
B5 (Bowel)
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
19. 19
B6 (Bone)
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas
ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta
pipi.
7) Pemeriksaan penunjang
a) Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
b) Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
c) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
d) Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
e) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis
pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan, dan trombositopeni.
b. Analisis data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
Ds:
Nyeri pada sendi
dan bagian yang
mengalami
kemerahan
Do:
Klien terlihat
menahan nyeri
TD 110/80 mmHg
RR 20x/menit
Genetic, lingkungan,
hormone, obat tertentu
↓
Produksi autoimun
berlebih
↓
Autoimun menyerang
organ tubuh
↓
SLE
Nyeri
20. 20
S 38,5
N 90x/menit
↓
Kerusakan jaringan
↓
Nyeri kronis
Ds:
Klien mengeluhkan
demam
Do:
TD 110/80 mmHg
RR 20x/menit
S 38,5
N 90x/menit
Genetic, lingkungan,
hormone, obat tertentu
↓
Produksi autoimun
berlebih
↓
Autoimun menyerang
organ tubuh
↓
terjadi reaksi inflamasi
↓
peningkatan suhu tubuh
Peningkatan suhu
tubuh
Ds:
Klein mengatakan
tidak nafsu makan
Do:
TD 110/80 mmHg
RR 20x/menit
S 38,5
N 90x/menit
Adanya stomatitis
di mukosa mulut
Genetic, lingkungan,
hormone, obat tertentu
↓
Produksi autoimun
berlebih
↓
Autoimun menyerang
organ tubuh
↓
SLE
↓
menyerang hati
↓
Gangguan pemenuhan
nutrisi tubuh
21. 21
kesalahan sintesa zat
yang dibutuhkan tubuh
↓
perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Ds:
Nyeri pada sendi
dan bagian yang
mengalami
kemerahan
Klien mengeluhkan
mudah lelah ketika
beraktivitas
Do:
Klien terlihat
menahan nyeri
TD 110/80 mmHg
RR 20x/menit
S 38,5
N 90x/menit
Genetic, lingkungan,
hormone, obat tertentu
↓
Produksi autoimun
berlebih
↓
Autoimun menyerang
organ tubuh
↓
SLE
↓
menyerang darah
↓
Hb menurun
↓
Suplai oksigen
menurun
↓
ATP menurun
↓
Keletihan
Keletihan
Ds:
Nyeri pada sendi
dan bagian yang
Genetic, lingkungan,
hormone, obat tertentu
↓
Gangguan integritas
kulit
22. 22
mengalami
kemerahan
Do:
TD 110/80 mmHg
RR 20x/menit
S 38,5
N 90x/menit
Kulit kering dan
kemerahan
Produksi autoimun
berlebih
↓
Autoimun menyerang
organ tubuh
↓
SLE
↓
menyerang kulit
↓
kerusakan integritas
kulit
Ds:
Nyeri pada sendi
dan bagian yang
mengalami
kemerahan
Do:
Klien terlihat
menahan nyeri
TD 110/80 mmHg
RR 20x/menit
S 38,5
N 90x/menit
Genetic, lingkungan,
hormone, obat tertentu
↓
Produksi autoimun
berlebih
↓
Autoimun menyerang
organ tubuh
↓
SLE
↓
arthritis
↓
gangguan mobilitas
fisik
Gangguan mobilitas
fisik
Ds:
Klien mengatakan
Genetic, lingkungan,
hormone, obat tertentu
Gangguan citra tubuh
23. 23
malu terhadap
kemerahan pada
pipi dan leher
Do:
TD 110/80 mmHg
RR 20x/menit
S 38,5
N 90x/menit
Klien menunduk
saat memasuki
UGD
↓
Produksi autoimun
berlebih
↓
Autoimun menyerang
organ tubuh
↓
SLE
↓
menyerang kulit
↓
kerusakan integritas
kulit
↓
Gangguan citra tubuh
(body image)
c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial
kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kronis pada sendi
4. kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
5. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi
6. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi
7. gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis
24. 24
d. Intervensi
Dx: nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial
kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
Ds:
Kelelahan
Do:
1. Gangguan aktivitas
2. Anoreksia
3. Menahan napas
NOC NIC
1. Comfort level
2. Pain control
3. Pain level
Setalh dilakukan tindakan
keperawatan selama 24jam nyeri
kronis pasien berkurang dengan
kriteria hasil:
1. Tidak ada gangguan tidur
2. Tidak ada gangguan
konsetrasi
3. Tiadak ada gangguan
hubungan interpersonal
4. Tidak ada ekspresi menahan
nyeri dan ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan otot
Pain management
1. Monitor kapuasan pasien
terhadap manajemen nyeri
2. Tingkatkan istirahat dan
tisur yang adekuat
3. Kelola antianalgesik
4. Jelaskna pada klien
penyebab nyeri
5. Lakukan tehnik
nonfarmakologis (relaksasi,
masase punggung)
Dx: peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
Ds:
25. 25
Suhu tubuh meningkat
Do:
1. Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal
2. Kulit kemerahan
3. Pertambahan RR
4. Kulit terasa panas
NOC NIC
Thermoregulasi
Setelah dilakuakn tindakan
keperawatan selama 24 jam pasien
menunjukkan:
Suhu tubuh dalam batas normal
dengan kriteria hasil:
1. Suhu 36-37
2. Nadi dan RR dalam renatang
normal
3. Tidak ada perubahan warna
kulit dan tidak ada pusing,
klien merasa nyaman
1. Monitor suhu seseirng
mungkin
2. Monitor warna dan suhu
kulit
3. Monitor TD, nadi dan RR
4. Monitor WBC, Hb, dan Hct
5. Monitor intake dan output
6. Berikan antipiretik sesuai
advis dokter
7. Selimuti klien
8. Berikan cairan intravena
9. Kompres klien pada lipat
paha dan aksila
10. Tingkatkan sirkulasi udara
11. Tingkatkan sirkulasi udara
12. Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi
13. monitor hidrasi seperti
turgor kulit, kelembaban
mukosa
Dx: ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
26. 26
dengan ketidakmampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada
mukosa mulut
Ds:
1. nyeri abdomen
2. muntah
3. kejang perut
4. rasa penuh tiba-tiba setelah makan
Do:
1. kurang nafsu makan
2. bising usus berlebih
3. pucat
NOC NIC
a. nutritional status: adequacy of
nutrient
b. nutritional status: food and fluid
intake
c. weight control
setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam
nutrisi kurang teratasi dengan
indicator:
1. albumin serum
2. prealbumin serum
3. hematokrit
4. hemoglobin
5. total iron binding capacity
6. jumlah limfosit
1. kaji adanya alergi makanan
2. kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentuka jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan
klien
3. yakinkah dietyang dimakan
megandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
4. ajarkan klien bagaimana
membuat catatatan makanan
harian
5. monitor adanya penurunan BB
dan gula darah
6. monitor lingkungan selama
makan
7. jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
27. 27
makan
8. monitor turgor kulit
9. monitor kekeringan, rambut
kusam, total protein, Hb dan
kadar Hct
10. monitor mual dan muntah
11. monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan kojungtiva
12. monitor intake nutrisi
13. informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat nutrisi
14. kolaborasikan dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan
15. atur posisi semifowler tinggi
selama makan
16. kelola pemberian antiemetic
17. anjurkan banyak minum
18. pertahankan terapi IV line
19. catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik, papila lidah dan
cavitas oral
Dx: kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
Ds:
1. kelelahan
28. 28
2. meningkatnya komplain fisik
3. secara verbal menyatakan kurang energi
Do:
1. penurunan kemampuan
2. ketidakmampuan mendapatkan energy sesudah tidur
3. kurang energy
4. ketidakmampuan untuk mempertahankan aktivitas
NOC NIC
1. activity tolerance
2. energy conservation
3. nutritional status: energy
setelah dilakukan tidnakan
keperawatan selama 2x24 jam
kelelahan pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
1. kemampuan aktivitas adekuat
2. mempertahankan nutrisi adekuat
3. keseimbangan aktivitas dan
istirahat
4. menggunakan tehnik energy
konservasi
5. mempertahankan interaksi sosial
6. mengidentifikasi faktor fisik dan
psikologis yang menyeabbkan
kelelahan
7. mempertahankan kemampuan
untuk konsentrasi
1. monitor respon kardiorespirasi
terhadap aktivitas (takikardi,
disritmai, dispnea, diaphoresis,
pucat, tekanan hemodinamik
dan jumlah respirasi)
2. monitor dan catat pola dan
jumlah tidur klien
3. monitor lokasi ketidaknyamanan
atau nyeri selama bergerak dan
aktivitas
4. monitor intake nutrisi
5. monitor pemberian dan efek
samping obat depresi
6. instruksikan pada klien untuk
memcatat tanda dan gejala
kelelahan
7. jelaskan pada klien hubungan
kelelahan dengan proses
penyakit
8. kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
29. 29
intake makanan tinggi energy
9. dorong klien dan keluarga
mengekspresikan perasaannya
10. catat aktivitas yang dapat
meningkatkan kelelahan
11. anjurkan klien melakukan yang
meningkatkan relaksasi
12. tingkatkan pembatasan bedrest
dan aktivitas
13. batasi stimulasi lingkungan
untuk memfasilitasi relaksasi
Dx: kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi
Do:
1. gangguan pada bagian tubuh
2. kerusakan lapisan kulit
3. gagguan permukaan kulit
NOC NIC
1. tissue integrity: skin and
mucous membrane
2. wound healing: primer dan
sekunder
setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam
kerusakan integritaskulit berkurang
dengan kriteria hasl:
1. intergritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (Sensai,
elastisitas, temperature, hidrasi,
1. anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian yang
longgar
2. Hindari kerutan pada tempat
tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
bersih dan kering
4. Mobilisasi klien (ubah posisi
klien) setiap dua jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya
kemerahan
30. 30
pigmentasi)
2. tidak ada luka/lesi pada kulit
3. perfusi jaringan baik
4. menunjukkan pemahaman
dalam proses perbaikan kult dan
mencegah terjadinya cedera
berulang
5. mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
6. menunjukkan terjadinya proses
penyembuhan luka
6. Oleskan lotion atau minyak pada
daerah yang tertekan
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
klien
8. Monitor status nutrisi klien
9. Memandikan klien dengan
sabun dan air hangat
10. Kaji lingkungna dan peralatan
yang menyebabkan tekanan
11. Observasi luka: lokas, dimensi,
kedalaman luka, karakteristik,
warna cairan, granulasi, jaringan
nekrotik, tanda infeksi lokal,
formasi traktus
12. Ajarkan pada keluarga tentang
luka dan perawatan luak
13. Kolaborasi ahli gizi pemberian
diet TKT, vitamin, cegah
kontaminasi feses dan urin
14. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
15. Berikan posisi yang mengurangi
tekanan pada luka
Dx: gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi
Ds:
Klien mengatakan nyeri ketika berjalan
Do:
31. 31
1. penurunan waktu reaksi
2. kesulitan merubah posisi
3. perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepata, kesulitas
memulai langkah pendek)
4. keterbatasan motorik kasar dan halus
5. keterbatasan ROM
6. gerakan disertai napas pendek atau tremor
7. ketidakstabilan posisi selama menggunakan ADL
8. gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi
NOC NIC
1. joint movement: active
2. mobility level
3. self care: ADLs
4. transfer performance
setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam
gangguan mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
1. klien meningkat dalam
aktivitas fisik
2. mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
3. memverbalisasikan perasaan
dalam meningkatkan
kekuatan dan kemampuan
berpindah
4. memperagakan penggunaan
alat bantu mobilisasi
Exercise therapy: ambulation
1. monitor vital sign
sebelum/sesudah latian dan
lihat respon pasien saat
latihan
2. konsultasikan dengan terapi
fisik tentang rencana
ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
3. bantu klien untuk
menggunakan tongkat saat
berjalan dan cegah terhadap
cedera
4. ajarkan klien atau tenaga
kesehatan lain tentang tehnik
ambulasi
5. kaji kemampuan klien dalam
mobilisasi
6. latih klien dalam pemenuhan
32. 32
kebutuhan ADLs secara
mandiri sesuai kemampuan
7. damping dan bantu jika klien
memerlukan
8. ajarkan klien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
Dx: gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis
Ds:
1. depersonalisasi bagian tubuh
2. perasaan negatif tentang tubuh
3. secara verbal menyatakan perubahan gaya hidup
Do:
1. perubahan actual struktur dan fungsi tubuh
2. kehilangan bagian tubuh
3. bagian tubuh tidak berfungsi
NOC NIC
1. body mage
2. self esteem
setelah dilakukan perawatan 2x24
jam gangguan body image klien
berkurang dengakriteria hasil:
1. body image positif
2. mampu mengidentifikasi
kekuatan personal
3. mendeskripsikan secara
factual perubahan fungsi
tubuh
Body image enchancement
1. kaji secara verbal dan nonverbal
respon klien terhadap tubuhnya
2. monitor frekuensi mengkritik
dirinya
3. jelaskan tantang pengobatan,
perawatan, kemajuan dan
prognosis penyakit
4. dorong klien mengungkapkan
perasaannya
5. identifikasi arti pengurangan
34. 34
2.3 Hipersensitivitas
2.3.1 Definisi
Alergi adalah respon imun yang kuat terhadap alergen (suatu elergen
yang menghasilkan alergi). Alergen bias any tidak berbahaya (mis. Debu
rumah, makanan, kulit dan bulu binatang). Saaat pajanan awal ke alergen,
individu menjadi peka terhadapnya, dan pajanan kedua serta pajanan
selanjutnya, jumlah system imun memberikan respon yang proporsinya
berlebihan terhadap ancaman yang diterima. Kadangkala efeknya ringan,
namun mengganggu, seperti pilek dan mata berair akibat hay fever (rhinitis
alergi). Kadang reaksi dapat begitu ekstrem seperti mengganggu system
tubuh secara berlebihan dan menyebabbkan kematian. Mekanisme
pertahanan tubuh, Sinus (rinitis) nasal dan paranasal, Sistem pernapasan
(asma).
Alergi adalah rangsangan berlebihan terhadap reaksi peradangan yang
terjadi sebagai respons terhadap antigen lingkungan spesifik. Suatu antigen
yang enyebabkan alergi disebut alergen. Reaksi alergi dapat diperantarai
antibody atau sel T. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi
diperantarai antibodi, sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah
alergi diperantarai sel T.
Orang dengan respon alergi hipersensitivitas tipe I membentuk banyak
antibodi IgE yang sensitive terhadap alergen. Apabila antigen dijumpai
oleh antibody tersebut, antibody akan berespons berlebihan sehingga
terjadi degranulasi sel mast yang luas disertai pelepasan histamine dan
berbagai perantara peradangan lainnya (leukotrien, kemokin, dan sitokin).
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi setelah transport alergen transdermal
(menembus kulit) yang ditunjukkan oleh sel T yang tersensitisasi alergen
35. 35
tersebut. Manifestasi suatu respon alergi bergantung dimana alergen
ditemukan di dalam makanan, dalam partikel yang terhirup, atau melalui
kulit. Waktu reaksi alergi bermacam-macam bergantung pada apakah
respons tipe I (segera) atau tipe IV (lambat). Reaksi tipe I melibatkan kulit
yang disebut dermatitis atopic sedangkan reaksi tipe IV disebut dermatitis
kontak alergi. Respons kulit terhadap poison ivy adalah contoh dermatitis
kontak alergi.
2.3.2 Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan kami bagi menjadi 2 yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-
fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini
mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh
kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya
36. 36
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
2.3.3 Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (
Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel –
sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan
reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 %
Susu 12,2 %
Kacang 5,3 %
Gandum 4,7 %
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 %
Coklat 2,1 %
Babi 1,5 %
Sapi 3,1 %
37. 37
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah
yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh
melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkanterjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru,
alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling
ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila
tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.
2.3.4 Manifestasi Klinis
1. Pembengkakan local, gatal, dan kemerahan kulit, pada pajanan alergen
ke kulit. Reaksi tipe IV sering ditandai oleh lepuhan dan pengerasan
pada area yang terkena.
2. Diare dank ram abdomen, pada pajanan alergen saluran cerna.
3. Rinitis alergi, yang ditandai oleh mata gatal dan pilek encer, pada
pajanan alergen saluran napas. Terjadi pembengkakan dan kongesti,
dapat timbul kesulitan bernapas akibat konstriksi otot polos bronkiolus
pada jalan napas yang di induksi oleh histamine.
Manifestasi dan mekanisme reaksi hipersensitivitas
Tipe Manifestaasi Mekanisme
I Reaksi hipersensitivitas cepat Biasanya Ig E
II Antibodi terhadap sel Ig G dan Ig M
III Kompleks antibodi-antigen Ig G (terbanyak) atau Ig M
IV Reaksi hipersensitivitas lambat Sel T yang disensitisasi
38. 38
2.3.5 Mekanisme Hipersensitivitas
Terdapat empat mekanisme hipersensitivitas, yang diklasifikasikan sesuai
dengan bagian system imun yang terlibat.
Tipe I, Hipersensitivitas tipe cepat (Analfilaksis)
Sensitivitas tipe 1 terjadi pada individu yang mengalami penurunan
kadar jenis antibody yang sangat tinggi yang disebut immunoglobulin E
(IgE). Jika terpajan alergi (misal, kacang), antibody mengaktivasi sel mast
dan basofil, yang melepaskan kandungan granularnya. Zat terpenting yang
dilepaskan adalah histamine, yang mengonstriksi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Contoh reaksi tipe 1 meliputi hay fever,
alergi kacang, dan situasi anafilaksisserius yang disertai bronkokonstriksi
yang berlebihan, kegawatan pernapasa, serta syok yang diakibatkan
vasodilatasi berlebihan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian.
Pada hipersensitivitas tipe I, secara khas terdapat dua fase :
1. Respons Inisial (cepat) yang terlihat dalam waktu 5 sampai 30 menit
setelah pajanan alergen resolusi dalam waktu 30 menit. Mediator sel
mast yang menginduksi respon inisial cepat meliputi :
a. Amina biogenic (misal, histamin) yang menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas serta dilatasi
vaskuler, dan peningkatan sekresi kelnjar mukosa.
b. Mediator kemotaktik (misal, factor kemotaktik eosinofil dan
neutrofil)
c. Enzim-enzim yang terdapat di dalam matriks granul (misal,
kimase, triptase) yang menghasilkan kinin dan komplemen aktif
lewat kerjanya pada protein prekursornya.
d. Proeoglikan (miasl, heparin).
39. 39
2. Fase Sekunder (lambat) dengan onset 2 sampai 24 jam sesudah pajanan
alergen awal, keadaan ini dapat berlangsung selama berhari-hari, dan
ditandai dengan infiltrasi sel inflamasi yang intensif dengan disertai
kerusakan jaringan. Fase sekunder lanjut ini digerakkan mediator lipid
dan sitokin yang diproduksi oleh sel mast yang sudah diaktifkan.
Mediator lipid meliputi :
a. Leukotrien B, bersifat sangat kemotaktik terhadap neutrofil,
monosit dan eosinofil.
b. Leukotrien lebih poten 1000 kali lipat
dibandingkan histamine dalam meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan menyebabkan kontraksi otot polos bronchial.
Mediator ini juga menimbulkan sekresi kelenjar mukosa yang
nyata.
c. Prostagladin menyebabkan bronkospasme berat, vasodilatasi
dan sekresi mucus.
d. Platelet-activating factor menyebabkan agregasi trombosit,
pelepasan histamine, bronkokonstriksi, vasodilatasi, dan
peningkatan permeabilitas vaskuler.
Mediator sitokin merekrut dan mengaktifkan sel inflamasi, meliputi
tumor necrosis factor (TNF)-α, berbagai interleukin (IL1, IL3, IL4, IL5,
IL6), GM-CSF dan kemokin (protein kemoatraktan). TNF-α secara
khusus mengaktifasi banyak inflamasi yang kuat dan bekerja merekrut
serta mengaktifasi banyak sel inflamasi tambahan. Sel inflamasi yang
direkrut juga melepaskan sitokin, dan sel epitel yang diaktifkan oleh
TNF-α mensekresikan kemokin (misal, eotaksin) yang merekrut
eosinofil. Eosinofil dalam respons fase lanjut menyebabkan kerusakan
jaringan dengan melepaskan protein basa yang utama dan protein
kationik eosinofil.
40. 40
Tipe II, Hipersensitivitas Sitotoksik
Saat antibody bereaksi dengan antigen pada permukaan sel, sel tersebut
ditandai untuk dihancurkan oleh sejumlah mekanisme (mis, fagositosis).
Peristiwa ini merupakan prosedur umum dalam eliminasi, misalnya bakteri,
tetapi jika antibody diarahkan untuk melawan antigen diri sendiri, akibatnya
adalah penghancuran jaringan tubuh sendiri (penyakit autoimun).
Mekanisme tipe II menyebabkan kondisi yang lain (msal, reaksi transfusi).
Tipe III, Hipersensitivitas diperantai kompleks imun
Kompleks antibody-antigen (kompleks imun) biasanya dibersihkan
secara efisien dari darah dengan fagosintosis. Jika tidak, kompleks imun
dapat menumpuk di dalam jaringan (mis, ginjal, kulit, sendi, dan mata),
yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi di jaringan tersebut. Kompleks
imun, misalnya yang terkumpul di ginjal akan tersangkut dan menyumbat
glomerulus sehungga mengganggu fungsi ginjal (glomerulonefritis).
Patogenesis reaksi tipe III
1. Bentuk kompleks antigen (endogen atau eksogen) antibody
2. Lokalisasi kompleks dalam pembuluh darah sering di area sendi
3. Aktivasi jarak inflamasi komplemen
4. Kemotaksis untuk sel dan eksudat
5. Inflamasi dengan pembengkakan, panas, dan nyeri pada sendi dan
jaringan
6. Infiltrasi area ini dengan leukosit polimorfonuklear dan jaringan
7. Kerusakan dan destruksi jaringan
8. Inflamasi dan deposisi berlanjut
41. 41
9. Pembentukan jaringan parut dan deposisi kolagen, dapat menyebabkan
defornitas sendi atau jaringan
Tipe IV, Hipersensitivitas tipe terambat
Tidak seperti hipersensitivitas tipe I-III, hipersensitivitas tipe IV tidak
melibatkan antibody, tetapi merupakan reaksi berlebihan sel T (limfosit T)
terhadap sebuah antigen. Biasanya system ini terkendali dan respons sel T
tepat. Jika tidak, sel T-sitotoksik yang agresif secara aktif akan merusak
jaringan normal. Contoh hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak,
seperti yang disebabkan oleh alergi terhadap lateks. Penolakkan cangkokan
(graft) juga disebabkan oleh sel T.
2.3.6 Klasifikasi keadaan Hipersensitivitas
Tipe Penyebab Sel/Antibod
i terkait
Mekanisme imun Contoh
Penyakit
Tipe I
Hipersensitivitas
imediat
(analfilaksis,atopi)
Protein
asing
(antigen)
IgE IgE melekat pada
permukaan sel
mast dan antigen
spesifik, memicu
pembebasan granul
intrasel dari sel
mast
Demam jerami,
alergi,
urtikaria, syok
analfilaktik
Tipe II
Hipersensitivitas
sitotoksik
Protein
asing
(antigen)
IgG/IgM Antibody bereaksi
dengan antigen,
menggiatkan
komplemen
berakibat sitolisis
Transfusi,
hemolisis
karena obat,
eritroblastosis
fetalis, anemia
hemolitik,
purpura
42. 42
vascular
Tipe III
Penyakit
kompleks imun
Protein
asing
(antigen)
Antigen
endogen
IgG,
IgM,IgA
Kompleks Ag-Ab
mengendap dalam
jaringan,
menggiatkan
komplemen,
menimbulkan
reaksi radang
Artritis
rheumatoid,
lupus
eritematosus
sistemik,
penyakit serum
Tipe IV
Seluler/ Tertunda
Protein,
sel, atau
jaringan
asing
Limfosit-T Sel T aktif bereaksi
dengan antigen
spesifik untuk
menginduksi
proses peradangan
melalui kerja sel
langsung atau
melalui antivitas
limfokin
Dermatitis
kontak, reaksi
penolakan
pencangkokan
2.2.6 Penyebab Alergi
Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat
predisposisi genetik. Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE
yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu untuk berdegranulasi, atau
respons sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini
menunjukkan bahwa defisiensi sel T regulator dapat menyebabkan
responsivitas berlebihan dari system imun dfan alergi. Pajanan berlebihan
terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi,
dapat menyebabkan respons alergi.
2.3.7 Pertimbangan Pediatrik
43. 43
Bayi dan anak yang terpajan asap rokok memiliki resiko lebih besar
menderita asma dan alergi saluran napas lainnya.
2.3.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Uji kulit membantu diagnosis alergi. Alergi dicurigai yang jumlahnya
sedikit diinjeksikan di bawah kulit. Individu yang alergi terhadap
alergen tersebut akan berespon dengan ditemukannya eritema,
bengkak, dan gatal pada area injeksi.
2. Analisis immunoglobulin serum dapat menunjukkan peningkatan
hitung basofil dan eosinofil.
2.3.9 Penatalaksaan
1. Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel mast
dapat mengurangi gejala-gejal alergi
2. Kortikosteroid yang dihirup atau sistematik bekerja sebagai obat anti
peradangan dan dapat mengurangi gejal suatu alergi. Orang yang
mengidap alergi perlu menggunakan obat-obat ini dalam jangka waktu
yang cukup lama sebelum obat menjadi efektif. Kortikosteroid inhalan
hanya berefek di saluran napas dan tidak menimbulkan efek sistemik.
3. Stabilizer sel mast inhalan mengurangi deghranulasi sel mast dan dapat
menurunkan gejala alergi tipe I.
4. Terapi desensitisasi, berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat
mensensitisasi pasien) dalam jumlah yang kecil dapat mendorong pasien
tersebut membentuk antibody IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat
bekerja sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu
pasien tersebut kembali terpajan ke alergen, antibody penghambat dapat
berikatan dengan molekul IgE ganda secara kovalen bersama-sama.
Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi sel mast yang
berlebihan, maka gejala alergidapat berkurang. Antibody IgG dihasilkan
44. 44
setiap kali berikatan dengan alergen dan terkadang dapat menghentikan
respon alergi.
2.3.10 Komplikasi
1. Reaksi alergi yang hebat dapat menyebabkan anafilaksis. Hal ini
ditandai oleh penurunan tekanan darah dan penutupan jalan napas.
Gatal, kram, dan diare dapat terjadi. Tanpa intervensi, reaksi yang
sangat hebat dapat menyebabkan syok kardiovaskular, hipoksia dan
kematian.
2. Dermatitis kontak alergi (cont. reaksi terhadap poison ivy) dapat
menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan berlebihan.
2.3.11 Asuhan Keperawatan
Reaksi alergi : menggambarkan individu yang mengalamai atau beresiko
tinggi mengalami hipersensivitas dan pelepasan mediator untuk substansi
khusus (antigen).
Risiko tinggi
1. Riwayat alergi
2. Asma
3. Imunoterapi
4. Individu yang terpajan antigen berisiko tinggi :
a. Gigitan serangga (misal : lebah, semut, laba-laba)
b. Gigitan /sengatan binatang (misal : ular, ubur-ubur)
c. Media kontras radiologi terionisasi (misal : yang digunakan
pada arteriografi pielogravi intravena)
d. Tranfusi darah dan produk darah
5. Individu berisiko tinggi terpajan
45. 45
a. Medikasi berisiko tinggi (misal : aspirin, antibiotik, opiate,
anestesi local, insulin binatang, kimopapain)
b. Makanan berisiko tinggi (misal : kacang ,cokelat , telur,
makanan laut, kerang ,stroberi,susu )
c. Kimia (misal : semir lantai, cat, sabun, parfum,karpet baru)
Tujuan Keperawatan
Perawat akan mengatasi dan meminimalkan komplikasi reaksi alergi.
Intervensi Umum
1. Kaji dengan saksama adanya riwayat respons alergi (misal :ruam ,sulit
bernapas)
Mengidentifikasi klien yang berisiko tinggi memungkinkan
dilakukannya tindak kewaspadaan untuk mencegah anafilaksis.
2. Bila klien memiliki riwayat reaksi alergi, konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk melakukan uji kulit bila diindikasikan
Uji kulit dapat memastikan hipersensivitas.
3. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi local
a. Bentol ,kemerahan (karena pelepasan histamin)
b. Gatal
c. Edema nontraumatik (periolar,periorbital)
Manifestasi awal ini dapat menunjukkan dimulainya kontinum reaksi
local hingga reaksi sistemik sampai syok anafilaktik.
4. Saat tanda awal hipersensivitas muncul konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk memberikan intervensi farmakologis , seperti
antihistamin. Antihistamin umumnya digunakan untuk mengatasi
reaksi local ringan dengan menghambat pelepasan histamine.
5. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi sistemik dan anafilaksis
Berkunang-kunang ,ruam kulit, dan hipotensi ringan (akibat
vasodilatasi akibat histamin).
46. 46
Rasa ketat pada tenggorok atau palatum , mengi ,serak, dyspnea, dan
sesak pada dada (karena kontraksi otot polos akibat pelepasan
prostaglandin).
Nadi meningkat dan tidak teratur serta penurunan tekanan darah (ka
rena pelepasan leukotriene yang mengontriksi jalan napas dan
pembuluh darah coroner).
Penurunan tingkat kesadaran ,distress pernapasan dan syok (akibat
hipotensi berat, insufisiensi pernapasan dan hipoksia jaringan)
(dalam hitungan menit,reaksi di ata dapat berkembang menjadi
hipotensi berat, penurunan tingkat kesadaran ,dan disstres pernapasan
,dan dapat menyebabkan kematian dengan cepat)
6. Segera mulai protocol kedaruratan untuk mengatasi anafilaksis dan
/atau segera hubungi dokter atau perawat spesialis
7. Mulai jalur IV
Untuk pemberian obat secara cepat
8. Berikan epineprin IV atau melalui endotrakea
Untuk menghasilkan vasokontriksi perifer, yang meningkatkan
tekanan darah ,dan bertindak sebagai agonis betha untuk
meningkatkan relaksasi otot polos bronkus dan untuk meningkatkan
aktivitas jantung inotropic dan kronotropik
9. Berikan oksigen berikan ,buat jalan napas paten bila diindikasikan.
Sediakan suction . tindakan intubasi orofaring mungkin diperlukan
(edema laring mengganggu pernapasan)
10. Berikan medikasi lain, sesuai program, yang dapat mencangkup :
a. Kortikosteroid
Untuk menghambat enzim dan respon SDP untuk mengurangi
bronkokonstriksi
b. Aminofilin
Untuk menghasilkan bronkodilatasi
c. Vasopressin
47. 47
Untuk mengatasi hipotensi berat
d. Difenhidramin
Untuk mencegah reaksi antigen-antibodi lanjut
11. Evaluasi respon klien terhadap terapi secara langsung , kaji :
a. Tanda-tanda vital
b. Tingkat kesadaran
c. Bunyi paru,aliran puncak
d. Fungsi jantung
e. Asupan dan haluaram
f. Nilai AGD
Pememantauan yang cermat penting untuk mendeteksi komplikasi
syok dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap intervensi tambahan.
12. Setelah pemulihan, diskusikan bersama keluarga dan klien tentang
tindakan prevenrtif untuk anafilaksis dan perlunya membawa set
anafilaksis, yang berisi epinefrin injeksi dan antihistamin oral untuk
penanggulangan reaksi alergi secara mandiri
48. 48
2.4 Sindrom Steven Johnson
2.4.1 Definisi
Stevens-johnson syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang
mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensivitas
yang memengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada
kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah
dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang
dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
2.4.2 Etiologi
Sindrom steven Johnson dapat disebabkan oleh karena:
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes
simplek, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus
epsteinbarr atau sejenisnya.
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,
valdecoxib, stagliptin, penicillin, barbiturate, sulfonamide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,, ibuprofen,
ethosuximide, carbamazepin)
3. Keganasan (karsinima dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%)
Sindrom steven Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung gingseng.
Sindrom steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan
49. 49
kokain. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau
reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya
karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang
secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS. Eritem multiformis,
sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide
(antibiotic), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative)lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.
50. 50
2.4.3 Patofisiologi
Obat-obatan, infeksi
virus, keganasan
Kelainan hipersensivitas
Kelainan hipersensivitas tipe III
Kelainan hipersensivitas tipe IV
Limfosit T tersintesisasi
Pengaktifan sel T
Melepaskan limfokin/
sitotoksik
Penghancuran sel-sel
Reaksi peradangan
Hipertermi
Nyeri
Antigen antibody terbentuk
terperangkap dlm jar kapiler
Aktivasi S.komplemen
Degranulasi sel mask
Akumulasi netrofil
memfagositosi sel yang rusak
Melepasnya sel yang rusak
Kerusakan jaringan
Triase gangguan pada kulit,
mukosa dan mata
Kerusakan intergritas jaringan
Respon lokal : eritema, vesikel
dan bula
Respon inflamasi sistemik Respon psikologis
Port de enteree
Risiko infeksi
Gangguan gastrointestinal
demam, malaise
-ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
-deficit perawatan diri
Kondisi kerusakan jaringan
kulit
Ansietas
51. 51
2.4.4 Manifestasi Klinis
SJS biasanya mulai timbul dengan gejala-gejala seperti infeksi saluran
pernapasan atas yang tidak spesifik, kadang-kadang 1-14 hari. Ada demam,
susah menelan, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, sering kali juga
muntah-muntah, diare. Muncul kelainan kulit, seperti koreng, melepuh,
sampai bernanah, serta sulit makan dan minum. Bahkan juga mengenai
saluran kencing menyebabkan nyeri.
Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar vesikel
dan membesar hingga menimbulkan jaringan parut, terutama pada selaput
lender seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain lain. Berat
ringanya manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bsa dari yang
ringan sampai berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat
sampai mematikan.
2.4.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosa.
b. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel
darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan
tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan
infeksi bakterial berat.
c. Pemeriksaan elektrolit
d. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai
terjadi
e. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),
dan kolonoskopi dapat dilakukan
2. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
52. 52
3. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.
2.4.6 Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan
steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa
penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun
ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan
menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan
alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari
intravena, diberikan 2 kali/hari.
53. 53
2.4.7 Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata
berupa simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lain adalah timbulnya
sembab, demam atau hipotermia dan yang terberat adalah sepsis.
Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :
1. Bronkopneumonia (80%)
2. Sepsis
3. Kehilangan cairan/darah
4. Gangguan keseimbangan elektrolit
5. Syok
6. Kebutaan gangguan lakrimasi
2.4.8 Asuhan Keperawatan
Diagnosa keperawatan:
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)
2. Nyeri berhubungan dengan adanya bula
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan intake nutrisi
4. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan bula yang mudah
pecah
5. Resiko infeksi berhubungan dengan efek samping terpasangnya infus
dan terapi steroid.
No. Diagnosa Keperawatan
(NANDA)
Tindakan Keperawatan
Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Hipertermia berhubungan
dengan proses penyakit
(infeksi)
Pasien dalam
keadaan
Thermoregulasi
setelah dilakukan
a. Terapi demam:
Penatalaksanaan
pasien yang
mengalami
54. 54
Batasan karakteristik:
1. Konvulsi
2. Kulit kemerahan
3. Peningkatan suhu
tubuh diatas kisaran
normal
4. Kejang
5. Takikardi
6. Takipnea
7. Kulit terasa hangat
perawatan selama 24
jam dengan kriteria
hasil:
a) Suhu tubuh
dalam
rentang
normal
b) Nadi dan RR
dalam
rentang
normal
c) Tidak ada
perubahan
warna kulit
dan tidak ada
pusing
hiperpireksia
akibat faktor
selain
lingkungan.
b. Kewaspadaan
hipertermia
maligna:
Pencegahan atau
penurunan
respon
hipermetabolik
terhadap obat-
obat
farmakologis
yang digunakan
selama
pembedahan.
c. Regulasi sushu:
Mencapai atau
mempertahankan
suhu tubuh
dalam rentang
normal.
d. Pemantauan
tanda vital:
Mengumpulkan
dan menganalisis
data
kardiovaskular,
55. 55
pernapasan, dan
suhu tubuh untuk
menentukan serta
mencegah
komplikasi.
No. Diagnosa Keperawatan
(NANDA)
Tindakan Keperawatan
Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
2. Nyeri akut berhubungan
dengan adanya bula.
Batasan karakteristik:
Subjektif:
Mengungkapkan secara
verbal atau melaporkan nyeri
dengan isyarat.
Objektif:
Posisi untuk menghindari
nyeri.
Perubahan tonus otot.
Respon autonomik
(misalnya, diaforesis;
perubahan tekanan darah,
Pasien menunjukkan
berkurangnya tingkat
nyeri dalam skala 3
setelah dilakukan
perawatan selama 24
jam dengan kriteria
hasil:
a. Tiingkat
kenyamanan
positif
terhadap
kemudahan
fisik dan
psikologis.
b. Tindakan
a) Pemberian
analgesik untuk
menghilangkan
nyeri.
b) Manajemen
medikasi:
memfasilitasi
penggunaan
obat resep atau
obat bebas
secara aman dan
efektif.
c) Manajemen
nyeri: Ajarkan
penggunaan
56. 56
pernapasan, atau nadi;
dilatasi pupil).
Perubahan selera makan.
Perilaku distraksi.
Perilaku ekspresif (gelisah,
merintih, menangis, waspada
berlebihan).
Bukti nyeri yang dapat
diamati.
Berfokus pada diri sendiri.
Gangguan tidur.
individu
dalam
pengendalian
nyeri.
c. Keparahan
nyeri dapat
diamati atau
dilaporkan.
teknik
nonfarmakologi
s selama
aktivitas yang
menimbulkan
nyeri.
d) Bantuan
analgesia yag
dikendalikan
oleh pasien.
e) Memberikan
sedatif,
memantau
respon pasien,
dan
memberikan
dukungan
fisiologis yang
dibutuhkan
selama prosedur
diagnostik atau
terapeutik.
No. Diagnosa Keperawatan
(NANDA)
Tindakan Keperawatan
Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
3. Ketidakseimbangan Nutrisi pasien terbenuhi Nutrition Management:
57. 57
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
penurunan intake nutrisi
Batasan karakteristik:
a) Kram abdomen
b) Nyeri abdomen
c) Menghindari
makanan
d) Berat badan 20%
atau lebih
dibawah berat
badan ideal
e) Kerapuhan kapiler
f) Diare
g) Kehilangan
rambut berlebihan
h) Bising usus
hiperaktif
i) Kurang makanan
j) Membran mukosa
pucat
k) Tonus otot
menurun
l) Mengeluh
gangguan sensasi
rasa
m) Cepat kenyang
setelah makan
setelah dilakukan
perawatan selama 2x24
jam dengan kriteria
hasil:
a. Adanya
peningkatan
berat badan
sesuai dengan
tujuan
b. Berat badan ideal
sesuai dengan
tinggi badan
c. Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-
tanda malnutrisi
e. Menunjukkan
peningatan
fungsi
pengecapan dari
menelan
f. Tidak terjadi
penurunan berat
badan yang
berarti.
1. Kolaborasi
dengan ahli
gzizi untuk
menentukan
jumlah kalori
dan nutrisi yang
dibutuhkan
pasien.
2. Anjurkan pasien
untuk
meningkatkan
intake Fe,
protein dan
vitamin C
3. Makanan
mengandung
serat tinggi
untuk mencegah
konstipasi.
Nutrition Monitoring:
1. BB pasien
dalam batas
normal.
2. Monitor adanya
penurunan berat
badan.
3. Monitor tipe dan
jumlah aktivitas.
4. Monitor turgor
58. 58
n) Sariawan rongga
mulut
o) Kelemahan otot
pengunyah
p) Kelemahan otot
untuk menelan
kulit.
5. Monitor
kekeringan,
rambut kusam,
dan mudah
patah.
6. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb dan
kadar Ht.
7. Monitor kalori
dan intake
nutrisi
8.
No. Diagnosa Keperawatan
(NANDA)
Tindakan Keperawatan
Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
4. Kerusakan integritas
jaringan berhubungan
dengan bula yang mudah
pecah
Batasan karakteristik:
a) Gangguan pada
bagian tubuh
b) Kerusakan lapisan
kulit (dermis)
c) Gangguan
permukaan kulit
Kerusakan integritas
kulit pasien teratasi
setelah dilakukan
perawatan selama 2x24
jam dengan kriteria
hasil:
1. Integritas kulit
yang baik bisa
dipertahankan
(sensasi,
elastisitas,
temperatur,
hidrasi,
a. Anjurkan pasien
untuk
menggunakan
pakaian yang
longgar
b. Hindari kerutan
pada tempat
tidur
c. Jaga kebersihan
kulit agar tetap
bersih dan
kering
d. Mobilisasi
59. 59
(epidermis) pigmentasi)
2. Tidak ada
luka/lesi pada
kulit
3. Perfusi jaringan
baik
4. Menunjukkan
pemahaman
dalam proses
perbaikan kulit
dan mencegah
terjadinya cedera
berulang
5. Mampu
melindungi kulit
dan
mempertahankan
kelembapan kulit
dan perawatan
alami
6. Menunjukan
terjadinya proses
penyembuhan
luka
pasien setiap
dua jam sekali
e. Monitor kulit
akan adanya
kemerahan
f. Oleskan lotion
atau baby oil
pada daerah
yang tertekan
g. Monitor status
nutrisi pasien
h. Memandikan
pasien dengan
sabun dan air
i. Kaji lingkungan
dan peralatan
yang
menyebabkan
tekanan
j. Observasi luka
k. Cegah
kontaminasi
feses dan urin
l. Lakukan tehnik
perawatan luka
dengan steril
m. Berikan posisi
yang
mengurangi
60. 60
tekanan pada
luka.
No. Diagnosa Keperawatan
(NANDA)
Tindakan Keperawatan
Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
5. Resiko infeksi berhubungan
dengan efek samping
terpasangnya infus dan
terapi steroid
Faktor-faktor risiko:
a. Prosedur infasif
b. Kerusakan jaringan
dan peningkatan
paparan lingkungan
c. Malnutrisi
d. Peningkatan
paparan lingkungan
patogen
e. Imunosupresi
f. Tidak adekuat
pertahanan sekunder
(penurunan Hb,
leukopenia,
penekanan respon
inflamasi)
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 24 jam pasien
tidak mengalami
infeksi dengan kriteria
hasil:
a. Klien bebas dari
tanda dan gejala
infeksi
b. Menunjukan
kemampuan
untuk
mencegah
timbulnya
infeksi
c. Jumlah leukosit
dalam batas
normal
d. Menunjukan
perilaku hidup
sehat
e. Status imun,
gastrointestinal,
genitourinaria
1) Pertahankan
tehnik aseptif
2) Batasi
pengunjung
bila perlucuci
tangan setiap
sebelum dan
sesudah
tindakan
keperawatan
3) Gunakan baju,
sarung tangan
sebagai alat
pelindung
4) Ganti letak IV
perifer dan
dressing sesuai
dengan
petunjuk umum
5) Gunakan
kateter
intermiten
untuk
menurunkan
61. 61
g. Penyakit kronik
h. Imunosupresi
i. Malnutrisi
j. Pertahanan primer
tidak adekuat
(kerusakan kulit,
trauma jaringan,
gangguan
peristaltik)
dalam batas
normal
infeksi kandung
kemih
6) Tigkatkan
intake nutrisi
7) Monitor tanda
dan gejala
infeksi sistemik
dan lokal
8) Monitor adanya
luka
9) Kaji suhu
badan pasien
neutropenia
setiap jam 4
jam
62. 62
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku
Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3.
Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan : Aplikasi dan Praktek Klinis.
Jakarta : ECG
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC
Curtis, Glade B. MD, FACOG. 1999. Kehamilan Apa yang Anda Hadapi Minggu per
Minggu. Jakarta: Arcan
Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi
2. Jakarta: EGC
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan
Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi
6. Jakarta: EGC
Richard N. Mitchell, et al. 2008. Pocket Companionto Robbins & Cotran Pathologic
Basic of Disease, ed. Jakarta : EGC.
Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley. 2003. Lecture Notes Kedokteran
Klinis Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sullivan, Amanda, Lucy Kean & Alison Cycer. 2009. Panduan Pemeriksaan
Antenala. Jakarta: EGC
63. 63
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Wallace, Daniel J. 2007. The Book Lupus
Yatim, Dr. Faisal DTM&H, MPH. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian Arthritis
atau Artharlgia. Jakarta: Pustaka Popular