1. A. JUDUL
ATURAN-ATURAN LOKAL PEDAGANG SUKU MADURA DI MALANG
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
B. LATAR BELAKANG
Suku Madura adalah salah satu suku di provinsi Jawa Timur, yang mendiami pulau
Madura dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Populasi suku Madura termasuk yang ke3 terbesar di Indonesia. Diperkirakan lenih dari 6.800.000 orang.
Pada dasarnya, orang Madura berjiwa perantau. Hal ini disebabkan oleh tanah di
pulau Madura sendiri tidak subur untuk dijadikan lahan pertanian. Sehingga memaksa
mereka untuk merantau ke daerah-daerah lain untuk penghidupan yang lebih baik.
Karakter orang Madura, terkenal dengan gaya bicara yang blak-blakan dan logat yang
kental, memilki sifat temperamental dan mudah tersinggung. Mereka sangat hemat
dan rajin bekerja. Tidak sedikit dari mereka yang menyisihkan sebagian penghasilan
mereka untuk persiapan naik haji. Secara mayoritas, masyarakat Madura adalah
pemeluk agama Islam. Mereka adalah muslim yang taat dan fanatik. Agama Islam
berkembang di Madura yang dibawa dari pulau jawa. Komunitas sosial yang
budayanya dilandasi oleh sistem nilai, seperti keyakinan keagamaan dari anggota
kelompok, menjadi kuat dan mantap. Tidak akan ada kesimpangsiuran dalam
pemahaman mengenai pedoman dan landasan yang menentukan arah keyakinan yang
telah ditentukan budaya keberagamannya1.
Etnis Madura yang bermigrasi di tanah rantau tetap memiliki ikatan emosional dengan
daerah asal (patobin) dan dengan kerabat (balah kerabah) di kampung halaman.
Mereka masih menjalin komunikasi yang intensif dan berkesinambungan tentang
berbagai hal di daerah asal. Bahkan tidak jarang, kerabat yang tidak memiliki
pekerjaan ataupun tanggungan diajak turut serta untuk merantau dan diberi pekerjaan.
1
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia. Hlm.264
14
2. Orang Madura berbicara dalam bahasa Madura yang digunakan sebagai bahasa utama
orang Madura. Walaupun kediaman orang Madura di wilayah Jawa, tapi banyak
orang Madura yang tidak bisa berbahasa jawa. Pada umumnya mereka menggunakan
bahasa Indonesia tapi masih menggunakan dialek Madura yang kental. Bahasa
Madura memiliki penutur yang berpusat di pulau Madura. Ujung timur pulau jawa
atau di kawasan yang disebut kawasan tapal kuda terbentang dari Pasuruan, Surabaya,
Malang, sampai Banyuwangi, kepulauan Kangean, kepulauan Masalembo hingga di
daerah di kepulauan kalimantan.
Pada umumnya orang Madura adalah pekerja keras, mereka memiliki potensi yang
beragam. Selain bertani pada tanaman jagung, ubi, beberapa jenis sayuran dan
tanaman lainnya seperti cengkeh dan tembakau. Yang menjadikan wilayah Madura
sebagai produsen penting bagi industri rokok domestik. Selain itu Madura juga
terkenal sebagai penghasil garam. Sedangkan profesi lainnya adalah beternak sapi,
kambing atau domba. Sebagian kecil menjadi nelayan dengan menggunakan perahu
cadik dengan jaring yang besar. Sedangkan kebanyakan para perempuan menjadi
pedagang atau buruh.2
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah wujud ideal yang bersifat abstrak dan
tak bisa diraba yang ada dalam pikiran manusia yang dapat berupa ide, gagasan,
norma, keyakinan, dan lain sebagainya. Dalam setiap kebudayaan terdapat unsur
yang juga dimiliki oleh kebudayaan lain. Menurut Koentjaraningrat unsur kebudayaan
yang bersifat universal meliputi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi, dan peralatan. Tiap-tiap unsur kebudayaan
universal tersebut menjelma kedalam tiga wujud kebudayaan, yaitu :3
1. Wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia di dalam masyarakat.
3. wujud kebudayaan sebagai hasil benda ciptaan manusia.
Sedangkan menurut Taylor kebudayaan adalah kompleks keseluruhan meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum,
2
3
moral, kebiasaan, kecakapan yang
Deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-Madura.html?m=1 diakses pada 20 April 2013
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1989.Hal.186
14
3. diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat untuk menangani berbagai masalah
yang timbul dan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Artinya seorang anak
manusia akan belajar bagaimana cara mengatasi sebuah masalah dengan
memperhatikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. 4
Selanjutnya menurut Lebra kebudayaan adalah sebuah simbol-simbol abstrak, umum,
dan ide rasional dan perilaku adalah serangkaian tindakan organisme yang bertenaga,
bersifat khusus dan bisa diamati. Dalam hal ini perilaku adalah manifestasi dari
budaya atau kebudayaan memberi arti bagi aktivitas manusia tersebut 5. Secara
antropologis, perkembangan terpenting dalam evolusi manusia dan karakteristiknya
adalah perkembangan kebudayaan yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya.
Kemunculan
kebudayaan
berhubungan
dengan
evolusi
otak
dan
perkembangan kemampuan berfikir manusia. Kebudayaan berkembang oleh
perkembangan pola komunikasi manusia yang unik, yaitu komunikasi simbolik6.
Oleh karena penelitian ini mengambil masyarakat Madura sebagai objek, maka
kearifan lokal yang dimaksud adalah sebatas yang bisa digali dari ungkapan
peribahasa sehari-hari atau tradisi yang sedikit banyak masih berpengaruh pada
perilaku orang Madura secara umum. Dalam bentuk peribahasa misalnya, jika ada
orang yang malas akan distigma dengan ungkapan sinis atonggul to’ot (memeluk
lutut) dan nampah cangkem (bertopang dagu)7.
Menurut sebagian pendapat, semangat kerja keras orang Madura terekam dalam
peribahasa Madura, “abantal omba’ asapo’ angin” yang artinya, berbantal ombak
dan berselimut angin. Peribahasa ini menyiratkan bahwa orang Madura siap bekerja
seharian penuh dalam kondisi pantang menyerah. Sebagai pekerja keras dan agamis,
suku Madura dikenal juga dengan sifat yang temperamental dan sangat sensitif
apabila harga dirinya terusik. Watak keras dan pemberani itu tidak jarang sampai
menimbulkan carok antar mereka.8
4
Ibid. Hal 355
Ibid
6
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia. Hlm.163
7
Triyuwono, 2009; Imron, 1996
8
Wiyata, 2002; Djakfar, 2009; Rifai, 2007
5
14
4. Kehidupan tradisional normatif dalam masyarakat dapat dipandang sebagai gejala
sosial yang melahirkan kebudayaan normatif dalam kehidupan bermasyarakat, selain
kehidupan imanen yang menjadi keyakinan setiap individu dalam masyarakat9.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, kami menarik beberapa rumusan masalah,
yaitu :
1. Bagaimana masyarakat Madura menjalankan kehidupan perdagangannya?
2. Bagaimana cara pedagang Madura dalam menyelesaikan permasalahan
sengketa antar pedagang?
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan mengenai perdagangan masyarakat
Madura di kota Malang?
2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana penyelesaian sengketa di
antara sesama pedagang Madura?
E. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Secara teoritis
Penelitian ini secara teoritis dapat digunakan sebagai acuan dan tambahan
wawasan dalam ilmu antropologi hukum mengenai aturan-aturan lokal
pedagang suku Madura di Kota Malang dalam menyelesaikan sengketa.
9
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia. Hlm. 264
14
5. 2. Secara praktis
•
Bagi masyarakat
Penelitian tersebut dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
mengenai aturan-aturan lokal pedagang suku Madura di Kota Malang
dalam menyelesaikan sengketa. Dapat diketahui bahwa perdagangan di
Kota Malang mayoritas dikuasai oleh suku Madura. Tujuan dari
penelitian ini adalah memberikan wawasan baru kepada masyarakat.
•
Bagi akademis
Penelitian tersebut dapat memberikan pengetahuan yang berguna
dalam kepentingan ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai
dasar dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai aturan-aturan
lokal pedagang suku Madura di Kota Malang dalam menyelesaikan
sengketa.
F. KAJIAN PUSTAKA
1. Kajian umum mengenai etnik
Kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang secara biologis mampu
berkembang biakdan bertahan. Ada ciri-ciri tertentu pada kelompok etnik,
yaitu sebegai berikut10:
1) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.
2) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
3) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima kelompok lain
dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
10
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia. Hlm.158
14
6. Ciri-ciri kebudayaan khusus pada kelompok etnik adalah keabadian unit-unit
budaya ini dan faktor-faktor yang mempengarihi terbentuknya unit budaya.
Pada kelompok etnik, unit budaya akan mempersatukan pengelompokannya
karena keanggotaan kelompok etnis bergantung pada kemampuan kelompok
memperlihatkan sifat budaya kelompoknya.
Dalam perkembangan berikutnya, hubungan antar kelompok terjadi karena
adanya akulturasi yang berhubungan dengan sejarah pembentukan sifat
budaya yang beragam. Akulturasi membangun pengelompokan etnis yang
berbeda, baru dan lebih menonjil karena unit budaya yang telah berubah.
Bentuk-bentuk budaya yang tampak menunjukkan adanya pengaruh ekologi
dan kedatangan budaya eksternal, sehingga akulturasi dibangun oleh budaya
yang lebih dominan, sedangkan budaya yang lemah akan meleburkan diri
begitu saja hingga akhirnya hilang.
Pada prinsipnya, kelompok etnik dapat dipandang sebagai tatanan sosial. Ciri
asalnya bersifat kategoris dan mendasar yang secara umum menentukan
seseorang termasuk kelompok etnik tertentu. Misalnya, bahasa yang
dipergunakan, wilayah tempat tinggal, kesenian tradisional dan yang lainnya.
Hal terpenting dalam kelompok etnik adalah sikap solidaritas sosial terhadap
kelompoknya yang dilandas oleh ikatan emosional yang kuat. Menurut
Durkheim11, solidaritas sosial merupakan keadaan hubungan antara individu
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral an kepercayaan yang
dianut bersama, setiap kelompok etnik saling membantu dan memiliki rasa
kesetiaan terhadap kelompoknya, tanpa ada desakan dari luar.
Solidaritas kelompok etnik diperkuat adanya rasa takut yang datang dari
berbagai perasaan kelompok tertentu.misalnya, ketakutan karena ancaman
perebutan wilayah, penghancuran budaya, diskriminasi sosial, marginalisasi,
dan tekanan-tekanan yang datang dari dan atas nilai-nilai keyakinan tertentu.
Karena hal itulah, solidaritas etnis terbangun dan semakin kokoh.
2. Etos kerja masyarakat Madura
11
Ibid. Hlm.160
14
7. Sifat dinamis, agresif dan terkadang terlihat blak-blakan sudah menjadi ciri
khas masyarakat Madura. Karena perilakunya sering tidak terduga dan tidak
dapat dikendalikan, orang luar cenderung was-was bila berhadapan dengan
orang Madura12.
Sebagian besar orang Madura merupakan orang yang tidak tamat sekolah atau
yang tidak bersekolah. Namun dibalik semua itu mereka merupakan pekerja
keras yang ulet dan tidak pernah putus asa sehingga pantang menyerah, penuh
percaya diri dan memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat. Tabiat keras orang
Madura membuat mereka memiliki sifat berani dan gigih dalam perjuangan
hidupnya dan juga sifat hemat dengan menyisihkan sebagian penghasilannya
untuk naik haji. Menabung merupakan kebiasaam orang Madura, bukan saja
menabung dalam bentuk uang namun juga dalam bentuk perhiasan dan hewan
ternak. Tabungan ini tidak hanya disiapkan sebagai payung untuk kebutuhan
yang lain namun juga disiapkan sebagai bekal naik haji. Dorongan naik haji
ini semakin kuat karena masyarakat Madura memang memberikan
penghargaan status sosial yang tinggi pada warga yang menunjukkan
keberhasilan yang diberkahi oleh Allah SWT tersebut. Kendati memiliki sifat
baik, orang Madura memiliki sifat cepat curiga pendendam dan rasa kesukuan
dan solidaritas kelompok yang kuat13 disertai dengan budaya carok untuk
menyelesaikan masalah diantara sesama Madura.
Sifat etnosentrisme Madura memang membuat masyarakatnya memiiki hasrat
untuk saling membantu dalam bekerja secara keras dan didukung oleh
pembawaannya yang unik dan tahan banting. Sayang sifat ini membuat
mereka kurang memperhatikan kepentingan kelompok masyarakat lain dan
membuat mereka kurang toleran terhadap suku bangsa lain.
Citra kerapan sapi yang khas dan digemari memang membersitkan kesan
pekerja ulet Madura yang hidup dalam suasana kehematcermatan. Orang
Madura memiliki etos kerja yang mirip dengan orang china yaitu rajin, ulet,
jujur, setia dan terandalkan. Namun, bedanya adalah orang Madura cepat naik
darah dan terburu-buru. Hal tersebut berbeda dengan kong hu cu yang
menganjurkan pengikutnya untuk mengalah. Selain itu orang china
12
13
Fox 1997: 224/ 1996: 292
Sudagung 1984/2001: 139
14
8. menganggap orang Madura kasar dan kurang ajar mungkin dikarenakan oleh
sifat orang Madura yang blak-blakan dan tidak basa-basi. Oetomo (1991)
menyimpulkan bahwa secara menyeluruh orang china mnghargai hubungan
baiknya dengan orang Madura, karena mereka saling membutuhkan dalam
kegiatan ekonomi yang tidak saling menyaingi tetapi malah diwarnai oleh
sikap dan perilaku kedua belah pihak yang sama-sama rasional, pragmatis dan
fungsional.
Sikap yang diidealkan oleh orang Madura dalam bernegara dan bermasyarakat
adalah cinta tanah air dan setia pada pimpinan. Orang Madura memiliki sifat
yang pemberani dan menjunjung harga diri sehingga memiih lebih baik mati
berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Sehingga mereka harus
bekerja keras demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan. Mereka
bersikap pantang menyerah dan tidak mudah berputus asa sehingga semua
harus dihadapi secara jantan dan jujur agar selama hidupnya dapat dijalani
dengan baik dan saling tolong menolong.
Dr. Laurence Husson (1995) mengemukakan bahwa kehematcermatan orang
Madura yang suka bekerja keras memang terbukti dapat meningkatkan
kesejahteraan kehidupan mereka. Cara sifat kaku dan kasar orang Madura
yang merantau ke daerah lain dikaitkan dengan rendahnya pendidikan orangorang yang umumnya berasal dari daerah pedalaman. Citra kekerasan itu
semakin diperkuat karena orang Madura yang tidak berpendidikan tadi
memiliki sifat yang berani bicara secara lantang dan terbuka. Dengan
keyakinan dan etos kerja yang tinggi mereka tidak takut melakukan pekerjaan
apa saja asalkan halal.
Dalam peribahasa Madura, kar ngakar cople’ (mengais lalu mencocok) atau
ajam mon ngakana ghi’ ngakar kaada’ (ayam kalau mau makan mengais
dulu) mengisyaratkan bahwa masyarakat Madura harus memiliki ketangguhan
bekerja, ketegasan bertindak, keteguhan sikap, dan keberanian menghadapi
ketidakpastian linkungan untuk menghadapi tantangan hidup telah memotifasi
mereka untuk merantau.
Kebiasaan merantau dengan hambatan-hambatan alam dan lingkungan yang
kurang bersahabat mengajarkan masyarakat Madura ini untuk menghadapi
14
9. tantangan kehidupan keras dengan keoptimalan tinggi. Bekerja keras dengan
tidak kenal lelah serta tidak menghiraukan waktu dan cuaca sudah menjadi
pola hidup mereka dalam memaksimalkan peluang dan untuk meraih hasil
kerja yang maksimal.
Rendahnya pendidikan telah mengharuskan mereka memasuki lapangan kerja
dalam sektor informal yang tidak memerlukan ketrampilan tinggi seperti
buruh, petani, pedagang dan sebagai pekerja kasar di bidang jasa.
3. Interaksi sosial masyarakat Madura di Kota Malang
Soekanto (1990:66) menyimpulkan ”interaksi sosial merupakan dasar dari
proses sosial. Pengertian tentang interaksi sosial sangat berguna didalam
memperhatikan
dan
mempelajari
berbagai
masalah
masyarakat”.
Perkembangan inilah yang merupakan dinamika yang tumbuh dari pola-pola
perikelakuan manusia yang berbeda menurut situasi dan kepentingannya
masing-masing.
Pembahasan mengenai proses sosial yang mencakup ruang lingkup yang luas,
merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat, dimana di dalamnya
terdapat suatu proses hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya.
Menurut Adham Nasution, proses sosial adalah proses kelompok-kelompok
dan individu-individu saling berhubungan, yang merupakan bentuk antara aksi
sosial, ialah bentuk-bentuk yang nampak kalau kelompok-kelompok manusia
atau orang perorangan mengadakan hubungan satu sama lain. Kemudian
ditegaskan lagi, bahwa proses sosial adalah rangakaian human action (sikap
atau tindakan manusia) yang merupakan aksi dan reaksi atau challenge dan
respon di dalam hubungannya satu sama lain (Abdulsyani, 2007:151-152).
Mengenai interaksi sosial sendiri diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial
timbal balik yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang
secara perseorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara
orang dengan kelompok-kelompok manusia. Menurut Roucek dan Warren,
interaksi adalah satu proses, melalui tindak balas tiap-tiap kelompok berturutturut menjadi unsur penggerak bagi tindak balas dari kelompok yang lain. Ia
dalah suatu proses timbal balik, dengan mana satu kelompok dipengaruhi
14
10. tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan berbuat demikian ia mempengaruhi
tingkah laku orang lain (Abdulsyani, 2007:152-153).
Dalam kenyataannya, masyarakat Madura dapat membaur dengan masyarakat
asli Malang meskipun mereka merupakan pendatang. Bahkan tidak jarang,
masyarakat asli Malang ikut menggunakan bahasa Madura dikarenakan lebih
familiar digunakan dalam bahasa pergaulan. Interaksi sosial dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat pendatang ini mendapatkan tempat yang layak dan
tidak dibedakan dengan masyarakat yang lain.
Sudagung menyimpulkan bahwa temuan lapangan tentang sifat-sifat orang
Madura yang tersaksikan merupakan pembawaan dan perilaku mereka yang
asli dan alami. Semua terjelma oleh terpaan lingkungan fisik alam sekitar yang
gersang dan tandus, dan juga lingkungan biologi yang tidak mencukupi serta
lingkungan sosial yang penuh dengan persaingan14 .
Karena pembawaannya yang temperamental, mereka gampang tersinggung,
sehingga begitu melihat ada gerakan yang dirasa akan merugikan dirinya dan
kelompoknya,
mereka
langsung bereaksi
dan mencoba
menandingi.
Keberhasilan mereka secara sosial ekonomi mengakibatkan kecemburuan
sosial yang semakin membesarkan ketegangan di masyarakat majemuk.
Pada kelompok yang berwatak keras dan berpendidikan rendah solidaritas
gampang sekali muncul. Jordaan (1985) mengemukakan bahwa manusia
Madura merupakan orang yang sulit dan keras namun memiliki rasa percaya
diri yang tinggi dan angkuh. Mereka suka memamerkan kekayaan sehingga
barangnya yang paling mahal terpajang secara mencolok 15. Sifat ini
berhubungan dengan kesadaran akan posisinya dalam pelapisan sosial di
lingkungannya, dimana sistem pengelompokan yang didasarkan pada
kesejahteraan, kekerabatan, macam pekerjaan dan aliran agama.
4. Kajian sengketa
14
15
Sudagung 1984/2001: 131
Jordaan, 1986: 23
14
11. Pada saat terjadi persaingan dalam memenuhi kebutuhan tersebut kadangkala
terjadi secara damai tanpa mengganggu kepentingan manusia lain, namun ada
kalanya justru memicu timbulnya konflik. Konflik sering muncul pada saat
salah satu manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sedangkan manusia
lain dengan kebutuhan yang sama dapat memenuhinya. Oleh karena itu timbul
kecemburuan sosial yang pada akhirnya mengusik ketenangan hidup
bermasyarakat. Berkaitan dengan konflik, tentu memerlukan pranata sebagai
sarana penyelesaian. Pranata tersebut salah satunya hukum. Hukum berfungsi
sebagai alat untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada dalam
masyarakat sehingga mampu meminimalisir timbulnya konflik dan dapat terus
menjaga ketertiban dan ketenangan hidup di masyarakat. Berkaitan dengan
penyelesaian konflik yang ada dalam masyarakat, terdapat beberapa teori
penyelesaian sengketa, beberapa teori tersebut antara lain :
1) Penyelesaian melalui jalur pengadilan.
Pencarian berbagai jenis proses dan metode untuk menyelesaikan
sengketa yang muncul adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat.
Para ahli non hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk
mengekspresikan berbagai model penyelesaian sengketa (dispute
resolution). Berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal
maupun informal, dapat dijadikan acuan untuk menjawab sengketa
yang mungkin timbul asalkan hal itu membawa keadilan dan
kemaslahatan. Secara umum berdasarkan sifat proses dan putusannya,
penyelesaian sengketa dapat dikategorikan dalam 16:
Pertama, proses adjudikasi, dimana sifat dari penyelesaian sengketa
menempatkan para pihak yang bersengketa pada dua sisi yang
berhadapan (antagonistis) dan hasil putusan yang dikeluarkan oleh
pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutus bersifat kalah dan
menang proses penyelesaian sengketa yang masuk dalam kategori ini
adalah peradilan (litigasi) dan arbitrase.
16
Lembaga peradilan dan penyelesaian sengketa alternatif. www.badilag.net diakses pada tanggal 21 April
2013
14
12. Kedua, proses konsensus, dimana sifat dari penyelesaian sengketa
menempatkan para pihak pada posisi yang saling bekerja sama
(cooperative) dan menggunakan asas kesepakatan dalam pengambilan
keputusan baik melibatkan pihak ketiga maupun tidak, dan hasil
keputusan sama-sama bersifat menang. Proses penyelesaian sengketa
yang masuk dalam kategori ini adalah negosiasi, mediasi konsiliasi,
ombudsman dan pencari fakta bersifat netral.
Ketiga, proses adjudikasi semu, proses penyelesaian sengketa ini
biasanya adalah penggabungan antara dua proses penyelesaian
sengketa di atas, sehingga sifat dan hasil putusan tergantung dari pola
proses yang dikolaborasikan.
2) Penyelesaian di luar pengadilan (alternatif penyelesaian sengketa)
Model penyelesaian sengketa selain pengadilan, yaitu sebagai
berikut17:
•
•
Negosiasi
•
Mediasi
•
Konsiliasi
•
Pencari Fakta
•
Minitrial
•
Ombudsman
•
Penilaian Ahli
•
Pengadilan Kasus Kecil (Small Claim Court)
•
17
Arbitrase
Peradilan Adat
Amalmey.files.wordpress.com
14
13. Dalam tradisi masyarakat Madura dikenal dengan budaya carok. Carok
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada masyarakat
Madura. Penyelesaian tersebut merupakan penyelesaian dengan jalan
kekerasan. Sehingga carok sangat menutup kemungkinan adanya perdamaian
dari kedua belah pihak yang bertikai. Carok dianggap sebagai salah satu upaya
pembelaan atas harga diri yang sudah diinjak-injak oleh orang lain yang
berhubungan dengan harta, tahta dan wanita.
Pembelaan terhadap kehormatan dan harkat martabat yang tinggi pada hal-hal
yang berkaitan dengan istri, keluarga, tanah, ternak dan air memang
menyebabkan masyarakat Madura terkesan beringas. Bahwa penyebab
utamanya adalah terlembagakannya budaya carok di kalangan orang Madura
dalam menyelesaikan permasalahannya.
Budaya carok ini pastinya menjurus kepada kekerasan untuk menjunjung
harkat dan martabat serta harga diri. Faktor budaya yang membiasakan mereka
bermain senjata tajam semakin meruncingkan masalah. Dan ini menjadikan
orang Madura kurang toleran terhadap kelompok atau etnis lain diluarnya.
Berbagai tindak kekerasan yang terjadi itulah mengakibatkan adanya anggapan
bahwa masyarakat Madura mudah tersinggung dan gampang marah. Sehingga
hubungan antara masyarakat Madura dengan etnies lain cenderung diwarnai
saling curiga.
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian terhadap pedagang suku Madura di kota Malang ini,
digunakan metode empiris dengan melakukan wawancara langsung terhadap
nara sumber yang merupakan keturunan masyarakat Madura. Dalam
penyampaian data dan hasil wawancara menggunakan data kualitatif.
Pengumpulan data kualitatif tidak dipandu oleh teori, tetapi dipandu oleh
fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan. Oleh karena itu
14
14. analisa data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori 18.
Selain itu digunakan juga analisis deskriptif, yaitu metode yang memfokuskan
perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari satuan-satuan yang
berkaitan dengan objek penelitian.
2. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode fenomenologis. Yaitu
metode untuk memahami bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan, dan
pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri
mempengaruhi
mereka19.
Dengan
pendekatan
fenomenologis,
sebuah
penelitian tidak hanya akan menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenmena
yang dipelajari, dalam hal ini yang berkaitan dengan etos bisnis etnis Madura
sebagaimana yang sering diperkirakan.
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan pasar splendid. Dikarenakan di pasar
tersebut pedagang Madura lebih dapat diajak bekerja sama daripada pedagang
Madura di pasar lainnya.
4. Populasi dan sample
•
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang suku Madura di kota
Malang
•
Sample
Sample dalam penelitian ini lebih difokuskan untuk pedagang
perantauan dari suku Madura di Kota Malang
5. Data penelitian
a) Jenis data
18
19
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia. Hlm. 73
Syamsuddn, 2001
14
15. •
Data primer
Data primer dalam penelitian ini adalah hasil penelitian kelompok
terhadap pedagang suku Madura di kota Malang tepatnya di Pasar
Splendid.
•
Data sekunder
Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan oleh kelompok
kami adalah bahan-bahan kepustakaan atau pendapat dari ahli.
b) Metode pengumpulan data
•
Data primer
Adapun teknik pengumpulan data primer menggunakan observasi,
wawancara dan dokumentasi. Hanya saja yang paling pokok adalah
tekhnik wawancara guna mengungkap motif-motif etos bisnis yang
membentuk etnis Madura. Sedangkan observasi sebatas untuk
mengamati aktifitas bisnis dalam realitas yang diperkuat pula dengan
pencatatan data yang telah terdokumentasi yang terkait dengan
penelitian.
•
Data sekunder
Untuk memperoleh data sekunder yang diperlukan dalam penelitian
ini, maka teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan studi
kepustakaan terhadap berbagai buku literatur, artikel, majalah, dan
sumber-sumber di internet.
6. Analisa data
Setiap data yang diperoleh dalam penelitian ini, berupa data lapangan
(wawancara/observasi) akan dipadukan dengan data-data kepustakaan, dan
akan dijelaskan secara deskriptif dan didukung dengan dokumentasi sehingga
dari proses analisa tersebut akan ditarik kesimpulan yang jelas serta dapat
memberikan jawaban dari setiap permasalahan yang diteliti.
14