SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Download to read offline
Page | 1
Kesetaraan Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh
Hak Sebagai Warga Negara di Bidang Hukum
Disusun oleh :
TASYA ANDIANA PUTRI
Sosiologi Pembangunan
Fakultas Ilmu Sosial
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Page | 2
Perempuan Disabilitas Sulit Dapatkan
Keadilan dalam Hukum
Eky Wahyudi, CNN Indonesia
Selasa, 30/06/2015 22:00 WIB
Sejumlah penyandang disabilitas mengikuti rangakaian acara Hari Disabilitas, yang diselenggarakan oleh Dinas
Sosial DKI Jakarta, Rabu, 10 Desember 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Keadilan masih sulit didapatkan bagi perempuan penyandang
disabilitas ketika menghadapi proses hukum. Banyak dari korban penyandang disabilitas yang
menarik proses hukumnya karena diskriminasi yang mereka terima dan status mereka yang
dianggap tidak cakap hukum.
Menurut Siti Mazumah, koordinator pelayanan hukum LBH APIK Jakarta, pada 2014
lembaganya mendampingi enam kasus perkosaan yang dialami perempuan disabilitas. Dari
jumlah tersebut hanya satu kasus disabilitas anak yang sampai putusan di pengadilan.
Kebanyakan dari korban menarik proses hukumnya kembali.
"Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk
bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika keluarga tidak
menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya, korbannya tetap merasakan
penderitaannya," kata Zuma sapaan Siti Mazumah, pada Selasa (30/6).
Zuma mengatakan perempuan korban disabilitas mengalami berbagai hambatan dan
kesulitan dalam memberikan kesaksian, seringkali kesaksian mereka diragukan oleh aparat
penegak hukum. Selain itu mereka juga kerap mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak mulai
dari pelaku kejahatan hingga aparat penegak hukum. "Diamnya seorang disabilitas itu beda.
Mungkin intimidasi yang dilakukan penyidik itu tidak dianggap intimidasi, tapi bagi mereka itu
merupakan intimidasi," kata Zuma.
Selain tidak cakap hukum, kendala bagi penyandang disabilitas mendapatkan keadilan
adalah ketiadaan penerjemah memadai dalam proses pengadilan. Berdasarkan Kitab Undang-
Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) pasal 178 tercatat penyediaan penerjemah hanya
diperuntukan bagi disabilitas jenis tuna wicara dan tuna rungu pada proses kesaksian di
pengadilan menyebabkan kepolisian tidak menyediakan penerjemah dalam proses hukum
penyandang disabilitas.
Zuma mengatakan KUHAP yang ada juga belum mengakomodir kepentingan disabilitas
jenis lain seperti pengidap gangguan mental dan intelektual, tuna netra, gangguan perilaku dan
hiperaktivitas (ADHO), bipolar, gangguan kesehatan jiwa serta tuna grahita untuk mendapatkan
hak akses penerjemah.
Zuma mengatakan akses penerjemah sangat penting karena banyak kasus yang tidak
berjalan karena tidak ada psikolog serta penerjemah. Korban penyandang disabilitas juga
dianggap tidak cakap hukum sehingga keteragan-keterangan yang diberikan mudah dipatahkan.
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-
disabilitas-sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/
Page | 3
DAFTAR ISI
ARTIKEL BERITA………..………………………………………………………………..1
DAFTAR ISI..……………………..…………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang………………………...………………………….....…………...…..........3
1.2 Rumusan Masalah……………………...…………………………….....……...………….4
BAB II KAJIAN TEORI..……………………………………………....…………………...5
2.1 The Other atau Sang Lain……………………...……………………….......……………...5
2.2 Tiga Modus Objektivikasi Subjek……………………………………………....…………6
2.3 Governmentality dan Bio-Power………………………………………………...………..6
2.4 Premis Teori.......................................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN.…………………….………………..………………………….…7
3.1 Penyandang Disabilitas sebagai The Other ………………………………..…..………….7
3.2 Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011…………………..............9
3.3 Subyektifikasi Penyandang Disabilitas Tergolong Kedalam Tiga Modus…………...….10
3.4 Upaya Pemerintah Dalam Mewujudkan Kesetaraan Hukum Bagi Penyandang
Disabilitas………………………………………………………………………………...12
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………………13
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………………...…….13
4.2 Saran……………………………………………………………………………....……...14
DAFTAR PUSTAKA………………………………………...……………………….…….17
Page | 4
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Perempuan penyandang disabilitas sering mendapat ketidakadilan baik dalam bidang
pendidikan maupun dalam bidang hukum. Perempuan penyandang disabilitas dengan
keterbatasan yang dimilikinya sering mendapat perlakuan intimidasi sehingga dalam proses
hukum tidak sampai ke pengadilan. Perempuan penyandang disabilitas sering dianggap tidak
memberikan kesaksian yang benar dengan keterbatasan mereka sehingga hakim sulit
membuat keputusan pengadilan. Oleh sebab itu, banyak dari korban disabilitas seperti korban
pemerkosaan yang tidak mendapat keadilan karena proses hukum tidak selesai sampai ke
pengadilan. Belum lagi penyandang disabilitas juga sering mendapat intimidasi dari pelaku.
Kesaksian dari korban penyandang disabilitas mudah dipatahkan. Oleh sebab itu,
banyak dari korban perempuan penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya
kembali sehingga mereka tetap dalam penderitaan yang berkepanjangan. Keterbatasan yang
mereka alami dalam proses hukum adalah kesaksian mereka yang sulit atau kurang diterima
oleh aparat penegak hukum. Dalam poses hukum korban penyandang disabilitas sangat
membutuhkan penerjemah yang dapat mengerti maksud ucapan mereka dalam memberi
kesaksian.1
Selama ini penyediaan penerjemah dalam proses pengadilan hanya diperuntukkan
untuk tuna wicara dan tuna rungu padahal banyak disabilitas lain yang membutuhkan
penerjemah dalam proses hukum seperti disabilitas pengidap ganggguan mental dan perilaku.
Penyandang disabilitas merupakan warga negara yang memiliki hak untuk
memperoleh keadilan dalam bidang hukum. Walaupun mereka memiliki keterbatasan mereka
harus tetap memperoleh keadilan. Keterbatasan yang mereka miliki sudah seharusnya dibantu
oleh berbagai pihak untuk mempermudah mereka dalam menjalani proses hukum. Mereka
tidak boleh didiskriminasi sehingga mereka tidak memperoleh haknya dan terus merasakan
penderitaan akibat kejahatan pelaku. Sudah selayaknya korban dari perempuan penyandang
disabilitas mendapat fasilitas yang lebih yang mereka butuhkan seperti psikolog (bagi korban
penyandang disabilitas gangguan mental) dan penerjemah.
1
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-sulit-dapatkan-
keadilan-dalam-hukum/ diakses pada 27 April 2016 pukul 08.43 WIB.
Page | 5
Warga negara sering mendapat perlakuan diskriminasi karena kekurangan dan
keterbatasan yang dimilikinya misalnya warga negara miskin sering mendapat perlakuan
diskriminasi dalam hak memperoleh pendidikan dan kesehatan. Dalam kasus ini penyandang
disabilitas mendapat perlakuan diskriminasi dalam memperoleh keadilan dalam bidang
hukum. Diskriminasi sering dilakukan oleh orang-orang yang statusnya lebih tinggi kepada
mereka yang statusnya lebih rendah. Orang-orang yang statusnya lebih rendah sering menjadi
alat dari praktik kuasa, mereka tidak dapat menentangnya karena tidak memiliki kekuatan.
Korban penyandang disabilitas mendapat perlakuan diskriminasi dari pelaku
kejahatan dan aparat penegak hukum. Pelaku kejahatan dengan kekuatan yang dimilikinya
dapat menyuap aparat penegak hukum maupun mematahkan kesaksian dari korban untuk
mengintimidasi korban sehingga proses hukum tidak berjalan baik. Proses hukum yang lama
akan membuat pihak yang terlibat terutama korban menjadi lelah dan dapat menarik proses
hukum sehingga tidak selesai sampai ke pengadilan. Intimidasi dari pelaku membuat korban
enggan meneruskan proses hukum yang sedang berjalan.
Oleh sebab itu, korban penyandang disabilitas memerlukan bantuan berupa
penerjemah dalam memberi kesaksiannya dan perlindungan dari diskriminasi aparat penegak
hukum untuk memperoleh haknya di meja pengadilan dan agar pelaku mendapat sanksi yang
setimpal atas tindakan yang telah dilakukannya. Dengan begitu setiap warga negara dapat
memperoleh haknya termasuk hak dalam bidang hukum.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana korban penyandang disabilitas memperoleh haknya sebagai warga negara
di ranah hukum?
2. Bagaimana pemikiran Michel Foucault tentang warga negara dalam kasus ini?
3. Apa solusi yang ditawarkan dari pemikiran Michel Foucault dalam kasus ini?
Page | 6
BAB II
KAJIAN TEORI
Michel Foucault (1926-1984) merupakan salah satu filsuf Perancis terpenting di era
kontemporer. Dalam pemikirannya mengenai kewarganegaraan, Foucault menyajikan
pemahaman yang lebih mendalam guna memberikan dasar mengenai bagaimana warga
sebagai sebuah konsep politik terbentuk. Untuk itu ia memang memulai dengan penjelasan
mengenai konstitusi subjek atau bagaimana subyek diubah dan dibentuk oleh berbagai klaim
kebenaran secara historis. Bagi Foucault siapa itu warga mesti dapat dipahami dalam
pertanyaan mengenai bagaimana teknologi kekuasaan bekerja dalam sejarah dalam
membentuk siapa itu warga.
II.1 “The Other” atau “sang Lain”
Pertama-tama Foucault mencoba untuk menganalisa wabah lepra yang menjangkiti
seluruh Eropa pada Abad Pertengahan. Penderita lepra dianggap sebagai “sang Lain” (the
other) sebagai sumber utama wabah namun harus diperlakukan dengan rasa takut dan hormat.
Mereka benar-benar diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan
sipil dan politik masyarakatnya dengan cara penahanan atau karantina di rumah sakit umum
milik negara. Penderita penyakit lepra ini dieksklusikan bukan karena mereka sakit,
melainkan karena mereka dianggap tidak produktif secara ekonomis dalam masyarakat.
Sehingga muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai siapa itu warga? Foucault
memberikan pemahaman bahwa pendefinisian mengenai siapa itu subjek dari luar senantiasa
menghasilkan praktik pembelahan. Pertama, subjektifitas seseorang sebagai warga negara
merupakan suatu pembelahan dalam kategorisasi “warga yang sehat” dengan “warga yang
sakit”. Kedua, bentuk-bentuk konstitusi subjek bersifat tidak tetap dan dideterminasi secara
eksternal. Ketiga, determinasi dan konstitusi subjek dihasilkan oleh praktik kekuasaan.
Page | 7
II.2 Tiga Modus Objektivikasi Subjek
Subjek bagi Foucault bukanlah entitas yang terberi, memandang bahwa manusia
setara dan sama “dari sananya” melainkan melalui praktik diskursif yang melibatkan berbagai
praktik kekuasaan, melalui;
a. Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” kaum miskin,
penyandang disabilitas, gembel, orang gila diklasifikasikan karena mekanisme
medikalisasi, stigmatisasi dan normalisasi
b. Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa
pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti contoh “manusia
produktif”
c. Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara
seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek.
II.3 Governmentality dan Bio-Power
Foucault memberikan landasan untuk memahami bagaimana kuasa melalui paktik
berbagai norma dan nilai-nilai yang membentuk “kita” sebagaimana “kita” kini. Pemerintah
dianggap memiliki Bio-Power dalam hal pegendalian dan penataan, relasi dalam berbagai
institusi sosial hingga praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat. Sehingga disatu sisi governmentality secara simultan membentuk
subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga), namun di sisi lain ia juga melakukan
objektivikasi dengan memosisikan serta mentransformasi individu menjadi objek dari kuasa.
Premis Teori
Kata Kunci Pembahasan
Warga Negara Subyektif Penyandang Disabilitas sebagai “The Other”
Pemerintah Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011
Aturan Subyektifikasi Penyandang Disabilitas dalam Aturan Perundang-
Undangan
Page | 8
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut data PUSDATIN dari Kementerian Sosial, pada 2010, jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia adalah: 11,580,117 orang dengan di antaranya 3,474,035
(penyandang disabiltais penglihatan), 3,010,830 (penyandang disabilitas fisik), 2,547,626
(penyandang disabilitas pendengaran), 1,389,614 (penyandang disabiltias mental) dan
1,158,012 (penyandang disabilitas kronis)2
. Penyandang disabilitas dengan macamnya tentu
memerlukan penanganan yang berbeda, tetapi mereka berhak memperoleh kesetaraan
khususnya dalam bidang hukum. Dalam memperoleh kesetaraannya mereka perlu mendapat
dukungan dari pemerintah. Pemerintah dapat memberikan fasilitas lebih yang mereka
perlukan dalam menjalani proses hukum, pemerintah juga mensahkan UU tentang
penyandang disabilitas untuk melindungi hak mereka dalam memperoleh keadilan.
III.1 Penyandang Disabilitas sebagai The Other
Persoalan akses kesetaraan bagi penyandang disabilitas ternyata tidak melulu dilihat
dari kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan
publik, tetapi juga dapat ditinjau dari minimnya akses keadilan (access to justice) untuk
mendapatkan hak yang sama dalam aspek hukum serta identitas sebagai warga negara. Masih
banyak dari masyarakat awam yang memandang bahwa penyandang disabilitas dianggap
sebagai minoritas, individu yang kekurangan, mengalami kesulitan, dan perlu untuk dibantu.
Sehingga bagi apa yang dikatakan Foucault, penyandang disabilitas dianggap sebagai “yang
Lain” (the other).
Bedanya dengan penderita lepra, penyandang disabilitas disini diputus dan
dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik masyarakatnya
tidak dengan cara penahanan atau karantina di rumah sakit umum milik negara, melainkan
melalui pengkategorian fasilitas seperti “kursi untuk disabilitas”, akses kemudahan dalam
mengunakan transportasi publik, serta pelayanan prioritas disegala institusi publik di
masyarakat. Hal positif dari anggapan ini selalu merasuki pemikiran masyarakat mayoritas
2
www.ilo.org diakses pada 27 April 2016 pukul 13:40 WIB.
Page | 9
untuk memprioritaskan penyandang disabilitas dalam kegiatan di lingkungan publik. Namun,
hal negatif justru lebih banyak menghantui mereka.
Para penyandang disabilitas pun sering mengalami nasib kurang menyenangkan.
Entah dikucilkan, dikirim ke panti, atau yang terburuk, dipasung. Kalaupun masih tinggal
bersama keluarganya, hak mereka, seperti warisan, kadang diambil anggota keluarga lain
dengan dalih “mereka tak bisa mengurusnya”. Bahwa, mereka dieksklusikan bukan karena
sakit melainkan karena mereka dianggap tidak produktif secara ekonomis dalam masyarakat.
Sehingga kekurangan fisik dianggap sebagai hambatan untuk “dianggap sama” dengan
masyarakat yang sehat jasmaniah. Persoalan terbaru muncul bahwa terjadi pemerkosaan
terhadap perempuan penyandang disabilitas. Sulitnya mengikuti prosedur hukum dikarenakan
kekurangan yang ada dalam dirinya menghalangi hak-hak penyandang disabilitas ketika
berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai saksi/korban maupun pelaku.
”Polisi terkadang berdalih, „korbannya tuna rungu, bicara saja tidak bisa,
bagaimana mungkin kita mendapatkan bukti‟, padahal bisa menggunakan
penterjemah (bahasa tuna rungu). Ini seringkali menjadi salah satu hambatan
dalam proses peradlilan”,3
Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial (13/08/15)
Karena prosedur hukum yang ada dalam beberapa kasus masih ditafsirkan secara tekstual,
keadilan masih sulit didapatkan bagi kaum penyandang disabilitas. Apalagi ketika korbannya
perempuan seringkali kesaksian mereka justru mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak
mulai dari pelaku kejahatan hingga aparat penegak hukum. Sehingga selain mereka menderita
secara fisik, batinnya –pun tersiksa karena kasusnya tidak terselesaikan.
“Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk
bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika
keluarga tidak menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya,
korban tetap merasakan penderitaannya”4
Siti Mazuma, Koordinator Pelayanan Umum YLBH APIK (30/6/2014)
3
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc60eb88339/penyandang-disabilitas-masih-sulit-akses-
keadilan. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 20.50 WIB.
4
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-sulit-dapatkan-
keadilan-dalam-hukum/. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 20. 59 WIB.
Page | 10
III. 2 Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011
Permasalahan ini merujuk pada suatu praktik diskursif kekuasaan bahwa kepedulian
pemerintah terhadap penyandang disabilitas tertuang dalam UU No 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang mengatakan bahwa
Pasal (1) Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan
berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam
masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Tujuan Konvensi ini adalah untuk
memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan penuh dan setara semua hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk
meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka.5
Agar sesuai dengan Prinsip Konvensi, meliputi:
a. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu; termasuk kebebasan
untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan;
b. Nondiskriminasi;
c. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat;
d. Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian
dari keragaman manusia dan kemanusiaan;
e. Kesetaraan kesempatan;
f. Aksesibilitas;
g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan;
h. Penghormatan atas kapasitas yang terus berkembang dari penyandang disabilitas anak
dan penghormatan pada hak penyandang disabilitas anak untuk mempertahankan
identitas mereka.
Kekuasaan pemerintah Indonesia merupakan praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam bentuk
UU No 19 Tahun 2011 untuk diakui identitas dan kesetaraannya dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga disatu sisi governmentality secara simultan membentuk
subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga/difabel). Namun “keindahan mawar tetap
saja berduri” di sisi lain ia juga melakukan objektivikasi dengan memposisikan serta
(mentransformasi individu/difabel menjadi objek yang ditentukan dari kuasa)
5
UU No. 19 Tahun 2011. http://www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/19%20tahun%202011.pdf Diakses: 26
April 2016. Pukul 22.00 WIB
Page | 11
III.3 Subyektifikasi Penyandang Disabilitas dalam Aturan Perundang-Undangan
Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” penyandang
disabilitas, kekurangan fisik, kutukan, malapetaka, dikucilkan, dikirim ke panti atau yang
terburuk dipasung.6
Merupakan pembagian dari mekanisme medikalisasi, stigmatisasi dan
normalisasi dengan pembelahan lainnya kepada masyarakat mayoritas atau masyarakat yang
sehat jasmaniah. Bahwa terdapat pembedaan bagi “warga sehat” dan “warga difabel”. Modus
Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa pengetahuan
membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti seperti buta, bisu, tuli, tuna rungu, tuna
wicara, dan sebagainya. Yang tentu saja dijelaskan seperti pada UU No. 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat juncto bahwa Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan penyandang
cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelianan fisik dan/atau mental yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan
secara selayaknya yang terdiri dari;
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental;
c. Penyandang cacat fisik dan mental.7
Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara
seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. Apabila pada modus
pembelahan subjek dan klasifikasi ilmiah, subjek dikonstitusi atau dibentuk sedemikian rupa
menjadi objek, dalam subjektifikasi subjek menampilkan dimensi formasi-diri atau dimensi
aktifnya. Yang dimana dalam hal ini terdapat upaya Koalisi Masyarakat Penyandang
Disabilitas mendorong agar RUU tentang penyandang disabilitas bisa segera dilanjutkan ke
tahap pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah.
6
http://www.rappler.com/indonesia/126291-dpr-sahkan-uu-penyandang-disabilitas. Diakses: 26 April 2016,
Pukul: 22.00 WIB.
7
UU No 4 Tahun 1997, http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1997_4.pdf. Diakses: 26 April 2016,
Pukul: 22.00 WIB.
Page | 12
Gambar 1
Bentuk Kegiatan Komunitas Penyandang Disabilitas
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc19b515526/ini-harapan-difabel-terkait-
ruu-penyandang-disabilitas. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 21.30 WIB
Mereka bekerjasama dengan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI),
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK), dan Komnas HAM membentuk suatu kegiatan bertema “Bergerak Untuk
Disabilitas” yang diadakan di Kantor Komnas HAM di Jakarta pada 13 Mei 2015. Tujuannya
untuk mengingatkan DPR akan tugasnya agar bisa segera menyelesaikan setiap tahapan yang
harus ditempuh. Agar secepatnya RUU bisa disahkan menjadi Undang-undang. Diharapkan
dengan kegiatan subjektif ini dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai penyandang
disabilitas yang ternyata memiliki semangat produktifitas dan kesetaraan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan masyarakat mayoritas serta identitas mereka diakui sebagai warga
negara yang memiliki hak setara dalam menjalani kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di
masyarakat.
Page | 13
III.4 Upaya Pemerintah Mewujudkan Kesetaraan Hukum Bagi Penyandang
Disabilitas
Dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tertuang pada
Pasal 16, Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi warganya yang tergolong
kedalam penyandang cacat/difabel. Rehabilitas diarah kan untuk memfungsikan kembali dan
mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacar agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan
dan pengalaman. Bentuk, rehabilitas ini meliputi medic, pendidikan, pelatihan, dan sosial.
Bantuan sosial juga diarahkan untuk membantu penyandang cacat yang tidak mampu,
sudah direhabilitasi, atau yang belum bekerja agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan
sosialnya. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan
dan pelayanan kepada penyandang cacat yang tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya
bergantung kepada orang lain. Tujuannya agar para penyandang cacat dapat memelihara taraf
hidup yang wajar.
Dalam kasus pemerkosaan ini Mentri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan
bahwa prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum disini tidak hanya memfokuskan pada hak
mendapatkan perlakuan yang sama dalam sistem peradilan tetapi juga perlu pelayanan yang
ekstra bagi penyandang disabilitas dalam menindaklanjuti proses peradilan. Menurutnya, dari
prinsip ini akan sangat banyak instrumen aturan lebih rinci yang dibutuhkan. Misalnya, ada
jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara
probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah.8
Namun tetap saja implementasi dilapangan
tidak sesuai dengan dalih-dalih yang tertuang dalam pasal, masih banyak penyandang
disabilitas yang tersegmentasi, terisolasi, bahkan pula terabaikan.
8
Loc,Cit.
Page | 14
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa permasalahan yang dialami oleh
penyandang disabilitas bukan hanya persoalan tentang akses kesetaraan bagi penyandang
disabilitas. Tetapi ternyata juga dapat dilihat dari kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan,
infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga dapat ditinjau dari
minimnya akses keadilan (access to justice) untuk mendapatkan hak yang sama dalam aspek
hukum serta identitas sebagai warga negara.
Hal inilah yang sering dialami para penyandang disabilitas khususnya oleh
penyandang disabilitas perempuan. Dimana mereka sering mengalami tindakan yang kurang
adil di mata hukum. Padahal perlindungan mengenai hak penyandang disabilitas dalam
mengenai persoalan hukum sudah dibuat oleh pemerintah. Dimana pemerintah memberikan
fasilitas lebih yang mereka perlukan dalam menjalani proses hukum, serta pemerintah juga
mensahkan UU tentang penyandang disabilitas untuk melindungi hak mereka dalam
memperoleh keadilan.
Namun pada kenyataanya masih banyak tindakan yang tidak adil yang menimpa para
penyandang disabilitas mengenai aspek hukum. Hal ini menyebabkan banyak sekali dari
mereka yang menjadi korban khusunya yang dialami oleh para wanita penyandang disabilitas
dimana mereka tidak mau mengatasi masalah yang mereka alami melalui proses hukum.
Karena perempuan penyandang disabilitas sering dianggap tidak memberikan kesaksian yang
benar dengan keterbatasan mereka sehingga hakim sulit membuat keputusan pengadilan.
Oleh sebab itu, banyak dari korban perempuan penyandang disabilitas yang menarik proses
hukumnya kembali sehingga mereka tetap dalam penderitaan yang berkepanjangan.
Permasalahan ini kemudian jika dilihat dari tiga pemikiran Michel Foucault mengenai
kewarganegaraan yaitu “The other”, tiga modus objektivikasi subjek, governmentality dan
bio-power sangat menggambarkan apa yang dialami oleh para penyandang disabilitas ini.
Yang pertama mengenai “The Other” ini, Masih banyak dari masyarakat awam yang
memandang bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai minoritas, individu yang
kekurangan, mengalami kesulitan, dan perlu untuk dibantu. penyandang disabilitas disini
diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik
Page | 15
masyarakatnya. Sehingga seperti apa yang dikatakan Foucault, penyandang disabilitas
dianggap sebagai “yang Lain” (the other).
Kedua, mengenai tiga modus objektifikasi subjek. Modus Pertama adalah apa yang
disebut sebagai “Praktik Pembelahan” Merupakan pembagian dari mekanisme medikalisasi,
stigmatisasi dan normalisasi dengan pembelahan lainnya kepada masyarakat mayoritas atau
masyarakat yang sehat jasmaniah. Bahwa terdapat pembedaan bagi “warga sehat” dan “warga
difabel”. Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa
pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti seperti buta, bisu, tuli, tuna
rungu, tuna wicara, dan sebagainya. Yang tentu saja dijelaskan seperti pada UU No. 4 Tahun
1997. Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara
seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. Yang dimana dalam hal
ini terdapat upaya Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas mendorong agar RUU tentang
penyandang disabilitas bisa segera dilanjutkan ke tahap pembahasan bersama antara DPR dan
Pemerintah.
Ketiga mengenai governmentality dan bio-power, dimana kekuasaan pemerintah
Indonesia merupakan praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam bentuk UU No 19 Tahun 2011
untuk diakui identitas dan kesetaraannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga disatu
sisi governmentality secara simultan membentuk subjektivitas individu (membentuk siapa itu
warga/difabel).
IV.2 Saran
Dalam mengurangi permasalahan yang dialami oleh para penyandan disabilitas, perlu
adany kerja sama yang dilakukan baik dari pemerintah maupun terhadap lembaga-lembaga
yang terkait. Agar dapat memfasilitasi apa yang selama ini para penyandang disabilitas alami
yaitu ketidakadilan dalam soal hukum. Selanjutnya agar secepatnya RUU mengenai
disabilitas bisa disahkan menjadi Undang-undang. Agar mereka diakui sebagai warga negara
yang memiliki hak setara dalam menjalani kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di
masyarakat. ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan
hukum secara probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah.9
Selanjutnya melakukan
rehabilitasi terhadap para penyandang disabilitas tersebut. Rehabilitasi diarah kan untuk
memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial
9
Loc,Cit.
Page | 16
penyandang cacar agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan
bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Bentuk, rehabilitas ini meliputi medic,
pendidikan, pelatihan, dan sosial. Agar nantinya mereka dapat mandiri dan dapat
meningkatkan taraf hidupnya. Adapun pemberian bantuan sosial juga diarahkan untuk
membantu penyandang cacat yang tidak mampu, tetapi sudah direhabilitasi, atau yang belum
bekerja agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Page | 17
DAFTAR PUSTAKA
Sumber utama:
Robet, Robertus dan Hendrik Boli Tobi, 2014. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari
Marx sampai Agamben. Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri.
Sumber lainnya:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-
sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-
sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1997_4.pdf.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc60eb88339/penyandang-disabilitas-masih-
sulit-akses-keadilan
http://www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/19%20tahun%202011.pdf
http://www.rappler.com/indonesia/126291-dpr-sahkan-uu-penyandang-disabilitas
www.ilo.org

More Related Content

What's hot

KB 3 Running Notes dan Footnotes
KB 3 Running Notes dan FootnotesKB 3 Running Notes dan Footnotes
KB 3 Running Notes dan Footnotespjj_kemenkes
 
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adatNatal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adatnatal kristiono
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusussesukakita
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnDella Mega Alfionita
 
Teori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. RogersTeori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. RogersAi Nurhasanah
 
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)eka septarianda
 
Peran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi Terorisme
Peran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi TerorismePeran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi Terorisme
Peran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi TerorismeAgus Wibowo
 
hubungan hukum pidana dengan ilmu lain
hubungan hukum pidana dengan ilmu lainhubungan hukum pidana dengan ilmu lain
hubungan hukum pidana dengan ilmu lainRatri nia
 
Teori oligarki
Teori oligarki Teori oligarki
Teori oligarki Launa Usni
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPuspa Bunga
 
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...Nurfaizatul Jannah
 
Jenis kelamin dan gender
Jenis kelamin dan genderJenis kelamin dan gender
Jenis kelamin dan gendersuher lambang
 
Laporan Akhir Magang Fakultas Hukum
 Laporan Akhir Magang Fakultas Hukum Laporan Akhir Magang Fakultas Hukum
Laporan Akhir Magang Fakultas HukumTotok Priyo Husodo
 
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Irvan Berutu
 
KEKERASAN TERHADAP ANAK.ppt
KEKERASAN TERHADAP ANAK.pptKEKERASAN TERHADAP ANAK.ppt
KEKERASAN TERHADAP ANAK.pptmasriani mahmud
 
Kel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarah
Kel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarahKel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarah
Kel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarahAriani Ghomaisha
 

What's hot (20)

KB 3 Running Notes dan Footnotes
KB 3 Running Notes dan FootnotesKB 3 Running Notes dan Footnotes
KB 3 Running Notes dan Footnotes
 
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adatNatal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adat
 
Filsafat hukum
Filsafat hukumFilsafat hukum
Filsafat hukum
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
 
Teori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. RogersTeori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. Rogers
 
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
 
Peran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi Terorisme
Peran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi TerorismePeran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi Terorisme
Peran Masyarakat Dalam Mencegah Aksi Terorisme
 
hubungan hukum pidana dengan ilmu lain
hubungan hukum pidana dengan ilmu lainhubungan hukum pidana dengan ilmu lain
hubungan hukum pidana dengan ilmu lain
 
Teori oligarki
Teori oligarki Teori oligarki
Teori oligarki
 
Alasan pembenar dan pemaaf
Alasan pembenar dan pemaafAlasan pembenar dan pemaaf
Alasan pembenar dan pemaaf
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power point
 
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
MAKALAH “PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA...
 
Jenis kelamin dan gender
Jenis kelamin dan genderJenis kelamin dan gender
Jenis kelamin dan gender
 
Laporan Akhir Magang Fakultas Hukum
 Laporan Akhir Magang Fakultas Hukum Laporan Akhir Magang Fakultas Hukum
Laporan Akhir Magang Fakultas Hukum
 
MASALAH SOSIAL
MASALAH SOSIALMASALAH SOSIAL
MASALAH SOSIAL
 
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
 
KEKERASAN TERHADAP ANAK.ppt
KEKERASAN TERHADAP ANAK.pptKEKERASAN TERHADAP ANAK.ppt
KEKERASAN TERHADAP ANAK.ppt
 
Kel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarah
Kel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarahKel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarah
Kel. 7 tipe tipe negara berdasarkan sejarah
 
Kesetaraan Gender
Kesetaraan GenderKesetaraan Gender
Kesetaraan Gender
 

Similar to Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang Disabilitas

Bantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidana
Bantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidanaBantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidana
Bantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidanaFauzan Alsadilla Hermawan
 
Pendampingan hukum
Pendampingan hukumPendampingan hukum
Pendampingan hukum18kartika
 
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA DALAM SUATU.pptx
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA    DALAM SUATU.pptxPEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA    DALAM SUATU.pptx
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA DALAM SUATU.pptxrima537743
 
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual AnakModul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual AnakECPAT Indonesia
 
Pornografi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Pornografi Dalam Putusan Mahkamah KonstitusiPornografi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Pornografi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusiluthfiwe
 
362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasi
362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasi362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasi
362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasiAditya Setia Basuki
 
Bentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negaraBentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negaraAfni Zul
 
1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdf
1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdf1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdf
1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdfMuhamadRifkiRamadhan
 
Literasi Undang-undang Syariah
Literasi Undang-undang SyariahLiterasi Undang-undang Syariah
Literasi Undang-undang SyariahFarwina Faroque
 
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdfBUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdfbungarhamasta
 
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...AndriKoswara1
 
Uas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowatiUas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowatijuniato
 
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca PerceraianMemastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca PerceraianYayasan Rumah Kita Bersama
 

Similar to Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang Disabilitas (20)

Bantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidana
Bantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidanaBantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidana
Bantuan hukum terhadap kaum difabel korban tindak pidana
 
PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA
PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANAPERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA
PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA
 
Pendampingan hukum
Pendampingan hukumPendampingan hukum
Pendampingan hukum
 
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA DALAM SUATU.pptx
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA    DALAM SUATU.pptxPEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA    DALAM SUATU.pptx
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI TERDAKWA DALAM SUATU.pptx
 
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual AnakModul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
 
Pornografi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Pornografi Dalam Putusan Mahkamah KonstitusiPornografi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Pornografi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
 
362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasi
362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasi362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasi
362666914 hubungan-antara-ham-dgn-negara-hukum-dan-ham-dgn-demokrasi
 
Bentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negaraBentuk pelanggaran hak warga negara
Bentuk pelanggaran hak warga negara
 
1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdf
1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdf1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdf
1406-Article Text-3277-1-10-20180328.pdf
 
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdfPemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
Pemahaman Komunitas Penyandang Disabilitas Muslim terhadap CRPD.pdf
 
Literasi Undang-undang Syariah
Literasi Undang-undang SyariahLiterasi Undang-undang Syariah
Literasi Undang-undang Syariah
 
Hukum Perorangan.pptx
Hukum Perorangan.pptxHukum Perorangan.pptx
Hukum Perorangan.pptx
 
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdfBUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdf
 
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
 
Makalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran hamMakalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran ham
 
Makalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran hamMakalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran ham
 
Makalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran hamMakalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran ham
 
Uas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowatiUas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowati
 
Viktimologi
ViktimologiViktimologi
Viktimologi
 
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca PerceraianMemastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
Memastikan Terpenuhinya Hak Hak Perempuan Pasca Perceraian
 

Recently uploaded

DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxwawan479953
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxDEAAYUANGGREANI
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptPpsSambirejo
 
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024editwebsitesubdit
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfJarzaniIsmail
 
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTXAKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTXIksanSaputra6
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxsalmnor
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxssuser35630b
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptnabilafarahdiba95
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxDedeRosza
 
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxPendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxdeskaputriani1
 
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHANTUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHANwawan479953
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfEniNuraeni29
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"baimmuhammad71
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfIwanSumantri7
 
Modul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptx
Modul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptxModul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptx
Modul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptxRIMA685626
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxJuliBriana2
 
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYSOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYNovitaDewi98
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfAkhyar33
 

Recently uploaded (20)

DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTXAKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
 
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxPendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
 
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHANTUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
Modul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptx
Modul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptxModul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptx
Modul Projek Bangunlah Jiwa dan Raganya - Damai Belajar Bersama - Fase C.pptx
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
 
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYSOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
 

Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan dalam Kasus Kesetaraan Penyandang Disabilitas

  • 1. Page | 1 Kesetaraan Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Hak Sebagai Warga Negara di Bidang Hukum Disusun oleh : TASYA ANDIANA PUTRI Sosiologi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
  • 2. Page | 2 Perempuan Disabilitas Sulit Dapatkan Keadilan dalam Hukum Eky Wahyudi, CNN Indonesia Selasa, 30/06/2015 22:00 WIB Sejumlah penyandang disabilitas mengikuti rangakaian acara Hari Disabilitas, yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial DKI Jakarta, Rabu, 10 Desember 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) Jakarta, CNN Indonesia -- Keadilan masih sulit didapatkan bagi perempuan penyandang disabilitas ketika menghadapi proses hukum. Banyak dari korban penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya karena diskriminasi yang mereka terima dan status mereka yang dianggap tidak cakap hukum. Menurut Siti Mazumah, koordinator pelayanan hukum LBH APIK Jakarta, pada 2014 lembaganya mendampingi enam kasus perkosaan yang dialami perempuan disabilitas. Dari jumlah tersebut hanya satu kasus disabilitas anak yang sampai putusan di pengadilan. Kebanyakan dari korban menarik proses hukumnya kembali. "Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika keluarga tidak menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya, korbannya tetap merasakan penderitaannya," kata Zuma sapaan Siti Mazumah, pada Selasa (30/6). Zuma mengatakan perempuan korban disabilitas mengalami berbagai hambatan dan kesulitan dalam memberikan kesaksian, seringkali kesaksian mereka diragukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu mereka juga kerap mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak mulai dari pelaku kejahatan hingga aparat penegak hukum. "Diamnya seorang disabilitas itu beda. Mungkin intimidasi yang dilakukan penyidik itu tidak dianggap intimidasi, tapi bagi mereka itu merupakan intimidasi," kata Zuma. Selain tidak cakap hukum, kendala bagi penyandang disabilitas mendapatkan keadilan adalah ketiadaan penerjemah memadai dalam proses pengadilan. Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) pasal 178 tercatat penyediaan penerjemah hanya diperuntukan bagi disabilitas jenis tuna wicara dan tuna rungu pada proses kesaksian di pengadilan menyebabkan kepolisian tidak menyediakan penerjemah dalam proses hukum penyandang disabilitas. Zuma mengatakan KUHAP yang ada juga belum mengakomodir kepentingan disabilitas jenis lain seperti pengidap gangguan mental dan intelektual, tuna netra, gangguan perilaku dan hiperaktivitas (ADHO), bipolar, gangguan kesehatan jiwa serta tuna grahita untuk mendapatkan hak akses penerjemah. Zuma mengatakan akses penerjemah sangat penting karena banyak kasus yang tidak berjalan karena tidak ada psikolog serta penerjemah. Korban penyandang disabilitas juga dianggap tidak cakap hukum sehingga keteragan-keterangan yang diberikan mudah dipatahkan. Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan- disabilitas-sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/
  • 3. Page | 3 DAFTAR ISI ARTIKEL BERITA………..………………………………………………………………..1 DAFTAR ISI..……………………..…………………………………………………………2 BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3 1.1 Latar Belakang………………………...………………………….....…………...…..........3 1.2 Rumusan Masalah……………………...…………………………….....……...………….4 BAB II KAJIAN TEORI..……………………………………………....…………………...5 2.1 The Other atau Sang Lain……………………...……………………….......……………...5 2.2 Tiga Modus Objektivikasi Subjek……………………………………………....…………6 2.3 Governmentality dan Bio-Power………………………………………………...………..6 2.4 Premis Teori.......................................................................................................6 BAB III PEMBAHASAN.…………………….………………..………………………….…7 3.1 Penyandang Disabilitas sebagai The Other ………………………………..…..………….7 3.2 Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011…………………..............9 3.3 Subyektifikasi Penyandang Disabilitas Tergolong Kedalam Tiga Modus…………...….10 3.4 Upaya Pemerintah Dalam Mewujudkan Kesetaraan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas………………………………………………………………………………...12 BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………………13 4.1 Kesimpulan………………………………………………………………………...…….13 4.2 Saran……………………………………………………………………………....……...14 DAFTAR PUSTAKA………………………………………...……………………….…….17
  • 4. Page | 4 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perempuan penyandang disabilitas sering mendapat ketidakadilan baik dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang hukum. Perempuan penyandang disabilitas dengan keterbatasan yang dimilikinya sering mendapat perlakuan intimidasi sehingga dalam proses hukum tidak sampai ke pengadilan. Perempuan penyandang disabilitas sering dianggap tidak memberikan kesaksian yang benar dengan keterbatasan mereka sehingga hakim sulit membuat keputusan pengadilan. Oleh sebab itu, banyak dari korban disabilitas seperti korban pemerkosaan yang tidak mendapat keadilan karena proses hukum tidak selesai sampai ke pengadilan. Belum lagi penyandang disabilitas juga sering mendapat intimidasi dari pelaku. Kesaksian dari korban penyandang disabilitas mudah dipatahkan. Oleh sebab itu, banyak dari korban perempuan penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya kembali sehingga mereka tetap dalam penderitaan yang berkepanjangan. Keterbatasan yang mereka alami dalam proses hukum adalah kesaksian mereka yang sulit atau kurang diterima oleh aparat penegak hukum. Dalam poses hukum korban penyandang disabilitas sangat membutuhkan penerjemah yang dapat mengerti maksud ucapan mereka dalam memberi kesaksian.1 Selama ini penyediaan penerjemah dalam proses pengadilan hanya diperuntukkan untuk tuna wicara dan tuna rungu padahal banyak disabilitas lain yang membutuhkan penerjemah dalam proses hukum seperti disabilitas pengidap ganggguan mental dan perilaku. Penyandang disabilitas merupakan warga negara yang memiliki hak untuk memperoleh keadilan dalam bidang hukum. Walaupun mereka memiliki keterbatasan mereka harus tetap memperoleh keadilan. Keterbatasan yang mereka miliki sudah seharusnya dibantu oleh berbagai pihak untuk mempermudah mereka dalam menjalani proses hukum. Mereka tidak boleh didiskriminasi sehingga mereka tidak memperoleh haknya dan terus merasakan penderitaan akibat kejahatan pelaku. Sudah selayaknya korban dari perempuan penyandang disabilitas mendapat fasilitas yang lebih yang mereka butuhkan seperti psikolog (bagi korban penyandang disabilitas gangguan mental) dan penerjemah. 1 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-sulit-dapatkan- keadilan-dalam-hukum/ diakses pada 27 April 2016 pukul 08.43 WIB.
  • 5. Page | 5 Warga negara sering mendapat perlakuan diskriminasi karena kekurangan dan keterbatasan yang dimilikinya misalnya warga negara miskin sering mendapat perlakuan diskriminasi dalam hak memperoleh pendidikan dan kesehatan. Dalam kasus ini penyandang disabilitas mendapat perlakuan diskriminasi dalam memperoleh keadilan dalam bidang hukum. Diskriminasi sering dilakukan oleh orang-orang yang statusnya lebih tinggi kepada mereka yang statusnya lebih rendah. Orang-orang yang statusnya lebih rendah sering menjadi alat dari praktik kuasa, mereka tidak dapat menentangnya karena tidak memiliki kekuatan. Korban penyandang disabilitas mendapat perlakuan diskriminasi dari pelaku kejahatan dan aparat penegak hukum. Pelaku kejahatan dengan kekuatan yang dimilikinya dapat menyuap aparat penegak hukum maupun mematahkan kesaksian dari korban untuk mengintimidasi korban sehingga proses hukum tidak berjalan baik. Proses hukum yang lama akan membuat pihak yang terlibat terutama korban menjadi lelah dan dapat menarik proses hukum sehingga tidak selesai sampai ke pengadilan. Intimidasi dari pelaku membuat korban enggan meneruskan proses hukum yang sedang berjalan. Oleh sebab itu, korban penyandang disabilitas memerlukan bantuan berupa penerjemah dalam memberi kesaksiannya dan perlindungan dari diskriminasi aparat penegak hukum untuk memperoleh haknya di meja pengadilan dan agar pelaku mendapat sanksi yang setimpal atas tindakan yang telah dilakukannya. Dengan begitu setiap warga negara dapat memperoleh haknya termasuk hak dalam bidang hukum. I.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana korban penyandang disabilitas memperoleh haknya sebagai warga negara di ranah hukum? 2. Bagaimana pemikiran Michel Foucault tentang warga negara dalam kasus ini? 3. Apa solusi yang ditawarkan dari pemikiran Michel Foucault dalam kasus ini?
  • 6. Page | 6 BAB II KAJIAN TEORI Michel Foucault (1926-1984) merupakan salah satu filsuf Perancis terpenting di era kontemporer. Dalam pemikirannya mengenai kewarganegaraan, Foucault menyajikan pemahaman yang lebih mendalam guna memberikan dasar mengenai bagaimana warga sebagai sebuah konsep politik terbentuk. Untuk itu ia memang memulai dengan penjelasan mengenai konstitusi subjek atau bagaimana subyek diubah dan dibentuk oleh berbagai klaim kebenaran secara historis. Bagi Foucault siapa itu warga mesti dapat dipahami dalam pertanyaan mengenai bagaimana teknologi kekuasaan bekerja dalam sejarah dalam membentuk siapa itu warga. II.1 “The Other” atau “sang Lain” Pertama-tama Foucault mencoba untuk menganalisa wabah lepra yang menjangkiti seluruh Eropa pada Abad Pertengahan. Penderita lepra dianggap sebagai “sang Lain” (the other) sebagai sumber utama wabah namun harus diperlakukan dengan rasa takut dan hormat. Mereka benar-benar diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik masyarakatnya dengan cara penahanan atau karantina di rumah sakit umum milik negara. Penderita penyakit lepra ini dieksklusikan bukan karena mereka sakit, melainkan karena mereka dianggap tidak produktif secara ekonomis dalam masyarakat. Sehingga muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai siapa itu warga? Foucault memberikan pemahaman bahwa pendefinisian mengenai siapa itu subjek dari luar senantiasa menghasilkan praktik pembelahan. Pertama, subjektifitas seseorang sebagai warga negara merupakan suatu pembelahan dalam kategorisasi “warga yang sehat” dengan “warga yang sakit”. Kedua, bentuk-bentuk konstitusi subjek bersifat tidak tetap dan dideterminasi secara eksternal. Ketiga, determinasi dan konstitusi subjek dihasilkan oleh praktik kekuasaan.
  • 7. Page | 7 II.2 Tiga Modus Objektivikasi Subjek Subjek bagi Foucault bukanlah entitas yang terberi, memandang bahwa manusia setara dan sama “dari sananya” melainkan melalui praktik diskursif yang melibatkan berbagai praktik kekuasaan, melalui; a. Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” kaum miskin, penyandang disabilitas, gembel, orang gila diklasifikasikan karena mekanisme medikalisasi, stigmatisasi dan normalisasi b. Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti contoh “manusia produktif” c. Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. II.3 Governmentality dan Bio-Power Foucault memberikan landasan untuk memahami bagaimana kuasa melalui paktik berbagai norma dan nilai-nilai yang membentuk “kita” sebagaimana “kita” kini. Pemerintah dianggap memiliki Bio-Power dalam hal pegendalian dan penataan, relasi dalam berbagai institusi sosial hingga praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Sehingga disatu sisi governmentality secara simultan membentuk subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga), namun di sisi lain ia juga melakukan objektivikasi dengan memosisikan serta mentransformasi individu menjadi objek dari kuasa. Premis Teori Kata Kunci Pembahasan Warga Negara Subyektif Penyandang Disabilitas sebagai “The Other” Pemerintah Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011 Aturan Subyektifikasi Penyandang Disabilitas dalam Aturan Perundang- Undangan
  • 8. Page | 8 BAB III PEMBAHASAN Menurut data PUSDATIN dari Kementerian Sosial, pada 2010, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah: 11,580,117 orang dengan di antaranya 3,474,035 (penyandang disabiltais penglihatan), 3,010,830 (penyandang disabilitas fisik), 2,547,626 (penyandang disabilitas pendengaran), 1,389,614 (penyandang disabiltias mental) dan 1,158,012 (penyandang disabilitas kronis)2 . Penyandang disabilitas dengan macamnya tentu memerlukan penanganan yang berbeda, tetapi mereka berhak memperoleh kesetaraan khususnya dalam bidang hukum. Dalam memperoleh kesetaraannya mereka perlu mendapat dukungan dari pemerintah. Pemerintah dapat memberikan fasilitas lebih yang mereka perlukan dalam menjalani proses hukum, pemerintah juga mensahkan UU tentang penyandang disabilitas untuk melindungi hak mereka dalam memperoleh keadilan. III.1 Penyandang Disabilitas sebagai The Other Persoalan akses kesetaraan bagi penyandang disabilitas ternyata tidak melulu dilihat dari kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga dapat ditinjau dari minimnya akses keadilan (access to justice) untuk mendapatkan hak yang sama dalam aspek hukum serta identitas sebagai warga negara. Masih banyak dari masyarakat awam yang memandang bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai minoritas, individu yang kekurangan, mengalami kesulitan, dan perlu untuk dibantu. Sehingga bagi apa yang dikatakan Foucault, penyandang disabilitas dianggap sebagai “yang Lain” (the other). Bedanya dengan penderita lepra, penyandang disabilitas disini diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik masyarakatnya tidak dengan cara penahanan atau karantina di rumah sakit umum milik negara, melainkan melalui pengkategorian fasilitas seperti “kursi untuk disabilitas”, akses kemudahan dalam mengunakan transportasi publik, serta pelayanan prioritas disegala institusi publik di masyarakat. Hal positif dari anggapan ini selalu merasuki pemikiran masyarakat mayoritas 2 www.ilo.org diakses pada 27 April 2016 pukul 13:40 WIB.
  • 9. Page | 9 untuk memprioritaskan penyandang disabilitas dalam kegiatan di lingkungan publik. Namun, hal negatif justru lebih banyak menghantui mereka. Para penyandang disabilitas pun sering mengalami nasib kurang menyenangkan. Entah dikucilkan, dikirim ke panti, atau yang terburuk, dipasung. Kalaupun masih tinggal bersama keluarganya, hak mereka, seperti warisan, kadang diambil anggota keluarga lain dengan dalih “mereka tak bisa mengurusnya”. Bahwa, mereka dieksklusikan bukan karena sakit melainkan karena mereka dianggap tidak produktif secara ekonomis dalam masyarakat. Sehingga kekurangan fisik dianggap sebagai hambatan untuk “dianggap sama” dengan masyarakat yang sehat jasmaniah. Persoalan terbaru muncul bahwa terjadi pemerkosaan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Sulitnya mengikuti prosedur hukum dikarenakan kekurangan yang ada dalam dirinya menghalangi hak-hak penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai saksi/korban maupun pelaku. ”Polisi terkadang berdalih, „korbannya tuna rungu, bicara saja tidak bisa, bagaimana mungkin kita mendapatkan bukti‟, padahal bisa menggunakan penterjemah (bahasa tuna rungu). Ini seringkali menjadi salah satu hambatan dalam proses peradlilan”,3 Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial (13/08/15) Karena prosedur hukum yang ada dalam beberapa kasus masih ditafsirkan secara tekstual, keadilan masih sulit didapatkan bagi kaum penyandang disabilitas. Apalagi ketika korbannya perempuan seringkali kesaksian mereka justru mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak mulai dari pelaku kejahatan hingga aparat penegak hukum. Sehingga selain mereka menderita secara fisik, batinnya –pun tersiksa karena kasusnya tidak terselesaikan. “Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika keluarga tidak menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya, korban tetap merasakan penderitaannya”4 Siti Mazuma, Koordinator Pelayanan Umum YLBH APIK (30/6/2014) 3 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc60eb88339/penyandang-disabilitas-masih-sulit-akses- keadilan. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 20.50 WIB. 4 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas-sulit-dapatkan- keadilan-dalam-hukum/. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 20. 59 WIB.
  • 10. Page | 10 III. 2 Bio-Power Pemerintah dalam Bentuk UU No 19 Tahun 2011 Permasalahan ini merujuk pada suatu praktik diskursif kekuasaan bahwa kepedulian pemerintah terhadap penyandang disabilitas tertuang dalam UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang mengatakan bahwa Pasal (1) Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Tujuan Konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan penuh dan setara semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka.5 Agar sesuai dengan Prinsip Konvensi, meliputi: a. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu; termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan; b. Nondiskriminasi; c. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat; d. Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan; e. Kesetaraan kesempatan; f. Aksesibilitas; g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; h. Penghormatan atas kapasitas yang terus berkembang dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan pada hak penyandang disabilitas anak untuk mempertahankan identitas mereka. Kekuasaan pemerintah Indonesia merupakan praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam bentuk UU No 19 Tahun 2011 untuk diakui identitas dan kesetaraannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga disatu sisi governmentality secara simultan membentuk subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga/difabel). Namun “keindahan mawar tetap saja berduri” di sisi lain ia juga melakukan objektivikasi dengan memposisikan serta (mentransformasi individu/difabel menjadi objek yang ditentukan dari kuasa) 5 UU No. 19 Tahun 2011. http://www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/19%20tahun%202011.pdf Diakses: 26 April 2016. Pukul 22.00 WIB
  • 11. Page | 11 III.3 Subyektifikasi Penyandang Disabilitas dalam Aturan Perundang-Undangan Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” penyandang disabilitas, kekurangan fisik, kutukan, malapetaka, dikucilkan, dikirim ke panti atau yang terburuk dipasung.6 Merupakan pembagian dari mekanisme medikalisasi, stigmatisasi dan normalisasi dengan pembelahan lainnya kepada masyarakat mayoritas atau masyarakat yang sehat jasmaniah. Bahwa terdapat pembedaan bagi “warga sehat” dan “warga difabel”. Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti seperti buta, bisu, tuli, tuna rungu, tuna wicara, dan sebagainya. Yang tentu saja dijelaskan seperti pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat juncto bahwa Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelianan fisik dan/atau mental yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari; a. Penyandang cacat fisik; b. Penyandang cacat mental; c. Penyandang cacat fisik dan mental.7 Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. Apabila pada modus pembelahan subjek dan klasifikasi ilmiah, subjek dikonstitusi atau dibentuk sedemikian rupa menjadi objek, dalam subjektifikasi subjek menampilkan dimensi formasi-diri atau dimensi aktifnya. Yang dimana dalam hal ini terdapat upaya Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas mendorong agar RUU tentang penyandang disabilitas bisa segera dilanjutkan ke tahap pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah. 6 http://www.rappler.com/indonesia/126291-dpr-sahkan-uu-penyandang-disabilitas. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 22.00 WIB. 7 UU No 4 Tahun 1997, http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1997_4.pdf. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 22.00 WIB.
  • 12. Page | 12 Gambar 1 Bentuk Kegiatan Komunitas Penyandang Disabilitas Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc19b515526/ini-harapan-difabel-terkait- ruu-penyandang-disabilitas. Diakses: 26 April 2016, Pukul: 21.30 WIB Mereka bekerjasama dengan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Komnas HAM membentuk suatu kegiatan bertema “Bergerak Untuk Disabilitas” yang diadakan di Kantor Komnas HAM di Jakarta pada 13 Mei 2015. Tujuannya untuk mengingatkan DPR akan tugasnya agar bisa segera menyelesaikan setiap tahapan yang harus ditempuh. Agar secepatnya RUU bisa disahkan menjadi Undang-undang. Diharapkan dengan kegiatan subjektif ini dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai penyandang disabilitas yang ternyata memiliki semangat produktifitas dan kesetaraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat mayoritas serta identitas mereka diakui sebagai warga negara yang memiliki hak setara dalam menjalani kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat.
  • 13. Page | 13 III.4 Upaya Pemerintah Mewujudkan Kesetaraan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tertuang pada Pasal 16, Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi warganya yang tergolong kedalam penyandang cacat/difabel. Rehabilitas diarah kan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacar agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Bentuk, rehabilitas ini meliputi medic, pendidikan, pelatihan, dan sosial. Bantuan sosial juga diarahkan untuk membantu penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi, atau yang belum bekerja agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan kepada penyandang cacat yang tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya bergantung kepada orang lain. Tujuannya agar para penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar. Dalam kasus pemerkosaan ini Mentri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum disini tidak hanya memfokuskan pada hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam sistem peradilan tetapi juga perlu pelayanan yang ekstra bagi penyandang disabilitas dalam menindaklanjuti proses peradilan. Menurutnya, dari prinsip ini akan sangat banyak instrumen aturan lebih rinci yang dibutuhkan. Misalnya, ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah.8 Namun tetap saja implementasi dilapangan tidak sesuai dengan dalih-dalih yang tertuang dalam pasal, masih banyak penyandang disabilitas yang tersegmentasi, terisolasi, bahkan pula terabaikan. 8 Loc,Cit.
  • 14. Page | 14 BAB IV PENUTUP IV.1 Kesimpulan Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas bukan hanya persoalan tentang akses kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Tetapi ternyata juga dapat dilihat dari kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga dapat ditinjau dari minimnya akses keadilan (access to justice) untuk mendapatkan hak yang sama dalam aspek hukum serta identitas sebagai warga negara. Hal inilah yang sering dialami para penyandang disabilitas khususnya oleh penyandang disabilitas perempuan. Dimana mereka sering mengalami tindakan yang kurang adil di mata hukum. Padahal perlindungan mengenai hak penyandang disabilitas dalam mengenai persoalan hukum sudah dibuat oleh pemerintah. Dimana pemerintah memberikan fasilitas lebih yang mereka perlukan dalam menjalani proses hukum, serta pemerintah juga mensahkan UU tentang penyandang disabilitas untuk melindungi hak mereka dalam memperoleh keadilan. Namun pada kenyataanya masih banyak tindakan yang tidak adil yang menimpa para penyandang disabilitas mengenai aspek hukum. Hal ini menyebabkan banyak sekali dari mereka yang menjadi korban khusunya yang dialami oleh para wanita penyandang disabilitas dimana mereka tidak mau mengatasi masalah yang mereka alami melalui proses hukum. Karena perempuan penyandang disabilitas sering dianggap tidak memberikan kesaksian yang benar dengan keterbatasan mereka sehingga hakim sulit membuat keputusan pengadilan. Oleh sebab itu, banyak dari korban perempuan penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya kembali sehingga mereka tetap dalam penderitaan yang berkepanjangan. Permasalahan ini kemudian jika dilihat dari tiga pemikiran Michel Foucault mengenai kewarganegaraan yaitu “The other”, tiga modus objektivikasi subjek, governmentality dan bio-power sangat menggambarkan apa yang dialami oleh para penyandang disabilitas ini. Yang pertama mengenai “The Other” ini, Masih banyak dari masyarakat awam yang memandang bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai minoritas, individu yang kekurangan, mengalami kesulitan, dan perlu untuk dibantu. penyandang disabilitas disini diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik
  • 15. Page | 15 masyarakatnya. Sehingga seperti apa yang dikatakan Foucault, penyandang disabilitas dianggap sebagai “yang Lain” (the other). Kedua, mengenai tiga modus objektifikasi subjek. Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” Merupakan pembagian dari mekanisme medikalisasi, stigmatisasi dan normalisasi dengan pembelahan lainnya kepada masyarakat mayoritas atau masyarakat yang sehat jasmaniah. Bahwa terdapat pembedaan bagi “warga sehat” dan “warga difabel”. Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti seperti buta, bisu, tuli, tuna rungu, tuna wicara, dan sebagainya. Yang tentu saja dijelaskan seperti pada UU No. 4 Tahun 1997. Modus Ketiga yakni apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Bagaimana cara seseorang manusia mengubah/mengembalikan diri menjadi subjek. Yang dimana dalam hal ini terdapat upaya Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas mendorong agar RUU tentang penyandang disabilitas bisa segera dilanjutkan ke tahap pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah. Ketiga mengenai governmentality dan bio-power, dimana kekuasaan pemerintah Indonesia merupakan praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam bentuk UU No 19 Tahun 2011 untuk diakui identitas dan kesetaraannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga disatu sisi governmentality secara simultan membentuk subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga/difabel). IV.2 Saran Dalam mengurangi permasalahan yang dialami oleh para penyandan disabilitas, perlu adany kerja sama yang dilakukan baik dari pemerintah maupun terhadap lembaga-lembaga yang terkait. Agar dapat memfasilitasi apa yang selama ini para penyandang disabilitas alami yaitu ketidakadilan dalam soal hukum. Selanjutnya agar secepatnya RUU mengenai disabilitas bisa disahkan menjadi Undang-undang. Agar mereka diakui sebagai warga negara yang memiliki hak setara dalam menjalani kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat. ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah.9 Selanjutnya melakukan rehabilitasi terhadap para penyandang disabilitas tersebut. Rehabilitasi diarah kan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial 9 Loc,Cit.
  • 16. Page | 16 penyandang cacar agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Bentuk, rehabilitas ini meliputi medic, pendidikan, pelatihan, dan sosial. Agar nantinya mereka dapat mandiri dan dapat meningkatkan taraf hidupnya. Adapun pemberian bantuan sosial juga diarahkan untuk membantu penyandang cacat yang tidak mampu, tetapi sudah direhabilitasi, atau yang belum bekerja agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
  • 17. Page | 17 DAFTAR PUSTAKA Sumber utama: Robet, Robertus dan Hendrik Boli Tobi, 2014. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx sampai Agamben. Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri. Sumber lainnya: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas- sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/ http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150630211545-20-63439/perempuan-disabilitas- sulit-dapatkan-keadilan-dalam-hukum/ http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1997_4.pdf. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc60eb88339/penyandang-disabilitas-masih- sulit-akses-keadilan http://www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/19%20tahun%202011.pdf http://www.rappler.com/indonesia/126291-dpr-sahkan-uu-penyandang-disabilitas www.ilo.org