2. SUMBER SEJARAH
• Sumber Dalam Negri
Sumber dalam negri berupa prasasti dan kitab-kitab yang berhubungan dengan kediri. Sumber-sumber
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Prasasti Malenga ditemukan di desa Banjararum, Tuban, Jawa Timur.
b. Kitab Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa ditulis pada tahun 1035.
c. Kitab Baratayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
d. Kitab Smaradhana karya Mpu Dharmaja.
• Sumber Luar Negri
Sukmber sejarah kerajaan kediri yang berasal dari luar negri datang dari Cina. Sumber-sumber tersebut
antara lain sebagai berikut.
a. Kitab Ling-wai-tai-ta disusun oleh Chou Ku Fei tahun 1178.
b. Kitab Chi-fan-chi ditulis oleh Chau Ju Kua.
3. LATAR BELAKANG
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri
berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti
kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang
dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita
dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan
Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan,
melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah
kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan
kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu
Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan
mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di
kota lama, yaitu Kahuripan.
4. LATAR BELAKANG
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin
Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir
sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah
ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama
Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja
Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina
berjudul Ling wai tai ta (1178).
Nama "Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata Khadri yang berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti pohon pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit
kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam
pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan
tradisional.
5. KEHIDUPAN POLITIK
Dalam persaingan antara Panjalu dan Kediri, ternyata Kediri yang
unggul dan menjadi kerajaan yang besar kekuasaannya. Raja terbesar dari
Kerajaan Kediri adalah Jayabaya (1135–1157). Jayabaya ingin mengembalikan
kejayaan seperti masa Airlangga dan berhasil. Panjalu dan Jenggala dapat
bersatu kembali. Lencana kerajaan memakai simbol Garuda Mukha simbol
Airlangga.
Pada masa pemerintahannya kesusastraan diperhatikan. Empu Sedah
dan Empu Panuluh menggubah karya sastra kitab Bharatayudha yang
menggambarkan peperangan antara Pandawa dan Kurawa yang untuk
menggambarkan peperangan antara Jenggala dan Kediri. Empu Panuluh juga
menggubah kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya.
Jayabaya juga terkenal sebagai pujangga yang ahli meramal kejadian
masa depan, terutama yang akan menimpa tanah Jawa. Ramalannya terkenal
dengan istilah “Jangka Jayabaya".
6. KEHIDUPAN POLITIK
Raja Kediri yang juga memperhatikan
kesusastraan ialah Kameswara. Empu Tan Akung
menulis kitab Wartasancaya dan Lubdaka, sedangkan
Empu Dharmaja menulis kitab Smaradahana. Di dalam
kiitab Smaradahana ini Kameswara dipuji-puji sebagai
titisan Kamajaya, permaisurinya ialah Sri Kirana atau
putri Candrakirana.
Raja Kediri yang terakhir ialah Kertajaya yang
pada tahun 1222 kekuasaannya dihancurkan oleh Ken
Arok sehingga berakhirlah Kerajaan Kediri dan muncul
Kerajaan Singasari.
7. KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
Pada masa Kejayaan Kediri, perhatian raja terhadap kehidupan sosial
ekonomi rakyat juga besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan karya-karya sastra saat
itu, yang mencerminkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat saat itu. Di
antaranya kitab Lubdaka yang berisi ajaran moral bahwa tinggi rendahnya martabat
manusia tidak diukur berdasarkan asal dan kedudukan, melainkan berdasarkan
kelakukannya.
Berdasarkan kronik-kronik Cina maka kehidupan perekonomian rakyat Kediri
dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Rakyat hidup dari pertanian, peternakan dan perdagangan.
2. Kediri banyak menghasilkan beras.
3. Barang-barang dagangan yang laku di pasaran saat itu antara lain emas, perak,
gading dan kayu cendana.
4. Pajak rakyat berupa hasil bumi, seperti besar dan palawija.
8. KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
Adapun kehidupan sosialnya sebagai berikut.
1. Rakyat Kediri pada umumnya memiliki tempat tinggal yang baik,
bersih, dan rapi.
2. Hukuman yang dilaksanakan ada dua macam, yakni hukuman
denda (berupa emas) dan hukuman mati (khususnya bagi pencuri
dan perampok).
9. KEHIDUPAN KEBUDAYAAN SASTRA
Di bidang kebudayaan, khususnya sastra, masa Kahuripan dan Kediri
berkembang pesat, antara lain sebagai berikut.
1. Pada masa Dharmawangsa berhasil disadur kitab Mahabarata ke dalam
bahasa Jawa Kuno yang disebut kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun
kitab hukum yang bernama Siwasasana.
2. Di zaman Airlangga disusun kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa.
3. Masa Jayabaya berhasil digubah kitab Bharatayudha oleh Empu Sedah dan
Empu Panuluh. Di samping itu, Empu Panuluh juga menulis kitab
Hariwangsa dan Gatotkacasraya.
4. Masa Kameswara berhasil ditulis kitab Smaradhahana oleh Empu Dharmaja.
Kitab Lubdaka dan Wertasancaya oleh Empu Tan Akung.
10. MASA KEJAYAAN KERAJAAN KEDIRI
Masa kejayaan kerajaan ini terjadi saat kerajaan kediri dipimpin
oleh Raja Jayabhaya. Jayabhaya adalah raja kediri yang sangat terkenal
dengan ramalan-ramalannya, ia juga merupakan seorang sastrawan pada
masanya, ramalan-ramalannya dibukukan dalam sebuah buku yang
berjudul Jangka Jayabhaya.
Pada masa pemerintahannya sekitar tahun 1135 M sampai tahun
1157 M kediri tidak hanya sebagai kerajaan agraris tetapi juga sebagai
kerajaan maritim. Yakni dengan adanya jabatan Senopati Sarwajala yang
dapat disamakan dengan jabatan laksamana atau panglima angkatan
laut, hal ini menunjukkan kemajuan maritim dari kerajaan ini.
11. RUNTUHNYA KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahaan Raja Kertajaya, dimana terjadi
pertentangan antara raja dengan Kaum Brahmana. Raja Kertajaya dianggap melanggar agama
dengan memaksakan mereka menyembah kepadanya sebagai dewa. Kaum Brahmana meminta
pertolongan kepada Ken Arok, pemimpin daerah Tumapel yang ingin memisahkan diri dari Kediri.
Kemudian terjadilah perang antara rakyat Tumapel yang dipimpin Ken Arok dengan Kerajaan Kediri.
Akhirnya pada tahun 1222 Masehi, Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya dan Kerajaan Kediri
menjadi wilayah bawahan Tumapel atau Singhasari.
Sebagai pemimpin di Kerajaan Singhasari, Ken Arok mengangkat Jayasabha (putra Kertajaya)
sebagai bupati Kediri. Jayasabha digantikan oleh putranya Sastrajaya pada tahun 1258. Kemudian
Sastrajaya digantikan putranya Jayakatwang (1271). Jayakatwang berusaha ingin membangun
kembali Kerajaan Kediri dengan memberontak Kerajaan Singhasari yang dipimpin Kertanegara.
Terbunuhlah Raja Kertanegara dan Kediri berhasil dibangun oleh Jayakatwang.
Namun, kerajaan Kediri tidak berdiri lama, Raden Wijaya (menantu Raja Kertanegara)
berhasil meruntuhkan kembali Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Jayakatwang. Setelah itu, tidak
ada lagi Kerajaan Kediri. Demikian lengkap sudah pembahasan terkait Sejarah Kerajaan Kediri,
semoga bermanfaat.
12. SILSILAH RAJA
• Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga
yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
• Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti
apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
• Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan
prasasti Tangkilan (1130).
• Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135),
prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
• Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
• Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
• Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
• Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
• Sri Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti
Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.