1. Dokumen tersebut membahas tentang pandangan Alkitab mengenai politik, dimana dalam Perjanjian Lama sistem pemerintahan Israel awalnya berupa teokrasi dengan Allah sebagai raja, namun kemudian berubah menjadi kerajaan dengan raja manusia. 2. Walaupun demikian, raja hanya berperan sebagai pelaksana kehendak Allah dan legitimasi kekuasaannya berasal dari pengangkatan Allah. 3. Alkitab menekankan bahwa tujuan
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
Gereja dan Politik
1. Pengakuan Iman Gereja dikatakan bahwa: “Pemerintah dan lembaga-lembaganya adalah
alat ditangan Tuhan untuk menyelenggarakan kesejahteraan, keadilan dan kebenaran serta
memerangi kejahatan dalam tanggungjawab kepada Tuhan dan kepada rakyat. Oleh sebab itu kita
wajib mendoakan dan membantu pemerintah agar dapat menjalankan tugasnya sesuai kehendak
Allah untuk kesejahteraan manusia”.
Melalui pengakuan tersebut, Elit gereja secara eksplisit merumuskan prinsip dan
konsepnya tentang peranannya di bidang politik, tetapi belum secara tegas menggambarkan
mengenai peran profesinya jika pemerintah tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.
Telah dilaksanakan pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi kita masih mengalami berbagai
persoalan yang pelik, utang di dalam dan luar negeri yang demikian besar, konflik sosial dan
ancaman disintegrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas, dan rakyat kecil makin
mengenaskan. Inilah potret kehidupan politik di Indonesia pasca reformasi, yang membutuhkan
semua pihak untuk mengawal dan mengembalikan substansi dari cita-cita reformasi termasuk dari
pihak gereja khususnya Elit gereja.
A. Gereja Dan Politik
1. Pengertian Gereja
Istilah Gereja berasal dari bahasa portugis igreja dan melalui bahasa latin ecclesia, yang
keduanya berasal dari bahasa Yunani ekklesia . Kata inilah yang kita jumpai dalam Perjanjian
Baru; misalnya diterjemahkan dengan kata jemaat (dahulu diterjemahkan dengan kata “sidang”
ataupun “sidang jemaat”); jemaat dari segala tempat dan segala abad, persekutuan segala orang
2. percaya; sering juga disebut gereja yang tidak kelihatan (Mat. 16:18); jemaat di suatu kota (Kis
5:11); jemaat yang berkumpul di sebuah rumah (Rm 16:5). Di dunia Yunani kata “ekklesia” (dari
kata kerja “Kaleo”) mula-mula berarti: mereka yang dipanggil keluar, yaitu orang-orang merdeka
yang oleh seorang bentara dipanggil berhimpun untuk menghadiri rapat rakyat.
Jadi dapat dikatakan bahwa Gereja terdapat di mana ada yang dipanggil, mereka dipanggil
untuk berhimpun, yaitu oleh Allah. Istilah ekklesia tidak saja harus diterangkan dengan kata
“dipanggil”, tetapi malah dengan “dipanggil ke luar”. Sebagaimana Abraham telah dipanggil ke
luar dari dunia kafir (Kej 12:1), demikian pulalah gereja dipanggil dari dunia bangsa-bangsa,
“keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib (1 Ptr 2:9; Kol 1:13). Gereja adalah suatu
persekutuan orang-orang yang menyadari, bahwa mereka adalah “orang-orang asing” di bumi ini
(Ibr 11:8-16; Mzr 119:19)
Lebih lanjut menurut Boland dan Niftrik, untuk memahami apa artinya Gereja, ada baiknya
juga memerhatikan kata-kata untuk “Gereja” dalam beberapa bahasa barat, misalnya kata Inggris
“Church”, kata Belanda “Kerk” dan kata Jerman “Kirche”. Agaknya kata-kata itu berasal dari kata
Yunani kyriake. Kata sifat ini dipakai untuk apa yang tergolong kepada Kyrios, apa yang menjadi
milik Kyrios. Itulah Gereja yakni orang-orang yang mengaku menjadi milik Yesus Kristus. Jika
Gereja bukanlah Gereja Kristus, ia sama sekali tidak dapat disebut Gereja.
Menurut Eka Darmaputra baik secara eitimilogis maupun semantik, Gereja adalah orang-
orangnya. Sebagaimana dikatakan dengan tepatnya oleh Martin Luther bahwa Gereja adalah
sebuah kongregasi, sebuah assembly, sebuah komunitas. Pendek kata Gereja adalah sebuah
persekutuan. Persekutuan di dalam Kristus. Persekutuan dengan Kristus.
B. Misi Gereja
3. David W. Ellis dalam bukunya, "Gumulan Misi Masa Kini", memberikan suatu definisi
misi sebagai berikut: Misi adalah panggilan yang tritunggal untuk menyatakan Kristus kepada
dunia dengan jalan proklamasi, kesaksian, dan pelayanan supaya dengan kuasa Roh Kudus, Allah,
dan firman-Nya, manusia dibebaskan dari egoisme dan dosanya dan dengan tindakan Allah
dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah dengan jalan percaya akan Dia melalui Yesus Kristus,
yang diterimanya sebagai Juru Selamat pribadinnya, dan dilayaninya sebagai Tuhannya dalam
persekutuan tubuh-Nya, yaitu gereja, untuk kemudian menyatakan Dia kepada dunia.
Definisi ini tampaknya merupakan definisi yang sederhana, ringkas, tetapi juga padat. Di
dalam definisi ini sudah tercakup hal-hal yang tergolong sebagai tindakan misi, yaitu:
1. Proklamasi (gereja terpanggil untuk memproklamirkan Kristus kepada dunia).
2. Kesaksian (gereja terpanggil untuk hidup seperti Kristus di dunia dengan kesalehan dan
keesaan-Nya), dan
3. Pelayanan (gereja terpanggil untuk melayani dan menjalani aksi-aksi sosial dengan kasih
Kristus bagi dunia).
Sejarah gereja mencatat bahwa di dalam Kisah Rasul pasal 2, diceritakan tentang
pemberitaan yang dilakukan oleh Gereja. Rasul Petrus mendasarkan khotbahnya itu atas kitab suci
dan dengan demikian ia sampai pada kesaksian tentang Yesus Kristus sebagai Kyrios yang telah
disalibkan, mati dan bangkit. Di mana pemberitaan itu berlangsung, di situlah terdapat apa yang
dinamai Gereja, Menurut Kis 2, dalam Gereja yang baru berdiri tersebut dilayankan dua sakramen
yakni Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Mereka juga selalu bertekun dalam doa (Kis 2:42)
dan menaruh perhatian terhadap pekerjaan sosial (ayat 45). Dengan demikian misi Gereja adalah
menjadi alat yang dipergunakan oleh Allah untuk membuat manusia memperoleh keselamatan.
4. Menurut Widi Artanto tentang misi gereja, dalam kaitannya dengan Gereja dan Dunia
bahwa: “ Jika Gereja tidak dapat digambarkan sebagai sumber misi, gereja juga bukan tujuan misi.
Gereja harus menyadari karakternya yang bersifat sementara. Kata terakhir bukan Gereja,
melainkan kemuliaan bagi Allah Bapa dan Putra dan Roh Kebebasan, dengan kata lain, sumber
dan tujuan misi adalah kerajaan Allah. Gereja ada di dalam dunia sebagai tanda dan sarana kerajaan
Allah. Gereja menjadi sakramen keselamatan bila di dalamnya tanda-tanda kerajaan Allah nampak
dengan jelas: perdamaian, keadilan, kebenaran dan kehidupan baru dalam cinta kasih.
Gereja yang hidup adalah gereja yang bermisi, gereja yang sungguh-sungguh dan setia
mencoba menjalankan setiap aspek kebenaran firman Tuhan di dalam kesehariannya. Memang itu
bukan hal yang gampang, tetapi bukan tidak mungkin dicapai dan dilakukan. Pasti ada konflik dan
pertentangan yang akan terjadi, tetapi kalau kita semua mau setia dan tunduk diri di bawah
kebenaran firman Tuhan dan bersama-sama menjalankannya, niscaya pertentangan itu dapat
diselesaikan bersama-sama. Menurut Zakaria J. Ngelow, Gereja tidak menjadi subyek dari dirinya
dengan visi dan misinya sendiri. Gereja adalah alat yang membuka diri untuk dipakai Tuhan
mewujudkan keadilan-Nya bagi dunia. Gereja diutus untuk bekerja sehingga hukum, keadilan, dan
perdamaian dialami sebagai tanda-tanda pemerintahan kerajaan Allah di dalam dunia. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tujuan misi adalah untuk mengingatkan Gereja selaku anggota
Tubuh Kristus, mengenai tugas dan hakikat keberadaan yang sesungguhnya di dunia ini.
Kristus tidak pernah memanggil kita untuk duduk tenang menikmati keselamatan yang
telah dianugerahkan-Nya, tetapi Dia memerintahkan "... supaya kamu memberitakan perbuatan-
perbuatan besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya
yang ajaib" (1 Petrus 2:9).
5. Hakikat Gereja sebagai komunitas (persekutuan) yang hidup, persekutuan di dalam dan
dengan Kristus. Kristus adalah satu-satunya sumber penghiburan dan pengharapan, bahkan dasar
motivasi serta pusat kesaksian dan pelayanan Gereja. Karena kekuasaan dan kasih Kristus tidak
terbatas dan tidak mengenal tapal batas, maka pelayanan dan kesaksaian Gereja pun tidak terbatas
pada manusia atau wilayah kehidupan tertentu, tidak terkecuali kehidupan politik.
Oleh karena itu, Gereja adalah alat untuk suatu tujuan, Gereja adalah alat untuk
melaksanakan misi Allah dan melanjutkan misi Kristus di dunia. Gereja bukan tujuan pada dirinya
sendiri. Secara fungsional Geraja sebagai komunitas yang hidup dan bertumbuh mestinya
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi tertama bagi dunia
dan berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan berpolitik.
C. Pandangan Alkitab Mengenai Politik
Setelah memahami Gereja dan misinya serta pemahaman tentang politik, maka penulis
akan memaparkan pandangan Alkitab tentang Politik. Istilah politik tidak dijumpai secara tersurat
dalam Alkitab. Namun perlu disadari bahwa di dalam Alkitab tersirat bagian-bagian tentang
bagaimana Umat Allah atau Gereja hadir di tengah-tengah masyarakat dan menata kehidupan
bersama.
a. Pandangan Perjanjian Lama
Perjanjian Lama, Allah Memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya, mulai dari pemanggilan
Abraham (Kej 12) hingga berdiri satu bangsa, yaitu Israel. Bangsa Isarel sebagai suatu bangsa
dalam menata kehidupannya diatur oleh konstitusi yakni Dekalog dan diperintah oleh Raja yakni
Allah sendiri (YHWH), terbukti dalam nyanyian Musa yang menyimpulkan bahwa: “Tuhan
memerintah kekal selama-lamanya” (Kel. 15:8). Sistem pemerintahan Isarel pada mulanya adalah
pemerintahan teokrasi yaitu pemerintahan yang berasal dari Allah. Perjanjian Lama menyaksikan
6. bahwa peranan ini dilaksanakan melalui orang-orang yang dipanggil Allah untuk menjadi
pemimpin khusunya para hakim dan nabi. Namun dalam perjalanannya sistem pemerintahan itu
berubah menjadi Kerajaan. Terbentuknya kerajaan di Israel dimulai dari sikap bangsa Israel yang
meminta seorang raja kepada Samuel untuk memerintah mereka sama seperti bangsa-bangsa lain.
Alasan bangsa Isarel meminta seorang raja adalah bahwa Samuel sudah tua dan tidak mampu lagi
memerintah Israel dan anak-anak Samuel yang diangkat menjadi hakim tidak hidup sama seperti
ayahnya (I Samuel 8:1-3), serta alasan supaya ada raja yang menghakimi dan memimpin meraka
dalam perang (I Samuel 8:20).Tindakan bangsa Israel yang meminta seorang raja merupakan tanda
penyelewengan kepada Tuhan. Pencarian seorang raja adalah bukti mereka tidak percaya bahwa
Allah adalah Raja satu-satunya atas mereka dan yang akan menyelamatkan mereka ( bnd I Samuel
8: 7-8). Walaupun demikian Allah tetap mengabulkan permintaan bangsa Israel tentang seorang
raja atas mereka, yakni memilih Saul. Penobatan itu dimaksudkan untuk memimpin dan
menyelamatkan umat Allah, yaitu Isarel dan ancaman-ancaman yang masuk dari sekitarnya ( bnd.
1 Samuel 9:15-16, 17; 10:1). Dalam bagian lain, Alkitab menyatakan bahwa walaupun bangsa
Israel memiliki raja, tetapi tetap ada perasaan bahwa raja hanyalah pelaksana kehendak Allah,
sehingga ukuran keberhasilan raja berkaitan erat dengan ketaatannya kepada Allah atau sejauh
mana dia mengabdi kepada Allah. Legitimasi bahwa walaupun raja melaksanakan tugas
kenegaraan, selalu berada dalam pengukuhan yaitu dilantik atau diangkat oleh Allah, nampak
dalam Mazmur 2 tentang penobatan seorang raja, Mazmur 72 yang menggambarkan doa harapan
untuk raja.
Mazmur 72 adalah bagian penutup dari “doa-doa Daud” (Mazmur 51-72; lihat ayat 20), yang
secara khusus berisi doa untuk raja dan putera mahkota, dan diduga merupakan teks liturgi pada
upacara penobatan atau peringatan penobatan raja (Mzm 2; 21; 101; dan 110). Doanya memohon
7. supaya pemerintahan baginda mewujudkan keadilan bagi kaum lemah, pembebasan bagi yang
tertindas, dan kesejahteraan bagi yang miskin. Mazmur doa ini mengungkapkan hakekat
penyelenggaraan kekuasaan, yakni menegakkan keadilan dan menyelenggarakan kesejahetaraan
bagi rakyat. Studi-studi Kitab Mazmur pada beberapa dekade terakhir antara lain terkonsentrasi
pada kesatuan seluruh Mazmur sebagai satu kitab, yang dikumpulkan dan diedit dengan saksama
penggolongan dan posisinya dalam keseluruhan kumpulan mazmur.Maka sekalipun setiap
Mazmur mempunyai penekanannya sendiri, editor memilih dan mengatur susunannya dalam suatu
visi teologis. Kekuasaan dan pemerintahan salah satu pokok penting dalam teologi Kitab Mazmur,
baik dalam kaitan dengan penderitaan umat Tuhan, maupun sehubungan dengan pengharapan
mesianik. Konteks historis kodifikasi mazmur-mazmur – sebagai kitab nyanyian ibadah di Bait
Allah Yerusalem -- adalah kehidupan umat Allah pada periode (pasca) pembuangan, yakni ketika
mereka telah kehilangan kedaulatan dan monarkhi nasionalnya, bahkan mereka sempat digiring
sebagai tawanan ke negeri asing, jauh dari tanah airnya. Dalam keadaan itu syair-syair liturgis
mengenai Tuhan selaku Sang Raja, dan mengenai penguasa sebagai pelaksana kehendak Tuhan
mendapat makna baru dalam penghayatan iman umat Tuhan yang menderita. Dalam situasi itu
gagasan-gagasan eskatologis raja mesianis dikembangkan. Dalam kelompok mazmur yang
disebut Mazmur-mazmur Rajani dikedepankan dua penekanan, yakni YHWH itulah Raja, dan
nubuatan raja messianik. Dalam penekanan pada YHWH sebagai Sang Raja, diletakkan harapan
iman bahwa Dialah yang dahulu sebelum ada kerajaan telah menjadi perlindungan dan pemersatu
umat; dan akan tetap menjadi sandaran ketika monarki telah hilang oleh penguasaan bangsa asing.
Karena itu penyair mengedepankan kearifan dari ikatan perjanjian dengan YHWH untuk semata-
mata berharap pada YHWH, Sang Raja, dan membuang pengandalan pada kekuatan manusia
(Mzm 33:16,17; 118: 8,9 band. Yes 31:1; Yer 17: 5-7; Hos 10:13). Dalam penekanan kedua
8. mengenai nubuatan mesianik, dinyatakan bahwa Tuhan merancang pemulihan kerajaan mesianik
melalui keturunan Daud, yang akan menyelenggarakan pemerintahan ideal bagi umat-Nya dan
bahkan seluruh bangsa-bangsa. Pengharapan mesianik mengandung idealisme penyelenggaraan
kekuasaan yang menegakkan keadilan bagi rakyat kecil: “Kiranya ia memberi keadilan kepada
orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin, tetapi meremukkan
pemeras-pemeras!” (72:4). Tema ini merupakan gema dari pemberitaan para nabi, yang sekaligus
kritik kepada kelaliman para penguasa zamannya, dan nubuatan kerajaan mesianik (lihat Yes 9:6
dst; 11: 1 dst; Yer 23:5,6). Raja Israel dituntut untuk melakukan kehendak Allah, yaitu
memberlakukan hukum Allah dan menegakkan keadilan, membela yang lemah dan miskin (Yer.
33:15) memberlakukan hukum Taurat ( 2 Raja-raja 23:2; 2 Taw. 17:7; Hakim-hakim 17:6).
Apabila raja-raja tidak memberlakukan kehendak Allah, tidak menegakkan hukum, tidak
mencapai keadilan dan membiarkan orang-orang lemah dan miskin dikorbankan bagi kesemarakan
kerajaan, maka Allah mengutus nabi-nabi untuk menasehati dan mengutuk raja yang tidak
melakukan kehendak Allah (Amos 2:4-8).Dalam prinsip etika politik Alkitabiah, suatu
pemerintahan yang baik memang terfokus dalam ketiga urusan ini: penegakan hukum yang tidak
berat sebelah, keadilan bagi orang miskin, dan pembebasan warga dari penindasan dan kekerasan.
Syair mazmur-mazmur yang terkait dengan peran kekuasaan berulang-ulang mengungkapkan
pemerintahan ideal adalah yang menyahuti seruan orang berkekurangan, yang peduli orang miskin,
dan yang menentang kekerasan melainkan mengupayakan damai. Di balik etika itu terdapat
pengakuan bahwa para penguasa yang memihak pada pemulihan kaum yang lemah, miskin dan
tertindas adalah “wakil” Allah. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam Perjanjian Lama yang
menetukan sistem perpolitikan, khususnya di kalangan bangsa Israel dalam menata kehidupan
9. bersama adalah ketaatan kepada Allah yang ditandai dengan berlakunya hukum Taurat dan
keadilan.
b. Pandangan Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru dapat ditemukan bebarapa ayat yang menyangkut hubungan umat
dengan pemerintah termasuk di antaranya ucapan Yesus dalam Injil Markus 12:17; Matius 22:21.
Ini adalah jawaban atas pertanyaan orang-orang tentang apakah diperbolehkan membayar pajak
kepada Kaisar atau tidak. Dari sini terlihat bahwa ada jarak antara kekuasaan Allah dan
pemerintah. Kuasa dan wewenang raja tidaklah mutlak. Bagi Yesus hanya Kerajaan Allah saja
yang mutlak. Menurut Paulus Budi Kleden, Jawaban Yesus itu amat bijaksana dan sama sekali
tidak menunjukkan sebah pemisah yang tegas antara kuasa Kaisar dengan kuasa Allah, tetapi
menyingkapkan sebuah relasi saling mempengaruhi antara keduanya. Kalau dikatakan bahwa
kepada kaisar harus diberikan apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi
hak Allah, maka relasi timbal balik itu terletak pada hal pembatasan kedua kuasa itu. kuasa Allah
berperan untuk membatasi kuasa kaisar dan kuasa kaisar yang terbatas itu ada untuk
mengungkapkan adanya kuasa Allah. Kuasa Allah itu ada dan diakui agar kuasa Kaisar tidak
menjadi tak terbatas. Kuasa kaisar yang demikian pada gilirannya akan memberikan kesaksian
akan adanya kuasa Allah. Dengan demikian ayat tersebut tidak dapat dilihat sebagai pembenaran
untuk pemisahanan dan pengkotak-kotakan kekuasaan, seolah-olah kekuasaan yang satu tidak
memiliki relevansi bagi kekuasaan lainnya.Dalam kaitannya dengan pandangan Paulus, dapat
dirujuk pada surat Roma 13:1-7. Pada bagian ini nampak pandangan Paulus tentang hubungan
orang percaya dengan pemerintah jemaat dihimbau untuk tidak perlu takut kepada pemerintah,
karena pemerintah adalah “hamba Allah”. Jemaat wajib menghormati dan menaati pemerintah
sejauh pemerintah itu bertindak sebagai hamba Allah. Di dalam surat-surat Paulus yang lain
10. dijumpai pandangan bahwa pemerintah tidaklah mutlak kuasanya. Tidak ada penguasa di bumi ini
yang kekal, semuanya akan ditiadakan pada waktunya ( I Kor 2:6). Bagi Paulus semua yang ada
di langit, di atas, di bawah bumi, bertekuk lutut mengaku “Yesus Kristus adalah Tuhan bagi
kemuliaan Bapa (Fil 2:10).Bagian lain yang penting dalam Perjanjian Baru, yang memiliki latar
belakang pada suasana politik kerajaan Romawi adalah surat Wahyu yakni Wahyu 13. Dari sini
ditekankan bahwa pemerintah yang memutlakkan dirinya dan menganggap dirinya mahakuasa,
maka dia bagaikan binatang buas. Pemerintah yang demikian adalah seteru Allah dan bukan hamba
Allah.Tema yang sama dikemukakan oleh Yesus pada saat berada di hadapan Pilatus bahwa:
“engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan dari atas”
(Yoh 19:4). Demikian juga Pertus mengatakan bahwa “tunduklah, karena Allah kepada semua
lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada
wali-wali yang diutus-Nya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati
orang-orang yang berbuat baik” (I Petrus 2:13,14). Dengan demikian Pemerintah tidak memiliki
kuasa mutlak, oleh karena itu harus dikritik dan dikoreksi jika tidak menjalankan tugasnya sebagai
“hamba Allah”.
D. Hubungan Antar Gereja Dengan Negara
Hubungan antara Gereja dan Negara merupakan persoalan yang menjadi perdebatan
dalam sejarah partisipasi Gereja dalam politik, bahkan menurur Andreas A. Yewangoe hubungan
antara Gereja dan Negara bukanlah sesuatu yang gampang untuk dirumuskan. Sejarah sudah
memperlihatkan kepada kita, bahwa, bukan tidak jarang perlombaan untuk saling mendominasi
satu terhadap yang lainnya. Dalam kasus Gereja-Negara, Negara mendominasi Gereja, sehingga
segala sesuatu yang berlaku di dalam Gereja ditentukan oleh Negara. Sejak Konstantin Agung (4
M) menjadi Kristen, kecenderungan Negara untuk ikut menentukan apa yang baik dan tidak baik.
11. Di Indonesia khusunya pada zaman kolonial, kita juga menghadapi kasus yang serupa. Pemerintah
kolonial Belanda antara lain menempatkan apa yang disebutnya “Commisarissen” di dalam
majelis-majelis Jemaat ‘De Indische Kerk’, yang pada waktu itu merupakan Gereja-Negara, yang
berfungsi sebagai yang mewakili kepentingan-kepentingan Negara.
Menurut Donald Jay Losher, secara umum pandangan mengenai hubungan antara Gereja
dan Negara dibagi menjadi tiga kategori yaitu pemisahan ketat, asimilasi dan interaksi. Pemisahan
ketat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Negara, karena kaum kristen memilih sendiri untuk tidak
berperan di bidang politik atau sosial. Asimilasi juga tidak mampu karena kaum beragama telah
dikuasai oleh pemerintah dan ideologinya, sehingga hanya mampu menerima segala kebijakan
secara pasif. Baik asimilasi maupun pemisahan ketat tidak mampu memegang peranan aktif
dalam perubahan sosial dan politik. Sikap interaksilah yang mampu bertahan lama dalam periode
kontemporer, karena transformasi dan pembebasan memegang peranan jauh lebih aktif dan positif,
meskipun juga dengan resiko yang lebih besar namun memegang peranan paling aktif, kritikal dan
positif terhadap Negara dan masyarakat.
Berbeda dengan Zakaria J. Ngelow yang membaginya ke dalam 5 model yakni: kesatuan
Gereja dengan Negara, yang memberi Gereja kuasa atas Negara. Yang disebut ecclesiocracy;
kesatuan Gereja dengan Negara, yang memberi Negara kuasa atas Gereja. Yang disebut
erastianism; suatu kesatuan denominasi gereja tertentu dengan Negara. Yang disebut sebagai The
Establishment Principle; suatu pengakuan resmi atas otoritas pemerintahan Yesus Kristus dan
Firman-Nya oleh Negara. Yang disebut sebagai National confessionalism; dan pemisahan penuh
antara Gereja dan Negara dalam segala hal. Yang disebut sebagai securalism.
Relasi Gereja dan Negara dalam Perjanjian Baru mengekspresikan politik sebagai
sesuatu wilayah tertentu (provisional) yang terpisah dari kehidupan Gereja ada kecenderungan
12. untuk berfokus pada ritual agama yang menyangkal perbuatan daging dan hal-hal yang bersifat
sekuler. Umat menganggap bahwa urusan politik adalah urusan sekuler dan harus dijauhi. Hal ini
tampak dengan adanya komunitas esene yang tinggal di gua Qumran pada abad pertama. Mereka
menantikan datangnya Mesias yang mampu membebaskan dari hegemoni Roma. Sikap seperti ini
dapat dikategorikan dalam model pemisahan ketat atau secularism.
Menurut Calvin sebagaimana yang dikutip oleh Andreas A. Yewangoe mengenai hal
tersebut bahwa hubungan Gereja dengan Negara merupakan dua lingkaran yang pusatnya adalah
Yesus Kristus. Jadi baik negara maupun gereja berpusatkan satu pusat saja yaitu Yesus Kristus.
Dengan kata-kata lain, baik pelayanan gereja maupun pelayanan negara bersumber dari sumber
yang satu yaitu Yesus Kristus. Hanya memang lingkup pelayanan mereka berbeda. Yang satu
mungkin lebih terbatas, sedangkan yang lainnya lebih ”luas”. Marthin Luther pada pihak lain
berbicara mengenai dua kerajaan yang terpisah, namun terdapat juga tititk-titik singgung di antara
keduanya. Bagaimana menempatkan secara persis titik-titik singgung itu, tentu dibutuhkan
pemahaman mendalam dan kepekaan luar biasa menyiasati apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa Gereja dan Negara memiliki tanggung
jawab yang sama yakni untuk mensejahterakan rakyat (umat). Keduanya tidak saling
mengintervensi. Negara menjamin kebebasan bagi warga gereja untuk menjalankan ibadahnya
sesauai dengan keyakinannya, dan Gereja memiliki tanggung jawab untuk memberi kritikan bagi
terselenggaranya kehidupan bernegara yang adil bagi semua orang.
E. Strategi Atau Model Peran Politik Gereja
13. Setelah memahami hubungan antara Gereja dengan Negara, baik dalam konteks yang lebih
luas, maupun dalam konteks Indonesia, maka selanjutanya penulis akan memaparkan tentang
Strategi atau model peran politik Gereja di Indonesia.
1. Model Yusuf – Daniel
Yang dimaksudkan dengan Model Yusuf-Daniel adalah peran politik warga Gereja di
Indonesia, yang berusaha untuk masuk dalam “lingkaran kekuasaan”. Hal ini nampak dari
pendirian partai Kristen dan ketelibatan dalam partai non Kristen, yang telah mengantar beberapa
tokoh-tokoh Gereja menduduki jabatan yang strategis dalam pemerintahan mulai dari zaman
pergerakan nasional sampai pada era reformasi.Tokoh Yusuf diceriterakan dalam kejadian 37:1-
50:26, Ia dijual oleh saudara-saudaranya ke Mesir dan di sana ia memperlihatkan prestasi yang
cukup gemilang, ia dapat mengalahkan godaan dari istri Potifar, berhasil menafsirkan mimpi para
tahanan dan mimpi Firaun dan juga memberi nasihat praktis yang segera diterima oleh Firaun.
Prestasi inilah yang mengantarkan Yusuf sebagai penguasa atas istana, sehingga ia bertanggung
jawab atas keuangan Mesir dan walaupun Yusuf telah menjadi petinggi di Mesir, dia tidak pernah
mendendam terhadap saudara-saudaranya bahkan tergerak hatinya untuk membantu mereka.
Demikian pun yang dialami oleh Daniel, Ia adalah salah seorang pengawas dari seratus dua puluh
provinsi kerajaan. Walaupun dia berada dalam lingkaran kekuasaan, ia tetap mempunyai integritas
hal ini terbukti ketika ada surat keputusan dari raja bahwa barang siapa selama tiga puluh hari
menyampaikan permohonan kepada salah satu dewa atau manusia, kecuali kepada raja, akan
dilemparkan ke dalam gua singa. Tetapi Daniel tetap menjalankan kebiasaannya yakni berdoa
kepada Allah, yang membuat dia dihukum, tetapi Ia tetap diselamatkan oleh Allah yag
disembahnya (Daniel 6:2-29). Sejak zaman pergerakan partisipasi kalangan Kristen Indonesia
memberi perhatian diarahkan pada perjuangan untuk membela pemisahan negara dan agama. Pada
14. periode demokrasi liberal ketika Konstituante berusaha menyusun Konstitusi baru muncul
pertarungan antara ideologi Pancasila atau ideologi Islam. Jelas pihak Kristen membela Pancasila.
Di bawah kepemimpinan Mulia, Leimena , Tambunan dll masa itu sampai tahun 60-an dianggap
masa jaya partisipasi politik Kristen melalui Parkindo, yang merupakan satu-satunya partai
Kristen. Pada Pemilu tahun 1955 Parkindo mendapat 16 kursi di Konstituante dengan 1.003.326
suara (2,66%). Pada awalnya tidak banyak dukungan kepada Parkindo. Pada rapat pembentukan
partai Kristen (mula-mula namanya Partai Kristen Nasional, PKN), tgl 6 November 1945,
berkembang pemahaman menentang adanya partai politik Kristen. Ds. Probowinoto (Ketua
terpilih menggantikan W.Z. Johannes pada Kongres bulan Desember 1945) mengungkapkan 3
pandangan yang menolak: para politikus Kristen lebih baik menyebar dalam partaipartai sekuler
yang programnya dapat diterima orang Kristen; umat Kristen terlalu lemah dari segi sumber daya;
dan politik pekerjaan kotor yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Pada thn 1952 Leimena
menunjuk pada 3 kelompok orang-orang yang mempertanyakan partisipasi Kristen dalam
Indonesia merdeka: kelompok yang tidak mendukung kemerdekaan Indonesia; kelompok yang
dibingungkan oleh keadaan masyarakat yang tidak menentu; dan kelompok yang mengasingkan
diri dari urusan negara. Parkindo menjadi wakil umat Kristen dalam dinamika percaturan politik
nasional dari masa Revolusi, Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin sampai awal Orde Baru.
Cukup mencolok bahwa Parkindo merupakan satu-satunya partai politik Kristen. Memang ada
juga sejumlah intelektual atau politisi Kristen di luar kelembagaan gereja yang memilih aktivitas
politiknya di luar Parkindo dalam partai-partai sekuler. PARKI (partai Kristen Indonesia)
pimpinan Melanchton Siregar di Sumatera Utara menggabungkan diri ke Parkindo pada tahun
1947. Peran utama Parkindo dapat diletakkan dalam konteks sosial-politik dan kegerejaan masa
itu. Pertama-tama struktur kepemimpinan gereja dan politik umat Kristen hampir berimpit dari
15. pusat sampai ke jemaat-jemaat, khususnya dalam lingkungan DGI. Para pendeta, pimpinan gereja
dan majelis jemaat sekaligus pengurus Parkindo. Sementara itu Kekristenan Indonesia belum
secara tajam terbelah antara kaum ekumenis dan kaum Injili, dan masih cukup kuatnya patronase
“gereja induk”. Selain itu, juga karena rendahnya tingkat kecelikan politik umat Kristen sehingga
gampang diekploitasi secara emosional-primordial dari sudut agama. Dan sekalipun
kepemimpinan gereja mengalami berbagai masalah, belum terjadi konflik serius yang mengarah
ke perpecahan. Singkatnya, Parkindo mendapat dukungan langsung gerejagereja dalam
menghadirkan kesaksian Kristen dalam percaturan politik di Indonesia. Apakah Parkindo berhasil?
Ketokohan para pimpinannya dalam pentas politik nasional, seperti a.l. J. Leimena, M. Tambunan,
Ds. W.J. Rumambi dan A.M. Pasila mungkin dapat dibanggakan. Bagaimanapun, secara teologis
harus diakui bahwa dengan segala kekurangannya Parkindo dan seluruh jajarannya di pusat dan di
daerah telah dipakai Tuhan untuk membawa kesaksian Injil Kristus di tengah-tengah perjalanan
sejarah bangsa kita. Dalam pengakuan itu pertanyaan kritis tetap perlu diajukan. Apakah kesaksian
Kristen oleh Parkindo dalam percaturan politik di Indonesia memang telah dijalankan dengan setia
menyatakan suara kenabian terhadap berbagai ketimpangan dalam pemerintahan dan masyarakat?
Apakah praktek-praktek kotor dunia politik tidak menulari para politikus Kristen? Apakah
transformasi ke arah kehidupan nasional yang lebih adil dan demokratis bagi semua terus
diperjuangkan? Ataukah substansinya lebih pada perjuangan untuk kepentingan terbatas umat
Kristen dalam bayang-bayang kecemasan terhadap diskriminasi kelompok-kelompok yang lebih
kuat, khususnya Islam!
Pertanyaan-pertanyaan itu perlu diletakkan dalam konteks dinamika sosial-politik nasional yang
penuh tantangan. Dalam 25 tahun pertama kemerdekaan negara kita diperhadapkan pada berbagai
tantangan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan sampai terbentuknya pemerintahan
16. Orde Baru. Separatisme RMS, pemberontakan DI/TII, Pemilu 1955, PRRI/PERMESTA,
kemacetan Konstituante, Pembebasan Irian Barat, Dwikora, G30S/PKI dan peralihan kekuasaan
ke pemerintah Orde Baru adalah rangkaian tantangan berat susulmenyusul yang turut membentuk
karakter partisipasi politik umat Kristen Indonesia. Sementara secara internal gereja-gereja yang
rata-rata baru mulai berdiri sendiri bergumul dengan masalah-masalah pengembangan jemaat,
kader, sumber dana dan organisasi, sambil berusaha mewujudkan cita-cita keesaan gereja-gereja
di Indonesia. Itulah ketegangan antara kemandirian dan keesaan gereja-gereja di Indonesia.
Ketegangan itu dijalani sambil mencari gagasan-gagasan partisipasi yang relevan. Selain
gagasan-gagasan teologi politik Kuyperian yang dikemukakan di atas, wacana politik Kristen di
Indonesia sejak tahun 1950-an mendapat masukan dari gerakan ekumene sedunia, yang antara lain
memperlihatkan pengaruh Reinhold Niebuhr (1892-1971). Wacana responsible society DGD yang
disinggung di atas diletakkan dalam perspektif Christian realism Niebuhr. Pada satu fihak Niebuhr
menolak optimism Social Gospel mengenai kebaikan manusia dan kemampuannya melaksanakan
perintah Allah dalam semua bidang kehidupan, dan pada fihak lain mengandalkan kehadiran Allah
yang memberi kemungkinkan luas bagi manusia (inderterminate possibilities) mewujudkan hal-
hal besar bagi-Nya. Kombinasi wacana masyarakat tanggung jawab dan realisme Kristen
dibumbui suatu idealisme creative minority, mengikuti pandangan Arnold Toynbee (1889-1975).
Sejarawan Inggeris ternama itu menyatakan bahwa kemajuan dan kemunduran peradaban terjadi
ketika tampil kaum minoritas kreatif yang mampu membaca tanda-tanda zaman, memahami
tantangan dan peluang zamannya serta secara strategis memobilisasi masyarakatnya melakukan
pembaharuan atau perubahan, dan karena itu mereka menjadi elit masyarakatnya. Namun
kemudian peradaban merosot ketika kelompok ini berubah menjadi dominant minority yang sibuk
mempertahankan kekuasaanya. Wacana creative minority kemudian tidak dipopulerkan dalam
17. lingkaran intelektual dan politisi Kristen Indonesia untuk menghindari dikotomi minoritas –
mayoritas dalam masyarakat majemuk Indonesia, yang bisa mengarah pada ekses negatif
pemahaman persatuan nasional. Alasan lain adalah meredam sindrom minoritas. Tetapi adanya
kecendrungan yang dapat secara figuratif disebut “model peran Yusuf-Daniel” dalam kalangan
intelektual dan pemimpin Kristen menunjukkan pengaruh gagasan itu, khususnya dalam power-
centric orientation para intelektual dan pemimpin Kristen Indonesia. Di sini sebenarnya terjadi
penyimpangan mendasar dari gagasan creative minority, yakni menjadi dominant minority, bukan
menjalankan kepeloporan dalam membaca dan menjawab tanda-tanda zaman, melainkan masuk
dalam lingkaran kekuasaan yang hakekatnya anti pembaharuan. Dengan kata lain, substansi
partisipasi politik Kristen dikerdilkan menjadi perjuangan bagi kepentingan kelompok atau
golongan, yang dalam konteks Indonesia merupakan perwujudan dari sindrom minoritas.
Dalam orientasi itu, kehadiran wakil-wakil Kristen di Parlemen dan Kabinet adalah
prestasi yang sering dibanggakan. Perlu diperhatikan bahwa karena latar pendidikannya pada
zaman kolonial, banyak orang Kristen menduduki jabatan-jabatan penting dalam birokrasi
pemerintahan sampai awal tahun 1970-an. Juga kemudian pada tahun 1971 ketika Orde Baru
menyederhakan kekuatan politik dengan mem-fusi parkindo ke dalam PDI orang-orang Kristen
masih hadir di Parlemen dan Kabinet. Bahkan dalam Orde Baru peran birokrat Kristen (Katolik
dan Protestan) cukup penting, dengan adanya sejumlah tokoh kabinet dan pimpinan militer dan
partai politik. Dengan kata lain, “hilangnya” Parkindo dari pentas politik tidak meniadakan
kehadiran tokoh-tokoh Kristen di bidang pemerintahan, militer dan politik. Para politikus Kristen
(a.l. eks Parkindo) tetap berkiprah dalam percaturan politik Orde Baru. Evaluasi negatif terhadap
pemerintahan Suharto menimbulkan pertanyaan kritis, apakah partisipasi para tokoh-tokoh Kristen
pada masa Orde Baru benar dapat dibanggakan? Hal ini akan menjadi evaluasi bagi peran politik
18. Gereja dalam era reformasi. Menurut Martin Lukito Sinaga, penyempitan ekspresi politik ke dalam
partai politik selain hanya menghasilkan suara minoritas juga terbukti mendorong kelembaman
(inertia) umat Kristen sendiri. Ia memiliki akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan
ekspresi partai dari situasi sedemikian akan hanya menyuburkan isolasinya.
Peran politik model Yusuf –Daniel, juga nampak dalam terlibatnya pendeta dalam
lingkaran politik praktis. Menurut Zakaria J. Ngelow, Baik pada masa PARKINDO maupun di
era Reformasi pendeta-pendeta terlibat langsung dalam dunia politik praktis. Apakah pendeta
cocok menjalankan peran partisipasi politik Kristen? Ya dan tidak. Ya, karena pendeta adalah
pemimpin umat yang (seharusnya) mempunyai wawasan yang luas terhadap berbagai aspek dan
perkembangan dalam masyarakat, termasuk politik, dan selalu merelasikannya dengan panggilan
gereja. Tidak, karena pendeta yang terlibat dalam politik praktis memilih salah satu
partai/golongan politik, dan dengan itu tidak bisa lagi membina warga jemaatnya dalam aktivitas
politik yang berbeda-beda. Masalah pendeta dalam dunia politik praktis bukan terutama masalah
doktrin jabatan menyangkut salah atau benar; melainkan masalah etika, boleh atau tidak boleh.
Pendeta yang berpolitik akan cenderung mengarahkan warga jemaat pada kepentingan partainya,
dan dengan demikian tidak netral. Bahkan dapat memakai mimbar gereja untuk kampanye politik,
bukan pemberitaan Injil. Yang juga penting adalah motivasi pendeta terjun dalam politik praktis.
Ada pendeta yang memang bekerja dalam dunia politik dengan integritas, visi dan komitmen.
Tetapi banyak pula yang sesungguhnya ikut Yunus “melarikan diri” ke Tarsis.
2. Model Musa-Elia
Yang dimaksud dengan Model Musa-Elia adalah peran politik Gereja yang kembangkan
ke arah tepian sosial: solidaritas dengan kaum marjinal. Model ini berbeda dengan Model Yusuf-
Daniel yang berorientasi ke lingkaran elit kekuasaan.Dalam Keluaran 2:1-22 , diceriterakan
19. tentang Musa yang dibesarkan dalam lingkungan istana di Meisir, namun karena rasa
solidaritasnya terhadap bangsanya ia melarikan diri dari istana menuju ke Midian dan dari situlah
Musa mendapat pengutusan dari Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari pebudakan di Mesir
menuju tanah perjanjian (Kel. 3:7-15). Solidaritas itupun yang diperlihatkan oleh Elia di tengah
pemerintahan raja Ahab di Israel yang tidak memihak kepada rakyat kecil dan ketika kekeringan
melanda negeri itu. Solidaritas itu digambarkan melalui cerita mengenai seorang janda di Sarfat,
di mana Elia melakukan mujizat yakni minyak dan tepung menjadi banyak dan dbangkikannya
anak tunggal dari janda itu (I Raja-raja 17:1-24).
Pada KGM-DGI pertama tahun 1962 di Sukabumi disampaikan prinsip-prinsip teologis
partisipasi gereja. Dalam suatu kertas kerja berjudul “Geredja dan Masjarakat di Indonesia” yang
disusun oleh Komisi Geredja dan Masjarakat DGI, sebagaimana yang dikutip oleh Zakaria J.
Ngelow, antara lain dikemukakan:
“Eksistensi Gereja terjalin dengan Injil Kerajaan Allah, yakni menjadi suatu fungsi dalam masa
pemberitaan dan penantian kegenapan pemerintahan Allah yang telah mulai diwujudkan dalam
kemenangan Yesus Kristus. Oleh karena Injil Kerajaan Allah bermakna comprehensive maka
gereja harus menyatakannya di dalam semua lapangan kehidupan, baik pertobatan pribadi secara
rohani maupun pembinaan masyarakat secara sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya. Dalam
fungsi ini gereja dapat tergoda untuk mengutamakan
dirinya (ecclesiocentrism) atau memisahkan tuntutan-tuntutan konkret kehidupan masyarakat dar
i Injil sehingga terjerumus dalam sekularisme.” Partisipasi transformatif itu merujuk pada Gereja
Purba sebagai model dan ukurannya: Jemaat Kristen purba merupakan model dan ukuran bagi
peran Gereja di tengah-tengah masyarakat, yaitu bukan dengan suatu ideologi atau sistem sosial
20. politik tertentu, melainkan dengan hidup dari dan di bawah kekuasaan Kristus mewujudkan kasih
dan keadilan. Cara hidup gereja Kristen yang lama dalam masyarakat selama abad-abad yang
pertama bukan konservatif, maupun evolusioner, atau revolusioner, melainkan membetulkan
(mentransformasikan) dan karena itu mengubah. Gereja, yakni jemaat-jemaat, hanya dapat
melancarkan pengaruh-pengaruh yang dinamis, yang membaharui dan mengubah itu dalam
masyarakat jika gereja sadar akan masalah-masalah yang dihadapi dan jika gereja hidup dari
penggenapan dan pengharapan akan Kerajaan Allah yang dalam Yesus Kristus telah dan akan
datang itu. Menurut Julianus Mojau dalam konteks Indonesia yang majemuk, peran politis yang
cukup prospektif adalah Gereja menjadi Komunitas iman basis yang memberdayakan warga
Jemaat dan masyarakat sehingga memiliki kesadaran politik kritis terhadap segala bentuk
kekuasaan hegemonis yang selalu ingin megkorup harkat dan martabat mereka. Hal ini senada
dengan konsep mengenai partisipasi Kristen masa Orde Baru yang digagas dalam KGM tahun
1972 dengan “falsafah” sikap positif-kreatif-kritis-realistis.
Menurut Zakaria J. Ngelow; kata kunci partisipasi menyiratkan tindakan-tindakan nyata
di tengah-tengah, bersama dan bagi rakyat banyak. Karena itu pendekatan partisipasi sosial gereja
diungkapkan dalam istilah-istilah pendampingan ( advocacy), pemberdayaan ( empowerment) dan
solidaritas (solidarity).
3. Model Yesus
Yang dimaksud dengan Model Yesus adalah peran politik Gereja yang bukan hanya
berorientasi pada proses pemberdayaan warga masyarakat saja (model Musa-Elia), tetapi juga
berkaitan erat dengan peran profetis atau dengan kata lain disamping memberi pendidikan politik
dan pendampingan pastoral terhadap warganya, Gereja juga tetap mengkritik pemerintah jika
cenderung tidak memihak kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.Ada beberapa aspek dari
21. kehidupan yang menonjol dalam pengajaran dan kehidupan Yesus Kristus yakni hubungan dan
perhatian-Nya terhadap rakyat jelata atau miskin dan termarginalkan. Jika kita menelusuri latar
belakang kehidupan Yesus maka Dia sebenarnya berasal dari kalangan rakyat kecil dan melakukan
pemberitaan dan pelayanannya terutama di wilayah pedalaman Galilea di antara rakyat kecil.
Laporan Injil-injil mengenai pekerjaan dan pengajaran Yesus memperlihatkan perhatian terhadap
dan keakrabanya dengan dunia orang kebanyakan. Ia berbelas kasihan terhadap orang banyak
(Mat. 9:36). Orang-orang yang dilayani Yesus secara langsung adalah rakyat miskin dan mereka
yang dikucilkan dari masyarakat. Penyembuhan-penyembuhan-Nya adalah atas rakyat kecil yang
sakit seperti orang buta dan orang timpang. Ia memberi makan kepada orang banyak, yaitu rakyat
yang datang berkumpul mendengar pengajarannya tanpa bekal yang cukup. Pengajaran Yesus
Kristus sendiri memihak kaum jelata. abda bahagia dalam khotbah di bukit (Luk. 6:20-21) tertuju
kepada mereka: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan
Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan.
Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis karena kamu akan tertawa (Luk. 6:20-21;
Mat. 5:1-2)
Pengajaran Yesus Kristus bertolak dari pemahaman akan misinya selaku Mesias
pembawa kabar sukacita bagi kaum miskin dan menderita. Dalam khotbah-Nya di Nazaret, Yesus
merujuk kepada nubuatan nabi Yesaya (Yes. 61:1-2): “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab ia
mengurapi aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah
mengutus Aku dan memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi
orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun
rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19).
22. Nats ini merupakan konsepsi mengenai Mesias yang dinubuatkan oleh para nabi. Mesias
dikaruniakan dan diperlengkapi Tuhan dengan kemampuan untuk mengatasi krisis yang melanda
masyarakat, tugas mesias adalah menegakkan keadilan bagi rakyat yang tertindas, dan
memulihkan damai sejahtera di tengah-tengah masyarakat, serta membawa umat pada pertobatan,
mesias bekerja tidak terutama dengan mengandalkan kekuatan kekuasaan, melainkan dengan
kerelaan untuk menderita. Aspek lain dari pengajaran dan kehidupan Yesus adalah sikap Kritis
terhadap kekuasaan. Yesus mengambil jarak kepada
kekuasaan, dan mengeritik dengan tajam praktek kekuasaan duniawi sambil memperkenalkan pel
ayanan di dalam kekuasaan (band. Mrk 10:42-45), bahkan tidak segan-segan berhadapan dengan
penguasa yang korup, hal ini nampak ketika Yesus mengusir orang dari bait Allah di Yerusalem
(Markus 11:15-17). Dalam Injil dikisahkan bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Paskah Yahudi.
Yang diusir adalah mereka yang secara ekonomis berbisnis dengan memeras rakyat jelata, mereka
adalah para penukar uang, para penjual binatang korban, dan orang-orang berduit yang nota bene
dikuasai oleh para pemuka agama Yahudi yang mendominasi perayaan Paskah Yahudi. Tindakan
Yesus mengusir orang-orang yang berbisnais pasti menimbulkan huru-hara secara sosial bahkan
merupakan salah satu tuduhan dari lawan politik Yesus yakni orang Farisi dan pemuka agama
untuk menjerat Yesus sehingga dihukum mati, tetapi dilain pihak tindakan ini merupakan sikap
profetis ketika yang berlaku adalah ketidakbenaran dan ketidakadilan.
Tindakan Yesus yang sering mengundang kontroversi adalah ajaran Yesus yang kerap
kali menjadi “pedang” bagi mereka yang mendengarkannya, karena memuat tajam bagi orang yang
mempertahankan Status-quo keagamaan, dan pemerintahan yang korup dan tidak adil. Dalam
sikap kritis-tajam, Yesus selalu berpihak pada rakyat miskin. Menurut George V. Pixley
sebagaimana yang dikutip oleh Aloys Budi Purnomo mengatakan bahwa masa ketika Yesus tampil
23. adalah masa pergolakan dan perubahan besar dalam bidang ekonomi, sosial, dan keagamaan, masa
persaingan antara berbagai aliran keagamaan, masa yang rawan kerusuhan. Dalam situasi seperti
itulah, Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan kelompok elite-religius dan politik yang
kontradiktif dengan relitas kemiskinan rakyat. Yesus bersuara vokal terhadap sistem pajak yang
menguntungkan segelintir orang, namun menindas kebanyakan rakyat. Secara sosial, masyarakat
Palestina adalah mayoritas tertindas, yang menikmati kemakmuran adalah penjajah dan sejumlah
kecil penguasa setempat yang pro penjajah, kelompok imam dengan institusi korban yang terkait
dengan kenisah, sejumlah kecil tuan tanah dan para pemungut pajak. Dalam situasi seperti itu pula,
Yesus mengembangkan sikap radikal, berpihak pada kaum mskin dan marginal. Menurut David J.
Bosch yang dikutip oleh Aloys Budi Purnomo, mengatakan bahwa: Kata “miskin” merupakan
istilah komprehensif bagi semua kategori orang yang disingirkan dalam masyarakat, mereka yang
marginal dalam masyarakta Yahudi. Termasuk di dalamnya adalah orang sakit, buta, lapar,
menangis, pendosa, pemungut cukai, yang dianiaya, tawanan, yang berbeban berat, yang tidak
tahu hukum, yang kecil, dan para pelacur.
Justru karena itulah, maka gerakan Yesus merupakan gerakan rakyat yang berhadapan
dengan para penguasa agama dan politik sezamanNya. Gerakan Yesus adalah gerakan membela
mereka yang menderita. Salib Yesus adalah puncak pembelaan setiap insan yang dibelenggu oleh
penderitaan. Menurut Gunche Lugo, Politik Yesus tidak beorientasi merebut kekuasaan atau
pemerintahan, tetapi politik moral (etik).politk Yesus adalah politik memperjuangkan tegaknya
nilai-nilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kemajuan peradaban dalam masyarakat.
Dengan belajar dari sikap Yesus tersebut maka, hendaknya hal itu menjadi model peran politik
Gereja di Indonesia di era reformasi sekarang ini. Dalam era Orde Baru ada beberapa tokoh Gereja
yang sudah berusaha menerapkan model ini di antaranya Pdt. Yozef Widyatmaja dan beberapa
24. orang dari YKBS (Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial) Solo yang tanpa banyak ekspose
bekerja menolong pembelaan warga Kedungombo pada akhir tahun 80-an, kemudian menyusul
Romo Mangunwijaya. Prof. Sahetapy yang tidak takut bersuara vocal terhadap pelecehan hukum
dan HAM pada tahun 1994 di Sumatera. Di Lampung seorang pendeta desa yang tidak terkenal
bernama Sugiarto memberi nasehat kepada warga yang tanahnya harus diserahkan kepada
konglomerat tanpa ganti rugi yang memadai, agar menulis ke Kotak Pos 4000 di akhir tahun 80-
an. Akibatnya ia ditahan oleh yang berwajib sampai tiga hari dan endapat tekanan mental yang
lumayan berat. Dengan memperhatikan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa model Yesus dalam
peran politik Gereja di Indonesia selama ini masih terbatas tindakan individu-individu, mereka
memang adalah tokoh-tokoh Gereja tetapi mereka tidak dapat diklaim mewakili Gereja secara
lembaga. Tetapi selama ini Gereja hanya bersuara ketika eksistensinya diganggu, bukan karena
menyangkut hajat hidup orang banyak dari latar belakang yang berbeda.