Karya sastra Makassar "Sinrilik I Manakkuk" merupakan cerita percintaan antara putra mahkota Bone dengan sepupunya di Tanah Lakbakkang yang mulai muncul pada abad ke-17. Tulisan ini menganalisis karya tersebut dengan pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkapkan paradigma kerakyatan yang terdapat di dalamnya, seperti pandangan masyarakat Makassar tentang budaya, feodalisme, hukum, dan pemerintahan; s
1. PARADIGMA KERAKYATAN
29, November 2017
ANALISIS KARYA SASTRA MAKASSAR
(SINRILIK I MANAKKUK)
DENGAN MENGGUNAKAN TEORI KESUSASTRAAN
(SOSIOLOGI SASTRA)
(Analysis of Literary Works of Makassar “Sinrilik I Manakkuk” by
Using Literary Theory “Sociology of literature”)
NURSABILAH
PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA DAERAH
Abstrak
Karya sastra Makassar “Sinrilik I Manakkuk” merupakan cerita percintaan anak raja dari
Bone kepada sepupunya di Tanah Lakbakkang yang mulai muncul pada abad ke -17M yang sangat
dikenal dalam kalangan masyrakat Makassar-Bugis. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan
paradigma kerakyatan yang ada dalam “Sinrilik I Manakkuk” Metode yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan menyimak dan mencatat. Hasil analisis dalam“Sinrilik I Manakkuk”
menunjukkan bahwa dalam paradigmatik kerakyatan pada sastra Makassar terdapat
pandangan masyarakat Makassar yang terdiri dari budaya, feodalisme, hukum, dan
pemerintahan; serta pola pikir masyarkat makassar antara lain makna jodoh, makna malu,
makna harga diri dan kehormatan, dan makna keyakinan.
Kata kunci : Sastra Makassar, Sinrilik I Manakkuk, Sosiologi Sastra, Paradigma
Kerakyatan.
PENDAHULUAN
Karya sastra adalah artefak, benda
mati, yang baru mempunyai makna dan
menjadi objek estetik bila diberi arti oleh
manusia pembaca sebagaimana artefak
peninggalan manusia purba mempunyai
arti bila diberi makna oleh arkeolog
(Pradopo: 1995). Pemberian makna atau
penangkapan makna sebuah karya sastra
itu dilakukan dalam kegiatan kritik karya
sastra. Aspek-aspek pokok kritik sastra
adalah analisis, interpretasi (penafsiran),
dan evaluasi atau penilaian. Dalam
pemberian makna terhadap karya sastra
tersebut, sebagai pembaca sastra terikat
pada teks karya sastra sendiri berdasarkan
koadrat atau hakikat karya sastra. Maka,
untuk dapat menangkap makna sebuah
karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara
yang sesuai dengan sifat hakikat karya
sastra, yakni melalui sebuah pendekatan
atau teori sastra. Pertengahan tahun 1970
di Indonesia mulai dikenal adanya teori-
teori sastra, seperti sosiologi sastra.
Dalam pemaknaan atau pemberian arti
terhadap karya sastra maka dilakukan
analisis dengan berbagai pendekatan dan
teori kesusastraan seperti teori sosiologi
sastra.
Teori sosiologi sastra yang
berorientasi mimetik, memandang karya
NURSABILAH PBSD Makassar 1
2. sastra sebagai cerminan masyarakat, yang
perhatiannya berpusat pada struktur
kemasyarakatan dalam karya sastra.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada
dalil bahwa karya sastra ditulsi oleh
seorang pengarang merupakan a salient
being, makhluk yang mengalami sensasi-
sensasi dalam kehidupan empirik
masyarakatnya. Dengan demikian, sastra
juga dibentuk masyarakatnya, sastra
berada dalam jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini
muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal-balik dalam derajat
tertentu dengan masyarakatnya dan
sosiologi sastra berupaya meneliti
pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya.
Karya sastra merupakan
penggambaran kenyatan-kenyataan sosial
diman karya tersebut dibuat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Wellek & Werren
(1987) bahwa sastra adalah institusi sosial
yang memakai medium bahasa. Dengan
demikian suatu karya sastra dapat
dikatakan “menyajikan kehidupan” dan
sebagian besar terdiri atas kenyataan
sosial. Proses penciptaan suatu karya sastra
tidak dapat terlepas begitu saja dengan
aspek-aspek kehidupan manusia. Aspek-
aspek kehidupan yang dimaksud di sini
berupa persoalan-persoalan yang dialami
manusia dalam kehidupannya.
Salah satu bentuk karya sastra yang
didalamnya terdapat realitas kehidupan
manusia adalah sastra lisan. Sastra lisan
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat pada masanya, sebagai satu
sarana pendidikan dan hiburan.
“Sinrilik I Manakkuk” merupakan
bagian sastra dan budaya Makassar.
Sebagai produk perekaman masa lampau
hingga kini masih memperlihatkan suatu
kondisi yang menggembirakan.
Keterhubungan budaya (sastra)
dengan fenomena sosial dan budaya tidak
dapat dipisahkan, karena unsur budaya
sangat berpengaruh dalam menentukan
bentuk, per-kembangan atau pun
perubahan makna bahasa sehingga
fenomena budaya diharapkan memberi
pemahaman tentang proses interaksi yang
berlangsung di wilayah itu. untuk
memperoleh pengalaman itu diperlukan
pemahaman yang lebih tentang pola
kehidupan budaya di masa lalu dan masa
kini, serta pengetahuan tentang unsur
sastra yang berperan melahirkan polaa
tertentu atau wawasan baru. Muara dari
keseluruhan pola itu adalah mendapatkan
pengetahuan tentangketerkaitan bahasa,
suku bangsa, dan pengungkapan
kebudayaan suku bangsa secara verbal
atraktif.
Paradigma, secara etimologis
paradigma berarti model teori ilmu
pengetahuan atau kerangka berpikir.
Sedangkan secara terminologis paradigma
berarti pandangan mendasar para ilmuan
tentang apa yang menjadi poko kpersoalan
yang semestinya dipelajari oleh suatu
cabang ilmu pengetahuan.
Kerakyatan adalah kedaulatan rakyat,
dimana semua yang ada atau yang terjadi
berhubungan dengan rakyat.
Paradigma kerakyatan adalah suatu
kerangka pikir atau pendanga suatu
masyarakat terhadap suatu fenomena.
Analisis terhadap sastra daerah,
khususnya karya sastra Makassar, akan
mewujudkan gambaran atau cerminan
masyarakat pendukungnya. Analisis ini
akan mendeskripsikan aspek-aspek
paradigma kerakyatan.
KERANGKA TEORI
Dalam kehidupan sehari-hari kita
sering mendengar istilah sastra atau karya
sastra, prosa dan puisi. Dengan membaca
karya sastra, kita akan memperoleh
“sesuatu” yang dapat memperkaya
wawasan dan meningkatkan harkat hidup
dengan kata lain, dalam karya sastra ada
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
(Teeuw, 1984 : 7).
Untuk melakukan analisis karya sastra
Makassar, tinjauan ini menggunakan
sosiologi sastra, yaitu pendekatan terhadap
sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Damono (1979 : 2-3)
NURSABILAH PBSD Makassar 2
3. menyimpulkan bahwa ada dua
kecenderungan dalam telaah sosiologi
terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang
berdasarkan pada anggapan bahwa sastra
merupakan cerminan proses sosial-
ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak
dari faktor-faktor diluar sastra untuk
membicarakan sastra, sastra hanya
berharga dalam hubungannya dengan
faktor-faktor di luar sastra itu sendiri.
Kedua, pendekatan yang mengutamakan
teks sastra sebagai bahan penelaahan untuk
mengetahui sutrukturnya, kemudian
dipergunakan memahami lebih dalam
gejala sosial di luar sastra.
Sosiologi sastra berkembang dengan
pesat sejak penelitian-penelitian dengan
memanfaatkan teori strukturalisme
dianggap mengalami kemunduran,
stagnasi, bahkan dianggap sebagai
involusi. Analisis strukturalisme dianggap
mengabaikan relevansi masyarakat yang
merupakan asal-usulnya. Rahmat Djoko
Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa
tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan
adalah untuk mendapatkan gambaran utuh
mengenai hubungan antara pengarang,
karya sastra, dan masyarakat. Ratna via
Sutri (2006: 332-333) mengemukakan
bahwa sastra memiliki kaitan erat dengan
masyarakat sebagai berikut: a) Karya
sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan
oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin,
sedangkan ketiga subjek tersebut adalah
anggota masyarakat; b) Karya sastra hidup
dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat,
yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat; c) Medium karya sastra, baik
lisan maupun tulisan, dipinjam melalui
kompetensi masyarakat, yang dengan
sendirinya telah mengandung masalah-
masalah kemasyarakatan; d) Berbeda
dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-
istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya
sastra terkandung estetika, etik, bahkan
logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentingan terhadap ketiga aspek
tersebut; e) Sama dengan masyarakat,
karya sastra dalah hakikat
intersubjektivitas, masyarakat menemukan
citra dirinya dalam suatu karya.
Sosiologi sastra tidak hanya
membicarakan karya sastra itu sendiri
melainkan hubungan masyarakat
lingkungannya serta kebudayaannya yang
menghasilkannya.
Sinrilik adalah karya sastra Makassar
yang berbentuk drama tutur yang cara
penyampaiannya dilakukan secara
berirama baik diiringi alat musik maupun
yang tidak diiringi alat musik. Dan
merupakan suatu budaya yang diajarkan
dan diwariskan dari generasi ke generasi
lainnya yang sekaligus membentuk dan
menentukan pola budaya selanjutnya.
Pada bagian lain sastra dipandang
sebagai gejala sosial. Sastra yang ditulis
pada suatu kurun waktu tertentu langsung
berkaitan dengan norma-norma dan adat
istiadat zaman itu. (Luxemburg 1984 : 23-
24)
METODE
Metode yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif dengan
pendekatan sosiologi sastra. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan
menyimak dan mencatat. Apa yang
diamati dalam konteks tulisan ini terletak
pada satu objek. Menganalisis karya sastra
makassar dengan mengunakan pendekatan
atau teori kesusastraan. Karya sastra
hampir selalu mencerminkan jiwa
pengarangnya disamping menggambarkan
masyarakat yang disajikannya.
Data yang digunakan dalam tulisan ini
adalah sastra daerah Makassar yang telah
diteliti dan dialih bahasakan ke dalam
bahasa indonesia. Buku tersebut antara lain
berjudul “ Sastra Sinrilik Makassar”
( Parawansa; 1984) “Teori
Kesusastraan” (Wellek & Warren 2014).
Sementara itu pendukungnya adalah buku-
buku yang berkaitan dengan pembahasan
yang telah ditentukan dalam tulisan ini.
PEMBAHASAN
NURSABILAH PBSD Makassar 3
4. Paradigma Kerakyatan Dalam “Sinrilik I
Manakkuk”
Pandangan Masyarakat Makassar
Budaya
Jika dilihat dari kajian sosiologi,
maka “Sinrilik I Manakkuk” sangat
kental dengan budaya Makassar. Hal itu
bisa dilihat dari kebiasaan-kebiasaan
keluarga kerajaan serta masyarakatnya.
Di dalam “Sinrilik I Manakkuk”
terdapat sejumlah adat istiadat yang
dideskripsikan sebagai berikut.
Permainan Raga
Permainan sepak raga (bola yang
terbuat dari rotan) merupakan
permainan yang harus diketahui oleh
setiap emuda. Baik ia orang biasa
terlebih-lebih lagi keturunan
bangsawan. Sesorang remaja,
betapapun sempurnanya hidupnya, ia
baru akan merasa bahagia jika dapat
bersepak raga, apalagi jika termasuk
ahli. Ini karena telah menjadi tradisi
dalam setiap puncak keramaian selalu
diadakan gelanggang permainan raga.
Tradisi itu akan terlihat dalam kutipan
berikut.
“Baru saja selesai main raga di atas
perahunya, pada ibu penyusunya
sekarang ini.” (S. I. M. hal 23)
“berbaliklah di atas I Manakkuk, yang
kecil, merasakan sesuatu, ia mengingat
adat kebiasaannya. Kalau matahari
condong ke Barat, lalu turun tangga
memainkan raganya, raga buang-
buangannya, raga main-mainanya,
terus turung di muka rumahnya. Minta
izinlah I Manakku, ‘aku akan turunjuga
bermain raga sekarang ini’. Berkatalah
Permaisuri, ‘ Wahai anak Manakkuk,
janganlah turung anak sebab ada di
bawah anak, semua raja, anak raja
yang keempat puluh sekarang ini.’
Namun turun juga I Manakkuk yang
kecil. Berdirilah lalu berkata Sitti Cina
di Bantaeng, ‘Wahai Daeng Nakkuk,
janganlah turun main raga sekarang,
sebab sejak tuan sebagai anak, sejak
tuan lahir, sejak tuan agak besar, baru
kali ini berada di Bantaeng Daeng
Nakkuk, tuan belum dikenal sesama
lelaki.”(S.I.M. hal 25)
“I Garincing Daeng Makdattok, batu
asahanya Bone, sepupu sekalinya I
Manakkuk, katanya, ‘Wahai adik
Manakkuk memang raga itu takut pada
kakimu, sebab raga rotan, atauran
kebiasaanmu di kampung di negerimu,
raga emasmu, ada juga saya bawa.’
Diserahkanlah kedalam raga emasnya,
raga buang-buanganya, raga
permainannya. Dibuanglah ke atas
oleh I Manakkuk, di edarkanlah
raganya, mereka lagi anak raja yang
keempat puluh ini tak tahu menyepak
raga.” (S.I.M. hal 26)
Tenun
NURSABILAH PBSD Makassar 4
5. Tanun merupakan pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang gadis baik dari
kalangan bangsawan maupun dari
kalangan bawah dimana setiap gadis
harus tahu menenun. Secara historis
Sulawesi Selatan merupakan salah satu
penghasil tenun yang cukup terkenal
pada masa dahulu, bahkan ada beberapa
daerah yang terkenal dengan hasil
tenunannya, seperti Wajo, Mandar, dan
Bira. Dan merupakan tradisi yang telah
lama ada, tradisi itu akan terlihat ada
kutipan berikut.
“Ramailah orang di atas ini sekarang
ini, di tanah Bantaeng. Terdengarlah di
atas oleh Somba Bantaeng sekarang
ini, sebab Sitti Cina di Bantaeng yang
berada di istana sedang belajar
menenun, putus benang tenunya,
terbanting alas belakangnya, putus
tenunya, terlempar teropong (torak)
nya.” (S.I.M. hal 17)
Setelah jauh ke dalam ia pun
meletuskan meriamnya dua kali tujuh
tambah tiga kali sembilan. Dia
teriakkan ke atas senapa tempurnya,
dan dia lompatkan pemberat dari
tempatnya sekarang ini.
Kedengaranlah ke dalam Tanah
Lakbakkang. Sebab di dalam ini
kasihan, I Marabintang Kamase, caul
Mallekana, obat sekarat Karaeng
Somba Lakbakkang, sedang belajar
bertenun, dia kaget di dalam tenunya,
mendengar bunyi senjata, putus tali
tenunya, terbanting alas belakangnya,
putus tenunnya, terlempar
teropongnya.” (S.I.M. hal 33-34)
Kutipan di atas memperjelas bahwa
bagaimana Tenun merupakan suatu
tradisi bagi seorag gadis yang harus
diketahui.
Adat Bertamu
Adat bertamu merupakan suatu tradisi
yang ada pada zaman dahulu yaitu
dengan membunyikan meriam dan
senapan yang sering dilakukan oleh
keturunan raja Bone. Tradisi tersebut
dapat dilihat dalam kutipan sebagai
berikut.
“Tiada berapa lama berhenti sebentar,
ditutuplah muara Bantaeng
menghadapi Lembang Cina sekarang
ini. Dia letuskan meriam di atas
senapan semburnya membangunkan
muara sungai, demi menghormati raja,
sebab begitulah adat kebiasaannya di
negerinya, di tanah Luk, di tanah
Plakka, kalau memasuki sungai, di
lontarkan anak meriam dari kerpusnya,
lalu digemurukann senapan
semburnya, supaya diketahu di atas
bahwa ada raja yang datang, raja yang
didatangi.” (S.I.M. hal 17)
Begitu pula ketika I Manakuk ketika
sampai pada tanah Lakbakkang.
“Setelah jauh ke dalam ia pun
meletuskan meriamnya dua kali tujuh
NURSABILAH PBSD Makassar 5
6. tambah tiga kali sembilan. Dia
teriakkan ke atas senapa tempurnya,
dan dia lompatkan pemberat dari
tempatnya sekarang ini.
Kedengaranlah ke dalam Tanah
Lakbakkang.” (S.I.M. hal 33)
Kutipan di atas memperjelas bahwa
bagaimana adat bertamu yang
dilakukan oleh keturunan seorang raja
dari Bone.
Adat Menerim Tamu
“Setelah selesai persiapannya,
diturunkanlah usungan emas di tanah
Lakbakkang, diturunkan bersama alt
kerajaan kebiasaan, perkakas
kebesarannya. Berdengung -
dengunglah gendangnya berbunyilah
gongnya, berbunyilah anak baccingnya
(besi dierpukulkan) di muka di
belakang. Ramailah suasana, teruslah
ke bawah Permaisuri ke tangga tiga
induknya, tiga puluh anaknya,
berpeganganlah ia pada pegangan
tangga beruas-ruas. Tibalah di bawah
di serambi tangganya, melangkah ke
luar sampai di sebelah luar
pekarangan di belakang pagarnya.
Naklah ia du usungan emas, di
usunglah ke barat diiringi sere
(semacam tari) dan bunyi perisau.
Teruslah ke barat, dielu-elukan,
berbunyi semua alat kerajaannya,
perkakas kebiasaannya, berdengung-
dengunglah gendangnya, berbunyilah
gongnya, berbunyilah anak baccingnya
(dua batang besi di perpukulkan),
berbunyilah lae-laenya (bambu seruas
yang dibunyikan) berbunyilah semua
kacing (piring tembaga yang
diperpukulkan) di muka di belakang
sekarang ini.”(S. I. M. Hal 39-40)
Kutipan diatas merupakan sebuah
prosesi adat yang dilakukan Permaisuri
saat akan menjemputu atau menerima I
Mankkuk kemenakannya untuk di
undang ke istana.
Jamuan Untuk Bangsawan “Sirih
Pinang Di Talam Emas”
Jamuan untuk bangsawan yang
dimaksud di sini ialah makanan atau
cemilan yang sering seseorang jamukan
kepada sorang bangsawan. Seperti pada
kutipan di bawah ini.
“setelah duduk dengan baik, duduk
bersilah pesuruh Daeng Manjarreki di
ingatkanlah sirih pinang pucuk rebung,
sirih pinang di talam emas. Dia
gigitlah pinangnya, dia kunyalah
sirihnya, enak perasaannya, kering
keringatnya, reda lelahnya,
digosokkalah tembakaunya, tujuh kali
ke kanan, sembilan kali ke kiri, dia
hentikan di sebelah kanan terjepitlah
dengan baik.” (S. I. M. Hal 37)
“Setelah Permaisuri duduk dengan
baik, dijamulah dengan sirih pinan di
talam emas, diajaklah makan sirih oleh
ibu penyusu I Manakkuk yang kecil, ia
NURSABILAH PBSD Makassar 6
7. berhadapan dengan baik.” (S. I. M.
Hal 40)
“setelah Karaeng Somba Lakbakkang
duduk dengan baik, datanglah ibu
penyusu I Manakkuk. Diangkatlah ke
luar sirih pinang dari kaci, sirih pinang
dari talam emas, dipersilahkan makan
sirih Karaeng Somba Lakbakkang.” (S.
I. M. Hal 43)
“naiklah ke badan rumah, Karaeng
Somba Lakbakkang, dialaskan tikar
permadani, ditunjukkan untuknya tiang
yang akan ditempati
bersandar,ditunjukkanlah papan
tempat duduk. Setelah duduk dengan
baik Somba Lakbakkang, dijamulah
sirih pucuk rebung, sirih di talam emas,
dipersilahkan makan siri.” (S. I. M.
Hal 53)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa
dalam menjamu keturunan raja
biasanya menggunakan Sirih pinang di
talam emas.
Feodal
Feodalisme adalah sistem sosial yang
memberikan kekuasaan yang besar
kepada golongan bangsawan. Sejak itu
muncul orang-orang kuat sebagai tuan
yang mengatur wilayah kekuasaan.
Sistem ini kemudian berkembang luas.
Bangsawan menjadi kelompok yang
sangat istimewa dan melakukan
regenerasi berdasarkan keturunan.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
“Berkatalah I Manakkuk, keluarga
yang dimuliakan, anak-anak yang
masih kecil, katanya, “Wahai Bapak
baik kiranya engkau ke seberang.
Panggil ayahku, panggil kemari
bersama ibuku, sekarang juga bapak,
sebab saya ini Karaeng, ada kata yang
ingin saya sampaikan, bicara yang
saya bicarakan, di hadapan mulianya,
di tempat ketinggiannya Bapak, di
tempat kenaikannya, sekarang juga,
sebab saya ini jatuh hati pula pada I
marabintang.” (S. I. M. Hal 11)
Tokoh I Manakku pada kutipan di atas
memerintahkan seorang pesuruh yang
di tuakan sehingga dipanggilnya dengan
sebutan Bapak, meskipun I Manakkuk
menuakannya tetap saja ia
memperlihatkan otoritasnya sebagai
seorang Karaeng (Bangsawan) dengan
menyebutkan dirinya itu adalah seorang
Karaeng dan keturunan raja.
Hukum
Belum adanya pengatur hukum dalam
masyarakat membuat segala sesuatu
menurut tokoh tidak dapat diselesaikan
atau tidak dapat diselesaikan atau tidak
ditemukan jalan keluarnya, di tempuh
dengan jalan kekeluargaan, adu
kesaktian, dan perang. Hal ini dapat
terlihat pada uraian di bawah ini.
Ketika I Manakkuk singgah di
Bantaeng, terjadilah kesalah-pahaman
antara I Manakkuk dengan Somba
NURSABILAH PBSD Makassar 7
8. Bantaeng yang hampir saja menjurus ke
pertumahan darah antara kedua belah
pihak. Penyebabnya ialah adanya
tindakan pihak I Manakkuk, yaitu
membunyikan meriam sebelum perahu
berlabuh di dermaga. Tindakan seperti,
itu menurut adat yang berlaku di daerah
Bantaeng dianggap sesuatu yang
menyalahi adat yang berlaku di
Bantaeng sekaligus tanda permusuhan
sehingga antara kedua belah pihak
hampir saja terjadi pertempuran.
Tindakan seperti itu dianggap tidak
menghormati aturan yang berlaku di
daerah yang didatangi, walaupun di
kampung I Manakkuk hal tersebut
sudah adatnya. Namun kesalahpahaman
tersebut tidak berlanjut lama setelah
Somba Bantaeng mengetahui ternyata
yang datang adalah kemenakannya dari
Tanah Luk.
“Bergeserlah duduknya Karaeng
Somba Lakbakkang lalu berkata,
‘Wahai anak besar ini hajat saya, besar
kunjungan saya. Engkau yang
kuhajatkan, akan kubujuk engkau
sebaik-baiknya, akan kuminta engkau
sebaik-baiknya, semoga engkau dapat
dibujuk, semoga engkau dapat diminta,
turuti perkataanku, jauhi nasihatku
sekarang ini, supaya jangan marah,
supaya jangan gelisah hati, supaya
jangan sedih hati, supaya jangan
murunng. Baiklah engkau anak
Manakkuk berkemas, supaya pulang ke
Bone, kembalilah ke Tanah Palakka,
dan kau bawa pulang sepupu sekalimu
I Marabintang Kamase, caul
Mallekana, intinya serok, hiasan
Lakbakkang, sabung tanah Malise.
Nanti di dalam anak, baru engkau
kawin baik-baik. Tak ada lagi perang
anak, tak ada lagi perselisihan besar di
Tanah Lakbakkang, sebab ada di barat
di muara sungai I Nojeng, I
Manninggauk, I Mannimpasak
seberang, akan mmbeharui bicara yang
sudah lama lalu, sebab biasa sekaran
yang dikatakan dilupa”. (S. I. M. Hal
53)
Pada kutipan diatas tergambar bahwa
terjadi perselisihan antara I Manakkuk
dan I Nojeng, I Manninggauk, I
Mannimpasak sehingga diselesaikan
dengan peperangan.
Peperangan ini dimenangkana oleh I
Manakkuk. Terdapat pada kutipan di
bawah ini.
“Selesai sudah peperangan I
Manakkuk yang kecil, redalah
pertengkarannya, sekarang-sekarang
juga di Tanah Lakbakkang di dalam
Maccinik Bajik...semua gerangan Jawa
Hitam si Madura, orang Jawa
Minangkabau di gusung Marioloa, di
Panallikang Toaya di dalam Maccinik
Bajik.
NURSABILAH PBSD Makassar 8
9. Berhentilah peperangan mereka itu
selesailah pertengkaran I Manakkuk.
Beginilah sebabnya, demikianlah asal
mulanya gerangan maka mundurlah
semuanya naik di ruangan istana
Karaeng Somba Lakbakkang ayah yang
menjadikan I Manakkuk yang berdaulat
di Tanah Bone.
Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang tergampar
pada “Sinrilik I Manakkuk” adalah
sistem kerajaan. Pada zaman dahulu
sebuah wilayah diperintah oleh seorang
raja. “Sinrilik I Manakkuk” berlatar tiga
wilayah yaitu Kerajaan Bone, Kerajaan
Lakbakkang, dan Kerajaan Bantaeng.
I Manakkuk adalah anak raja dari Bone
yang ingin berlayar ke kerajaan
Lakbakkang. Ia bermaksud ingin
menemui pujaan hatinya i Marabintang
Kamase, anak dari Raja Lakbakkang.
“Berkatalah I Manakkuk, keluarga
yang dimuliakan, anak-anak yang
masih kecil, katanya, “Wahai Bapak
baik kiranya engkau ke seberang.
Panggil ayahku, panggil kemari
bersama ibuku, sekarang juga bapak,
sebab saya ini Karaeng, ada kata yang
ingin saya sampaikan, bicara yang
saya bicarakan, di hadapan mulianya,
di tempat ketinggiannya Bapak, di
tempat kenaikannya, sekarang juga,
sebab saya ini jatuh hati pula pada I
marabintang.” (S. I. M. Hal 11)
Ketika melakukan peayaran menuju
Lakbakkang, I Manakkuk
menyempatkan singgah di kerajaan
Bantaeng. Di sana disambut dengan
senang hati oleh raja Bantaeng
meskipun pada awalnya terjadi kesalah
pahaman. Kebiasaan raja Bone, ketika
seorang keturunan raja yang ingin
berlabuh pada suatu kerajaan, mereka
harus membunyikan meriam tanda
penghormatan. Hal tersebut buksn
merupakan kebiasaan raja Bantaeng.
Oleh karena itu, raja Bantaeng awalnya
kaget dengan kebiasaan itu. pada
akhirnya raja Bantaeng memahami itu.
Setiap kerajaan dibantu oleh para
badinya. Setiap abdi harus tunduk pada
perintah rajanya. Pada zaman dahulu
abdi raja sangat setia dan taat pada raja.
“Wahai kalian, akan saya pergi
mencari rusa.....cabutlah keatas Bapak,
tusuklah jangkar berkait dua. Cabutlah
jangkarmu yang berkait dua, dan putar
haluan kendaraanmu, supaya kita
laksanakan keberangkatan in bila ttak
ada halangan melayarkan perahunya,
menjalankan kendaraannya.... Maka
dicabutlah jangkarnya yang berkait
dua, dibongkarlah jangkar, jadilah
keberangkatannya. Ketika selesai
persiapannya, teruslah berlayar perahu
I Lanra Lekleng mengibarkan
benderanya...”. (S. I. M. Hal 15)
Pola Pikir Masyarakat Makassar
NURSABILAH PBSD Makassar 9
10. Makna jodoh
Perjodohan sejatinya adalah proses
penyatuan dua keluarga besar, karena itu
perjodohan juga selalu melibatkan keuarga
besar. Dalam memilih jodoh, suku
Makassar zaman dahulu
mempertimbangkan banyak hal.
Pertimbangan terbesar dalam mencari
jodoh adalah masalah kesepadanan atau
kesejajaran dalam tatanan sosial
masyarakat. Sebagai gambaran, suku
Makassar juga mengenal kasta yaitu
bangsawan, rakyat jelata dan abdi. Wanita
(apalagi wanita bangsawan) tidak boleh
menikah dengan pria dari kasta yang lebih
rendah atau dia akan kehilangan haknya.
Perkawinan terbaik adalah perkawinan
antara laki-laki dan perempuan dengan
deraj yang sama. Seperti halnya
perjodohan antara I Manakkuk dengan I
Marabintang Kamase.
“Ia masih di dalam kandungan, masih
belum sempurna anak I Marabintang
kamase, memang saya sudah sejodoh.
Mengenai hal inilah Bapak, maka saya
bangunkan engkau, saya ingatkan
engkau janji, akan kubaharui perkataan
yang sudah kau tutup. Sebab umum ini
yang dikatakan lupa, tidak menepati
janji.” (S. I. M. Hal 11)
“Bergeserlah duduknya Karaeng Somba
Lakbakkang lalu berkata, ‘Wahai anak
besar ini hajat saya, besar kunjungan
saya. Engkau yang kuhajatkan, akan
kubujuk engkau sebaik-baiknya, akan
kuminta engkau sebaik-baiknya, semoga
engkau dapat dibujuk, semoga engkau
dapat diminta, turuti perkataanku, jauhi
nasihatku sekarang ini, supaya jangan
marah, supaya jangan gelisah hati,
supaya jangan sedih hati, supaya jangan
murunng. Baiklah engkau anak
Manakkuk berkemas, supaya pulang ke
Bone, kembalilah ke Tanah Palakka, dan
kau bawa pulang sepupu sekalimu I
Marabintang Kamase, caul Mallekana,
intinya serok, hiasan Lakbakkang,
sabung tanah Malise. Nanti di dalam
anak, baru engkau kawin baik-baik. Tak
ada lagi perang anak, tak ada lagi
perselisihan besar di Tanah Lakbakkang,
sebab ada di barat di muara sungai I
Nojeng, I Manninggauk, I Mannimpasak
seberang, akan mmbeharui bicara yang
sudah lama lalu, sebab biasa sekaran
yang dikatakan dilupa”. (S. I. M. Hal 53)
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan
bahwa I Manakkuk dan I Marabintang
Kamase telah dijodohkan sebelum mereka
lahir.
Makna Malu
Arti malu sulit dirumuskan. Kadang
malu benar-benar adalah rasa segandan
rendah diri. Orang menghindar dan lari
untuk menyembunyikan dirinya. Mukanya
sudah tercoreng dalam sehingga ia
melakukan hal-hal yang menakjubkan,
yang tak terbayangkan oleh orang lain.
NURSABILAH PBSD Makassar 10
11. “Ia berkata, “Wahai Manakkuk,
mengapa engkau tak ada malu di tanah
Bantaeng, kalau tak ada malumu,
makanlah ekor ikan mangalik
(mangalik=malu). Engkau saja malu,
anak Manakkuk, lalu kami terikut-ikut
pula. Barangkali engkau inginkan anak
Manakkuk lebur Tanah Bone sekarang
ini, ikut lalu Tanah Luk di Tanah
Bantaeng. Dipanggil lagi dengan keras I
Manakkuk yang kecil oleh ibunya bunda
penyusunya. Pulang lagi I Manakkuk
yang kecil kasihan, mengusap air
matanya, mengasihani dirinya, dan
menangis terus, menangis senantiasa, I
Manakkuk yang kecil pulang lagi ke
perahu tumpangannya. Sampai di bawah
berupacaralah di bawah ibu penyusunya
I Manakkuk yang kecil sekarang ini.” (S.
I. M. Hal 31)
Makna kata malu pada kutipan di atas
adalah malu yang menyebabkan seseorang
kehilangan muka yang bahkan akan
berdampak pada keluarga dan orang-orang
disekitarnya.
“Menontonlah di atas Sitti Cina di
Bantaeng, sambil tersenyum simpul,
tertawa tak kedengaran. Naiklah konon
aganya I Manakkuk, lalu disusul olehnya
ke atas, lebih I Manakkuk tiba dari pada
raganya. Makin baik kelihatan nakin
indah dipandang mata, kemudian terasa,
lalu dia buanglah songkoknya I
Manakkuk yang kecil, dan terurailah
rambut panjangnya, hiasan selangkanya
sekarang ini. Banyak pula perempuan
malu-malu mengungkai sanggulnya di
Tanah Bantaenng sekarang ini”. (S. I.
M. Hal 26)
Makna kata malu pada kutipan ini
adalah tanda ketertarikan pada lawan jenis.
Makna Harga Diri dan Kehormatan
Apa yang mendorong orang Makassar
pada suatu ketika dalam hidupnya
melakukan sesuatu yang nekad, memilih
menyerahkan milik hidupnya yang terakhir
yakni nyawa, kemudian acap kali
dikembalikan pada konsep yang dinanakan
sebagai siri’ na pacce. Ia rela
mengorbankan apa saja demi tegaknya
harga dirinya. Katakanlah itu sebuah suatu
kesadaran tentang nilai martabat yang
didukung oleh tiap-tiap orang dalam tradisi
kehidupan masyarakat Makassar.
“Digulungkanlah ia sirih tiga gulung.
Sesudah digulung (dicanpur) disisipkan
pada raganya sekarang ini, lalu
buangkan ke bawah, tepat jatuh di depan
mulianya I Manakkuk yang kecil, lalu
ditangtinglah raganya, terlihat olehnya
sirih gulung tersisip pada raganya.
Digerakkanlah tangannya, lalu
diambillah dia masukkan ke mulutnya.
Belum kumat sirihnya, belum nikmati
rasanya, meninggallah I Manakkuk di
bawah di tempatnya bermain raga
sekarang ini. Sangat susahlah I Batu
Daeng Maklalak, I Garincing Daeng
NURSABILAH PBSD Makassar 11
12. Madattok, batu ashannya Bone dan
berkata, “Wahai kawan dengarkan
perkataanku ini, simaklah penjelasanku,
simaklah dengan baik buka mula
bicaraku di Tanah Bantaeng. Kalau
tidak disembuhkan sepupu sekaliku, dan
menjadi baik seperti semula, siapa yang
menyebabkan begitu, dialah yang
mengarenakan meninggal di Bantaeng.
Akan kupukul Bantaeng, akan kutumbuk
Lembang Cina, akan kujadikann
Topejawa seperti debu, jangan ragu-
ragu, jangan khawatir sekaran juga.”
Setelah selesai perkataan I Batu Daeng
Maklalak, I Garincing Daeng Madattok,
batu asahannya Bone, sekarang ini,
bergeser tempat duduklah ibunya bunda
kandung Sitti Cina di bantaeng kepada
ibu penyusu Sitti Cina di Bantaeng dan
berkata, “Baiklah kiranya disembuhkan
itu di bawah I Manakkuk, anak-anak
yang besar, remaja yang baru tumbuh,
sebab marah itu di bawah sepupu
sekalinya I Batu Daeng Maklalak, batu
asahannya Bone sekarang ini, dan orang
yang selalu terbukti katanya. Sekarang
kita berada dalam keadaan perang,
dalam keadaan pertempuran kalau tidak
disembuhkan”.” (S. I. M. Hal 27-28)
Pada kutipan di atas dapat dilihat
bahwa sepupu sekalinya akan
memperjuangkan harga dirinya. Merek
tidak terima sepupu sekalinya mati di
depannya secara tidak terhormat. Oleh
karena itu, mereka akan mempertahankan
kehormatan dan harga dirinya atau
istilahnya na paenteng siri’na dengan cara
berperan dengan kerajaan Bantaeng jika
nyawa sepupu sekalinya tidak di
kembalikan.
“Bergeserlah duduknya Karaeng Somba
Lakbakkang lalu berkata, ‘Wahai anak
besar ini hajat saya, besar kunjungan
saya. Engkau yang kuhajatkan, akan
kubujuk engkau sebaik-baiknya, akan
kuminta engkau sebaik-baiknya, semoga
engkau dapat dibujuk, semoga engkau
dapat diminta, turuti perkataanku, jauhi
nasihatku sekarang ini, supaya jangan
marah, supaya jangan gelisah hati,
supaya jangan sedih hati, supaya jangan
murunng. Baiklah engkau anak
Manakkuk berkemas, supaya pulang ke
Bone, kembalilah ke Tanah Palakka, dan
kau bawa pulang sepupu sekalimu I
Marabintang Kamase, caul Mallekana,
intinya serok, hiasan Lakbakkang,
sabung tanah Malise. Nanti di dalam
anak, baru engkau kawin baik-baik. Tak
ada lagi perang anak, tak ada lagi
perselisihan besar di Tanah Lakbakkang,
sebab ada di barat di muara sungai I
Nojeng, I Manninggauk, I Mannimpasak
seberang, akan mmbeharui bicara yang
sudah lama lalu, sebab biasa sekaran
yang dikatakan dilupa”
Selesai perkataan Somba Lakbakkang
bergeserlah duduknya I Manakkuk yang
NURSABILAH PBSD Makassar 12
13. kecil dan berkata anak-anak yang besar,
remaja yang baru tumbuh sekarang ini,
“Daulat tuanku, kujunjung di atas
kepalaku, janganlah saya
busung,jangalah saya merana, gugur
seperti merica, jatuh seperti buah pala
sekarang ini, saya dicoba rupanya tuan,
tetapi saya tak mau dicoba, digertak-
gertak rupanya, tetapi saya tidak mau
digertak, sekarang ini tak usah juga
beristri.”.” (S. I. M. Hal 53)
Pada kutipan di atas dapat dilihat
bahwa I Manakkuk menjunjung tinggi
harga dirinya untuk tidak lari dari
masalah. Ia lebih memilih tak beristri
dari pada lari dari keadaan dengan
menikah dengan I Marabintang Kamase.
Makna Keyakinan
“Tidak ada redanya, tidak ada
penyatuannya... Ia akan melayari
TanahLakbakkang, ia akan mengunjungi
Tanah Talak. Besar ombaknya Tanah
Teko. Ia akan mengunjungi sendirian I
marabintang Kamase. Intannya Talak,
permatanya Malise...
Setelah mendesak keberangkatannya,
bergegaslah pula berkatalah I
Manakkuk, “Turunkanlah tombak itu
kemari dari para-paranya,
sonrik(semacam keris) dari
timbangannya, bedi dari tempatnya.
Akan saya laksanakan keberangkatanku
kalau selesai persiapanku.” Selesai
perkataannya diturunkanlah semua itu.
ambillah misal, tombak ini di para-
paranya, sonrik di timbangannya, bedil
di tempatnya, semuanya telah
diturunkan. Sekarang juga, turunkanlah
pula kemari Bapak, ayam permainanku,
Bulengbulengna Manngasa (ayam puti
dari manngasa).” (S. I. M. Hal 13-14)
Pada kutipan di atas I Manakkuk
begitu yakin dengan niatnya untuk
mengunjungi I Marabintang Kamase, ia
siap dengan semua rintangan dan
tantangan yang akan dihadapinya, baik
itu ombak atau badai yang ganas.
PENUTUP
Berdasrkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa dalam “Sinrilik I
Manakkuk” tergambar beberapa
paradigma kerakyatan. Paradigma
kerakyatan yang da dalam cerita antara
lain pandangan masyarakat Makassar dan
pola pikir masyarakat Makassar.
Pandangan masyarakat Makassar yang
diungkapkan dalam “Sinrilik I Manakkuk”
ini adalah berhubungan dengan budaya,
feodalisme, hukum, dan pemerintahan.
Budaya yang tergambar dalam “Sinrilik I
Manakkuk” berupa permainan raga,
tenun, adat menerima tamu, adat bertamu,
dan adat menjamu bangsawan.
Pola pikir masyarakat Makassar yang
diungkapkan dalam “Sinrilik I Manakkuk”
ini adalah hal-hal yang berhubungan
dengan makna jodoh, makna malu, makna
NURSABILAH PBSD Makassar 13
14. harga diri dan kehormatan, dan makna
keyakinan. Makna jodoh yang tergambar
dalam “Sinrilik I Manakkuk” dimana
proses penyatuan dua keluarga besar yang
mempertimbangkan kesepadanan atau
kesejajaran dalam pandangan sosial.
Analisis ini masih dapat
dikembangkan lebih luas lagi, karena
masih banyak paradigma kerakyatan yang
belum dapat diungkapkan mengingat
waktu yang sangat terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi
Sastra sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Dapertemen
pendidikan dan Kebudayaan.
Parawansa, P. et al. 1984. Sastra Sinrilik
Makassar. Ujung Pandang: Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesi
dan Daerah Sulawesi Selatan.
Salma Djirong, 1999. Prosa dalam Sastra
Makassar. Jakarta; Pusat Pembinaan
dan Pengembangan, Dapertemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sikki, Muhammad et al. 1991. Nilai-nilai
Budaya dalam Sastra Daerah Sulawesi
Selatan. Jakarta; Pusat Pembinaan dan
Pengembangan, Dapertemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra.
Pengantar Teori Sastra. Jakarta;
Pustaka Jaya.
Wellek & Warren, 1989. Teotri
Kesusastraan, Jakarta; PT Gramedia
Pustaka Utama.
NURSABILAH PBSD Makassar 14