Teks ini membahas usulan program pendidikan strata-4 (S-4) untuk lulusan program S-3 di Indonesia. Beberapa pendukung beranggapan bahwa S-3 bukan puncak prestasi intelektual dan lulusan S-3 layak mendapatkan gelar lebih lanjut. Namun, ada juga yang skeptis karena menganggap tujuan pendidikan S-3 adalah terus belajar sepanjang hayat. Di beberapa negara, sudah ada program pasca-doktoral untuk
PENGANTAR PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIALpptx
Program pendidikan strata 4 bagi alumnus program s-3
1. PROGRAM PENDIDIKAN STRATA-4
BAGI ALUMNUS PROGRAM S-3?
Oleh : Nasrullah Idris
Sriwijaya Post – 30 Oktober 2012
Di sebuah forum diskusi yang diikuti sebagian diikuti oleh mahasiswa
pasca sarjana, saya pernah mengajukan usulan program pendidikan "S-
4" di Indonesia, yang kemudian menimbulkan perdebatan panjang.
Kepada mereka, saya katakan bahwa lulusan S-3 hendaknya tidak
lagi dipandang sebagai puncak prestasi intelektual untuk bidang apa pun
dalam pendidikan formal, sehingga terdorong upaya membentuk kualitas
yang lebih daripada itu.
Dengan adanya ide tersebut tentu merangsang para lulusan S-3 terus
belajar, membaca, sampai meneliti, terutama yang merupakan
kelanjutan bidang studi sebelumnya. Bukankah saat wawasannya sudah
mencapai standar yang ditetapkan aturan akademik, yang bersangkutan
berhak memberikannya berupa gelar S-4.
Alasan lainnya adanya kenyataan di kalanan masyarakat akademik di
tanah air di mana kualitas lulusan S-3 tidak selalu sama.
Rasanya akan mengubah pola motivasi masyarakat Indonesia
terhadap pendidikan bila usulan tersebut terwujud. Misalkan munculnya
keinginan memasuki "komunitas akademisi yang semakin elitis".
Maklumlah, sudah menjadi sifat manusia yang cenderung menginginkan
posisi puncak pada sistim piramida prestasi. Logikanya, apakah sama
motivasi mereka bila puncak pendidikan formal hanya sampai S-2?
Cukup banyak juga peserta yang bersikap skeptis. Mereka
menganggapnya tidak perlu. Soalnya kewajiban setiap individu untuk
terus belajar, tidak peduli, apakah ia memiliki S-1, S-2, atau S-3.
Peringkat itu hanya menentukan berapa lama ia kuliah secara formal.
Yang penting ada kemauan keras.
Ya kalau konsekwen, sudahlah semua gelar dihapus saja. Himbau
saja orang setamat SMA terus belajar autodidak, toh esensinya sama
saja.
Tetapi apa mungkin? Bukankah para lulusan SMA ngotot masuk PT
juga dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi dari lembaga pendidikan
yang diikutinya.
2. Saya tidak bermaksud membuat orang haus gelar. Sekedar
mengembangkan dari realitas tujuan berpendidikan formal. Siapa sih
yang bersedia setiap hari ke kampus tanpa harapan penganugerahan
gelar setelah mencapai kurun waktu tertentu?
Peserta lainnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan S-3 secara
implisit untuk terus belajar. Lulusannya sudah memperoleh modal
banyak dan mempunyai wawasan luas dalam penelitian, percobaan, dan
keputusan. Bila ada orang meneruskan belajarnya demi memperoleh S-
4, itu sudah tidak ikhlas lagi namanya.
Idealnya memang demikian. Entah sudah berapa seringnya
himbauan seputar spontanitas berpendidikan dikemukakan para tokoh
melalui forum atau ketika diwawancarai. Tetapi nyatanya sosok
semacam itu kan susah ditemukan.
Jadi, balas saya kepada yang bersangkutan, masalah itikad
dipisahkan saja. Biarlah dibahas secara khusus yang bermuara pada
tema kesadaran pendidikan sebagai sarana pencari jalan keluar bagi
setiap problem kehidupan.
Kembali pada persoalan pokok.
Sebenarnya di luar negeri sudah ada apa yang dimaksud di atas.
Hanya namanya "Pasca Doktor" atau "Post Doctoral". Tidak sedikit
alumnus S-3 merasa belum puas bila belum melewatinya.
Hanya kabarnya bukan jenjang pendidikan, kata soerang mahasiswa
Indonesia di Australia, sekedar masa transisi: memperdalam ilmu dan
pengalaman saja. Jadi tiada gelar tambahan.
Pada masa ini si person benar-benar dinilai dari beberapa aspek
seperti kemampuan/kepiawaiannya dalam menghasilkan "internasional
publications" di mana ini susah dikejar ketika ia menjalani program S-3.
Malah kata mahasiswa Indonesia lainnya di Amerika Serikat, kalau
tidak salah studi lanjutkan setelah menyesaikan S-3 sudah lazim
dilakukan seperti di Amerika/Eropa.
Tujuannya antara lain dalam rangka melakukan riset tanpa ingin
terganggu oleh kegiatan lain. Misalkan seorang kawan asal Indonesia
yang mengambil program tersebut karena ia ingin menulis buku.
3. Pesertanya tetap full time bekerja untuk kampus. Kerjanya hanya
meneliti untuk kemudian rangkumannya dikirim ke berbagai jurnal.
Mereka tidak sekedar mengadopsi fenomena dari pustaka juga
menciptakan interaksi melalui analisa, riset, dan eksperimen, sehingga
mengarah pada pemikiran : tuntas-detail-integratif.
Tanggapan balik saya : kalau memang demikian kenapa tidak
langsung saja dipatenkan serta disosialisasikan sebagai jenjang
pendidikan formal. Jadi jangan lagi setengah-setengah. Tinggal
membuat aturan akademik, termasuk akronim gelar berdasarkan setiap
jurusan.
Saya rasa bila saja program S-4 segera dilaksanakan, itu sama saja
dengan membangunkan alumnus S-3, terutama yang tidak lagi aktif di
kampus, untuk kembali sebagai mahasiswa. Asal saja disikapi opitimis,
yaitu melihat berbagai prospek positif dalam kandungannya, tanpa
mengabaikan semua jenjang di bawahnya, S-3 sampai SD.
Sebaliknya bila disikapi pesimis ya akan susah terealisasi,
sebagaimana yang tampak pada beberapa peserta forum diskusi ini.
Mereka cenderung menginginkan, agar pendidikan yang ada sajalah
dulu yang harus dibenahi secara maksimal.
Itu jelas. Tetapi program S-4 pun harus dipandang sebagai kredit
point potensial bagi SDM. Apakah ditunda saja hanya karena akan
mengganggu program pendidikan lainnya? Itu bukan alasan. Karena toh
urutan prioritasnya/ritual akademiknya bisa diatur kemudian dengan
tetap berpijak pada realitas.
Bayangkan, apa jadinya bila jenjang pendidikan di Indonesia hanya
sampai S-2? Saya yakin, jumlah lulusan S-1 tidak akan sebanyak
sekarang. (Nasrullah Idris/Bidang Studi : Reformasi Sains
Matematika Teknologi)