SlideShare a Scribd company logo
1 of 3
Rihlah: Syar’iyyah atau Syaithâniyyah

                                Oleh: Muhsin Hariyanto

Rihlah, yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah ”piknik’
atau ”tour’ dalam bahasa Inggris, yang sebenarnya adalah perbuatan yang ’mubah’ (boleh
dikerjakan), saat ini – tiba-tiba -- menjadi perbincangan yang menarik di antara sahabat-
sahabat penulis. Kenapa? Karena ’piknik-piknik’ itu kini telah menjadi komoditas baru
dan bahkan menjadi sarana perbuatan yang tak pantas untuk dikakukan oleh siapa pun
yang masih mengedepankan nuraninya.

Penulis, yang beberapa saat pernah belajar Ushûl al-Fiqh dan Teori Maqâshihd asy-
Syarî’ah, memahami keresahan para sahabat penulis itu. Sesuatu yang semula berkategori
’mubah’ bisa jadi berubah hukumnya – misalnya – haram atau makruh, dan bisa jadi
berubah menjadi sunnah atau wajib, bergantung pada ’illah (causa-legis, sebab hukum
yang melatarbelakanginya) dan maqshad (tujuannya)-nya. ’Piknik’ (rihlah) yang semula
berkategori ’mubah’ ”kini” ditengarai bisa berubah menjadi sesuatu yang pantas
diharamkan, atau paling tidak dimakruhkan, karena ada sinyal-sinyal yang menandakan
adanya ketidak-manfaatan dan kemadharatan yang bisa bermuara pada sesuatu yang
haram, baik dalam bentuk manipulasi-manupulasi simbolik, dampak-dampak negatif
yang bisa diperhitungkan, maupun niat-niat tak terpuji yang ada di balik simbol-simbol
mulia ’rihlah syar’iyyah’ (piknik yang – pada dasarnya -- dihalalkan).

Kasus pak Surono, misalnya (bukan nama sebenarnya). ”Dia” adalah orang yang paling
suka ’piknik’. Apalagi piknik yang diselenggarakan oleh kantornya dengan menggunakan
uang kantornya. Dia – dan boleh jadi isteri dan anak-anaknya – nampaknya tidak peduli
apakah piknik yang diikutinya itu cukup proporsional, dalam arti benar-benar penting
selaras dengan kepentingan kantornya atgau tidak. Yang penting bagi dirinya – dan
mungkin juga (bagi) isteri dan anaknya – ”menyenangkan” dan boleh jadi ”memuaskan
”ego”-nya.

Dia tidak mau dipusingkan oleh kritik teman-teman sejawatnya yang selalu
mengingatkan agar bisa mengalahkan ’ego’-nya untuk bersikap lebih arif, yang dalam
istilah sahabat-sahabat dekatnya ”mempertimbangkan mashlahat dan madharatnya”.
Bukankah ulama ushul fiqih sudah pernha memperkenalkan sebuah kaedah: ”al-
mashâlihul ’âmmah muqaddamah ’an al- al-mashâlihul khâshshah” (kepentingan publik
harus diprioritaskan daripada kepentingan pribadi); dan ”darul mafâsid muqaddam’an
jalbil mashâlih” (mencegah terjadinya kerusakan harus diprioritaskan daripada
memperoleh kemanfaatan).

Nampaknya, dia – dan mungkin juga anak-isterinya – sudah sebegitu cinta terhadap
budaya ’piknik’, dan bahkan mengemasnya dengan beberapa istilah yang diharapkan bisa
mencitrakan kebaikannya, seperti: ”rihlah ’ilmiyyah” (study tour), rihlah ta’âwuniyyah
(cooperative tour), yang dikesankan baik dan dikemas dengan beberapa kemasan
kosetikal lainnya. Dan bahkan jargon ’silaturrahim’ disertakan untuknya, misalnya
dengan menuliskan tema acara ’piknik’ kantornya pada spanduk panjang dan indah ---



                                            1
pada bulan |Syawal” -- dengan rangkaian kata: ”Kita sukseskan safari syawal kita
dengan semangat ukhuwwah|”. ”Luar Biasa!”

Teman-teman penulis yang – sedikit-banyak -- tahu maksudnya hanya bisa bergumam ”
sekarang ini hal-hal yang bersifat pantas atau tidak pantas sangatlah dipengaruhi oleh
pola pikir masyarakat yang terbangun, di antaranya efektif terbentuk melalui pembiasaan
yang berkelanjutan. Sampai-sampai muncul jargon baru, sebagai ungkapan pejoratif :
”benarkan yang biasa, dan jangan biasakan yang benar”, untuk menggantikan jargon yang
seharusnya disosialisasikan secara berkelanjutan ”Biasakan yang benar dan jangan
membenarkan yang biasa”.

Penulis khawatir, lebih jauh (kalau dibiarkan tanpa kontrol) pembiasaan yang
(sebenarnya) salah ini akan berimplikasi negatif pada perubahan tatanan masyarakat kita,
walaupun saat ini proses anomali kehidupan yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa
dengan berbagai variannya telah berlangsung dan mendapatkan pembenaran publik,
karena mereka berkepentingan untuk mebudayakannya.

Implikasi negatif di antaranya terbentuk melalui proses imitasi, di mana ada upaya
masyarakat mendekatkan pada ciri yang menjadi tren di masyarakat. Terlebih lagi
apabila hal tersebut dapat meningkatkan status sosial, mengandung nilai lebih pada diri
seseorang, serta menyebabkan diterimanya pada komunitas tertentu.
Keberhasilan ”key persons” (orang-orang yang berpengaruh) dalam memerankan diri
sebagai sosok ’pahlawan’ bagi komunitas yang sudah terpengaruh oleh budaya ’hedonis’
tidak hanya menyukseskan karya penting yang dibawakannya. Namun, juga
membesarkan pamornya, yang pada berimplikasi pada ketenaran dan perolehan kue-kue
kenikmatan duniawi di lingkungan kantornya, dan bahkan di dalam komunitas yang
bersahabat dengannya. Hal inilah yang kemudian menjadi pendorong para aktor pecinta
kenikmatan ’piknik’ ini untuk terus bereperan untuk mengeksploitasi perannya sebagai
’broker’ penguras duit kantor demi kepentingan-kepentingan pribadi dan para kroninya,
dengan mengabaikan dampak (negatif) sosialnya, termasuk dampak (negatif) bagi
kantornya, yang dengan perilakunya tergerogoti pilat-pilar penyangganya.

Kita dapat melihat betapa rapuhnya masyarakat kita ketika menghadapai budaya ’piknik’,
yang dalam skala tertentu bisa diterjemahkan ke dalam budaya ’mudik’. Mereka lebih
banyak yang menyerah dan ikut menikmati, dan disisi lain ada sekelompok yang justeru
lari dari masalah, dan bukan – dengan gagah berani -- berusaha menghadapi masalah.
Sehingga, tidaklah mengherankan jika angka aktivitas ’piknik’ yang tidak etis itu -- di
masyarakat kita -- semakin meningkat pesat dengan berbagai variasi kasus
manipulasinya.

Lebih tragis lagi, kita juga sering disuguhi tontonan ’para badut politik’ bangsa ini, yang
sangat pandai bersilat lidah, dengan mengatasnamakan ”studi banding” yang secara kasat
mata nyata-nyata telah mereka lakukan sebagai ’piknik-piknik’ yang sarat dengan
kepentingan pribadi. Kita pun sering melihat betapa lihainya para pembela orang-orang
’salah’ ini dengan berbagai caranya mereka membuat kebijakan yang berakibat pada
kesengsaraan rakyat, menyelenggarakan kegiatan ’piknik’ berjamaah atas nama


                                            2
kepentingan rakyat, padahal substansinya adalah ”melancong’ untuk kesenangan pribadi,
keluarga dan para kroninya.

Lebih ironis lagi, berbagai sikap tidak bertanggung jawab yang diperlihatkan para
pemimpin bangsa ini yang pada hakikatnya adalah ”produk” dari mentalitas ’korup’ yang
melekat pada diri mereka.. Setali-tiga uang, tidak berbeda substansinya dengan peran
’broker’ yang dimainkan oleh pak Surono pada setiap acara ’piknik-kantoran' tingkat
lokal di dalam komunitas kecilnya, yang pada akhirnya berujung pada ’’ketebalan’ saku
dan dompetnya. Para pemimpin kita, telah banyak bermain akrobat untuk mengisi pundi-
pundi mereka. Dengan acara ’studi banding’ atas nama rakyat yang tal pernah
berimplikasi positif bagi rakyat, kcuali unyuk para keluarga dan kroni mereka.
Untuk itu, masyarakat yang masih memiliiki nurani perlu berani untuk bersikap tegas
”berteriak – dengan kata – tidak” kepada mereka, sebagai peringatan dini bagi para
pelakunya dan shock therapy bagi mereka yang (akan) melakukannya.
Siapa lagi yang harus melakukan kontrol sosial atas mereka (para pecinta ’piknik’ haram
– rihlah syaithâniyyah – yang bernuansa ’korup’ itu), kalau bukan ”kita”, sejumlah orang
yang masih mengedepankan nurani. Dan dengan lantang harus kita katakan: ”Hai para
pelaku piknik ’haram’ (atau minimal ’makruh’), jadilah ”para pelaku piknik (halal) yang
bermartabat. Silakan berpiknik dengan cara-cara ’etis’ yang tak berseberangan dan
melanggar prinsip-prinsip syari’at, dengan serangkian aktivitas ’piknik; halal yang
bernama ”rihlah syar’iyyah”, serangkaian kegiatan ’piknik’ yang bersesuaian dengan
prinsip-prinsip syariat, yang seharusnya dilakukan bukan dengan pola ”isrâf (berlebih-
lebihan) dan tabdzîr (pemborosan)”. Dan tak terkecuali bagi para pemudik: ”Hindarkan
diri kita dari jebakan konsumerisme dalam tradisi ’piknik’ (yang bisa berakibat
memiskinkan diri dan banyak orang) yang kini tengah menjadi bagian dari budaya
(sebagian) masyarakat kita”.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES
’Aisyiyah Yogyakarta




                                           3

More Related Content

Viewers also liked

Jangan memandang rendah (revisi)
Jangan memandang rendah (revisi)Jangan memandang rendah (revisi)
Jangan memandang rendah (revisi)Muhsin Hariyanto
 
Sucikan hati, berantas korupsi
Sucikan hati, berantas korupsiSucikan hati, berantas korupsi
Sucikan hati, berantas korupsiMuhsin Hariyanto
 
Meneladani dengan spirit fastabiqul khairat
Meneladani dengan spirit fastabiqul khairatMeneladani dengan spirit fastabiqul khairat
Meneladani dengan spirit fastabiqul khairatMuhsin Hariyanto
 
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)Muhsin Hariyanto
 
Doa agar cepat hamil lengkap
Doa agar cepat hamil lengkapDoa agar cepat hamil lengkap
Doa agar cepat hamil lengkapMuhsin Hariyanto
 
Kontekstualisasi konsep jihad
Kontekstualisasi konsep jihadKontekstualisasi konsep jihad
Kontekstualisasi konsep jihadMuhsin Hariyanto
 
Animation de communautés
Animation de communautésAnimation de communautés
Animation de communautésDujol Lionel
 
Quelle identité numérique professionnelle au sein de l’institution
Quelle identité numérique professionnelle au sein de  l’institution Quelle identité numérique professionnelle au sein de  l’institution
Quelle identité numérique professionnelle au sein de l’institution Dujol Lionel
 
Livre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliser
Livre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliserLivre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliser
Livre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliserDujol Lionel
 

Viewers also liked (12)

Berhala kekuasaan
Berhala kekuasaanBerhala kekuasaan
Berhala kekuasaan
 
Jangan memandang rendah (revisi)
Jangan memandang rendah (revisi)Jangan memandang rendah (revisi)
Jangan memandang rendah (revisi)
 
Man jadda wajada
Man jadda wajadaMan jadda wajada
Man jadda wajada
 
Sucikan hati, berantas korupsi
Sucikan hati, berantas korupsiSucikan hati, berantas korupsi
Sucikan hati, berantas korupsi
 
Meneladani dengan spirit fastabiqul khairat
Meneladani dengan spirit fastabiqul khairatMeneladani dengan spirit fastabiqul khairat
Meneladani dengan spirit fastabiqul khairat
 
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)
Fatwa 17 2007_shalat_iftitah (fatwa ppm majelis tarjih dan tajdid)
 
Doa agar cepat hamil lengkap
Doa agar cepat hamil lengkapDoa agar cepat hamil lengkap
Doa agar cepat hamil lengkap
 
Kontekstualisasi konsep jihad
Kontekstualisasi konsep jihadKontekstualisasi konsep jihad
Kontekstualisasi konsep jihad
 
Bahan ajar ushul fiqh
Bahan ajar ushul fiqhBahan ajar ushul fiqh
Bahan ajar ushul fiqh
 
Animation de communautés
Animation de communautésAnimation de communautés
Animation de communautés
 
Quelle identité numérique professionnelle au sein de l’institution
Quelle identité numérique professionnelle au sein de  l’institution Quelle identité numérique professionnelle au sein de  l’institution
Quelle identité numérique professionnelle au sein de l’institution
 
Livre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliser
Livre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliserLivre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliser
Livre numérique en bibliothèque publique : s'engager ou se marginaliser
 

Similar to Rihlah syar'iyyah

Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016Ananta Bangun
 
Pemimpin untuk perubahan Syariat Islam Ditegakkan
Pemimpin untuk perubahan Syariat Islam DitegakkanPemimpin untuk perubahan Syariat Islam Ditegakkan
Pemimpin untuk perubahan Syariat Islam Ditegakkanhera wijaya
 
Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017
Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017
Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017Muchlis Soleiman
 
Makalah Penyimpangan Sosial
Makalah Penyimpangan SosialMakalah Penyimpangan Sosial
Makalah Penyimpangan SosialWiwit Alfyan
 
Budayawan dan politisi pancasilais
Budayawan dan politisi pancasilaisBudayawan dan politisi pancasilais
Budayawan dan politisi pancasilaisSoniaHariAgatha1
 
Pengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plus
Pengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plusPengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plus
Pengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plusEdi Awaludin
 

Similar to Rihlah syar'iyyah (9)

Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016
 
Pemimpin untuk perubahan Syariat Islam Ditegakkan
Pemimpin untuk perubahan Syariat Islam DitegakkanPemimpin untuk perubahan Syariat Islam Ditegakkan
Pemimpin untuk perubahan Syariat Islam Ditegakkan
 
Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017
Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017
Tipe kelompok sosial dan budaya ilmu sosial budaya dasar-2017
 
Stammering3
Stammering3Stammering3
Stammering3
 
Makalah Penyimpangan Sosial
Makalah Penyimpangan SosialMakalah Penyimpangan Sosial
Makalah Penyimpangan Sosial
 
Budayawan dan politisi pancasilais
Budayawan dan politisi pancasilaisBudayawan dan politisi pancasilais
Budayawan dan politisi pancasilais
 
Karangan kejiranan
Karangan kejirananKarangan kejiranan
Karangan kejiranan
 
4 a daya tarik n asas manfaat tulisan
4 a daya tarik n asas manfaat tulisan4 a daya tarik n asas manfaat tulisan
4 a daya tarik n asas manfaat tulisan
 
Pengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plus
Pengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plusPengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plus
Pengkhianatan syiah-kepada-ahli-bait-plus
 

More from Muhsin Hariyanto

Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahMuhsin Hariyanto
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Muhsin Hariyanto
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanMuhsin Hariyanto
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMuhsin Hariyanto
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Muhsin Hariyanto
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabulMuhsin Hariyanto
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamMuhsin Hariyanto
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifMuhsin Hariyanto
 

More from Muhsin Hariyanto (20)

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
 
Etika dalam berdoa
Etika dalam berdoaEtika dalam berdoa
Etika dalam berdoa
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
 
Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)
 
Strategi dakwah
Strategi dakwahStrategi dakwah
Strategi dakwah
 
Sukses karena kerja keras
Sukses karena kerja kerasSukses karena kerja keras
Sukses karena kerja keras
 
Opini dul
Opini   dulOpini   dul
Opini dul
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
 
Tentang diri saya
Tentang diri sayaTentang diri saya
Tentang diri saya
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
 
Ketika kita gagal
Ketika kita gagalKetika kita gagal
Ketika kita gagal
 
Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!
 
Gatotkaca winisuda
Gatotkaca winisudaGatotkaca winisuda
Gatotkaca winisuda
 

Rihlah syar'iyyah

  • 1. Rihlah: Syar’iyyah atau Syaithâniyyah Oleh: Muhsin Hariyanto Rihlah, yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah ”piknik’ atau ”tour’ dalam bahasa Inggris, yang sebenarnya adalah perbuatan yang ’mubah’ (boleh dikerjakan), saat ini – tiba-tiba -- menjadi perbincangan yang menarik di antara sahabat- sahabat penulis. Kenapa? Karena ’piknik-piknik’ itu kini telah menjadi komoditas baru dan bahkan menjadi sarana perbuatan yang tak pantas untuk dikakukan oleh siapa pun yang masih mengedepankan nuraninya. Penulis, yang beberapa saat pernah belajar Ushûl al-Fiqh dan Teori Maqâshihd asy- Syarî’ah, memahami keresahan para sahabat penulis itu. Sesuatu yang semula berkategori ’mubah’ bisa jadi berubah hukumnya – misalnya – haram atau makruh, dan bisa jadi berubah menjadi sunnah atau wajib, bergantung pada ’illah (causa-legis, sebab hukum yang melatarbelakanginya) dan maqshad (tujuannya)-nya. ’Piknik’ (rihlah) yang semula berkategori ’mubah’ ”kini” ditengarai bisa berubah menjadi sesuatu yang pantas diharamkan, atau paling tidak dimakruhkan, karena ada sinyal-sinyal yang menandakan adanya ketidak-manfaatan dan kemadharatan yang bisa bermuara pada sesuatu yang haram, baik dalam bentuk manipulasi-manupulasi simbolik, dampak-dampak negatif yang bisa diperhitungkan, maupun niat-niat tak terpuji yang ada di balik simbol-simbol mulia ’rihlah syar’iyyah’ (piknik yang – pada dasarnya -- dihalalkan). Kasus pak Surono, misalnya (bukan nama sebenarnya). ”Dia” adalah orang yang paling suka ’piknik’. Apalagi piknik yang diselenggarakan oleh kantornya dengan menggunakan uang kantornya. Dia – dan boleh jadi isteri dan anak-anaknya – nampaknya tidak peduli apakah piknik yang diikutinya itu cukup proporsional, dalam arti benar-benar penting selaras dengan kepentingan kantornya atgau tidak. Yang penting bagi dirinya – dan mungkin juga (bagi) isteri dan anaknya – ”menyenangkan” dan boleh jadi ”memuaskan ”ego”-nya. Dia tidak mau dipusingkan oleh kritik teman-teman sejawatnya yang selalu mengingatkan agar bisa mengalahkan ’ego’-nya untuk bersikap lebih arif, yang dalam istilah sahabat-sahabat dekatnya ”mempertimbangkan mashlahat dan madharatnya”. Bukankah ulama ushul fiqih sudah pernha memperkenalkan sebuah kaedah: ”al- mashâlihul ’âmmah muqaddamah ’an al- al-mashâlihul khâshshah” (kepentingan publik harus diprioritaskan daripada kepentingan pribadi); dan ”darul mafâsid muqaddam’an jalbil mashâlih” (mencegah terjadinya kerusakan harus diprioritaskan daripada memperoleh kemanfaatan). Nampaknya, dia – dan mungkin juga anak-isterinya – sudah sebegitu cinta terhadap budaya ’piknik’, dan bahkan mengemasnya dengan beberapa istilah yang diharapkan bisa mencitrakan kebaikannya, seperti: ”rihlah ’ilmiyyah” (study tour), rihlah ta’âwuniyyah (cooperative tour), yang dikesankan baik dan dikemas dengan beberapa kemasan kosetikal lainnya. Dan bahkan jargon ’silaturrahim’ disertakan untuknya, misalnya dengan menuliskan tema acara ’piknik’ kantornya pada spanduk panjang dan indah --- 1
  • 2. pada bulan |Syawal” -- dengan rangkaian kata: ”Kita sukseskan safari syawal kita dengan semangat ukhuwwah|”. ”Luar Biasa!” Teman-teman penulis yang – sedikit-banyak -- tahu maksudnya hanya bisa bergumam ” sekarang ini hal-hal yang bersifat pantas atau tidak pantas sangatlah dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang terbangun, di antaranya efektif terbentuk melalui pembiasaan yang berkelanjutan. Sampai-sampai muncul jargon baru, sebagai ungkapan pejoratif : ”benarkan yang biasa, dan jangan biasakan yang benar”, untuk menggantikan jargon yang seharusnya disosialisasikan secara berkelanjutan ”Biasakan yang benar dan jangan membenarkan yang biasa”. Penulis khawatir, lebih jauh (kalau dibiarkan tanpa kontrol) pembiasaan yang (sebenarnya) salah ini akan berimplikasi negatif pada perubahan tatanan masyarakat kita, walaupun saat ini proses anomali kehidupan yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dengan berbagai variannya telah berlangsung dan mendapatkan pembenaran publik, karena mereka berkepentingan untuk mebudayakannya. Implikasi negatif di antaranya terbentuk melalui proses imitasi, di mana ada upaya masyarakat mendekatkan pada ciri yang menjadi tren di masyarakat. Terlebih lagi apabila hal tersebut dapat meningkatkan status sosial, mengandung nilai lebih pada diri seseorang, serta menyebabkan diterimanya pada komunitas tertentu. Keberhasilan ”key persons” (orang-orang yang berpengaruh) dalam memerankan diri sebagai sosok ’pahlawan’ bagi komunitas yang sudah terpengaruh oleh budaya ’hedonis’ tidak hanya menyukseskan karya penting yang dibawakannya. Namun, juga membesarkan pamornya, yang pada berimplikasi pada ketenaran dan perolehan kue-kue kenikmatan duniawi di lingkungan kantornya, dan bahkan di dalam komunitas yang bersahabat dengannya. Hal inilah yang kemudian menjadi pendorong para aktor pecinta kenikmatan ’piknik’ ini untuk terus bereperan untuk mengeksploitasi perannya sebagai ’broker’ penguras duit kantor demi kepentingan-kepentingan pribadi dan para kroninya, dengan mengabaikan dampak (negatif) sosialnya, termasuk dampak (negatif) bagi kantornya, yang dengan perilakunya tergerogoti pilat-pilar penyangganya. Kita dapat melihat betapa rapuhnya masyarakat kita ketika menghadapai budaya ’piknik’, yang dalam skala tertentu bisa diterjemahkan ke dalam budaya ’mudik’. Mereka lebih banyak yang menyerah dan ikut menikmati, dan disisi lain ada sekelompok yang justeru lari dari masalah, dan bukan – dengan gagah berani -- berusaha menghadapi masalah. Sehingga, tidaklah mengherankan jika angka aktivitas ’piknik’ yang tidak etis itu -- di masyarakat kita -- semakin meningkat pesat dengan berbagai variasi kasus manipulasinya. Lebih tragis lagi, kita juga sering disuguhi tontonan ’para badut politik’ bangsa ini, yang sangat pandai bersilat lidah, dengan mengatasnamakan ”studi banding” yang secara kasat mata nyata-nyata telah mereka lakukan sebagai ’piknik-piknik’ yang sarat dengan kepentingan pribadi. Kita pun sering melihat betapa lihainya para pembela orang-orang ’salah’ ini dengan berbagai caranya mereka membuat kebijakan yang berakibat pada kesengsaraan rakyat, menyelenggarakan kegiatan ’piknik’ berjamaah atas nama 2
  • 3. kepentingan rakyat, padahal substansinya adalah ”melancong’ untuk kesenangan pribadi, keluarga dan para kroninya. Lebih ironis lagi, berbagai sikap tidak bertanggung jawab yang diperlihatkan para pemimpin bangsa ini yang pada hakikatnya adalah ”produk” dari mentalitas ’korup’ yang melekat pada diri mereka.. Setali-tiga uang, tidak berbeda substansinya dengan peran ’broker’ yang dimainkan oleh pak Surono pada setiap acara ’piknik-kantoran' tingkat lokal di dalam komunitas kecilnya, yang pada akhirnya berujung pada ’’ketebalan’ saku dan dompetnya. Para pemimpin kita, telah banyak bermain akrobat untuk mengisi pundi- pundi mereka. Dengan acara ’studi banding’ atas nama rakyat yang tal pernah berimplikasi positif bagi rakyat, kcuali unyuk para keluarga dan kroni mereka. Untuk itu, masyarakat yang masih memiliiki nurani perlu berani untuk bersikap tegas ”berteriak – dengan kata – tidak” kepada mereka, sebagai peringatan dini bagi para pelakunya dan shock therapy bagi mereka yang (akan) melakukannya. Siapa lagi yang harus melakukan kontrol sosial atas mereka (para pecinta ’piknik’ haram – rihlah syaithâniyyah – yang bernuansa ’korup’ itu), kalau bukan ”kita”, sejumlah orang yang masih mengedepankan nurani. Dan dengan lantang harus kita katakan: ”Hai para pelaku piknik ’haram’ (atau minimal ’makruh’), jadilah ”para pelaku piknik (halal) yang bermartabat. Silakan berpiknik dengan cara-cara ’etis’ yang tak berseberangan dan melanggar prinsip-prinsip syari’at, dengan serangkian aktivitas ’piknik; halal yang bernama ”rihlah syar’iyyah”, serangkaian kegiatan ’piknik’ yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip syariat, yang seharusnya dilakukan bukan dengan pola ”isrâf (berlebih- lebihan) dan tabdzîr (pemborosan)”. Dan tak terkecuali bagi para pemudik: ”Hindarkan diri kita dari jebakan konsumerisme dalam tradisi ’piknik’ (yang bisa berakibat memiskinkan diri dan banyak orang) yang kini tengah menjadi bagian dari budaya (sebagian) masyarakat kita”. Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES ’Aisyiyah Yogyakarta 3