Dokumen ini membahas tentang sikap umat Islam dalam menghadapi kezaliman. Menurut Syeikh Wael dari Palestina, kaum Rohingya di Myanmar dan rakyat Palestina sama-sama mengalami penderitaan sebagai kaum terzalimi. Walaupun terzalimi, umat Islam disarankan untuk bersabar sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan sikap sabar dan menjalin ukhuwah, umat Islam akan menjadi pemenang tanpa menciptakan pec
1. Menyikapi Kezaliman: “Apa Sikap Kita?”
Oleh: Muhsin Hariyanto
Kemarin, Subuh 4 Ramadhan 1433 H., saya berkesempatan untuk
berceramah di Masjid Jogokaryan Yogyakarta dan bertemu dengan seorang
ulama dari Palestina – Syeikh Wael M.S. Alzayd al-Hafizh, Imam dari Masjid
Umari Al Kabir di Jalur Gaza Palestina -- yang menjadi Imam Shalat Subuh
pada saat itu. Tidak banyak yang sempat saya perbincangkan selain saling
menyapa dan berbagi cerita tentang rapuhnya ukhuwah Islamiyah. Banyak
umat kita (baca: umat Islam) yang terzalimi, sementara kepedulian kita
belum cukup untuk bisa menolong mereka dari kezaliman para penguasa
yang ‘zalim’ di beberapa belahan dunia.
Palestina – menurut Syeikh Wael -- memang tidak sama dengan Myanmar,
tetapi penderitaannya bisa dikatakan ‘mirip’. Kaum Rohingya di Myanmar,
kelompok etnis muslim yang hingga kini masih menjadi kaum mustadh’afin.
(Mengenai derita Rohingya, baca: http://muhsinhar.staff.umy.ac.id). ‘Derita
Rohingnya’ adalah juga derita kita, sebagaimana derita Palestina. Mereka
adalah bagian dari kaum mustadh’afîn. Umat yang tengah terzalimi dan
perlu mendapatkan perhatian kita.
Tidak banyak yang bisa saya peroleh dari Syeikh Wael di masjid Jogokaryan
Yogyakarta ketika itu karena terbatasnya waktu penulis bersua dengan
dirinya, karena penulis harus segera menyelesaikan tugas di rumah,
Namun, terinspirasi oleh salah pernyataan Syeikh Wael, selepas subuh
tentang masih banyaknya kaum muslimin yang terzalimi dan rapuhnya ruh
ukhuwah Islamiyah, penulis sempatkan di rumah untuk membaca kitab suci
Alquran.Ddan tiba-tiba-tiba, tanpa sengaja, penulis tertegun dan berhenti
sejenak ketika membaca salah satu ayat al-Quran (QS an-Nisâ’, 4: 148). Di
dalam ayat tersebut Allah SWT berfirman:: “lâ yuhibbullâhul jahra bis-sûi
minal qauli illâ man zhulima wa kânallâhu samî’an ‘alîmâ” (Allah tidak
menyukai perbuatan buruk yang diucapkan secara terus terang, kecuali oleh
orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui).
Dalam kitab tafsir yang sempat penulis baca, ayat tersebut bahkan
“melegalkan” perkataan seburuk apa pun atau sumpah serapah yang
dilakukan oleh orang-orang yang terzalimi, dan itu semua dikategorikan
oleh Allah sebagai “doa”. Dan bahkan menurut salah salah satu sabda
Rasulullah s.a.w., doa orang yang terzalimi adalah mustajâbah (pasti
1
2. dikabulkan), dan langsung didengar oleh Allah, sebagaimana tersebut
dalam sebuah hadits: “wattaqi da’watal mazhlûmi, fa innahu laisa bainahu wa
bainallâhi hijâb” “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak
ada suatu penghalang pun antara doa tersebut dan Allah.” (HR Abu Dawud dari
Abdullah bin Abbas).
Berhati-hatilah terhadap doa orang terzalimi, karena pada saat doa-doa
mereka terucap dari lisan meraka, doa-doa itu pun seolah akan berjalan
tanpa hambatan menuju langit, melampaui cakrawala, menembus seluruh
atmosfir bumi, dan ‘langsung’ dijawab oleh Allah dengan jawaban pasti.
Meskipun dalam ayat yang lain, Allah menasihati kepada semua orang yang
merasa terzalimi untuk bersabar dengan firman-Nya: “in tubdû khairan au
tukhfûhu au ta’fû ‘an sûin fa innallâha kâna ‘afuwwan qadîrâ” (Jika kamu
menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya dan memaafkan
sesuatu kesalahan orang lain, maka sungguh Allah Maha Pemaaf, lagi Maha
Kuasa. (QS an-Nisâ’, 4: 149)
Penulis masih ingat, bahwa di sela-sela dialog itu Sang Ulama Palestina itu
memberi nasihat kepada penulis, bahwa siapa pun pasti pernah mengalami
‘sakit hati’, karena dizalimi. Tetapi Rasulllah s.a.w. memberi pelajaran
kepada umat Islam untuk tetap bersabar dengan salah satu sabdanya:
“laisasy syadîdu bish-shur’ati, innamasy syadîdul ladzî yamliku nafsahu ‘indal
ghadhab” (bukanlah orang yang kuat itu ‘seorang pegulat’ [yang mampu
membanting semua lawan tandingnya], tetapi orang yang kuat’ itu ialah
orang yang mampu mengendalikan diri ketika marah).
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, tak dapat dipungkiri bahwa selalu
ada orang dan sekelompok kuat dan ada juga orang dan sekelompok orang
lemah, ada yang kaya dan miskin, Ada orang dan sekelompok orang kuat,
besar dan kaya karena hasil usahanya sendiri, tetapi juga ada yang
dikarenakan faktor-faktor lain di luar dirinya. Ada pula orang dan
sekelompok orang yang lemah, miskin dan bodoh karena kemalasannya
sendiri, tetapi juga tidak sedikit yang menjadi lemah, miskin dan bodoh
karena situasi dan kondisinya yang menjadikannya seperti itu. Bahkan ada
jua orang dan sekelompok orang yang memiliki pandangan teologis
‘jabariyah’, yang meyakini bahwa keadaan kuat-lemah, kaya-miskin, pintar-
bodoh itu adalah suratan takdir Allah yang tak bisa diubah (mubram), dan
tak mudah mengarahkan kepada mereka untuk memahaminya sebagai
takdir yang harus diupayakan, karena berkaitan dengan sunnatullah
(mukhayyar).
2
3. Adanya keniscayaan fenomena lemah-kuat, kaya-miskin dan pintar-bodoh
yang bersifat kultural, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Tetapi
masalahnya, selagi ada kezaliman, penganiayaan dan penindasan yang
terjadi sebagai sebab yang melatarbelakanginya, maka semua menjadi
masalah yang perlu dicari solusi proposionalnya. Karena, dalam kenyataan
hidup sehari-hari, kita sering menyaksikan orang atau sekelompok orang
yang berada pada pihak yang lemah dianiaya (baca: dilemahkan secara
sistemik dan sistematik) oleh pihak yang kuat. Akibatnya pihak yang lemah-
lemah bepotensi semakin lemah, yang pihak yang kuat akan semakin kuat,
apalagi ketika semuanya didukung oleh sistem dan budaya ‘korup’ yang
dinikmati dan dilestarikan oleh pihak yang kuat.
Untuk menyikapi fenomena kezaliman tersebut, kita – umat Islam -- harus
sadar bahwa sikap bijak kitalah yang akan menentukan nasib masa depan
kita. Kita di masa yang akan datang tergantung kepada apa yang kita
kerjakan saat ini. Dan kita harus selalu ‘ ingat’, bahwa Allah selalu ada
untuk ‘kita’ (lâ tahzan innallâha ma’anâ, QS at-Taubah, 9 : 40). Allah selalu
akan memerhatikan dan membantu diri kita, selama diri kita selalu berada
dalam kesadaran untuk membantu saudara-saudara kita seiman (“wallâhu fî
‘aunil ‘abdi mâ kânal ‘abdu fî ‘auni akhîhi”, HR Muslim dari Abu Hurairah).
Sekali lagi “antum” (anda) jangan sekali pun bersedih hati, karena
pertolongan Allah akan segera datang dan diperlihatkan sebelum kita
meninggalkan dunia ini. Kita akan menang dan pasti pada saatnya akan
memenangi setiap peperangan dengan siapa pun dalam bentuk perang apa
pun, asal kita hadapi semuanya dengan sikap ‘sabar’, Yakinlah terhadap
firmn Allah SWT: “innallâha ma’ash shâbirîn” (sesungguhnya Allah selalu
beserta orang-orang yang bersabar), kapan pun dan di mana pun. Seperti
kata para ulama: man shabara zhafara (siapa pun yang bersedia untuk
bersabar, pasti akan memperoleh kemenangan).
Nasihat ini tentu saja bukan hanya berlaku untuk kaum Rohingnya di
Myanmar dan tentu saja juga bukan hanya bagi bangsa Palestina. Tetapi
secara universal berlaku untuk kita semua di belahan bumi mana pun dalam
konteks apa pun.
Dengan sikap sabar dan menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kita,
insyâallâh, pada saat yang tepat, kita akan menjadi ‘pemenang’ tanpa harus
menciptakan para pecundang.
3
4. Inilah ruh (semangat) fastabiqûl khairât yang selamanya harus kita
implementasikan untuk melawan kezaliman dalam pelbagai ragam
bentuknya.
Nashrun Minallâhi wa Fathun Qarîb.
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES ‘Aisyiyah
Yogyakarta
4