1. SALAM DAN SENYUM
Oleh: Muhsin Hariyanto
Kalimat Afsusy Salâm, yang disampaikanpaikan Rasulullah
s.a.w. dalam suatu kesempatan kepada para sahabatnya adalah pesona
universal. Sesuatu yang mudah diamalkan, namun sarat manfaat. Dengan
senyumnya Nabi kita, Muhammad s.a.w. selalu menyapa kolega
tercintanya dengan salam, dan menjawab sapaan salam mereka dengan
salam yang sama. Sesuatu yang indah dan penuh makna, karena beliau
ucapkan salamnya dengan kesucian hati dan keikhlasan jiwa. Ia
tampilkan slamnya dengan senyuman ekspresif seraya berbagi kasih
sayang deengan kelembutan suaranya. Inilah salah satu wujud
kesempurnaan akhlak beliau yang seharusnya menjadi contoh bagi siapa
pun yang mengaku umatnya. Menebarkan salam dengan senyuman,
itulah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dari waktu ke
waktu ketika beliau berjumpa dengan siapa pun dalam kesempatan apa
pun. Sapaan Sang Pemimpin untuk umatnya.
Abdullah ibn al-Harits r.a. -- salah seorang sahabat Nabi s.aw. --
pernah berkisah bahwa belum pernah dirinya melihat seseorang yang
lebih banyak tersenyum daripada Nabi s.a.w., kapan pun beliau bersua
dengan sahabatnya.. Bahkan kata salah seorang cucu Nabi s.a.w., Husen
ibn Ali, keluhuran akhlak beliau-- menurut ayahnya (Ali ibn Abi Thalib) --
terhadap orang-orang yang bergaul dengannya, antara lain ditunjukkan
dengan senyuman. Itulah yang juga kami lihat pada pribadi pak Sangat.
Kehidupan Nabi s.a.w. yang penuh dengan senyum itulah yang
diamalkan oleh Pak Sangat, salah seorang karyawan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta yang sehari-hari bertugas di bagian “Rumah
Tangga”, dengan tugas utamanya menyiapkan dan menghidangkan
minuman kepada seluruh karyawan lembaga ini. Tidak ada yang luar
biasa pada sosok pribadi yang satu ini dalam kesehariannya, selain
“salam, sapa dan senyum” yang selalu menyertai setiap pertemuannya
dengan siapa pun yang ia jumpai.
Pak Sangat adalah salah seorang yang – menurut pak rektor
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada saat itu (Prof.Dr. Ahmad
Mursyidi, M.Sc.) -- sangat mulia akhlaknya, lapang dadanya, luas kasih
sayangnya dan pantas menjadi teladan bagi siapa pun yang berkeinginan
untuk menjadi orang yang berakhlak mulia. Terbukti di suatu hari penulis
berjumpa dengannya untuk suatu keperluan. Di tengah jalan, sebelum
penulis menyapanya, pak Sangat yang persis ada di depan penulis berdiri
menyapa dengan salam dan senyum dan memegang erat-erat tangan
kanan penulis. Penulis pun membalasnya dengan salam dan senyum,
sambil menyapa: ‘apa kabar?” (dengan bahasa Jawa halus). Dia pun
tersenyum kepada penulis lalu seraya berkata: “‘baik-baik pak ..., mudah-
mudahan bapak baik-baik juga, dengan bahasa Jawa yang lebih halus”.
1
2. Dan bahkan dilanjutkan dengan ucapan bahasa Jawa Donga-dinonga
pak ... (Ind: mari kita saling mendoakan).
Menghadapi tugas-tugas beratnya, pak Sangat masih tersenyum,
dan tidak pernah lupa menyalami setiap orang yang dijumpainya dengan
ucapan “assalamu’alaikum, seperti Rasulullah s.a.w. panutan kita (yang
juga adalah panutannya), tersenyum dan menyapa dengan salam yang
sama, “senyum dan salam seorang muslim terhadap muslim yang lain”.
Pak Sangat selalu menatap wajah orang yang ditemui dan disalaminya
dengan penuh perhatian, terlihat tanpa beban, karena dirinya memang
selalu melakukannya dengan sepenuh hati. Sebuah senyuman yang
bagaikan cahaya, selalu tersungging di kedua bibir pak Sangat, kepada
sahabat penulis dan juga sahabat siapa pun yang pernah bersua
dengannya. Pribadi yang hadir menebar kasih sayang, dan tak sekalipun
terkesan berpura-pura.
Meskipun beliau seseorang yang senantiasa menebarkan salam
dan senyum, namun beliau pun menempatkan salam dan senyum pada
tempatnya. Bila ada orang yang salah atau berbuat sesuatu yang tak
berkenan (karena memang pantas dianggapa salah), tak segan-segan pak
Sangat menegurnya dengan sapaan santun penuh makna. Salah seorang
rekan kerjanya pernah bercerita kepada penulis, bahwa dirinya pernah
mendapatkan nasihat panjang-lebar dengan tutur kata yang amat
bersahabat hanya karena pernah terlambat datang dalam bekerja dan
sedikit agak tidak disiplin. “Pada suatu hari dirinya datang tepat pada jam
07.45, dan tanpa basa-basi menyiapkan minuman yang biasa dia siapkan
untuk para karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan
agak tergesa-gesa, sehingga beberapa gelas minuman yang disiapkannya
tumpah di lantai. Spontan pak Sangat memegang tangannya sambil
berkata: “Jangan pergi dulu, Saya mau bicara denganmu”. Saat itulah pak
Sangat dengan sangat antusias menasehatinya dengan tutur-kata santun
dan bersahabat, yang esensinya adalah nasihat untuk “berdisiplin,
berhati-hati tidak perlu tergesa-gesa, dan biasakan datang berkerja tepat-
waktu”. Tanpa menunjukkan sikap marahnya, sahabatnya paham bahwa
pak Sangat sata itu sedang marah, dengan senyum khas seorang yang
berjiwa pendidik. Meskipun -- secara formal -- dia bukan dosen di
perguruan tinggi ini, tetapi sikapnya perlu menjadi teladan bagi para
dosen yang tidak semua biasa mengucapkan salam, tersenyum dan
menyapa para mahasiswanya dengan sikap santun seperti pak Sangat.
Salam dan senyum pak Sangat hingga detik ini (saat penulis
menorehkan tulisan di komputer), masih terkesan. Meskipun kini Dia
sudah pensiun dan tak bekerja lagi di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, namun pelajaran berharga darinya tetap melekat pada benak
penulis. Siapa saja yang – dengan kesucian hati -- pernah bersua
dengannya insyaallah sependapat bahwa salam dan senyum pak Sangat
adalah warisan yang perlu dilestarikan, sebagaimana salam dan senyum
Rasulullah s.a.w. kepada para sahabatnya yang hingga kini tetap menjadi
2
3. warisan yang sangat berharga bagi setiap pengikutnya yang berkeinginan
kuat untuk mewarisi akhlak-mulianya.
Kalau pak Sangat bisa mewarisi akhlak Rasulullah s.a.w.,
bagaimana dengan kita?
Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES
‘Aisyiyah Yogyakarta.
3