Teks ini membahas tentang pemberhalaan terhadap uang dan kekuasaan sebagai berhala modern yang dapat menyebabkan korupsi. Nabi Ibrahim A.S. mencontohkan sikap kritis terhadap berhala dengan menghancurkan patung ayahnya sendiri, demikian pula sikap antisyirik perlu dijalankan terhadap uang dan kekuasaan yang sering menjadi tujuan utama politisi dan pejabat. Pemberian sesaji dalam bentuk uang untuk mendap
1. Berhala Kekuasaan
Oleh: Muhsin Hariyanto
Di zaman jahiliyah, Hubal -- sebuah arca dan terletak di dalam Ka’bah --
oleh penduduk Makkah dipersepsi sebagai pengawas Ka’bah. Mereka
memujinya dan memberi sesaji dengan ritual suci yang dipersembahkan baginya,
bagi Sang Berhala yang dipertuhankan dengan pelbagai ragam upacara. Dan
persembahan seperti inilah yang sejak zaman Nabi Ibrahim a.s. hingga Nabi
Muhammad s.a.w. berkembang pesat menjadi bagian dari budaya masyarakat
jahiliyah.
Nabi Muhammad s.a.w. bukan saja tidak sepakat dengan budaya ini.
Sebagai 'urf fâsid (budaya yang rusak dan merusak), pemberhalaan terhadap arca
diupayakan untuk dikikis habis. Tidak ada kata "toleran" untuk budaya yang
rusak dan merusak sendi-sendi tauhid yang seperti ini. Karena, kalimat lâ ilâha
illallâh yang menjadi intisari ajaran tauhid Islam sama sekali tak memberi ruang
bagi budaya seperti ini.
Saat ini 'Hubal' yang pernah ada di dalam Ka'bah memang sudah tidak
ada lagi, tetapi berhala-berhala lain yang bentuknya lebih beragam muncul bak
jamur di musim hujan. 'Sang Hubal' yang menjadi bidikan Nabi Muhammad
s.a.w. telah berubah menjadi 'berhala-berhala modern', yang kini terus mengalami
perubahan bentuk tanpa sedikit pun mengalami perubahan substansi, berubah
menjadi lebih memukau dan secara berkesinambungan mengikuti perkembangan
zaman.
Menyikapi fenomena pemberhalaan terhadap apa pun, kita bisa belajar
pada Nabi Ibrahim a.s. ketika mengawali pengembaraan kesalehannya. Dia
dengan gagah berani bersikap kritis terhadap patung-patung ciptaan ayahnya
sendiri. Benda-benda yang menurut pandangannya akan dapat mengikis sikap
tauhidnya kepada Allah tidak hanya sekadar dicela, bahkan sebagian dihancurkan
untuk menandai sikap antisyiriknya. Tentu saja sikap ini bukan tak berisiko.
Tetapi, karena Nabi Ibrahim a.s. harus memilih, maka dia harus memilih untuk
mencintai dan dicintai Allah daripada harus bersahabat dengan setan, yang
dengannya 'dia' harus menerima kemurkaan dari Allah.
Semangat antisyirik Nabi Ibrahim a.s. inilah yang kini seharusnya
digerakkan menjadi 'gerakan moral', berupa sikap kritis terhadap segala bentuk
pemberhalaan terhadap apa pun, yang diprediksi akan bermuara pada
penyekutuan Allah. Konteks aktualnya tentu saja bisa beragam. Misalnya dalam
dunia politik adalah simbolisasi ”sesembahan” yang berupa pemberhalaan
terhadap uang dan kekuasaan. Karena sekarang ini, uang dan kekuasaan tengah
dan cenderung akan tetap menjadi sahabat karib untuk menjadi alat yang cukup
efektif untuk mendapatkan 'kesuksesan' duniawi. Karena, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa dalam dunia politik sekarang berhala kehidupan itu mengerucut
ke dalam bentuk 'uang dan kekuasaan', dua sejoli yang selalu menjadi sahabat
karib.
Fenomena korupsi --- misalnya -- yang benar-benar telah menghancurkan
sendi-sendi kehidupan bangsa, tak pelak lagi merupakan ekspresi ke-segala-an;
1
2. betapa para pelakunya telah menembus sekat sosial dan kesalehan. Bahkan
orang-orang yang kita yakini memahami masalah moralitas dan agama pun tak
sedikit yang terjangkiti penyakit ini. Banyak nilai kebaikan dalam kehidupan
yang ditabrak oleh kekuatan sikap pemberhalaan terhadap dua berhala modern
ini (uang dan kekuasaan).
Kita ambil contoh, kalau bukan karena memberhalakan uang, tentu tak
akan muncul orang seperti Gayus Tambunan. Kalau bukan karena kekuatan
pemberhalaan, tak akan muncul para wajib pajak dari perusahaan-perusahaan
yang lebih memilih untuk menyetorkan kewajibannya kepada Gayus dan kawan-
kawan ketimbang keharusan memenuhinya ke kas negara. Kalau bukan karena
pertemuan kepentingan berhala-berhala kekuasaan dan uang, tak akan
berkembang fenomena pelecehan dalam berbagai modusnya terhadap hukum
negara.
Mereka yang memberhalakan jabatan rela mengorbankan apa saja demi
terwujudnya impian menggenggam jabatan dambaan. Pemberian sesaji yang
lazim dipersembahkan penganut paganisme sering dilakukan pencinta
kekuasaan. Bentuk sesaji itu telah dimodifikasi agar sesuai tuntutan zaman.
Sesaji di zaman modern ini bukan lagi 'nasi tumpeng' dan 'kepala kerbau'. Tetapi
berupa kucuran uang untuk menyuap orang tertentu demi ambisi dapat
merangkul berhala jabatan. Tidak perlu diusut dan diketahui asal-usul uang sesaji
itu, apakah bersumber dari hasil keringat sendiri, harta warisan atau mungkin
uang panas pemberian ‘orang-orang misterius’.
Seperti tradisi para penyembah berhala di zaman jahiliah, pemberian
sesaji menjadi sarana untuk memperdekat diri dengan berhala jabatan yang
diincar. Sesaji yang telah dikeluarkan itu biasanya dapat ditarik kembali setelah
yang bersangkutan menguasai berhala jabatan dambaan. Uang sesaji miliaran
rupiah yang telah dikucurkan itu nantinya akan masuk kembali ke rekening
pemilik berhala, melalui penyunatan uang negara, penggelapan pajak hingga
pemerasan terhadap orang lemah dengan perbagai modus operandinya.
Kecintaan berlebihan pada berhala kekuasaan itu terlihat dari wujud
kegigihan dan pengorbanan yang ditunjukkan. Uang miliaran rupiah menjadi hal
lumrah dikeluarkan oleh para politisi dan kandidat pejabat tertentu dalam masa
pra-pemilihan. Penghamburan uang yang dapat diibaratkan sebagai bentuk lain
dari sesaji itu dikucurkan dalam beragam bentuk: bagi-bagi amplop, distribusi
sembako, pemberian santunan, hingga pemberian fasilitas apa pun pada pihak
yang dianggap bisa memberi keuntungan,
Penulis menengarai, jika calon penguasa lebih menghanyutkan diri pada
pemberhalaan uang dan kekuasaan, maka yang terjadi salah satunya adalah
berlakunya manajemen politik berbasis ekonomi. Pilkada – misalnya -- pada
akhirnya bisa bermakna ritual pembelian kekuasaan. Sebuah peragaan transaksi
ekonomi dan politik. Layaknya sebuah investasi, Sang Investor bukan saja
berharap kembalinya modal yang telah ditanam, namun harus lebih dari modal
tersebut.
2
3. Berkaca dari uraian di atas, penulis hanya bisa berharap agar mereka yang
telah telanjur mengidolakan jabatan secara berlebihan, segera bertaubat. Selain
meminta ampun kepada Allah karena telah terlena oleh godaan jabatan, juga
berupa kerja keras untuk memenuhi semua janji yang pernah diikrarkan, jangan
lagi berupaya untuk mengembalikan uang sesaji yang telah dikeluarkan di masa
suksesi dengan cara menggunting uang rakyat, apalagi memeras orang lemah
untuk memenuhi pundi-pundi pribadi.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES
'Aisyiyah Yogyakarta
3