Buku ini membahas program Desa Tangguh yang bertujuan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Program ini dilaksanakan selama satu tahun lebih di dua desa di Kabupaten Bantul, DIY dengan dukungan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Prosesnya meliputi pengorganisasian awal, identifikasi potensi dan risiko bencana, penyusunan rencana penanggulangan bencana, edukasi masyarakat
3. KA
ATA PE
ENGAN
NTAR
Assa
alamualaiku Wr. Wb.
um
Sudah banyak yang menyampaikan bahwa N
k n Negara Ind
donesia me
emiliki
kera
awanan tinggi terhadap berbag jenis bencana terutama. Na
gai amun
perh
hatian yang lebih mem
g madai pada Pengurang
gan Risiko Bencana (PRB)
baru muncul se
u ekitar enam tahun tera
m akhir setelah terjadi beberapa ben
h ncana
alam besar
m berturut-turut di Indo
onesia. Pe
enanganan bencana yang
sebe
elumnya ce
enderung be onsif dan spontan, kin mulai berg
ersifat respo ni gerak
ke arah preve
entif dan k
kesiap-siagaan denga bertump pada upaya
an pu u
gurangan ri
peng isiko bencana walaupu masih be
un elum signifik dampaknya.
kan
Pada saat ini pula tingka kesiapsia
at agaan benc
cana di ma
asyarakat masih
m
olong rendah sehingg masih perlu menja perhatia semua pihak
tergo ga p adi an
yang bekerja di
g iarea penan
nggulangan bencana.
n
Men
ningkatnya f
frekuensi ke
ejadian ben
ncana di Ind
donesia pad umumnya dan
da a
di DIY pada khu
ususnya tel membuka mata semua pihak a
lah akan pentin
ngnya
pertimbangan a
aspek kebe
encanaan dalam pemb
d bangunan. Kejadian ge
empa
bum besar Mei 2006, bencana tanah longsor di Kulon Prog kekering di
mi h go, gan
Gun
nung Kidul, erupsi Me
erapi di Sleman, ancaman tsunam dan ban di
mi njir
sepa
anjang pesi Bantul-K
isir Kulonprogo dan angin puting beliung di bebe
erapa
wilay
yah DIY me
enyadarkan semua pe
n elaku dan p
pelaksana p
pembangun di
nan
DIY akan perlunya perha
atian mens
sinergikan upaya pen
ngurangan risiko
benc bencana ala maupun non alam.
cana baik b am
Bencana dapat diredam dan dikurang risiko dan dampakny secara berarti
t gi n ya b
bila masyarakat mem
apab mpunyai info
ormasi dan pengetahu
uan yang cukup
c
serta adanya budaya penc
a cegahan da ketahana terhadap bencana. Salah
an an p S
satu aspek pen
u nting dalam penanggu
m ulangan bencana adalah memba
angun
kesiapan dan ketangg
guhan ditin
ngkat mas
syarakat. H
Hal inilah yang
ndasari BAP
men PPEDA Provinsi DIY se
elaku badan perencana pembang
n gunan
daer
rah di Prov
vinsi DIY, b
bersama de
engan Bada Kesbang
an glinmas Pro
ovinsi
DIY dan Proyek “Safer Co
k ommunities through Dis
saster Risk Reduction” (SC-
”
i
4. DRR) yang didukung oleh BAPPENAS-KEMENDAGRI-BNPB dan UNDP
untuk membuat pilot project bernama “Desa Tangguh’ di Provinsi DIY.
Seluruh komponen, dalam hal ini warga, kepala keluarga, para pemimpin
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
institusi lokal/regional/nasional/ internasional, sektor swasta dan publik
diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam upaya mengurangi
kerentanan bencana di tingkat komunitas yang berada di wilayah berisiko
bencana.
Untuk ke depan, apa yang dilakukan oleh YP2SU melalui Program
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas “Desa Tangguh”,
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan ketangguhan masyarakat
dalam menghadapi bencana. Dibutuhan kerja sama untuk mensinergikan
sumber daya, koordinasi kegiatan, membentuk jejaring dan kemitraan
dalam usaha menjalankan program PRBBK yang berkelanjutan ini.
Dengan diterbitkannya buku Memoar Desa Tangguh YP2SU diharapkan
dapat menjadi kontribusi yang mampu menjawab kurangnya bahan
pembelajaran bagi upaya pengurangan risiko bencana di tingkat
komunitas. Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah bekerjasama dalam pilot project Desa Tangguh dan dalam
penyusunan buku ini terutama YP2SU dan SCDRR-UNDP yang telah
menfasilitasi dan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu. Semoga buku ini dapat memenuhi maksud dan tujuan penyusun
dan kerjasama ini akan terus terjalin di kelak kemudian hari dalam rangka
meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, Januari 2011
Koordinator Project Officer
PPMU SCDDR Provinsi DIY
DANANG SAMSURIZAL
i
5. SEBUAH CATATAN
Oleh: Eko Teguh Paripurno*
Telah kita ketahui bersama, desa telah lama menjadi
subyek (atau obyek?) pelaksanaan program oleh
lembaga-lembaga pemerintah dalam negeri,lembaga
pemerintah luar negeri, lembaga non pemerintah
dalam negeri maupun lembaga non pemerintah luar
negeri. Dahulu pernah kita kenal status desa sebagai
Desa Pancasila, Desa Mandiri, Desa Wisata, Desa
Konservasi, Desa Sehat, Desa Sadar Hukum dan
lainnya. Dari namanya tentu kita sudah paham siapa
lembaga-lembaga "penggagasnya". Sekarang, dalam
konteks penangulangan bencana, diantara kita
sedang mewujudkan Desa Siaga Bencana, Kampung
Siaga Bencana, Desa Tangguh dan lainnya.
Nah,buku ini adalah catatan pengalaman untuk
mewujudkan Desa Tangguh itu.
Mewujudkan “Desa Tangguh”, bagaimana prosesnya? Proses pengorganisasian untuk
pemberdayaan masyarakat adalah proses pembelajaran bagi para pelakunya.
Sebelum memulai proses pengorganisasian ini, tentu YP2SU telah memikirkan
berbagai “menu” proses yang telah tersedia hasil para pelaku pendahulunya, untuk
dipilih dan diadaptasikan di wilayah
kerjanya. Tentu termasuk di dalamnya pengalaman-pengalaman internal lembaga
dalam melakukan pendampingan pemberdayaan ekonomi – yang merupakan isu
sentral kerja-kerja YP2SU sebelum program ini dilaksanakan. Pada akhirnya, ruang
dan waktu yang menentukan proses yang dipilih untuk dilakukan, yaitu 6 (enam)
tahapan proses pemberdayaan: (1) Pengorganisasian Awal, (2) Identifikasi Potensi
dan Risiko Bencana, (3) Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, (4)
Edukasi Masyarakat, (5) Pemberdayaan Ekonomi dan (6) Pelembagaan dan
Legalisasi Desa Tangguh. Dan, YP2SU telah berhasil menjalankan mendatnya untuk
mewujudkan Desa Tangguh itu...
Desa yang bersedia memahami ancaman dan kerentanannya adalah modal dasar bagi
memungkinkanya sebuah desa menjadi Desa Tangguh. Biasanya kita mudah
mengupas ancmaan yang ada di desa kita, tetapi enggan membaca kerentanan di
desa kita secara jujur. Bahkan cenderung ditutup-tutupi. Paparan kerentanan terbaca
rinci di masyarakat, tetapi belum cukup kuat membaca kerentanan birokrasi, baik di
desa sampai jajaran di atasnya. Tidak disinggung perkara korupsi. Birokrasi korup, itu
rentan. Tidak korup, itu berkapasitas.
6. Kaparitas yang penting bagi sebuah ketangguhan desa adalah kemampuan
memobilisasi dana. Deklarasi Mulyodadi yang diamini oleh banyak pelaku eksternal
telah menunjukan hal tersebut. Masyarakat bersepakat untuk sebaik-baiknya
mengorganisasikan sumberdaya dari semua pihak untuk membangun ketangguhan itu.
Semoga di dalamnya termasuk memobilisasi sumberdaya internal, Ini menjadi hal
penting karena ketangguhan sejati adalah ketangguhan yang berbasis pada
keswadayaan; yang dalam jangka panjang tidak memunculkan ketergantungan.
Bukankah pengurangan risiko bencana itu merupakan strategi pengurangan risiko
bencana dengan input eksternal minimum?
Ketangguhan ekonomi menjadi pilar penting agar ketangguhan terhadap bencana itu
bisa terjadi. Tentu menjadi tidak nyaman bila ketangguhan bencana kita disandarkan
kepada pihak lain, tergantung sumberdaya pihak lain. Oleh karenanya penguatan
ekonomi menjadi hal yang tidak terpisahkan. Ajakan untuk bermain di sektor ekonomi
lewat GEMI-nya, yang beriring dengan penanggulangan bencana, yang dikemukakan
sebagai Slamet lan Raharjo benar adanya. Jadi, jangan memisahkan ketangguhan
terhadap bencana dari ketangguhan terhadap aset penghidupan (termasuk ekonomi di
dalamnya)...
Dan akhirnya, lembaga yang akan mengawal untuk mewujudkan dan menjaga
ketangguhan ini lembaga macam apa? Tentunya lembaga yang sadar bahwa ada
investasi 1:6,5 yang diperlukan untuk menjaga aset yang kita miliki. Lembaga yang
mampu memobilisasi aset internal untuk menjamin keberlanjutan itu. Semoga Forum
PRB Desa selalu bersemangat dan bernenergi untuk mewujudkan hal itu, dengan atau
tanpa YP2SU dan UNDP maupun aktor external lain. Mari kita membuktikan bahwa
kita bisa mandiri.
*Koordinator Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta/Penerima
Penghargaan United Nations Sasakawa Award 2010
7. SEKEDAR PRAKATA PENULIS
Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga buku ini dapat
diselesaikan dan dipublikasikan.
Buku “Siaga Selalu Aman Seterusnya” ini disusun sebagai hasil pembelajaran
bersama setelah satu tahun lebih YP2SU Yogyakarta, dengan dukungan penuh dari
Program SCDRR UNDP dan Pemerintah Indonesia, menyelenggarakan Program
Desa Tangguh, sebuah program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas
(PRBBK) di 2 (dua) desa di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sehingga, semua hal yang ditulis oleh penulis dalam buku ini adalah
hasil pembelajaran semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik tim Program Desa
Tangguh, Pemerintah Desa lokasi program, maupun masyarakat di lokasi program.
Hal yang cukup menarik adalah, bahwa program Desa Tangguh yang
diselenggarakan dalam Program ini adalah adanya dukungan penuh dari
Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DIY maupun Pemerintah
Kabupaten Bantul. Hal ini, bagi penulis, menunjukkan sebuah potensi besar
sinergisitas antara semua pihak untuk membangun masyarakat yang tanggap dan
tangguh menghadapi ancaman bencana yang sedemikian besar.
Di level masyarakat, program ini diterima dengan baik, ditandai dengan partisipasi
masyarakat yang aktif dan produktif. Banyak dinamika menantang yang mewarnai
hubungan antara masyarakat dengan tim program, mulai dari dinamika yang
menguntungkan, hingga dinamika yang memerlukan penyelesaian. Hanya saja,
begitulah lika‐liku penyelenggaraan program berbasis isu yang relative baru
dikembangkan di Indonesia.
Dalam pengantar ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar‐besarnya kepada
semua pihak, termasuk contributor penulisan yang terlibat dalam penulisan buku
ini, yang semakin memperkaya hasil pembelajaran program Desa Tangguh.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang
belum terisi dalam penulisan buku ini. Penulis mengharapkan adanya masukan konstruktif
demi tersempurnakannya isi buku ini untuk di kemudian hari.
Yogyakarta, 14 Februari 2010
Penulis
8.
DAFTAR ISI
Halaman Cover……………………………………………………………………………. i
Kata Pengantar…....………………………………………………………………………. viii
Daftar Isi…………..……………………………………………………………………..… ix
Bab I Sekilas Tentang Program Desa Tangguh……………………………...……….. 1
Bab II Saat-saat Awal Pengorganisasian………………………………………………. 11
Bab III Pengkajian Potensi Dan Pemetaan Risiko Bencana Desa………………….. 17
Bab IV Perumusan Perencanaan Penanggulangan Bencana……...……………….. 31
Bab V Edukasi Masyarakat……………………..……………………………………….. 43
Bab VI Slamet Raharjo: Membangun Penghidupan Berkelanjutan Untuk
Masyarakat…............................................................................................................. 58
Bab VII Pelembagaan Dan Legalisasi Desa Tangguh…...…………………………… 65
Bab VIII Penutup…………………....…………………………………………………….. 87
Daftar Pustaka……………………....…………………………………………………….. 92
Factsheet Program Desa Tangguh………………………..……………………………. 94
Personel Program Desa Tangguh…………………………..…………………………… 95
Profil Penulis………………………………………………………………………………. 97
9.
1
10.
BAB I
SEKILAS TENTANG PROGRAM DESA TANGGUH
A. Profil Singkat Program Desa Tangguh
Program Desa Tangguh adalah program pendampingan masyarakat tingkat desa untuk
mengurangi potensi dampak bencana, dengan membangun dan memperkuat pengetahuan,
partisipasi dan sistem regulasi masyarakat dan pemerintah desa untuk pengurangan risiko
bencana. Program ini telah diselenggarakan selama 1 (satu) tahun di 2 (dua) desa di Kabupaten
Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Desa Wonolelo (Kecamatan Pleret), dan
Desa Mulyodadi (Kecamatan Bambanglipuro). Program ini diselenggarakan mengingat
kerentanan kedua desa ini terhadap ancaman bencana, yang telah terbukti dalam sejarah
perjalanannya. Desa Mulyodadi adalah desa rawan bencana gempa bumi, yang dibuktikan
ketika pada peristiwa gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006, 80% rumah di wilayahnya hancur
dan lebih dari 200 warga meninggal dunia. Desa Wonolelo juga rawan bencana gempa bumi
karena berdekatan dengan sesar Opak, dan juga rawan tanah longsor karena daerahnya
berbukit‐bukit.
Selama pelaksanaannya sepanjang tahun 2010 silam, Program Desa Tangguh telah
menghasilkan beberapa output, seperti yang disebutkan dalam table di bawah ini:
Tabel 1.1
Deskripsi Aktivitas Program Desa Tangguh
No Keluaran Program Bentuk
1 Regulasi& a. Peraturan Desa tentang Rencana Penanggulangan
Kelembagaan PB Bencana Desa;
Desa b. SK Lurah Desa tentang Rencana Aksi Komunitas Desa;
c. SK Lurah Desa tentang Perencanaan Kontinjensi
Bencana Desa;
d. SK Lurah Desa tentang Forum Pengurangan Risiko
Bencana Desa
2 Kajian Bahaya, a. Video Komunitas Desa
Kerentanan & b. Kajian Risiko Bencana Desa
Kapasitas Desa c. Penyusunan Peta Risiko Bencana Desa
2
11. 3 Pelatihan/Sosialisa a. Simulasi Bencana Gempa Bumi
si Kebencanaan b. Sosialisasi Kebencanaan (Penanganan Pengungsi, PPPK,
Ketahanan Pangan, Penggunaan Alat Deteksi Longsor,
Perubahan Iklim, Penanganan Kebakaran.
4 Kampanye/Edukasi a. Pentas Kesenian Bertemakan Kebencanaan (Ketoprak,
Masyarakat Teater, Macapat, Lagu)
b. Penulisan Buletin, Media Kampanye (poster, bulletin)
untuk warga desa.
c. Edukasi Penanggulangan Bencana untuk Anak
d. Edukasi Bencana untuk Perempuan
e. Edukasi Bencana Untuk Petani
5 Pelatihan a. Pelatihan manajemen Usaha Mikro‐Kecil‐Menengah dan
Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Desa.
Ekonomi b. Pembentukan Forum Pengembangan Ekonomi Desa
6 Hibah a. Dana Hibah untuk kegiatan Penanggulangan Bencana
Rp.100 juta per desa
b. Monitoring dan pendampingan penggunaan dana hibah
Gambar 1.1
Kesenian Hadroh Desa Wonolelo,
Salah satu potensi media PRBBK pedesaan
3
12.
Demi mencapai hasil yang optimal, Program Desa Tangguh bersinergi dengan potensi yang ada
di masyarakat, yaitu:
• Potensi Lokal (Kelompok Seni Budaya, Ormas Keagamaan Lokal);
• Eksisting Regulasi+Kebijakan Pemerintah Daerah tentang PRBBK (Mis:Perda
Penanggulangan Bencana, RPJMDes, RPJMD/RKPD, RPBD/RAD PRB), beserta
Kelembagaan (BPBD, Bappeda, Kesbangpollinmas; dan SKPD lain);
• Program‐Program Stake holders Lain (NGO‐Donor, PNPM, Organisasi Lokal, dll);
• Pelembagaan Partisipasi (Regulasi dan Dokumen Kebencanaan Masyarakat dan
Lembaga Forum PRB Masyarakat – dibentuk oleh perwakilan masyarakat
rentan+pemerintah masyarakat, dilegalisasi, diberdayakan);
• Isu Lintas Sektoral (sensitive gender, perubahan iklim);
• Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat untuk mendukung perkembangan asset untuk
PRB Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan.
B. Profil Lokasi
Program Desa Tangguh diselenggarakan di 2 (dua) desa di Kabupaten Bantul, Provinsi DI
Yogyakarta, yakni di Desa Wonolelo (Kecamatan Pleret), dan Desa Mulyodadi (Kecamatan
Bambanglipuro). Adapun profil singkat lokasi program tersebut dapat diperiksa dalam tabel di
bawah ini:
Tabel 1.2.
Profil Singkat Lokasi Program Desa Tangguh
Desa Wonolelo Desa Mulyodadi
Lokasi: Kecamatan Pleret, Bantul, DIY; Lokasi: Kec. Bambanglipuro, Bantul,
Luas Wilayah: 453,4705 Ha; luas daratan DIY;
185,7736 Ha (40% luas lahan), luas Luas Wilayah: 644,7575 Ha; 8 dusun;
perbukitan/pegunungan 267,6969 Ha Jumlah penduduk : 11.873 jiwa (2010);
(60% luas lahan); 14 dusun, 4 kring; Ancaman utama: gempa bumi,
Jumlah penduduk: 4,471 jiwa (2010); kekeringan irigasi, banjir, putting
Ancaman utama: tanah longsor, gempa beliung, tanggul longsor, kebakaran,
bumi, kekeringan, angin ribut, kebakaran, pencemaran air dan lingkungan,
banjir, epidemic, ancaman sosial; penyakit menular, bencana sosial;
Potensi Utama: Gerakan masyarakat / Potensi Utama: Kesenian, gerakan
ormas, kesenian tradisional, hadroh, masyarakat/ormas, pengalaman
budaya Islam, pengalaman menjadi korban menjadi korban bencana gempa bumi
gempa bumi 2006. 2006.
‐‐‐‐
4
13. Banyaknya bencana dengan dampak yang besar di negara ini telah menjadi refleksi, bahwa
pembangunan belum sepenuhnya dapat menampung hak‐hak masyarakat untuk lepas dari
ancaman bencana. Tak terkecuali, bagi warga Bantul DIY, yang telah melalui salah satu ujian
terberatnya, Gempa Bumi 27 Mei 2006. Tak tanggung‐tanggung dampaknya, jumlah korban
jiwa meninggal mencapai nilai total rupiah kerusakan fisik dan kerugian ekonomi sebesar
Rp.29,1 Trilliun (Sumber: BAPPENAS, 2010; PDLA Gempa Yogyakarta). Kasus bencana DIY
terkini, erupsi Merapi 2010, dampaknya tidak hanya terasa di Kabupaten Sleman saja; tetapi
juga di seluruh Kabupaten dan Kota di seluruh Provinsi DIY. Termasuk di Kabupaten Bantul,
hingga tanggal 29 November 2010, tercatat sebanyak 6.359 penyintas Merapi, berlokasi di 17
titik (BNPB, laporan 29 November 2010 pukul 12 siang). Salah satu titik penyintas ada di desa
Wonolelo, Pleret, Bantul, dengan jumlah penyintas mencapai 79 orang (Sumber: Akhmat
Furqon, Ketua Forum PRB Wonolelo, 2010).
Untuk itulah, perlu adanya sebuah upaya pengurangan risiko bencana yang diinisiasi di level
yang paling strategis, yang memungkinkan adanya pendekatan dan penyatuan antara berbagai
sektor di level komunitas. Tujuannya jelas: pengerahan sumber daya di level komunitas,
dengan berlandaskan kultur masyarakat.
Desa sebagai unit pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat, adalah titik
strategis untuk pemberdayaan masyarakat dan perencanaan pembangunan dengan skema
bottom‐up. Proses perencanaan pembangunan dimulai dari musyawarah tingkat dusun, untuk
dijadikan perencanaan pembangunan di level desa dan di atas desa. Di desa, kultur masyarakat
dapat lebih terpelihara, karena di situlah kekuatan pengaruh tokoh masyarakat dipadukan
dengan kekuatan politik komunitas, dan membentuk gerakan bersama untuk menjaga warisan
kultur masyarakat. Warga desa Mulyodadi (Salah Satu lokasi Program Desa Tangguh 2010),
telah lama menyadari hal ini, sehingga mereka berjuang dengan serius, membangun seni
budaya sebagai identitas desa mereka, dan Desa Mulyodadi dikukuhkan menjadi Desa Budaya
pada tahun 2008 silam (Sumber: Bapak Subardi, ketua BPD, tokoh budaya Desa Mulyodadi).
Di samping itu, desa adalah tempat bertemunya berbagai program pemberdayaan berbasis
masyarakat, yang diselenggarakan oleh berbagai pihak; mulai dari PUAP; UED‐SP dan berbagai
program lain. Sehingga, desa adalah titik strategis, untuk menggalang partisipasi masyarakat,
sekaligus integrasi PRB ke dalam sistem regulasi pemerintah.
Desa, juga merupakan laboratorium dinamika yang pada rentetannya menghasilkan setiap
struktur dan kultur masyarakat yang ada sekarang. Dengan kata lain, keberdayaan masyarakat
itu ada karena dibentuk, dan pembentukan masyarakat tersebut melalui proses yang panjang
dan berliku, melalui proses penggalian potensi lokal maupun intervensi potensi dari luar. Dan,
untuk merubah setiap kondisi, diperlukan konsistensi dan kontinuitas proses penciptaan
perubahan, dan konsistensi dan kontinuitas itu harus dijaga dengan sistem yang disepakati
bersama antarpelaku pembangunan, sekaligus aktor‐aktor yang memiliki sikap terbuka
terhadap dinamika kemajuan modern.
Hal ini juga berlaku dalam program Desa Tangguh. Sebuah desa, disebut tangguh menghadapi
bencana apabila di desa tersebut, ada beberapa unsur sebagai berikut:
a. Aktor‐aktor penanggulangan bencana, mewakili stakeholders desa, yang visioner dan
tanggap terhadap perubahan;
b. Sistem regulasi penanggulangan bencana yang terbuka, memuat hasil kajian
partisipatif atas potensi bencana dan memberikan arahan strategis, sekaligus peluang
5
14. untuk mobilisasi sumber daya pemerintah maupun non pemerintah, internal desa
maupun eksternal desa, termasuk di dalamnya adalah program dan anggaran publik;
c. Perencanaan pembangunan yang partisipatif, yang menjadikan pengurangan risiko
bencana sebagai kerangka berpijak, sekaligus direncanakan sebagai bagian dari
kegiatan pembangun desa.
d. Adanya upaya edukasi, advokasi, dan pemberdayaan masyarakat yang diiringi dengan
kebesertaan masyarakat secara partisipatif aktif dan kontinu tersusun sebagai sebuah
sistem untuk penanggulangan bencana desa.
e. Pendayagunaan potensi lokal (misal kearifan, pengetahuan, religi, dan seni budaya)
masyarakat dalam penanggulangan bencana desa.
f. Kesinambungan/Keberlanjutan gerakan Pengurangan Risiko Bencana, ditandai dengan
adanya skema strategis kemandirian masyarakat, yang didukung dengan regulasi,
institusionalisasi, perencanaan, penganggaran, dan monitoring‐evaluasi yang jelas.
Semua hal tersebut, harus secara kontinu berproses dan beradaptasi dengan kebutuhan‐
kebutuhan baru yang semakin berkembang. Karena, ketangguhan desa terhadap ancaman
bencana dinilai dari kemauan dan kemampuan seluruh elemen dalam masyarakat tersebut
untuk berproses dan belajar dalam meningkatkan kapasitas, mengurangi kerentanan, dan
meredam ancaman bencana di desa. Sebagaimana, perkembangan kapasitas Karang Taruna
desa Mulyodadi dalam mengolah seni budaya desanya, sebagaimana Video Komunitas
Wonolelo dalam mengolah video‐video bermutu mengenai pemberdayaan masyarakatnya.
“Alhamdulillah Mas, sekarang ini pasca Program Desa Tangguh selesai, Forum PRB Desa
Wonolelo dapat dukungan dari banyak pihak. Kemarin kami dapat pelatihan dari CSPJRF, trus
kami kemarin pelatihan yang mengisi Kepala BPBD Bantul. Tokoh‐tokoh masyarakat juga
banyak yang masuk ke Forum PRB Desa. Harapannya ke depan ada program‐program lain
yang dapat kami akses Mas” (Akhmat Furqon, Ketua Forum PRB Wonolelo)
C. Tujuan Dan Strategi Dasar Program
Desa ini adalah salah satu dari dua desa di Kabupaten Bantul yang memperoleh
pendampingan dari program Desa Tangguh SCDRR UNDP. Semoga dengan adanya program
ini, tidak ada korban lagi kalau bencana terjadi… (harapan Bapak Kuswanto, Kaur Kesra Desa
Mulyodadi,yang selalu disampaikan bahkan di setiap beliau menyampaikan pidato pembukaan
acara program). Sungguh, penulis merasakan bahwa program ini memiliki beban yang sangat
berat, memberikan jaminan bahwa bencana mengerikan pada tanggal 27 Mei 2006 yang
meluluhlantakkan hampir 80% rumah di desa ini, menelan 242 orang korban jiwa meninggal,
dan menyebabkan ribuan orang luka‐luka dan kehilangan tempat tinggal. Dampak gempa
bumi itu ternyata masih dirasakan sampai sekarang, dan menjadi bagian dari memori sejarah
yang telah merubah mindset masyarakat Bantul, bahwa ternyata,daerah mereka bukan
daerah aman. Daerah Bantul, merupakan daerah yang dilalui oleh Sesar Opak, yang siap
mengguncang wilayah Bantul dan sekitarnya.
Tujuan desa tangguh adalah untuk mewujudkan warga masyarakat dan desa yang tangguh
serta tanggap terhadap bencana, sehingga diperlukan pola edukasi dan pemberdayaan yang
berkelanjutan, dan advokasi yang tak kenal titik henti ke semua stakeholders, baik pemerintah
maupun non‐pemerintah. Untuk itulah, dalam program Desa Tangguh ini, yang dilakukan oleh
6
15. YP2SU sebagai penyelenggara program lebih kepada pembentukan pondasi yang kokoh bagi
masyarakat dan semua stakeholders untuk kemudian dikembangkan lebih jauh di masa
depan, dengan mengedepankan potensi‐potensi lokal, kearifan dan pengetahuan lokal yang
relevan, serta SDM‐SDM lokal. Pengembangan ini harus mendapat dukungan regulasi
pemerintah yang memadai.
Memahami strategi proses pembangunan Desa Tangguh dimulai dari memetakan dua sektor
kunci pembentuk elemen dasar desa, yakni: pemerintah dan non pemerintah. Sektor
pemerintah, berperan dalam integrasi PRB ke dalam pembangunan dan penyelarasan
program‐program pembangunan dengan aspirasi dari masyarakat. Sedangkan, sektor non
pemerintah, berperan dalam penggalangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
penciptaan ide‐ide kreatif pembaharuan dalam perencanaan pembangunan, sekaligus
pemanfaat langsung, dan pelaku monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan.
D. Desa Tangguh untuk Pemberdayaan Perempuan
Bencana/krisis selalu dikaitkan dengan kurangnya kapasitas masyarakat, yang sangat mungkin
timbul karena kesenjangan kapasitas antar anggota masyarakatnya. Kesenjangan ini dapat
timbul juga dari factor peran antar gender yang berbeda, sehingga konsekuensinya adalah
kesenjangan kapasitas juga. Dalam penanggulangan bencana, isu peningkatan kapasitas
perempuan selalu menjadi masalah yang harus diselesaikan, mengingat perempuan juga
potensial sebagai penggerak masyarakat.
Program Desa Tangguh 2010 mencoba untuk mengoptimalkan potensi perempuan penggerak
di masyarakat kedua desa. Para kaum perempuan penggerak ini terlibat secara aktif sebagai
pengorganisasi yang efektif di kedua desa lokasi program. Ada beberapa strategi pelibatan
perempuan dalam program Desa Tangguh, yaitu:
1. Perempuan sebagai CO (Community Organizer)
Dalam banyak hal, perempuan adalah komunikator yang efektif untuk melakukan/
memperlancar pengorganisasian masyarakat. Di kedua desa lokasi Program,
perempuan secara efektif mengorganisasi masyarakat peserta program baik dalam
tahapan kajian partisipatif maupun pembuatan keputusan aksi dan pelaksanaannya. Di
desa Wonolelo kaum perempuan yang terlibat dalam organisasi‐organisasi lokal
(Forum Komunikasi Kader Posyandu, Jaringan Kerja Perempuan Pedesaan, dan Satuan
Tanggap Darurat Desa Wonolelo) memegang peranan penting menggerakkan
kekuatan kaum ibu dan pemuda dalam program desa tangguh. Misalnya Mbak Ulil (Bu
Khulil Khasanah), Mbak Tri (Bu Tri Baskoro), dan Bu Hadmiyati. Demikian juga di desa
Mulyodadi, kaum perempuan terlibat aktif sebagai komunikator dan inspirator ide‐ide
pengembangan program di lapangan, misalnya Bu Listy Setyaningsih (Dukuh
Wonodoro), dan Bu Rajiyem (Guru).
2. Perempuan sebagai pengurus Forum PRB Desa
Forum PRB Desa dibentuk sebagai strategi pelembagaan partisipasi masyarakat desa
dalam program desa tangguh, sekaligus mengorganisasikan SDM visioner yang
7
16. diperlukan untuk keberlanjutan program Desa Tangguh pada masa yang akan datang.
Sebagai sebuah forum yang terbuka, elemen perempuan pun masuk ke dalamnya.
3. Perempuan dilibatkan secara aktif sebagai actor dalam rencana kontinjensi bencana
prioritas desa, baik untuk gempa bumi (Mulyodadi, Bambanglipuro), maupun tanah
longsor (Wonolelo, Pleret).
Gambar 1.2.
Ibu‐ibu di Desa Wonolelo sedang mengikuti kegiatan pelatihan video komunitas
E. Hasil Pembelajaran YP2SU Yogya 2010
Program Desa Tangguh 2010 YP2SU Yogyakarta yang diselenggarakan di 2 (dua) desa di Bantul
(Wonolelo, Pleret dan Mulyodadi, Bambanglipuro), bekerjasama dengan Program SCDRR
UNDP dan Pemerintah Indonesia adalah pembelajaran yang sangat berharga untuk dijadikan
salah satu referensi pengembangan desa siaga bencana. Memang, kalau dilihat dari timeframe
programnya yang hanya 1 (satu) tahun, program ini jelas tidak memadai untuk membentuk
desa tangguh yang sesungguhnya. Sehingga, kata kunci keberhasilan pembentukan desa
tangguh adalah keberlanjutan/sustainability, baik sustainability di tingkat masyarakat,
pemerintah, maupun lembaga non pemerintah pendamping.
Secara umum, pola pembentukan desa tangguh ini secara ideal tergambar dalam skema di
bawah ini:
8
17. Gambar 1.3.
Skema Pola Pembentukan Desa Tangguh
Berdasarkan hasil pembelajaran YP2SU Yogyakarta, seperti halnya yang tergambar dalam
skema di atas proses membangun desa tangguh terbagi menjadi 6 (enam) tahap. Masing‐
masing tahap berkorelasi positif terhadap kesuksesan pengorganisasian masyarakat dan
mobilisasi sumber daya (internal dan eksternal) yang diperlukan. Pentahapan ini tidaklah kaku,
namun menyesuaikan dengan akar masalah yang dihadapi masyarakat dampingan dan semua
stakeholders, sekaligus kapasitas/daya dukung penyelenggara program, masyarakat
dampingan, kebijakan pemerintah (regulasi, program dan anggaran), sekaligus stakeholders
setempat.
Untuk keperluan efisiensi dan efektivitas pemberdayaan masyarakat, bisa saja tahap‐tahap
yang dilalui sangat berbeda, khususnya dalam konteks isu lintas sektoral (cross‐cutting issues).
Misalnya, jika masalah perubahan iklim lebih menonjol daripada masalah ekonomi, maka
tahap pemberdayaan ekonomi bisa saja dikesampingkan. Atau, jika kedua‐duanya sangat
menonjol, sangat mungkin perubahan iklim dan pemberdayaan ekonomi dimunculkan.
Pentahapan di atas adalah hasil dari pembelajaran YP2SU dalam Program Desa Tangguh 2010.
Dari skema di atas, dapat diidentifikasi beberapa tahap pembentukan desa tangguh/desa siaga
bencana, dengan deskripsi singkat tersebut di bawah ini:
1. Tahap I: Pengorganisasian Awal
Tahap ini, lebih kepada pengidentifikasian pihak‐pihak yang akan dilibatkan secara
langsung dalam program, mulai dari penyediaan fasilitator, CO dan pengorganisasian
masyarakat di tahap awal. Tahap ini dibahas dalam Bab II buku ini: Saat‐Saat Awal
Pengorganisasian.
9
18. 2. Tahap II: Identifikasi Potensi dan Pemetaan Risiko Bencana
Pada tahap ini, masyarakat diajak untuk mengenal desa mereka sendiri menggunakan
media PRA dan peta risiko bencana. Tahap ini dibahas dalam Bab III buku ini: Kajian
Potensi dan Peta Risiko Bencana Desa.
3. Tahap III: Penyusunan Rencana PB (Penanggulangan Bencana)
Tahap ini dilaksanakan dalam rangka menyusun rencana strategis, rencana aksi,
maupun rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana. Penyusunan rencana
dilaksanakan berdasarkan pengenalan potensi dan risiko bencana desa. Tahap ini
dibahas dalam Bab IV buku ini: Perumusan Perencanaan Penanggulangan Bencana.
4. Tahap IV: Edukasi Masyarakat
Tahap ini dilaksanakan dalam rangka transfer pengetahuan penanggulangan bencana,
sekaligus pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat. Untuk program desa tangguh,
edukasi ini juga dilaksanakan untuk keperluan mengefektifkan pengorganisasian
masyarakat. Tahap ini dibahas dalam Bab V buku ini: Edukasi Masyarakat.
5. Tahap V: Pemberdayaan Ekonomi
Pada tahap ini, masyarakat mengidentifikasikan titik‐titik paling strategis untuk
“mengungkit” potensi ekonomi desa. Untuk program Desa Tangguh, program ini
dilaksanakan dengan memberdayakan Lembaga Keuangan Mikro desa dan Usaha
Mikro‐Kecil dan Menengah yang berdomisili dan mengembangkan usahanya di sekitar
desa lokasi Program. Detail tahap ini dibahas dalam Bab VI Buku Ini: Slamet Raharjo:
Membangun Penghidupan Berkelanjutan Untuk Masyarakat.
6. Tahap VI: Pelembagaan dan Legalisasi Desa Tangguh
Pada tahap ini, dilaksanakan 2 (dua) kategori aktivitas, tujuannya untuk member
payung hukum keberlanjutan program, yakni:
‐ Legalisasi dokumen pengurangan risiko bencana (perencanaan‐perencanaan
dalam Bab VII Buku ini), termasuk integrasi ke dalam sistem perencanaan
pembangunan pemerintah.
‐ Pembentukan Forum PRB Desa sebagai tim lokal yang akan bertanggungjawab
untuk penanggulangan bencana di tingkat desa.
10
19.
11
20.
BAB II
SAAT‐SAAT AWAL PENGORGANISASIAN
Untuk pengorganisasian awal program Desa Tangguh, dilakukan dalam beberapa langkah:
1) Penentuan Fasilitator dan Community Organizer desa;
2) Penentuan warga masyarakat yang terlibat program;
3) Kajian ancaman‐kerentanan‐kapasitas desa dan potensi desa;
4) Pembentukan Tim Formatur FPRB.
A. Penentuan Fasilitator dan Community Organizer Desa
Untuk penyelenggaraan program Desa Tangguh di masyarakat, dilakukan rekruitmen
fasilitator dan CO. Fasilitator direkrut dengan kriteria sebagai berikut:
Pemuda (laki‐laki/perempuan);
Menguasai minimal 3 (tiga) isu strategis (PRBBK, advokasi masyarakat, pemberdayaan
ekonomi);
Berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat, atau, minimal memiliki keinginan
kuat untuk belajar memberdayakan masyarakat;
Dapat beradaptasi dengan dinamika dan isu yang berkembang di masyarakat;
Bersikap terbuka dan komunikatif;
Memiliki sikap kepemimpinan;
Khusus untuk media pembelajaran, menguasai materi video komunitas dan media
pembelajaran lain.
Warga desa dilibatkan secara aktif sebagai Community Organizer (CO). Ada beberapa
kriteria yang digunakan untuk perekrutan CO ini, yaitu:
Pemuda, berdomisili di desa setempat (laki‐laki/perempuan);
Memiliki riwayat baik di komunitas;
Memiliki visi dan misi untuk pemberdayaan masyarakat;
Komunikatif;
Mengenal dan dikenal masyarakatnya.
Penentuan CO dari pemuda mendukung visi pembelajaran dari program Desa Tangguh.
Pemuda, yang diharapkan menjadi community leader di masa yang akan datang, harus
dibekali dengan isu‐isu dan pembinaan strategis mengenai pengurangan risiko bencana
dengan cara langsung menerjunkan para CO tersebut di masyarakat. Pola edukasi yang
dikembangkan, para CO diberikan arahan oleh Fasilitator Program, untuk kemudian bahu
12
21. membahu beserta para fasilitator program untuk melakukan pengorganisasian
masyarakat.
Gambar 2.1.
Mas Kholis (paling kiri) sedang memfasilitasi kajian kelompok untuk kajian potensi desa
Seiring dengan cita‐cita menjadikan CO sebagai future community leaders, rekrutmen CO
juga memperhatikan potensi sosial yang dimiliki oleh masing‐masing CO, yang
memungkinkan mereka berkomunikasi dengan masyarakat.
Dari hasil rekruitmen, diperoleh 4 (empat) nama, dengan keunggulan dan potensi masing‐
masing:
1. Desa Wonolelo
Untuk Desa Wonolelo, muncul 2 nama, yakni Akhmad Furqon (aka Mas Uqon) dan Nur
Kholis Majid (aka Mas Kholis). Pemilihan kedua CO ini dilakukan, di samping karena
memenuhi beberapa kriteria di atas, mengingat adanya beberapa potensi sosial
berikut:
Kedua CO ini merepresentasikan organisasi kemasyarakatan yang berbeda.
Mas Uqon merupakan representasi NU (Ketua GP Anshor Wonolelo), Mas
Kholis merupakan representasi Muhammadiyah. Penyatuan kedua
representasi ini diharapkan dapat memicu penyatuan sumber daya yang lebih
besar untuk masa yang akan datang.
13
22. Kedua CO ini memiliki potensi maupun latar belakang profesi yang mendukung
untuk komunikasi dengan stake holders desa. Mas Uqon adalah putra dari
Kabag Ekbang Pemdes Wonolelo (Pak Makmur) yang aktif dalam
pengorganisasian masyarakat, sedangkan Mas Kholis adalah THL‐TBPP pada
Kementerian Pertanian RI, yang sering berhubungan dengan masyarakat,
terutama petani.
2. Desa Mulyodadi
CO di desa Mulyodadi ini kedua‐duanya adalah perempuan. Untuk Desa Mulyodadi,
muncul 2 (dua) nama, yakni Sri Wahyuni (aka Mbak Yuni) dan Retna Heryanti (aka
Mbak Retna). Pemilihan kedua CO ini dilakukan, di samping karena memenuhi
beberapa kriteria di atas, Mbak Yuni berlatar belakang marketing, biasa dengan
komunikasi dengan banyak pihak (terutama kalangan elite/stake holders) harapannya
mampu mengorganisasikan masyarakat di tingkat elit, sementara Mbak Retna adalah
putri Pak Dukuh Kraton, punya kapasitas untuk mengorganisasikan masyarakat di
tingkat grassroots.
B. Pemetaan Aktor
Pendekatan untuk melibatkan warga desa dilakukan dengan menjalin kerjasama yang baik
dengan tokoh‐tokoh masyarakat lokal, serta melibatkan representasi masyarakat rentan
sebagai mitra kunci/key partner.
Penentuan masyarakat yang terlibat ini menjadi batu loncatan untuk kegiatan‐kegiatan
selanjutnya, termasuk menjadi aktor utama penggerak untuk keberlanjutan pasca program.
Untuk awal program, pelibatan masyarakat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara
lembaga YP2SU dengan stake holders desa (pemerintah dan tokoh masyarakat desa), dengan
latar belakang sebagai berikut:
1. Desa Wonolelo
Desa Wonolelo adalah desa yang relatif tertinggal di Bantul. Namun, masyarakat
Wonolelo ini adalah masyarakat religius, ditandai dengan berkembangnya Organisasi
Nahdatul Ulama/NU di sana. Tradisi pergerakan di desa ini cukup kuat, dimotori antara
lain oleh tokoh Lakpesdam NU/Ketua LPMD (Pak Muhyidin), dan tokoh pergerakan
perempuan (Bu Khulil Khasanah a.k.a Mbak Ulil), dengan metode penggerakan dan
basis massa yang berbeda. Pak Muhyidin memiliki pengaruh kuat terhadap pemerintah
desa dan pemuda desa, sementara Mbak Ulil memiliki pengaruh kuat terhadap
kalangan perempuan.
Untuk itulah, pembasisan desa tangguh ini didasarkan kepada kultur di masyarakat
seperti itu: titik awal pengorganisasian dimulai dari golongan pemuda dan perempuan,
serta beberapa orang tokoh yang mendukung, termasuk pemerintah desa. Hikmahnya,
orang‐orang yang berada di titik awal ini menerjemahkan dan mengembangkan
dukungan dari para tokoh dan pemerintah desa terhadap PRBBK, dan itu diwujudkan
dalam pembentukan dan legalisasi PRBBK untuk selanjutnya.
2. Desa Mulyodadi
Untuk desa Mulyodadi, pembasisan desa tangguh ini didasarkan kepada potensi
kelompok masyarakat yang ada, yakni tim perumus RPJMDesa Mulyodadi, yang telah
diberdayakan oleh program Desa Tangguh tahun 2008, dan menghasilkan Perdes
Mulyodadi Nomor 03 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
14
23. Desa Mulyodadi tahun 2008 – 2013. Untuk itulah, pembasisan program desa tangguh
ini dimulai dari tim perumus RPJMDesa tersebut.
Di samping itu, tim ini juga melibatkan pamong desa secara aktif sebagai titik tolak
pengorganisasian.
Salah satu ciri yang membedakan antara masyarakat Mulyodadi dengan masyarakat
Wonolelo adalah, bahwa masyarakat Mulyodadi lebih menekankan keterwakilan
aspirasi mereka kepada tokoh‐tokoh yang telah ditentukan secara formal, sehingga,
memunculkan isu bencana harus juga dengan memunculkan kelembagaan khusus
beserta tokohnya. Hikmah yang dapat diambil adalah, bahwa semua perencanaan dan
legalisasi PRBBK (Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Aksi Komunitas
(RAK), Rencana Kontinjensi Bencana, dan Forum PRB Desa) mengandung konsekuensi
pemunculan isu (regulasi) dan kekuatan sosial (kelembagaan) yang baru untuk PRBBK.
C. Perumusan/Pembentukan Tim Formatur Forum PRB Desa
Pembentukan tim Formatur Forum PRB adalah upaya awal untuk pengorganisasian
penanggulangan bencana secara berkelanjutan. Pembentukan formatur ini dilaksanakan
dengan dua tujuan, yakni:
1) Pengenalan Forum PRB Desa kepada masyarakat;
2) Penyusunan struktur dan sistem dalam Forum PRB Desa.
Formatur Forum PRB Desa ini dibentuk manakala di desa lokasi program belum ada Forum PRB
Desa. Dalam pembelajaran Program Desa Tangguh 2010, pengorganisasian masyarakat untuk
sebuah isu baru yang “tidak lazim” di kalangan masyarakat bukanlah hal yang mudah.
Sehingga, pembentukan Forum PRB Desa sebagai titik tolak pengorganisasian dilakukan secara
bertahap.
Gambar 2.2.
Mas Wawan (nomor 2 dari kanan) sedang menjadi pembicara dialog interaktif Jogja TV
terkait program Desa Tangguh
15
24. Tahap pertama dengan mengenalkan Forum PRB Desa kepada masyarakat dan seluruh elemen
stakeholders, dengan melibatkan warga dan tokoh pemerintah yang selama ini menjadi
“aktivis” di masyarakatnya. Tujuannya adalah menciptakan “magnet” penarik semua elemen
substansial pembangunan desa. Dengan kata lain, hal ini sangat terkait dengan potensi
pengaruh para aktivis desa tersebut kepada banyak pihak, yang dengan potensi itu, perubahan
dapat dilakukan ke banyak sektor, baik sektor pemerintahan, sektor swasta, maupun sektor
non pemerintah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Forum PRB Desa dibentuk, dan secara otomatis, Formatur
Forum ini dilebur ke dalam Forum PRB Desa. Para aktivis yang tergabung dalam formatur
forum menjadi pengurus Forum PRB Desa, untuk terus‐menerus memotori proses dinamisasi
keorganisasian di sana.
Gambar 2.3.
Mbak Yuni sedang menyerahkan paket mesin pompa air, skema Dana Hibah Rencana Aksi
Komunitas Desa Mulyodadi 2010
16
25.
17
26.
BAB III
PENGKAJIAN POTENSI
DAN PEMETAAN RISIKO BENCANA DESA
Masyarakat desa, adalah salah satu gambaran unik dari keanekaragaman kehidupan dan
penghidupan bangsa Indonesia, baik dalam konteks pola mata pencaharian, kebiasaan dan
adat, maupun pola relasi antar elemen yang ada. Hal ini sangat dimungkinkan untuk ada dan
terjadi, mengingat, desa tumbuh dan berkembang, sama dengan pola laju zaman di
lingkungannya, dan membentuk semua cirri yang melekat di desa tersebut. Untuk dapat
menjalankan program dengan pemahaman komprehensif, ciri‐ciri ini diidentifikasi. Termasuk
dalam konteks pelaksanaan program Desa Tangguh. Ada 2 (dua) metode yang digunakan
dalam program Desa Tangguh ini, yaitu metode PRA (Participatory Rural Appraisal) dan HVCA
(Hazard‐Vulnerability‐Capacity Analysis). Hasil dari kajian ini digunakan sebagai bahan fasilitasi
untuk kegiatan‐kegiatan berikutnya.
Gambar 3.1.
Warga desa Mulyodadi sedang membuat diagram kelembagaan desa Mulyodadi
18
27. Kajian ini hanyalah sebuah kajian awal, dan bukan merupakan sebuah titik akhir dari
pengenalan lokasi program yang seyogyanya harus dilakukan secara terus menerus, mengingat
banyak dinamika social yang terjadi seiring dengan perkembangan zaman. Maka, kegiatan ini
hanya dapat disimpulkan sebagai “pembuka” untuk mengenal masyarakat secara lebih jauh,
singkat kata, tidak mungkin mengenal masyarakat secara komprehensif dalam program ini.
Pengenalan masyarakat dilakukan secara sinergis dengan kegiatan‐kegiatan yang lain, karena,
inti proses dari fasilitasi program adalah: bertemu dengan banyak orang. Ada beberapa
metode yang digunakan dalam kajian potensi ini, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi
2 (dua) bagian, yaitu:
1. Kajian Desa Partisipatif (Participatory Rural Appraisal/PRA), dilakukan dengan:
a. Peta Komunitas;
b. Sejarah Desa;
c. Potensi Ekonomi Desa;
d. Kalender Musim;
e. Transek;
2. Penyusunan Peta Risiko Bencana
A. Kajian Desa Partisipatif / Participatory Rural Appraisal
1. Peta komunitas / community mapping
Tujuan dasar dari penggunaan metode community mapping sebenarnya adalah menjadikan
media pengenalan kewilayahan sebuah komunitas menjadi hal yang dapat diperiksa secara
visual. Masyarakat diajak menggambarkan wilayah tempat tinggalnya dalam sebuah peta
komunitas yang memuat beberapa informasi dasar yang bermanfaat.
Ada beberapa catatan yang terkait dengan penyusunan peta komunitas ini, yaitu:
a. Peta komunitas ini digunakan untuk memetakan ancaman, kerentanan dan kapasitas
masyarakat melalui media visual yang dibuat oleh masyarakat sendiri.
b. Cara membuat peta komunitas disesuaikan dengan kapasitas masyarakat. Tim
Program Desa Tangguh hanya menentukan untuk membuat peta desa. Peta tersebut
harus memuat informasi‐informasi dasar, untuk titik‐titik tertentu bisa dengan simbol;
yakni:
a) Jalur‐jalur penting desa (jalan, sungai, jembatan,)
b) Pemukiman (rumah penduduk)
c) Fasilitas Umum atau Tempat Kegiatan Umum (misal: balai desa, PUSKESMAS,
rumah sakit, sekolah, masjid, pesantren, lapangan, embung, sumur bor, gedung
pertemuan, gardu ronda, gardu listrik, kantor‐kantor, pasar, rumah perangkat
desa, dokter desa);
d) Wilayah geografis (perbukitan, danau/telaga, wilayah pesisir, dll)
e) Peta aset masyarakat (persawahan/ladang, hutan, mata air, padang rumput,
rumah pedagang, rumah pengrajin, koperasi, dll)
f) Daerah‐daerah atau titik rawan bencana desa.
19
29. Peta komunitas ini juga menjadi salah satu bahan dasar untuk menyusun peta risiko
bencana desa.
2. Kalender Musim
Kalender musim menggambarkan aktivitas keseharian masyarakat desa, yang menunjukkan
relasi antara masyarakat dengan dengan kondisi musim yang dihadapinya. Kalender ini juga
dapat dimanfaatkan untuk melihat kecenderungan waktu terjadinya bencana.
Dalam pengalaman di kedua desa lokasi program, kalender musim ini juga digunakan untuk
pendekatan kepada kelompok petani, dalam hal ini adalah Gapoktan/Gabungan Kelompok
Tani. Untuk desa Mulyodadi, hal inilah yang memberikan “inspirasi” untuk menyentuh sector
pertanian, baik dalam pola edukasi maupun perencanaan Program Desa Tangguh.
Gambar 3.4
Kalender Musim Desa Wonolelo
21
30. BULAN
VARIABEL PRA KETERANGAN
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
Pola Curah Hujan
Kalender Musim
Musin Hujan
Musim Kemarau
Pola Tanam
Padi
Kedelai
Jagung
Lahan Tak Digarap
Kacang
Saat Ancaman
(Sumber : Hasil FGD)
Banjir
Demam Berdarah
Angin Ribut / Petir
Tanah Longsor
Kebakaran
Gempa bumi
Pencemaran Air / Tanggal 11 Maret
Udara 2010 dan 14
Maret 2010
Kekeringan Sudah ± 7 Tahun
Di Grogol, Paker,
Plumutan dan
Ancaman Lain Masahan
Hama
Tingkat Kesibukan
Keluarga Terkait Musim
Ayah XXX :
Ibu XX
Anak X
Tingkat Produktivitas
Keluarga Terkait Musim
Ayah
Ibu
Anak
Munculnya Masalah
Pertanian
Serangan Hama Wereng,
Kekeringan Belalang, Keong,
Sundep, Tikus
Gambar 3.5
Kalender Musim Desa Mulyodadi
22
31. 3. Analisis Potensi Ekonomi Desa
Analisis potensi ekonomi desa dilakukan dengan mendaftar secara garis besar potensi ekonomi
warga desa. Analisis ini digunakan juga sebagai salah satu sarana untuk memperoleh data
untuk kebijakan bencana desa dan analisis risiko untuk keperluan pemetaan risiko bencana
desa.
Jumlah satu Pelaku dan Masalah Keterangan
Jenis mata
desa dan aktivitasnya Hasil/ Alokasi yang
pencahari Pasar
persebaranny Laki‐ Perem bahan hasil biasanya
an
a laki puan timbul
Tani 270 / desa √ √ Padi, Pleret Biaya Pengairan Tani
34 / dusun sayuran, disekitar hidup Pemasaran seseorang
jagung, jejeran masyara yang
palawija kat memiliki
sawah
Buruh 734 KK √ √ Di bawah
UMR
Lahan
pekerjaan
susah
SDM
Pengrajin 50 √ √ Mebel, DIY dan Pemasaran
40, 5, 5 lincak Jateng Bahan
bamboo baku
Modal
Pedagang 102 jiwa √ √ Krecek Pleret
18, 9, 5, 10, Jejeran
13, 19, 13, 15 DIY/
jateng
PNS 43 √ √
11, 6, 1, 5,
1,4, 15
Polri / TNI 15 15
2, 2, 6, 5
Jasa 60 60 Bengkel,
4, 7, 15, 4, transportasi,
12, 9, 4, 5 service
Gambar 3.6.
Contoh Hasil Analisis Potensi Ekonomi Desa Mulyodadi
4. Alur Sejarah Desa (untuk Kebencanaan dan Pertanian)
Tujuan penyusunan alur sejarah desa adalah untuk mengetahui sejarah desa lokasi program
pada isu bencana dan pertanian pada tonggak‐tonggak waktu tertentu yang dianggap penting
oleh masyarakat.
Manfaat sejarah desa antara lain untuk menggali:
1. Penyebab timbulnya masalah.
2. Kisah sukses masyarakat.
23
32. 3. Peran masyarakat yang sudah dilakukan.
4.dsb
Dalam program desa tanggu di kedua desa, penggalian sejarah desa menghasilkan
pengetahuan‐pengetahuan sebagai berikut:
a. Desa Mulyodadi
No Peristiwa Tahun
1 Bencana Gempa Bumi 1954
2 Bencana kekeringan 1972
3 Bencana serangan wereng 1979
4 Bencana Gempa bumi 2006
5 Serangan demam berdarah 2010
Gambar 3.7.
Hasil Alur Sejarah Desa Mulyodadi
1. Bencana gempa bumi tahun 1954 disebabkan tektonik, rumah bangunan rusak, korban
tidak terlalu banyak.
2. Bencana kekeringan tahun 1972 disebabkan kemarau panjang akibatnya pertanian tidak
berhasil panen
3. Bencana Serangan wereng tahun 1979 mengakibatkan gagal panen dan bagi yang mampu
bisa panen dengan diusahakan penyemprotan hama wereng.
4. Bencana gempa bumi tahun 2006 disebabkan tektonik korban banyak yang meninggal
±252 orang, luka berat, luka ringan dan rumah sebagian roboh.
5. Serangan demam berdarah tahun 2010 disebabkan nyamuk korban meninggal 1 dan yang
sakit opname di rumah sakit tiap kring ada. Penanggulangan DB : disemprot, dengan 3M
(Mengubur, Menguras, Menutup)
b. Desa Wonolelo
No Tahun Peristiwa
1 1950‐an Gempa Bumi
2 1984 Longsor Bukit Becici
1990‐an
3 Banjir Depok
(awal)
Pencurian yang meresahkan selama berminggu – minggu.
Akhirnya pencurinya tertangkap dan ada kesespakatan apabila
1990‐an
4 mengulangi lagi, maka siap dihukum mati.
(akhir)
Ternyata masih terjadi pencurian, sehingga saat pencurinya
tertangkap dihukum setrum hingga mati
5 2006 Gempa Bumi 27 Mei
6 2008 Banjir Bandang (kedungrejo + Guyangan)
7 2008 Angin Ribut
8 Tiap Tahun Kemarau dan kekeringan
Gambar 3.8.
Alur sejarah Desa Wonolelo
24
33. 5. Hubungan Kelembagaan
Diagram Venn digunakan untuk meneliti hubungan masyarakat dengan berbagai lembaga yang
terdapat di desa (dan lingkungannya), yang berpotensi untuk dilibatkan dalam
penanggulangan bencana desa. Hubungan tersebut terbagi dalam 2 (dua) parameter, yakni
besarnya potensi dukungan dan kedekatan relasi dengan masyarakat.
Gambar 3.9.
Hubungan Kelembagaan Desa Wonolelo
Gambar 3.10.
Hubungan Kelembagaan Mulyodadi
25
34. B. Peta Risiko Bencana Desa
Sebagai bahan untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana desa dan kebijakan
pembangunan sector lain oleh seluruh stake holders, dilaksanakan pemetaan risiko bencana
desa, terutama untuk ancaman bencana yang dapat dipetakan secara mudah oleh masyarakat
dan tidak menimbulkan konflik baru. Pemetaan ini dilakukan dengan menggabungkan antara
teknologi (software computer peta) dengan proses partisipatif dalam pengumpulan data di
masyarakat.
Untuk memberi contoh penerapan peta ini, maka program desa tangguh juga menyusun
rencana kontinjensi (secara detail dapat diperiksa di bab IV dan Bab VII buku ini), sebagai
respon atas kebutuhan masyarakat untuk kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana
prioritas. Harapannya, dengan contoh yang ada, semangat penerapan penggunaan peta risiko
bencana dapat menular menjadi sebuah semangat umum untuk memapankan kebijakan
penanggulangan bencana di tingkat desa.
Adapun langkah yang ditempuh untuk pemetaan multi risiko bencana adalah dapat dicermati
dalam skema di bawah ini:
Gambar 3.11
Alur pemetaan risiko bencana desa
1. Deskripsi Skema
a. Peta Dasar merupakan peta yang dibuat guna memberikan gambaran dasar mengenai area
cakupan wilayah suatu Dusun dalam konteks wilayah Desa. Peta ini dibuat berdasarkan peta
batas wilayah dan perspektif warga.
b. Deep Interview, kegiatan yang dilakukan dalam proses deep interview adalah:
Wawancara mendalam mengenai pengisian form pendataan. Pengisian dilakukan
sesuai dengan data yang diperlukan.
26
35. Pak Dukuh / warga menggambarkan data dalam peta sesuai simbol yang
diperlukan dalam kebencanaan sekaligus memberikan keterangan mengenai batas
jalan, batas RT, persawahan, kemungkinan jalur dan tempat evakuasi.
Menggali keterangan lain yang diperlukan mengenai sejarah kebencanaan,
dampak yang ditimbulkan, proses penanganannya serta tokoh kunci.
Diusahakan dapat membuat kesefahaman ataupun kesepakatan mengenai upaya
PRB, misal terkait dukungan Program, proses Penyusunan RPB, RAK, dan siap
berperan dalam Rencana Kontinjensi.
c. Kompilasi Data, meliputi kegiatan:
Merekap seluruh data yang sudah terkumpul untuk dijadikan dalam sebuah
dokumen.
Mendigitalisasi peta sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk gambar yang lebih
menarik dan mudah difahami.
Menghitung besaran area tingkat risiko melalui perhitungan rumus sesuai dengan
kenampakan simbol yang ada.
d. Hasil
Peta Risiko untuk area tingkat risiko Tinggi, Sedang, Rendah dalam satu Ancaman
Bencana dan Multi Ancaman Bencana
Data Desa – Dusun untuk penyusunan draft RPB, RAK dan RenKon yang
selanjutnya disampaikan pada pertemuan Forum untuk dibahas dan
ditindaklanjuti.
Gambar 3.12.
Ibu‐ibu di Wonolelo sedang mengikuti kajian potensi desa
27
36. Gambar 3.13
Contoh Peta Risiko Bencana kekeringan Desa Mulyodadi
Gambar 3.14
Contoh Peta Risiko Bencana Kebakaran Desa Mulyodadi
28
37. Gambar 3.15.
Contoh Peta Risiko Bencana Tanah Longsor Desa Wonolelo
29
38. Gambar 3.16.
Contoh Peta Risiko Bencana Gempa Bumi Desa Wonolelo
30
39.
31
40.
BAB IV
PERUMUSAN PERENCANAAN
PENANGGULANGAN BENCANA
“Pengelolaan sumber daya pedesaan seyogyanya didekati dari cara pandang holistik
sekaligus praksis berdasarkan sehari‐hari. Kebijakan pengelolaan sumber daya
pedesaan secara berkelanjutan memerlukan pemahaman mendalam mengenai pola
pikir dan perilaku penduduk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena
itu, nilai‐nilai yang diyakini dan dipraktekkan masyarakat pedesaan menjadi dasar
atau prinsip pengembangan kebijakan” (M.Baiquni, 2007)
Perencanaan penanggulangan bencana merupakan salah satu kegiatan inti dalam
pembangunan masyarakat desa yang memiliki daya tahan/ketangguhan terhadap bencana.
Dalam Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 33,
ditentukan bahwa penanganan bencana dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu:
a. Prabencana, meliputi situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadinya
bencana;
b. Saat tanggap darurat, yakni saat terjadi bencana dan penanganan kegawatdaruratan; dan
c. Pascabencana, yakni saat rehabilitasi dan rekonstruksi.
Di samping itu, Undang‐undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga
mengamanatkan penanggulangan bencana yang terencana seperti terumuskan pada pasal 4
huruf c, sehingga, setiap tahap penanggulangan bencana harus direncanakan dalam berbagai
bentuk dan sistematika rencana yang disesuaikan dengan kebutuhan‐kebutuhan yang ada di
masing‐masing tahapan, sekaligus sebuah rencana penanggulangan bencana yang menjadi
landasan yuridis bagi setiap perencanaan di setiap tahapan. Berikut ini tabel yang
mengindikasikan tahap dan rencana yang dibutuhkan.
Tabel 4. 1
Tahap dan Perencanaan Kebutuhan Penanggulangan Bencana
No Tahap Rencana Yang Dibutuhkan
1 Semua Tahap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), catatan: RPB
ini dibuat pada tahap prabencana, saat tidak terjadi
bencana.
2 Tahap Prabencana
a. Mitigasi dan Pencegahan Rencana Aksi Komunitas (RAK)
32
41. b. Kesia
apsiagaan a. Rencana A
a Aksi Komunit tas (RAK)
b. Rencana K
b Kontinjensi BBencana (Ren ncana Kontin
njensi)
3
3 Tahap T
Tanggap Darurat Rencana Opeerasi Tangga ap Darurat
4
4 Tahap P
Pascabencan
na Rencana Rehhabilitasi dan
n Rekonstruk ksi
m gambaran
Dalam n skema, hub bungan antara tahap penanggulanga
an bencana d
dan rencana
a yang
dibut t diperiksa dalam skema di bawah ini:
tuhkan dapat
Gambar 4.1.
Skema pem ap Penanggulangan Benc
mbagian taha cana dan Ren
ncana yang d
dibuat untuk
penanggulangan bencana
A. D
Deskripsi Sin
ngkat Perenc
canaan Pena
anggulangan Bencana Program Desa Tangguh 20
010
Dalam Program Desa Tangguh 2010, diinisiasi 3 (tiga) rencana pra‐bencan yaitu Rencana
m na,
Penanggulangan Bencana (RP Rencana Aksi Komu
PB), a unitas untuk Penguranga Risiko Bencana
an
(RAK PRB), dan Re
encana Konttinjensi Benc
cana Prioritas Kontinjensi).
s (Rencana K
Salah
h satu tantan
ngan terbesa ar yang dipeeroleh dalamm program D Desa Tangguh h 2010 ini ad
dalah,
bahwwa di Kabupa aten Bantul bbelum ada pe erangkat kebbijakan yang memadai un ntuk perencaanaan
penanggulangan bencana di tingkat desa, sek kaligus sistem legal yang mendasari
terselenggaranya a penanggula angan benca at desa. Sehingga, progra
ana di tingka am desa tanngguh,
melalui semua pr roses fasilitas
si di kedua d
desa lokasi pr
rogram haru cari bentuk”, yang
us “mencari‐c
akhirnya mengha asilkan posisi konseptual di bawah ini i:
a Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) De diposisik sebagai rencana strategis
a. esa kan
desa untuk mobilisas sumber da
si aya, baik yang bersumb dari desa sendiri, ma
ber a aupun
hak ekstern
pihak‐pih nal. Tujuann
nya adalah menciptak kan kultur kebijakan yang
memposi nggulangan bencana sebagai renca multipih
isikan penan ana hak. RPB De ini
esa
berlaku selama 5 (lim
ma) tahun, seiring dengan n RPJM Desa.
33
42. b. Rencana Aksi Komunitas untuk Pengurangan Risiko Bencana (RAK PRB) diposisikan
sebagai rencana aksi konkret untuk pengurangan risiko bencana yang memuat
kegiatan‐kegiatan pengurangan risiko bencana yang memuat peredaman ancaman,
pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas masyarakat. RAK PRB ini disusun
berdasarkan RPB Desa. RAK PRB Desa ini berlaku selama 3 (tiga) tahun, dalam
pelaksanaannya dibagi per tahun, sesuai dengan pentahapan dalam RKP Desa.
c. Rencana Kontinjensi Bencana diposisikan sebagai rencana kesiapsiagaan masyarakat,
yang mengidentifikasi ketersediaan potensi asset masyarakat sekaligus
mengidentifikasi kekurangan yang harus dipenuhi dengan cara mobilisasi resources
pihak eksternal, untuk keperluan tanggap darurat bencana tertentu yang spesifik,
misalnya Rencana Kontinjensi Gempa Bumi, Rencana Kontinjensi Tanah Longsor.
Sedangkan, Rencana Operasi Tanggap Darurat dan Rencana Aksi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi secara spesifik tidak diinisiasi oleh Program Desa Tangguh, hanyasaja,
eksistensi kedua rencana ini ditegaskan di dalam RPB Desa.
1. Penyusunan RPB Desa
Penyusunan RPB Desa dilakukan dengan cara‐cara yang tercantum dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.2.
Tahap Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Tahapan Aktivitas
Tahap I Sosialisasi dan kajian partisipatif risiko bencana dan potensi desa
(PRA, HVC analysis, Profil Desa, analisis risiko bencana desa, peta
kebencanaan desa);
Proses ini dilakukan, sebagaimana di dalam buku ini ditulis dalam
bab III Kajian Potensi dan Risiko Bencana Desa
Tahap II Pengkajian bersama terhadap regulasi, perencanaan, program dan anggaran
di tingkat pusat, daerah, dan desa yang mendukung tentang PRBBK;
Tahap III Pengkajian RPB yang telah ada (RENAS PB 2010 – 2014); Draft RPB DIY;
Tahap IV Pengkajian format RPB Desa, draft Peraturan Desa, serta strategi dan
legalisasi keberlanjutannya;
Tahap V kajian partisipatif untuk kebijakan PB Desa, pilihan tindakan, mekanisme
pengerahan sumber daya, baik untuk tahap pra‐bencana; tahap tanggap
darurat; tahap pasca bencana; maupun untuk semua tahap.
Tahap VI Penyusunan Draft RPB Desa
Tahap VII Proses legalisasi Peraturan Desa
Secara umum, RPB Desa ini terdiri dari beberapa bab sebagai berikut:
a. Pendahuluan, terdiri dari keterangan pendahuluan, maksud dan tujuan, serta landasan
hukum.
b. Gambaran umum wilayah, berupa profil umum wilayah yang mendeskripsikan a.l.
profil geografis, kependudukan, perekonomian, sarana dan prasarana, kelembagaan
desa, agama, dan budaya desa. Dapat ditambah profil mengenai hal‐hal lain juga,
misalnya profil keagamaan desa, dll;
34
43. c. Penilaian risiko bencana, terdiri dari antara lain profil ancaman, kerentanan dan
kapasitas masyarakat, serta analisis risiko bencana desa, dan peta risiko bencana desa;
d. Kebijakan penanggulangan bencana, terdiri dari antara lain kerangka konseptual
perencanaan penanggulangan bencana, posisi Forum PRB Desa, hubungan antara RPB
Desa dengan RPJMDesa dan perencanaan pembangunan desa lainnya.
e. Pilihan tindakan penanggulangan bencana, terdiri dari analisis stakeholders yang akan
terlibat, matriks pilihan tindakan penanggulangan bencana beserta stake holders yang
akan dilibatkan, nilai sumber daya yang dibutuhkan serta mobilisasi sumber daya
stakeholders yang akan dilakukan.
f. Penutup, berupa kesimpulan.
Fakta menarik terkait dengan RPB Desa:
Kebutuhan Desa Mulyodadi untuk Penanggulangan Bencana Desa untuk 5 (lima) Tahun
Rp.346.704.500.000,00. (Mulyodadi)
Oleh Sri Wahyuni (CO Desa Mulyodadi)
Setelah dirunut‐runut, ternyata memperhitungkan perkiraan kebutuhan sumber daya desa
untuk penanggulangan bencana, baik untuk Pra Bencana, Tanggap Darurat, dan Pasca Bencana
hasilnya bisa saja hasilnya sangat mengejutkan. Jumlah sumber daya senilai
Rp.346.704.500.000,00 tentunya harus didukung dengan semua pemangku kepentingan.
Untuk tahap pra‐bencana (asumsi tanpa monev), Desa Mulyodadi memerlukan alokasi sumber
daya senilai Rp.46.334.500.000,00 untuk melakukan pengurangan risiko bencana, termasuk di
dalamnya adalah upaya peredaman ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan
kapasitas agar masyarakat tetap tanggap dan tangguh menghadapi bencana. Kalau alokasi
sumber daya ini terpenuhi dan masyarakat menjadi tangguh, maka harapannya, semua
pemangku kepentingan tidak perlu mengalokasikan sumber daya senilai
Rp.300.340.000.000,00 untuk keperluan Tahap Saat Tanggap Darurat dan Tahap Pasca
Bencana (asumsi tanpa monev).
Dengan demikian dapat disimpulkan, investasi sebesar Rp. 46.334.500.000,00 dapat
menghemat sumber daya pembangunan senilai Rp.300.340.000.000,00 (Perbandingan 1:6,5)!
Barangkali, jumlah itu kelihatan terlalu berlebihan. Tetapi, sesungguhnya ketika kita melihat
fakta pembangunan rumah misalnya, kebutuhan in kind untuk pembangunan rumah pasca
gempa bumi 27 Mei 2006 ternyata sangat besar per rumahnya.
Di luar skema bantuan dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi rumah dari pemerintah yang
“hanya” Rp.15 juta per rumah, setiap pemilik rumah harus menyediakan tukang (jumlah
tukang minimal 2 orang @tukang + Rp.40 ribu per hari), makan tukang @tukang 1x sehari,
snack tukang @tukang 2x sehari); biaya untuk pembersihan puing‐puing rumah (yang pada
prakteknya dilakukan oleh masyarakat dan relawan); biaya swadaya untuk material rumah
tambahan, dan komponen‐komponen lain seperti transport material, dan lain sebagainya.
Biaya seperti ini sebagian adalah biaya swadaya, dan sebagian juga dari skema gotong royong
(dengan warga masyarakat dan para relawan yang terlibat). Sehingga, bisa saja, dalam skema
pendirian rumah pasca bencana
35