Dokumen tersebut membahas tentang penguatan kelembagaan lingkungan hidup di daerah, mencakup tugas dan kewenangan daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta kelembagaan lingkungan hidup pasca Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016.
2. Faktor-faktor penguat otonomi daerah
• Memperkuat stabilitas sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan melalui pemencaran kekuasaan;
• Sharing of power;
• Sharing of revenue;
• Empowering lokalitas
• Pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan
yang bhineka/majemuk dan unik
• Efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan umum;
• Pendidikan politik;
• Mempercepat proses pengambilan keputusan yang tetap
mendasarkan pada proses yang partisipasipatif;
• Memperjelas dan memperkuat akuntabitas publik.
Asep Warlan Yusuf - BKPP Jabar
3. Asas Subsidiaritas:
1. Pembagian Kewenangan yang didasarkan pada:
kepercayaan, kemandirian, dan tanggung jawab;
2. Kriteria pembagian kewenangan yang bersifat konkuren:
eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, kepentingan strategis
nasional;
3. Proporsionalitas;
4. Pencegahan konflik kewenangan;
5. Efektifitas dan efisiensi;
6. Keselarasan hubungan antara satuan pemerintahan;
7. pemberdayaan
4. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada
beberapa prinsip, yakni:
Pada dasarnya pembagian kewenangan antara pusat, propinsi dan
kabupaten/kota tidak dapat dibagi secara tegas dan terpisah
(pendapat Mc Iver)
Adanya hubungan antar susunan pemerintahan:
• Hubungan kewenangan
• Hubungan keuangan
• Hubungan pelayanan umum
• Hubungan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya
• Hubungan kewilayahan
• Hubungan administratif
5. Hubungan antar pemerintahan daerah:
• Interkoneksi
• Interdependensi
• Daya saing
• Kerjasama
Potensi keragaman daerah:
• Pengakuan identitas daerah
• Keunikan dan potensi daerah
6. Kriteria Pembagian urusan yang konkuren:
eksternalitas: dampak, pengaruh, efek, spill over;
Akuntabilitas: manageable dan legalitas
Efisiensi: hemat penggunaan sumber daya dan
maksimalisasi hasil.
Kepentingan strategis nasional
7. Otonomi yang seluas-luasnya:
– Cenderung dianut ajaran rumah tangga formil
– Adanya pengakuan kewenangan
– Seminimal mungkin adanya campur tangan pusat
– Pengawasan lebih bersifat represif
– Daerah diberi keleluasaan untuk menentukan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah
– Pusat hanya sebagai fasilitator dan enabler
Otonomi nyata dan bertanggungjawab;
8. Penyelenggaraan Pemerintahan diselenggarakan
atas:
– asas otonomi:
• Ajaran rumah tangga formil, materil dan riil
• Desentralisasi teritorial dan fungsional
• Devolusi
• Penyerahan dan pengakuan kewenangan
– asas tugas pembantuan:
• Keikutsertaan daerah
• Penugasan dan tanggung jawab
• Pada dasarnya daerah tidak boleh menolak
• Disertai dengan pembiayaan, personalian dan
peralatan
• Cara dan penyelenggaraan teknis diserahkan
kepada daerah
• Disesuaikan dengan kemampuan daerah
• Dapat diatur dengan Perda
9. Pada prinsipnya kewenangan propinsi dan
kewenangan kabupaten kota adalah sama;
Adanya urusan bersifat wajib dan adanya urusan
yang pilihan;
Tidak dikenal prinsip adanya titik berat otonomi
ada pada kabupaten/kota.
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD.
NKRI dibagi menjadi Daerah Propinsi dan Daerah
propinsi dibagi menjadi daerah Kab/ Kota yang
masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.
10. Di antara susunan pemerintahan terdapat hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya;
Dalam penyelenggaraan pemerintahan antara
pemerintah propinsi dan kabupaten/kota terdapat
hubungan “hierarki”;
Tidak dikenal adanya wilayah administrasi (kecuali
DKI) baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota;
Gubernur sebagai wakil pemerintah dapat
menyelenggarakan urusan Pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi;
11. menuding agama-agama
monoteisme
Agama Yahudi
Worldviews atau Paradigma
Etika Lingkungan Hidup
Agama Islam
בל
תשחית خليفة
Bal tashchit Khalifah
Filsafat Lingkungan
Henryk Skolimowski
Para ahli Barat
Al-An’aam 163
Penyebab kerusakan
lingkungan
Keliru
Manusia
diperkenankan
untuk
memanfaatkan
alam pada batas
yang wajar yang
tidak
mengganggu
keserasian
sistem ekologi
Al-Quran
Tanack
Sama sekali tidak menganjurkan tindakan eksploitatif
terhadap alam dan sumber-sumbernya
Devarim (Ulangan)
20:19-20
Alkitab
Kejadian 1 & 2
Agama Kristen
Stewardship
12. Asas-asas Lingkungan Hidup dalam UU
No. 32/2009
1. Keadilan Lingkungan Hidup
2. Pengintegrasian pembangunan berwawasan
lingkungan (Eco Development) dalam kebijakan
pembangunan;
3. Penguatan demokrasi lingkungan:
a. penghormatan dan pemenuhan hak atas LH yang
baik dan sehat
b. partisipasi masyarakat
b. keterlibatan peran masyarakat
c. hak memperoleh pendidikan LH
d. hak gugat organisasi (legal standing)
e. gugatan perwakilan (class action)
f. anti slapp suit
g. keterbukaan informasi LH
Asep Warlan Yusuf, UUPPLH
32/2009
13. Asep Warlan Yusuf, UUPPLH
32/2009
4. kewajiban memiliki dokumen
LH
5. kejelasan dan efektivitas
kedudukan, tujuan, dan fungsi
perizinan lingkungan;
6. Kejelasan dan penguatan
instrumen ekonomi
7. memperkuat kemitraan dengan
dunia usaha dalam
membangun komitmen
terhadap PPLH;
14. Asep Warlan Yusuf, UUPPLH
32/2009
8. kejelasan, kepastian, dan kelengkapan
dalam pengenaan sanksi administratif;
9. kejelasan pengaturan tentang prinsip
pencemar membayar (polluter pays
Principle);
10. kejelasan dalam penentuan tanggung
jawab dan kompensasi/imbal jasa dalam
pelestarian dan pemanfaatan SDA
11. kejelasan dalam pengaturan tanggung
jawab mutlak (strict liability);
12. kejelasan pengaturan dalam
penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (altenative dispute
resolution);
13. adanya pengaturan tanggung jawab
pidana (criminal liability) bagi pejabat
pemberi izin dan/atau pengawas;
15. Asep Warlan Yusuf, UUPPLH
32/2009
14. pembentukan lembaga
penyediaan jasa pelayanan
penyelesaian sengketa
(establishment for ADR
services);
15. Prinsip delik formal disamping
delik materil;
16. Prinsip tanggung jawab
korporasi (corporate liability);
17. pengenaan hukuman tata tertib
di luar hukuman pidana (extra
penal sanction); dan
18. pengenaan sistem insentif dan
disinsentif.
16. 19. Kejelasan dalam mengatur
prinsip penguasaan negara
(management authority);
20. kejelasan dalam pengaturan
lingkup pencemaran dan
kerusakan LH
21. Penguatan dalam
membangun kelembagaan
lingkungan (management
institution);
Asep Warlan Yusuf, UUPPLH
32/2009
17. Dimungkinkannya LSM tampil mengajukan gugatan di
Pengadilan didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM sebagai
wali (guardian) dari lingkungan. Pendapat ini berangkat dari
teori yang dikembangkan oleh Profesor Cristoper Stone,
dimana dalam artikelnya yang dikenal luas di Amerika Utara
yang berjudul “Should Trees have Standing” dikatakan bahwa
obyek-obyek alam (natural obyek) diberi hak hukum (legal
right), sehingga hutan, laut atau sungai sebagai obyek alam
layak memiliki hak hukum, dan adalah tidak bijaksana jika
dianggap sebaliknya, hanya karena sifatnya yang inanimatif
(tidak dapat bicara). Hak hukum bagi yang inanimatif sudah
sejak lama diakui seperti hak hukum bagi perorangan, negara
dan anak dibawah umur yang diwakili oleh walinya bertindak
mewakili kepentingan hukum mereka. Oleh karena itu
Organisasi masyarakat harus dipandang sebagai pihak yang
berhak mewakili kepentingan lingkungan hidup karena
lingkungan hidup itu sendiri tidak dapat mengajukan gugatan
untuk kepentingannya (bersifat inanimatif).
18. • Kearifan lokal pada saat ini oleh banyak
pihak diragukan, namun pada
kenyataannya, di berbagai daerah
kelompok-kelompok masyarakat kearifan
lokal masih hidup dan menerapkannya,
terutama dalam kehidupan sehari-hari
dalam mengelola lingkungan hidup dan
sumber daya alamnya.
• Berbagai peraturan yang ada, kurang
memberikan tempat pada kearifan lokal,
kalaupun ada disebutkan dalam suatu
peraturan ataupun disinggung dalam suatu
peraturan, namun pada akhirnya,
keberlakuan kearifan lokal terkait
pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri
digantungkan pada kepentingan yang
dianggap lebih mendesak dan bersifat
nasional.
19. • Penyusunan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus lebih
memberikan tempat bagi masyarakat
hukum adat dengan kearifan lokalnya
serta memberikan jaminan atas hak
masyarakat hukum adat tersebut.
• Keadilan lingkungan (environmental
justice) pada akhirnya berkisar seputar
rasa aman bagi penduduk di seluruh
bumi, bagi tempat-tempat di bumi, bagi
lingkungan dan bagi planet bumi itu
sendiri.
20. Tugas dan Kewenangan Daerah dalam
PPLH
a. menetapkan kebijakan tingkat
kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat
kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai amdal dan UKL-UPL;
21. e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya
alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama
dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
22. j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem
informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota;
dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota.
23. Fakta Empiris (Empirical Evidence)
1. Terjadinya pembiaran;
2. Tidak efektif penegakan hukum ;
3. Tidak cukup kualitas dan kuantitas pengawas;
4. Kurangnya anggaran (termasuk sarana dan
prasarana)
5. Minim pengalaman;
6. Kekurangan jaringan dengan para ahli yang dapat
membantu dalam penegakan hukum;
7. Lemahnya political will dan komitmen dari para
kepala daerah dan aparaturnya;
8. Kepentingan ekonomi lebih didahulukan daripada
kepentingan lingkungan;
9. Birokrasi belum mampu merespon pengaduan dari
masyarakat;
10. Pemda kurang berwibawa di hadapan para
pengusaha.
24. Kelembagaan LH di Daerah
• Kelembagaan Lingkungan Hidup pasca PP no. 18 Tahun 2016 dapat
berupa Dinas Tipelogi A, B atau C yang dapat berdiri sendiri atau
digabung dengan Dinas lainnya. Namun apabila Urusan
Pemerintahan terkait dengan Lingkungan Hidup, bukan termasuk
kedalam “fungsi penunjang lainnya” sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (5) PP No. 18 Tahun 2016, maka kelembagaan
Lingkungan Hidup tidak dapat lagi berupa “Badan” dan yang sudah
jelas dan pasti Urusan Pemerintahan terkait dengan Lingkungan
Hidup tidak lagi berupa “Kantor”
• Apabila Urusan Pemerintahan terkait dengan Lingkungan
Hidup tidak memenuhi skroring Tipelogi A, B atau C dalam bentuk
Dinas, maka Lingkungan Hidup dapat dimasukan sebagai salah satu
“Bidang” dalam wadah Dinas yang serumpun dengan dinas lainnya.
25. Urgensi Penguatan Kelembagaan PPLH di Daerah :
a. harus memperjelas, mempertegas, dan
memastikan kelembagaan yang memiliki
kewenangan atributif, tugas, fungsi, dan tanggung
jawab dalam melakukan kegiatan pelindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan LH dan sumber daya
alam hayati dan ekosistem;
b. pendekatan pembentukan kelembagaan didasarkan
pada isu dan peluang pembangunan yang
membuka akses bagi partisipasi yang berbasis
subsidiaritas kewenangan;
c. menjalankan pendekatan yang komplementer,
kohesif, konsiten, dan komprehensif;
26. d. sedapat mungkin kelembagaannya
melibatkan multi disiplin keilmuan, multi
stakeholders, multi sektor, multi kepentingan;
e. membangun dan memperkuat kerjasama
antardaerah;
f. mencegah dan menyelesaikan konflik dan
sengketa;
27. g. mengembangkan dan memperjelas
rasionalitas perizinan;
h. mengembangkan potensi daerah;
i. meningkatkan dan memperkuat koordinasi
antar instansi;
j. mengkonkritkan kemitraan dengan dunia
usaha yang saling menguntungkan;
k. memperkuat kepastian hukum,
transparansi, dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan/pendanaan;
28. l. memperkuat landasan hukum dalam rangka
‘sturen’ (pengendalian);
m. memudahkan mengefektifkan pengawasan dan
penegakan hukum (law enforcement;)
n. adanya blueprint dan roadmap yang mendorong
investasi dan meningkatkan pendapatan daerah
lebih yang lebih pasti, jelas, dan terukur;
o. membangun sistem yang pemberian
penghargaan, insentif, kompensasi, dan imbal
jasa bagi pihak pihak yang melakukan
konseravasi yang luar biasa dan melebihi dari
kewajiban hukumnya.
30. Ringkasan Biodata
Prof. Dr. ASEP WARLAN YUSUF, SH.,MH
Tempat/tanggal lahir : Bandung, 9 Juli 1960
Alamat Rumah: Jln. Solo No. 38 Antapani
Bandung
Tlp/Fax. (022) 7204775
HP: 0816.62.4195
e-mail: warlan@bdg.centrin.net.id
Alamat Kantor : Kampus Fakultas Hukum
Universitas Parahyangan
Jalan Ciumbuleuit 94 Bandung,
Pangkat/Jabatan Akademik: IV/E - Guru Besar
01/04/2023 30
Asep Warlan Yusuf
31. PENDIDIKAN
Doktor Ilmu Hukum (S-3) : Universitas Indonesia,
lulus 2002
Magister Hukum (S-2) : Universitas Padjadjaran, lulus
1990
Sarjana Hukum (S-1): Universitas Katolik
Parahyangan, lulus 1984
Course on Legal Drafting, Indonesia-Netherlands
Cooperation, 1986;
Course on Decentralization in Planning and
Organization, Indonesia-Netherlands Cooperation,
1989;
Course on Adiministrative Law Enforcement: A Study
Comparative between Netherlands and Indonesia,
1995;
Course on Environmantal Law and Administration,
VROM Ministry of Netherlands - Leiden University,
Den Haag Netherlands 1998;
Training on Environmental Law and Enforcement, AUS-
Aid - MA - ICEL, 2000.
01/04/2023 31
Asep Warlan Yusuf