AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
Membentuk Karakter
1. Saya lahir di desa. Tapi ingatan paling lama yang bisa saya ingat, saya dan keluarga sempet
tinggal di sebuah kontrakan di Jakarta, (kurang lebih di umur 2/3 tahunan), ikut orang tua yang
dagang, sebelum kembali lagi ke kampung, numpang di rumah mbah pihak ayah dan terakhir
numpang di rumah mbah pihak ibu sampai sekarang. Waktu di sekolah dasar layaknya anak
normal, cenderung sedikit nakal. SMP dan SMA sama aja, ga ada yang berbeda. Ayah saya, sejak
saya pindah di rumah mbah udah kerja di Jakarta jadi karyawan bantu di dapur sebuah hotel,
ketemu Cuma sekali dalam seminggu, kadang Cuma sebulan sekali. Di rumah saya tinggal
babreng ibu, mbah kakung, mbah putri, tiga kakak saya yang beda ayah, dan adik kandung saya.
Di rumah itu, seperti ada dua keluarga yang berbeda, 1 keluarga yang isinya, ibu, mbah, dan
ketiga kakak saya. Satu lagi yang isinya ibu, ayah, saya , dan adik saya. Seperti ada ‘gap’ di
keduanya, walau pas kecil saya ga terlalu mengerti, tapi sy mulai sadar saat akhir smp/ awal
masuk sma. Saya ga deket dengan ayah saya, mungkin sejak masuk SMA, sejak saya mengerti
kondisi di rumah, mungkin itu juga yang membentuk karakter saya, kita sering berdebat,
banyak ketidak cocokan, kami beda prinsip, mungkin sampai sekarang, tapi saya selalu hormat
dan menyayangi beliau. Saya memang masih keras kepala, namun sekarang saya lebih bisa
menempatkan diri dan mengendalikan diri.
Tentang kehidupan keagamaan, keluarga saya termasuk abangan, sangat biasa biasa saja
dalam beragama. Mungkin terakhir ngaji rutin pas SD, karena tempat ngaji udah ga ada lagi,
dan di area tempat tinggal saya sangat tidak mendukung untuk kegiatan seperti itu, saya cukup
beruntung tidak ikut terjerumus, banyak temen2 saya yang terjerumus ke lingkungan yang ga
bener. Dan saya punya prinsip saya bisa berteman dengan siapa saja, namun hal hal buruk dan
perilaku buruk mereka saya tidak ikuti. saya sudah ga ada guru ngaji lagi sejak akhir SD saya
mulai kembali belajar agama dengan sungguh sungguh sejak masuk kuliah, saya belajar melalui
group diskusi mngkin hampir sejenis kaya liqo, saya juga sering ikut kajian baik melalui dan ikut
kajian kajian di masjid. Saya ahlussunah wal jamaah, cara beribadah mengikuti mahzab imam
syafii direpresentasikan oleh ormas nahdatul ulama. saya bukan seorang fanatic terhadap
ormas, pedoman utama saya al qur’an dan al hadist serta ijtihad para ulama, karena saya
punya keterbatasan kemampuan kalo hanya memahami al quran dan hadist dengan
kemampuan saya sendiri. Ulama ulama yang saya dengarkan ceramahnya mencakup
semuanya, ulama ulama NU, muhammadiyah, hingga ulama salaffiyah seperti ustadz Khalid
basalamah dll. Pendekatan saya dalam belajar agama, saya tidak berani menjudge mana
mana ulama yang bener dan mana mana ulama yang salah, saya hanya diam jika hati saya
tidak sepemahaman/ sepakat dan tidak menganggap itu salah (karena mungkin saya sendiri
yg khilaf dalam pemahamannya). Terutama dalam bab bab muamalah.
saya orang yang mandiri, sejak kuliah saya sudah terbiasa mengurus kehidupan saya sendiri.
Orang tua support saya seadanya, karena saya juga ga mau ngerepotin mereka, terutama saat
ayah saya kena PHK di pertengahan kuliah saya. Termasuk dalam menghadapi suatu masalah
2. saya terbiasa menyelesaikannya sendiri, bahkan mungkin keluarga saya ga tahu masalah2 yang
pernah sy hadapi. Saya jarang cerita dengan mereka. Sejak dari SMA sy memang begitu dan
sampai saat ini saya memang ga punya teman curhat, biasanya saya sholat atau hanya diam diri
di masjid bisa sampai seharian kalau kalau semua masalah sudah sangat begitu berat.
Keadaan membentuk saya jadi dewasa lebih awal. Saya menghadapi masalah masalah orang
dewasa sejak SMA, ibu saya sering curhat ke saya tentang masalah masalah di keluarga,
termasuk ketiga kakak saya, sampai sekarang. Saya deket dengan mereka justru karena itu. Saat
ini saya bekerja di Jakarta, Alhamdulillah, semuanya agak lebih baikan. Orang tua udah jadi
tanggungan saya, mereka sudah tidak bekerja, dan dari semua anak anak ibu, bisa dibilang saya
yang paling berhasil dan bisa bantu lebih. Termasuk keponakan, saya yang tanggung. Mngkin
ini bakal terus begitu sampai nanti saya berkeluarga. Keponakan saya itu anak dari kaka saya
yang kedua, ayah ibunya cerai, masing masing udah punya kehidupan sendiri. Jadi sekarang
saya yang urus, sekarang sudah masuk SMP.
Saat ini saya selalu open terhadap semua anggota keluarga saya, terutama kakak kakak saya,
apa yang bisa saya bantu untuk mereka saya pasti akan bantu. Itu seperti saya ingin
memberikan apa yang bisa saya berikan ke mereka yang belum pernah ayah saya berikan. Saya
ingin mengganti semuanya. Saya ingin membentuk keluarga yang setidaknya normal dan ideal,
agar keponakan keponakan saya nantinya bisa tumbuh dengan lebih baik dan yang seharusnya.
Tidak seperti seluruh anak anak ibu, dan mungkin termasuk saya. Saya punya 8 keponakan,
satu sudah almarhumah. Semuanya masih kecil kecil, saya deket dengan mereka semua . Di
suatu masa saya memang pernah merasa sendiri, seperti tidak ada orang yang bisa saya
percayai, sangat sensitive, emosi ga stabil, pengen diperhatikan terus , keras kepala, dan takut
ditinggal orang orang terdekat. Saat itu solusi saya cuma berusaha cuek dan beranggapan tidak
ada apa apa. Namun sekarang , mungkin tepatnya mulai dari saat saya kuliah, saya sudah mulai
belajar menerima, dan berdamai dengan segala kondisi yang Allah tuliskan ke saya.
Alhamdulillah Itu membuat jauh lebih baik.
Saya beruntung bisa sampai seperti saya saat ini, Alhamdulillah, Allah memberikan rahmat dan
karunianya ke saya, dan keluarga saya, semoga Alllah senantiasa melindungi mereka.
mungkin itu saja, maaf ini nggak singkat, perkenalan diri ini malah kelihatan seperti aku curhat.
Tapi dengan ini semoga kamu bisa lebih tahu dan bisa memahami saya. Kalau ada pertannyaan
, bisa ditanyakan saja.