1. STUDI BIOSTRATIGRAFI FOSIL VERTEBRATA DI
CEKUNGAN SENGKANG, SULAWESI SELATAN
Tugas Akhir B
Dosen Pembimbing:
Mika Rizki Puspaningrum, S.Si., M.T., Ph.D.
Wahyu Probo Ananto, S.T., M.T.
Oleh:
12019052 Muhammad Anshari Matin
4. Latar Belakang
● Keanekaragaman fauna Indonesia, khususnya Pulau Sulawesi yang memiliki tingkat
endemisitas spesimen yang tinggi.
● Letak Pulau Sulawesi yang terisolasi oleh laut selama beberapa juta tahun terakhir,
bahkan saat glasial maksimum terakhir.
● Kelimpahan temuan fosil pada Pulau Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan yang
menjadikan konteks stratigrafi setempat menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
Penelitian terdahulu:
● van den Bergh dkk. (1999) - membahas tentang geologi, stratigrafi, dan suksesi fauna Sulawesi
● Puspaningrum (2017) - membahas lebih lanjut terkait biostratigrafi dan suksesi fauna yang ditemukan di
Sulawesi.
6. ● Menentukan posisi, umur relatif, dan lingkungan pengendapan pada litostratigrafi daerah
penelitian.
Tujuan Penelitian
● Menentukan urutan temuan artefak dan fosil pada konteks litostratigrafi yang sudah
diteliti untuk menyusun biostratigrafi.
Penelitian yang dilakukan dibatasi oleh daerah yang telah dikunjungi pada penelitian sebelumnya maupun daerah
yang dikunjungi saat melakukan survei lapangan. Survei lapangan dilakukan pada singkapan yang dapat diamati
dan sebagian besar titik survei baru berada di sekitar jalur yang terjangkau. Lebatnya vegetasi dari lahan
perkebunan warga menjadi parameter lain yang membatasi survei lapangan yang dilakukan.
Batasan penelitian:
7. -
Tabulasi Data
Jenis Data Data Sumber Data Jumlah Keterangan
Primer
Singkapan Lapangan 78
Litologi Lapangan 4
Artefak dan fosil Lapangan 11
Sekunder
Singkapan Literatur 2
van den Bergh dkk. (2016) &
BRIN (2022)
Litologi Literatur 3
van den Bergh dkk. (1999,
2016) & BRIN (2022)
Artefak dan fosil Literatur 42
van den Bergh dkk. (2016) &
BRIN (2022)
DEM USGS 1 https://earthexplorer.usgs.gov/
Peta Geologi Lembar Pangkajene dan
Watampone Bagian Barat, Sulawesi
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi
1 Sukamto (1982)
11. ● Sulawesi dibagi menjadi empat mandala
tektonik yaitu Mandala Barat, Mandala
Tengah, Mandala Timur, dan Blok Benua
Banggai Sula - Tukang Besi (Hall & Wilson,
2000).
Fisiografi Regional
● Daerah penelitian berada di Mandala Barat
yang terdiri dari sedimen Kuarter, batuan
vulkanik dan plutonik Kenozoikum, batuan
karbonat Tersier, sedimen Tersier lainnya,
dan kompleks dasar metamorfik dan
ultramafik Mesozoikum (Hall & Wilson,
2000).
Fisiografi regional Sulawesi (Hall & Wilson, 2000).
12. Geologi Regional
Peta geologi regional berdasarkan Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi (Sukamto, 1982).
13. Geologi Regional
Peta geologi Cekungan Sengkang
(van den Bergh dkk., 1999).
Menurut van den Bergh dkk. (1999), wilayah Sulawesi Selatan,
khususnya Cekungan Sengkang tersusun atas dua formasi, yaitu
Formasi Walanae dan Formasi Tanrung.
Formasi Walanae terdiri atas empat anggota, dari yang paling tua ke
yang paling muda:
● Anggota Tacipi yang terdiri atas interkalasi karbonat dan
batulempung.
● Anggota Burecing yang terdiri atas napal.
● Anggota Samaoling yang terdiri atas interkalasi batulempung
dan batupasir.
● Anggota Beru yang terdiri atas batupasir, batulempung, dan
konglomerat.
Sedangkan, Formasi Tanrung terdiri atas konglomerat bioklastik.
14. Geologi Regional
Anggota Beru dibagi menjadi dua, yaitu Subunit A dan B.
Perbedaannya adalah Subunit A didominasi oleh batupasir dan
kehadiran fosil moluska, sedangkan Subunit B didominasi oleh
konglomerat dan ketidakhadiran fosil moluska.
Subunit C, yang sebelumnya dikenal sebagai ‘Old Alluvial Fan
Gravel’ (van den Bergh dkk., 1999) diajukan sebagai subunit baru
dari Anggota Beru Formasi Walanae (Puspaningrum, 2016).
Subunit ini berupa endapan kerikil kasar berumur lebih muda dari
endapan Anggota Beru lainnya, namun lebih tua jika
dibandingkan dengan endapan dataran banjir dari Sungai
Walanae.
Peta geologi Cekungan Sengkang
(Puspaningrum, 2016).
17. Geomorfologi Daerah Penelitian
Daerah penelitian memiliki dua
satuan geomorfologi dengan
menggunakan rujukan pembagian
geomorfologi menurut
Brahmantyo dkk. (2006).
18. Punggungan Antiklin Sengkang menyusun hingga 60% dari luas wilayah penelitian. Berdasarkan data digital
elevation model (DEM) yang diperoleh, topografi dari satuan geomorfologi ini curam hingga terjal (7-70%) dan
dicirikan oleh keberadaan struktur antiklin.
Geomorfologi Daerah Penelitian
19. Dataran Aluvial Walanae menyusun hingga 40% dari luas wilayah penelitian. Berdasarkan data digital
elevation model (DEM) yang diperoleh, topografi dari satuan geomorfologi ini landai hingga curam (0-
15%) dan dicirikan oleh keberadaan aliran utama sungai dan endapan aluvium yang diendapkan di
sekitarnya.
Geomorfologi Daerah Penelitian
25. Satuan Batupasir
Satuan Batupasir berupa batupasir, berfragmen litik, bermatriks karbonatan, berwarna cerah, dengan butir yang
membulat tanggung, terpilah baik, dan kemas yang tertutup, mineral yang ditemukan berwarna hitam, abu, dan coklat,
memiliki porositas yang baik, kompak, dan ukuran butir yang halus (1/4 mm); batulanau, bermatriks karbonatan,
berwarna gelap, lepas.
Lithic Arenite (Pettijohn, 1975)
Batuan ini terdiri atas 65% butir yang berupa 70% kuarsa,
20% fragmen litik, dan 10% feldspar, serta 35% matriks.
26. Satuan Batupasir
Satuan Batupasir dapat disetarakan dengan Anggota Samaoling Formasi Walanae.
Satuan ini mencakup situs seperti Samaoling dan Leppangeng.
Kenampakan Situs
Leppangeng (kiri atas),
Samaoling (kiri bawah),
dan pengukuran
penampang yang
dilakukan pada Situs
Samaoling (kanan).
27. Satuan Konglomerat 1
Satuan Konglomerat 1 berupa batupasir konglomeratan, berfragmen litik, bermatriks karbonatan,
berwarna coklat keabuan setempat berwarna hitam, dengan butir yang menyudut, terpilah baik, dan
kemas yang terbuka, memiliki porositas baik, kompak, ukuran butir kerikil (2-4 mm).
Lithic Arenite (Pettijohn, 1975)
Batuan ini terdiri atas 85% butir yang berupa 50% kuarsa,
30% fragmen litik, dan 20% mineral opak, serta 15% matriks.
28. Satuan Konglomerat 1
Satuan Konglomerat 1 dapat disetarakan dengan Subunit A Anggota Beru Formasi
Walanae. Satuan ini mencakup situs seperti Bulu Baka, Cangkange, dan Bulu Alla
Panasa.
Kenampakan Situs Bulu Baka (kiri
atas), Cangkange (kiri bawah), dan
pengukuran penampang yang
dilakukan pada Situs Cangkange
(kanan).
29. Situs Cangkange
Satuan Konglomerat 1
Temuan situs ini berupa fosil dari kelompok gajah dan
Celebochoerus heekereni pada ekskavasi yang dilakukan BRIN
pada tahun 2019.
Temuan fosil berupa longbone dari
kelompok gajah (kiri) serta gigi dan
maxilla dari Celebochoerus
heekereni (kanan) (BRIN, 2022).
30. Satuan Konglomerat 2
Satuan Konglomerat 2 berupa batupasir konglomeratan, berfragmen litik, bermatriks
karbonatan, berwarna gelap, dengan butir yang membundar, terpilah buruk, dan kemas yang
tertutup, memiliki porositas yang baik, lapuk, ukuran butir kerikil-kerakal (2-7 mm).
Lithic Arenite (Pettijohn, 1975)
Batuan ini terdiri atas 80% butir, yaitu 55% kuarsa, 20%
mineral opak, 10% hornblende, 10% fragmen litik, dan 5%
biotit, serta 35% matriks.
31. Satuan Konglomerat 2
Satuan Konglomerat 2 dapat disetarakan dengan Subunit B Anggota Beru Formasi
Walanae. Satuan ini mencakup situs seperti Calio, Calio Lama, dan Paroto.
Kenampakan Situs Calio Lama (kiri atas),
Paroto (kiri bawah), dan pengukuran
penampang yang dilakukan pada Situs
Paroto (kanan).
32. Situs Paroto
Satuan Konglomerat 2
Temuan fosil berupa gigi gajah (Stegoloxodon).
Temuan situs ini berupa fosil dari kelompok gajah
(Stegoloxodon) pada kebun warga di daerah setempat.
33. Satuan Konglomerat 2
Situs Calio
Ekskavasi pada situs ini dilakukan pada tahun 2019, 2021, dan 2022,
yang memberikan berbagai temuan artefak batu maupun fosil.
Temuan situs ini berupa artefak batu dan fosil dari kelompok hiu
pada ekskavasi yang dilakukan BRIN pada tahun 2019.
Temuan artefak batu (kanan) dan
fosil berupa gigi hiu (kiri) (BRIN,
2022).
34. Satuan Konglomerat 2
Situs Calio
Temuan situs ini berupa artefak batu dan fosil dari kelompok
buaya, hiu, gajah, dan hewan tidak teridentifikasi pada ekskavasi
yang dilakukan BRIN pada tahun 2021.
Temuan artefak batu (kanan) dan fosil berupa gigi
buaya (kiri, A), gigi hiu (kiri B), gigi gajah (kiri, C), dan
fosil hewan tidak teridentifikasi (kiri, D) (BRIN, 2022).
35. Satuan Konglomerat 2
Situs Calio
Kemudian, ekskavasi selanjutnya yang dilakukan pada tahun
2022 memberikan temuan berupa artefak batu dan fosil dari
kelompok hiu, gajah, dan Celebochoerus heekereni.
Temuan artefak batu (atas) dan fosil
berupa gigi hiu (kiri bawah), gigi dan
rahang bawah Celebochoerus heekereni
(tengah bawah), dan gigi gajah (kanan
bawah) (BRIN, 2022).
36. Satuan Konglomerat 3
Satuan Konglomerat 3 batupasir konglomeratan, berfragmen litik dan bioklas, bermatriks
karbonatan, berwarna cerah, dengan butir yang menyudut tanggung, terpilah buruk, dan kemas
yang terbuka, memiliki porositas yang baik, kompak, ukuran butir kerikil-kerakal (2-6 mm).
Lithic Arenite (Pettijohn, 1975)
Batuan ini terdiri atas 80% butir, yaitu 50% fragmen litik,
30% kuarsa, 10% fragmen bioklastik, dan 10% mineral opak,
serta 35% matriks.
37. Satuan Konglomerat 3
Satuan Konglomerat 3 dapat disetarakan dengan Formasi Tanrung. Satuan ini
mencakup situs tunggal Tanrung.
Kenampakan Situs Tanrung (kiri) dan penampang yang dibuat (kanan).
38. Satuan Konglomerat 4
Satuan Konglomerat 4 berupa endapan konglomerat dengan kerikil yang didominasi oleh
batuan vulkanik dan batugamping kersikan berukuran relatif lebih besar jika dibandingkan
dengan Satuan Konglomerat 1 dan 2 (Puspaningrum, 2016).
Kenampakan Situs Talepu (van den Bergh dkk., 2016).
39. Satuan Konglomerat 4
Satuan Konglomerat 4 dapat disetarakan dengan Subunit C Anggota Beru Formasi
Walanae. Satuan ini mencakup situs tunggal Talepu.
Kenampakan Situs Talepu (kiri) (BRIN, 2022) dan penampang yang dibuat (kanan) (van den Bergh dkk., 2016).
40. Situs Talepu
Satuan Konglomerat 4
Temuan dari Situs Talepu. Serpih (a, b, c, d, e,
f, j, k, dan j), batu inti (g, h, dan i), fosil (n, o, p,
q, r, s, dan t) (van den Bergh dkk., 2016).
Ekskavasi di antara tahun 2007 dan 2012 oleh van den Bergh dkk. memberikan temuan artefak
batu yang berasosiasi dengan fosil megafauna seperti Bubalus, Stegodon, dan Celebochoerus.
Penentuan umur juga dilakukan pada sedimen tempat artefak batu dan fosil ditemukan
menghasilkan kisaran umur 118 hingga 194 ribu tahun yang lalu (van den Bergh dkk., 2016).
46. Berdasarkan penggabungan data yang ditemukan di lapangan, koleksi temuan fosil lainnya, dan penelitian-penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Puspaningrum (2016) dapat direkonstruksi suatu satuan suksesi fauna dari daerah
Cekungan Sengkang, sebagai berikut:
Himpunan Fauna
Satuan suksesi fauna Cekungan
Sengkang (dimodifikasi dari
Puspaningrum (2016)).
48. Pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal, wilayah yang
sekarang merupakan Antiklin Sengkang, membentuk
wilayah transisional antara laut dalam di barat dan
platform laut yang lebih dangkal di timur.
Pada Pliosen Awal hingga Pliosen akhir, subsidence
berkurang dan Cekungan Sengkang Barat dan Cekungan
Sengkang Timur perlahan diisi oleh prograding delta (van
den Bergh, 1999).
Pada masa ini diendapkan Satuan Napal atau Anggota
Burecing Formasi Walanae pada lingkungan pengendapan
laut dalam.
Sintesis Geologi
Miosen Akhir ke Pliosen Awal
Rekonstruksi geologi dari Cekungan Sengkang (van den
Bergh dkk., 1999).
49. Pada Pliosen Awal hingga Pliosen akhir, subsidence
berkurang dan Cekungan Sengkang Barat dan Cekungan
Sengkang Timur perlahan diisi oleh prograding delta.
Pada Pliosen Akhir, Cekungan Sengkang Barat sebagian
besar telah diisi oleh klastik, dan sepanjang batasan utara
dan selatan dari Cekungan Sengkang Barat, delta
terprogradasi menjadi suatu marine gulf, sedimen tersuplai
dari selatan melalui Sungai Walanae purba (van den
Bergh, 1999).
Pada masa ini diendapkan Satuan Batupasir atau Anggota
Samaoling Formasi Walanae pada lingkungan
pengendapan laut dangkal terbuka.
Sintesis Geologi
Pliosen Akhir
Rekonstruksi geologi dari Cekungan Sengkang (van den
Bergh dkk., 1999).
50. Pada Pleistosen Awal, rezim kompresif berarah T-B
menghasilkan penyesaran naik sepanjang Sesar Walanae Timur.
Kompresi ini diduga mengakibatkan proses uplift dari Antiklin
Sengkang dan Cekungan Sengkang Timur ke atas dari
depositional baselevel.
Sedangkan wilayah Cekungan Sengkang Timur perlipatan dan
penyesaran mengakibatkan uplift, karena uplift ini bagian atas
dari Formasi Walanae tererosi pada wilayah sentral Cekungan
Sengkang Timur.
Secara struktur, Cekungan Sengkang Timur terpisahkan dari
Cekungan Sengkang Barat oleh penunjaman sepanjang Sesar
Walanae Timur, yang mengakibatkan pembentukan dari Antiklin
Sengkang (van den Bergh, 1999).
Pada masa ini diendapkan Satuan Konglomerat 1 dan 2 atau
Anggota Beru Formasi Walanae pada lingkungan pengendapan
fluvial.
Sintesis Geologi
Pleistosen Awal
Rekonstruksi geologi dari Cekungan Sengkang (van den
Bergh dkk., 1999).
51. Pada puncak dari fase kompresif yang telah terjadi pada Pleistosen
Awal, kipas aluvial terbentuk. Sungai yang mengendapkan
sedimennya di Cekungan Sengkang Barat mulai menyuplai produk
erosi dari batuan plutonik pada rangkaian pegunungan sekitar dan
juga batuan dari Formasi Walanae yang ter-uplift.
Pada Cekungan Sengkang Timur, pengendapan terjadi pada
Formasi Walanae yang tererosi dan meninggi. Periode
pengendapan dari Formasi Tanrung dan Satuan Aluvial di atasnya
dapat dikaitkan dengan periode muka air laut tinggi (interglasial),
sedangkan erosi yang memengaruhi wilayah tersebut dapat
dikaitkan dengan periode muka air laut rendah (glasial) (van den
Bergh, 1999).
Pada masa ini diendapkan Satuan Konglomerat 3 dan 4 atau
Subunit C Anggota Beru Formasi Walanae dan Formasi Tanrung
pada lingkungan pengendapan fluvial.
Sintesis Geologi
Pleistosen
Tengah
Rekonstruksi geologi dari Cekungan Sengkang (van den
Bergh dkk., 1999).
53. Berdasarkan pengamatan dan analisis yang telah dilakukan di beberapa situs pada Cekungan
Sengkang tersebut, maka dapat disimpulkan:
Kesimpulan
● Berdasarkan rekonstruksi litostratigrafi yang dilakukan, satuan litologi tidak resmi yang
menjadi subjek penelitian jika diurutkan dari tua ke muda adalah Satuan Batupasir, Satuan
Konglomerat 1, Satuan Konglomerat 2, Satuan Konglomerat 3, dan Satuan Konglomerat 4.
● Berdasarkan rekonstruksi biostratigrafi yang dilakukan, fauna daerah penelitian dimulai dari
kehadiran Stegoloxodon celebensis dan Stegodon sompoensis, relung kosong yang
ditinggalkan kedua taksa tersebut diisi oleh Paleoloxodon namadicus hingga resen, yang
ditandai dengan kemunculan fauna modern seperti Sus celebensis dan Bubalus sp..
Sedangkan, Celebochoerus heekereni hadir secara melimpah di setiap satuan bukan resen.
54. Aziz, F., (1990). Pleistocene mammal faunas of Sulawesi and their bearings to paleozoogeography. — PhD Thesis, Kyoto
Univ.: 1-106.
Badan Riset dan Inovasi Nasional. (2022). Laporan Cabenge 2022.
Bartstra, G.J., (1977). Walanae Formation and Walanae Terraces in the stratigraphy of South Sulawesi (Celebes,
Indonesia). — Quartär, 27/28: 21-30.
Bartstra, G.J. & D.A. Hooijer, (1992). New finds of fossil vertebrates from Sulawesi, Indonesia. — Lutra, 35: 113-122.
Bartstra, G.J., D.A. Hooijer, B. Kallupa & M. Anwar Akib, (1994). Notes on fossil vertebrates and stone tools from
Sulawesi, and the stratigraphy of the northern Walanae Depression. — Palaeohistoria, 33/34: 1-18.
Gillespie, R. G. (2007). Oceanic islands: models of diversity. Encyclopedia of biodiversity, 1-13.
Grainge, A.M. & K.G. Davies, (1983). Reef Exploration in the East Sengkang Basin, Sulawesi. — Proc. Indonesian Petrol.
Assoc., 12th Ann. Conv.: 207-227.
Hooijer, D.A., (1954). Pleistocene Vertebrates from Celebes. VIII. Dentition and skeletton of Celebochoerus heekereni. —
Zool.Verh., 24: 3-46.
Daftar Pustaka
55. Hussain, S.T., G.D. van den Bergh, K.J. Steensma, J.A. de Visser, J. de Vos, M. Arif, J. van Dam, P.Y. Sondaar & S.B. Malik,
(1992). Biostratigraphy of the Plio-Pleistocene continental sediments (Upper Siwaliks) of the Mangla-Samwal Anticline,
Azad Kashmir, Pakistan. — Proc. Kon. Ned. Akad. Wet., 95, 1: 65-80.
Johnson, D.L., (1978). The origin of island Mammoths and the Quaternary Land Bridge History of the Northern Channel
Islands California. Quat. Res. 10, 204-225.
Martodjojo dan Djuhaeni. (1996). Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 14.
Musser, G. G. (1987). The mammals of Sulawesi. In: T.C. Whitmore (ed.) Biogeographical evolution of the Malay
Archipelago. — Clarendon Press, Oxford: 73-93.
Pettijohn, F.J. (1975). Sedimentary rocks, third edition. New York: Harper and Row.
Puspaningrum, M. R. (2016). Proboscidea as palaeoenvironmental indicators in Southeast Asia.
Saegusa, H., (1996). Stegodontidae: evolutionary relationships. In: J. Shoshani & P. Tassy (eds.) The Proboscidea.
Evolution and Palaeoecology of Elephants and Their Relatives. — Oxford Univ. Press: 178-190.
Daftar Pustaka
56. Sartono, S., (1979). The age of the vertebrate fossils and artefacts from Cabenge in South Sulawesi, Indonesia. — Mod.
Quatern. Res. SE Asia, 5: 65-81.
van den Bergh, G.D., F. Aziz, P.Y. Sondaar & S.T. Hussain, (1992). Taxonomy, Stratigraphy, and Paleozoogeography of
Plio-Pleistocene Proboscideans from the Indonesian Islands. — Bull. Geol. Res. Developm. Center Bandung, Paleont., 7:
28-58.
van den Bergh, G. D., Aziz, F., Sondaar, P. Y., de Vos, J., (1994). The first Stegodon fossils from Central Sulawesi and a
new advanced Elephas species from South Sulawesi (Indonesia). Geol. Res. Dev. Centre Bull. 17, 22-39.
van den Bergh, G. D. (1999). The Late Neogene elephantoid-bearing faunas of Indonesia and their palaeozoogeographic
implications. Scripta Geologica, 117, 1-419.
van den Bergh, G. D., de Vos, J., Sondaar, P. Y. (2001). The Late Quaternary palaeogeography of mammal evolution in the
Indonesian Archipelago. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 171, 385-408.
van den Bergh, G. D., Li, B., Brumm, A., Grün, R., Yurnaldi, D., Moore, M. W., Kurniawan, I., Setiawan, R., Aziz, F., Roberts,
R. G. (2016). Earliest hominin occupation of Sulawesi, Indonesia. Nature, 529, 208-211.
Zuidam, R.V. (1985). Guide to geomorphic aerial photographic interpretation and mapping. The Hague, The Netherlands:
Institute for Aerospace Survey and Earth Science.
Daftar Pustaka