SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Download to read offline
TATA LAKSANA KERACUNAN BOTULINUM
Keracunan Massal Karena Bakteri Botulinum
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Toksikologi
Anggota kelompok :
1. Dewi Gayatri W. 102210101057
2. Rizqy Kiromin B. 102210101058
3. Imandyah Novitasari 102210101060
4. Dian Ayu Eka P. 102210101061
5. Dwi Puspita Sari 102210101062
6. Alief Rizky 102210101063
7. Eka Putri P. 102210101064
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2013
I. PENDAHULUAN
Makanan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh manusia. Makanan tidak
hanya dituntut cukup dari segi zat gizi, tetapi juga harus aman bila dikonsumsi. Peranan
sanitasi menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan tumbuh dan
berkembangnya mikroba pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan, dan
bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sanitasi merupakan
bagian penting dalam industri pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Dalam
industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan,
pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan, dan sanitasi pabrik serta
lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan produk
makanan meliputi pengawasan bahan mentah, penyimpanan bahan mentah, perlengkapan
suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan dari peralatan, pekerja dan hama
pada semua tahap selama pengolahan, pengemasan dan penggudangan produk akhir.
Kondisi sanitasi untuk menjamin keamanan makanan tradisional sangat tergantung dari
budaya praktek higiene perorangan, keluarga, masyarakat setempat, bahan mentah yang
digunakan, dan polusi lingkungan. Budaya praktek higiene perorangan, peralatan, bahan
baku, dan ruang pengolahan sangat besar peranannya dalam menentukan tingkat
pencemaran mikroba dalam makanan (Fardiaz, 1998).
Keracunan makanan disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung
senyawa beracun yang dapat bersumber dari bakteri maupun fungi. Bahan pangan dapat
bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen dan
organisme lain penyebab penyakit, yang bila berkembang dalam jumlah yang cukup tinggi
dapat menimbulkan penyakit setelah dikonsumsi manusia (Jenie, 1996). Secara umum,
istilah keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme mencakup gangguan-
gangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organisme tertentu dan
gangguan akibat infeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat ditemukan secara
alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolis toksik yang
dihasilkan suatu mikroorganisme (Scott, 2006).
Mikroba dapat menyebabkan penyakit atau keracunan dengan cara mengeluarkan
toksin ke dalam makanan atau ikut tertelan bersama makanan yang dikonsumsi. Bakteri
penyebab keracunan antara lain adalah Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas cocovenenans, sedangkan dari golongan fungi antara lain adalah Aspergillus
flavus dan A. parasiticus, dll (Dewanti, 1996). Berdasarkan klasifikasi diatas, ada dua
intoksikasi pangan utama yang disebabkan oleh bakteri yaitu botulism yang disebabkan
oleh Clostridium botulinumdan intoksikasi Staphilokoki, disebabkan oleh toksin yang
dihasilkan oleh Sthaphylococcus aureus (Dewanti, 1996).
Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat membentuk
spora tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan asamtinggi. Toksin yang dihasilkan
dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan
paralisis. Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 80°C
selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap
suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan (
BPOM RI, 2010).
Botulisme karena makanan adalah penyakit parah. Keracunan ini akibat konsumsi
preformed botulinum neurotoxin dalam makanan dengan sedikit 30 ng neurotoxin dapat
menyebabkan penyakit dan bahkan kematian. Konsumsi sedikit 0.1g makanan di mana
Clostridium botulinum yang tumbuh dapat menyebabkan botulisme. Botulisme karena
makanan terutama terkait dengan dua fisiologis dan genetika yang berbeda dari clostridia
proteolitik C. botulinum C. botulinumand nonproteolytic. Proteolitik C. botulinumis
mesofil, dengan pertumbuhan minimal suhu 10 ° C-12 ° C, sedangkan C. botulinumis non-
proteolitik merupakan psychrotroph yang tumbuh dan membentuk toksin pada suhu 3,0 °
C ( M.W Peck dkk, 2006 ).
II. FARMAKOKINETIKA / TOKSIKOKINETIK
Sejauh ini absorpsi dari toksin botulinum memiliki banyak asumsi, ada yang
menyebutkan bahwa toksin ini diabsorbsi melalui saluran pernafasan. Selain itu juga ada
yang menyebutkan bahwa botulinum diabsorpsi dari permukaan mukosa. Distribusi serta
bioavailabilitas toksin ini sendiri adalah sebagai berikut: (Lance Lance L Simpson Ph D L.
Simpson, Ph.D., 2009)
In vitro
darah: 100%
serum: 88%
In vivo
darah: 100%
Serum: 85%
Serum albumin binding: 27% Ca dalam keadaan terikat and 73% Ca dalam keadaan bebas
Racun botulinum diabsorbsi dari saluran intestinal atau bagian terinfeksi yang
dibawa melalui sistem limfatik, dan dari saluran usus dibawa oleh aliran darah ke ujung
neuromuskuler. Toksin membedakan tipenya terhadap afinitasnya pada jaringan saraf,
dengan tipe A yang berarti memiliki afinitas terbesar. Toksin masuk ke ujung syaraf guna
memberikan efek, dengan mengikatkan racun pada kedua perifer dan pusat saraf yang
selektif dan saturable (WHO, 1999).
III. MEKANISME KERACUNAN
Botulisme ditandai dengan symmetrical, descending dan flaccid paralysis of motor
pada saraf otonom serta biasanya diawali pada saraf kranial. Hal ini terjadi ketika transmisi
neuromuskuler terganggu oleh neurotoxin protein yang diproduksi oleh pembentuk spora,
anaerob obligat bakteri Clostridium botulinum. Kelumpuhan dimulai dari saraf kranial,
kemudian mempengaruhi ekstremitas atas, otot-otot pernapasan, dan, akhirnya ekstremitas
bawah dalam pola proksimal-to-distal. Dalam kasus yang parah, kelumpuhan otot
pernapasan yang luas menyebabkan kegagalan ventilasi dan kematian kecuali perawatan
suportif disediakan (Nantel, 2009).
Botulisme pada manusia terutama disebabkan oleh Clostridium botulinum yang
memproduksi toksin tipe A, B dan E. Jenis racun yang diproduksi oleh Clostridium F
baratii dan tipe E toksin yang dihasilkan oleh Clostridium butyricum juga telah terlibat
dalam kasus botulisme manusia. Strain C. botulinum yang memproduksi tipe C atau tipe D
racun untuk sebagian besar penyebab botulisme hanya pada spesies non-manusia (Nantel,
2009).
Meskipun tujuh neurotoksin (A, B, C, D, E, F dan G) secara genetik berbeda,
neurotoksin tersebut memiliki berat molekul yang sama dan memiliki struktur subunit
umum. Urutan asam amino yang lengkap dari berbagai serotipe menjadi dikenal. Urutan
daerah homologi antara serotipe dan racun botulinum antara dan toksin tetanus,
menunjukkan bahwa mereka semua menggunakan mekanisme serupa. Racun disintesis
sebagai polipeptida rantai tunggal dengan massa molekul sekitar 150 kDa. Dalam bentuk
ini, molekul racun berpotensi relatif sedikit sebagai agen neuromuskuler. Aktivasi
neurotoxin memerlukan modifikasi dua langkah dalam struktur tersier protein (Nantel,
2009).
Semua racun botulinum memiliki aktivitas racun yang sama di mana racun ini
mengganggu transmisi impuls saraf dengan menghambat pelepasan sambungan
neuromuskuler asetilkolin. Efeknya tahan lama, tetapi juga reversibel, sebagai terminal
saraf baru tumbuh untuk menggantikan yang sebelumnya telah dihambat (Ting and
Anatoli, 2004).
Botulinum neurotoxin akan mencapai terminal saraf pada neuromuskuler. Botulinum
neurotoxin tersebut mengikat membran saraf dan bergerak ke dalam sitoplasma dari
terminal akson serta memblokir rangsangan transmisi sinaptik sehingga menyebabkan
flaccid paralysis. Ada tiga langkah yang terlibat dalam memediasi racun ini yaitu
internalisasi, reduksi disulfida, dan penghambatan translokasi pelepasan neurotransmitter.
Toksin botulinum bekerja dengan memasukkan ujung sarafnya untuk memberikan efek,
mengikat racun pada kedua perifer dan saraf pusat secara selektif. Setengah dari C-
terminal berpengaruh pada spesifisitas kolinergik dan bertanggung jawab untuk berikatan,
sedangkan rantai lainnya adalah bagian intraseluler beracun. Jika ikatan disulfida yang
menghubungkan dua rantai rusak sebelum toksin diinternalisasi oleh sel, rantai tidak bisa
masuk dan toksisitas akan hilang. Toksin menghambat pelepasan asetilkolin tetapi tidak
pada sintesis atau penyimpanannya. Toksin botulinum adalah endopeptida khusus untuk
komponen protein dari aparatus neuroeksositosis. Toksin botulinum memotong
synaptobrevin dan protein membran vesikel sinaptik. Jenis-jenis toksinn A, C dan E
bekerja pada protein membran presinapsis sedangkan tipe A dan E membelah SNAP-25
dan serotipe C memecah syntaxin (Nantel, 2009).
IV. MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi terlihat setelah 3-12 jam setelah
memakan bahan makanan tersebut dan ditandai oleh muntah-muntah dan diare (Dewanti,
1996). Clostridium botulinum (Botulism) memiliki masa inkubasi selama 12-36 jam.
Gejala yang dirasakan bisa berupa gangguan pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-
pusing dan muntah-muntah, bisa juga diare,lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut
konstipasi, double fision, kesulitan menelan dan berbicara, lidah bisa membengkak dan
tertutup, beberapa otot lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran
pernafasan. Kematian bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari (Siagian, 2002).
Pada keracunan yang disebabkan oleh Clostridium botulinum, terdapat beberapa
macam rute pemaparan, seperti secara peroral, inhalasi, transdermal, mata, dan parenteral.
Kejadian keracunan ini juga bisa terjadi pada bermacam golongan individu, seperti bayi
dan orang dewasa. Adapun rute keracunan peroral dan botulisme pada bayi serta pada
orang dewasa adalah sebagai berikut :
1. Botulisme karena Makanan
Gejala awal terjadi setelah 18-36 jam pasca konsumsi. Terjadi kekacauan pada
gastrointeestinal seperti mual, muntah, kram perut, atau diare. Sembelit akan terjadi
dan mendominasi setelah timbulnya gejala neurologis. Gejala awal adalah mulut
kering danmengaburkan penglihatan . Hal ini bisa diikuti oleh ophthalmoplegia,
dysarthria, dan disfagia. Kelainan dari tengkorak saraf diikuti oleh pola kelamahan
tipe descending simetris dan kelumpuhan. Setelah saraf kranial, toksin akan
mempengaruhi otot-otot pernapasan. Jika telah parah, kelumpuhan otot pernapasan
akan terjadi dan dapat menyebabkan kegagalan pernafasan dan kematian (Shapiro et
al, 1998).
2. Botulisme pada Bayi
Botulisme pada bayi terjadi pada anak-anak kurang dari usia satu tahun dan sebagian
besar berumur 6 bulan. Gejala klinis yang ditimbulkan sangatlah bervariasi. Sembelit
merupakan gejala awal dari botulisme ini, yang dapat didefinisikan sebagai 3 atau
lebih hari tanpa buang air besar. Progresif kelemahan dan kehilangan nafsu mengikuti
gejala ini setelah beberapa minggu. Gejalanya lain meliputi kelesuan, kesulitan
mengisap dan menelan, hypotonia, dan hilangnya kontrol kepala. Gejala neurologis
mungkin akan terjadi termasuk ptosis, ophthalmoplegia, muntah, mulut kering, dan
kandung kemih neurogenik (Nantel et al, 1999).
3. Botulisme pada Dewasa
Gambaran klinis botulisme menular dewasa mirip dengan botulisme karena makanan
kecuali untuk simtomatologi gastrointestinal awal. Interval antara paparan makanan
dan timbulnya gejala klinis dapat terjadi satu bulan atau lebih.
V. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Botulisme karena makanan
Ini harus dicurigai pada pasien dengan gejala gastro-intestinal akut terkait dengan
otonom (mulut kering, kesulitan fokus mata) dan disfungsi saraf (ptosis, diplopia,
dysarthria, dysphagia). Diagnosis awal harus dibuat atas dasar sejarah riwayat pasien
dan temuan fisik yang ada. Tes konfirmasi mungkin butuh beberapa hari untuk
dilakukan. Serum dan sampel makanan yang diduga harus diuji terkait ada tidaknya
botulisme. Uji inokulasi pada tikus masih merupakan uji yang paling dapat
diandalkan. Spesimen tinja harus dilakukan tes uji C. botulinum sebagai tes
konfirmasi. Isolasi C. botulinum dilakukan pada makanan yang dicurigai mengandung
C.botulinum.
2. Luka Botulisme
Spesimen eksudat luka, sampel jaringan, atau sampel hasil swab harus dilakukan
pengembangbiakan secara anaerob untuk uji toksin. Sebuah spesimen tinja harus
diperoleh untuk mendapatkan koloni usus sebagai sumber racun.
3. Botulisme pada bayi
Ini harus dicurigai pada bayi yang terjadi sembelit, nafsu makan yang buruk,
kelemahan otot perifer, atau tekanan ventilasi. Kultur tinja untuk C. botulinum dan
pengujian untuk kehadiran racun dalam tinja harus dilakukan pada pasien tersebut.
4. Botulisme menular dewasa
Ini adalah penyakit langka dan harus dicurigai pada pasien dengan beberapa kelainan
gastrointestinal yang berkembang pada kelainan saraf kranial dan disfungsi otonom,
serta kelemahan otot. Endogen produksi antibodi terhadap toksin botulinum telah
dijelaskan.
5. Botulisme sengaja
Hal ini dapat dicurigai pada sejarah pasien yang mendapat suntikan toksin botulinum,
terutama dalam skala besar melalui otot untuk medapatkan efek sistemik atau mungkin
dalam upaya bunuh diri.
VI. PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip umum penatalaksanaan penanganan keracunan :
a. Terapi suportif
b. Upaya pembatasan penyebaran racun
c. Meningkatkan aksi pengakhiran racun
d. Pemilihan strategi terapi antidot bergantung pada informasi tentang rentang waktu
kejadian dan pengetahuan kinetika absorpsi, distribusi & eliminasi racun.
Tindakan Pertolongan Pertama
Mengosongkan perut dengan metode pembilasan lambung (gastric lavage) atau
induksi rangsangan muntah seperti dengan pemberian sirup ipecac. Hal ini dapat dilakukan
jika makanan yang dicurigai baru dikonsumsi dalam waktu 1 jam. Namun metode tersebut
tidak perlu dilakukan bila pada pasien menunjukkan gejala neurologis. Selain itu dapat
juga dengan memberikan arang aktif dan garam katarsis (seperti sorbitol) sebagai
penetralan asam- basa, namun hal tersebut tidak perlu dilakukan bila diketahui adanya
magnesium. Magnesium dapat mempotensiasi blok neuromuskuler. Pada pertolongan
pertama perlu dilakukan penjagaan jalan napas.
Pemberian antitoksin Trivalent ABE (antitoksin tipe A 7500 IU, antitoksin tipe B
5500 IU, dan tipe E 8500 IU) per pasien. pertama perlu dilakukan uji kesensitivitasan
serum dengan menyuntikkan 0,1 ml antitoksin pada pengenceran 1:10 dalam garam
intradermal. Lalu memantau setiap reaksi yang ditimbulkan selama 15 menit sebelum
pemberian dosis penuh. Jika terjadi reaksi maka dosis dan laju infus harus dikurangi dan
reaksi yang ditimbulkan harus diobati. Pemberian antitoksin dosis tunggal biasanya cukup
untuk penanganan pasien keracunan.
Penanganan botulisme pada bayi tidak disarankan untuk menggunakan antitoksin
Equine botulinum karena berpotensi risiko anafilaksis, serum sickness, atau sensitisasi dari
bayi kuda antigen. Sedangkan botulisme menular pada dewasa memerlukan adanya
pengulangan pemberian antitoksin trivalen setelah pemberian dosis pertama karena
dihawatirkan terjadi evolusi bakteri dalam jangka panjang.
Pada Foodborne botulism atau Botulisme bawaan makanan diperlukan satu botol
equinantitoksin atau antitoksin kuda yang harus diberikan secara infus (terdiri dari 7500
unit antitoxins tipe A, 5500 unit antitoxins tipe B dan 8500 unit antitoxins tipe E (Shapiro,
1998). Karena berisiko reaksi alergi terhadap serum kuda, sehingga pasien harus ditanya
tentang riwayat asma, demam atau reaksi alergi ketika kontak dengan kuda. Untuk
penanganan jika diperlukan segera maka solusi chlorhydrate epinefrin (1:1000) 1 mL harus
selalu tersedia.
Uji sensitivitas mata atau kulit harus dilakukan sebelum pemberian antitoksin kuda.
Untuk Tes sensitivitas kulit dilakukan dengan cara 0,1 mL serum antitoksin diencerkan
pada 1:100 saline normal kemudian diberikan secara injeksi subkutan. Jika ada riwayat
alergi positif, dosis harus dikurangi menjadi 0,05 ml pengenceran 1:1000 dengan injeksi
subkutan. Penafsiran hasilnya dilakukan setelah 5 sampai 30 menit. Tes dianggap positif
jika papul dengan hyperemic areola terjadi. Ukuran papula dan dari zona hyperemic
memberikan indikasi tingkat sensitivitas pasien dan risiko efek negatif terhadap pemberian
antitoksin. Tes sensitivitas kulit negatif tidak sepenuhnya memberikan kemungkinan
pengecualian terhadap reaksi serum sehingga perlu dilakukan beberapa uji sensitivitas
yang lainnya. Terkecuali pada anak-anak, tes mata jauh lebih mudah untuk dilakukan
namun menghasilkan reaksi yang kurang spesifik. Tes sensitivitas mata dilakukan dengan
cara setetes serum antitoksin diencerkan sampai 1:10 dalam larutan saline normal
kemudian ditanamkan dalam satu mata. Solusi kontrol yang hanya berisi saline normal
ditanamkan pada mata yang lain. Air mata dan konjungtivitis menunjukkan reaksi positif.
Reaksi yang timbul setelah pemberian serum antitoksin kuda antara lain reaksi
anafilaktik dan demam. Ketika reaksi anafilaktik terjadi maka segera diberikan 0,5 mL
larutan epinefrin chlorhydrate 1:1000 secara subkutan atau Intramuskular. Untuk terjadinya
demam, hal ini dapat terjadi 20 sampai 60 menit setelah pemberian antitoksin yang
ditandai dengan menggigil, sedikit dyspnea dan demam. Serum sicknes juga dapat terjadi
hingga 2 minggu setelah pemberian antitoksin. Tanda-tanda dan gejala nya adalah sebagai
berikut: demam, ruam kulit, edema, pembengkakan kelenjar, dan nyeri artikular. Reaksi
urtikaria dapat merespon karena pemberian epinefrin. Pada kasus yang lebih parah
mungkin memerlukan pemberian kortison.
Pada luka botulisme memiliki cara pengobatan yang mirip dengan botulisme bawaan
makanan. Penggunaan terapi antitoksin kuda tidak dianjurkan pada anak-anak (Shapiro et
al, 1998). Namun, keamanan dan kemanjuran produk antitoksin manusia yang diturunkan
(botulism manusia immune globulin) sedang diselidiki di California (AS) untuk digunakan
pada bayi.
Pada Botulisme menular, protokol antitoksin yang diperlukan adalah sama seperti
pada keracunan bawaan makanan. Namun, dosis tambahan antitoksin mungkin akan sangat
diperlukan. Pada anak-anak maka protokol untuk administrasi antitoksin trivalen ini mirip
dengan yang digunakan pada orang dewasa.
VII. PENUTUP
Keracunan makanan dengan bakteri C. Botulinum perlu ditatalaksana secara
serius dan tepat karena jika tidak segera ditangani dengan cepat akan menyebabkan
kematian. C. Botulinum dapat mengganggu transmisi impuls saraf dengan menghambat
pelepasan sambungan neuromuskuler asetilkolin. Dengan tatalaksana yang tepat
kerusakan akibat keracunan yang mungkin timbul dapat diminimalisir, bahkan
sebelum gejala keracunan tersebut terdeteksi. Apabila dicurigai telah terjadi keracunan
C. Botulinum, segera hubungi Sentra Informasi Keracunan atau dokter setempat untuk
mendapatkan informasi dan petunjuk seputar penanganan keracunan.
PUSTAKA
1. Albert J Nantel, Scientific Adviser.1999. Clostridium Botulinum : International
Programme on Chemical Safety Poisons Information Monograph 858 Bacteria. World
Health Organization.
2. BPOM RI, 2010. Bidang Informasi Keracunan. Data Keracunan Makanan dan Minuman
Per Propinsi Tahun 2007-2009.
3. CDC. 1998. Botulism In The United States 1899-1996: Handbook for Epidemiologist,
Clinicians, and Laboratory Workers. USA
4. Dewanti, R. 1996. Keracunan Pangan Oleh Mikroba. Makalah Pelatihan CFNS IPB Dirjen
Dikti Depdikbud. Bogor 21 Oktober - 2 November 1996.
5. Fardiaz, D. 1998. Peluang, Prospek, Kendala dan Strategi Pengembangan Makanan
Tradisional. Makalah Seminar. PKMT LP IPB- PAU Pangan Dan Gizi. IPB. Bogor 21
Pebruari 1998.
6. Jenie, B.S.L. 1996. Teknik Sanitasi Dalam Industri Pangan. Makalah Pelatihan. CFNS
IPB-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Bogor 21 Oktober - 2
November 1996.
7. Krisno, Agung. 2011. Keracunan Makanan oleh Clostridium botulinum
dan Pencegahannya. http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/14/keracunan-
makanan-oleh-clostridium-botulinum-dan-pencegahannya/. (diakses pada tangal 12 Mei
2013).
8. Nante, Albert J . 1999. Clostridium Botulinum. World Health Organization.
9. Peck M.W, K.E. Goodburn, R.P. Betts, and S.C. Stringer. 2006. Clostridium Botulinumin
Vacuum Packed (VP) and Modified Atmosphere Packed (MAP) Chilled Foods. UK.
Institute of Food Research, Norwich.
10. Scott, V.N. 2006. Biological Hazard and Controls. In HACCP: A Systemic Approach to
Food Safety. Food Product Association: 19-35.
11. Scott, V.N dan Stevenson, K.E. 2006. In HACCP: A Systemic Approach to Food Safety.
Food Product Assosiation. Washington.
12. Shapiro RL, Hatheway C, Becher J, Swerdlow DL. 1997. Botulism surveillance and
Emergency Response. JAMA, 278(5): 433-435.
13. Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanandan Sumber Pencemarannya.
www.repository.usu.ac.id(Diakses pada tanggal 12 Mei 2013).
14. Ting, Patricia T. dan Anatoli Freiman. 2004. The Story of Clostridium botulinum : from
food poisoning to Botox. Clinical Medicine, 4 (3) : 258 – 261.
15. http://neuromuscular.wustl.edu/nother/bot.htm
Keracunan Massal Karena Bakteri Botulinum
Ono
Rabu, 16/06/2010 09.00 WIB
BOYOLALI – Kasus keracunan massal yang menimpa puluhan warga Desa Papringan,
Kecamatan Kaliwungu, Semarang, diduga karena kontaminasi bakteri Botulinum yang berasal
dari daging sapi pada makanan sosis. Sedangkan snack yang dikonsumsi warga, ternyata dipesan
dari salah satu katering di Boyolali. Menurut Staf Ahli Bupati Bidang Kesra, dr. Syamsudin
Mkes, dari gejala – gejala yang ditunjukkan, diduga kuat mereka terkontaminasi bakteri
Botulinum. ―Gejalanya antara lain mual muntah, sakit kepala, tekanan darah turun, serta
mengalami dehidrasi yang mengakibatkan demam tinggi,‖ terang Syamsudin, Selasa (15/6).
Jika terlambat ditangani, jelas Syamsudin, keracunan itu bisa berujung kematian. Hal itu karena
kekurangan cairan atau dehidrasi. Kontaminasi bakteri itu disebabkan kurang higienisnya
pengolahan makanan. Jika benar penyebab keracunan sosis, kontaminasi terjadi saat
pencampuran daging sapi ke dalam sosis, atau bisa jadi daging tersebut masih kurang matang.
―Bisa juga disebabkan faktor penjamahan manusianya. Semestinya masak dagingnya benar –
benar matang dan cara pengambilan daging tidak dengan tangan telanjang,‖ papar dia.
Menurut Syamsudin keracunan dipengaruhi tiga faktor, yakni tingkat keganasan bakteri, dosis
bakteri, serta daya tahan manusianya. Sedangkan masa inkubasi bakteri menurut dia sangat
cepat, berkisar empat sampai delapan jam, namun biasanya di bawah empat jam sudah
menunjukkan gejala – gejala keracunan.
Sementara itu, empat pasien yang dirawat di RSU Pandanarang sejak Minggu (13/6) kondisinya
sudah membaik. Selain mereka, empat warga lain yang keracunan juga dirawat di RSU
Pandanarang.
―Sudah membaik, tapi kemarin sore ada empat warga lagi yang dirawat di sini, dua pindahan dari
PKU dan duanya dari rumah,‖ terang Kepala Desa Papringan, Susanto.
Dikatakan, makanan yang dikonsumsi warga ternyata dipesan dari salah satu katering di
Kelurahan Winong, Boyolali Kota. Namun mengenai kepastian kontaminasi kuman masih
menunggu hasil laboratorium di Semarang.
Terpisah, dokter yang menangani pasien, dr. DM Rezali Siregar mengaku pihaknya belum tahu
jenis racun yang mengontaminasi para pasien. Dibutuhkan uji klinis laboratorium, dan itu sudah
dilakukan di Semarang. Dia mengaku hanya berkonsentrasi memperbaiki kondisi pasien, di
antaranya dengan melokalisasi racun dan menghilangkannya dari tubuh korban. (ono)
Sumber :
http://edisicetak.joglosemar.co/berita/keracunan-massal-karena-bakteri-botulinum-17856.html
Diduga Terkontaminasi Bakteri Botulinum
15 Juni 2010 | 21:15 WIB
Boyolali, CyberNews. Kondisi empat warga Desa Papringan, Kecamatan Kaliwungu,
Kabupaten Semarang korban keracunan yang menjalani rawat inap di RSU Pandan Arang
Boyolali semakin membaik. Pasien sudah tidak lagi mengeluh pusing dan perutnya mulas.
"Kondisinya sudah membaik. Tetapi untuk kasus keracunan, perlu juga dilakukan diagnosa tegak
yaitu cek silang hasil analisa dokter dengan hasil penelitian sampel makanan yang diduga
menyebabkan keracunan," ungkap Direktur RSU Pandan Arang Boyolali dokter Andarwati,
Selasa (15/6).
Dia menambahkan, pihak rumah sakit tidak bisa melakukan diagnosa tegak atas kasus keracunan
yang dialami empat warga Papringan. Pihak rumah sakit hanya melakukan pengobatan dan
perawatan terhadap seluruh pasien. Pasalnya, kejadiannya tidak berada di wilayah Boyolali.
Sehingga, perlu ada koordinasi lintas wilayah dengan Kabupaten Semarang dalam penanganan
kasus keracunan tersebut. "Untuk mengetahui penyebab keracunan tergantung hasil pemeriksaan
dari Puskesmas setempat dan Dinkes Kabupaten Semarang. Kami khusus melakukan perawatan
terhadap korban secara maksimal."
Kasus keracunan tersebut juga mendapat perhatian Staf ahli bupati Boyolali bidang Kesra dan
SDM, dokter Syamsudin. Menurutnya, bila dilihat dari makanan yang disantap para korban maka
yang diduga mengandung racun adalah sosis. Diduga para korban terkena bakteri botulinum.
Bakteri tersebut memiliki masa inkubasi sangat cepat yakni antara dua hingga delapan jam.
Korban akan mengalami gejala pusing, demam dan mual. "Bahkan diare yang disertai dehidrasi."
(Joko Murdowo / CN14)
Sumber :
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/06/15/57017
Two children with botulism poisoning after eating Loyd
Grossman sauce 'are brother and sister aged under 10'
Sauces with best-before date of February 2013 and batch code 1218R 07:21 are affected
By Sean Poulter
UPDATED: 12:25 GMT, 15 November 2011
Danger: A batch of 47,000 jars of korma sauce have been recalled after two
children were hospitalised with botulism poisoning
The two children struck down by botulism poisoning after eating a Loyd
Grossman curry sauce are a brother and sister both aged under 10,
MailOnline can reveal.
The children are being cared for in a Scottish hospital where they are said
to be in a serious but improving condition.
They became ill after eating a jar of Loyd Grossman korma sauce, which
comes from a batch of 47,000 that have been distributed across the country, and have now been
recalled.
Mr Grossman, who developed the recipe for the sauces, was 'in shock' after hearing about the
poisoning.
His agent Peter Schnabl told MailOnline: 'Loyd is very upset and distressed at the minute.
'It was a such a big shock when he was told about the illness of the children. He's devastated. It's
all very upsetting.
'Loyd's not just putting his name to the products, it's a full involvement.
'We're furiously trying to figure out what has happened.
'Loyd will be leading the charge in finding out who's responsible. He's not happy about it.'
In theory, the cooking process, which involves boiling the sauce for more than five minutes,
should kill any harmful bacteria.
Mr Schnabl said: ‗We are trying to find out exactly what has happened. As far as we are
concerned the bacteria should have been removed in the production process.
‗We can‘t really fathom out what exactly happened. Premier are furiously trying to find out,
along with the Food Standards Agency, what exactly has happened.‘
The sauce is made by Premier Foods, the UK‘s largest food manufacturer, which is responsible
for more than 40 household brands including Mr Kipling, Hovis, Branston, Bisto and Oxo.
A spokeswoman for NHS Forth Valley said the brother and sister are in a 'stable and improving'
condition.
The FSA has advised the public not to consume jars of the sauce as it may pose a risk of
botulism poisoning. It said a batch of the korma sauce has been recalled and is being removed
from shop shelves.
Setback: Loyd Grossman, who insists on tasting each new
recipe, is said to be very distressed about the poisoning
The product recall relates to 350g jars of Loyd Grossman
Korma sauce with a best-before date of February 2013 and a
batch code of 1218R 07:21.
Botulism is caused by toxins produced by the bacterium
Clostridium botulinum, which is the deadliest naturally
occurring poison in the world and attacks the nervous
system.
The illness can be fatal in up to 10 per cent of cases, and victims can take many months to
recover.
Symptoms of food-borne botulism, which include blurred vision and difficulty swallowing and
speaking, can rapidly get worse and lead to muscle weakness and paralysis.
The symptoms typically begin between 12 and 36 hours after eating a contaminated meal, but
may appear in as little as six hours.
Anyone suffering these symptoms after eating the product is being advised to seek medical help
urgently.
The infection cannot be spread from person to person.
While the initial cases of illness have occurred in Scotland, the FSA and Scottish health
authorities have issued a UK-wide alert.
The FSA said: ‗Anyone who has any of the jars from this batch of Loyd Grossman Korma sauce
should not eat it.
‗Two members of the same family who have contracted botulism and have eaten from a jar of
this batch of sauce have been hospitalised in Scotland.
‗Only one jar from the batch is known to have been contaminated with Clostridium botulinum,
which causes botulism, but the agency is advising people not to eat products from this batch as a
precautionary measure.‘
Dr John Cowden, consultant epidemiologist at Health Protection Scotland, said: ‗People can be
reassured that botulism is rare in the UK.
‗Any person, child or adult, with the symptoms should seek urgent medical advice. Anti-toxins
have proved very effective in treating the condition if treated early, although full recovery may
take several months.‘
Supermarket staples: A selection of the other popular
brands names that are made by Premier Foods, which
manufactured the korma sauce
There is a risk that thousands of jars from this batch
are sitting in kitchen cupboards and small independent
corner shops across the country.
The sauce was made at a factory run by Premier Foods
in Bury St Edmunds, Suffolk. Council health experts have visited the premises.
The same factory also makes own-label products for the big four supermarkets, Tesco, Asda,
Sainsbury‘s and Morrisons, plus big brands like Branston pickle and Haywards brand pickled
onions, piccallili, and beetroot.
‘This is a really nasty illness. Everyone is taking this extremely seriously'
A source close to the investigation said: ‗This is a really nasty illness. Everyone is taking this
extremely seriously.
‗Other jars from the same batch are being tested for the presence of botulism, while talks are
being held with the company to find out just how it got in there.
‗People need to check whether they have this product sitting in their cupboards. The important
thing is that people just do not eat it.‘
The news will be a heavy blow to the reputation of the TV food guru‘s line of products, which
includes curry and pasta sauces.
The products are marketed on the basis that they use ‗only the very best ingredients‘.
A PARALYSING ILLNESS
Botulism is a rare but serious illness which can lead to paralysis.
It can be caused either by ingesting the botulinum toxin or by contamination
in a wound. It cannot be transferred from person to person.
Botulism can lead to paralysis which usually starts with the muscles in the
face - particularly those in the eyes and those used for chewing - and spreads
towards the limbs.
In severe cases the breathing muscles can become paralysed, causing
respiratory failure.
Botulism can be prevented by killing the spores by cooking food at about
121°C for three minutes.
Treatment for respiratory paralysis can require a patient to be on a ventilator
for weeks as well as being treated in intensive care.
After several weeks, the paralysis usually slowly improves.
Food poisoning: A close-up of the Clostridium botulinum bacteria which causes botulism in
humans.
Mr Grossman has promoted the sauces saying: ‗I love food and believe great food comes from
care and attention to detail. That‘s why I insist on tasting every recipe until it‘s just right.‘
Spores of Clostridium botulinum are normally found in soil and can get into food products via
contamination of farmers‘ fields.
There have been cases in the past – although extremely rare – of the spores and associated toxin
being found in food sold in cans and jars.
The NHS website says just 500g of the toxin ‗is enough to kill every human being on the planet‘,
adding: ‗The toxins... block a special type of chemical called a neurotransmitter.
Neurotransmitters send messages from your brain to the rest of your nervous system.
‗In the case of botulism, the toxin blocks the effects of a neurotransmitter called acetylcholine,
which is used by your body to help stimulate muscles. If acetylcholine is blocked, it causes
paralysis which, if left untreated, can lead to death.‘
It is believed that the suspect product comes from a dedicated line that only produces the Loyd
Grossman Korma sauce.
The major supermarkets said that the jars have been removed from sale.
They said their own-label products made at the factory are not implicated.
A spokesman for Premier Foods said: 'The safety of consumers is of paramount importance to
us. At this stage, we understand that the incident relates to a single jar of Korma sauce.
'There is no evidence of any broader contamination, no further reports of illness have been
notified to the authorities and we have had no consumer complaints of illness related to this
product.
'We are working urgently with the authorities to investigate the cause of this incident, including
how the jar may have been transported and stored after leaving the factory.
'While these investigations are underway, we have initiated a precautionary recall of the specific
batch code in the interests of the safety of our consumers.'
Sumber :
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2061731/Loyd-Grossman-curry-sauce-Victims-
botulism-case-brother-sister-10.html
2 cases of botulism in New York linked to fresh bulk tofu
Posted By Colin Caywood on March 30, 2012
New York City Health Department is currently
investigating two cases of foodborne botulism linked to
fresh bulk tofu sold at a store in Flushing. As reported by
WABC, New York City has reported only one other
foodborne-linked botulism over the past 15 years.
The two reported cases are Chinese-speaking residents of
Queens who recently purchased the unrefrigerated bulk
tofu from the same store. According to reports, the tofu
was not made at the store and its source is under investigation.
As the investigation continues, the Health Department is advising all individuals to discard all
fresh bulk tofu purchased from any New York City store that has been kept at room
temperature at the time of purchase.
The Health Department is also warning consumers to throw away tofu that has not been stored
in a refrigerator at home.
Although botulism can be diagnosed based on clinical symptoms, its differentiation from
other diseases is often difficult—especially in the absence of other known persons affected by
the condition. Once suspected, the most direct and effective way to confirm the diagnosis of
botulism in the laboratory is testing for the presence of the botulinum toxin in the serum,
stool, or gastric secretions of the patient. The food consumed by the patient can also be tested
for the presence of toxins. Currently, the most sensitive and widely used method for the
detection of the toxins is the mouse neutralization test, which involves injecting serum into
mice and looking for signs of botulism. This test typically takes 48 hours, while the direct
culturing of specimens takes 5-7 days. Some cases of botulism may go undiagnosed because
symptoms are transient or mild, or are misdiagnosed as Guillain-Barre Syndrome.
If diagnosed early, foodborne botulism can be treated with an antitoxin that blocks the action
of toxin circulating in the blood. This can prevent patients from worsening, but recovery still
takes many weeks. The mainstay of therapy is supportive treatment in intensive care, and
mechanical ventilation in case of respiratory failure, which is common.
Sumber :
http://www.foodpoisonjournal.com/foodborne-illness-outbreaks/2-cases-of-botulism-in-new-
york-linked-to-fresh-bulk-tofu/#.UY-FWcrTdhU

More Related Content

What's hot

Analisis mikroorganisme pembuat bioetanol
Analisis mikroorganisme pembuat bioetanolAnalisis mikroorganisme pembuat bioetanol
Analisis mikroorganisme pembuat bioetanolAhmad Jihad Almuhdhor
 
Bakteri (Bacteria)
Bakteri (Bacteria)Bakteri (Bacteria)
Bakteri (Bacteria)Tri Suwandi
 
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteriFaktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteriAditya Rendra
 
Ppt mekanisme kerja antibiotik
Ppt mekanisme kerja antibiotikPpt mekanisme kerja antibiotik
Ppt mekanisme kerja antibiotikWiddya Anggraini
 
Ciri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteri
Ciri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteriCiri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteri
Ciri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteriVinnyhayati
 
Lima kerajaan makhluk hidup
Lima kerajaan makhluk hidupLima kerajaan makhluk hidup
Lima kerajaan makhluk hidupnenkrozz
 
Klasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigen
Klasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigenKlasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigen
Klasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigenfantasykomp
 
Ppt antibiotik
Ppt antibiotikPpt antibiotik
Ppt antibiotikrula25
 
396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-doc
396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-doc396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-doc
396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-docNiaPradini
 
Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)
Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)
Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)fitriwirnamasari
 
archaebacteria & eubacteria
archaebacteria & eubacteriaarchaebacteria & eubacteria
archaebacteria & eubacteriaBertha Evania
 
Archeabacteria dan Bakteri
Archeabacteria dan BakteriArcheabacteria dan Bakteri
Archeabacteria dan Bakterinadsca
 
Archaebacteria dan Eubacteria
Archaebacteria dan EubacteriaArchaebacteria dan Eubacteria
Archaebacteria dan Eubacteriaekachalid
 

What's hot (19)

Analisis mikroorganisme pembuat bioetanol
Analisis mikroorganisme pembuat bioetanolAnalisis mikroorganisme pembuat bioetanol
Analisis mikroorganisme pembuat bioetanol
 
Bakteri (Bacteria)
Bakteri (Bacteria)Bakteri (Bacteria)
Bakteri (Bacteria)
 
Bakteri
BakteriBakteri
Bakteri
 
Bakteri kelas X
Bakteri kelas XBakteri kelas X
Bakteri kelas X
 
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteriFaktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
 
Ppt mekanisme kerja antibiotik
Ppt mekanisme kerja antibiotikPpt mekanisme kerja antibiotik
Ppt mekanisme kerja antibiotik
 
Ciri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteri
Ciri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteriCiri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteri
Ciri ciri perkembangbiakan dan manfaat bakteri
 
Makalah mikroganisme amanah raha
Makalah mikroganisme amanah rahaMakalah mikroganisme amanah raha
Makalah mikroganisme amanah raha
 
Lima kerajaan makhluk hidup
Lima kerajaan makhluk hidupLima kerajaan makhluk hidup
Lima kerajaan makhluk hidup
 
Klasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigen
Klasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigenKlasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigen
Klasifikasi bakteri berdasarkan kebutuhan oksigen
 
Metabolisme mikrobial
Metabolisme mikrobialMetabolisme mikrobial
Metabolisme mikrobial
 
Ppt antibiotik
Ppt antibiotikPpt antibiotik
Ppt antibiotik
 
Ppt resistensi mikroorganisme
Ppt resistensi mikroorganismePpt resistensi mikroorganisme
Ppt resistensi mikroorganisme
 
396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-doc
396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-doc396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-doc
396894246 makalah-respon-imun-terhadap-patogen-ekstraseluler-doc
 
Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)
Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)
Makalah kelompok 2(peranan mikroba pada bidang pertanian)
 
archaebacteria & eubacteria
archaebacteria & eubacteriaarchaebacteria & eubacteria
archaebacteria & eubacteria
 
Buku x bab 4
Buku x bab 4Buku x bab 4
Buku x bab 4
 
Archeabacteria dan Bakteri
Archeabacteria dan BakteriArcheabacteria dan Bakteri
Archeabacteria dan Bakteri
 
Archaebacteria dan Eubacteria
Archaebacteria dan EubacteriaArchaebacteria dan Eubacteria
Archaebacteria dan Eubacteria
 

Similar to Keracunan Botulinum

Imunologi terhadap infeksi
Imunologi terhadap infeksiImunologi terhadap infeksi
Imunologi terhadap infeksiLutfi Imansari
 
Imunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilan
Imunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilanImunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilan
Imunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilanIma Septia
 
Pncegahan dan Pengendalian Infeksi
Pncegahan dan Pengendalian InfeksiPncegahan dan Pengendalian Infeksi
Pncegahan dan Pengendalian Infeksipjj_kemenkes
 
Bioteknologi dalam bidang obat-obatan
Bioteknologi dalam bidang obat-obatanBioteknologi dalam bidang obat-obatan
Bioteknologi dalam bidang obat-obatanYunita Sari
 
Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit
Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakitMycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit
Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakitOperator Warnet Vast Raha
 
Dasar dasar mikrobiologi
Dasar dasar mikrobiologiDasar dasar mikrobiologi
Dasar dasar mikrobiologititamranda
 
MATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).ppt
MATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).pptMATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).ppt
MATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).pptAgusSudrajat19
 
Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)
Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)
Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)Maulana Sakti
 
Kelompok 1 biokimiaa
Kelompok 1 biokimiaaKelompok 1 biokimiaa
Kelompok 1 biokimiaaAoiHikaru
 
kuliah-toksikologi.ppt
kuliah-toksikologi.pptkuliah-toksikologi.ppt
kuliah-toksikologi.pptSaid878643
 
Percobaan 8 (uji daya hambatt)
Percobaan 8 (uji daya hambatt)Percobaan 8 (uji daya hambatt)
Percobaan 8 (uji daya hambatt)itatriewahyuni
 
KELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptx
KELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptxKELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptx
KELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptxSantikaramina
 

Similar to Keracunan Botulinum (20)

Imunologi terhadap infeksi
Imunologi terhadap infeksiImunologi terhadap infeksi
Imunologi terhadap infeksi
 
Imunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilan
Imunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilanImunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilan
Imunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilan
 
Pncegahan dan Pengendalian Infeksi
Pncegahan dan Pengendalian InfeksiPncegahan dan Pengendalian Infeksi
Pncegahan dan Pengendalian Infeksi
 
Kb 5
Kb 5Kb 5
Kb 5
 
Bioteknologi dalam bidang obat-obatan
Bioteknologi dalam bidang obat-obatanBioteknologi dalam bidang obat-obatan
Bioteknologi dalam bidang obat-obatan
 
Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit
Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakitMycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit
Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit
 
Dasar dasar mikrobiologi
Dasar dasar mikrobiologiDasar dasar mikrobiologi
Dasar dasar mikrobiologi
 
MATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).ppt
MATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).pptMATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).ppt
MATERI 1, PENGERTIAN TOKSIKOLOGI KLINIK, Agus Sudrajat,S.Si,M,T (1).ppt
 
Uas bahasa indonesia
Uas bahasa indonesiaUas bahasa indonesia
Uas bahasa indonesia
 
Uas bahasa indonesia baru
Uas bahasa indonesia baruUas bahasa indonesia baru
Uas bahasa indonesia baru
 
Uas bahasa indonesia refisi
Uas bahasa indonesia refisiUas bahasa indonesia refisi
Uas bahasa indonesia refisi
 
kelompok B bakteri
kelompok B bakterikelompok B bakteri
kelompok B bakteri
 
Protozoologi
ProtozoologiProtozoologi
Protozoologi
 
Protozoologi
ProtozoologiProtozoologi
Protozoologi
 
Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)
Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)
Vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin)
 
Kelompok 1 biokimiaa
Kelompok 1 biokimiaaKelompok 1 biokimiaa
Kelompok 1 biokimiaa
 
kuliah-toksikologi.ppt
kuliah-toksikologi.pptkuliah-toksikologi.ppt
kuliah-toksikologi.ppt
 
Percobaan 8 (uji daya hambatt)
Percobaan 8 (uji daya hambatt)Percobaan 8 (uji daya hambatt)
Percobaan 8 (uji daya hambatt)
 
KELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptx
KELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptxKELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptx
KELOMPOK 7- TOKSISITAS HATI.pptx
 
Bakteri
BakteriBakteri
Bakteri
 

Keracunan Botulinum

  • 1. TATA LAKSANA KERACUNAN BOTULINUM Keracunan Massal Karena Bakteri Botulinum Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Toksikologi Anggota kelompok : 1. Dewi Gayatri W. 102210101057 2. Rizqy Kiromin B. 102210101058 3. Imandyah Novitasari 102210101060 4. Dian Ayu Eka P. 102210101061 5. Dwi Puspita Sari 102210101062 6. Alief Rizky 102210101063 7. Eka Putri P. 102210101064 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2013
  • 2. I. PENDAHULUAN Makanan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh manusia. Makanan tidak hanya dituntut cukup dari segi zat gizi, tetapi juga harus aman bila dikonsumsi. Peranan sanitasi menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan tumbuh dan berkembangnya mikroba pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sanitasi merupakan bagian penting dalam industri pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengemasan produk makanan, pembersihan, dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan produk makanan meliputi pengawasan bahan mentah, penyimpanan bahan mentah, perlengkapan suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan dari peralatan, pekerja dan hama pada semua tahap selama pengolahan, pengemasan dan penggudangan produk akhir. Kondisi sanitasi untuk menjamin keamanan makanan tradisional sangat tergantung dari budaya praktek higiene perorangan, keluarga, masyarakat setempat, bahan mentah yang digunakan, dan polusi lingkungan. Budaya praktek higiene perorangan, peralatan, bahan baku, dan ruang pengolahan sangat besar peranannya dalam menentukan tingkat pencemaran mikroba dalam makanan (Fardiaz, 1998). Keracunan makanan disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung senyawa beracun yang dapat bersumber dari bakteri maupun fungi. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen dan organisme lain penyebab penyakit, yang bila berkembang dalam jumlah yang cukup tinggi dapat menimbulkan penyakit setelah dikonsumsi manusia (Jenie, 1996). Secara umum, istilah keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme mencakup gangguan- gangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organisme tertentu dan gangguan akibat infeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolis toksik yang dihasilkan suatu mikroorganisme (Scott, 2006). Mikroba dapat menyebabkan penyakit atau keracunan dengan cara mengeluarkan toksin ke dalam makanan atau ikut tertelan bersama makanan yang dikonsumsi. Bakteri penyebab keracunan antara lain adalah Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, Pseudomonas cocovenenans, sedangkan dari golongan fungi antara lain adalah Aspergillus flavus dan A. parasiticus, dll (Dewanti, 1996). Berdasarkan klasifikasi diatas, ada dua intoksikasi pangan utama yang disebabkan oleh bakteri yaitu botulism yang disebabkan oleh Clostridium botulinumdan intoksikasi Staphilokoki, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Sthaphylococcus aureus (Dewanti, 1996). Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat membentuk spora tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan asamtinggi. Toksin yang dihasilkan dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan paralisis. Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 80°C
  • 3. selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan ( BPOM RI, 2010). Botulisme karena makanan adalah penyakit parah. Keracunan ini akibat konsumsi preformed botulinum neurotoxin dalam makanan dengan sedikit 30 ng neurotoxin dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian. Konsumsi sedikit 0.1g makanan di mana Clostridium botulinum yang tumbuh dapat menyebabkan botulisme. Botulisme karena makanan terutama terkait dengan dua fisiologis dan genetika yang berbeda dari clostridia proteolitik C. botulinum C. botulinumand nonproteolytic. Proteolitik C. botulinumis mesofil, dengan pertumbuhan minimal suhu 10 ° C-12 ° C, sedangkan C. botulinumis non- proteolitik merupakan psychrotroph yang tumbuh dan membentuk toksin pada suhu 3,0 ° C ( M.W Peck dkk, 2006 ). II. FARMAKOKINETIKA / TOKSIKOKINETIK Sejauh ini absorpsi dari toksin botulinum memiliki banyak asumsi, ada yang menyebutkan bahwa toksin ini diabsorbsi melalui saluran pernafasan. Selain itu juga ada yang menyebutkan bahwa botulinum diabsorpsi dari permukaan mukosa. Distribusi serta bioavailabilitas toksin ini sendiri adalah sebagai berikut: (Lance Lance L Simpson Ph D L. Simpson, Ph.D., 2009) In vitro darah: 100% serum: 88% In vivo darah: 100% Serum: 85% Serum albumin binding: 27% Ca dalam keadaan terikat and 73% Ca dalam keadaan bebas Racun botulinum diabsorbsi dari saluran intestinal atau bagian terinfeksi yang dibawa melalui sistem limfatik, dan dari saluran usus dibawa oleh aliran darah ke ujung neuromuskuler. Toksin membedakan tipenya terhadap afinitasnya pada jaringan saraf, dengan tipe A yang berarti memiliki afinitas terbesar. Toksin masuk ke ujung syaraf guna memberikan efek, dengan mengikatkan racun pada kedua perifer dan pusat saraf yang selektif dan saturable (WHO, 1999). III. MEKANISME KERACUNAN Botulisme ditandai dengan symmetrical, descending dan flaccid paralysis of motor pada saraf otonom serta biasanya diawali pada saraf kranial. Hal ini terjadi ketika transmisi neuromuskuler terganggu oleh neurotoxin protein yang diproduksi oleh pembentuk spora, anaerob obligat bakteri Clostridium botulinum. Kelumpuhan dimulai dari saraf kranial, kemudian mempengaruhi ekstremitas atas, otot-otot pernapasan, dan, akhirnya ekstremitas bawah dalam pola proksimal-to-distal. Dalam kasus yang parah, kelumpuhan otot
  • 4. pernapasan yang luas menyebabkan kegagalan ventilasi dan kematian kecuali perawatan suportif disediakan (Nantel, 2009). Botulisme pada manusia terutama disebabkan oleh Clostridium botulinum yang memproduksi toksin tipe A, B dan E. Jenis racun yang diproduksi oleh Clostridium F baratii dan tipe E toksin yang dihasilkan oleh Clostridium butyricum juga telah terlibat dalam kasus botulisme manusia. Strain C. botulinum yang memproduksi tipe C atau tipe D racun untuk sebagian besar penyebab botulisme hanya pada spesies non-manusia (Nantel, 2009). Meskipun tujuh neurotoksin (A, B, C, D, E, F dan G) secara genetik berbeda, neurotoksin tersebut memiliki berat molekul yang sama dan memiliki struktur subunit umum. Urutan asam amino yang lengkap dari berbagai serotipe menjadi dikenal. Urutan daerah homologi antara serotipe dan racun botulinum antara dan toksin tetanus, menunjukkan bahwa mereka semua menggunakan mekanisme serupa. Racun disintesis sebagai polipeptida rantai tunggal dengan massa molekul sekitar 150 kDa. Dalam bentuk ini, molekul racun berpotensi relatif sedikit sebagai agen neuromuskuler. Aktivasi neurotoxin memerlukan modifikasi dua langkah dalam struktur tersier protein (Nantel, 2009). Semua racun botulinum memiliki aktivitas racun yang sama di mana racun ini mengganggu transmisi impuls saraf dengan menghambat pelepasan sambungan neuromuskuler asetilkolin. Efeknya tahan lama, tetapi juga reversibel, sebagai terminal saraf baru tumbuh untuk menggantikan yang sebelumnya telah dihambat (Ting and Anatoli, 2004). Botulinum neurotoxin akan mencapai terminal saraf pada neuromuskuler. Botulinum neurotoxin tersebut mengikat membran saraf dan bergerak ke dalam sitoplasma dari terminal akson serta memblokir rangsangan transmisi sinaptik sehingga menyebabkan flaccid paralysis. Ada tiga langkah yang terlibat dalam memediasi racun ini yaitu internalisasi, reduksi disulfida, dan penghambatan translokasi pelepasan neurotransmitter. Toksin botulinum bekerja dengan memasukkan ujung sarafnya untuk memberikan efek, mengikat racun pada kedua perifer dan saraf pusat secara selektif. Setengah dari C- terminal berpengaruh pada spesifisitas kolinergik dan bertanggung jawab untuk berikatan, sedangkan rantai lainnya adalah bagian intraseluler beracun. Jika ikatan disulfida yang menghubungkan dua rantai rusak sebelum toksin diinternalisasi oleh sel, rantai tidak bisa masuk dan toksisitas akan hilang. Toksin menghambat pelepasan asetilkolin tetapi tidak pada sintesis atau penyimpanannya. Toksin botulinum adalah endopeptida khusus untuk komponen protein dari aparatus neuroeksositosis. Toksin botulinum memotong synaptobrevin dan protein membran vesikel sinaptik. Jenis-jenis toksinn A, C dan E bekerja pada protein membran presinapsis sedangkan tipe A dan E membelah SNAP-25 dan serotipe C memecah syntaxin (Nantel, 2009).
  • 5. IV. MANIFESTASI KLINIK Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi terlihat setelah 3-12 jam setelah memakan bahan makanan tersebut dan ditandai oleh muntah-muntah dan diare (Dewanti, 1996). Clostridium botulinum (Botulism) memiliki masa inkubasi selama 12-36 jam. Gejala yang dirasakan bisa berupa gangguan pencernaan akut yang diikuti oleh pusing- pusing dan muntah-muntah, bisa juga diare,lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut konstipasi, double fision, kesulitan menelan dan berbicara, lidah bisa membengkak dan tertutup, beberapa otot lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran pernafasan. Kematian bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari (Siagian, 2002). Pada keracunan yang disebabkan oleh Clostridium botulinum, terdapat beberapa macam rute pemaparan, seperti secara peroral, inhalasi, transdermal, mata, dan parenteral. Kejadian keracunan ini juga bisa terjadi pada bermacam golongan individu, seperti bayi dan orang dewasa. Adapun rute keracunan peroral dan botulisme pada bayi serta pada orang dewasa adalah sebagai berikut : 1. Botulisme karena Makanan Gejala awal terjadi setelah 18-36 jam pasca konsumsi. Terjadi kekacauan pada gastrointeestinal seperti mual, muntah, kram perut, atau diare. Sembelit akan terjadi dan mendominasi setelah timbulnya gejala neurologis. Gejala awal adalah mulut kering danmengaburkan penglihatan . Hal ini bisa diikuti oleh ophthalmoplegia, dysarthria, dan disfagia. Kelainan dari tengkorak saraf diikuti oleh pola kelamahan tipe descending simetris dan kelumpuhan. Setelah saraf kranial, toksin akan mempengaruhi otot-otot pernapasan. Jika telah parah, kelumpuhan otot pernapasan akan terjadi dan dapat menyebabkan kegagalan pernafasan dan kematian (Shapiro et al, 1998). 2. Botulisme pada Bayi Botulisme pada bayi terjadi pada anak-anak kurang dari usia satu tahun dan sebagian besar berumur 6 bulan. Gejala klinis yang ditimbulkan sangatlah bervariasi. Sembelit merupakan gejala awal dari botulisme ini, yang dapat didefinisikan sebagai 3 atau lebih hari tanpa buang air besar. Progresif kelemahan dan kehilangan nafsu mengikuti gejala ini setelah beberapa minggu. Gejalanya lain meliputi kelesuan, kesulitan mengisap dan menelan, hypotonia, dan hilangnya kontrol kepala. Gejala neurologis mungkin akan terjadi termasuk ptosis, ophthalmoplegia, muntah, mulut kering, dan kandung kemih neurogenik (Nantel et al, 1999). 3. Botulisme pada Dewasa Gambaran klinis botulisme menular dewasa mirip dengan botulisme karena makanan kecuali untuk simtomatologi gastrointestinal awal. Interval antara paparan makanan dan timbulnya gejala klinis dapat terjadi satu bulan atau lebih.
  • 6. V. PENEGAKAN DIAGNOSIS 1. Botulisme karena makanan Ini harus dicurigai pada pasien dengan gejala gastro-intestinal akut terkait dengan otonom (mulut kering, kesulitan fokus mata) dan disfungsi saraf (ptosis, diplopia, dysarthria, dysphagia). Diagnosis awal harus dibuat atas dasar sejarah riwayat pasien dan temuan fisik yang ada. Tes konfirmasi mungkin butuh beberapa hari untuk dilakukan. Serum dan sampel makanan yang diduga harus diuji terkait ada tidaknya botulisme. Uji inokulasi pada tikus masih merupakan uji yang paling dapat diandalkan. Spesimen tinja harus dilakukan tes uji C. botulinum sebagai tes konfirmasi. Isolasi C. botulinum dilakukan pada makanan yang dicurigai mengandung C.botulinum. 2. Luka Botulisme Spesimen eksudat luka, sampel jaringan, atau sampel hasil swab harus dilakukan pengembangbiakan secara anaerob untuk uji toksin. Sebuah spesimen tinja harus diperoleh untuk mendapatkan koloni usus sebagai sumber racun. 3. Botulisme pada bayi Ini harus dicurigai pada bayi yang terjadi sembelit, nafsu makan yang buruk, kelemahan otot perifer, atau tekanan ventilasi. Kultur tinja untuk C. botulinum dan pengujian untuk kehadiran racun dalam tinja harus dilakukan pada pasien tersebut. 4. Botulisme menular dewasa Ini adalah penyakit langka dan harus dicurigai pada pasien dengan beberapa kelainan gastrointestinal yang berkembang pada kelainan saraf kranial dan disfungsi otonom, serta kelemahan otot. Endogen produksi antibodi terhadap toksin botulinum telah dijelaskan. 5. Botulisme sengaja Hal ini dapat dicurigai pada sejarah pasien yang mendapat suntikan toksin botulinum, terutama dalam skala besar melalui otot untuk medapatkan efek sistemik atau mungkin dalam upaya bunuh diri. VI. PENATALAKSANAAN Prinsip-prinsip umum penatalaksanaan penanganan keracunan : a. Terapi suportif b. Upaya pembatasan penyebaran racun c. Meningkatkan aksi pengakhiran racun d. Pemilihan strategi terapi antidot bergantung pada informasi tentang rentang waktu kejadian dan pengetahuan kinetika absorpsi, distribusi & eliminasi racun. Tindakan Pertolongan Pertama
  • 7. Mengosongkan perut dengan metode pembilasan lambung (gastric lavage) atau induksi rangsangan muntah seperti dengan pemberian sirup ipecac. Hal ini dapat dilakukan jika makanan yang dicurigai baru dikonsumsi dalam waktu 1 jam. Namun metode tersebut tidak perlu dilakukan bila pada pasien menunjukkan gejala neurologis. Selain itu dapat juga dengan memberikan arang aktif dan garam katarsis (seperti sorbitol) sebagai penetralan asam- basa, namun hal tersebut tidak perlu dilakukan bila diketahui adanya magnesium. Magnesium dapat mempotensiasi blok neuromuskuler. Pada pertolongan pertama perlu dilakukan penjagaan jalan napas. Pemberian antitoksin Trivalent ABE (antitoksin tipe A 7500 IU, antitoksin tipe B 5500 IU, dan tipe E 8500 IU) per pasien. pertama perlu dilakukan uji kesensitivitasan serum dengan menyuntikkan 0,1 ml antitoksin pada pengenceran 1:10 dalam garam intradermal. Lalu memantau setiap reaksi yang ditimbulkan selama 15 menit sebelum pemberian dosis penuh. Jika terjadi reaksi maka dosis dan laju infus harus dikurangi dan reaksi yang ditimbulkan harus diobati. Pemberian antitoksin dosis tunggal biasanya cukup untuk penanganan pasien keracunan. Penanganan botulisme pada bayi tidak disarankan untuk menggunakan antitoksin Equine botulinum karena berpotensi risiko anafilaksis, serum sickness, atau sensitisasi dari bayi kuda antigen. Sedangkan botulisme menular pada dewasa memerlukan adanya pengulangan pemberian antitoksin trivalen setelah pemberian dosis pertama karena dihawatirkan terjadi evolusi bakteri dalam jangka panjang. Pada Foodborne botulism atau Botulisme bawaan makanan diperlukan satu botol equinantitoksin atau antitoksin kuda yang harus diberikan secara infus (terdiri dari 7500 unit antitoxins tipe A, 5500 unit antitoxins tipe B dan 8500 unit antitoxins tipe E (Shapiro, 1998). Karena berisiko reaksi alergi terhadap serum kuda, sehingga pasien harus ditanya tentang riwayat asma, demam atau reaksi alergi ketika kontak dengan kuda. Untuk penanganan jika diperlukan segera maka solusi chlorhydrate epinefrin (1:1000) 1 mL harus selalu tersedia. Uji sensitivitas mata atau kulit harus dilakukan sebelum pemberian antitoksin kuda. Untuk Tes sensitivitas kulit dilakukan dengan cara 0,1 mL serum antitoksin diencerkan pada 1:100 saline normal kemudian diberikan secara injeksi subkutan. Jika ada riwayat alergi positif, dosis harus dikurangi menjadi 0,05 ml pengenceran 1:1000 dengan injeksi subkutan. Penafsiran hasilnya dilakukan setelah 5 sampai 30 menit. Tes dianggap positif jika papul dengan hyperemic areola terjadi. Ukuran papula dan dari zona hyperemic memberikan indikasi tingkat sensitivitas pasien dan risiko efek negatif terhadap pemberian antitoksin. Tes sensitivitas kulit negatif tidak sepenuhnya memberikan kemungkinan pengecualian terhadap reaksi serum sehingga perlu dilakukan beberapa uji sensitivitas yang lainnya. Terkecuali pada anak-anak, tes mata jauh lebih mudah untuk dilakukan namun menghasilkan reaksi yang kurang spesifik. Tes sensitivitas mata dilakukan dengan cara setetes serum antitoksin diencerkan sampai 1:10 dalam larutan saline normal
  • 8. kemudian ditanamkan dalam satu mata. Solusi kontrol yang hanya berisi saline normal ditanamkan pada mata yang lain. Air mata dan konjungtivitis menunjukkan reaksi positif. Reaksi yang timbul setelah pemberian serum antitoksin kuda antara lain reaksi anafilaktik dan demam. Ketika reaksi anafilaktik terjadi maka segera diberikan 0,5 mL larutan epinefrin chlorhydrate 1:1000 secara subkutan atau Intramuskular. Untuk terjadinya demam, hal ini dapat terjadi 20 sampai 60 menit setelah pemberian antitoksin yang ditandai dengan menggigil, sedikit dyspnea dan demam. Serum sicknes juga dapat terjadi hingga 2 minggu setelah pemberian antitoksin. Tanda-tanda dan gejala nya adalah sebagai berikut: demam, ruam kulit, edema, pembengkakan kelenjar, dan nyeri artikular. Reaksi urtikaria dapat merespon karena pemberian epinefrin. Pada kasus yang lebih parah mungkin memerlukan pemberian kortison. Pada luka botulisme memiliki cara pengobatan yang mirip dengan botulisme bawaan makanan. Penggunaan terapi antitoksin kuda tidak dianjurkan pada anak-anak (Shapiro et al, 1998). Namun, keamanan dan kemanjuran produk antitoksin manusia yang diturunkan (botulism manusia immune globulin) sedang diselidiki di California (AS) untuk digunakan pada bayi. Pada Botulisme menular, protokol antitoksin yang diperlukan adalah sama seperti pada keracunan bawaan makanan. Namun, dosis tambahan antitoksin mungkin akan sangat diperlukan. Pada anak-anak maka protokol untuk administrasi antitoksin trivalen ini mirip dengan yang digunakan pada orang dewasa. VII. PENUTUP Keracunan makanan dengan bakteri C. Botulinum perlu ditatalaksana secara serius dan tepat karena jika tidak segera ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian. C. Botulinum dapat mengganggu transmisi impuls saraf dengan menghambat pelepasan sambungan neuromuskuler asetilkolin. Dengan tatalaksana yang tepat kerusakan akibat keracunan yang mungkin timbul dapat diminimalisir, bahkan sebelum gejala keracunan tersebut terdeteksi. Apabila dicurigai telah terjadi keracunan C. Botulinum, segera hubungi Sentra Informasi Keracunan atau dokter setempat untuk mendapatkan informasi dan petunjuk seputar penanganan keracunan. PUSTAKA 1. Albert J Nantel, Scientific Adviser.1999. Clostridium Botulinum : International Programme on Chemical Safety Poisons Information Monograph 858 Bacteria. World Health Organization. 2. BPOM RI, 2010. Bidang Informasi Keracunan. Data Keracunan Makanan dan Minuman Per Propinsi Tahun 2007-2009. 3. CDC. 1998. Botulism In The United States 1899-1996: Handbook for Epidemiologist, Clinicians, and Laboratory Workers. USA
  • 9. 4. Dewanti, R. 1996. Keracunan Pangan Oleh Mikroba. Makalah Pelatihan CFNS IPB Dirjen Dikti Depdikbud. Bogor 21 Oktober - 2 November 1996. 5. Fardiaz, D. 1998. Peluang, Prospek, Kendala dan Strategi Pengembangan Makanan Tradisional. Makalah Seminar. PKMT LP IPB- PAU Pangan Dan Gizi. IPB. Bogor 21 Pebruari 1998. 6. Jenie, B.S.L. 1996. Teknik Sanitasi Dalam Industri Pangan. Makalah Pelatihan. CFNS IPB-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Bogor 21 Oktober - 2 November 1996. 7. Krisno, Agung. 2011. Keracunan Makanan oleh Clostridium botulinum dan Pencegahannya. http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/14/keracunan- makanan-oleh-clostridium-botulinum-dan-pencegahannya/. (diakses pada tangal 12 Mei 2013). 8. Nante, Albert J . 1999. Clostridium Botulinum. World Health Organization. 9. Peck M.W, K.E. Goodburn, R.P. Betts, and S.C. Stringer. 2006. Clostridium Botulinumin Vacuum Packed (VP) and Modified Atmosphere Packed (MAP) Chilled Foods. UK. Institute of Food Research, Norwich. 10. Scott, V.N. 2006. Biological Hazard and Controls. In HACCP: A Systemic Approach to Food Safety. Food Product Association: 19-35. 11. Scott, V.N dan Stevenson, K.E. 2006. In HACCP: A Systemic Approach to Food Safety. Food Product Assosiation. Washington. 12. Shapiro RL, Hatheway C, Becher J, Swerdlow DL. 1997. Botulism surveillance and Emergency Response. JAMA, 278(5): 433-435. 13. Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanandan Sumber Pencemarannya. www.repository.usu.ac.id(Diakses pada tanggal 12 Mei 2013). 14. Ting, Patricia T. dan Anatoli Freiman. 2004. The Story of Clostridium botulinum : from food poisoning to Botox. Clinical Medicine, 4 (3) : 258 – 261. 15. http://neuromuscular.wustl.edu/nother/bot.htm
  • 10. Keracunan Massal Karena Bakteri Botulinum Ono Rabu, 16/06/2010 09.00 WIB BOYOLALI – Kasus keracunan massal yang menimpa puluhan warga Desa Papringan, Kecamatan Kaliwungu, Semarang, diduga karena kontaminasi bakteri Botulinum yang berasal dari daging sapi pada makanan sosis. Sedangkan snack yang dikonsumsi warga, ternyata dipesan dari salah satu katering di Boyolali. Menurut Staf Ahli Bupati Bidang Kesra, dr. Syamsudin Mkes, dari gejala – gejala yang ditunjukkan, diduga kuat mereka terkontaminasi bakteri Botulinum. ―Gejalanya antara lain mual muntah, sakit kepala, tekanan darah turun, serta mengalami dehidrasi yang mengakibatkan demam tinggi,‖ terang Syamsudin, Selasa (15/6). Jika terlambat ditangani, jelas Syamsudin, keracunan itu bisa berujung kematian. Hal itu karena kekurangan cairan atau dehidrasi. Kontaminasi bakteri itu disebabkan kurang higienisnya pengolahan makanan. Jika benar penyebab keracunan sosis, kontaminasi terjadi saat pencampuran daging sapi ke dalam sosis, atau bisa jadi daging tersebut masih kurang matang. ―Bisa juga disebabkan faktor penjamahan manusianya. Semestinya masak dagingnya benar – benar matang dan cara pengambilan daging tidak dengan tangan telanjang,‖ papar dia. Menurut Syamsudin keracunan dipengaruhi tiga faktor, yakni tingkat keganasan bakteri, dosis bakteri, serta daya tahan manusianya. Sedangkan masa inkubasi bakteri menurut dia sangat cepat, berkisar empat sampai delapan jam, namun biasanya di bawah empat jam sudah menunjukkan gejala – gejala keracunan. Sementara itu, empat pasien yang dirawat di RSU Pandanarang sejak Minggu (13/6) kondisinya sudah membaik. Selain mereka, empat warga lain yang keracunan juga dirawat di RSU Pandanarang. ―Sudah membaik, tapi kemarin sore ada empat warga lagi yang dirawat di sini, dua pindahan dari PKU dan duanya dari rumah,‖ terang Kepala Desa Papringan, Susanto. Dikatakan, makanan yang dikonsumsi warga ternyata dipesan dari salah satu katering di Kelurahan Winong, Boyolali Kota. Namun mengenai kepastian kontaminasi kuman masih menunggu hasil laboratorium di Semarang. Terpisah, dokter yang menangani pasien, dr. DM Rezali Siregar mengaku pihaknya belum tahu jenis racun yang mengontaminasi para pasien. Dibutuhkan uji klinis laboratorium, dan itu sudah dilakukan di Semarang. Dia mengaku hanya berkonsentrasi memperbaiki kondisi pasien, di antaranya dengan melokalisasi racun dan menghilangkannya dari tubuh korban. (ono) Sumber : http://edisicetak.joglosemar.co/berita/keracunan-massal-karena-bakteri-botulinum-17856.html
  • 11. Diduga Terkontaminasi Bakteri Botulinum 15 Juni 2010 | 21:15 WIB Boyolali, CyberNews. Kondisi empat warga Desa Papringan, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang korban keracunan yang menjalani rawat inap di RSU Pandan Arang Boyolali semakin membaik. Pasien sudah tidak lagi mengeluh pusing dan perutnya mulas. "Kondisinya sudah membaik. Tetapi untuk kasus keracunan, perlu juga dilakukan diagnosa tegak yaitu cek silang hasil analisa dokter dengan hasil penelitian sampel makanan yang diduga menyebabkan keracunan," ungkap Direktur RSU Pandan Arang Boyolali dokter Andarwati, Selasa (15/6). Dia menambahkan, pihak rumah sakit tidak bisa melakukan diagnosa tegak atas kasus keracunan yang dialami empat warga Papringan. Pihak rumah sakit hanya melakukan pengobatan dan perawatan terhadap seluruh pasien. Pasalnya, kejadiannya tidak berada di wilayah Boyolali. Sehingga, perlu ada koordinasi lintas wilayah dengan Kabupaten Semarang dalam penanganan kasus keracunan tersebut. "Untuk mengetahui penyebab keracunan tergantung hasil pemeriksaan dari Puskesmas setempat dan Dinkes Kabupaten Semarang. Kami khusus melakukan perawatan terhadap korban secara maksimal." Kasus keracunan tersebut juga mendapat perhatian Staf ahli bupati Boyolali bidang Kesra dan SDM, dokter Syamsudin. Menurutnya, bila dilihat dari makanan yang disantap para korban maka yang diduga mengandung racun adalah sosis. Diduga para korban terkena bakteri botulinum. Bakteri tersebut memiliki masa inkubasi sangat cepat yakni antara dua hingga delapan jam. Korban akan mengalami gejala pusing, demam dan mual. "Bahkan diare yang disertai dehidrasi." (Joko Murdowo / CN14) Sumber : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/06/15/57017
  • 12. Two children with botulism poisoning after eating Loyd Grossman sauce 'are brother and sister aged under 10' Sauces with best-before date of February 2013 and batch code 1218R 07:21 are affected By Sean Poulter UPDATED: 12:25 GMT, 15 November 2011 Danger: A batch of 47,000 jars of korma sauce have been recalled after two children were hospitalised with botulism poisoning The two children struck down by botulism poisoning after eating a Loyd Grossman curry sauce are a brother and sister both aged under 10, MailOnline can reveal. The children are being cared for in a Scottish hospital where they are said to be in a serious but improving condition. They became ill after eating a jar of Loyd Grossman korma sauce, which comes from a batch of 47,000 that have been distributed across the country, and have now been recalled. Mr Grossman, who developed the recipe for the sauces, was 'in shock' after hearing about the poisoning. His agent Peter Schnabl told MailOnline: 'Loyd is very upset and distressed at the minute. 'It was a such a big shock when he was told about the illness of the children. He's devastated. It's all very upsetting. 'Loyd's not just putting his name to the products, it's a full involvement. 'We're furiously trying to figure out what has happened. 'Loyd will be leading the charge in finding out who's responsible. He's not happy about it.' In theory, the cooking process, which involves boiling the sauce for more than five minutes, should kill any harmful bacteria. Mr Schnabl said: ‗We are trying to find out exactly what has happened. As far as we are concerned the bacteria should have been removed in the production process. ‗We can‘t really fathom out what exactly happened. Premier are furiously trying to find out, along with the Food Standards Agency, what exactly has happened.‘ The sauce is made by Premier Foods, the UK‘s largest food manufacturer, which is responsible for more than 40 household brands including Mr Kipling, Hovis, Branston, Bisto and Oxo. A spokeswoman for NHS Forth Valley said the brother and sister are in a 'stable and improving' condition.
  • 13. The FSA has advised the public not to consume jars of the sauce as it may pose a risk of botulism poisoning. It said a batch of the korma sauce has been recalled and is being removed from shop shelves. Setback: Loyd Grossman, who insists on tasting each new recipe, is said to be very distressed about the poisoning The product recall relates to 350g jars of Loyd Grossman Korma sauce with a best-before date of February 2013 and a batch code of 1218R 07:21. Botulism is caused by toxins produced by the bacterium Clostridium botulinum, which is the deadliest naturally occurring poison in the world and attacks the nervous system. The illness can be fatal in up to 10 per cent of cases, and victims can take many months to recover. Symptoms of food-borne botulism, which include blurred vision and difficulty swallowing and speaking, can rapidly get worse and lead to muscle weakness and paralysis. The symptoms typically begin between 12 and 36 hours after eating a contaminated meal, but may appear in as little as six hours. Anyone suffering these symptoms after eating the product is being advised to seek medical help urgently. The infection cannot be spread from person to person. While the initial cases of illness have occurred in Scotland, the FSA and Scottish health authorities have issued a UK-wide alert. The FSA said: ‗Anyone who has any of the jars from this batch of Loyd Grossman Korma sauce should not eat it. ‗Two members of the same family who have contracted botulism and have eaten from a jar of this batch of sauce have been hospitalised in Scotland. ‗Only one jar from the batch is known to have been contaminated with Clostridium botulinum, which causes botulism, but the agency is advising people not to eat products from this batch as a precautionary measure.‘ Dr John Cowden, consultant epidemiologist at Health Protection Scotland, said: ‗People can be reassured that botulism is rare in the UK. ‗Any person, child or adult, with the symptoms should seek urgent medical advice. Anti-toxins have proved very effective in treating the condition if treated early, although full recovery may take several months.‘
  • 14. Supermarket staples: A selection of the other popular brands names that are made by Premier Foods, which manufactured the korma sauce There is a risk that thousands of jars from this batch are sitting in kitchen cupboards and small independent corner shops across the country. The sauce was made at a factory run by Premier Foods in Bury St Edmunds, Suffolk. Council health experts have visited the premises. The same factory also makes own-label products for the big four supermarkets, Tesco, Asda, Sainsbury‘s and Morrisons, plus big brands like Branston pickle and Haywards brand pickled onions, piccallili, and beetroot. ‘This is a really nasty illness. Everyone is taking this extremely seriously' A source close to the investigation said: ‗This is a really nasty illness. Everyone is taking this extremely seriously. ‗Other jars from the same batch are being tested for the presence of botulism, while talks are being held with the company to find out just how it got in there. ‗People need to check whether they have this product sitting in their cupboards. The important thing is that people just do not eat it.‘ The news will be a heavy blow to the reputation of the TV food guru‘s line of products, which includes curry and pasta sauces. The products are marketed on the basis that they use ‗only the very best ingredients‘. A PARALYSING ILLNESS Botulism is a rare but serious illness which can lead to paralysis. It can be caused either by ingesting the botulinum toxin or by contamination in a wound. It cannot be transferred from person to person. Botulism can lead to paralysis which usually starts with the muscles in the face - particularly those in the eyes and those used for chewing - and spreads towards the limbs. In severe cases the breathing muscles can become paralysed, causing respiratory failure. Botulism can be prevented by killing the spores by cooking food at about 121°C for three minutes. Treatment for respiratory paralysis can require a patient to be on a ventilator for weeks as well as being treated in intensive care. After several weeks, the paralysis usually slowly improves.
  • 15. Food poisoning: A close-up of the Clostridium botulinum bacteria which causes botulism in humans. Mr Grossman has promoted the sauces saying: ‗I love food and believe great food comes from care and attention to detail. That‘s why I insist on tasting every recipe until it‘s just right.‘ Spores of Clostridium botulinum are normally found in soil and can get into food products via contamination of farmers‘ fields. There have been cases in the past – although extremely rare – of the spores and associated toxin being found in food sold in cans and jars. The NHS website says just 500g of the toxin ‗is enough to kill every human being on the planet‘, adding: ‗The toxins... block a special type of chemical called a neurotransmitter. Neurotransmitters send messages from your brain to the rest of your nervous system. ‗In the case of botulism, the toxin blocks the effects of a neurotransmitter called acetylcholine, which is used by your body to help stimulate muscles. If acetylcholine is blocked, it causes paralysis which, if left untreated, can lead to death.‘ It is believed that the suspect product comes from a dedicated line that only produces the Loyd Grossman Korma sauce. The major supermarkets said that the jars have been removed from sale. They said their own-label products made at the factory are not implicated. A spokesman for Premier Foods said: 'The safety of consumers is of paramount importance to us. At this stage, we understand that the incident relates to a single jar of Korma sauce. 'There is no evidence of any broader contamination, no further reports of illness have been notified to the authorities and we have had no consumer complaints of illness related to this product. 'We are working urgently with the authorities to investigate the cause of this incident, including how the jar may have been transported and stored after leaving the factory. 'While these investigations are underway, we have initiated a precautionary recall of the specific batch code in the interests of the safety of our consumers.' Sumber : http://www.dailymail.co.uk/news/article-2061731/Loyd-Grossman-curry-sauce-Victims- botulism-case-brother-sister-10.html
  • 16. 2 cases of botulism in New York linked to fresh bulk tofu Posted By Colin Caywood on March 30, 2012 New York City Health Department is currently investigating two cases of foodborne botulism linked to fresh bulk tofu sold at a store in Flushing. As reported by WABC, New York City has reported only one other foodborne-linked botulism over the past 15 years. The two reported cases are Chinese-speaking residents of Queens who recently purchased the unrefrigerated bulk tofu from the same store. According to reports, the tofu was not made at the store and its source is under investigation. As the investigation continues, the Health Department is advising all individuals to discard all fresh bulk tofu purchased from any New York City store that has been kept at room temperature at the time of purchase. The Health Department is also warning consumers to throw away tofu that has not been stored in a refrigerator at home. Although botulism can be diagnosed based on clinical symptoms, its differentiation from other diseases is often difficult—especially in the absence of other known persons affected by the condition. Once suspected, the most direct and effective way to confirm the diagnosis of botulism in the laboratory is testing for the presence of the botulinum toxin in the serum, stool, or gastric secretions of the patient. The food consumed by the patient can also be tested for the presence of toxins. Currently, the most sensitive and widely used method for the detection of the toxins is the mouse neutralization test, which involves injecting serum into mice and looking for signs of botulism. This test typically takes 48 hours, while the direct culturing of specimens takes 5-7 days. Some cases of botulism may go undiagnosed because symptoms are transient or mild, or are misdiagnosed as Guillain-Barre Syndrome. If diagnosed early, foodborne botulism can be treated with an antitoxin that blocks the action of toxin circulating in the blood. This can prevent patients from worsening, but recovery still takes many weeks. The mainstay of therapy is supportive treatment in intensive care, and mechanical ventilation in case of respiratory failure, which is common.