Tinjauan dokumen tersebut memberikan gambaran mengenai latar belakang pengaturan pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan pasal 51 tersebut secara hukum dan kemanfaatannya dengan menggunakan teori keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Analisis Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum Atas Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999
1. TINJAUAN KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM DAN KEMANFAATAN
TERHADAP KETENTUAN PASAL 51 UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
TUGAS MATA KULIAH TEORI HUKUM
PROF. DR. MARSUDI TRIATMODJO, S,H., L.L.M
Program Studi Magister Ilmu Hukum
OLEH
DEDY ARIYANTO
UNIVERSITAS GADJAH MADA
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
2018
2. i
PRAKATA
Alhamdulillahiabbil’alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul
Tinjauan Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Terhadap Ketentuan Pasal 51
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
Selanjutnya disampaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan sebesar- besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S,H., L.L.M Selaku Dosen pengampu mata Kuliah Teori
Hukum.
2. Staf Pengajar dan seluruh Pegawai di Fakultas Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Kampus Jakarta.
3. Seluruh teman-teman penulis yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan tugas
ini.
Seungguh merupakan kebanggaan sendiri bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tugas ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada orang tua, istri dan keluarga atas
dukungan moril maupun materil yang telah diberikan selama menyusun tugas kuliah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdo
semoga ilmu yang telah didapat berguna bagi kepentingan Nusa, Bangsa, dan Agama
Depok, 10 Mei 2018
Dedy Ariyanto
3. ii
DAFTAR ISI
PRAKATA ...................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. ii
ABSTRAK .................................................................................................................................... iii
BAB I ........................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................................................... 4
C. Metode Penelitian ....................................................................................................................... 4
BAB II .......................................................................................................................................... 5
TINJAUAN KONSEP KEADILAN TERHADAP PASAL 51 DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN
1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ......... 5
A. Teori Keadilan ............................................................................................................................ 5
B. Analisis Substansi Hukum .......................................................................................................... 8
C. Analisis Struktur Hukum ......................................................................................................... 11
D. Analisis Budaya Hukum ........................................................................................................... 14
BAB III ....................................................................................................................................... 16
TINJAUAN KONSEP KEPASTIAN TERHADAP PASAL 51 DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN
1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ....... 16
A. Teori Kepastian Hukum ........................................................................................................... 16
B. Substansi Kepastian Dalam Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 ................................................... 20
C. Analisis Struktur Terhadap Kepastian .................................................................................... 21
D. Analisis Budaya Terhadap Kepastian Hukum ......................................................................... 22
BAB IV ....................................................................................................................................... 24
TINJAUAN KONSEP KEMANFAATAN TERHADAP PASAL 51 DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5
TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT ....................................................................................................................................... 24
A. Teori Kemanfaatan ................................................................................................................... 24
B. Substansi Kemanfaatan Dalam Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 ............................................... 25
C. Analisis Struktur Terhadap Kemanfaatan .............................................................................. 27
D. Analisis Budaya Terhadap Kemanfaatan ................................................................................ 28
BAB V ........................................................................................................................................ 30
KESIMPULAN ............................................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 31
4. iii
ABSTRAK
Penyediaan tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam
mewujudkan pembangunan nasional, sehingga penyediaan tenaga listrik dikuasai negara dan
dalam hal penyediaannya harus terus menerus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan
pembangunan. Dengan demikian ketersediaan akan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup,
merata dan harga yang terjangkau akan tercapai. Pemerintah telah menetapkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang menjadi dasar hukum bagi
usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia. Berlakunya undang-undang ketenagalistrikan
memberikan mandat kepada PT PLN (Persero) dalam usaha penyediaan tenaga listrik di
Indonesia. Hal ini membuat posisi dan peranan negara dalam perekonomian nasional
menjadi sangat dominan. Kewenangan negara dalam mengelola bidang industri yang
menguasai hajat hidup orang banyak adalah dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan
konstitusional yang telah di adaptasi dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh serta analisis terhadap
ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tersebut dikaitkan dengan Teori
Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan serta hukum positif lainnya
Kata Kunci : Konsep Keadilan, Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Pasal 51 UU No. 5
Tahun 1999
5. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berdasarkan hukum. Dalam dasar konstitusi negara yaitu
pada bagian Pembukaan (Preambule) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea ke empat menyebutkan tujuan-tujuan negara Indonesia salah satu adalah
untuk memajukan kesejahteraan umum.1
Kesejahteraan umum yang menjadi tujuan negara
Indonesia, dapat dicapai salah satunya dengan melakukan pembangunan nasional yang merata
diseluruh wilayah Indonesia.
Kebutuhan tenaga listrik sudah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak, oleh
karena itu pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan harus menganut asas manfaat,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya
energi, mengandalkan pada kemampuan sendiri, kaidah usaha yang sehat, keamanan dan
keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan, dan otonomi daerah2
. Usaha kelistrikan di
Indonesia telah ada pada awal abad XIX ketika beberapa perusahaan asal Belanda yang
bergerak di industry gula dan the mendirikan pembangkit listrik untuk keperluan pabriknya3
.
Kemudian pada tahun 1942 sampai tahun 1945 terjadi peralihan pengelolaan listrik dari
Belanda kepada pihak sekutu, setelah Belanda menyerah kepada pasukan tentara Jepang di
awal Perang Dunia II. Pada masa itu perusahaan kelistrikan berbentuk Perusahaan jawatan
(Perjan) yang dibentuk di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga tanggal 7 Oktober
19454
.
Berdasarkan UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, Perusahaan negara
Jawatan Listrik dan Gas kemudian diubah menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan
Listrik Negara (BPU-PLN) yang bergerak di bidang listrik dan gas. Kemudian tanggal 1
Januari 1965 BPU-PLN dibubarkan dan diganti menjadi 2 (dua) perusahaan negara yaitu
1
Mahfud MD, S.H., “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi”, cetakan pertama, penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal 1
2
http://www.djk.esdm.go.id/,Peluang investasi sektor ketenagalistrikan 2017 -2021diakses pada tanggal 10 April 2018
3
PT. PLN (Persero), Laporan Bekerja Secara Berkelanjutan 2011 Sustainable Report PT. PLN (Persero), (Jakarta:
Sekretaris PT. PLN, 2011), hal. 13
4
Ibid., hal. 14
6. 2
Perusahaan Listrik Negara (PLN) khusus mengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara
(PGN) khusus mengelola gas.
Kemudian pemerintah mengeluarkan Inpres No.17 Tahun 1967 yang menginturksikan
untuk menyederhanakan semua perusahaan negara ke dalam tiga bentuk usaha yakni
Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan (Persero).5
Dalam
rangka peningkatan pembangunan khususnya di bidang ketenagalistrikan, melalui Keppres
No.18 Tahun 1968, pemerintah mengubah status PLN dari Perjan menjadi Perum dengan
mengalihkan struktur organisasi Direktorat Jenderal Tenaga dan Listrik (Ditjen Gatrik) dari
Departemen Perindustrian Dasar Ringan dan Tenaga kepada Departemen Pekerjaan Umum
dan Tenaga Listrik (Dep. PUTL).6
Berdasarkan UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU No.1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang,
sehingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu
Perjan untuk usaha murni public service dalam artian tidak mencari keuntungan/laba, Perum
untuk usaha pelayanan umum tidak memperoleh keuntungan/laba, dan Persero untuk kategori
perusahaan negara yang murni mencari keuntungan/laba7
.
Kemudian Pemerintah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 1979 yang menetapkan
pengusahaan ketenagalistrikan tidak hanya dilakukan oleh PLN melainkan dapat juga
dilakukan oleh pihak swasta dan koperasi8
. Selanjutnya Menteri Pertambangan dan Energi
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 11/PM/Pertamben/1981 tentang Ijin Usaha
Ketenagalistrikan (IUK) yang semula dikeluarkan oleh PLN diambil alih menjadi
kewenangan Departemen Pertambangan dan Energi.
Dasar hukum operasional PLN saat ini adalah UU No.30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan sebagai pengganti UU No.15 Tahun 1985, selain itu dapat dikaitkan dengan
UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disingkat UU
BUMN), dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat
5
Sugiharto, dkk., BUMN Indonesia, Isu, Kebijakan, dan Strategis, Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia,
2005, Jakarta, Hal. 78.
6
F. Suryanto, Dasar-Dasar Tenaga Listrik, Rineka Cipta, 1996, Jakarta, hal. 12-13.
7
Sugiharto, dkk., hal. 78
8
Fauzi Yusuf Hasibuan, dkk., Hutang di Balik Listrik Swasta, Fauzi & Partner, 2002, Jakarta, hal. 58
7. 3
UUPT). Berdasarkan UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, usaha penyediaan
tenaga listrik tidak sepenuhnya lagi dilaksanakan oleh PLN tetapi dilakukan oleh negara dan
diselenggarakan oleh BUMN.
Pengelolaan listrik oleh PLN yang merupakan BUMN yang murni mencari keuntungan
tentu saja bersinggungan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada dasarnya persaingan dalam dunia
usaha merupakan suatu syarat mutlak (condition sine qua non) bagi terselenggaranya suatu
perekonomian yang berorientasi pasar (market economy). Peranan hukum dalam persaingan
usaha adalah dari terselenggaranya suatu persaingan usaha yang sehat dan adil (fair
competition), sekaligus mencegah munculnya persaingan usaha tidak sehat (unfair
competition) karena persaingan usaha yang tidak sehat hanya akan bermuara pada matinya
persaingan usaha yang pada gilirannya akan melahirkan monopoli.9
Monopoli merupakan istilah yang dipertentangkan dengan persaingan, atau dengan kata
lain tindakan monopoli adalah tindakan anti persaingan. Secara etimologi, kata monopoli
yang berasal dari bahas Yunani, „Monos‟ yang berarti sendiri dan „Polein‟ yang berarti
menjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana kemudian menjadi kata monopoli yang
memiliki pengertian sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan
(supply) suatu barang atau jasa tertentu10
.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dipengaruhi oleh Anti Trust Law Amerika
Serikat. Terminologi yang digunakan oleh Undang-Undang tersebut nampaknya merupakan
terjemahan dari Anti Trust Law. Selain itu, isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 banyak
mengambil dari Anti Trust Law tersebut.11
Adapun asas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 bahwa “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
9
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Bayu Media,
2009, Malang, hal. 40.
10
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, 2002, Jakarta, hal. 18.
11
Sutan Remy Sjahdeni, “Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Monopoli”, Jurnal Hukum Bisnis,
Volume 19, mei-juni 2002, hlm. 8.
8. 4
Dalam Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan, monopoli negara dapat dilakukan
terhadap cabang produksi yang penting bagi negara atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. yang menguasai hajat
hidup orang banyak dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama terkait alokasi, yaitu barang atau
jasa yang berasal dari sumber daya alam. Kedua terkait distribusi, yakni kebutuhan pokok
masyarakat, tapi suatu waktu atau terus menerus tidak dapat dipenuhi pasar. Ketiga terkait
stabilisasi seperti pertahanan keamanan, moneter, fiskal dan regulasi.
Ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 menjadi dasar hukum bagi BUMN dalam hal
ini PT PLN (persero) untuk dapat melakukan monopoli dibidang ketenagalistrikan, namun
demikian monopoli yang dilakukan PT PLN (Persero) tidak seluruhnya dapat dilakukan
dalam proses bisnis PT PLN (Persero) misalnya dibidang distribusi ketenagalistrikan PT PLN
(Persero) tetap terikat oleh peraturan dan kebijakan pemerintah dalam menetapkan Tarif
Dasar Listrik (TDL) yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial dan politik.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha telah memenuhi unsur keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum terkait pengelolaan ketenagalistrikan oleh PT PLN (Persero)?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis bersifat deskriptif analitis yaitu dengan
memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai fakta-fakta disertai
dengan analisis yang akurat tentang peraturan perundang-undangan yg berlaku, dihubungkan
dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan.
9. 5
BAB II
TINJAUAN KONSEP KEADILAN TERHADAP PASAL 51 DALAM UNDANG-UNDANG NO.
5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
A. Teori Keadilan
Adil berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur, lurus,
dan tulus. Secara terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi,
ketidakjujuran. Dengan demikian orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar
hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum sosial (hukum
adat) yang berlaku12
.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, adil memiliki tiga pengertian, yakni:
a. Sama berat tidak berat sebelah, tidak memihak;
b. berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran;
c. sepatutnya, tidak sewenang-wenang.
Sedangkan pengertian keadilan yakni sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya)
yang adil.13
Menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan
oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak14
. Hakekat keadilan adalah
penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma
yang menurut pandangan subjektif (subjektif untuk kepentingan kelompoknya, golongan
dan sebagainya) melebihi norma-norma lain. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu
pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.15
Keadilan yang hakiki
adalah keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam realitasnya, yang banyak mendapat
ketidakadilan adalah kelompok masyarakat itu sendiri, Sering kali, institusi, khususnya
institusi pemerintah selalu melindungi kelompok ekonomi kuat, sedangkan masyarakat
sendiri tidak pernah dibelanya.16
12
Wikipedia, “Adil”, https://id.wikipedia.org/wiki/Adil, diakses pada tanggal 12 April 2018.
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia online, “penafsiran” https://kbbi.web.id/tafsir, diakses pada tanggal 12 April
2018
14
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cet. Ketiga, Liberty, 2007, Yogyakarta, hal. 77
15
Ibid, hlm 77-78
16
Dr. H. Salim HS., SH., MS & Erlias Septianan Nurbhani, S.H., LLM, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, Jakarta. 2014 Hal 2
10. 6
John Rawls menyajikan tentang tentang konsep keadilan sosial. Keadilan sosial
merupakan: “Prinsip kebijaksanaan rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan
agregatif (Hasil pengumpulan) Kelompok.17
Subjek utama keadilan sosial adalah struktur
masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan
kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama sosial. Lebih
lanjut John Rawl menegaskan bahwa program penerapan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan 2 prinsip keadilan, yaitu18
:
1. Setiap orang, mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,
seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
2. Ketimpangan sosial dan ekonomi meski diatur sedemikian rupa sehingga (a)
dapat diharapkan memberikan keuntungan semua orang dan (b) semua posisi
dan jabatan terbuka bagi semua orang.
Prinsip pertama disebut prinsip kebebasan sederajat. Intinya, prinsip ini mengatakan
bahwa kebebasan setiap warga negara harus dilindungi dari gangguan orang lain dan haruslah
sederajat antara orang satu dengan yang lain. Kebebasan-kebebasan dasar ini termasuk
kebebasan memberikan suara dalam pemilu, kebebasan berbicara dan kebebasan atas suara
hati serta kebebasan- kebebasan dasar lainnya, kebebasan untuk memiliki properti pribadi
dan kebebasan untuk tidak dikenai hukuman secara sewenang-wenang. Jika prinsip keadilan
sederajat ini benar, maka itu mengimplikasikan bahwa sebuah ketidakadilan jika lembaga-
lembaga bisnis ikut campur dalam kehidupan pribadi pergawainya, menekankan manajer
untuk memberikan suara dengan cara tertentu, memengaruhi proses-proses politik dengan
menggunakan suap, atau tindakan-tindakan lain yang melanggar kebebasan politik
masyarakat.
Prinsip kedua bagian a disebut prinsip perbedaaan. Prinsip ini mengansumsikan
bahwa sebuah masyarakat yang produktif memang harus memasukkan sejumlah
ketidaksamaan, namun selanjutnya ditegaskan bahwa perlu mengambil langkah-langkah
untuk memperbaiki posisi kelompok paling lemah dalam masyarakat, seperti orang-orang
yang sakit dan cacat, kecuali jika perbaikan peningkatan tersebut sedemikian membebani
masyarakat sehingga semua orang, tersebut yang sakit dan cacat, keadaannya menjadi lebih
17
John Rawls, A Theory of Justice. Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hal.26
18
Ibid,. hal. 72
11. 7
buruk dari sebelumnya. Rawls mengatakan bahwa semakin produktif sebuah masyarakat,
maka semakin banyak keuntungan yang bisa diberikan kepada para anggota masyarakat
yang paling kurang beruntung.
Dalam usaha mewujudkan suatu cita hukum di masyarakat, keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan idealnya saling melengkapi namun dalam pelaksanaannya tidak
berarti bahwa ketiganya selalu dalam keadaan dan hubungan yang harmonis. Menurut
Gustav Radbruch19
, ketiganya lebih sering berada dalam suasana hubungan yang tegang satu
sama lain.
Berdasarkan asas prioritas maka ketiga prinsip tersebut dapat saja saling
mengalahkan satu sama lain tetapi tidak untuk saling menegasikan/meniadakan karena pada
akhirnya ketiganya akan tetap saling melengkapi dalam satu konfigurasi dengan proporsi yang
berbeda.
Sebenarnya tidak ada kecenderungan bahwa keadilan akan selalu dimenangkan
daripada kepastian hukum dan kemanfaatan namun Gustav Radbruch memiliki pendapat yang
berbeda terkait asas prioritas, itupun setelah melalui proses panjang sampai pada akhirnya
Radbruch menempatkan keadilan sebagai prioritas yang utama dalam tujuan penegakan
hukum sebagai berikut:20
Di bawah pengaruh pengalaman-pengalaman dengan rezim Nazi, telah mengubah
pandangannya. Wawasannya sekarang adalah bahwa pada asasnya hukum positif
tetap mempertahankan keberlakuannya juga jika isinya tidak adil, “es sei den, dass der
Widerspruch des positiven Gesetzes zur Gerechtigkeit ein so unertragliches Mass
erreich, daass das Gesetz als’unrichtiges Recht der Gerechtigkeit zu weichen hat”
(seandainya kontradiksi dari hukum positif terhadap keadilan mencapai ukuran yang
begitu tidak sesuai sehingga hukum tersebut sebagai “hukum yang tidak benar” harus
menyingkir demi keadilan).
Pendapat Radbrurch bahwa keadilan ditempatkan sebagai prioritas jugadiamini
oleh Bismar Siregar 21
yang menyatakan, “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan
kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan
tujuannya adalah keadilan.
19
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, 2008, Jakarta, hal. 81
20
Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta,
PT Rafika Aditama, 2007, Bandung, hal. 90
21
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, Jakarta, hal. 156
12. 8
B. Analisis Substansi Hukum
Perspektif keadilan sangat luas meliputi seluruh aspek bidang seperti ekonomi,
politik, sosial, dan hukum, begitupun dengan memaknai keadilan keadaan adil bagi seseorang
belum tentu juga adil bagi orang lain, suatu peraturan mungkin dapat dikatakan adil oleh
seorang bilamana peraturan tersebut mengakomodir kepentingannya namun dikatakan tidak
adil bagi orang yang lain karena tidak dapat mengakomodir kepentingannya.
Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat
menentapkan tujuan dari kehidupan bersama itu.22
Adalah lazim untuk menyebut negara
sebagai organisasi politik. Namun ini hanya mengungkapkan pendapat bahwa negara
merupakan tatanan pemaksa. Karena unsur khas “politik” dari organisasi ini adalah berupa
pemaksaan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia, yang diatur dalam tatanan ini
berupa tindakan paksa yang ditetapkan dalam tatapan ini. Inilah tindakan paksa yang
diterapkan oleh tatanan hukum kepada kondisi tertentu yang diatur olehnya. Sebagai
organisasi politik, negara merupakan tatanan hukum.23
Persaingan sering dikonotasikan negatif karena mementingkan kepentingan sendiri.
Walaupun pada kenyataannya, manusia apakah pada kapasitasnya sebagai individual maupun
anggota suatu organisasi tetap akan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Alfred Marshal mengungkapkan bahwa istilah economic freedom (kebebasan ekonomi) lebih
tepat dibanding istilah persaingan usaha dalam menggambarkan atau mendukung tujuan
positif dari proses persaingan.24
Pada dasarnya tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah untuk
menciptakan efisiensi terhadap ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur
persaingan yang sehat dan demokrasi, dan terutama menerapkan sanksi terhadap pelanggaran
dari ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, baik sanksi administratif maupun
sanksi pidana. Penerapan sanksi tersebut merupakan perlindungan sekaligus jaminan terhadap
aturan perundang-undangan yang berlaku secara transparan dan berkeadilan, baik terhadap
22
Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi), PT Ikrar Mandiriabadi, 2007, Jakarta. hal. 27
23
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu hukum Normatif. Bandung, Nusa Media, 2010, hal. 316
24
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, 2004, Medan, hal. 23
13. 9
pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasa maupun konsumen yang menggunakan
barang dan/atau jasa tersebut. Pada akhirnya diwaktu mendatang diharapkan sistem
perekonomian Indonesia lebih baik, dari yang bersifat monopolistik menjadi kompetitif secara
sehat dan wajar, dengan tujuan menciptakan efisiensi ekonomi pasar yang sehat dan
demokratis dengan berlandaskan filosofi bahwa perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
25
Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan:
”Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang
dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga
yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.”
Ketentuan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana dimaksud dapat
diuraikan dan dijelaskan dalam beberapa unsur sebagai berikut:26
1. Monopoli
2. Produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang
banya.
3. Cabang-cabang Produksi yang penting bagi negara.
4. Diatur dengan undang-undang
5. Diselenggarakan oleh BUMN dan/atau badan atau lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Salah satu tujuan dari negara republik Indonesia adalah menciptakan keadilan
sebagaimana yang tertuang dala, pancasila sila ke dua dan kelima yaitu kemanusian yang adail
dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketentuan pasal 51 Undang-
undang No. 5 tahun 1999 ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi hak-hak dasar warga
Negara oleh Negara yang ditata dalam sebuah sistem perekonomian nasional.
Selain itu ketentuan pengecualian ini tidak dapat dihindarkan karena “keterikatan”
pada hukum atau perjanjian internasional melalui proses ratifikasi. Pengecualian tersebut
25
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di
Indonesia, Ghalia Indonesia, 2010, Bogor, hlm. 107-108
26
http://www.kppu.go.id/ Pedoman Pelaksanaan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999, diakses pda tanggal 23 April 2018
14. 10
secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut27
:
1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara.
2. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pelaksanaan ketentuan Pasal 33 tersebut tidak hanya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tetapi juga diatur dalam Undang- Undang sektoral lainnya.
Campur tangan pemerintah dalam hal listrik juga menjadi wajib dengan berbagai
alasan, antara lain kedaulatan ekonomi, daya saing industri dan daya beli masyarakat yang
masih rendah. Investasi ketenagalistrikan juga tergolong tinggi, sementara daya beli
masyarakat, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, belum mampu membayar
harga listrik sesuai dengan keekonomiannya. Di negara yang baru beranjak ke era
industrialisasi, dimana kebutuhan listrik amat tinggi, industri belum semapan di negara maju.
Jika ketenagalistrikan, terutama sistem tarif diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar tanpa
campur tangan pemerintah, maka harga listrik akan sangat mahal dan tidak terjangkau oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia.28
Penulis berpendapat bahwa frasa dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No.5
Tahun 1999 telah memenuhi keadilan sebagaimana amanat UUD Negara Rebuplik Indonesia
Tahun 1945, dimana negara menjalankan kekuasaannya untuk menciptakan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia, penguasaan cabang-cabang yang penting dikuasai negara dalam
rangka menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
27
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, PT. Raja Grafindo, 2010, Jakarta , hal. 231
28
Ali Herman Ibrahim, General Check-up Kelistrikan Nasional, Jakarta, Mediaplus Network, 2008, hal. 16
15. 11
C. Analisis Struktur Hukum
Negara dibentuk sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga
negaranya. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, negara merekrut
aparatur negara dan membekalinya dengan tugas dan fungsi yang harus dijalankannya. Terkait
dengan pelaksanaan tugas dan fungsi aparatur negara, dalam literatu ilmu politik, ilmu
pemerintahan, dan ilmi hukum ditemukan iltilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.
Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering
dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Selain itu kewenangan
juga sering disamakan dengan wewenang29
.
BUMN ataupun badan atau lembaga yang dibentuk ataupun ditunjuk oleh
Pemerintah sebagai penyelenggarakan monopoli dan atau pemusatan kegiatan sebagaimana
dimaksud, tidak dapat melimpahkan kembali hak penyelenggaraan monopolinya dan/atau
pemusatan kegiatannya baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain.
Presiden Indonesia sebagai pemegang kekuasaan pemerintah menurut UUDNRI
Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri – menteri negara yang
membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan. Melaui penerbitan Undang – Undang
Republik Indonesia No. 39 Tahun 2008 tentang kementrian negara, Presiden memberikan
wewenang kepada para pembantunya dalam hal ini kementrian melaksanakan fungsi
sebagaimana diuraikan pada Pasal 8 UURI No. 39 Tahun 2008 yaitu :
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementrian yang melaksanakan urusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidangnya; dan
d. Pelaksanaan kegiatam teknis dari pusat sampai dengan ke daerah.
(2) Dalam melaksanakan tugasya, kementrian yang melaksanakan urusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
29
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, PT. Sinar Grafika, 2015, hal. 210
16. 12
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidangnya;
d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan kementrian di
didaerah; dan
e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, kementrian yang melaksanakan urusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidangnya; dan
d. Pelaksanaan kegiatam teknis dari pusat sampai dengan ke daerah
BUMN ataupun badan atau lembaga yang dibentuk ataupun ditunjuk oleh
Pemerintah dibawah kementerian BUMN sebagai penyelenggarakan monopoli dan atau
pemusatan kegiatan sebagaimana dimaksud, tidak dapat melimpahkan kembali hak
penyelenggaraan monopolinya dan/atau pemusatan kegiatannya baik sebagian maupun
seluruhnya kepada pihak lain30
.
Dengan memperhatikan uraian tersebut diatas, maka terkait dengan penyelenggara
monopoli dan/atau pemusatan kegiatan barang dan/atau jasa yang menguasai hidup orang
banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara, Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999
menentukannya secara sitematis dengan tetap mendasarkan pada alasan-alasan yang rasional
berupa pertimbangan profesionalitas, legalitas, dan efektifitas pencapaian sasaran tujuan
penyelenggaraan monopoli dan atau pemusatan kegiatan.
Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara yang menyebutkan bahwa apabila BUMN diberi penugasan khusus oleh
pemerintah berupa public service obligation (PSO) yang menurut kajian finansial tidak layak,
maka pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan
oleh BUMN tersebut termasuk marjin yang diharapkan yang disebut subsidi diperluas.
Kompensasi biaya untuk pelaksanaan PSO diterima PLN dalam bentuk subsidi melalui
mekanisme APBN. PSO adalah salah satu tugas mulia dan berat yang berhubungan dengan
pelayanan publik. Sejak tahun 2005 berdasarkan Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1993 tersebut terdapat perubahan mendasar dalam kebijakan subsidi listrik yang
30
http://www.kppu.go.id/ Pedoman Pelaksanaan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999, diakses pda tanggal 23 April 2018
17. 13
semula diberikan hanya kepada konsumen terarah dengan daya terpasang 450 VA menjadi
konsumen diperluas, berarti seluruh pelanggan yang rekening rata-ratanya masih dibawah
pokok penyedian (BPP) memperoleh subsidi listrik31
.
Dalam pengusahaan sektor ketenagalistrikan di Indonesia, penguasaaan negara ini
diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009:32
1. Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah.
2. Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan,
pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Termasuk juga dalam hal penetapan tarif tenaga listrik, sesuai dengan ketentuan
Pasal 34 ayat (1): ”Pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik
untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”
Dimana pada ayat (4) disebutkan: “Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan
nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik.”33
Industri
ketenagalistrikan di Indonesia memiliki sifat monopoli alamiah.
Keterlibatan pemerintah diperlukan dalam industri tersebut, khususnya dalam
penetapan tarif dan jumlah tenaga listrik yang harus diproduksi. Industri yang memiliki
monopoli dalam ketenagalistrikan memang perlu diatur secara ketat oleh Pemerintah. Harga
listrik untuk konsumen akhir memerlukan pengaturan atau intervensi pemerintah.34
Campur
tangan ini terutama pada usaha-usaha agar listrik dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas,
dengan harga yang terjangkau termasuk untuk program seperti listrik masuk desa. Campur
tangan pemerintah berkaitan erat dengan hal-hal yang langsung berkorelasi dengan
kepentingan kesejahteraan rakyat banyak.35
31
Djoko Darmono et. all, Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa, Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia, Jakarta,
Penerbitan dan Publikasi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009, hal. 523
32
Undang-Undang Ketenagalistrikan, Pasal 3
33
Ibid, Pasal 34 ayat (4)
34
Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi, Teori dan Praktik, Jakarta, LP3ES, 2000, hal.138
35
Makmun dan Abdurahman, Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Terhadap Konsumsi Listrik Dan Pendapatan
Masyarakat. hlm. 64
18. 14
Penulis berpendapat bahwa PT PLN (Persero) selaku pelaksana monopoli
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang dalam menjalankan kebijakan tetap
memperhatikan nilai-nilai keadilan bagi masyarakat hal tersebut dibuktikan dengan adanya
penerapan subsidi listrik bagi pelanggan tertentu.
D. Analisis Budaya Hukum
Salah satu kajian atau pendekatan yang berkembang akhir-akhir ini dalam
memahami hukum adalah dengan menggunakan budaya hukum. Sebagaimana yang
dikatakanoleh Abigail C Saguy dan forest stuart, satu dekade terakhir membuktikan bahwa
budaya adalah satu analisis yang penting dalam kajian sosio legal.36
Demikian pula menurut
Roger Cotterrell, bahwa saat ini budaya hukum diakui sebagai salah satu isu utama dalam
pelbagai macam penelitian yang berkaitan dengan hukum37
.
Istilah kultur hukum selama ini secara longgar digunakan untuk menggambarkan
sejumlah fenomena yang yang saling berkaitan. Pertama, istilah ini mengacu pada
pemahaman publik mengenai pola – pola sikap dan perilaku terhadap sistem hukum.38
Dalam setiap masyarakat ada tuntutan yang sah (legitimate), dan ada tuntutan yang
tidak sah (illegitimate). Legitimasi bisa bersifat sosial atau Legal, berupa persoalan mengenai
opini pihak luar, mengenai sikap terhadap sistem hukum, atau mengenai kultur internal dan
ekternal. Tuntutan yang tidak sah bisa menjadi sah tergantung dari situasi sosial.39
Selain Friedman, pandangan tentang budaya hukum juga dikemukakan oleh
Rafl Michael. Menurut Michael, terminologi budaya hukum merujuk kepada pelbagai macam
ide yang mana tidak selalu dapat dipisahkan secara memadai40
. Bahkan budaya
hukum seringkali dipahami secara luas dan dipersamakan dengan konsep “living law” sebagaimana
yang dikemukakan Eugen Ehrlich atau “law in actions” nya Roscoe Pound. Kadang kala,
36
Abigail C Saguy dan Forest Stuart, Culture and law: Beyond A Paradigm Cause and effect, dalam jurnal Annals of
The American Academy of Political and Social Sciance, Vol. 619: Cultural Sociology and its Diversity, 2008, hal.
149
37
Roger Cotterrell, Law, Culture and Society: Legal Ideas In The Mirror of Social Theory, Ashgate, 2006, hal.97
38
Lawrence M. Friedmen, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusamedia, Jakarta 2015, hal. 254
39
Ibid, Hal. 293
40
Rafl Michael, Legal Culture, Tanpa Tahun, hal. 1
19. 15
terminologi budaya hukum secara bergantian digunakan dengan terminologi keluarga hukum
(legal family) atau tradisi hukum (legal tradition)41
Masyarakat pada sejatinya memandang bahwa monopli merupakan sesuatu yang
dilarang hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang- undang Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan monopoli merupakan suatu perbuatan yang dilarang, namun demikian
masyarakat juga menghendaki adanya peran negara dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat sehingga monopoli yang dilakukan PT PLN (Persero) dalam hal ini yaitu
ketenagalistrikan Dipandang sebagai intervensi terhadap kegiatan ekonomi dalam batas-batas
tertentu. Sehingga monopoli yang dilakukan PT PLN (Persero) sebagai bentuk Intervensi
negara terhadap kegiatan ekonomi yang telah diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa budaya masyarakat membolehkan adanya monopoli
ketenagalistrikan yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) sepanjang memberikan keadilan. Keadilan
dimaksud adalah adanya kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat untuk menikmati listrik
serta adanya kebijakan penerapan tarif bagi masyarakat tertentu serta subsidi listrik bagi masyarakat
yang tidak mampu. Hal tersebut tentunya sejalan dengan kebijakan yang telah ditetapkan PT. PLN
(Persero). Hal ini sesuai dengan adagium yang berbunyi Inde Datae Leges Be Fortior Omnia
Posset- Law Were Made Lest The Stronger Should Have Unlimited Power hukum dibuat jika tidak
maka orang yang berkuasa akan tidak terbatas.
41
Ibid.
20. 16
BAB III
TINJAUAN KONSEP KEPASTIAN TERHADAP PASAL 51 DALAM UNDANG-UNDANG
NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
A. Teori Kepastian Hukum
Hukum adalah semua aturan yang mengatur tingkah laku bermasyarakat yang
dituangkan dalam bentuk aturan-aturan yang berlaku umum dan mengikat. Secara
proporsional harus ada tiga unsur hukum (idee des recht), yaitu kepastian hukum
(rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmasigkeit). Jika dikaitkan
dengan teori penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch dalam idee
des recht yaitu penegakan hukum harus memenuhi ketiga asas tersebut.42
Kepastian hukum
dapat dimaknakan bahwa seseorang dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan
pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini.43
Kepastian hukum berpegang pada
prinsip bahwa bagaimana hukumnya yang berlaku secara positif itulah yang harus berlaku,
tidak dibolehkan menyimpang (fiat justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan).44
Kemudian terdapat kejelasan dan ketegasan terhadap
berlakunya hukum di dalam masyarakat melalui pengaturan dalam undang-undang yang
tegas, jelas dan tidak mengandung arti ganda atau berpeluang untuk ditafsirkan lain.45
Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk
norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna
karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang.46
42
Fence M Wantu, “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”, Jurnal Berkala Mimbar Hukum, Vol.19 No. 3
Oktober2007,Yogyakarta:FakultasHukumUniversitasGadjahMada,hlm.395
43
Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya dengan Putusan Kepailitan
Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas
Soedirman, hlm. 219
44
Willy Riawan Tjandra, “Dinamika Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara”, Jurnal
Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 79
45
Sony Devano dalam Paripurna P Sugarda, et.al., “Penilaian terhadap Kesesuaian antara Penetapan Bea Keluar atas
Ekspor Mineral dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Ekonomis”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 28 No. 3, Oktober
2016, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 398
46
Fence M Wantu, op.cit., hlm. 193
21. 17
Pengertian asas kepastian hukum juga dapat ditemukan di peraturan perundang-
undangan, salah satunya di dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, yang pada penjelasan pasal 3 angka 1
berbunyi “Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan Penyelenggara Negara”.47
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, asas
ini menjadi salah satu kontrol untuk menentukan bahwa pemerintah tidak dapat bertindak
secara sewenang-wenang kepada masyarakat. Disamping itu, juga menjadi dasar bagi
masyarakat agar tidak bertindak sesukanya. Asas kepastian hukum menghendaki bahwa ada
jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dan penyelenggaraan pelayanan yang dilakukan
oleh pemerintah.48
Dalam Black’s Law Dictionary, tidak menjelaskan secara eksplisit definisi
dari legal certainty (kepastian hukum), namun terdapat definisi dari legal-certainty test :
“a test designed to establish whether the jurisdictional amount has been met. The amount
claimed in the complaint will control unless theres is a “legal certainty” that the claim is
actually less than the minimum amount necessary to establish jurisdiction.”49
Kepastian hukum sendiri mengontrol banyaknya komplain yang diajukan. Semakin
sedikit komplain yang diajukan, maka semakin tinggi nilai kepastian hukum. Jadi, semakin
tidak adanya komplain dan sengketa yang diajukan, maka semakin tinggi nilai kepastian
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dari sumber internet (The Law Dictionary ft.
Black’s Law Dictionary), juga ditemukan definisi dari certainty (kepastian), yaitu kejelasan
dari suatu pernyataan, yang mana pernyataan tersebut harus dapat dimengerti oleh semua
pihak.50
Kepastian hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum
yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Saya mendefinisikannya sebagai kemungkinan bahwa
dalam situasi tertentu51
:
47
Penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
48
Eny Kusdarini, Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Penerbit
UNY Press, 2011, Yogyakarta, hal. 190
49
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary : Seventh Edition, West Group, Minnesota, hal. 903
50
The Law Dictionary, “What is Certainty?”, http://thelawdictionary.org/certainty/, diakses pada tanggal 26 April 2018
51
Jan Micheel Otto, Kajian Sosio Legal, Pustaka Larasan. 2012, Jakarta, hal.122
22. 18
• tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible),
diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara;
• bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum itu secara
konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya;
• bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-negara menyetujui
muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
• bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and
impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa
• hukum yang dibawa kehadapan mereka;
• bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan
L.J. van Apeldoorn berpendapat, pengertian kepastian hukum adalah kepastian suatu
undang-undang. Namun kepastian hukum tidak menciptakan keadilan oleh karena nilai pasti
dalam undang-undang mewajibkan hal yang tentu, sedangkan kepentingan manusia/penduduk
tidak pernah pasti. Misal: undang-undang antar penduduk dibuat secara umum, yaitu
memberi peraturan-peraturan yang umum, walaupun alasannya tidak selalu tepat, karena
beranekawarnanya urusan-urusan manusia sangat tidak tentu, padahal undang-undang harus
menetapkan sesuatu yang tentu.52
Kepastian hukum banyak bergantung pada susunan kalimat, susunan kata, dan
penggunaan istilah yang sudah dibakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut penggunaan
bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan. Karena bahasa hukum adalah juga bahasa
Indonesia. Maka kepastian hukum juga banyak bergantung kepada penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Penggunaan bahasa Indonesia tunduk kepada norma-norma bahasa yang sudah
baku. Dalam menyusun undang-undang yang baik perlu terlebih dahulu dikuasai asas-asas
hukum yang sudah diterima secara umum oleh kalangan orang yang berprofesi hukum,
seperti:53
52
L.J. van Apeldoorm, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan, Diterjemahkan Oleh: Oetarid Sadino. Pradnya
Paramitha, 2009, Jakarta, hal. 14-15.
53
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Refika Aditama, 2004, Bandung, hal. 21
23. 19
1. Lex specialis derogat lex generalis adalah salah satu asas hukum yang mengandung
makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang
umum.
2. Lex posterior derogat lex priori adalah pada peraturan yang sederajat, peraturan yang
paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.
3. Pacta sunt servanda adalah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap perjanjian
menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian.
4. Lex loci contractus adalah asas mengenai dimana suatu perjanjian kontrak dibuat
dan disepakati oleh pihak-pihak.
5. Nulla poena sine privilegia lege adalah tidak mungkin dijatuhkan sanksi pidana jika
sebelumnya tidak ada ketentuan pidana yang diterapkan.
6. Azas Non diskriminasi;
7. Domisili, sumber, kebangsaan.
8. Asas keajegan.
9. Asas kontinuitas;
10. Asas keadilan
Satjipto Rahardjo memberikan pendapatnya tentang apa itu kriteria kepastian
hukum. Menurut ajaran hukum progresif “Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia, yang secara ideal, kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia.”54
Pernyataan tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya
memuncak pada tuntutan bagi kehadiran hukum progresif. Pernyataan tersebut mengandung
paham mengenai hukum, baik konsep, fungsi serta tujuannya. Hal tersebut sekaligus
merupakan ideal hukum yang menuntut untuk diwujudkan sebagai konsekuensinya,
hukum merupakan suatu proses yang secara terus-menerus membangun dirinya menuju
ideal tersebut. Inilah esensi hukum progresif.55
Satjipto Rahardjo menentang pendapat L.J. van Apeldoorn maupun Rochmat
Soemitro. Kepastian hukum bukan terletak pada pastinya suatu undang-undang. Demikian
juga bahwa kepastian hukum bukan kristalisasi keadilan. Hukum selalu dibicarakan dalam
54
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta publishing, 2009, Yogyakarta,
hal. 2
55
Ibid.
24. 20
kaitan dengan kepastian hukum dan oleh karena itu, kepastian hukum sudah menjadi
primadona dalam wacana mengenai hukum. Kepastian hukum itu merupakan produk
dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka
datanglah kepastian.
B. Substansi Kepastian Dalam Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999
Hubungan antara hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum
tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa hukum
menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan, seperti undang-undang. Begitu
suatu undang-undang X dikeluarkan, maka pada saat yang sama muncul kepastian
peraturan. Tidak ada keragu-raguan mengenai hal tersebut, oleh karena siapa pun segera dapat
menyimak kepastian kehadiran undang-undang X tersebut. Sebaiknya dipisahkan antara
kepastian peraturan dan kepastian hukum, agar kita dapat lebih seksama mengetahui
masalah kepastian hukum itu.56
Kendati demikian ternyata, bahwa kehadiran suatu peraturan itu masih juga
menimbulkan keragu-raguan, yang berarti berkurangnya nilai kepastian tersebut. Keadaan
tersebut terjadi, oleh karena dalam jagat perundang- undangan, suatu peraturan, tanpa disadari
ternyata bertentangan dengan peraturan lain.
Bagi Penulis, kriteria kepastian hukum adalah adanya undang-undang yang dalam
pelaksanaannya dapat ditegakkan. Jadi jika Satjipto Rahardjo berpendapat kepastian
hukum adalah kepatuhan masyarakat pada hukum bukan terletak pada undang-undangnya,
Penulis setuju. Namun kepatuhan sebagai salah satu unsur dari adanya kepastian hukum wajib
diikuti dengan dapat diterapkannya undang-undang itu sendiri, sehingga jika masyarakat
patuh terhadap undang-undang harus sejalan juga dengan ditegakkannya hukum dalam
kehidupan di masyarakat. Karena jika hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya berarti
juga kepatuhan menjadi semu.
56
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, 2007, Kompas, Jakarta, hal. 77-79
25. 21
C. Analisis Struktur Terhadap Kepastian
Pada faktor hukum, hambatan yang paling dirasakan adalah adanya celah hukum
yang da kepastian hukum atas pengecualian monopoli terhadap BUMN. Celah tersebut
terdapat pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, dan Pedoman Pelaksanaan
Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang. Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang memanfaatkan frasa “dikuasai oleh
negara”, sehingga dapat dengan mudah untuk mengelola dan mengatur tentang usaha
penyediaan jasa terkait pengamanan organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga
pemerintah tanpa memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk turut berperan.
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan politik
ekonomi Indonesia, karena di dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara
atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak, dan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah
dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau
ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan
guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang
lemah oleh orang yang bermodal57
.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 menyatakan
bahwa Frasa “penguasaan negara” ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bukan dalam makna
negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan mencakup aspek
pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthondensdaad).
Menurut Penulis, berdasarkan pemikiran Mohammad Hatta dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015, maka makna Hak Menguasai Negara terhadap
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta
terhadap sumber daya alam, membuka pula peluang bagi perorangan atau swasta untuk
turut berperan, dengan catatan lima peranan negara/pemerintah, yaitu pengaturan
57
Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Mutiara, 1977, Jakarta, hlm. 28
26. 22
(regelendaad), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthondensdaad)masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah
memang tidak atau belum mampu melaksanakannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka walaupun dalam ketentuan Pasal 51 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat mengatur tentang “dikuasai oleh negara”, tidak secara otomatis membuat PT PLN
(Persero) sebagai BUMN melalui haknya yang didapat pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
dengan bebas menentukan tarif dasar listrik (TDL).
D. Analisis Budaya Terhadap Kepastian Hukum
Berdasarkan pendapat Soerjono Soekanto yang menyatakan salah satu faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum adalah faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya,
cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Budaya
patrimonial yang menyebabkan proses pembuatan dan penegakan hukum lebih berorientasi
pada kehendak-kehendak atas ini telah menimbulkan akibat-akibat buruk bagi perkembangan
budaya hukum di tingkat masyarakat.58
Penulis berpendapat, oleh karena PT PLN (Persero) merupakan persero yang
bertujuan mendapatkan keuntungan (profit) sebesar-besarnya, yang tentunya berbeda dengan
BUMN non profit seperti BPJS, sehingga Direksi PT PLN (Persero) akan menerapkan strategi
bisnis seperti Direksi perseroan pada umumnya, yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya, yang pada akhirnya adalah ketika mengetahui posisi perusahaan dan adanya
kelemahan dalam peraturan perundang-undangan terkait, menjadikan legitimasi bagi
Direksi PT PLN (Persero) untuk mengatur perjanjian tentang Audit Sistem Manajemen
Pengamanan secara sewenang-wenang.
Kondisi bahwa PT PLN (Persero) sebagai institusi penerima mandat Undang-
Undang untuk melaksanakan kegiatan monopoli ketenagalistrikan dimana juga merupakan
BUMN yang menerapkan strategi bisnis untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan
dipandang khususnya oleh para pelaku bisnis sebagai kemunduran, mereka berpandangan
58
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 8
27. 23
bahwa pihak diluar BUMN yaitu swasta akan mengalami kesulitan dalam kegiatan bisnis
dibidang ketenagalistrikan. Pengelolaan ketenagalistrikan yang dominana oleh PT. PLN
(Persero) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ketenagalistrikan tidak
memberikan ruang yang cukup bagi pelaku bisnis dibidang ketenagalistrikan.
Penulis berpendapat, perlu ada budaya hukum yang harus diarahkan pada
pembangunan kesadaran dalam penegakan hukum. Upaya mewujudkan kepastian hukum
dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat itu sendiri harus menyentuh 3 (tiga) indikator,
yaitu:
1. Tidak adanya celah untuk menafsirkan hukum secara ambigu terhadap Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945, dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat, sebab
ketidakjelasan itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
2. Ketegasan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan
amanat dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat harus mempunyai integritas yang
tinggi. Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usahayang dapat melakukan
penyelidikan dan dapat menjatuhi sanksi terhadap BUMN yang diduga melanggar
ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
28. 24
BAB IV
TINJAUAN KONSEP KEMANFAATAN TERHADAP PASAL 51 DALAM UNDANG-
UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
A. Teori Kemanfaatan
Berawal dari konsep “the greatest happiness of the greatest number” yang digagas
oleh Jeremy Benthamm (teori utilitas), kemanfaatan hukum kemudian berevolusi dan
relevansi kemanfaatan saat ini sejalan dengan paradigma hukum progresif yang digagas oleh
Satjipto Rahardjo.59
yang menyatakan, “Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,
… dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas,
yaitu, … untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia”,
sedangkan menurut pandangan Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara
Kutawaringin.60
penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan manfaat tidak lain
bertujuan untuk mengisi celah-celah kosong antara keadilan dan kepastian hukum.
Teori dari Jeremy bentham merupakan individualisme ulitarian, “alam telah
menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dua penguasa yaitu “suka dan duka”.
Untuk dua raja itu, manusia bergumul tentang apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa yang
mesti dilakukan. Dua raja itu menentukan apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan, dan
apa yang kita pikirkan.61
Atau dapat kita katakan bahwa akan timbul suatu manfaat bagi
seluruh ummat manusia manakala kita mengekang “duka” dan menyokong “suka”, berlaku
bagi hukum. Adalah suatu kemustahilan untuk dapat memberikan kepuasan/kebahagiaan
yang sama kepada seluruh warga masyarakat dimana pada akhirnya “ego” setiap manuasia
menjadi pengaruh. Terkait hal ini Jeremy Betham mengatakan bahwa “ Hukum harus
mengusahakan kebahagian maksimum bagi tiap-tiap orang, Inilah Stadar etik dan yuridis dan
kehidupan sosial. Hak – hak individu harus dilindungi dalam rangka memanuhi kebutuhan –
kebutuhannya62
59
Satjipto Rahardjo, Opcit, hlm. 151
60
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim, Sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, hlm. 18
61
C.J.Friedrich, The Philosophy of Law, dan Prakash Sinha, Jurisprudence
62
S. Prakash Sinha, Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, Minnessota : West Publishing Co,1993
29. 25
Jeremy Bentham adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk
itu perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai 4 tujuan yaitu 63
:
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).
b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).
d. To attain equity (untuk mencapai persamaan.
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.
Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan
atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri. menurut
Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh Mohamad Aunurrohim mengatakan, “hukum
barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya
terhadap sebanyak-banyaknya orang.
B. Substansi Kemanfaatan Dalam Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukannya secara sistematis dengan tetap
mendasarkan pada alasan-alasan yang rasional berupa pertimbangan profesionalitas, legalitas,
dan efektifitas pencapaian sasaran tujuan penyelenggaraan monopoli dan atau pernusatan
kegiatan. Namun demikian terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemegang hak monopoli
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, tidak dikecualikan.
Salah satu pertimbangan diajukannya RUU tentang Larangan Praktek Monopoli64
adalah UUD 1945, yang antara lain menghendaki adanya kemakmuran masyarakat,65
bukan
kemakmuran orang-seorang. Sistem ekonomi seperti ini mengandung prinsip
63
Grossman, Joel B and Grossman, Mary H (Ed), Law in Change in Modern America, Pasific Polisades, Cal. Goodyear,
hal. 231
64
Risalah DPR-RI, Rapat Paripurna Ke 10 Masa Persidangan I Tahun Sidang 1998—1999, hlm. 14. Dalam A.M. Tri
Anggraini, hlm. 5
65
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bagian
Menimbang butir a.
30. 26
keseimbangan, keselarasan, serta memberikan kesempatan berusaha yang sama, adil, dan
merata bagi setiap warga negara.66
Saat ini penguasaan penyelenggaraan penyedia tenaga listrik, yang meliputi
penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga
listrik, tidak hanya merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat, melainkan juga tanggung
jawab Pemerintah Daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah. PT PLN (Persero) merupakan
BUMN yang menurut UU Ketenagalistrikan diberikan kewenangan untuk melakukan
kegiatan operasional ketenagalistrikan meliputi:
1) Pembangkitan tenaga listrik
Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik.
2) Transmisi tenaga listrik
Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem
distribusi atau konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antar sistem.
3) Distribusi tenaga listrik
Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari
pembangkitan ke konsumen.
4) Penjualan tenaga listrik
Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada
konsumen.
Pengelolaan listrik oleh PT PLN (persero) yang merupakan BUMN diharapkan
mampu memberikan kemanfaatan bagi masyarakat baik melalui keandalan pasokan tenaga
listrik, maupun keuntungan yang diperoleh PT PLN (Persero) dari pengelolaan tenaga listrik,
Sehingga salah satu maksud dan tujuan dibentuknya BUMN yaitu memberikan kontribusi yang
signifikan dalam perekonomian dapat terlaksana.
Summun ius summa injuria; summa lex summa crux “apabila kepastian yang
dikejar setinggi-tingginya, ia justru akan melukai. Menuntut hukum untuk dilaksanakan
secara strict, justru akan menghadirkan luka yang terdalam”. Asas ini sangat berkaitan
66
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
bagian Menimbang butir b. Dalam A.M. Tri Anggraini, Ibid., hlm. 6
31. 27
dengan pemberian wewenang PT PLN (Persero) didalam melaksanaka monopoli
ketenagalistrikan.
C. Analisis Struktur Terhadap Kemanfaatan
Asas Kepentingan Umum sangat penting posisinya dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Prinsip ini menuntut agar dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan,
pihak pemerintah (aparatur) selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi ataupun kepentingan golongan tertentu. Kepentingan umum mengatasi kepentingan
pribadi, bukan berarti kepentingan pribadi tidak diakui keberadaannya sebagai hakikat
individu manusia. Akan tetapi dalam kepentingan umum terdapat pembatasan terhadap
kepentingan pribadi, karena kepentingan itu pada hakikatnya tercakup dalam kepentingan
masyarakat dan kepentingan nasional yang berlandaskan azas keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Kesejahteraan umum mengandung makna bahwa kegiatan pembangunan
dan hasil-hasilnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat (masyarakat).
Dalam hubungan ini kebijakan yang dibuat adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
masyarakat, bukan kepentingan sekelompok orang ataupun karena ada kaitan keluarga/suku
bahkan agama/kepercayaan.67
Untuk memberikan pelayanan yang baik dan mempermudah pemakaian tenaga
listrik serta memenuhi keinginan masyarakat dalam pengadaan maupun perluasan jaringan
distribusi listrik agar dapat menjamin tersedianya tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, maka pemerintah perlu melakukan penataan dan
pengaturan mengenai penyelenggaraan listrik nasional dengan menunjuk suatu Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yaitu PT. PLN (Persero).
PT PLN (Persero) sejauh ini telah menerapkan sejumlah program guna
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Ada beberapa program pelayanan
yang ditawarkan PLN kepada masyarakat antara lain: layanan menyala R 450, layanan
menyala R 900, layanan bersinar, layanan prima, layanan metro light, layanan daya max,
pembayaran listrik on-line dan sebagainya. Saat ini PLN juga mengeluarkan program listrik
67
Prof. Dr. Takdir Rahmadi,S.H.,LLM dan Tim Penulis, Asas –asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), Project
Juducial Support Program, 2006, hal. 60
32. 28
prabayar. Program-program sebagaimana dimaksud diciptakan dalam rangka upaya
peningkatan pelayanan PLN kepada masyarakat agar manfaat ketenagalistrikan dapat
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dimana pun dengan mudah, cepat dan terjangkau.
Terkait dengan campur tangan negara, sebenarnya campur tangan tidak selalu
berakhir negatif. Dalam hal pembangunan ekonomi, adanya campur tangan pemerintah
menjadi sebuah keniscayaan, meskipun pada awalnya peran pemerintah hanya diakui sebatas
penyediaan social overheaf capital atau infrastruktur untuk menfasilitasi pembangunan
ekonomi, perkembangan selanjutnya justru melahirkan pemikiran yang menegaskan tentang
perlunya pemerintah melakukan campur tangan yang lebih luas dalam perekonomian untuk
menyelesaikan masalah tertentu.68
PLN dalam menjalankan kegiatan usahanya mempunyai dua unsur yang sangat
esssensial yaitu disatu sisi sebagai unsur negara karena negara bertindak sebagai pemegang
saham mayoritas dan disisi lain bertindak sebagai unsur bisnis, sehingga BUMN dapat disebut
sebagai Badan Usaha yang memiliki karakteristik istimewa. Karakteristik yang istimewa
tersebut menurut Aronaga, dirumuskan sebagai berikut “A corporation clothed with the power
of government but possessed the flexibility an iniative of a private enterprise’.69
D. Analisis Budaya Terhadap Kemanfaatan
Penetapan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
dimaksudkan untuk menggantikan Undang Undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang
Ketenagalistrikan yang dirasakan sudah tidak dapat mengakomodir perkembangan terkini dari
industri ketenagalistrikan nasional dan sekaligus diharapkan dapat mengatasi berbagai
permasalahan dalam penyediaan tenaga listrik nasional, tuntutan perkembangan keadaan,
perubahan dalam kehidupan masyarakat, dan melaksanakan amar putusan Mahkamah
Konstitusi.
Tujuan-tujuan PT. PLN Persero yang telah dijabarkan sebelumnya sebagaimana
diketahui, merupakan tujuan yang ditinjau dari bentuk PT. PLN Persero sebagai BUMN
terkhusus sebagai Perusahaan Perseroan yang sama halnya dengan perusahaan swasta. Namun
68
Nur Fadjrih Asyik, Politial-Economy Accounting Perspective : Landasan Batu Pemberdayaan BUMN, Jurnal
Investasi, Vol. 6, No. 1,2010, Hal 60
69
Ibid., Hal. 164
33. 29
PT. PLN Persero masih mempunyai tujuan secara khusus diluar tujuan-tujuan tersebut yaitu
sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum yang telah
diatur dalam Undang Undang Ketenagalistrikan. Tujuan PT. PLN Persero tersebut terkait
dengan pembangunan ketenagalistrikan yaitu bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga
listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat
(2) Undang Undang Ketenagalistrikan.
Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Ketenagalistrikan merupakan bentuk fungsi
pelayanan umum (Public Service Obligation) yang dijalankan oleh PT. PLN (Persero), dengan
melaksanakan ketentuan tersebut PT. PLN Persero juga telah melaksanakan maksud dan
tujuan pendirian BUMN yang diatur dalam Pasal 2 Undang Undang BUMN yaitu khususnya
tujuan untuk menyelenggarakan kemanfaataan umum berupa penyediaan tenaga listrik yang
bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Sehubungan dengan fungsi pelayanan tersebut survey kepuasan pelanggan terhadap
kinerja PT PLN (persero) tahun 2017 dibeberapa daerah mengalami kenaikan70
hal tersebut
mencerminkan bahwa PT PLN (Persero) secara konsisten berupaya meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat.
Penulis berpendapat bahwa kemanfatan dikehendaki oleh masyarakat meliputi
kualitas, harga dan kemudahan akses terhadap listrik. Sepanjang PT PLN (Persero) mampu
memberikan hal tersebut kepada masyarakat maka pengelolaan /monopoli terhadap
ketenagalistrikan oleh BUMN dipandang sudah tepat hal tersebut sesuai dengan tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
70
http://www.suarakarya.id/detail/50454/Tingkat-Kepuasaan-Masyarakat-Terhadap-Layanan-PLN-Meningkat, diakses
pada tanggal 27 April 2018.
34. 30
BAB V
KESIMPULAN
1. Penyedian dan pengelolaan tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) sebagaimana telah
dikecualikan dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagai bentuk monopoli
yang dilarang, walaupun hal tersebut dipandang sebagai penghambat bagi pelaku bisnis
namun penulis berpendapat bahwa ketentuan tersebut telah memenuhi unsur keadilan bagi
masyarakat karena campur tangan negara tetap diperlukan untuk menjamin listrik dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat, apabila listrik diserahkan pada mekanisme pasar hal
tersebut dapat membuat harga listrik menjadi mahal sehingga kemungkinan tidak semua
masyarakat dapat menikmati listrik. Penulis berpendapat bahwa keadilan yang baik adalah
yang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas bukan sekolompok golongan.
2. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 menyatakan
bahwa Frasa “penguasaan negara” ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bukan dalam makna
negara memiliki melainkan pengaturan. Maka kepastian hukum atas monopoli listrik oleh
PT PLN (Persero) sebagaimana telah dikecualikan dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tidak terpenuhi, Penulis berpendapat bahwa PT PLN (Persero) tidak dapat
menetapkan sendiri kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti
tariff listrik.
3. Penulis berpendapat bahwa dengan tercapainya pemenuhan kepentingan masyarakat
terhadap listrik yang meliputi kualitas, harga, dan kemudahan akses yang diberikan oleh
PT PLN (persero) maka kemanfaatan umum atas hak monopoli listrik yang diamanatkan
Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 kepada PT PLN (Persero) telah terpenuhi,
hal tersebut terbukti dengan tingkat kepuasaan pelanggan terhadap PLN yang terus
meningkat.
35. 31
DAFTAR PUSTAKA
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara
5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
B. BUKU
1. Ali, Ibrahim Herman, 2008, General Check-up Kelistrikan Nasional, Mediaplus Network,
Jakarta
2. Apeldoorm, L.J. van, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta
3. Budiardjo, Miriam, 2007, Dasar-dasar ilmu politik, PT Ikrar Mandiriabadi, Jakarta
4. Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, 2002, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
5. Darmono, Djoko, 2009, Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa, Sejarah Pertambangan
dan Energi Indonesia, Jakarta, Penerbitan dan Publikasi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, Jakarta
6. Friedmen, Lawrence M., 2015, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusamedia, Jakarta
7. Garner, Bryan A 1999, Black’s Law Dictionary : Seventh Edition, West Group, Minnesota
8. Grossman, Joel B and Grossman, Mary, 1998, Law in Change in Modern America, Cal.
Goodyear, Pasific Polisades
9. Hasibuan, Fauzi Yusuf, dkk. 2002, Hutang di Balik Listrik Swasta, Fauzi & Partner,
Jakarta
10. Hatta, Mohammad, 1977, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
Mutiara, Jakarta
11. HS, Salim & Erlias Septianan Nurbhani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, Jakarta
36. 32
12. Ibrahim, Johnny, 2009, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia, Bayu Media, Malang
13. Kelsen, Hans, 2010 Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu hukum Normatif. Nusa Media,
Bandung.
14. Kusdarini, Eny, 2011, Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, UNY Press, Yogyakarta
15. Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta
16. Meuwissen, 2007, Tentang Pengembanan Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Hukum, PT Rafika Aditama, Bandung
17. Micheel Otto, Jan, 2012, Kajian Sosio Legal, Pustaka Larasan. Jakarta
18. Rahardjo, Satjipto, 2008, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta
19. Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
publishing, Yogyakarta
20. Rawls, John, 2006, A Theory of Justice Teori Keadilan, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta
21. Rokan, Mustafa Kamal, 2010, Hukum Persaingan Usaha, PT. Raja Grafindo, Jakarta
22. Sinha, S. Prakash, 1993, Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, West Publishing
Co, Minnessota
23. Sirait, Ningrum Natasya, 2004, Hukum Persaingan di Indonesia, Pustaka Bangsa Press,
Medan
24. Siswanto, Arie, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta
25. Soemitro, Rochmat, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan, Refika Aditama, Bandung
26. Sugiharto, dkk., 2005, BUMN Indonesia, Isu, Kebijakan, dan Strategis, Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta
27. Suharsil dan Makarao, Mohammad Taufik, 2010, Hukum Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor
28. Suryanto, F, 1996, Dasar-Dasar Tenaga Listrik, Rineka Cipta, Jakarta
29. Waluyo, Bambang, 2015, Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta
30. Yusgiantoro, Purnomo, 2000, Ekonomi Energi, Teori dan Praktik, LP3ES, Jakarta
37. 33
31. Yuti Witanto, Darmoko dan Putra Negara, Arya, 2013, Diskresi Hakim, Sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta,
Bandung
C. JURNAL, ARTIKEL, PENELITIAN
1. PT. PLN (Persero), Laporan Bekerja Secara Berkelanjutan 2011 Sustainable Report PT.
PLN (Persero).
2. http://www.djk.esdm.go.id/, Peluang investasi sektor ketenagalistrikan 2017 -2021
3. Remy Sjahdeni, Sutan, 2002, Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan
Monopoli, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19, Mei-Juni
4. https://id.wikipedia.org/wiki/Adil, Adil, Wikipedia,
5. https://kbbi.web.id/tafsir, penafsiran, Kamus Besar Bahasa Indonesia online
6. http://www.kppu.go.id/ Pedoman Pelaksanaan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999
7. http://www.kppu.go.id/ Pedoman Pelaksanaan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999,
8. Makmun dan Abdurahman, 2013, Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Terhadap
Konsumsi Listrik Dan Pendapatan Masyarakat. hlm. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17,
Juli
9. C Saguy, Abigail dan Forest Stuart, 2008, Culture and law Beyond A Paradigm Cause and
effect, dalam jurnal Annals of The American Academy of Political and Social Sciance,
Vol. 619: Cultural Sociology and its Diversity
10. Friedrich, C.J. dan Prakash Sinha, 2006, The Philosophy of Law, Jurisprudence
11. Cotterrell, Roger Law, 2006, Culture and Society: Legal Ideas In The Mirror of Social
Theory, Ashgate,
12. Rafl Michael, Legal Culture, Tanpa Tahun
13. M Wantu, Fence, 2007, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol.19 No. 3Oktober,FakultasHukumUniversitasGadjahMada,Yogyakarta
14. Wijayanta, Tata 2014, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam
Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
14 No. 2 Mei, Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Purwokerto
38. 34
15. Riawan Tjandra, Willy, 201, Dinamika Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Peradilan
Tata Usaha Negara, Jurnal Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November, Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
16. , http://thelawdictionary.org/certainty/, What is Certainty, The Law Dictionary
17. Devano, Sony, dalam Paripurna P Sugarda, 2016, Penilaian terhadap Kesesuaian antara
Penetapan Bea Keluar atas Ekspor Mineral dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas
Ekonomis, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 28 No. 3, Oktober, Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
18. Risalah DPR-RI, Rapat Paripurna Ke 10 Masa Persidangan I Tahun Sidang 1998—1999
19. Rahmadi, Takdir, dan Tim Penulis, 2006, Asas –asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB), Project Juducial Support Program.
20. Nur Fadjrih Asyik, Politial-Economy Accounting Perspective : Landasan Batu
Pemberdayaan BUMN, Jurnal Investasi, Vol. 6, No. 1,2010, Hal 60
21. http://www.suarakarya.id/detail/50454/Tingkat-Kepuasaan-Masyarakat-Terhadap-
Layanan-PLN-Meningkat, Kepuasan Pelanggan PLN Meningkat