Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang pengembangan sistem produksi sapi peranakan Ongole melalui peningkatan mutu genetik dan produktivitasnya.
2) Metode yang diusulkan adalah melalui program seleksi ternak dengan teknologi genetika dan pembentukan ternak komposit dari persilangan antara sapi PO dengan sapi Simmental atau Limousin.
3) Kecukupan nutrisi sangat pent
1. 1
Take Home Examination
Pengembangan Sistem Produksi Ternak Sapi Peranakan Ongole (PO)
Mata Kuliah Sistem Produksi Peternakan
Dosen Pengampu Prof. Dr. Ir. Luqman Hakim, MS.
Disusun oleh:
Nama : Deby Okta Tyapradana
NIM : 176050100011021
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
Ternak sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak strategis yang dapat
mendukung stabilitas nasional. Oleh karenanya sapi potong menjadi target prioritas
dalam rangka pencapaian swasembada pangan sekaligus komoditas utama dalam
program stategis Kementerian Pertanian Tahun 2015 – 2019. Pusdatin (2015)
menyatakan bahwa laju pertumbuhan konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia terus
meningkat hingga 3,5% pada tahun 2014. Lebih lanjut Ditjennak (2016) ternak sapi
memiliki peran penting bagi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, yang mana
dibuktikan dengan angka permintaan sebanyak 524,1 ribu ton pada tahun 2016 dan
terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Hingga saat ini produksi daging nasional
masih belum mampu dalam memenuhi angka permintaan konsumen dalam negeri.
Ketidak mampuan pemenuhan kebutuhan daging sapi dari dalam negeri dindikasikan
dengan adanya peningkatan jumlah impor sapi potong dan daging. Mariyono, et al
(2006) menyatakan produksi daging nasional pada tahun 2004 baru mencapai 66%
(380.059 ton) dan kekurangan tersebut dicukupi melalui upaya impor (34%) serta
diprediksikan akan terus mengalami peningkatan hingga 70% pada tahun 2020.
Dalam rangka untuk menggenjot populasi ternak sapi potong, sangat tepat apabila
pemerintah mencanangkan program perbibitan diberbagai wilayah di Indonesia sebagai
upaya yang seharusnya dilaksanakan. Berbeda dengan ternak unggas, bidang usaha
perbibitan ternak sapi potong masih sedikit diminati oleh perusahaan swasta sebab
dianggap kurang menguntungkan.
Kendala yang hadir di lingkup peternak rakyat adalah tidak dilakukannya pencatatan
data catatan silsilah ternak dan fenotip oleh peternak. Hal ini dikarenakan pemeliharaan
ternak hanya sebagai kegiatan sampingan masyarakat pedesaan. Kondisi ini
menyulitkan apabila hendak melakukan seleksi, sedangkan program perbibitan pada
umumnya masih mengandalkan sistem perbibitan kovensional yaitu pola seleksi ternak
berdasarkan pedegree, karakteristik fenotip dan produktivitas ternak. Padahal dinegara-
negara yang digdaya dalam pengembangan ternak sapi, salah satu resep kesuksesan
untuk meningkatkan mutu genetik ternak adalah tersedianya berbagai data pendukung
tersebut.
Berdasarkan keresahan terhadap kondisi tersebut, maka penulis hendak
menuangkan suatu ide pemikiran mengenai potensi dan tantangan yang dihadapi dalam
bentuk karya tulis ilmiah guna mendukung kelestarian dan perbaikan mutu genetik ternak
sapi potong sebagai kontribusi positif mahasiswa dalam rangka mendukung pemerintah
mengimplementasikan target ‘Indonesia Lumbung Pangan Asia Tahun 2045’.
3. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Performans Sapi Peranakan Ongole (PO)
Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu bangsa sapi lokal Indonesia
yang bayak dikembangkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sapi PO dikenal sebagai sapi
dwiguna penyedia jasa untuk embantu pekerjaan petani sekaligus sapi penghasil daging.
Dewasa ini memiliki ciri-ciri khusus yaitu punuk dan gelambir serta berwarna putih hingga
keabu-abuan dengan beberapa bercak berwarna hitam pada bagian tubuh tertentu.
Keunggulan Sapi Peranakan Ongole yang merupakan potensi besar untuk
pengembangan adalah secara genetik memilki sifat toleran terhadap iklim panas dan
lingkungan marginal, serta tahan terhadap infeksi caplak, kemampuan adaptasi tinggi
terhadap kualitas pakan yang rendah, serta kebutuhan pakan lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan sapi impor (Kementan, 2015).
Performans Sapi PO memiliki produksi yang efisien apabila dibandingkan dengan
sapi potong lokal lainnya; dengan laju beranak 70%, pertambahan bobot badan dengan
pakan yang baik dapat mencapai 0,9 Kg per hari dengan persentase karkas berkisar antara
45 – 58% (Agung, dkk, 2014).
2.2 Peningkatan Produktivitas Sapi PO
Faktor-fakor penting dalam peningkatan produktivitas sapi potong yang perlu
diperhatikan salah satunya adalah segitiga produksi dimana terdapat breeding, feeding dan
management. Breeding berarti bibit sehingga bibit yang digunakan harus bagus, tidak
cacat, tidak sakit dan data tetuanya jelas. Feeding merupakan pakan yang diberikan untuk
dikonsumsi oleh ternak sapi dan harus memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidup dan
produksinya. Selanjutnya management yang meliputi sarana dan prasarana, fasilitas dan
sumber daya manusia.
2.2.1 Aspek Breeding pada Sapi PO
2.2.1.1 Penerapan Teknologi Genetika dalam Program Seleksi Ternak Sapi PO
Upaya meningkatkan performans produksi ternak lokal yang relatif rendah dapat
diperbaiki dengan menganalisa dan menyusun skenario perbaikan sistem produksinya.
Talib (2001) meyatakan terdapat tiga macam strategi untuk meningkatkan mutu genetik
ternak sapi yang digunakan di Indonesia, yaitu pemurnian, pengembangan sapi
murni/lokal dan persilangan. Ketiadaan data-data yang menunjang peningkatan
performans produksi ternak lokal merupakan salah satu kendala yang dihadapi sehingga
proses seleksi menjadi sulit dilakukan dan menyebabkan rendahnya produksi ternak
4. 4
lokal. Kegiatan seleksi merupakan aspek utama dalam rangka pengembangan sapi
murni/lokal yang akan menghasilkan pejantan dan indukan unggul berdasarkan sifat-
sifat tertentu yang muncul berkaitan dengan pewarisan sifat/gen. Seleksi ternak yang
akurat minimal dilaksanakan dengan melihat performannya dalam jangka waktu satu
generasi. Semestinya pelaksanaan monitoring dan pedegree ternak dimulai sejak
kelahiran hingga mendapatkan generasi berikutnya sebagai breeding stock. Sebagai
gambaran, satu generasi pada sapi biasanya dihitung dalam 4 – 5 tahun, yakni rerata
waktu kelahiran hingga mendapatkan keturunan berikutnya yang sudah dewasa/lepas
sapih.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan seleksi ternak melalui deteksi dengan
penanda/marker genetic untuk mendeteksi gen-gen atau posisi di kromosom yang
memiliki keterkaitan dengan sifat-sifat kuantitatif tertentu pad aternak yang bernilai
ekonomis atau disebut dengn istilah Quantitative Trait Loci (QTL). Sedangkan seleksi
ternak dengan berdasarkan metode ini, dilakukan dengan memanfaatkan penanda
genetik yang dikenal dengan istilah Marker Assisted Selection (MAS) (Dekkers dan
Hospital, 2002)
Di Indonesia, memang telah banyak dilaksanakan riset mengenai identifikasi sifat-
sifat ternak sapi menggunakan penanda genetik. Namun, penggunaan teknologi
genetika molekuler pada pelaksanaannya masih bersifat parsial dengan sampel yang
sedikit. Padahal penggunaan penanda genetik akan menambah efisiensi proses seleksi
dan dapat mengurangi tingkat inbreeding (Dekkers, 2007).
Sebagai langkah lanjutan adalah menyusun pengembangan sistem manajemen
perbibitan, dengan menyusun skenario program pengembangan bibit Sapi PO untuk
menghasilkan ternak unggul ditinjau dari aspek pemuliaan ternak dan lingkup penunjang
daya dukungnya.
2.2.2.2 Pembentukan Ternak Komposit
Pembentukan ternak komposit dengan mengawinkan induk Sapi PO dan pejantan
Simmental atau pejantan Limousin adalah mengharapkan keturunan yang secara
morfologi dan potensi genetik mendekati Simmental pure breed namun juga memiliki
keunggulan yang dimiliki oleh Sapi PO. Selain itu trend yang disukai oleh peternak saat
ini, apabila ternak lokal mereka di IB dengan semen ternak eksotik maka diharapkan
menghasilkan kelahiran yang identik dengan bangsa sapi merah. Hal ini sesuai dengan
Hakim dan Budiarto (2014) bahwa upaya budidaya ternak sapi potong juga perlu
mengetahui komposisi genetik yang ideal sesuai agroklimat dan digemari masyarakat.
Sifat kuantitatif antara Sapi Simpo dan Sapi PO berdasar SNI dapat dilihat pada Tabel
1, berikut:
5. 5
Tabel 1. Sifat kuantitatif ukuran tubuh dewasa Sapi PO dan Sapi Simpo
No Sifat Kuantitatif
Sapi Peranakan Ongole Sapi Simpo
Jantan (cm) Betina (cm) Jantan (cm) Betina (cm)
1 Tinggi Pundak 143,4 ± 5,76 136,32 ± 0,84 135,82 ± 6,12 132,4 ± 11,77
2 Panjang Badan 155,4 ± 11,84 137,50 ± 1,48 153,29 ± 15,93 142,80 ± 9,66
3 Lingkar Dada 186,56 ± 11,05 162,00 ± 2,17 202,07 ± 15,97 184,20 ± 8,46
4 Bobot Badan 509,28 ± 87,07 379,40 ± 69,60 - -
Sumber: Kementan RI (2015) dan Agung, dkk (2014)
Hasil penelitian Agung, dkk (2014) menunjukkan bahwa Sapi PO memiliki profil
morfologi yang sedikit lebih besar dibandingkan Simpo. Hal ini dikarenakan data sifat
kuantitatif pada Sapi PO merupakan sapi-sapi hasil grading up yang telah dilakukam
selama beberap generasi, sedangkan Sapi Simpo adalah F1 atau backcross induk F1
Simpo dengan Simental.
Pada penelitian Trifena et al (2011) terdapat perbedaan sapi sapi hasil persilangan
antara keturunan pertama (F1) dan backcross (BC). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada
warna rambut yang disajikan pada Tabel 2, berikut:
Tabel 2. Perbandingan karakteristik eksterior pada sapi betina umur 1-4 tahun
No Fenotip PO F1-S BC1-S F1-L BC1L
1 Gelambir Lebar Lebar Lebar Lebar Tebal
2 Warna rambut dominan
a. Putih 100% - - - -
b. Coklat muda - 15% - 15% -
c. Coklat - 60% 40% 75% 40%
d. Coklat tua - 25% 60% 10% 50%
e. Coklat kemerahan - - - - 10%
Sumber: Trifena et al (2011)
Perbedaan warna rambut sapi F1 berkisar coklat muda hingga coklat tua sedang
BC1 cenderung berwarna coklat sampai coklat kemerahan. Hal ini mengindikasikan bahwa
sifat gen penentu warna coklat dan kemerahan pada sapi Simmental atau Limousin dapat
lebih meningkatkan intensitas warna dari api F1 atau dapat menambah variasi pola
pewarnaan pada keturunan berikutnya.
Beralih pada pewarisan sifat kuantitatif, Sapi Simpo dan Sapi Limpo yang di
backcross mengalami peningkatan persentase darah tetua pejantan Simmental untuk Sapi
Simpo dan Limousin untuk Sapi Limpo dari F1 ke BC1. Peningkatan persentase kedua sapi
persilangan dapat dilihat pada Tabel 3, berikut:
6. 6
Tabel 3. Rerata dan standar deviasi ukuran tubuh sapi PO, Sapi Simpo dan Sapi Limpo
pada keturunan pertama (F1) dan kedua (BC)
No Sifat Kuantitatif Sapi PO
Sapi Simpo Sapi Limpo
F1 BC F1 BC
1 Lingkar dada 162,15±12,33 164,83±9,58 167,60±9,47 158,83±12,56 167,20±14,07
2 Tinggi gumba 121,55±4,36 124,65±5,36 125,15±6,25 125,32±9,35 126,55±5,52
3 Panjang badan 109,75±9,72 124,43±8,76 124,80±6,65 119,87±10,49 125,10±8,15
4 Tinggi pinggul 123,25±4,83 125,75±5,18 126,80±7,79 128,60±9,25 130,15±5,93
5 Indeks kepala 0,40±0,04 0,48±0,07 0,49±0,06 0,46±0,07 0,52±0,06
Sumber: Trifena et al (2011)
Berdasarkan tabel 2, hasil penelitian yang dilakukan di kelompok ternak wilayah
Nawangan dan Punung Kab. Pacitan diberikan kondisi lingkungan yang seragam, sehingga
dapat dikatakan faktor genetik dari Sapi Simmental dan Sapi Limousin telah mengalami
peningkatan.
2.3 Aspek Feeding pada Sapi PO
Meningkatnya produktivitas dan performans hasil kawin silang dengan
menggunakan semen Sapi Simmental pada induk Sapi Peranakan Ongole sehingga
menghasilkan Sapi Simpo yang disukai oleh peternak. Konsekuensi dari hasil sapi
persilangan yang memiliki pertumbuhan yang cepat, tubuh besar dan bobot badan
lebih tinggi dari pada Sapi PO maka kebutuhan pakan untuk hidup pokok akan
meningkat. Apabila kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi maka keunggulan mutu genetik
yang dihasilkan dari perkawinan silang potensinya tidak akan muncul. Kecukupan
nutrien adalah hal mutlak yang harus dipenuhi untuk menjamin normalnya proses
biologis ternak termasuk proses reproduksi. Endrawati, dkk (2010) menyatakan bahwa
terdapat kesinambungan antara penampilan reproduksi dan kecukupan nutrisi. Lebih
lanjut (Broaddus et al;2003 dalam Endrawati, dkk; 2010) bahwa kekurangan protein
kasar pada pakan akan menyebabkan peningkatan kasus silent head.
2.4 Aspek Management pada Sapi PO
Budidaya ternak Sapi PO berkembang dengan pesat di Pulau Jawa terutama
Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Subiharta, dkk (2012) menyatakan peternak di
daerah Kebumen yang mana merupakan salah satu wilayah sentra Sapi PO memiliki
fanatisme tinggi terhadap kemurnian Sapi PO meskipun ternak yang dipelihara hanya
sebagai usaha sambilan. Kesadaran akan pentingnya kemurnian Sapi PO tersebut
terbentuk oleh kematangan dan pengalaman masyarakat dengan rata-rata lama
beternak 18,5 tahun. Lebih lanjut, kualitas SDM yang memadai ditunjukkan pula
dengan kemampuan peternak sebanyak 88,24% dalam memahami tanda-tanda birahi
sapinya. Meskipun perkawinan ternak sebanyak 94,1% dilakukan secara kawin alami
7. 7
dan sistem pemeliharaan dengan cara semi intensif, manajemen pemeliharaan
berdasarkan kearifan lokal masyarakat terlah terbukti dapat mempertahankan eksitensi
plasma nutfah Sapi PO di Kabupaten Kebumen atau Jawa Tengah.
2.5 Skenario Pengembangan Ternak Sapi PO di Indonesia
2.5.1 Implementasi MAS
Marker Assisted Selection memiliki manfaat besar apabila diterapkan dalam
program perbibitan sapi potong untuk mendeteksi ternak yang memiliki potensi
pertumbuhan yang baik, proporsi karkas dan memproduksi daging dengan kualitas
yang bagus. Implementasi MAS dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: tahap deteksi,
tahap evaluasi dan aplikasi MAS. Metode ini menggunakan teknologi penanda genetik
dalam implementasinya sehingga masih relevan sebab hanya melakukan penambahan
teknologi sebagai upaya meningkatkan keakuratan dalam proses seleksi ternak.
2.5.2 Pengembangan Ternak Sapi PO berbasis Padang Penggembalaan
Pemeliharaan ternak Sapi PO pada umumnya dilakukan dengan pemberian
pakan secara cut-and-carry. Metode tersebut pada peternakan rakyat nyatanya jumlah
dan mutu pakannya relatif rendah. Eksploitasi padang rumput atau rangeland di
Indonesia untuk kepentingan ternak ruminansia masih jarang dilakukan. Padahal
negara ini memiliki potensi lahan dan kawasan yang memungkinkan untuk
penggembalaan misalnya di Pulau Kalimantan, Papua, Sumatera, Sulawesi dan Nusa
Tenggara. Sebagai bentuk nyata berhasilnya implementasi pengembangan ternak sapi
dengan padang penggembalaan adalah pembangunan padang rumput di Padang
Mangatas (Sumbar) yang telah membawa dampak perubahan pada pengembangan
peternakan sapi disana. Sehingga dengan menduplikasi Padang Mangatas ke lokasi
lain di Indonesia sebagai solusi peningkatan produktivitas ternak adalah sebuah
keniscayaan.
2.5.3 Pengembangan Ternak Sapi PO di Wilayah Pulau Terdepan Indonesia
Pengembangan ternak sapi di Indonesia akan sulit dicapai apabila hanya
mengandalkan peternakan rakyat, sebab jumlah kepemilikan ternak yang cukup sedikit
(3-4 ekor/peternak). Selain itu manajemen yang diterapkan masih sangat tradisional
dan membingungkan karena ketiadaan data recording. Melirik potensi Indonesia
sebagai negara kepulauan yang besar dan banyaknya pulau-pulau wilayah terdepan
yang belum memiliki nama dan penghuni. Maka cukup relevan apabila dilakukan
transmigrasi - pelepasan ternak ruminansia. Upaya ini cukup strategis apabila dapat
8. 8
terafiliasi dengan TNI sebagai pemilik otoritas dan fasilitas yang memadai untuk
mengolah wilayah perbatasan.
Model transmigrasi – pelepasan ternak ruminansia dideskripsikan sebagai
berikut, misalnya: Sekawanan populasi ternak sapi dengan rasio jantan : betina = 1 :
20 ekor di asumsikan mampu beradaptasi dan bertahan. Selanjutnya pulau tersebut
dapat dinamakan jenis ternak yang dilepas liarkan, misalnya Pulau Simpo atau Pulau
Limpo. Jika ternak berubah sifatnya menjadi hewan liar karena kondisi lingkungan,
maka pulau tersebut dapat berpotensi sebagai atraksi agrowisata. Tentunya realisasi
program ini memerlukan kesepahaman dan kesepakatan kerjasama antara
departemen terkait (Deptan, Dephan dan Pemda setempat).
9. 9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kelestarian galur murni Sapi Peranakan Ongole dipengaruhi oleh segitiga produksi
dimana terdapat tiga aspek penting yang berpengaruh, yaitu: breeding, feeding dan
management.
2. Kegiatan kawin silang antar bangsa atau crossbreeding terbukti dapat meningkatkan
keunggulan dari kedua hewan ternak.yang dibuktikan dengan meningkatnya persentase
sifat kuantitatif.
3.2 Saran
Program pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai ‘Lumbung Pangan Asia’
yang ditargetkan dapat tercapai di tahun 2045 merupakan program jangka panjang yang
heroik bagi kemaslahatan umat manusia. Namun, dalam implementasinya untuk
mewujudkan hal itu pemerintah hanya berfokus terhadap peningkatan jumlah populasi
ternak sapi melalui program UBSUS SIWAB. Padahal Indonesia memiliki ternak kerbau
yang juga memiliki peluang yang sama seperti sapi untuk mencukupi kebutuhan permintaan
daging nasional. Saat ini populasi kerbau di Indonesia berdasar data sensus Dirjen PKH
(2016) sebanyak ±1,4 juta ekor dan sapi ±16,7 juta ekor. Pemerintah baiknya juga perlu
mengupayakan peningkatan jumlah populasi kerbau dengan program KIWAB (Kerbau
Induk Wajib Bunting) misalnya. Sebab, kepekaan pemerintah terhadap potensi sumber
daya genetik adalah resep keniscayaan swasembada daging Indonesia.
10. 10
DAFTAR PUSTAKA
Agung, dkk. 2014. Profil Morfologi dan Pendugaan Jarak Genetik Sapi Simmental Hasil
Persilangan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 19(2): 112-122.
Aryogi, Adinanta, Y dan Pamungkas, D. 2017. Profil dan Potensi Pejantan Sapi Peranakan
Ongole Penghasil Calon Galur Baru. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2017.
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/semnas/pro09-
25.pdf?secure=1. Diakses pada 18 November 2018.
Endrawati, E, Baliarti, E dan Budhi, S. 2010. Performan Induk Sapi Silangan Simmental –
Peranakan Ongole dan Induk Sapi Peranakan Ongole dengan Pakan Hijauan
dan Konsentrat. Buletin Peternakan. 34(2): 86-93.
Hakim, L dan Budiarto. 2014. Optimalisasi Reproduksi Sapi Betina Lokal (un identified
breed) dengan Tiga Sumber Genetik Unggul Melalui Intensifikasi IB.
http://lppm.ub.ac.id/wp-content/uploads/2015/03/Agus-budiarto.pdf. Diakses
pada 18 November 2018.
Maryono, E. Romjali, D. Wijono dan Hartati. 2006. Paket Rakitan Teknologi Hasil-Hasil
Penelitian Peternakan untuk Mendukung Upaya Kalimantan Selatan Mencapai
Swasembada Sapi Potong.
Pusdatin. 2015. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Peternakan Daging Sapi. Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian. Sekretariat Jenderal Kementerian
Pertanian: Jakarta.
Subiharta, Utomo, B dan Sudrajat, P. 2012. Potensi Sapi Pernakan Ongole (PO)
Kebumen Sebagai Sumber Bibit Sapi Lokal Di Indonesia Berdasarkan Ukuran
Tubuhnya (Studi Pendahuluan).
https://www.researchgate.net/publication/262563896_POTENSI_SAPI_PERA
NAKAN_ONGOLE_PO_KEBUMEN_SEBAGAI_SUMBER_BIBIT_SAPI_LOKA
L_DI_INDONESIA_BERDASARKAN_UKURAN_TUBUHNYA_STUDI_PENDA
HULUAN. Diakses pada 18 November 2018.
Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). 2018. Keadaan Angkatan Kerja Di Indonesia
Februari 2018. BPS RI.
https://www.bps.go.id/publication/2018/06/04/b7e6cd40aaea02bb6d89a828/ke
adaan-angkatan-kerja-di-indonesia-februari-2018.html. Diakses pada 18
November 2018.
Talib, C.2001. Pengembangan Sistem Perbibitan Sapi Potong Nasional. Wartazoa. 11(1):
10-19.
Trifena, Budisastria, I dan Hartatik, T. 2011. Perubahan Fenotip Sapi Perankan Ongole,
Simpo dan Limpo pada Keturunan Pertama dan Keturunan Kedua
(Backcross).Buletin Peternakan. 35(1): 11-16.