ATAMBUA, GQ - Menjejak kaki di tanah Timor, Global Qurban merekam dua fragmen kisah yang sesungguhnya sama, satu rumpun, satu budaya, namun “dipaksa” untuk berbeda. Kisah tentang perjuangan hidup di tanah gersang Timor, berjuang menjaga agama, menjaga akidah sebagai minoritas. Di Tanah Timor ini, perbedaan itu tergaris nyata dalam bentuk gerbang perbatasan. Tapal batas yang menjadi tanda perbedaan. Di sisi Timor-Leste, tapal batas itu disebut sebagai gerbang Batugade. Sementara, di sisi Indonesia tapal batas itu punya nama gerbang Mota’ain, berada dalam wilayah administratif Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Sepekan lalu, usai menyapa minoritas Muslim di pelosok Distrik Lautaém, Subdistrik Lospalos, Timor-Leste. Tim Global Qurban untuk Timor kembali bergerak berkejaran dengan waktu, masih ada amanah kurban yang harus tersampaikan sampai hari tasyrik berakhir. Laju distribusi kurban selanjutnya mengarah ke Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Mengapa memilih Belu?
Kurban bersua atambua, hitam manis kisah muslim di tapal batas
1. Kurban Bersua Atambua, Hitam Manis
Kisah Muslim di Tapal Batas
19 September 2016
ATAMBUA, GQ - Menjejak kaki di tanah Timor, Global Qurban merekam dua fragmen kisah yang
sesungguhnya sama, satu rumpun, satu budaya, namun “dipaksa” untuk berbeda. Kisah tentang
perjuangan hidup di tanah gersang Timor, berjuang menjaga agama, menjaga akidah sebagai
minoritas. Di Tanah Timor ini, perbedaan itu tergaris nyata dalam bentuk gerbang perbatasan. Tapal
batas yang menjadi tanda perbedaan. Di sisi Timor-Leste, tapal batas itu disebut sebagai gerbang
Batugade. Sementara, di sisi Indonesia tapal batas itu punya nama gerbang Mota’ain, berada dalam
wilayah administratif Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Sepekan lalu, usai menyapa minoritas Muslim di pelosok Distrik Lautaém, Subdistrik Lospalos,
Timor-Leste. Tim Global Qurban untuk Timor kembali bergerak berkejaran dengan waktu, masih ada
amanah kurban yang harus tersampaikan sampai hari tasyrik berakhir. Laju distribusi kurban
selanjutnya mengarah ke Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Mengapa memilih Belu?
2. Namanya mungkin saja jarang terdengar sebagai Kabupaten terluar. Maklum, Kabupaten Belu
dengan Ibukotanya Atambua bukan menjadi pos perlintasan yang ramai perdagangan seperti di
perbatasan Kepulauan Riau dengan Singapura, atau perbatasan Entikong dengan Serawak,
Malaysia. Meski demikian, sejak tahun 1999 lalu, Kabupaten Belu dengan Ibukotanya Kota
Kecamatan Atambua resmi menjadi Kabupaten terluar, teras yang memisahkan Indonesia dengan
Timor-Leste.
Tak beda dengan kehidupan marginal yang terhampar di sepanjang pelosok Timor-Leste,
Kabupaten Belu pun menyimpan kisah yang sama. Gersang dan kemiskinan adalah padanan yang
selalu pas menggambarkan pulau Timor ini. Apalagi, jika menyimak kisah tentang minoritas Muslim
yang berjuang menjaga agama mereka di Kabupaten Belu. Tak sedikit dari mereka adalah “pelarian
perang”, korban kebrutalan konflik Provinsi Timor-Timur sekian dekade silam.
Semarak perayaan Idul Adha tahun 2016 ini, Global Qurban tiba di Atambua. Informasi pertama
didapat setelah Bersua dengan komunitas Muslim di Masjid Hidayatullah, Kota Atambua. Dari Kota
Atambua, informasi dan data valid tentang desa-desa terpencil yang dihuni komunitas Muslim sudah
dicatat. Sesuai rencana, target distribusi Global Qurban mengarah ke desa-desa terpencil, jauh di
pelosok, tersebar di Kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka, dua Kabupaten yang bersebelahan
dengan Timor Leste.
Kini, kebanyakan Muslim pelarian dari Timor-Leste ini menetap di Kabupaten Belu dan Kabupaten
Malaka. Menjadi warga negara Indonesia, menjaga akidah sebagai minoritas. Meski hidup damai
beriringan dengan mayoritas, tapi terkadang mereka harus mengendap dan bersembunyi sekadar
hanya untuk menjalankan solat berjamaah.
“Kami masih tak punya musala untuk beribadah di dalam kampung, Izin untuk membuat musala
setiap hari semakin dibuat sulit. Harus membuat izin pembangunan dulu ke Romo (panggilan untuk
pastor, -red), dan Romo selalu punya alasan untuk mencegah musala kami berdiri,” kata Abdullah
Saleh Duru, tetua Kampung Haikrik, sebuah kampung di pedalaman Belu yang hanya dihuni 9 KK
Muslim.
3. Beruntung bagi sebagian besar Muslim Kabupaten Belu yang menghabiskan waktunya dalam riuh
Kota Atambua. Walau tetap menjadi minoritas, di Kota Atambua dua masjid besar berdiri. Perantau
dari Jawa, Bugis, Makassar, Bima, dan kawasan lain di luar Pulau Timur ramai mengisi celah di
Atambua, membaur dengan warga lokal dan juga warga eks pelarian Timor-Timur.
Namun beda cerita dengan mereka minoritas Muslim di pelosok Kabupaten Belu dan juga
Kabupaten Malaka. Beberapa desa yang dihuni minoritas Muslim malah sampai tak berani
menunaikan solat Idul Fitri dan Idul Adha di dalam kampung mereka sendiri karena nada ancaman
dari kelompok mayoritas. Terpaksa mereka harus berjalan kaki jauh menuju Kota Atambua Ibukota
Belu, atau Kota Betun Ibukota Malaka untuk tunaikan solat jamaah Idul Adha satu pekan lalu.
“Kemarin, Kami dijemput dengan satu truk pengangkut sembako. Satu truk itu muat untuk kurang
lebih 30 KK Muslim, penuh, berdesakan sejak subuh pagi-pagi sekali. Truk membawa kami, Muslim
satu kampung menuju Kota Betun, di sana sudah ada jamaah Muslim Betun yang menunggu solat
Idul Adha bersama kami. Tiap Hari Raya pasti selalu solat di Betun, tidak berani untuk solat di dalam
kampung sendiri,” kisah Ahmad, Imam musala al-Falah, Desa Kletek, Kabupaten Malaka.
Sekelumit kisah tentang hitam manis perjuangan Muslim minoritas di tapal batas Belu ini pun
menjadi alasan yang tak usah disanggah lagi. Gurih dan nikmat daging kurban adalah kejutan Idul
Adha bermakna begitu mendalam bagi mereka di pelosok Belu dan Malaka.
Di tapal batas dekat Timor-Leste ini, Tim Global Qurban menemukan sekelumit masalah kemiskinan
berbalut dilema kekeringan. Dalam waktu bersamaan, minoritas Muslim Belu dan Malaka pun tetap
harus berjuang menjaga akidah, menjalin hubungan baik, menjaga toleransi dengan lingkungan
4. mayoritas yang terkadang ramah, tapi terkadang pula bisa berubah menjadi dingin dan mencekam.
[] (Shulhan Syamsur Rijal & Lukman Solehudin)