SlideShare a Scribd company logo
1 of 25
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah besar yang dihadapi indonesia saat ini adalah banyaknya warga
yang menderita penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF). Awal tahun 2005, tercatat 28.224 kasus demam
berdarah terjadi di seluruh indonesia, dengan jumlah kematian 348 orang. Kasus
ini meningkat hingga awal oktober 2005, di mana di 33 provinsi mencapai 50. 196
kasus, dengan 70 diantaranya meninggal dunia. Akhir ahun 2006 hingga awal
tahun 2007 kasus demam berdarah terjadi lagidi beberapa daerah indonesia
(Suharti, 2011).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aides albopictu. Sejak pertama kali ditemukan,
jumlah kasus DBD menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah
maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian
Luar Biasa (KLB) setiap tahun (Depkes, 2005).
Kebijakan penanggulan penyebaran penyakit DBD oleh pemerintah
indonesia telah dilakukan dengan berbagai upaya yaitu dengan memutuskan rantai
penularan penyakit dari penderita ke vektor kemudian dari vektor kepada orang
yang sehat yaitu dengan cara pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Startegi
program DBD meliputi: 1. Kewaspadaan dini penyakit DBD, hal ini berguna
untuk mencegah dan membatasi terjadinya KLB atau wabah penyakit dengan
2
kegiatan bulan bakti gerakan 3M (menguras tempat-tempat penampungan air,
menutup rapat-rapat tempat penampungan air, dan mengubur atau menyingkirkan
barang bekas yang dapat menampung air), 2. Pemberantasan vektor yang dapat
dilakukan dengan cara: a. Penyemprotan (fogging) yang difokuskan pada lokasi
dimana ditemui kasus b. Penyuluhan gerakan masyarakat dalam PSN
(Pemberantasan Sarang Nyamuk) DBD melalui penyuluhan dengan pemanfaatan
berbagi jalur komunikasi dan informasi yang ada melalui kerja sama lintasan
program dan sektor serta dikoordinasi oleh kepala daerah atau wilayah c.
Abatisasi dan d. Kerja bakti dengan melakukan 3M (Depkes, 2005).
Saat ini larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan larva
Aedes aegypti adalah temefos. Namun, penggunaan larvasida dalam waktu lama
dapat menyebabkan resistensi. Menurut suatu penelitian telah terjadi resistensi
larva Aedes aegypti di surabaya, palembang, dan beberapa wilayah di bandung
terhadap temefos. Resistensi larva Aedes aegypti terhadap temefos juga telah
dilaporkan terjadi di Brazil, Venezuela, Kuba, French Polynesia, Karabia,
Selangor Malaysia. Selain itu, air yang ditaburi temofos menjadi berbau kurang
sedap. Temefos juga tidak ramah lingkungan karena temofos dan produk
degregasinya sangat persisten dan dapat membunuh zoonplankton (Noor, 2006).
Hal ini mendorong untuk untuk dikembangkanya alternatif lain dengan
menggunakan bahan alami, misalnya bahan dari tumbuhan sebagai larvasida
nabati yang relatif lebih aman karena akan lebih muda terurai (biodegradable)
dialam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan
ternak karena residunya muda hilang. Penggunaan toksin yang bersal dari
3
tanaman dapat digunakan untuk pemberantasan larva nyamuk Aedes aegypti
karena dalam suatu ekstrak tumbuhan selain beberapa senyawa aktif utama
biasanya juga banyak terdapat senyawa lain yang kurang efektip, tapi
keberadaanya dapat meningkatkan aktifitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi),
hal ini mungkin serangga tidak muda menjadi resisten (Suharti, 2001).
Dengan demikian terdapat beberapa kandungan kimia pada bawang putih
(Allium Sativum) yaitu saponin, , flavonoid, dan allicin yang dapat berfungsi
sebagai larvasida (Simon, 2014).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin mengadakan penilitian
mengenai pengaruh ekstrak bawang putih (Allium Sativum) terhadap tingkat
kematian larva Aedes aegypti.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak bawang putih (Allium sativum) berpengaruh terhadap
kematian larva Aedes aegypti?
2. Apakah pada konsentrasi yang berbeda dapat mempengaruhi jumlah
kematian larva Aedes aegypti?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum)
terhadap kematian larva Aedes aegypti.
2. Untuk mengetahui pada konsentrasi yang berbeda dapat mempengaruhi
jumlah kematian larva Aedes aegypti.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi ilmiah
mengenai pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap tingkat
kematian larva Aedes aegypti.
5
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum
2.1.1 Klasifikasi Aedes aegypti
Kedudukannya nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah :
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Nematocera
Infra Ordo : Culicomorpha
Superfamili : Culicoidea
Famili : Culicidae
Sub famili : Culicinae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
2.1.2 Morfologi Nyamuk A. aegypti L
Nyamuk A. aegypti L (Diptera: Culicidae) disebut black-white mosquito,
karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas
dasar hitam. Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk A. aegypti dapat
dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa dan dewasa, sehingga termasuk
metamorfosis sempurna (holometabola). Berikut adalah morfologi dari masing-
masing tahap dan perkembangan nyamuk A. aegypti:
1. Telur
Telur berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 2,5 - 0,8
mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan diletakkan satu per
satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat
penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air.
6
Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA,
sedangkan 15% lainnya jatuh di permukaan air.
2. Larva
Tubuh larva memanjang tanpa kaki dengan bulu – bulu sederhana yang
tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya
mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk
berturutturut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat
kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax)
belum begitu jelas dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva
instar II bertambah besar, ukuran 2,5 m- 3,9 mm, duri dada belum jelas dan
corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur
anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi kepala (chepal), dada (thorax)
dan perut (abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena
tanpa duriduri dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak
paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas
perut ke-8, ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong
pernapasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada seberkas bulu-bulu (tuft).
Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian
ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam
satu baris. Gigi-gigi sisir dengan lengkungan yang jelas membentuk gerigi.
7
Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis
negatif dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang
permukaan air.
3. Pupa
Pupa bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-dada
(chepalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga
tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat
alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat
pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai
panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah
bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan
larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.
4. Dewasa
Nyamuk A. aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada
dan perut. Pada bagaian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang
berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan
termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan
bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena
itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina
mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose. Dada
nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, porothorax, mesothorax dan metathorax. Setiap
ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis) dan tarsus
(tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia
8
kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang
sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambara
garisgaris putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain.
Gambaran punggung nyamuk berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk:lyre)
pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas
dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi
nyamuk A. aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang
dihinggapinya (Soegijanto, 2006).
2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk A. aegypti
Telur nyamuk A. aegypti di dalam air dengan suhu 20°-40°C akan
menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan
perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat,
keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan.
Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari,
kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan
dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang
lebih 7-14 hari (Soegijanto, 2006).
2.1.4 Distribusi Nyamuk A. aegypti
Nyamuk A. aegypti merupakan spesies nyamuk tropis dan subtropis yang
banyak ditemukan antara garis lintang 35°U dan 35°S. Distribusi nyamuk ini
dibatasi oleh ketinggian, biasanya tidak dapat dijumpai pada daerah dengan
ketinggian lebih dari 1.000 m, meski pernah ditemukan pada ketinggian 2.121 m
di India dan 2.200 di Kolombia (Ginanjar, 2008).
9
2.1.5 Bawang Putih ( Allium sativum L)
Klasifikasi ilmiah atau toksonomi daribawang putih adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Family : Alliaceae
Subfamili : Allioideae
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum
2.1.6 Kandungan dan Kegunaan Bawang Putih
Bawang putih digunakan sejak ribuan tahun yang lalu, sehingga tercatat di
dalam buku Mesir Kuno bahwa bawang putih ini dapat menghilangkan nyeri gigi.
Digunakan dalam bentuk pasta, kemudian dioleskan pada daerah yang sakit untuk
menghilangkan nyeri. Komponen utama bawang putih tidak berbau, disebut
komplek sativumin, yang diabsorbsi oleh glukosa dalam bentuk aslinya untuk
mencegah proses dekomposisi. Dekomposisi kompleks sativumin ini
menghasilkan bau khas yang tidak sedap dari allyl sulfide, allyl disulfate, allyl
mercaptane, alun allicin dan alliin. Komponen kimia ini mengandung sulfur.
Sulfur merupakan komponen penting yang terkandung dalam bawang
putih(Katria, 2006).
10
Adapun komponen aktif bawang putih sativumin adalah allicin, scordinine
glycoside, scormine, thiocornim, scordinine A dan B, creatinine, methionine,
homocystein, vitamin B, vitamin C, niacin, s-ade nocyl methionine, S-S bond
(benzoyl thiamine disulfide), dan organic germanium yang masing-masing
mempunyai kegunaan berbeda. Baik allin maupun allinase, keduanya cukup stabil
ketika kering sehingga bawang putih kering masih dapat berpotensi untuk
menghasilkanallicin ketika dilembabkan. Akan tetapi, allicin sendiri juga tidak
stabil dalam panas ataupun pelarut organik yang akan terurai menjadi beberapa
komponen, yaitu diallyl sulfides(Katria, 2006).
Gambar 1. Rumus Bangun Allicin dan Komponen Lainnya
Dalam pengobatan, bawang putih digunakan sebagai antimikroba,
antiinflmasi, antiplasmodik, antiseptik, bakteriostatik, antiviral, dan antihipertensi.
Secara tradisional, bawang putih biasa digunakan untuk mengobati bronkitis
kronik, asma bronkitis,respiratory catarh, dan influenza(Ray, 2014).
11
Tabel 1. Kandungan gizi 100 gr bawang putih
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1979 dalam Santoso, 1989
2.2 Kerangka Berpikir
Bawang Putih
Allicin Flavonoid
Merusak
membran sel
larva
Tidak dapat
berkembang ke
stadium pupa
Penurunan
ketersediaan energi
Menurunkan nafsu
makan larva
Steroid saponins
Merusak
membran sel
larva dan berasa
pahit
Menginaktivasi
kerja enzim
pada
metabolisme sel
Larva Aedes aegypty
Mati
Inhibitor pernapasan
12
2.3 Hipotesis
1. Terdapat pengaruh ekstrak bawang putih terhadap kematian larva
Aedes aegypti.
2. Pada konsentrasi yang berbeda dapat mempengaruhi jumlah kematian
larva Aedes aegypti.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, yaitu
penelitian dengan memberikan perlakuan atau manipulasi kepada subjek
penelitiannya dan observasi dilakukan untuk membuktikan adanya efek dari
perlakuan yang dilakukan di laboratorium.
3.2 Waku dan Tempat Peneliian
3.2.1 Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan Mei 2015.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini akan diakukan di Laboratorium Botani Jurusan Biologi
Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo.
3.3 DesainPenelitian
Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian post test only
controlled group design yaitu melihat tingkat kematian larva Aedes aegypti
setelah diberikan perlakuan pada konsentrasi yang berbeda. Rancangan penelitian
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 kelompok
perlakuan. Penentuan dosis perlakun berdasarkan penelitian sebelumnya oleh
kelompok perlakuan tersebut terdiri dari:
KP I : Kelompok perlakuan yang tidak diberi konsentrasi (kontrol)
14
KP II : Kelompok perlakuan yang diberi perlakuan dengan konsentrasi
air perasan kulit jeruk manis 30 %
KP III : Kelompok perlakuan yang diberi perlakuan dengan konsentrasi
air perasan kulit jeruk manis 40 %
KP IV : Kelompok perlakuan yang diberi perlakuan dengan konsentrasi
air perasan kulit jeruk manis 50 %
3.4 Variabel
1. Variabel X : Ekstrak bawang putih
2. Variabel Y : Jumlah kematian larva Aedes aegypti
3.5 Definisi Operasional
1. Ekstrak bawang putih adalah larutan dalam air dan memiliki seluruh bahan
yang terkandung dalam tumbuhan segarnya, sebanding dengan material
awalnya, yang tetap tinggal hanyalah bahan yang tidak terlarut.
2. Jumlah kematian larva adalah jumlah larva yang mati dalam setiap
kelompok uji, skala variabel rasio. Kematian larva, larva dianggap mati
apabila : a. Larva diberi rangsangan gerakan air tidak ada respon gerakan. b.
Larva disentuh dengan lidi tidak ada respon gerakan.
3.6 Alat dan Bahan
1. Alat
a. Pisau
b. Blender / Alu
c. Kain
d. Cawan petri
15
f. Gelas ukur
g. Pipet
h. Gelas kimia
2. Bahan
a. Larva Aedes aegypti
b. Ekstrak bawang putih (Allium sativum)
c. Air keran
d. Aquades
3.7 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah ekstrak bawang putih (Allium sativum) yang
digunakan sebagai larvasida terhadap Aedes aegypti.
3.8 Prosedur Penelitian
3.8.1 Persiapan Bahan Uji
Umbi bawang putih mulamula dibersihkan, dikupas kulit luarnya,
kemudian ditumbuk , selanjutnya diperas dan hasil perasan di gunakan sebagai
bahan uji.
3.8.2 Persiapan Hewan Uji
Persiapan hewan uji yaitu larva Aedes aegypti dapat diperoleh dari
genangan air atau tempat aliran air seperti got yang digunakan larva Aedes
aegypti untuk berkembangbiak. Larva Aedes aegypti yang akan digunakan
sebanyak 40 ekor.
16
3.8.3 Perlakuan Hewan Uji
Larva Aedes aegypti dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol
dan 3 kelompok perlakuan. Pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum)
pada larva Aedes aegypti dengan konsentrasi yang berbeda.
3.9 Metode Pengumpulan Data
Ditentukan konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum) yang akan
digunakan. Konsentrasi tersebut adalah 0% (kontrol), 30%, 40%, dan 50%. Hal ini
mengacu pada penelitian tentang toksisitas ekstrak bawang putih (Allium sativum)
sebagai larvasida nabati pembasmi larva nyamuk Aedes aegypti. ekstrak bawang
putih (Allium sativum) diambil dengan pipet ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas
ukur. Pada cawan petri dimasukkan 10 ekor larva Aedes aegypti. Pengamatan
dilakukan dengan persentase kematian larva selama 1 jam dengan melihat menit
keberapa larva Aedes aegypti mengalami kematian.
Volume air perasan kulit jeruk manis yang diambil dihitung dengan rumus
pengenceran sebagai berikut:
V1. M2 = V2. M2
Keterangan: V1 = Volume larutan mula-mula
M1 = Kosentrasi larutan mula-mula
V2 = Volume larutan sesudah diencerkan
M2 = Konsentrasi larutan sesudah diencerkan
17
Tabel 2. Komposisi air perasan kulit jeruk manis dan air keran pada
Konsentrasi 0% 20%, 30%, 40%, dan 50%.
Konsentrasi % Komposisi
ekstrak bawang putih
(Allium sativum) (ml)
Aquades (ml)
0 0 10
30 3 7
40 4 6
50 5 5
3.10 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan
teknik analisis data statistik. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F
menggunakan analisis of varians (ANOVA) untuk melihat ada tidaknya pengaruh
pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap kematian larva Aedes
aegypti yaitu dilakukan terlebih dahulu uji prasyarat parametrik yaitu dengan uji
normalitas dan uji homogenitas jika hasil analisis of varians (ANOVA)
menunjukan bahwa pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap
kematian larva Aedes aegypti. Maka uji dilanjutkan dengan uji BNT untuk melihat
akibat perbedaan konsentrasi terdapat pengaruh kematian larva Aedes aegypti.
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah larutan bawang putih
memiliki pengaruh terhadap larva Aedes aegypti. Pada larva Aedes aegypti ini
diberikan 3 macam perlakuan dan 1 kontrol. Perlakuan yang diberikan berupa
ekstrak bawang putih dengan kosentrasi yang berbeda yaitu 30%, 40%, dan 50%,
untuk kelompok kontrol larva hanya diberi aquades. Hal ini dilakukan untuk
kemugkinan larva mati disebabkan oleh aquades. Pada hasil tidak terdapat larva
yang mati sehingga aquades dianggap tidak memiliki sifat larvasida terhadap
Aedes sp.
Pada hasil dapat dilihat konsentrasi larutan bawang putih terendah yang
menimbulkan efek larvasida yaitu 30 % dengan rata-rata jumlah larva yang mati
sebanyak 70 %. Pada konsentrasi 40 % dengan rata-rata jumlah larva yang mati
sebanyak 90 %, dan pada konsentrasi 50 % menyebabkan jumlah larva mati
sebanyak 100%. Sedangkan untuk kontrol tidak menyebabkan larva mati.
Perhitungan larva yang mati di lakukan setelah 1 jam perlakuan, maka di
dapatkan hasil seperti pada tabel berikut.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Tingkat Kematian larva
Konsentrasi
(%)
Jumlah larva
perlakuan
Menit ke- Persen
motralitas
(%)
15 30 45 60
0 10 0 0 0 0 0
30 10 2 4 6 7 70
40 10 4 6 7 9 90
50 10 6 8 10 10 100
19
Berdasarkan tabel tersebut, konsentrasi yang terendah adalah 30 % dapat
membunuh larva Aedes sp sebanyak rata-rata 70 % dalam waktu 1 jam setelah
perlakuan. Sedangkan konsentrasi yang tertinggi adalah 50 % dalam 1 jam
setelah perlakuan dapat membunuh rata-rata 100%.
Gambar 2. Grafik kematian larva nyamuk Aedes sp.
Berdasarkan grafik di atas, konsentrasi ekstrak bawang putih dengan
konsentrasi 30%, dapat mengakibatkan jumlah larva yang mati pada menit ke 15
yaitu 2 ekor larva, menit ke 30 yaitu 4 ekor larva, menit ke 45 yaitu 6 ekor larva,
dan menit ke 60 yaitu 7 ekor larva selama selang waktu 1 jam. Pada konsentrasi
40% dalam 1 jam setelah perlakuan dapat mengakibatkan jumlah larva yang mati
pada menit ke 15 yaitu 4 ekor larva, menit ke 30 yaitu 6 ekor larva, menit ke 45
yaitu 7 ekor larva, dan menit ke 60 yaitu 9 ekor larva. Untuk kosentrasi yang
paling tinggi yaitu 50% kematian jumlah larva sangat cepat dimana menit ke 15
0
2
4
6
8
10
12
15 30 45 60
INDIVIDUYANGMATI
WAKTU (MENIT)
Kontrol
30%
40%
50%
20
yaitu 6 ekor, menit ke 30 yaitu 8 ekor, dan menit ke 45 dan 60 keseluruhan larva
yang berjumlah 10 ekor telah mati.
Adapun rata-rata kematian larva Aedes sp perlakuan disajikan pada
Gambar 3.
Gambar 3. Grafik rata-rata kematian larva sesuai dengan konsentrasi
Gambar 3 menunjukkan kenaikan tingkat konsentrasi diikuti pula dengan
kenaikkan rata-rata kematian larva. Hal ini menunjukkan hubungan yang linier
yang berarti semakin besar konsentrasi larutan bawang putih maka semakin tinggi
pula kematian larva Aedes sp. Pada Tabel juga dapat dilihat bahwa pada
kelompok kontrol tidak didapatkan adanya larva yang mati. Hal ini berbeda
dengan kelompok perlakuan yang didapatkan adanya larva yang mati.
Ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan. Pada tabel didapatkan hasil yang bervariasi dimana jumlah larva mati
pada setiap konsentrasi tidak terlalu sama antar kelompok. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya perbedaan sensifitas masing-masing larva uji. Variabel
0
30
40
50
0
20
40
60
80
100
1
0
30
40
50
21
pengganggu yang tidak diteliti seperti kondisi masing-masing larva yang berbeda
sebelum dimasukkan ke dalam penelitian mungkin juga dapat mempengaruhi
sensifitas larva terhadap perlakuan pemberian larutan bawang putih. Variabel
pengganggu lainnya dapat juga berupa trauma yang dialami larva pada saat
pengambilan sehingga dapat memudahkan kematian larva walaupun hanya
dengan konsentrasi kecil. Adanya trauma pada larva dapat dilihat dengan
mengamati gerak larva. Jika larva sudah tidak dapat bergerak aktif maka larva
tersebut harus diganti dengan larva yang lain yang masih dapat bergerah secara
aktif.
Bawang putih segar mengandung aliin (S-allil-L- sistein sulfoksida)
senyawa yang tidak berbau dan tidak memiliki aktifitas biologi. Jika jaringan
bawang putih rusak dengan adanya enzin allinase mengubah alliin menjadi
allicin, senyawa yang diduga bertanggung jawab atas aktivitas farmakologi
bawang putih. Oksidasi allicin dengan adanya udara mengubah allicin menjadi
1,7-ditiaokta-4,5-diena sebagai dialil-disulfida yang merupakan konstituen utama
dari minyak bawang putih. Mekanisme larvasida dari bawang putih diduga
diperankan oleh zat aktif yang terkandung didalamnya. Allicin bekerja dengan
cara mengganggu sintesis membran sel parasit sehingga parasit tidak dapat
berkembang lebih lanjut. Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasit maupun
bakteri. Allicin bekerja dengan merusak Aulfhidril (SH) yang terdapat pada
protein. Diduga struktur membran sel larva terdiri dari protein dengan Sulfhidril.
Allicin akan merusak membran sel larva sehingga terjadi lisis. Toksisitas Allicin
22
tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki Gluthathione
yang dapat melindungi sel mamalia dari efek Allicin.
Garlic oil bekerja dengan mengubah tegangan permukaan air sehingga
larva mengalami kesulitan untuk mengambil udara dari permukaan air. Hal ini
diduga menyebabkan larva tidak mendapat cukup oksigen untuk pertumbuhannya
sehingga menyebabkan kematian larva. Berdasarkan mekanisme tersebut maka
Allicin dapat menghambat perkembangan larva instar 3 menjadi larva instar 4
atau larva instar 4 tidak akan berubah menjadi pupa dan akhirnya akan mati
karena membrane selnya telah rusak.
Kandungan dari bawang putih lain yang diduga berperan dalam kematian
larva adalah Flavonoid. Zat ini bekerja sebagai inhibitor pernapasan. Flavonoid
diduga menggaggu metabolism energi di dalam mitokondria dengan menghambat
sistem pengangkutan electron.Adanya hambatan pada sistem pengangkutan
elektron akan menghalangi produksi ATP dan menyebabkan penurunan
pemakaian oksigen oleh mitokondria.
Dengan demikian penelitian ini telah dapat membukikan bahwa pemberian
larutan bawang putih (Allium sativum) memberikan pengaruh signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dan terdapat korelasi yang kuat
antara konsentarsi larutan bawang putih dengan jumlah larva Aedes sp yang mati
dengan hubungan yang berbanding lurus yang berarti jika konsentrasi bawang
putih ditingkatkan maka jumlah larva Aedes sp yang mati juga akan meningkat.
23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Larutan bawang putih (Allium sativum) berpengaruh terhadap kematian
larva Aedes sp, sedangkan pada aquadest tidak mempengaruhi kematian
larva.
2. Terdapat hubungan berbanding lurus antara peningkatan konsentrasi
larutan bawang putih dengan jumlah larva Aedes sp yang mati.
3. Konsentrasi 30%, 40%,50% dapat membunuh larva secara efektif karena
jumlah larva yang mati lebih dari 50%.
5.2 SARAN
1. Pada penelitian selanjutnya hendaknya menggunakan larva coba dengan
jumlah yang lebih banyak supaya data yang didapat lebih representative.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai lama dari pengaruh
larutan bawang putih terhadap larva Aedes sp.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kriteria efektif
konsentrasi larutan bawang putih.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara pengelolahan
bawang putih yang lebih aplikatif sehingga hasilnya dapat disosialisasikan
kepada masyarakat.
24
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti
mengenai kandungan dalam bawang putih yang bekerja sebagai larvasida
Aedes sp.
25
DAFTAR PUSTAKA
Aradilla, A. S., 2009, Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba
(Azadirachta indica) Terhadap Larva Aedes aegypti, Skripsi Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang.
Daniel, 2008, Ketika Larva dan Nyamuk Dewasa Sudah Kebal Terhadap
Insektisida, Farmacia Vol,7 No,7, 2008.
Depkes RI Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue disarana pelayanan
kesehatan. Jakarta Departemen Kesehatan RI;2005 .
Faiqotul, 2011. Uji Efektivitas Antara Ekstrak Daun Tumbuhan Tapak Dara
(Catharanthus roseus) dan Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)
Sebagai Biolarvasida Instrar III Nyamuk Aedes aegypti. Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya
Katria, Yuniastuti. 2006. Ekstraksi dan identifikasi komponen Sulfida pada
bawang putih ( allium sativum ). FMIPA, Universitas Negeri Semarang.
Noor, Nasry. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, PT. Rineka Cipta:
Jakarta.
Ray Burton; Rita Tjokropranoto. 2014. Efek Infusa Bawang Putih (Allium
sativum) Sebagai Larvasida Nyamuk Culex sp. serta Penentuan LD50-
nya. Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. Bandung.
Simone P M, Sumampouw; Victor D, Pijoh; Greta J P, Wahongan. 2014.
Pengaruh Larutan Bawang Putih (Allium Sativum) Pada Larva Aedes
Spp Di Kecamatan Malalayang Kota Manado. Fakultas Kedokteran,
Universitas Samratulangi, Manado.
Suharti C. Dengue Hemorrhagic Fever in indonesia ; role of cytokine in plasma
leakeage, coagulation and fibrinolysis. Nejmegen University press
2001.
Vishnu-Priya Sneller, R. H. Dadd. 1981. Lecithin in synthetic larval diet for
Aedes aegypti improves larval and adult performance. Volume 29,
Number 1. Springer Netherlands. Netherlands.

More Related Content

What's hot

Pengendalian nyamuk culex sp
Pengendalian nyamuk culex spPengendalian nyamuk culex sp
Pengendalian nyamuk culex sp
Nuris Mauliddah
 
Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)
Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)
Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)
Bahrul Singo
 
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpictLAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
Ilmianisa Azizah
 
class nematoda(Smk duta pratama indonesia)
class nematoda(Smk duta pratama indonesia)class nematoda(Smk duta pratama indonesia)
class nematoda(Smk duta pratama indonesia)
akmallala
 
Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77
sinupid
 

What's hot (20)

Arthropoda penyebab penyakit
Arthropoda penyebab penyakitArthropoda penyebab penyakit
Arthropoda penyebab penyakit
 
Vektor
VektorVektor
Vektor
 
Pengendalian nyamuk culex sp
Pengendalian nyamuk culex spPengendalian nyamuk culex sp
Pengendalian nyamuk culex sp
 
Bioekologi dan morfologi 1
Bioekologi dan morfologi 1Bioekologi dan morfologi 1
Bioekologi dan morfologi 1
 
Trichinella spiralis
Trichinella spiralisTrichinella spiralis
Trichinella spiralis
 
Makalah cacing
Makalah cacingMakalah cacing
Makalah cacing
 
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralisPPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
PPT parasitologi - strongiloides stercoralis & trichinella spiralis
 
perkembangbiakan nyamuk
perkembangbiakan nyamukperkembangbiakan nyamuk
perkembangbiakan nyamuk
 
Protozoa [Protista Mirip Hewan]
Protozoa [Protista Mirip Hewan]Protozoa [Protista Mirip Hewan]
Protozoa [Protista Mirip Hewan]
 
Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)
Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)
Mengenal siklus hidup cacing kremi (Enterobius vermicularis)
 
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpictLAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
 
5. entomologi
5. entomologi5. entomologi
5. entomologi
 
CILIOPHORA dan SPOROZOA.pptx
CILIOPHORA dan SPOROZOA.pptxCILIOPHORA dan SPOROZOA.pptx
CILIOPHORA dan SPOROZOA.pptx
 
class nematoda(Smk duta pratama indonesia)
class nematoda(Smk duta pratama indonesia)class nematoda(Smk duta pratama indonesia)
class nematoda(Smk duta pratama indonesia)
 
Protozoologi
ProtozoologiProtozoologi
Protozoologi
 
Helmintologi copy
Helmintologi   copyHelmintologi   copy
Helmintologi copy
 
NEMANTHELMINTHES
NEMANTHELMINTHESNEMANTHELMINTHES
NEMANTHELMINTHES
 
Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77Cacing tambang klp 77
Cacing tambang klp 77
 
Pengendalian Vektor Lalat
Pengendalian Vektor LalatPengendalian Vektor Lalat
Pengendalian Vektor Lalat
 
Parasit Endemik di Jawa
Parasit Endemik di JawaParasit Endemik di Jawa
Parasit Endemik di Jawa
 

Similar to Yanto p baba 1 2 3

MAKALAH INSEKTA
MAKALAH  INSEKTAMAKALAH  INSEKTA
MAKALAH INSEKTA
R Januari
 
Penelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintesPenelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintes
Yuga Rahmat S
 
Kingdom Animalia - INSECTA
Kingdom Animalia - INSECTAKingdom Animalia - INSECTA
Kingdom Animalia - INSECTA
Tresya Issura
 
Klasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidupKlasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidup
Nita Mardiana
 

Similar to Yanto p baba 1 2 3 (20)

MAKALAH INSEKTA
MAKALAH  INSEKTAMAKALAH  INSEKTA
MAKALAH INSEKTA
 
Helmintologi
 Helmintologi Helmintologi
Helmintologi
 
Helmintologi
 Helmintologi Helmintologi
Helmintologi
 
Bakteri patogen ppoa pdf
Bakteri patogen ppoa pdfBakteri patogen ppoa pdf
Bakteri patogen ppoa pdf
 
Bakteri patogen ppoa pdf
Bakteri patogen ppoa pdfBakteri patogen ppoa pdf
Bakteri patogen ppoa pdf
 
SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMAN
SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMANSERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMAN
SERANGGA SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT TANAMAN
 
Laporan 2
Laporan 2Laporan 2
Laporan 2
 
MODUL INTERAKTIF - EKTOPARASIT.pdf
MODUL INTERAKTIF - EKTOPARASIT.pdfMODUL INTERAKTIF - EKTOPARASIT.pdf
MODUL INTERAKTIF - EKTOPARASIT.pdf
 
Jurnal DDPT Diptera
Jurnal DDPT DipteraJurnal DDPT Diptera
Jurnal DDPT Diptera
 
Jamur mikroskopis lapsem
Jamur mikroskopis lapsemJamur mikroskopis lapsem
Jamur mikroskopis lapsem
 
Penelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintesPenelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintes
 
Modul Praktikum
Modul Praktikum Modul Praktikum
Modul Praktikum
 
Mengenal Undur Undur
Mengenal Undur UndurMengenal Undur Undur
Mengenal Undur Undur
 
Nemathelminthes (Nematoda)
Nemathelminthes (Nematoda)Nemathelminthes (Nematoda)
Nemathelminthes (Nematoda)
 
pembuatan insektarium dan preparat basah
pembuatan insektarium dan preparat basahpembuatan insektarium dan preparat basah
pembuatan insektarium dan preparat basah
 
Kingdom Animalia - INSECTA
Kingdom Animalia - INSECTAKingdom Animalia - INSECTA
Kingdom Animalia - INSECTA
 
Makalah fungi
Makalah fungiMakalah fungi
Makalah fungi
 
Klasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidupKlasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidup
 
Review mikrobiologi
Review mikrobiologiReview mikrobiologi
Review mikrobiologi
 
Ekologi
EkologiEkologi
Ekologi
 

Recently uploaded (7)

Biokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptx
Biokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptxBiokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptx
Biokimia Gizi 13: Metabolisme Mineral 2024.pptx
 
2. soal ujian sekolah dasar bahasa indonesia.docx
2. soal ujian sekolah dasar bahasa indonesia.docx2. soal ujian sekolah dasar bahasa indonesia.docx
2. soal ujian sekolah dasar bahasa indonesia.docx
 
455797170-PROSES dan metode ELISA-pptx.pptx
455797170-PROSES dan metode ELISA-pptx.pptx455797170-PROSES dan metode ELISA-pptx.pptx
455797170-PROSES dan metode ELISA-pptx.pptx
 
Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)
Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)
Bahasa Arab kelas 4 BAB 6 (kosa kata tentang perlengkapan yang ada di rumah)
 
PENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.ppt
PENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.pptPENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.ppt
PENGEMBANGAN & PERBANYAKAN TRICHODERMA SP.ppt
 
Biokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptx
Biokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptxBiokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptx
Biokimia Gizi 12: Metabolisme Vitamin 2024.pptx
 
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdfTUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
TUGAS MANDIRI 3 _ SKETSA KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA.pdf
 

Yanto p baba 1 2 3

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah besar yang dihadapi indonesia saat ini adalah banyaknya warga yang menderita penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). Awal tahun 2005, tercatat 28.224 kasus demam berdarah terjadi di seluruh indonesia, dengan jumlah kematian 348 orang. Kasus ini meningkat hingga awal oktober 2005, di mana di 33 provinsi mencapai 50. 196 kasus, dengan 70 diantaranya meninggal dunia. Akhir ahun 2006 hingga awal tahun 2007 kasus demam berdarah terjadi lagidi beberapa daerah indonesia (Suharti, 2011). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aides albopictu. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus DBD menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun (Depkes, 2005). Kebijakan penanggulan penyebaran penyakit DBD oleh pemerintah indonesia telah dilakukan dengan berbagai upaya yaitu dengan memutuskan rantai penularan penyakit dari penderita ke vektor kemudian dari vektor kepada orang yang sehat yaitu dengan cara pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Startegi program DBD meliputi: 1. Kewaspadaan dini penyakit DBD, hal ini berguna untuk mencegah dan membatasi terjadinya KLB atau wabah penyakit dengan
  • 2. 2 kegiatan bulan bakti gerakan 3M (menguras tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat tempat penampungan air, dan mengubur atau menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air), 2. Pemberantasan vektor yang dapat dilakukan dengan cara: a. Penyemprotan (fogging) yang difokuskan pada lokasi dimana ditemui kasus b. Penyuluhan gerakan masyarakat dalam PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) DBD melalui penyuluhan dengan pemanfaatan berbagi jalur komunikasi dan informasi yang ada melalui kerja sama lintasan program dan sektor serta dikoordinasi oleh kepala daerah atau wilayah c. Abatisasi dan d. Kerja bakti dengan melakukan 3M (Depkes, 2005). Saat ini larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan larva Aedes aegypti adalah temefos. Namun, penggunaan larvasida dalam waktu lama dapat menyebabkan resistensi. Menurut suatu penelitian telah terjadi resistensi larva Aedes aegypti di surabaya, palembang, dan beberapa wilayah di bandung terhadap temefos. Resistensi larva Aedes aegypti terhadap temefos juga telah dilaporkan terjadi di Brazil, Venezuela, Kuba, French Polynesia, Karabia, Selangor Malaysia. Selain itu, air yang ditaburi temofos menjadi berbau kurang sedap. Temefos juga tidak ramah lingkungan karena temofos dan produk degregasinya sangat persisten dan dapat membunuh zoonplankton (Noor, 2006). Hal ini mendorong untuk untuk dikembangkanya alternatif lain dengan menggunakan bahan alami, misalnya bahan dari tumbuhan sebagai larvasida nabati yang relatif lebih aman karena akan lebih muda terurai (biodegradable) dialam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya muda hilang. Penggunaan toksin yang bersal dari
  • 3. 3 tanaman dapat digunakan untuk pemberantasan larva nyamuk Aedes aegypti karena dalam suatu ekstrak tumbuhan selain beberapa senyawa aktif utama biasanya juga banyak terdapat senyawa lain yang kurang efektip, tapi keberadaanya dapat meningkatkan aktifitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi), hal ini mungkin serangga tidak muda menjadi resisten (Suharti, 2001). Dengan demikian terdapat beberapa kandungan kimia pada bawang putih (Allium Sativum) yaitu saponin, , flavonoid, dan allicin yang dapat berfungsi sebagai larvasida (Simon, 2014). Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin mengadakan penilitian mengenai pengaruh ekstrak bawang putih (Allium Sativum) terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah ekstrak bawang putih (Allium sativum) berpengaruh terhadap kematian larva Aedes aegypti? 2. Apakah pada konsentrasi yang berbeda dapat mempengaruhi jumlah kematian larva Aedes aegypti? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap kematian larva Aedes aegypti. 2. Untuk mengetahui pada konsentrasi yang berbeda dapat mempengaruhi jumlah kematian larva Aedes aegypti.
  • 4. 4 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti.
  • 5. 5 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Klasifikasi Aedes aegypti Kedudukannya nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah : Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Diptera Sub Ordo : Nematocera Infra Ordo : Culicomorpha Superfamili : Culicoidea Famili : Culicidae Sub famili : Culicinae Genus : Aedes Spesies : Aedes aegypti 2.1.2 Morfologi Nyamuk A. aegypti L Nyamuk A. aegypti L (Diptera: Culicidae) disebut black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk A. aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna (holometabola). Berikut adalah morfologi dari masing- masing tahap dan perkembangan nyamuk A. aegypti: 1. Telur Telur berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 2,5 - 0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air.
  • 6. 6 Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh di permukaan air. 2. Larva Tubuh larva memanjang tanpa kaki dengan bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturutturut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5 m- 3,9 mm, duri dada belum jelas dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi kepala (chepal), dada (thorax) dan perut (abdomen). Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duriduri dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada seberkas bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam satu baris. Gigi-gigi sisir dengan lengkungan yang jelas membentuk gerigi.
  • 7. 7 Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air. 3. Pupa Pupa bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-dada (chepalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air. 4. Dewasa Nyamuk A. aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagaian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose. Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, porothorax, mesothorax dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis) dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia
  • 8. 8 kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambara garisgaris putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk:lyre) pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk A. aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya (Soegijanto, 2006). 2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk A. aegypti Telur nyamuk A. aegypti di dalam air dengan suhu 20°-40°C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Soegijanto, 2006). 2.1.4 Distribusi Nyamuk A. aegypti Nyamuk A. aegypti merupakan spesies nyamuk tropis dan subtropis yang banyak ditemukan antara garis lintang 35°U dan 35°S. Distribusi nyamuk ini dibatasi oleh ketinggian, biasanya tidak dapat dijumpai pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m, meski pernah ditemukan pada ketinggian 2.121 m di India dan 2.200 di Kolombia (Ginanjar, 2008).
  • 9. 9 2.1.5 Bawang Putih ( Allium sativum L) Klasifikasi ilmiah atau toksonomi daribawang putih adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Ordo : Asparagales Family : Alliaceae Subfamili : Allioideae Genus : Allium Spesies : Allium sativum 2.1.6 Kandungan dan Kegunaan Bawang Putih Bawang putih digunakan sejak ribuan tahun yang lalu, sehingga tercatat di dalam buku Mesir Kuno bahwa bawang putih ini dapat menghilangkan nyeri gigi. Digunakan dalam bentuk pasta, kemudian dioleskan pada daerah yang sakit untuk menghilangkan nyeri. Komponen utama bawang putih tidak berbau, disebut komplek sativumin, yang diabsorbsi oleh glukosa dalam bentuk aslinya untuk mencegah proses dekomposisi. Dekomposisi kompleks sativumin ini menghasilkan bau khas yang tidak sedap dari allyl sulfide, allyl disulfate, allyl mercaptane, alun allicin dan alliin. Komponen kimia ini mengandung sulfur. Sulfur merupakan komponen penting yang terkandung dalam bawang putih(Katria, 2006).
  • 10. 10 Adapun komponen aktif bawang putih sativumin adalah allicin, scordinine glycoside, scormine, thiocornim, scordinine A dan B, creatinine, methionine, homocystein, vitamin B, vitamin C, niacin, s-ade nocyl methionine, S-S bond (benzoyl thiamine disulfide), dan organic germanium yang masing-masing mempunyai kegunaan berbeda. Baik allin maupun allinase, keduanya cukup stabil ketika kering sehingga bawang putih kering masih dapat berpotensi untuk menghasilkanallicin ketika dilembabkan. Akan tetapi, allicin sendiri juga tidak stabil dalam panas ataupun pelarut organik yang akan terurai menjadi beberapa komponen, yaitu diallyl sulfides(Katria, 2006). Gambar 1. Rumus Bangun Allicin dan Komponen Lainnya Dalam pengobatan, bawang putih digunakan sebagai antimikroba, antiinflmasi, antiplasmodik, antiseptik, bakteriostatik, antiviral, dan antihipertensi. Secara tradisional, bawang putih biasa digunakan untuk mengobati bronkitis kronik, asma bronkitis,respiratory catarh, dan influenza(Ray, 2014).
  • 11. 11 Tabel 1. Kandungan gizi 100 gr bawang putih Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1979 dalam Santoso, 1989 2.2 Kerangka Berpikir Bawang Putih Allicin Flavonoid Merusak membran sel larva Tidak dapat berkembang ke stadium pupa Penurunan ketersediaan energi Menurunkan nafsu makan larva Steroid saponins Merusak membran sel larva dan berasa pahit Menginaktivasi kerja enzim pada metabolisme sel Larva Aedes aegypty Mati Inhibitor pernapasan
  • 12. 12 2.3 Hipotesis 1. Terdapat pengaruh ekstrak bawang putih terhadap kematian larva Aedes aegypti. 2. Pada konsentrasi yang berbeda dapat mempengaruhi jumlah kematian larva Aedes aegypti.
  • 13. 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, yaitu penelitian dengan memberikan perlakuan atau manipulasi kepada subjek penelitiannya dan observasi dilakukan untuk membuktikan adanya efek dari perlakuan yang dilakukan di laboratorium. 3.2 Waku dan Tempat Peneliian 3.2.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan Mei 2015. 3.2.2 Tempat Penelitian Penelitian ini akan diakukan di Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo. 3.3 DesainPenelitian Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian post test only controlled group design yaitu melihat tingkat kematian larva Aedes aegypti setelah diberikan perlakuan pada konsentrasi yang berbeda. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan. Penentuan dosis perlakun berdasarkan penelitian sebelumnya oleh kelompok perlakuan tersebut terdiri dari: KP I : Kelompok perlakuan yang tidak diberi konsentrasi (kontrol)
  • 14. 14 KP II : Kelompok perlakuan yang diberi perlakuan dengan konsentrasi air perasan kulit jeruk manis 30 % KP III : Kelompok perlakuan yang diberi perlakuan dengan konsentrasi air perasan kulit jeruk manis 40 % KP IV : Kelompok perlakuan yang diberi perlakuan dengan konsentrasi air perasan kulit jeruk manis 50 % 3.4 Variabel 1. Variabel X : Ekstrak bawang putih 2. Variabel Y : Jumlah kematian larva Aedes aegypti 3.5 Definisi Operasional 1. Ekstrak bawang putih adalah larutan dalam air dan memiliki seluruh bahan yang terkandung dalam tumbuhan segarnya, sebanding dengan material awalnya, yang tetap tinggal hanyalah bahan yang tidak terlarut. 2. Jumlah kematian larva adalah jumlah larva yang mati dalam setiap kelompok uji, skala variabel rasio. Kematian larva, larva dianggap mati apabila : a. Larva diberi rangsangan gerakan air tidak ada respon gerakan. b. Larva disentuh dengan lidi tidak ada respon gerakan. 3.6 Alat dan Bahan 1. Alat a. Pisau b. Blender / Alu c. Kain d. Cawan petri
  • 15. 15 f. Gelas ukur g. Pipet h. Gelas kimia 2. Bahan a. Larva Aedes aegypti b. Ekstrak bawang putih (Allium sativum) c. Air keran d. Aquades 3.7 Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah ekstrak bawang putih (Allium sativum) yang digunakan sebagai larvasida terhadap Aedes aegypti. 3.8 Prosedur Penelitian 3.8.1 Persiapan Bahan Uji Umbi bawang putih mulamula dibersihkan, dikupas kulit luarnya, kemudian ditumbuk , selanjutnya diperas dan hasil perasan di gunakan sebagai bahan uji. 3.8.2 Persiapan Hewan Uji Persiapan hewan uji yaitu larva Aedes aegypti dapat diperoleh dari genangan air atau tempat aliran air seperti got yang digunakan larva Aedes aegypti untuk berkembangbiak. Larva Aedes aegypti yang akan digunakan sebanyak 40 ekor.
  • 16. 16 3.8.3 Perlakuan Hewan Uji Larva Aedes aegypti dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) pada larva Aedes aegypti dengan konsentrasi yang berbeda. 3.9 Metode Pengumpulan Data Ditentukan konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum) yang akan digunakan. Konsentrasi tersebut adalah 0% (kontrol), 30%, 40%, dan 50%. Hal ini mengacu pada penelitian tentang toksisitas ekstrak bawang putih (Allium sativum) sebagai larvasida nabati pembasmi larva nyamuk Aedes aegypti. ekstrak bawang putih (Allium sativum) diambil dengan pipet ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur. Pada cawan petri dimasukkan 10 ekor larva Aedes aegypti. Pengamatan dilakukan dengan persentase kematian larva selama 1 jam dengan melihat menit keberapa larva Aedes aegypti mengalami kematian. Volume air perasan kulit jeruk manis yang diambil dihitung dengan rumus pengenceran sebagai berikut: V1. M2 = V2. M2 Keterangan: V1 = Volume larutan mula-mula M1 = Kosentrasi larutan mula-mula V2 = Volume larutan sesudah diencerkan M2 = Konsentrasi larutan sesudah diencerkan
  • 17. 17 Tabel 2. Komposisi air perasan kulit jeruk manis dan air keran pada Konsentrasi 0% 20%, 30%, 40%, dan 50%. Konsentrasi % Komposisi ekstrak bawang putih (Allium sativum) (ml) Aquades (ml) 0 0 10 30 3 7 40 4 6 50 5 5 3.10 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan teknik analisis data statistik. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F menggunakan analisis of varians (ANOVA) untuk melihat ada tidaknya pengaruh pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap kematian larva Aedes aegypti yaitu dilakukan terlebih dahulu uji prasyarat parametrik yaitu dengan uji normalitas dan uji homogenitas jika hasil analisis of varians (ANOVA) menunjukan bahwa pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap kematian larva Aedes aegypti. Maka uji dilanjutkan dengan uji BNT untuk melihat akibat perbedaan konsentrasi terdapat pengaruh kematian larva Aedes aegypti.
  • 18. 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah larutan bawang putih memiliki pengaruh terhadap larva Aedes aegypti. Pada larva Aedes aegypti ini diberikan 3 macam perlakuan dan 1 kontrol. Perlakuan yang diberikan berupa ekstrak bawang putih dengan kosentrasi yang berbeda yaitu 30%, 40%, dan 50%, untuk kelompok kontrol larva hanya diberi aquades. Hal ini dilakukan untuk kemugkinan larva mati disebabkan oleh aquades. Pada hasil tidak terdapat larva yang mati sehingga aquades dianggap tidak memiliki sifat larvasida terhadap Aedes sp. Pada hasil dapat dilihat konsentrasi larutan bawang putih terendah yang menimbulkan efek larvasida yaitu 30 % dengan rata-rata jumlah larva yang mati sebanyak 70 %. Pada konsentrasi 40 % dengan rata-rata jumlah larva yang mati sebanyak 90 %, dan pada konsentrasi 50 % menyebabkan jumlah larva mati sebanyak 100%. Sedangkan untuk kontrol tidak menyebabkan larva mati. Perhitungan larva yang mati di lakukan setelah 1 jam perlakuan, maka di dapatkan hasil seperti pada tabel berikut. Tabel 2. Hasil Perhitungan Tingkat Kematian larva Konsentrasi (%) Jumlah larva perlakuan Menit ke- Persen motralitas (%) 15 30 45 60 0 10 0 0 0 0 0 30 10 2 4 6 7 70 40 10 4 6 7 9 90 50 10 6 8 10 10 100
  • 19. 19 Berdasarkan tabel tersebut, konsentrasi yang terendah adalah 30 % dapat membunuh larva Aedes sp sebanyak rata-rata 70 % dalam waktu 1 jam setelah perlakuan. Sedangkan konsentrasi yang tertinggi adalah 50 % dalam 1 jam setelah perlakuan dapat membunuh rata-rata 100%. Gambar 2. Grafik kematian larva nyamuk Aedes sp. Berdasarkan grafik di atas, konsentrasi ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 30%, dapat mengakibatkan jumlah larva yang mati pada menit ke 15 yaitu 2 ekor larva, menit ke 30 yaitu 4 ekor larva, menit ke 45 yaitu 6 ekor larva, dan menit ke 60 yaitu 7 ekor larva selama selang waktu 1 jam. Pada konsentrasi 40% dalam 1 jam setelah perlakuan dapat mengakibatkan jumlah larva yang mati pada menit ke 15 yaitu 4 ekor larva, menit ke 30 yaitu 6 ekor larva, menit ke 45 yaitu 7 ekor larva, dan menit ke 60 yaitu 9 ekor larva. Untuk kosentrasi yang paling tinggi yaitu 50% kematian jumlah larva sangat cepat dimana menit ke 15 0 2 4 6 8 10 12 15 30 45 60 INDIVIDUYANGMATI WAKTU (MENIT) Kontrol 30% 40% 50%
  • 20. 20 yaitu 6 ekor, menit ke 30 yaitu 8 ekor, dan menit ke 45 dan 60 keseluruhan larva yang berjumlah 10 ekor telah mati. Adapun rata-rata kematian larva Aedes sp perlakuan disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Grafik rata-rata kematian larva sesuai dengan konsentrasi Gambar 3 menunjukkan kenaikan tingkat konsentrasi diikuti pula dengan kenaikkan rata-rata kematian larva. Hal ini menunjukkan hubungan yang linier yang berarti semakin besar konsentrasi larutan bawang putih maka semakin tinggi pula kematian larva Aedes sp. Pada Tabel juga dapat dilihat bahwa pada kelompok kontrol tidak didapatkan adanya larva yang mati. Hal ini berbeda dengan kelompok perlakuan yang didapatkan adanya larva yang mati. Ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Pada tabel didapatkan hasil yang bervariasi dimana jumlah larva mati pada setiap konsentrasi tidak terlalu sama antar kelompok. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan sensifitas masing-masing larva uji. Variabel 0 30 40 50 0 20 40 60 80 100 1 0 30 40 50
  • 21. 21 pengganggu yang tidak diteliti seperti kondisi masing-masing larva yang berbeda sebelum dimasukkan ke dalam penelitian mungkin juga dapat mempengaruhi sensifitas larva terhadap perlakuan pemberian larutan bawang putih. Variabel pengganggu lainnya dapat juga berupa trauma yang dialami larva pada saat pengambilan sehingga dapat memudahkan kematian larva walaupun hanya dengan konsentrasi kecil. Adanya trauma pada larva dapat dilihat dengan mengamati gerak larva. Jika larva sudah tidak dapat bergerak aktif maka larva tersebut harus diganti dengan larva yang lain yang masih dapat bergerah secara aktif. Bawang putih segar mengandung aliin (S-allil-L- sistein sulfoksida) senyawa yang tidak berbau dan tidak memiliki aktifitas biologi. Jika jaringan bawang putih rusak dengan adanya enzin allinase mengubah alliin menjadi allicin, senyawa yang diduga bertanggung jawab atas aktivitas farmakologi bawang putih. Oksidasi allicin dengan adanya udara mengubah allicin menjadi 1,7-ditiaokta-4,5-diena sebagai dialil-disulfida yang merupakan konstituen utama dari minyak bawang putih. Mekanisme larvasida dari bawang putih diduga diperankan oleh zat aktif yang terkandung didalamnya. Allicin bekerja dengan cara mengganggu sintesis membran sel parasit sehingga parasit tidak dapat berkembang lebih lanjut. Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasit maupun bakteri. Allicin bekerja dengan merusak Aulfhidril (SH) yang terdapat pada protein. Diduga struktur membran sel larva terdiri dari protein dengan Sulfhidril. Allicin akan merusak membran sel larva sehingga terjadi lisis. Toksisitas Allicin
  • 22. 22 tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki Gluthathione yang dapat melindungi sel mamalia dari efek Allicin. Garlic oil bekerja dengan mengubah tegangan permukaan air sehingga larva mengalami kesulitan untuk mengambil udara dari permukaan air. Hal ini diduga menyebabkan larva tidak mendapat cukup oksigen untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan kematian larva. Berdasarkan mekanisme tersebut maka Allicin dapat menghambat perkembangan larva instar 3 menjadi larva instar 4 atau larva instar 4 tidak akan berubah menjadi pupa dan akhirnya akan mati karena membrane selnya telah rusak. Kandungan dari bawang putih lain yang diduga berperan dalam kematian larva adalah Flavonoid. Zat ini bekerja sebagai inhibitor pernapasan. Flavonoid diduga menggaggu metabolism energi di dalam mitokondria dengan menghambat sistem pengangkutan electron.Adanya hambatan pada sistem pengangkutan elektron akan menghalangi produksi ATP dan menyebabkan penurunan pemakaian oksigen oleh mitokondria. Dengan demikian penelitian ini telah dapat membukikan bahwa pemberian larutan bawang putih (Allium sativum) memberikan pengaruh signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dan terdapat korelasi yang kuat antara konsentarsi larutan bawang putih dengan jumlah larva Aedes sp yang mati dengan hubungan yang berbanding lurus yang berarti jika konsentrasi bawang putih ditingkatkan maka jumlah larva Aedes sp yang mati juga akan meningkat.
  • 23. 23 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN 1. Larutan bawang putih (Allium sativum) berpengaruh terhadap kematian larva Aedes sp, sedangkan pada aquadest tidak mempengaruhi kematian larva. 2. Terdapat hubungan berbanding lurus antara peningkatan konsentrasi larutan bawang putih dengan jumlah larva Aedes sp yang mati. 3. Konsentrasi 30%, 40%,50% dapat membunuh larva secara efektif karena jumlah larva yang mati lebih dari 50%. 5.2 SARAN 1. Pada penelitian selanjutnya hendaknya menggunakan larva coba dengan jumlah yang lebih banyak supaya data yang didapat lebih representative. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai lama dari pengaruh larutan bawang putih terhadap larva Aedes sp. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kriteria efektif konsentrasi larutan bawang putih. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara pengelolahan bawang putih yang lebih aplikatif sehingga hasilnya dapat disosialisasikan kepada masyarakat.
  • 24. 24 5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti mengenai kandungan dalam bawang putih yang bekerja sebagai larvasida Aedes sp.
  • 25. 25 DAFTAR PUSTAKA Aradilla, A. S., 2009, Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica) Terhadap Larva Aedes aegypti, Skripsi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang. Daniel, 2008, Ketika Larva dan Nyamuk Dewasa Sudah Kebal Terhadap Insektisida, Farmacia Vol,7 No,7, 2008. Depkes RI Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue disarana pelayanan kesehatan. Jakarta Departemen Kesehatan RI;2005 . Faiqotul, 2011. Uji Efektivitas Antara Ekstrak Daun Tumbuhan Tapak Dara (Catharanthus roseus) dan Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) Sebagai Biolarvasida Instrar III Nyamuk Aedes aegypti. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya Katria, Yuniastuti. 2006. Ekstraksi dan identifikasi komponen Sulfida pada bawang putih ( allium sativum ). FMIPA, Universitas Negeri Semarang. Noor, Nasry. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, PT. Rineka Cipta: Jakarta. Ray Burton; Rita Tjokropranoto. 2014. Efek Infusa Bawang Putih (Allium sativum) Sebagai Larvasida Nyamuk Culex sp. serta Penentuan LD50- nya. Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. Bandung. Simone P M, Sumampouw; Victor D, Pijoh; Greta J P, Wahongan. 2014. Pengaruh Larutan Bawang Putih (Allium Sativum) Pada Larva Aedes Spp Di Kecamatan Malalayang Kota Manado. Fakultas Kedokteran, Universitas Samratulangi, Manado. Suharti C. Dengue Hemorrhagic Fever in indonesia ; role of cytokine in plasma leakeage, coagulation and fibrinolysis. Nejmegen University press 2001. Vishnu-Priya Sneller, R. H. Dadd. 1981. Lecithin in synthetic larval diet for Aedes aegypti improves larval and adult performance. Volume 29, Number 1. Springer Netherlands. Netherlands.