Upacara adat Kariya merupakan tradisi penting bagi masyarakat Muna. Terdiri dari beberapa tahapan awal yaitu pengambilan air, pinang, dan bunga secara khusus untuk mempersiapkan pelaksanaan upacara. Air diambil menggunakan bambu, sedangkan pinang dan bunga diambil dengan konsentrasi penuh.
1. “PROSES AWAL PELAKSANAAN UPACARA
KARIYA”
ANGGOTA KELOMPOK 1 :
1. ALMASARI CHANYTA
2. FARADHIBA BAFADAL
3. NUR AYNUL YUSRAN
4. LUTFI APRIANTO
5. WD MELLY SAMARINDA
6. REFY HERDIANSYAH
2. Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas limpahan Rahmat-Nya kami semua masih
diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini. Yang berjudul “PROSES AWAL PELAKSANAAN
UPACARA
KARIYA”
diharapkan
kepada
Dengan
semua
adanya
siswa
materi
dapat
makalah
memahami
ini
dan
mengaplikasikan hal – hal positif yang dapat membawa perubahan
dalam kehidupannya.
Tak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada guru mata pelajaran Mulok, karena telah mempercayai
kami untuk menysun materi makalah ini. Adapun kritik dan saran
kami harapkan untuk menjadi motifasi kami di dalam pembuatan
makalah selanjutnya.
Raha 22 Januari 2013
3. Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata pangantar
.........................................ii
Daftar isi
.........................................iii
BAB I.Pendahuluan
A.Latar belakang
..........................1
B.Tujuan
..........................2
C. Rumusan masalah.
..........................2
BAB II.Pembahasan
“Proses Awal Pelaksanaan Upacara Kariya (pingitan)”..............3-6
BAB III.Penutup
A. Kesimpulan
.........................................7
B. Saran
.........................................7
C.DAFTAR PUSTAKA
.........................................8
4. iii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Kariya adalah upacara adat bagi masyarakat Muna yang
pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Raja La Ode
Husein yang bergelar Omputo Sangia terhadap putrinya yang
bernama Wa Ode Kamomono Kamba.
Dalam kaitanya dengan konsepsi keagamaan bahwa Kariya
merupakan proses yang berkepanjangan yang diawali dengan
kangkilo(sunat),
katoba(pengislaman),
hingga
pada
saat
pelaksanaan kariya.
Upacara kariya merupakan evaluasi dari seluruh pakaian
rohani bagi perempuan karena setelah upacara kariya maka
wanita dianggap telah matang. Oleh sebab itu, setelah proses
Kariya selesai maka perempuan lahir bagaikan kertas putih
dan memahami seluk beluk kehidupan duniawi khususnya
5. berkaitan dengan kehidupan berumah tangga menuju pada
pembentukan keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah.
B.Tujuan
1.
Untuk mengetahui proses awal upacara Kariya.
2.
Untuk dapat mengetahui kebudayaan masyarakat Muna
agar tetap dilestarikan.
C.Rumusan masalah
1. Apakah kegiatan upacara Kariya memilki nilai – nilai yang
dapat dijadikan pedoman hidup?
2. Apa saja tahapan – tahapan dalam pelaksanaan upacara
kariya !
3. Apa
perbedaan
antara
kariya
pada
saat
zaman
pemerintahan para Raja –raja dengan yang proses kariya
yang sekarang?
6. BAB II
Pembahasan
Proses Awal Pelaksanaan Upacara Kariya (Pingitan)
Kariya (pingitan) adalah salah satu bentuk kebudayaan
masyarakat Muna yang tetap dilestarikan sampai saat ini.
Walaupun bentuk dan cara pelaksanaannya sudah sedikit
melenceng dari nilai – nilai keasliannya. Hal ini terjadi sebagai
konsekwensi karena budaya Kariya tidak ada panduan yg dapat
dipedomani, kecuali hanya mengandalkan cerita, penglihatan,
dan pendengaran – pendengaran. Kegiatan upacara adat Kariya
adalah proses panjang yang harus dilewati setahap demi
setahap, oleh karena pada pembahasan ini konsentrasi pada
proses awal dari pelaksanaannya dengan tahapan – tahapan
sebagai berikut :
1. Kaalano Oe Kaghombo (Pengambilan Air yang Dipingit).
Pengambilan air untuk mengawali proses pelaksanaan
upacara Kariya adalah mengambil air yang akan di ghombo
bersama peserta Kariya (pingitan). Air tidak diambil dalam
7. rumah atau di bak mandi, tetapi ditempat khusus untuk
pengambilannya. Dimasa lalu, air yang dimaksud hanya boleh
diambil di sebuah tempat yaitu Kali Laende, sebagai mana
yang diamanahkan oleh Raja Muna, La Ode Maktubu Milano
Wekalelaha (1903 – 1915) bahwa kali Laende dinobatkan
sebagai air Alkausar. Tetapi dapat juga diambil ditempat
atau dikali/sungai yang airnya mengalir.
Pengambilan air dilakukan oleh delegasi atau petugas
khusus yang mengetahui seluk – beluk tempat itu yang dalam
bahasa Muna dikenal dengan Kodasano (keturunan manusia
yang mendiami daerah sekitar wilayah itu).
Cara pengambilan air tidak menggunakan sembarang alat
misalnya: Kendi atau Jergen, tetapi menurut ketentuan adat
di Muna bahwa alat yang digunakan untuk megambilan air
adalah seruas bambu (tombula) dgn kapasitas/volume air
yang diambil sesuai kebutuhan. Mengapa harus bambu?
Menurut keterangan dari Rosiman Tawid hal itu dikembalikan
dari peristiwa sejarah Bheteno Netombula atau Baizul Zaman
yang hadir dinegeri ini dengan dramatis spektakuler melalui
rumpu bambu. Sedangkan analisa secara logika mengapa
harus bambu yang digunakan untuk mengambil air karena
(1)
Ada filosofi bahwa semakin tua semakin kokoh akarnya
dan daunnya semakin merunduk. Filosofi hidup bambu
8. ini diharapkan dapat diteladani oleh manusia khususnya
para peserta Kariya yang akan disyarati (dipinggit).
(2)
Pada masa lalau ketika anak manusia lahir maka alat
yang digunakan untuk memotong tali pusar adalah
sembilu dari bambu (tombula).
2. Kaalano Bansa (Pengambilan Mayang Pinang).
Dalam proses persiapan pelaksanaan Kaghombo atau
pingitan maka ada petugas yang telah diberi kepercayaan
untuk mengambil mayang pinang (Bhansano Bea). Etika
pengambilannya tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan
(konsentrasi)
sehingga
walaupun
ditanya
tidak
boleh
menjawab. Oleh karena itu, pengambilannya hendaknya
memilih waktu yang hening. Pada saat memanjat pinang
mayang tidak boleh dijatuhkan tetapi harus dipegang sampai
di tanah (Sido Thamrin).
3. Kaalano Kamba Wuna (Pengambilan Kembang Kamba Wuna)
Pada hari yang sama dilanjutkan dengan pengambilan
kuncup bunga (Kamba Wuna) yang tak jauh tempatnya dengan
pengambilan air.
Pengambilan kuncup bunga juga dilakukan oleh petugas atau
delegasi khusus yang disebut „Kodasano‟ , tetapi sekarang
9. dapat diambil oleh petugas yang diberi kepercayaan oleh
Koparapuuno (yang punya hajatan).
Apakah
bunga
ini
benar
adanya
atau
dapat
dikembangbiakan. Menurut Rosiman Tawid bahwa bunga ini
dapat diperoleh melalui pertapaan dimulut gua Kamba Wuna
oleh Kodasano. Selanjutnya kuncup bunga ini diambil pada
saat penyumpahan raja dan acara Kariya. Dalam pelaksanaan
upacara kariya saat ini bunga „Kamba Wuna‟ dapat diganti
dengan bunga – bunga lain yang wangi; misalnya bunga Siroja.
Setelah
diserahkan
seluruh
kepada
perlengkapan
pemandu
siap
(pomantoto)
selanjutnya
untuk
dipergunakan pada acara Kaghombo (yang pingitan)
siap
10. BAB IIi
Penutup
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah kami buat, kami dapat
menyimpulkan bahwa dalam proses pelaksanaan kariya
banyak nilai –nilai budaya yang harus kita jadikan sebagai
pedoman hidup sehingga kita harus mempertahankannya
dari perkembangan zaman, dimana nanti akan muncul para
generasi muda yang tidak memahami dan mengilhami lagi
kandungan filosofi dari pelaksanaan kariya.
B.
Saran
Dari kesimpulan diatas, dapat kami saran bahwa kita
sebagai masyarakat Muna harus tetap menjaga ataupun
melestarikan proses Kariya tersebut dari perkembangan
zaman yang sangat pesat. Jika tidak maka salah satu
budaya kita yakni Kariya, pada suatu saat pasti akan hilang.
11. Daftar pustaka
Adi susilo, 1997. Sekelumit gagasan tentang filsafat sejarah dan
sudut – sudut filsafat. Karya Aksara. Jakarta.
Burhanuddin. B dan Haeba syamsuddin. 1977/1978. Sejarah daerah
Sulawesi Tenggara. Proyek penelitian dan pencatatan
kebudayaan daerah.
Gazalba, Siddi. 1981. Pengantar sejarah sebagai ilmu. B ina aksara.
Jakarta.
.........1980. Kepemimpinan dan kebudayaan tradisional masa kini,
formal dan nonformal. Aksara. Jakarta.