3. BAB XXI I I
PERT AHANA N KEAM ANA N
A. PENDAHULUAN
Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hasil dari proses
panjang perjuangan pergerakan nasional yang telah menumbuhkan
jiwa nasionalisme yang kuat. Kekuatan fisik yang terbentuk pada
masa pendudukan Jepang terpadu dengan kekuatan jiwa nasionalisme
dan aspirasi yang kuat untuk merdeka telah membangkitkan semangat
clan kekuatan rakyat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan
menegakkan kemerdekaan. Di tengah-tengah perjuangan memper -
tahankan kemerdekaan inilah ABRI yang kita kenal sekarang
dilahirkan.
Upaya pertahanan keamanan negara Republik Indonesia merupa-
kan upaya nasional terpadu yang melibatkan seluruh potensi dan
kekuatan nasional untuk me mpertahankan ke merdekaan dan
XXIII/3
4. kedaulatan negara, integritas nasional yang mencakup keutuhan
bangsa dan wilayah, terpeliharanya keamanan nasional dan
tercapainya tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, dan
keutuhan bangsa Indonesia, setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai
peran, fungsi dan bidang tugas masing-masing. Oleh karena itu,
komponen dasar dalam upaya pembelaan negara adalah rakyat. Bela
negara bukan semata-mata mencakup aspek pertahanan keamanan saja
yang sering diartikan sebagai peran militer, tetapi juga mencakup
aspek kehidupan nasional lainnya, yaitu ekonomi, politik dan sosial
budaya. Bela negara merupakan kesadaran, semangat, dan tekad cinta
tanah air setiap warga negara, masyarakat atau bangsa yang dilandasi
oleh nilai-nilai luhur bangsa dan negara Republik Indonesia yang
menumbuhkan sikap dan tindakan, rela dan berani berkorban untuk
menjamin kemerdekaan bangsa dan kedaulatan negara kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Bela negara bertujuan untuk menjamin kelangsungan
hidup dan kejayaan bangsa dan negara dari segala bentuk ancaman
dengan memanfaatkan secara optimal segenap potensi sumber daya
nasional.
Sementara itu, untuk mencapai tujuan kesejahteraan, maka bumi,
air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus
dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dengan demikian setiap bangsa yang merdeka akan selalu menuntut
terpenuhinya aspek keamanan dan kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Aspek keamanan akan terpenuhi dengan mantap, bila upaya
pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan oleh ABRI sebagai
XXIII/14
5. komponen utama pertahanan keamanan negara bersama dengan
komponen lainnya dapat berfungsi dengan baik.
Memperingati usia ke-50 tahun Negara Kesatuan Republik
Indonesia, merupakan saat yang baik untuk melihat kilas balik
perjuangan ABRI sejak lahirnya sampai dengan tahun pertama
Repelita VI. Sejarah kelahiran ABRI di tengah-tengah perjuangan
bangsa adalah untuk menegakkan kemerdekaan. Oleh karena sejarah
kelahirannya tersebut, maka ABRI memiliki peranan dan karakter
khas serta corak yang unik, yaitu sebagai pejuang prajurit dan prajurit
pejuang yang berbeda dengan angkatan perang negara-negara lain.
Awal dari terbentuknya organisasi ABRI dimulai dengan dibentuknya
Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan laskar-laskar yang dibentuk
secara spontan oleh rakyat atas dasar kesadaran, tekad, dan kerelaan
berkorban untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.
Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dimulai dengan
upaya menentang kedatangan pasukan Sekutu yang berintikan pasukan
Inggris pada bulan September 1945 sampai bulan Desember 1945.
Pasukan Inggris tersebut atas nama Sekutu ternyata berupaya
membantu mengembalikan kadaulatan Belanda di Indonesia. Di sisi
lain, pihak Republik Indonesia hanya mengakui bahwa kedatangan
mereka adalah dalam rangka misi kemanusiaan yakni menyelesaikan
masalah tawanan Jepang dan interniran. Menghadapi propaganda
pihak Sekutu yang menganggap bahwa Republik Indonesia adalah
ciptaan Jepang belaka, sekalipun terdapat perbedaan visi politik para
pemimpin nasional dan para pemuda pada saat itu mengenai perlu atau
tidaknya dibentuk Angkatan Perang, maka pada tanggal 5 Oktober
1945 dengan Maklumat Presiden dinyatakan terbentuknya Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Atas dasar itu, TKR menghormati misi
Sekutu yang telah berjanji untuk tidak mencampuri urusan politik
dalam negeri dan bahkan TKR bersedia untuk membantu dengan
XXIII/5
6. membentuk "Panitia Oeroesan Pengangkoetan Orang Djepang dan
Orang Asing" (POPDA). Janji tersebut ternyata tidak ditepati oleh
Sekutu, sehingga muncul perlawanan seperti pertempuran heroik
10 November 1945 di Surabaya dan di kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Pemuda-pemuda Indonesia yang tergabung dalam TKR
dengan gigih menghadapi setiap tantangan sebagai wujud aspirasi
serta tekad membela dan mempertahankan kemerdekaan. TKR yang
dibentuk di tengah perjuangan fisik dan politik ini, dalam
perkembangannya tidak lepas dari berbagai tarikan kepentingan
partai-partai yang menganggap bahwa barang siapa menguasai TKR
akan menguasai politik negara. Beberapa peristiwa politik yang
terjadi kemudian memperkuat anggapan tersebut. Hal ini merupakan
tantangan bagi integritas TKR, namun dapat diatasi dengan baik
karena loyalitas angkatan bersenjata terhadap kepentingan bangsa.
Sementara itu, untuk melawan kekuatan penjajah secara lebih
terpadu, pada tanggal 24 Januari 1946 dikeluarkan Dekrit
Presiden/Panglima Tertinggi yang mengintegrasikan semua laskar
perjuangan dalam Tentara Republik Indonesia sebagai tentara resmi di
bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sejalan dengan
itu, angkatan bersenjata dan unsur-unsurnya telah tumbuh dan
berkembang. Pada saat itu, kekuatan keamanan yang telah terbentuk
antara lain terdiri dari 15 divisi TKR Darat (di Jawa dan Sumatera), 3
divisi TKR Laut (2 di Jawa dan 1 di Sumatera), satuan TKR Jawatan
Penerbangan dan 2 Brigade Mobile Kepolisian. Inilah yang
merupakan cikal bakal kekuatan ABRI sebagai kekuatan inti dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada
tanggal 19 Juli 1946 TKR Laut diubah menjadi Angkatan Laut
Republik Indonesia (ALRI), sedangkan TKR Jawatan Penerbangan
pada tanggal 9 April 1946 diubah menjadi Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI) . Di lain pihak, sejak 1 Juli 1946 Kepolisian
XXIII/6
7. melepaskan diri dari Kementerian Dalam Negeri menjadi di bawah
Perdana Menteri.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 3 Juni 1947
secara resmi terbentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang
mempersatukan Tentara Republik Indonesia, kesatuan-kesatuan Biro
Perjuangan, dan laskar perjuangan lainnya. Pengalaman menunjuk-
kan bahwa keterlibatan seluruh rakyat dalam perjuangan untuk
memperoleh kemerdekaan sekaligus juga merupakan perjuangan
politik. Tantangan demi tantangan telah dijawab oleh TNI dan bangsa
Indonesia, baik secara fisik maupun politik. Dalam beberapa peristiwa
seperti nampak pada saat menghadapi agresi militer Belanda yang
pertama (1947) dan kedua (1948), politik memecah belah dan
beberapa perundingan politik seperti perundingan Linggar Jati,
Renville dan Konferensi Meja Bundar (KMB), kepentingan Republik
Indonesia senantiasa dirugikan oleh pihak Belanda. Namun upaya -
upaya Belanda ternyata tidak dapat meniadakan kenyataan berdiri
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat penuh.
Di bawah ancaman dan agresi kekuatan kolonial yang ingin
kembali menjajah, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan
berlanjut. Perang gerilya yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal
Sudirman dengan bertumpu pada dukungan rakyat semakin
memperkokoh semangat perjuangan. Pengalaman sejarah ini
membuktikan bahwa kekuatan perjuangan bangsa Indonesia terletak
pada perjuangan rakyat dengan TNI sebagai kekuatan inti. Inilah yang
selanjutnya merupakan dasar-dasar dari konsep sistem pertahanan
rakyat semesta (Sishankamrata). Sistem ini telah dibuktikan
keandalannya antara lain pada serangan umum 1 Maret 1949 yang
dampaknya sangat besar dalam mendukung diplomasi dan upaya
politik menghadapi Belanda, baik di dalam negeri maupun di dunia
XXIII/7
8. internasional. Perjuangan fisik melawan Belanda, serta berbagai
peristiwa politik dalam masa perjuangan seperti peristiwa 3 Juli 1946,
masalah rasionalisasi 1948, peristiwa pemberontakan PKI 1948, dan
pemberontakan DI-TII, telah memperluas wawasan dan peranan TNI
di bidang sosial politik.
Dengan berakhirnya secara politis perang kemerdekaan pada
bulan Desember 1949, TNI menghadapi berbagai persoalan internal
pasca perang. Masalah sindroma pasca perang yang harus diatasi
antara lain menyangkut persoalan kolaborator, demobilisasi, konsep
tentara rakyat dan tentara profesional. Permasalahan tersebut sempat
menjadi konflik internal karena intervensi partai-partai politik dan
kaum politisi ke dalam tubuh TNI-ABRI. Tindakan yang dilakukan
adalah pemantapan identitas (jati diri) ABRI yang bersumber dari
segenap lapisan masyarakat. Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1951
lahir dan ditetapkan Sapta Marga sebagai kode etik TNI-ABRI. Di
sini ditegaskan kembali bahwa TNI sebagai pendukung dan pembela
Pancasila dan UUD 1945 akan tetap konsisten dalam menegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dengan
tidak kenal menyerah.
Sapta Marga yang terdiri dari 7 butir dan menggambarkan jati
diri TNI, lahir pada saat konsepsi demokrasi parlementer atau
demokrasi liberal sedang diterapkan di negara Republik Indonesia.
Dalam sistem tersebut, status tentara adalah alat negara yang tidak
diijinkan turut campur dan berperan dalam bidang politik. Desakan
agar TNI harus kembali ke barak dan campur tangan politisi yang
terlalu jauh ke dalam tubuh TNI, menyebabkan timbul reaksi yang
keras dari TNI, yang antara lain muncul dalam peristiwa yang dalam
sejarah dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952. Masalahnya
sebenarnya merupakan persoalan internal TNI, yaitu berkenaan
dengan perbedaan pendapat tentang konsepsi pembangunan TNI.
XXIII/8
9. Perbedaan konsepsi tersebut adalah antara konsepsi tentara profesional
dan konsepsi tentara rakyat. Masalahnya menjadi besar karena
dipolitisir, namun kemudian secara kolegial dapat diselesaikan pada
bulan Februari 1955.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan Februari 1957
Presiden Soekarno mengajukan konsepsi demokrasi terpimpin yang
mengakomodasikan peran partai-partai politik dan golongan
fungsional, dan ABRI termasuk sebagai golongan fungsional. Untuk
merumuskan konsepsi tersebut dibentuk Dewan Nasional sebagai
penasehat Presiden yang beranggotakan antara lain Kepala Staf
Angkatan/Kepala Kepolisian. Selanjutnya, pada bulan November
1958 ABRI menyampaikan gagasan mengenai peranan politik ABRI,
yang dikenal sebagai "jalan tengah" dalam upaya mengatasi konflik
politik yang berkecamuk pada waktu itu, dimana pelaksanaan peran
politik ini dikaitkan dengan fungsi teritorial.
Sementara itu gangguan stabilitas politik semakin meningkat
sebagai akibat adanya pergolakan di daerah oleh gerakan separatis
yang menamakan dirinya Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) dan Permesta. ABRI kembali tampil mengatasi
masalah pemberontakan tersebut. Dengan gagalnya konstituante dalam
merumuskan dasar-dasar negara dalam suatu Undang-Undang Dasar,
telah mendorong ABRI yang senantiasa setia kepada cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk menyarankan kepada Presiden
agar kembali ke UUD 1945. Kemudian keluarlah Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali ke UUD
1945, dan berakhirlah demokrasi liberal di tanah air. Dapat dicatat
bahwa pada masa demokrasi liberal ini TNI-ABRI terus melakukan
konsolidasi organisasi dan memantapkan jati dirinya sebagai prajurit
pejuang dan prajurit profesional, serta memantapkan peranan sosial
politiknya sebagai golongan fungsional yang diakui dalam masyarakat.
XXIII/9
10. Keterlibatan ABRI dalam bidang politik makin nyata, setelah
pada masa Kabinet Karya 1957, ABRI terlibat dalam Dewan Nasional
dan pada tahun 1958 dalam Dewan Perancang Nasional (Depernas).
ABRI selanjutnya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Suatu hal yang tidak
pernah dikehendaki ABRI adalah praktek-raktek kenegaraan yang
tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, sejak kelahirannya, ABRI senantiasa memandang PKI dan
ideologi komunis sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa,
negara, dan ideologi Pancasila. Untuk menghadapi meluasnya
pengaruh PKI, ABRI bersama berbagai golongan anti komunis lainnya
dalam masyarakat, membentuk badan-badan kerja sama, dan dari situ
lahirlah organisasi-organisasi seperti MKGR, SOKSI, Kosgoro, dan
Sekber Golkar.
Pada saat itu (1959) kekuatan ABRI telah berkembang antara lain
dengan terbentuknya 7 komando teritorium Angkatan Darat.
Sementara itu, Angkatan Laut memiliki 60 kapal dari berbagai jenis
yang sebagian adalah bekas peninggalan Belanda, sedangkan
Angkatan Udara memiliki beberapa pesawat juga peninggalan Belanda
seperti Mustang P-51, Pembom B-25 dan B-26, serta Dakota C-47.
Kepolisian Negara terdiri atas 21 daerah kepolisian (Dapol) yang
diorganisasikan ke bawah sampai pada tingkat kecamatan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ABRI mengembangkan
organisasi kewilayahan sesuai Doktrin Perang Wilayah dengan
membentuk 17 Kodam, dengan struktur aparatur teritorial sampai di
tingkat kecamatan yaitu Koramil, dan di tingkat desa Bintara Pembina
Desa (Babinsa). Dengan struktur kewilayahan tersebut, ABRI
disamping bersama-sama rakyat siap menghadapi segala kemungkinan
XXIII/10
11. timbulnya ancaman terhadap negara, juga turut berpartisipasi aktif
dalam pembangunan.
Modernisasi ABRI terutama dalam sistem senjata yang
dilaksanakan pada masa itu adalah dalam rangka perjuangan untuk
pembebasan Irian Barat. Senjata yang pada saat itu digunakan oleh
TNI-AD terutama adalah senjata artileri pertahanan udara dan artileri
medan, disamping beberapa jenis kendaraan tempur seperti AMX-13,
BTR, BRDM, Saladin, dan Ferret. TNI-AL pada saat itu memiliki 12
kapal selam, 1 kapal Cruiser, 6 Destroyer dan berbagai jenis Fregat,
MTB, kapal Roket, LST serta kapal tunda. Sedangkan TNI-AU
memiliki kekuatan masing-masing satu Skadron Udara MIG-15, MIG-
17, MIG-19, MIG-21, IL-28, TU-16, AN-22, dan Skadron Helikopter
MI-2, MI-4, MI-6, serta Satuan Peluru Kendali SA-75 dan Satuan
Radar P-30. Kepolisian Republik Indonesia telah mengembangkan
Satuan pemukul Polisi Perairan dan Udara dengan dilengkapi alat
utama dan persenjataannya. Keberhasilan kampanye pembebasan Irian
Barat membuka jalan bagi suksesnya perjuangan mengembalikan
wilayah tersebut dari belenggu penjajah pada tahun 1962.
Di tengah perjuangan pembebasan Irian Barat, pada bulan Juni
1962 Presiden mengumumkan reorganisasi ABRI. Dalam
reorganisasi ini Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI secara
langsung memegang pimpinan ABRI. ABRI terdiri dari Angkatan
Perang dan Angkatan Kepolisian, masing-masing dipimpin oleh
seorang Panglima dengan sebutan Pangad, Pangal, Pangau, dan
Pangak. Para Panglima diberikan jabatan setingkat Menteri
(exoficio), sehingga sebutan para Panglima Angkatan menjadi
Menteri/Panglima Angkatan. Sentralisasi pimpinan yang semula
dimaksudkan sebagai usaha integrasi ABRI, justru menimbulkan
terjadinya disintegrasi. Persaingan antar angkatan terjadi karena
masing-masing mengembangkan kekuatan mengikuti apa yang disebut
XXIII/11
12. "irama revolusi" Sumber-sumber yang menjadi persaingan antara
lain menyangkut doktrin, organisasi, pembinaan, intelijen, kekaryaan
dan pasukan elite.
Dalam suasana persaingan itu PKI berupaya melakukan
intervensi ke dalam tubuh ABRI serta melemparkan gagasan Angkatan
ke-V dan isyu Nasakomisasi ABRI. Pengaruh PKI dalam tubuh
pemerintahan yang makin meningkat telah membawa Pemerintah
kepada petualangan Dwikora yang nampaknya memang ditujukan
untuk merapuhkan kekuatan ABRI dari dalam, Secara politik di dunia
internasional Indonesia makin terisolasi, antara lain dengan
pernyataan keluarnya Republik Indonesia dari PBB. Hubungan luar
negeri didominasi oleh hubungan dengan negara-negara sosial dan
komunis. Hubungan dengan negara-negara tetangga menjadi buruk,
antara lain karena sikap konfrontasi. Selain keadaan politik yang
makin tidak stabil, keadaan perekonomian juga makin buruk. Puncak
dari keadaan yang tidak menentu dan penuh dengan intrik-intrik PKI
tersebut, adalah terjadinya pemberontakan G.30.S yang didalangi
PKI. Berkat kesetiaan ABRI kepada negara dan bangsa serta
dukungan rakyat, pembrontakan G.30.S/PKI tersebut dapat ditumpas
dalam waktu singkat.
Berbagai permasalahan yang muncul selama demokrasi terpimpin
tersebut menyadarkan akan perlunya pemikiran-pemikiran ABRI
dalam upaya meningkatkan derajat, martabat serta kondisi sosial
politik, dan sosial ekonomi bangsa Indonesia. Dalam perwujudannya,
diselenggarakan. Seminar Angkatan Darat 1966 yang telah melahirkan
gagasan-gagasan yang mendasar bagi pembangunan bangsa
selanjutnya. Disamping itu, integrasi di lingkungan ABRI juga
dirasakan perlu ditingkatkan sesuai jiwa Sapta Marga. Integrasi ABRI
amat penting bukan hanya untuk ABRI tetapi bagi persatuan dan
kesatuan bangsa. Oleh karena itu, setelah orde baru doktrin-doktrin
XXIII/12
13. angkatan diupayakan untuk diintegrasikan dan perumusannya
dilakukan dalam Seminar Hankam yang diselenggarakan pada tahun
1967. Seminar tersebut telah menghasilkan Doktrin Pertahanan
Keamanan Nasional (Hankamnas) dan Doktrin Perjuangan ABRI
Catur Dharma Eka Karma (CADEK) yang berwawasan nusantara.
Upaya integrasi tersebut, diwujudkan juga antara lain dalam bentuk
penyatuan Akademi Angkatan menjadi Akabri, serta dibentuknya
Sesko ABRI.
Tekad orde baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen sejalan dengan jiwa dan semangat
keprajuritan Sapta Marga yang dipegang teguh oleh ABRI. Jiwa
pengabdian ABRI tampil melalui kedua fungsinya, yaitu sebagai
kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial politik.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ABRI berperan tidak
hanya sebagai integrator dan stabilisator, tetapi juga sebagai pelopor
dan dinamisator pembangunan.
Situasi keamanan dalam negeri yang telah pulih kembali serta
perkembangan lingkungan luar negeri terutama kawasan Asia
Tenggara yang makin damai dan stabil, serta mulainya proses alih
generasi dan meningkatnya pembangunan, memungkinkan ABRI
untuk menata kembali struktur organisasinya. Pada tahun 1974
diadakan reorganisasi ABRI, dengan menitikberatkan pada jiwa dan
semangat integrasi pada seluruh jajaran ABRI. Profesionalisme ABRI
dan mutu peranan sosial politiknya makin ditingkatkan.
Perkembangan tersebut terjadi pada Repelita I, ditandai dengan
perubahan fungsi operasional yang semula berada pada Angkatan dan
Polri menjadi fungsi pembinaan, sedangkan fungsi penggunaan
kekuatan berada pada Panglima ABRI. Pada masa ini bidang
pembangunan pertahanan keamanan negara belum diprogramkan
XXIII/13
14. seperti bidang-bidang pembangunan lainnya, mengingat ABRI masih
menitik beratkan pada upaya konsolidasi dan integrasi.
Repelita II yang merupakan tahap pertama pembangunan bidang
pertahanan keamanan atau dikenal dengan rencana sasaran strategik
ABRI I (Renstra I) melanjutkan konsolidasi kekuatan, pemeliharaan
serta terintegrasinya satuan-satuan. Upaya mempertahankan
kemampuan dan kesiapannya dilakukan melalui program pemantapan
satuan ABRI. Pada awal Repelita II ABRI berpartisipasi aktif dalam
menyambut permintaan integrasi yang tulus dari rakyat Timor Timur,
serta dalam membangun propinsi termuda itu agar perkembangannya
dapat sejajar dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Dalam masa
Repelita III atau Renstra II ditetapkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara. Dengan Undang-Undang kembali diadakan
reorganisasi termasuk memisahkan Dephankam dan ABRI.
Dephankam selanjutnya melaksanakan fungsi pembinaan dan
pendayagunaan sumber daya, sedangkan ABRI melaksanakan fungsi
pembinaan dan penggunaan kekuatan pertahanan keamanan.
Pembangunan kekuatan selanjutnya diarahkan pada pemantapan unit-
unit operasional, termasuk pemantapan 100 batalyon, pembangunan
dan rehabilitasi pangkalan, penggantian peralatan utama yang sudah
tua, pemantapan kemanunggalan ABRI-Rakyat, dan penajaman fungsi
sosial politik.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982,
reorganisasi ABRI dituntaskan dalam Repelita IV, sekaligus dalam
rangka membangun postur ABRI yang kecil, efektif, dan efisien. Ciri
reorganisasi ABRI ini adalah mempersingkat rantai komando, serta
meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber
daya. Fungsi Kowilhan dimasukan dalam fungsi Kodam, khususnya
menyangkut sistem pertahanan wilayah. Jajaran TNI-AD diramping-
XXIII/l 4
15. kan dari 17 Kodam menjadi 10 Kodam. Di jajaran TNI-AL dibentuk
dua komando operasional yakni Armada RI Kawasan Barat dan Timur.
Demikian pula di jajaran TNI-AU dibentuk dua komando operasional
yaitu Komando Operasi Udara I dan II. Pada organisasi Polri
dilaksanakan pemantapan 17 kepolisian daerah (Polda) serta badan-
badan pelaksana operasional tingkat pusat.
Dalam Repelita V upaya membangun ABRI yang kecil, efektif,
dan efisien dilanjutkan dengan penyempurnaan organisasi ABRI serta
peningkatan kualitas dan mobilitas satuan-satuan ABRI. Kekuatan
ABRI dimantapkan kembali antara lain dengan memelihara dan
memantapkan 39 batalyon infanteri dan beberapa alat utama, serta
pembulatan satuan-satuan TNI-AD. Kekuatan alat utama TNI-AL
relatif tetap, karena walaupun terdapat pengadaan 20 kapal berbagai
jenis namun ada penghapusan 24 kapal, disertai pemantapan 2 dari 3
batalyon tim pendarat (BTP) marinir. Sementara itu, kekuatan TNI-
AU bertambah, yang menonjol diantaranya adalah beroperasinya 1
Skadron F-16 (12 buah) dan bertambahnya 3 unit radar pertahanan
udara. Organisasi dan kekuatan Polri juga berkembang antara lain
dengan bertambahnya jumlah Polres dari 283 buah menjadi 288
buah serta pemantapan 289 Polsek di daerah rawan kriminalitas.
Dari pengalaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia serta
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1982 dan sishankamrata, pembangunan pertahanan keamanan
menuntut adanya pembangunan ABRI dan cadangan TNI sebagai
komponen utama bersama-sama dengan komponen lainnya, yaitu
rakyat terlatih (ratih) sebagai komponen dasar, perlindungan
masyarakat (linmas) sebagai komponen khusus dan komponen
pendukung. Pembangunan komponen-komponen kekuatan tersebut
sampai dengan Repelita V belum sepenuhnya dapat dilaksanakan,
XXIII/15
16. mengingat adanya berbagai keterbatasan sumber daya, termasuk
perangkat lunak.
Hal penting lainnya yang masih perlu dikembangkan adalah
penyusunan tata ruang yang mencakup tata ruang pertahanan darat,
laut, dan dirgantara. Penyusunan tata ruang yang berkenaan dengan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara perlu dilakukan secara
serasi dan Baling melengkapi dengan tata ruang bidang kekesejah -
teraan dalam satu sistem tata ruang nasional yang dapat memadukan
kepentingan berbagai sektor pembangunan. Pembangunan tata ruang
mencakup dua aspek yang sangat strategis yaitu kedalam berkaitan
dengan pendayagunaan potensi nasional secara efektif dan efisien,
sedangkan keluar berkaitan dengan penetapan batas-batas wilayah
negara yang sering menjadi masalah peka bagi terciptanya stabilitas
regional. Sampai dengan akhir Repelita V telah dapat diselesaikan
rencana umum tata ruang (RUTR) wilayah pertahanan darat (10
Kodam, 26 Korem dan 50 Kodim), wilayah pertahanan kelautan,
dan wilayah pertahanan dirgantara.
Sementara itu, dalam upaya mewujudkan sistem pertahanan
keamanan negara yang handal sarana pendukung lainnya termasuk
industri strategis terus dikembangkan. Pemenuhan kebutuhan sistem
senjata ABRI yang telah dapat dipenuhi oleh industri strategis antara
lain meliputi: kapal patroli FPB-28 dan FPB-57, pesawat angkut
C-212 dan CN-235 serta helikopter, berbagai senjata dan amunisi,
serta peralatan komunikasi.
Dalam upaya ikut menciptakan ketertiban dunia serta
meningkatkan profesionalisme, ABRI telah aktif dalam tugas-tugas
perdamaian yang diselenggarakan dan dikoordinasikan oleh PBB
mulai dari Konga I di Gaza pada tahun 1959 sampai di Kuwait,
XXIII/16
17. Somalia, Kamboja, Bosnia dan berbagai tempat lainnya belakangan
ini (lihat Tabel XXIII-3).
Pengalaman sejarah menunjukan pula bahwa stabilitas keamanan
nasional, regional, bahkan internasional mempengaruhi kelangsungan
pembangunan suatu bangsa. Stabilitas nasional perlu didukung oleh
stabilitas regional serta sabuk keamanan di sekitar kawasan yaitu Asia
Tenggara, Asia Selatan, dan Pasifik Barat Daya yang merupakan
wilayah strategis bagi Indonesia. Stabilitas kawasan tersebut secara
langsung dapat mempengaruhi stabilitas nasional. Konsep stabilitas
regional ini perlu dikembangkan bersama oleh negara-negara di
kawasan ini. Sehubungan dengan itu, dalam KTT ASEAN ke-IV di
Singapura (1992) untuk pertama kalinya masalah keamanan regional
dimasukkan dalam agenda. Kepedulian dan pemahaman akan
pentingnya masalah keamanan regional ini telah berkembang lebih
jauh seperti diwujudkan dalam ASEAN Regional Forum (ARF) 1994,
yang tidak hanya diikuti oleh negara ASEAN saja tetapi juga negara -
negara lain dikawasan ini.
Ketahanan regional diperkuat melalui kerja sama di bidang
politik, ekonomi, dan sosial budaya, baik secara bilateral maupun
multilateral. Sedangkan kerja sama keamanan dikembangkan melalui
kerja sama bilateral di antara negara-negara ASEAN dan kawasan
sekitarnya. Pendekatan keamanan dalam upaya memulihkan stabilitas
kawasan menerapkan konsep percaya pada kekuatan sendiri.
Pendekatan ini dilakukan dengan meningkatkan ketahanan nasional
dan menggalang kerja sama dengan negara tetangga atas dasar saling
percaya dan saling menguntungkan.
Pembangunan ABRI yang didasarkan atas 6 kemampuan pokok
ABRI (teritorial, sosial politik, intelijen strategis, pertahanan,
kea manan dan dukungan umum) senantiasa berpedoman pada
XXIII/17
18. pemikiran tercapainya kemampuan daya tangkal yang tangguh dengan
tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara. Mengingat
anggaran negara yang terbatas, padahal kebutuhan pembangunan
nasional amat luas di berbagai sektor, termasuk upaya pembangunan
daerah dan pengentasan kemiskinan, maka dana yang dapat
dialokasikan untuk pembangunan ABRI sangat terbatas dibanding
kebutuhannya. Sebagai gambaran dana pembangunan ABRI
dibandingkan dengan PDB adalah sebesar 2,75 persen pada tahun
anggaran 1974/75 (akhir Repelita I) dan turun menjadi 1,30 persen
pada tahun anggaran 1993/94 yaitu pada akhir Repelita V, terhadap
APBN anggaran pembangunan ABRI pada tahun 1974/75 adalah
14,85 persen sedangkan pada tahun 1993/1994 turun menjadi 6,60
persen (Tabel XXIII-1). Dibanding dengan negara-negara tetangga,
apalagi dengan melihat besarnya penduduk dan luasnya wilayah yang
harus dipertahankan dan diamankan, maka anggaran pertahanan
keamanan RI sangatlah kecil. Sementara itu, dalam perbandingan
jumlah prajurit terhadap jumlah penduduk, Indonesia (0,15 persen)
berada pada urutan setelah Singapura (2,06 persen), Brunei (1,5
persen), Malaysia (0,68 persen), Thailand (0,46 persen), Australia
(0,43 persen), dan Filipina (0,16 persen). Bila dilihat dari
perbandingan jumlah prajurit terhadap luas wilayah, Indonesia (0,23
prajurit per kilometer persegi berada dibawah setelah Singapura
(100), Brunei (0,75), Thailand (0,50), Filipina dan Malaysia (0,35)
(Tabel XXIII-2).
Meskipun dengan dana dan kekuatan yang serba terbatas, ABRI
telah mampu melaksanakan tugasnya dalam mempertahankan,
menjaga dan mengamankan kemerdekaan, kedaulatan, keutuhan,
persatuan dan kesatuan serta ideologi bangsa dan negara. ABRI juga
telah turut aktif dalam berbagai upaya pembangunan dalam bidang
pertahanan keamanan. ABRI telah pula menjalankan fungsi sosial
politiknya sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
XXIII/l8
19. bernegara, dapat berlangsung secara konstitusional, demokratis dan
berdasarkan hukum di atas landasan falsafah Pancasila dan UUD
1945. Dalam PJP II yang diawali dengan Repelita VI pembangunan
ABRI akan dilanjutkan dan ditingkatkan sesuai amanat GBHN 1993.
B. SASARAN, KEBIJAKSANAAN, DAN PROGRAM
REPELITA VI
Sasaran pembangunan bidang hankam dalam Repelita VI
sebagaimana diamanatkan GBHN 1993 adalah mantapnya penataan
kemampuan segenap komponen hankamneg dalam sishankamrata
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan
mulai penataan perangkat dan perwujudan rakyat terlatih (ratih) dan
perlindungan masyarakat (linmas) secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan; pembangunan ABRI yang lebih efisien,
ekfektif, dan modern agar berkemampuan optimum, baik yang
didukung oleh makin mantapnya kemanunggalan ABRI-rakyat serta
makin meningkatnya keterpaduan pembinaan dan penyiapan
komponen pendukung hankamneg.
Perangkat lunak yang berkait dengan pendidikan pendahuluan
bela negara (PPBN) diupayakan untuk dipenuhi pada Repelita VI,
termasuk undang-undang tentang ratih dan undang-undang tentang
linmas. Perintisan dan pengorganisasian ratih dilaksanakan dengan
minimum satu satuan setingkat kompi masing-masing di dua
kompartemen strategis yang bersumber dari pertahanan sipil
(hansip)/perlawanan keamanan rakyat (wankamra), resimen
mahasiswa (menwa), dan satuan pengamanan (satpam). Pada Repelita
VI diharapkan dapat terbentuk satuan linmas sebagai inti
penanggulangan bencana awal di tingkat kecamatan dan lingkungan
pekerjaan, serta terbentuknya ruang data pusat pengendali operasional
XXIII/19
20. penanggulangan bencana alam di tingkat pusat. Di samping itu,
pemasyarakatan doktrin hankamneg dilanjutkan terutama di
lingkungan pendidikan dan permukiman termasuk daerah rawan/
perbatasan, serta di lingkungan pekerjaan.
Sasaran pembangunan ABRI pada Repelita VI tetap mengacu
pada enam kemampuan pokok ABRI (yaitu kemampuan teritorial,
sospol, intelijen strategis, pertahanan, keamanan, dan dukungan)
dengan menyelenggarakan pengamatan wilayah, khususnya di daerah
rawan, untuk mencegah dan menindak setiap gangguan keamanan,
termasuk gangguan kamtibmas sehingga rakyat akan terlindungi serta
terjamin rasa aman dan rasa keadilannya. Untuk itu, kualitas personel
dan peralatan sistem senjata ABRI harus meningkat diikuti dengan
meningkatnya kesejahteraan prajurit. Kuantitas personel dan peralatan
sistem senjata juga ditingkatkan, terutama untuk pemantapan satuan
yang telah ada.
Sasaran kemampuan pendukung hankamneg pada Repelita VI
yang mencakup pembinaan wilayah negara, sumber daya alam dan
buatan, sarana prasarana termasuk industri strategis makin meningkat
dalam rangka kepentingan hankamneg.
Untuk mewujudkan sasaran pada Repelita VI, ditempuh berbagai
kebijaksanaan, yaitu memantapkan konsepsi tentang ratih dan linmas,
konsepsi PPBN, serta penyempurnaan metode pembinaan tenaga
rakyat dalam rangka pembinaan kekuatan ratih dan linmas serta
tenaga produktif; meningkatkan kesejahteraan prajurit ABRI dan
kualitas kejuangan serta profesionalisme sesuai dengan perkembangan
iptek; meningkatkan kuantitas dan kualitas kekuatan ABRI yang
mencakup personel, alat utama sistem senjata, dan fasilitas sesuai
dengan kemampuan sumber daya yang ada dalam rangka
penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara; meningkatkan
XXIII/20
21. kemampuan sospol ABRI dan memantapkan kemanunggalan ABRI-
rakyat; serta meningkatkan dan memantapkan kemampuan pembinaan
wilayah negara, sumber daya alam dan buatan, sarana prasarana
termasuk industri strategis, survei dan pemetaan nasional, dan
meningkatkan kerja sama internasional di bidang pertahanan
keamanan dalam upaya perwujudan ketahanan regional.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas, program
pembangunan hankam dalam Repelita VI disusun sebagai berikut :
1. Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat
a. Program Kesadaran Bela Negara terdiri dari : (1) PKBN
lingkungan pendidikan; (2) PKBN lingkungan pekerjaan; dan (3)
PKBN lingkungan pemukiman.
b. Program Penyiapan Kekuatan Rakyat (PPKR) terdiri
dari: (1) penyiapan kekuatan ratite; (2) penyiapan kekuatan linmas;
dan (3) pembinaan administrasi veteran dan catat.
2. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
a. Program Kewilayahan meliputi : (1) program sosial politik
ABRI; dan (2) program teritorial.
b. Program Kekuatan meliputi : (1) program bala pertahanan
keamanan wilayah; (2) program bala pertahanan keamanan terpusat;
(3) program bala cadangan ; dan (4) program intelijen strategis.
c. Program Dukungan Umum meliputi (1) program
dukungan administrasi; dan (2) program survai dan pemetaan.
XXIII/21
22. 3. Pendukung
a. Program Pembinaan Sumber Daya Alam, Buatan, dan
Wilayah Negara meliputi : (1) program sumda alam; (2) program
sumda buatan; dan (3) program wilayah negara.
b. Program Prasarana Nasional meliputi : (1) program iptek
dan industri hankam; (2) program hukum dan peraturan perundang-
undangan; (3) program kerja sama internasional; dan (4) program
manajemen hankamneg.
C. PELAKSANAAN DAN HASIL-HASIL PEMBANGUNAN
BIDANG HANKAM PADA TAHUN PERTAMA REPELITA
VI
Sasaran pembangunan hankamneg yang ingin dicapai ialah
terwujudnya penataan segenap komponen kekuatan hankamneg dalam
rangka Sishankamrata. Pembangunan bidang pertahanan keamanan
dimulai dengan penataan perangkat peraturan perundang-undangan
dan perwujudan ratih dan linmas secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan; pembangunan ABRI yang profesional,
efektif, efisien, dan modern agar mempunyai kemampuan yang
optimal baik sebagai kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan
sosial politik yang didukung dengan peningkatan keterpaduan
penyiapan komponen pendukung hankamneg.
Pelaksanaan program-program tersebut pada tahun pertama
Repelita VI adalah sebagai berikut :
XXIII/22
23. 1. Program Pembangunan Ratih dan Linmas
Ratih sebagai komponen dasar kekuatan hankamneg dan linmas
sebagai potensi sumber daya manusia yang mampu menanggulangi
akibat bencana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1982, telah mulai dibina dan dikembangkan dalam wilayah
nasional. Ratih secara terbatas telah memiliki kemampuan untuk
mendukung pelaksanaan fungsi kekuatan hankamneg. Dalam rangka
pembinaan ratih yang lebih mantap, sejak Repelita V dan dilanjutkan
pada tahun pertama Repelita VI telah dimulai langkah-langkah
penyelesaian peraturan perundang-undangan tentang ratih dan linmas,
serta peraturan perundang-undangan. terkait seperti mengenai
mobilisasi dan demobilisasi. Pokok-pokok pikiran mengenai Ratih,
naskah akademik, dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Ratih telah dimulai disusun dan dalam proses penyampaian kepada
DPR. Sedangkan penyiapan RUU Linmas baru pada tahap
penyelesaian pokok-pokok pikiran dan naskah akademiknya.
Diharapkan kedua RUU tersebut dapat diselesaikan pada akhir
Repelita VI.
Beberapa aspek kemampuan linmas yang telah ada dan
berkembang serta berfungsi dengan baik di masyarakat, belum dapat
dikoordinasikan dalam satu sistem linmas yang utuh. Hal ini
disebabkan antara lain karena perangkat hukumnya sendiri belum siap
sehingga masih menggunakan pola dan sistem pembinaan sendiri-
sendiri. Organisasi kemasyarakatan seperti Badan Koordinasi
Penanggulangan Bencana, Palang Merah Indonesia. dan rumah-rumah
sakit merupakan unit kegiatan yang dapat dipadukan sebagai suatu
kesatuan linmas.
Pembangunan ratih dan linmas dilaksanakan melalui dua
pr ogr a m, ya i t u pr ogr a m ke s a dar a n be l a ne ga r a da n pr ogr a m
XXIII/23
24. penyiapan kekuatan rakyat. Program kesadaran bela negara dalam
rangka mewujudkan potensi tenaga manusia yang dapat dikerahkan
untuk mendukung pelaksanaan perang rakyat semesta sesuai dengan
bidang profesi masing-masing, diselenggarakan antara lain melalui
pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN). Mulai tahun 1994/95
pelaksanaan PPBN telah dirintis melalui keterpaduan dalam paket-
paket kegiatan P4 dan paket lainnya dalam kurikulum pendidikan.
Penyelenggaraan sedini mungkin PPBN ditempuh dengan
kegiatan penyempurnaan perangkat lunak PPBN, peningkatan
penyelenggaraan PPBN di lingkungan pendidikan, perintisan di
lingkungan pekerjaan dan di lingkungan permukiman dalam rangka
peningkatan kesadaran bela negara. Upaya ini dilakukan melalui kerja
sama dengan departemen dan instansi terkait antara lain BP-7,
Depdikbud, Depdagri, Kantor Menpora, Kantor Men UPW.
Pelaksanaan PPBN di lingkungan pendidikan dilakukan melalui
berbagai kegiatan antara lain : penyiapan modul penataran PPBN bagi
pelajar dan mahasiswa di luar negeri (terutama ASEAN); penyusunan
buku pedoman PPBN bagi pramuka; penataran tenaga inti PPBN bagi
guru-guru; penyusunan pola pemahaman, penghayatan, dan
pemasyarakatan doktrin hankamneg di semua lingkungan terutama
pada generasi muda; penyusunan pola penyelenggaraan gerakan
disiplin nasional; penyusunan pola penyelenggaraan penghayatan dan
pengamalan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional sebagai
doktrin dasar nasional; serta penyediaan personel penataran tenaga. inti
PPBN dan dosen kewiraan. Pelaksanaan PPBN di lingkungan
pekerjaan dilakukan melalui berbagai kegiatan antara lain penyusunan
berbagai piranti lunak PPBN yang dapat dipergunakan dalam
meningkatkan kesadaran bela negara dan peningkatan peran serta
wanita dalam melaksanakan fungsi bela negara. Pelaksanaan PPBN di
lingkungan permukiman dilakukan antara lain melalui berbagai
XXIII/24
25. kegiatan, penyempurnaan buku pedoman ABRI Masuk Desa (AMD)
bidang bela negara; penyebarluasan PPBN melalui TVRI; penyediaan
personel tenaga inti penatar PPBN; pemberian bantuan teknis
penyelenggaraan PPBN untuk Pemda TK I dan TK II; serta
pemberian bantuan teknis penyelenggaraan PPBN untuk ormas dan
orsospol.
Program penyiapan kekuatan rakyat diarahkan pada
pengembangan daya tangkal bangsa dan negara dengan mewujudkan
undang-undang tentang ratih dan undang-undang tentang linmas
beserta jabarannya, serta penataan ratih yang bersumber dari
hansip/wanra/kamra, menwa, dan satpam. Pengorganisasian dan
pelatihan ratih tersebut dilaksanakan melalui kerja sama dengan
departemen dan instansi terkait.
Penyempurnaan naskah pokok-pokok pikiran tentang ratih telah
diselesaikan dan dilanjutkan dengan penyusunan naskah akademik dan
RUU-nya. Inventarisasi calon ratih yang bersumber dari
hansip/wanra/kamra, menwa, dan satpam juga telah mulai
dilaksanakan. Disamping itu, mulai tahun 1994/95 dalam rangka
pembinaan kekuatan linmas dilaksanakan pemberian asistensi kepada
Departemen Dalam Negeri untuk penyusunan dan penyempurnaan
konsep RUU linmas, konsep penataan, serta kurikulum pendidikan
dan pelatihan linmas.
Penyelenggaraan pembinaan administrasi veteran dan cacat
veteran dilaksanakan antara lain melalui kegiatan inventarisasi dan
komputerisasi data serta pembinaan administrasi para veteran.
Disamping itu, juga diupayakan menyempurnakan pelaksanaan UU
Nomor 7 Tahun 1967 dan PP Nomor 34 Tahun 1985 tentang
Pemberian Tunjangan Veteran, penelitian/penyaringan administrasi,
permohonan gelar dan tunjangan veteran, penyelesaian administrasi
XXIII/25
26. peserta Askes bagi veteran dan pemberian penghargaan kepada
mantan anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR), serta pemberian
keterampilan kepada para penyandang cacat ABRI dan komponen
tenaga manusia hankamneg lainnya (termasuk cacat veteran) agar
tetap dapat bekerja sesuai dengan kemampuan masing-masing.
2. Program Pembangunan ABRI
Pembangunan ABRI sebagai inti kekuatan hankamneg diarahkan
kepada pembentukan ABRI dengan kekuatan yang profesional, efektif,
efisien, dan modern dengan kualitas dan mobilitas tinggi serta mampu
dalam waktu relatif singkat ditugaskan ke seluruh penjuru tanah air
dan dalam keadaan darurat kemampuan dan kekuatannya dapat cepat
dikembangkan.
Pembangunan ABRI juga ditujukan kepada peningkatan
kemampuan kekuatan pertahanan dan keamanan dalam rangka
perwujudan sishankamrata dan peningkatan kualitas peran sosial
politik ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya
pencapaian tujuan tersebut di atas, ditempuh melalui program
kewilayahan, program kekuatan, dan program dukungan umum.
Selain itu, modernisasi ABRI dilanjutkan untuk meningkatkan
kemampuan dan kesejahteraan personel, perangkat lunak, dan
perangkat keras yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta sejauh mungkin memanfaatkan kemampuan dan
potensi yang terdapat serta dihasilkan di dalam negeri.
a. Program Kewilayahan
Program kewilayahan dilaksanakan melalui berbagai kegiatan
meliputi antara lain penyempurnaan doktrin, petunjuk lapangan dan
pengorganisasian sospol ABRI serta peningkatan profesionalisme
XXIII/26
27. melalui penguasaan Iptek. Dalam bidang sosial politik, dilakukan
pengkajian tentang peranan ABRI dalam sistem politik nasional,
pemantapan doktrin sospol ABRI, serta penyempurnaan kurikulum
pendidikan di bidang sosial, politik, dan budaya pada setiap jenis
pendidikan ABRI. Penyempurnaan kurikulum kursus sosial politik
ABRI dan pemasyarakatan dwifungsi ABRI khususnya pada generasi
muda dan cendekiawan. Sedangkan dalam bidang teritorial, dilakukan
pengkajian tata ruang wilayah pertahanan nasional, penyusunan pola
dasar pembinaan dan penggunaan potensi nasional dalam mendukung
upaya hankamneg, pemantapan piranti lunak pembinaan dan
penggunaan komponen kekuatan hankamneg, pemantapan sistem
komando teritorial, penyusunan buku petunjuk teritorial, dan piranti
lunak untuk pembinaan dan penggunaan segenap kekuatan matra
darat, laut, dan dirgantara dalam rangka upaya hankamneg serta
penyusunan buku petunjuk tentang pembinaan potensi masyarakat.
b. Program Kekuatan
Pembangunan kekuatan ABRI mencakup intelijen strategis, bala
pertahanan keamanan kewilayahan (balahankamwil), bala pertahanan
keamanan terpusat (balahankampus), dan bala cadangan (balacad).
Program tersebut dilaksanakan pada seluruh unit organisasi, yaitu
Mabes ABRI, TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU, dan Polri.
1) Intelijen Strategis
Kegiatan intelijen strategis yang dilaksanakan meliputi
pemantapan lembaga pendidikan dan pelatihan intelijen strategis, serta
pengadaan berbagai peralatan intelijen dalam upaya meningkatkan
kemampuan penyelidikan, penggalangan, dan pengamanan. Pada tahun
1994/95 telah dilaksanakan penataan organisasi Badan Intelijen
Strategis ABRI (BAIS ABRI) yang semula langsung berada di bawah
XXIII/27