2. Kedudukan TPTI
1. Tebang Pilih Tanam Indonesia adalah
salah satu sistem silvikultur yang
diterapkan pada hutan-hutan alam yang
tak seumur di Indonesia. Sebagai salah
satu sub sistem dari sistem pengelolaan
hutan, sistem silvikultur merupakan
sarana utama untuk mewujudkan hutan
dengan struktur dan komposisi yang
dikehendaki. Pelaksanaan suatu sistem
silvikultur yang sesuai dengan lingkungan
setempat telah menjadi tuntutan demi
terwujudnya pengelolaan hutan yang
berkelanjutan (Anonim. 1993).
3. Sejarah sistem tebang pilih di
Indonesia secara resmi ditandai
dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan Nomor
35/KPTS/DD/1/1972 tentang
Pedoman Tebang Pilih Tanam
Indonesia, Tebang Habis dengan
Permudaan Alam, Tebang Habis
dengan Penanaman Buatan, dan
pedoman-pedoman
pengawasannya.
4. Selama masa pelaksanaannya, dijumpai
beberapa kesulitan, sehingga pada tahun
1989 diterbitkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 484/KPTS-II/1989 tentang
sistem silvikultur pengelolaan hutan alam
produksi di Indonesia. Surat Keputusan ini
kemudian ditindaklanjuti dengan SK. Dirjen
Pengusahaan Hutan Nomor 564/KPTS/IV-
BPHH/89 tentang Pedoman Tebang Pilih
Indonesia.
5. Pada tahun 1993, TPTI
mengalami penyempurnaan
yaitu dengan diterbitkannya
pedoman TPTI yang dituangkan
dalam SK. Dirjen Pengusahaan
Hutan Nomor 151/Kpts-
BPHH/1993 tanggal 13 Oktober
1993 (Anonim, 1993)
6. Tujuan TPTI adalah
meningkatkan produktivitas
hutan alam tegakan tidak
seumur melalui tebang pilih
dan pembinaan tegakan tinggal
dalam rangka memperoleh
panenan yang lestari. Sasaran
TPTI adalah pada hutan alam
produksi di areal IUPHHK atau
KPHP.
Tujuan TPTI
7. PERBEDAAN SISTEM TPI DAN TPTI
• Perbedaan yang mencolok antara sistem TPTI
dibanding dengan sistem TPI adalah secara politis
pemerintah menekankan perlunya pembinaan
hutan, pemungutan dan pembinaan hutan harus
seimbang. Pemegang HPH diwajibkan untuk
melengkapi unit organisasi pembinaan hutan, yang
terpisah dengan unit logging, tenaga teknis
kehutanan menengah yang terampil dalam jumlah
yang cukup dan anggaran yang memadai untuk
kegiatan pembinaan hutan.
8. Konsepsi TPTI meliputi cara
penebangan dengan limit diameter dan
permudaan hutan alam produksi serta
meningkatkan nilai hutan, baik kualitas
maupun kuantitas pada bekas areal
tebangan berikutnya agar terbentuk
tegakan campuran yang diharapkan
dapat menghasilkan kayu untuk
keperluan industri secara lestari. tanah
Konsep Dasar TPTI
9. KONSEP TPTI 1989 sebagai berikut:
Rangkaian kegiatan pada sistem TPTI secara keseluruhan
yaitu :
1. Penetapan Areal Kerja (E-3)
2. ITSP (E-2)
3. Pembukaan Wilayah Hutan (E-1)
4. Penebangan (E)
5. Pembebasan (E+1)
6. Inventarisasi Tegakan Tinggal (E+2)
7. Pengadaan Bibit (E+2)
8. Penanaman / Pengayaan (E+2)
9. Pemeliharaan Tahap Pertama (E+3)
10. Pemeliharaan Lanjutan Pembebasan (E+4)
Penjarangan (E+9) Penjarangan (E+14) Penjarangan
(E+19)
11. Perlindungan dan Penelitian (Terus-menerus)
10. KONSEP TPTI 1993 yaitu :
1. Penataan Areal Kerja (Et-3)
2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (Et-2)
3. Pembukaan Wilayah Hutan (Et-1)
4. Penebangan (Et)
5. Perapihan (Et+1)
6. Inventarisasi Tegakan Tingggal (Et+2)
7. Pembebasan Tahap I (Et+2)
8. Pengadaan bibit (Et+2)
9. Pengayaan/rehabilitasi (Wt+3)
10.Pemeliharaan tanaman (Et+3,4,5)
11.Pembebasan Tahap II dan III (Et+4,6)
12.Penjaranagan tegakan tinggal (Et+10,15,20)
ditebang pada rotasi berikutnya.
11. Dirjen Kehutanan (1990)
menyatakan bahwa dalam sistem
TPTI kegiatan pemanenan kayu
harus meninggalkan sekurang-
kurangnya 25 pohon per hektar
sebagai pohon inti dari jenis
komersil dengan diameter 20 cm.
Pohon inti ini diharpakan akan
memberntuk tegakan utama yang
akan ditebang pada rotasi
berikutnya.
12. Pedoman pelaksanaan TPTI :
1. Penataan Areal Kerja (PAK)
2. Inventarisasi Tegakan Sebelum
Penebangan (ITSP)
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
4. Pemanenan
5. Penanaman dan Pemeliharaan
Tanaman Pengayaan
6. Pembebasan Pohon Binaan
7. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
13. KESIMPULAN
Kesimpulannya adalah bahwa kinerja sistem TPTI yang diterapkan di Indonesia
saat ini pada aspek pelestarian hasil hutan belum nampak memuaskan. Dua masalah
pokok yang nampak jelas pada sistem ini yaitu :
1. Berkaitan dengan kondisi hutannya sendiri, yaitu disamping
kualitas dan kuantitas minimum dari tegakan tinggal selalu tidak
mencukupi, juga kecepatan tumbuhnya tidak seperti yang
diharapkan.
2. Berhubungan dengan aspek kelembagaannya, bobot kerja untuk
melakukan pengawasan cukup berat sehingga sulit untuk
mengontrol kepatuhan para pemegang IUPHHK pada ketentuan
TPTI itu sendiri, terutama persyaratan untuk melakukan tanaman
pengayaan dan penyulaman pada areal IUPHHK. Akibat yang
timbul adalah merosotnya kualitas tegakan hutan setelah siklus
tebangan pertama.