1. SELAMATKAN HUTAN DENGAN TANGANMU
JEDA TEBANG SEKARANG
USULAN PROSES PELAKSANAAN
PENYELAMATAN HUTAN TROPIS TERSISA
(Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, WALHI), 5 Juni 2007
M
emasuki tahun 2007, Jeda Tebang menjadi kebijakan yang paling sering
diperbincangkan disektor kehutanan di Indonesia. Berbagai pihak, termasuk sejumlah
punggawa kunci dalam Pemerintah Indonesia juga menyebutkan jeda tebang adalah
cara terbaik untuk keluar dari berbagai bencana dan dampak negatif dari ekstraktif
industri di sektor kehutanan. .
Secara definisi Jeda Tebang adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan.
Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka
panjang dan permanen.
Jeda Tebang dilaksanakan selama paling sedikit 15 tahun. Sebelum berakhir, dilakukan evaluasi
untuk meninjau kembali keputusan tersebut. Masa limabelas tahun dianggap cukup untuk:
1) memberikan kesempatan kepada hutan untuk melakukan regenerasi
2) memperbaiki tata kelola dan kebijakan disektor kehutanan yang tumpang tindih
3) mempersiapkan Protocol Resolusi Konflik sebagai sebuah acuan dalam penyelesaian
konflik-konflik dengan masyarakat
4) mempersiapkan Standard Pelayanan Ekologi sebagai acuan dalam melakukan assesment
terhadap berbagai perizinan perkebunan dan kehutanan baik yang baru maupun yang lama
5) mempersiapkan konseptual Sistem Hutan Kerakyatan, sebagai sebuah kebijakan untuk lebih
mengakomodir dan mengakui hak kelola rakyat terhadap sumberdaya hutan.
Mengapa Harus Jeda Tebang
Jeda Tebang adalah pilihan yang paling masuk akal. Setiap tahunnya kita kehilangan hutan lebih dari
dua juta hektar1. Melihat pada cadangan Hutan Produksi di Indonesia seluas 41,25 juta ha2, melihat
pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri hanya sanggup memenuhi separuh dari
kebutuhan industri pulp, dan melihat bahwa biofuel akan memicu percepatan pelepasan kawasan
untuk perkebunan kelapa sawit, diperkirakan bahwa pada tahun 2012 hutan alam dataran rendah di
1
WALHI 2007
2
TGHN 2005
2. Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi musnah. Pada tahun 2022, seluruh hutan alam dataran rendah
Indonesia musnah.3
Berbagai inisiatif untuk memperbaiki sektor kehutanan seperti FLEGT tidak akan mampu menekan
laju kerusakan karena hanya mengatur tentang penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan
kayu. FLEGT tidak menyentuh akar masalah di sektor kehutanan yaitu pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara supply dan demand di industri kehutanan.
Disamping itu, FLEGT juga tidak menyentuh akar masalah yang memicu percepatan deforestasi
Indonesia yaitu pola konsumsi. Sertifikasi juga tidak akan mampu menyelesaikan masalah sepanjang
bersifat voluntary. Sertifikasi memberikan ilusi seolah ada pengelolaan hutan yang lestari. Sama
seperti FLEGT, sertifikasi mengalihkan persoalan fundamental kehutanan.
Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut diatas muncul justru dari kenyataan yang ada pada industri
kehutanan itu sendiri. Laju tebangan illegal pada tahun 2006 telah mencapai lebih dari 19,051 juta
meter kubik dengan kerugian Rp. 22,862 trilyun rupiah4. Angka ini sedikit kecil bila dibandingkan
dengan devisa yang diperoleh dari eksport kehutanan minus pulp yang mencapai Rp. 29,536 triliun5.
Namun dengan kerugian banjir dan longsor senilai Rp. 8,158 triliun, angka kerugian bertambah
menjadi 31,020 triliun rupiah6. Ringkasnya, setiap tahunnya industri kehutanan berkontribusi terhadap
defisit devisa negara sebesar Rp. 1,484 triliun rupiah. Belum termasuk kerugian yang muncul dari
penyelundupan kayu, biaya konflik dan nilai ekologi sumberdaya hutan.
Penyelesaian atas masalah disektor kehutanan tentu tidak akan mudah. Operasi illegal logging
hanya mampu menyentuh kurang dari 8,7 persen7 kayu yang ditebang secara illegal setiap
tahunnya. Revitalisasi dan restrukturisasi industri di tingkat nasional juga berjalan saling
berseberangan dengan peningkatan kapasitas industri. Pada saat audit dilakukan pemerintah justru
meningkatkan kapasitas produksi pulp di Sumatera dan berencana untuk membangun satu industri
pulp di Kalimantan dan satu di Papua.
Ringkasnya, ada banyak kepentingan yang saling berseberangan disektor kehutanan. Satu sisi, ada
masalah bencana dan konflik yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan disisi lain ada
dorongan untuk melakukan ekstraksi terus menerus untuk memenuhi cadangan devisa dan
pembayaran hutang bagi industri yang tertanggung di BPPN. Kordinasi pusat dan daerah juga tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Mengakibatkan informasi dan perkembangan industri di tingkat
kabupaten tidak diketahui oleh pemerintah pusat. Membuat perencanaan pembangunan kehutanan
Indonesia didasarkan pada asumsi-asumsi. Membuat solusi terhadap pembangunan disektor
kehutanan tidak menyentuh tiga masalah mendasar: tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat,
korupsi dan besarnya kesenjangan antara pasokan dan permintaan di industri kayu.
Pilihan Jeda Tebang diambil dikarenakan ada banyak kepentingan yang membuat solusi terhadap
masalah menjadi sulit didapatkan. Dengan jeda, seluruh kepentingan bisa dipinggirkan terlebih
dahulu untuk kemudian permasalahan didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa
diperbaiki. Demikian halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola
hutan rakyat bisa dilihat secara lebih jernih.
3
Ibid 1
4
Ibid 1
5
http://www.bi.go.id/biweb/, Tahun 2004, devisa dari eksport kayu merupakan yang tertinggi dibanding tahun
sebelum dan sesudahnya.
6
Angka kerugian rata-rata setiap tahunnya dari bencana banjir dan longsor 2000 - 2006, baik kerugian langsung
dan tidak langsung adalah 20,85 triliun rupiah. Lihat table bencana banjir dan longsor 2000 - 2006
7
Ibid 1
3. Keuntungan Jeda Tebang
Moratorium akan memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan
industri perkayuan yang berkelanjutan, seperti antara lain:
a) Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan
berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia;
b) Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) dan
audit kayu bulat;
c) Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial (penguasaan)
sumber daya hutan;
d) Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka keran impor seluas-luasnya;
e) Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu dan
mengkoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan
bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan
sendirinya tidak akan mampu bersaing;
f) Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan
baku; dan
g) Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius membangun hutan-hutan
tanamannya.
Kerugian bila Jeda Tebang tidak dilaksanakan
Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan datang apabila tidak memberlakukan
moratorium saat ini, seperti sebagai berikut:
a) Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif;
b) Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi;
c) Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku
d) Industri akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman dan semakin menghancurkan
hutan alam;
e) Defisit kehutanan akan terus bertambah;
f) Hutan dataran rendah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi akan habis pada 2012 dan hutan dataran
rendah Papua akan habis pada 2022;
g) Indonesia akan kehilangan basis industri diluar pulp yang menghasilkan devisa sebesar US$ 4
milyar dan bila sumberdaya hutan habis, dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya dalam
masa 7 tahun mendatang;
4. Tahapan Jeda Tebang dan Implementasi Reformasi Kehutanan
Jeda Tebang hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Jeda Tebang menawarkan kemungkinan-
kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di
sektor kehutanan. Jeda Tebang juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi
tersebut. Langkah-langkah Jeda Tebang dapat dilakukan selama satu tahun dengan tahapan-
tahapan sebagai berikut:
Tahap I: Penghentian Pengeluaran Ijin-Ijin Baru
1. Pemerintah menghentikan pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK dan
perkebunandiatas hutan alam.
2. Pemerintah mengeluarkan Perpres yang mengatur penggunaan kayu-kayu sitaan hasil dari
praktek penebangan liar agar dapat langsung dikelola oleh pemerintah untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan kebijakan impor bagi industri olah kayu.
3. Menyusun strategi pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat untuk kedepannya
4. Melakukan audit terhadap berbagai perizinan dan penilaiannya dilaksanakan melalui due
diligence secara independen oleh pihak ketiga. Hasil audit kemudian digunakan untuk
menghentikan ijin HPH dan IPK yang bermasalah, terutama yang melakukan penebangan
diluar batas yang ditentukan dan izin yang dikeluarkan tanpa mengikuti peraturan
penrundangan yang berlaku, Penegakan hukum kemudian dilakukan bagi konsesi-konsesi
yang bermasalah.
Tahap II: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam
Dalam waktu 8 bulan setelah Tahap I, pemerintah kemudian:
1. Mengeluarkan Perpres yang menghentikan seluruh penebangan kayu di hutan alam.
2. Melakukan persiapan untuk inventarisir wilayah hutan dengan melakukan zonasi ulang
mengacu pada TGHK 94
3. Melakukan persiapan untuk merekalkulasi dan memprediksi kebutuhan kayu masyarakat
untuk lima belas tahun kedepan.
4. Mendorong munculnya gerakan penghematan kayu di tinagkat masyarakat
5. Mendorong revitalisasi system adat dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan
6. Melakukan persiapan untuk mendistribusikan lahan-lahan kritis yang terletak di hutan
dataran rendah kepada masyarakat termasuk konsesi-konsesi perkebunan yang tidak
ditanami untuk kemudian melakukan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
Tahap III: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan
penyelesaian masalah-masalah sosial
Dalam waktu 4 bulan setelah Tahap II, Pemerintah kemudian:
1. Melakukan jeda tebang di hutan alam dengan menghentikan seluruh kegiatan penebangan
kayu selama 15 tahun. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di atas hutan
tanaman yang berasal dari penanaman sendiri atau hutan yang dikelola berbasiskan
5. masyarakat lokal yang untuk ini diatur melalui peraturan tersendiri dan dilakukan
pengawasan ketat.
2. Menyusun kebijakan untuk memberikan insentif bagi pembangunan industri hilir komoditi
unggulan yang tujuannya untuk menyerap tenaga kerja dari sektor perkebunan sekaligus
memberikan nilai tambah ekonomi.
Selama masa lima belas tahun, pemerintah mempersiapkan kebijakan yang mengatur tentang
Protocol Resolusi Konflik sebagai panduan kedepannya untuk menyelesaikan konflik-konflik disektor
kehutanan, Standar Pelayanan Ekologi sebagai guidelines dalam mengeluarkan kebijakan
penguasahaan dibidang kehutanan dan perkebunan, menyusun kebijakan pengelolaan hutan yang
berbasiskan pada masyarakat dan lalu lintas perdagangan kayu.
Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu dapat tetap jalan dengan cara mengimpor
bahan baku kayu dari luar negeri. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam
negeri sendiri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan
pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada
di Indonesia.
Jln. Tegal Parang Utara No 14
Jakarta 12970 Indonesia
Ph. +622179193363 Fax. +62217941673
Email to : walhi@walhi.or.id, http://www.walhi.or.id